Tag Archives: Kahar Muzakkar

Snouck Hurgronje dan Hasrat Merdeka Nan Tak Kunjung Padam di Aceh (3)

ADA yang mengatakan lahirnya GAM di bulan terakhir tahun 1976 –dipelopori Tengku Hasan Tiro– salah satunya adalah akibat akumulasi kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang menolak hasrat pengaturan Aceh berdasarkan syariat Islam. Penyebab lain, karena kekecewaan terhadap ketidakadilan pemerintah pusat dalam hal berbagi hasil kekayaan alam di daerah itu.

            Syariat Islam, alasan susulan yang dilekatkan. Alasan terkait syariat Islam, tak sepenuhnya benar. Alasan syariat Islam, menurut pengalaman empiris selalu menjadi alasan yang dilekatkan kemudian. Pemberontakan DI/TII, mulai dari yang dilakukan SM Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan dan Daud Beureueh di Aceh, cetusannya bukan dimulai karena soal keyakinan agama secara prinsipil. Selalu dimulai dari kekecewaan pribadi, yang lalu berkobar menjadi perlawanan dan kemudian dipilihkan tema agama. Keempat tokoh ini pada awalnya adalah bagian dari elite kekuasaan yang lalu marah saat tersisih dalam kancah persaingan.

HASAN TIRO MUDA, SEBELUM GAM. "Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM." (diolah dari dokumentyasi partaiaceh.com)
HASAN TIRO MUDA, SEBELUM GAM. “Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM.” (diolah dari dokumentyasi partaiaceh.com)

SM Kartosuwirjo kecewa dalam persaingan perebutan posisi ‘kemiliteran’ di Jawa Barat. Kahar Muzakkar yang pada mulanya adalah seorang Kolonel dalam tentara perjuangan kecewa ketika usai menangani masalah CTN (Corps Tjadangan Nasional) di Sulawesi Selatan tidak diangkat sebagai panglima militer setempat yang semula dijanjikan padanya. Pada awal masuk hutan, ia nyaris memilih komunisme sebagai ideologi perjuangan karena pengaruh rekan-rekan militernya semasa di Jawa Tengah. Baru beberapa lama kemudian Kahar lalu menyatakan diri bergabung dengan NII dan DI/TII.

Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan mulanya adalah Letnan TNI sebelum menyatakan diri bergabung dengan DI/TII, karena suatu kekecewaan pribadi.

Daud Beureueh yang menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh 1948-1951, yang banyak berjasa di masa perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan sebelum penyerahan kedaulatan, belakangan disisihkan pemerintah pusat. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, “ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis –sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner– tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan.” Posisi Gubernur Sumatera Utara diserahkan kepada seorang tokoh lain yang jasa perjuangannya jauh kalah pantas dari Daud Beureueh.

Juga menurut Taufik Abdullah, meskipun Daud Beureueh menginginkan alternatif lain bagi Aceh, misalnya dengan kekhususan menjalankan syariat Islam, tak pernah ia bersikap separatis memisahkan diri dari NKRI. Ini berbeda dengan Tengku Hasan Tiro yang menyatakan diri sebagai penerus perjuangan Daud Beuereuh, tetapi di lain pihak melalui GAM ingin memisahkan Aceh dari NKRI.

Tokoh GAM Hasan Tiro tak lama setelah proklamasi, atas rekomendasi Daud Beureueh mendapat beasiswa pemerintah di masa PM Syafruddin Prawiranegara kuliah di UII Yogyakarta dan lulus 1949. Lalu berkesempatan melanjutkan kuliah di Universitas Columbia AS. Dan setelah mencapai gelar doktornya bekerja di Kedutaan Besar RI di AS.

Dengan alasan tak puas terhadap pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo, Hasan Tiro pulang ke Aceh bergabung dengan perlawanan DI/TII Aceh sejak 1953 yang dipimpin Daud. Tapi ketika pada bulan Mei 1962 Daud Beureueh ‘turun gunung’, Hasan Tiro meninggalkan Aceh kembali ke Amerika. Dalam buku biografinya “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro”, ia mengidealisir masa hidupnya di luar negeri sebagai masa pengasingan. Di luar negeri ia banyak menjalankan kegiatan hidup sebagai business man.

Dua belas tahun setelah Daud Beureueh turun gunung, ia datang ke Aceh untuk berbisnis. Kepada Gubernur Aceh Muzakkir Walad, ia mengajukan permohonan agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan kilang gas LNG Arun. Tapi ia harus kecewa karena pemerintahan Soeharto telah menyerahkan proyek itu kepada Perusahaan AS Bechtel Incorporation. Kegagalan menggoalkan bisnisnya ini digambarkannya sebagai suatu bukti bahwa pemerintahan Jakarta memang tak betul-betul mau memberikan otonomi kepada orang Aceh untuk ikut ‘membangun’ –tepatnya, menikmati kekayaan alam– Aceh. Sebenarnya, cukup naif bila Hasan Tiro menempatkan dirinya sebagai representasi dalam mengukur keadilan bagi Aceh.

Terlepas dari betapa korup rezim-rezim di Indonesia saat mengelola kekayaan alam, dalam hal rezeki pembangunan Aceh, ada begitu banyak tokoh dan kelompok pengusaha Aceh yang ikut mengambil peran dan mendapat kesempatan. Hanya saja, itu kebetulan bukan Hasan Tiro. Andaikan kalangan penguasa negara kala itu punya cenayang yang prima, mungkin ia menasehatkan agar permintaan Hasan Tiro dikabulkan dan jalan sejarah menjadi lain. Tentu saja, akan menjadi kukuh suatu tradisi, kalau ingin mendapat perhatian dan pembagian rezeki dari kalangan kekuasaan, melawan-lawanlah dalam kadar tertentu. Tapi bila kebablasan, lain lagi hasil akhirnya.

Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM –suatu hal yang pada waktunya perlu juga dibahas.

Mulai dari Soeharto yang menggunakan operasi militer yang berlebihan dan penuh ekses; BJ Habibie yang tergesa-gesa minta maaf kepada rakyat Aceh –sebenarnya kepada GAM– dan menjanjikan penarikan mundur 4000 personil TNI, mirip dengan kekeliruannya di Timtim yang menghasilkan referendum dengan Indonesia sebagai pihak yang kalah; Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien Rais yang menyetujui referendum Aceh dengan kemungkinan senasib dengan referendum Timor Timur; Sampai Megawati yang menyetujui UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan sejumlah konsesi bagi GAM tanpa mendalami kesungguhan GAM untuk suatu perdamaian; Lalu, pasangan SBY-Jusuf Kalla, yang memberi banyak angka kemenangan bagi GAM dalam Perjanjian Helsinki, karena beberapa obsesi. Dari sekitar 57 point dan subpoint yang ada sebagai butir-butir kesepakatan Perjanjian Helsinki 2005 (mengenai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, HAM, amnesti dan reintegrasi, serta pengaturan keamanan), 40 point/subpoint memanjakan GAM dan hanya 17 yang menguntungkan pemerintah Indonesia.

Dimana-mana juga memang tak adil. UNTUK penyebab yang kedua terkait ketidakadilan yang menyebabkan alasan bagi lahirnya GAM, pertanyaannya adalah daerah mana di Indonesia ini yang samasekali tak pernah mengalami ketidakadilan pemerintah pusat, sepanjang masa Indonesia merdeka?

Bahkan Ali Sadikin tatkala menjadi Gubernur DKI, pun tak henti-hentinya mengecam sikap kurang perhatian pemerintah pusat terhadap Jakarta, sehingga harus menggali dana inkonvensional dari legalisasi aneka bentuk perjudian di ibukota. Antara lain karena perilaku korup di kalangan pemerintahan pusat, memang harus diakui banyak sikap tak adil dan lalai mengurus negara telah bermunculan. Akan tetapi selalu ada sejumlah daerah di Indonesia ini yang tidak seberuntung beberapa daerah lainnya dalam hal kepemilikan kekayaan alam dan sumber daya manusia yang secara kualitatif memadai. Daerah-daerah seperti ini harus dibantu dengan distribusi silang. Lalu apa yang terjadi bila daerah-daerah kaya enggan berbagi? Apakah daerah-daerah miskin, yang dianggap beban itu, dilepaskan saja dari Republik Indonesia ini?

Tak ada pilihan, selain kita bersama-sama memperjuangkan bagaimana negara ini tak dibiarkan dikuasai para bandit yang masuk ke dalam kekuasaan. Tepatnya, barangkali kini, bagaimana bersama-sama membuang keluar bandit-bandit korup itu dari pemerintahan negara. Itu masalah kita bersama yang harus diperjuangkan, tetapi bukan dengan melakukan pemberontakan separatis, ala GAM ataupun OPM.

NAMUN, di atas segalanya, karena Perjanjian Helsinki sudah merupakan fakta sejarah, tak ada pilihan lain selain bahwa pemerintah harus lebih tegas mengawal agar perjanjian tersebut dipatuhi semua pihak. Bila pemerintah gagal melakukan kawalan, itu hanya akan melukai hati rakyat Indonesia lainnya yang bukan pengikut atau simpatisan GAM.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)                      

Snouck Hurgronje dan Hasrat Merdeka Nan Tak Kunjung Padam di Aceh (2)

SEJUMLAH stereotipe yang dilekatkan Snouck Hurgronje tentang Aceh sejak 124 tahun lampau tentu saja terlalu buruk, usang dan tak pantas untuk digunakan melihat Aceh masa kini. Walau, harus diakui, stereotipe yang diletakkan Hurgronje sempat banyak digunakan sebagai rujukan oleh sebagian penentu dalam kekuasaan pada rezim-rezim yang lalu, dalam menghadapi persoalan-persoalan Aceh maupun kelompok politik Islam di Indonesia. Jalan pemikirannya, seburuk-buruknya pandangan apriori Hurgronje, sebagai hasil pengamatan sosiologis tak seluruhnya mengandung ketidakbenaran.

            Namun yang paling ironis, justru perilaku yang diperlihatkan para die hard Aceh sendiri beberapa tahun terakhir, sebelum maupun sesudah Perjanjian Helsinki, malah seolah-olah mengikuti patron atau stereotipe yang diletakkan Snouck Hurgronje. Tak bisa sepenuhnya dipercaya, tak ada perjanjian yang ditaati dalam jangka panjang. Cenderung melakukan tipu daya, tunduk saat tak berdaya, menanduk saat ada kesempatan. Kepala batu. Dan kata Snouck Hurgronje, jangan pernah berunding dengan mereka, hantam terus tanpa ampun. Tapi sebenarnya, harus kita akui, disamping segala sifat baiknya, bukan hanya orang Aceh yang memiliki sifat buruk, melainkan juga manusia-manusia Indonesia lainnya dari berbagai daerah.

PEREMPUAN MUDA ACEH MEMANGGUL SENJATA UNTUK GAM. "Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal." (Repro foto Jacqueline Koch/Aceh Times)
PEREMPUAN MUDA ACEH MEMANGGUL SENJATA UNTUK GAM. “Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal.” (Repro foto Jacqueline Koch/Aceh Times)

            Dengan segala sifat buruk itu, ditambah sikap gampang dengki sehingga gampang diadu-domba, tak terlalu mengherankan bila manusia di Nusantara ini bisa dikendali oleh ‘segelintir’ kaum kolonial selama 350 tahun. Bahkan kini pun dengan sikap-sikap buruk yang masih dimiliki, yang menyatu sebagai terminologi korup –mengalahkan sikap-sikap mulia yang sesungguhnya ada akarnya dalam kultur kita– manusia Indonesia tetap mudah dipermainkan dalam persaingan global yang keras dan ketat. Terdapat begitu banyak ‘pemimpin’ yang mampu menjual diri sekaligus menjual bangsa dan tanah airnya dalam berbagai cara dan modus.

            Kesalahan sejak mula. Pemberontakan separatis GAM maupun kemudian dilakukannya suatu perundingan dan kesepakatan dengan kaum pemberontak, secara keseluruhan adalah serba kesalahan sejak mula. Masuk ke meja ‘perundingan internasional’ dengan kelompok separatis dalam negeri, harus dicatat dalam sejarah sebagai salah satu kekeliruan besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Berikutnya, di atas kekeliruan itu, mereka membuat kekeliruan baru lagi, tak mengawal dengan baik agar Perjanjian Helsinki –yang keterlanjuran itu– dipatuhi semua pihak. Catatan itu perlu, sebagaimana kita harus mencatat pula peristiwa lepasnya Timor Timur –yang sempat ‘terlanjur’ berintegrasi sebagai provinsi ke-27 Indonesia– sebagai kekeliruan besar Presiden BJ Habibie. Kalau kita tak mencatat dan tak mengingatkan, kekeliruan dan kesalahan, kelak di suatu waktu bisa dituturkan kembali seakan-akan suatu keberhasilan dan atau kepahlawanan. Bukankah kita sudah cukup kenyang dengan pemutar-balikan sejarah selama ini?

Sedikit berbeda dengan Timor Timur yang pernah bergabung melalui separuh aneksasi (dalam satu pengertian yang debatable) dan separuh keinginan sebagian rakyat setempat, Aceh sejak awal kemerdekaan Indonesia sudah bersama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang tokoh Aceh, kelahiran Pidie, Haji Teuku Mochammad Hasan, duduk dalam Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di tahun 1945 menjelang Proklamasi Republik Indonesia. Atas permintaan Mohammad Hatta, putera Aceh ini berhasil mendekati dan membuat sejumlah tokoh Islam mengerti dan bersedia menghapuskan tujuh kata (Piagam Jakarta) dari Pembukaan UUD 1945. Sejumlah pemuda Aceh ikut serta dalam Jong Sumatera yang menjadi salah satu organisasi pemuda yang mencetuskan Soempah Pemoeda 1928, yang melahirkan tekad dan pemahaman Indonesia sebagai satu tanah air, satu bangsa dengan satu bahasa. Kemudian, dalam masa kemerdekaan para pemimpin Indonesia kelahiran Aceh dari waktu ke waktu senantiasa ikut berkiprah dalam roda pemerintahan dengan peran-peran yang tak kecil. Tapi kini segelintir pemimpin Aceh atas nama Gerakan Aceh Merdeka, selalu merasa sebagai satu bangsa lain yang tersendiri dan harus dipisahkan dari Indonesia.

            Meskipun ada begitu banyak daerah di Indonesia tercatat dalam sejarah sempat terperangkap oleh hasrat separatisme segelintir pemimpinnya, tak ada yang melebihi Aceh dalam hal kecamuk hasrat ‘merdeka’, secara berkepanjangan. Walau, sebenarnya hasrat itu secara kuantitatif hanya terdapat pada sebagian kecil ‘pemimpin’ Aceh dengan pengikut yang juga tak mayoritas dalam skala Aceh secara keseluruhan. Hasrat itu tampil melalui pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Daud Beureueh –yang tak sepanjang masa pemberontakan SM Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara– disusul pemberontakan GAM.

            Dalam skala kewilayahan, daerah pengaruh GAM tak lebih dari sepertiga. Setidaknya ada dua kumpulan wilayah di Aceh yang menginginkan pemekaran, bukan hanya sekarang, tetapi sejak dulu saat GAM memulai gerakan bersenjata. Wilayah itu adalah Aceh Leuser Antara (ALA) yang terdiri dari beberapa kabupaten, dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang juga terdiri dari beberapa kabupaten.

            Sebenarnya rakyat di daerah-daerah yang dianggap sebagai kawasan pengaruh GAM, tak sepenuhnya mendukung GAM. Sebagian dari mereka terpaksa tunduk karena takut kepada peluru GAM sebagai pemegang senjata selain TNI. Tak seluruhnya senjata yang dimiliki GAM diserahkan setelah Perjanjian Helsinki. Sampai kini pun, senjata-senjata itu bisa muncul memuntahkan peluru kala ‘pertengkaran’ politik dan kepentingan dengan kata-kata tak berhasil dalam mencapai pemenuhan hasrat dan kepentingan itu. Siapa yang menembaki kantor-kantor bupati dan instansi lainnya di daerah-daerah yang tidak pro GAM? Rakyat Aceh itu tak kalah takutnya kepada peluru GAM dibanding peluru TNI. Sungguh malang mereka, terjepit di antara kepentingan segelintir manusia.

            Penyebab lain yang menyebabkan GAM bisa memperoleh tambahan dukungan, terkait dengan cara pemerintah pusat menangani Aceh. Ditambah lagi oleh ketidakmampuan pimpinan negara dan pimpinan TNI untuk mencegah kekejaman militer sebagai ekses. Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal. Terhadap TNI kala itu ada kritik lain. Dengan pemahaman yang prima terhadap perang gerilya, kenapa mereka tak mampu mengatasi GAM secara cepat dan tepat? Sejumlah pengamat militer menganalisa, memang ada kecenderungan mengulur-ulur dan memperpanjang-panjang DOM Aceh. Untuk apa, semua orang mudah menebak kenapa.

Perilaku korup di kalangan pengendali kekuasaan, khususnya di pusat negara, menciptakan terlalu banyak kekecewaan bagi daerah karena ketidakadilan. Bukan hanya di Aceh, tetapi hampir merata di seluruh penjuru tanah air, bahkan di Pulau Jawa sekalipun. Namun berapapun besarnya kekecewaan itu, tak bisa menjadi alasan mengkhianati sejarah Indonesia sebagai satu bangsa di atas satu tanah air. Lebih baik berjuang bersama untuk mengoreksi rezim penguasa atau bila perlu memperbaharui rezim itu, daripada meninggalkan sesama bangsa dengan mendirikan satu negara baru.

Satu leluhur. Alasan kesejarahan yang diajukan para petinggi GAM selama ini untuk membenarkan klaim sebagai satu bangsa, sama sekali tak berdasar. Bila sejarah kesultanan Aceh dijadikan alasan, daerah mana di Indonesia ini yang pada mulanya bukan berasal dari satu kerajaan, kecil atau besar? Kenapa kita semua menjadi satu negara dan menjadi satu bangsa, tak lain karena memiliki  rasa persamaan nasib dalam sejarah, sehingga para pemimpin dan kaum muda sejak 1908, 1928 dan 1945 tiba kepada keputusan untuk bersama sebagai satu bangsa dalam satu tanah air.

Sebagian terbesar manusia yang bermukim di pulau-pulau Nusantara ini sesungguhnya berasal dari satu leluhur yang sama. Sejak 4000 tahun sebelum Masehi, para migran ras Mongol dari daratan Cina menyeberang ke pulau Formosa, menyusur ke selatan ke pulau-pulau Filipina, lalu menyeberang ke Sulawesi bagian utara. Sebagian lainnya berbelok ke kanan menuju Kalimantan bagian utara lalu ke Indochina. Lainnya berbelok ke timur hingga pulau-pulau utara Maluku. Sebagian terbesar melanjut ke Sulawesi bagian selatan, lalu sebagian kecil berbelok ke Nusa Tenggara, dan lainnya dalam jumlah lebih besar ke Pulau Jawa. Beberapa bagian melanjutkan ke Sumatera hingga Aceh di ujung utara. Lalu dalam seribu tahun terakhir sebelum Masehi berangsur-angsur menyeberang ke semenanjung Melayu, dan seterusnya ada yang melanjut ke wilayah Indochina, bertemu dengan kelompok yang mula-mula datang dari arah Kalimantan. Mereka yang di Indochina inilah yang kemudian melakukan migrasi gelombang kedua ke selatan memasuki pulau-pulau di Nusantara dan bertemu kembali dengan para leluhur yang telah bermukim sebelumnya dan telah bercampur baur dengan sejumlah kecil penduduk asli.

Jadi, mengapa saudara-saudara kita yang di Aceh harus merasa sebagai satu bangsa yang lain dan berbeda? Apakah kemudian karena bercampur dengan pendatang-pendatang baru dari arah Asia bagian barat, lalu menjadi bangsa baru? Pendatang-pendatang baru itu terlalu kecil sebagai alasan pembentuk bangsa baru, dan lagipula semua daerah di Indonesia mengalami hal yang sama. Apakah harus merasa berbeda karena sepenuhnya menganut Islam? Ada begitu banyak daerah di Indonesia yang juga mayoritas berpenduduk Islam, tanpa harus merdeka sebagai negara tersendiri. Bahwa ada sejumlah kelompok politik dan kepentingan khusus, seperti DI/TII maupun kelompok fundamental baru lainnya, yang menjadikan agama sebagai alasan untuk menjadi negara Islam, itu adalah kekeliruan dan kesesatan lainnya yang juga harus kita cegah bersama.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.   

Haruskah Perempuan Selalu Menjadi Korban ‘Kekuasaan’ Politik, Sosial dan Agama ?

GAGASAN  Pemerintah Kota Lhokseumawe NAD untuk melahirkan sebuah Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur cara duduk perempuan tatkala membonceng pada kendaraan bermotor roda dua, merupakan konfirmasi kesekian kalinya betapa perempuan selalu menjadi korban kekuasaan di negara ini. Dilakukan dengan menggunakan berbagai pengatasnamaan, seakan-akan untuk memuliakan serta menjaga harkat dan martabat kaum perempuan, namun pada hakekatnya akan memojokkan perempuan dalam posisi merugi, untuk tidak menyebutnya sebagai sasaran penindasan.

Bagaimana para pemegang kekuasaan Nanggroe Aceh Darussalam memperlakukan kaum perempuan atas nama adat istiadat dan agama, menjadi perhatian, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia internasional. Para penguasa Aceh, misalnya, tak henti-hentinya menjalankan operasi tertib busana muslim, berdasarkan Qanun nomor 11 tahun 2002, khususnya Pasal 13 Ayat 1 dan 2. Itu semua hampir merata terjadi di kabupaten pantai-pantai barat, pantai utara dan pantai timur Aceh sampai ibukota provinsi, Banda Aceh. Perempuan-perempuan yang bercelana ketat atau berbaju sempit –dan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami– akan mendapat teguran serta nasehat satu arah, dan bila sekali lagi melakukan, akan ditindaki. Pada razia Desember lalu di Banda Aceh, hampir dua ratus perempuan muda –mayoritas mahasiswa– terjaring razia. Bagaimana kriteria Islami itu sendiri, tentu saja tak mudah ditetapkan, karena tergantung selera penguasa. Ujung tombak penegakan Qanun tersebut adalah Wilayatul Hisbah (WH) yang oleh media asing disebut sebagai morality police.

PETUAH SAAT TERJARING RAZZIA PENERTIBAN BUSANA DI BANDA ACEH. "Selain mengatur cara berperilaku dan cara berpakaian –terutama terhadap gender perempuan– Qanun juga berisi pasal-pasal lain tentang penegakan syariah Islam, mulai dari masalah perzinahan sampai pencurian, layaknya yang berlaku di negara-negara Islam Timur Tengah". (foto-foto download gizanherbal/perisai.net)
PETUAH SAAT TERJARING RAZZIA PENERTIBAN BUSANA DI BANDA ACEH. “Selain mengatur cara berperilaku dan cara berpakaian –terutama terhadap gender perempuan– Qanun juga berisi pasal-pasal lain tentang penegakan syariah Islam, mulai dari masalah perzinahan sampai pencurian, layaknya yang berlaku di negara-negara Islam Timur Tengah”. (foto-foto download gizanherbal/perisai.net)

Qanun setingkat dengan Perda tingkat provinsi. Pemerintah kabupaten/kota seringkali ikut ‘berkreasi’ membuat Perda-perda, dan yakin bahwa dengan itu, mereka telah memperkuat syiar dan penegakan Islam. Bila kebijakan yang tertuang dalam Perda-perda itu dikritisi, misalnya oleh organisasi-organisasi perempuan, seringkali bila kehabisan argumentasi, tokoh-tokoh kekuasaan itu segera berlindung ke balik kulit kerang ‘hukum besi’ agama. Pada titik tersebut, dengan sendirinya dialog berakhir. Para pengeritik cenderung tak melanjutkan kritik, bila tak ingin dikenakan tuduhan anti Islam.

Miniatur Negara Islam? Selain mengatur cara berperilaku dan cara berpakaian –terutama terhadap gender perempuan– Qanun juga berisi pasal-pasal lain tentang penegakan syariah Islam, mulai dari masalah perzinahan sampai pencurian, layaknya yang berlaku di negara-negara Islam Timur Tengah. Hanya, kadar hukumannya yang berbeda. Bila di negara-negara Arabiyah itu, hukumannya adalah rajam sampai mati, penggal kepala dan potong tangan, maka di wilayah hukum syariah Aceh hukumannya adalah dengan hukum cambuk atau dera dengan tongkat di depan umum.

NAMUN Aceh tak sendirian dalam percobaan menegakkan eksistensi wilayah syariat Islam –yang pada hakekatnya adalah miniatur dari praktek Negara Islam yang di awal kemerdekaan pernah diperjuangkan dengan pemberontakan bersenjata oleh DI/TII. Sejumlah ulama pimpinan pondok pesantren dan tokoh organisasi kemasyarakatan di Tasikmalaya, menjelang Natal 2012 lalu, seperti diberitakan Antara, mendesak Pemerintah Kota menggelar razia terhadap kaum perempuan “yang mengenakan pakaian seronok mengumbar aurat”. Demi menegakkan “Perda 12 tentang tata nilai berdasarkan ajaran agama”.

Perda-perda yang berpretensi “menegakkan syariat Islam”, bisa ditemukan di berbagai kabupaten di Jawa Barat, seperti misalnya di Tangerang. Begitu pula pada berbagai provinsi lain, seperti antara lain di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan. Salah satu di antaranya nyaris bagai Negara Islam kecil. Di provinsi ini, seorang tokoh penegakan syariat Islam Abdul Azis Kahar Muzakkar –putera pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar– menjadi calon Wakil Gubernur mendampingi Ilham Arief Siradjuddin, didukung antara lain Partai Demokrat dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

AHMAD Wahib –seorang anggota lingkaran diskusi mantan Menteri Agama Prof Dr Mukti Ali, yang mati muda pada 31 Maret 1973– menulis sebuah prinsip “Hati nurani manusia, tegasnya setiap manusia, harus ikut berbicara tentang apa yang baik bagi dirinya dan pada akhirnya hati nuraninya yang berhak menentukan keputusan setelah mempertimbangkan pendapat dari ulama-ulama yang ahli”. “Aqidah, syariah dan sebagian dari ahlaq adalah private concern. Masing-masing pribadilah, sesuai dengan keunikannya, yang pada akhirnya berhak menentukan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan Tuhan bagi dirinya”.

Mempertanyakan ulama. Dalam kaitan itu, ia mengeritik sejumlah ulama pada masa tersebut –sesuatu yang terasa masih relevan hingga kini. “Lihatlah”, tulis Ahmad Wahib, “ulama-ulama Islam mau menerapkan hukum-hukum tertentu pada manusia. Tapi sayang, bahwa di sini yang mereka perkembangkan hanyalah bunyi hukum itu dan kurang sekali usaha untuk mengerti dan membahas masalah manusianya sebagai obyek hukum itu. Dengan cara-cara ini, adakah kemungkinan untuk menjadikan hukum itu sendiri sebagai suatu kesadaran batin dalam hati manusia?”. Menurutnya, “yang terjadi malah sebaliknya, bahwa makin lama orang-orang makin jauh dari hukum-hukum yang mereka rumuskan. Sampai di manakah ulama-ulama kita –walaupun tidak ahli– cukup memiliki apresiasi terhadap antropologi, sosiologi, kebudayaan, ilmu dan politik dan lain-lainnya”. Seraya menyebutkan beberapa nama, Ahmad Wahib mengatakan lanjut “bagi saya ulama-ulama itu tidak berhak untuk menetapkan hukum dalam masalah akhlaq dan khilafah. Bagaimana mereka akan berhasil tepat, bilamana masalah manusia, masyarakat dan  lain-lain tidak  dikuasainya?… Mereka baru dalam taraf interpretatif”.

“Sejauh pengamatan saya, bahasa ulama kita dalam dakwahnya juga sangat kurang. Mereka sangat miskin dalam bahasa, sehingga sama sekali tidak mampu mengungkapkan makna dari firman-firman Tuhan. Bahasa mereka terasa sangat gersang. Kalau mereka bicara tentang cinta manusia pada Tuhan atau cinta Tuhan pada manusia, maka maksimal bahasa cintanya hanya masuk otak dan tidak memiliki daya tembus ke hati. Mereka bicara tentang cinta tidak sebagaimana makna cinta yang ada sebagai bibit-bibit dalam hati setiap manusia. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dakwah mereka itu terpantul saja ketika mencoba masuk ke hati”. “Firman-firman Tuhan mereka tangkap sebagai formula-formula hukum positif dan setiap percobaan untuk mengungkapkan yang lebih dalam dari formula-formula itu dianggap terlarang”.

Pemahaman yang mendalam tentang kebenaran. KETIDAKMAMPUAN menafsir dengan baik, berdasar kebenaran ilahi, menjadi kelemahan agama-agama, termasuk Islam. Penafsiran salah terhadap satu masalah bahkan sudah bermula sejak masa hidup Nabi Muhammad SAW. Seorang penyair perempuan di masa nabi, Asma binti Marwan, suatu ketika menciptakan syair yang menentang Muhammad SAW dan ajaran-ajaran kehidupan Islami yang disampaikannya.

Muhammad SAW lalu berkata “Siapakah yang akan menjauhkan aku dari puteri Marwan itu?”. Seorang pengikut yang mendengar ucapan Nabi, bernama Omeir, pada larut malam pergi ke rumah perempuan itu. Kegelapan malam mempermudah dirinya menyusup. Ditemukannya perempuan itu sedang tidur mendekap bayinya ke dadanya, sementara anak yang lain tertidur pulas di lantai kamar itu juga. Sang pembunuh menyingkirkan bayi dari dekapan Asma, lalu menusukkan pisaunya sekuat tenaga.

Di pagi hari, ia pergi menemui Nabi dan menceritakan apa yang telah dilakukannya. Muhammad menyampaikan ucapan-ucapan –yang perlu ditafsirkan lebih jauh secara cermat– “Engkau telah (mencoba) membantu Allah dan RasulNya”. Tatkala ditanyakan tentang konsekuensi perbuatan itu, Muhammad berujar “Dua ekor kambing takkan saling menumbukkan kepala untuk ini”. Umar yang tak setuju tindakan Omeir, berseru menyebutkan sang pembunuh sebagai “Omeir yang buta”. Tapi menurut Guillaume –dalam buku ‘The Life of Mohammad: A Translation of Bin Ishaq’s Sirat Rasul Allah’ (Oxford University Press, 1955) berdasarkan catatan sejarah, Nabi Muhammad mengatakan “call him Omeir the Seeing”. Apakah bahkan antara Umar dan Muhammad SAW pun terjadi perbedaan penafsiran dalam penafsiran? Diperlukan akal sehat dan pemahaman mendalam tentang kebenaran guna mencerna peristiwa Asma binti Marwan.

Piagam Jakarta dan NII. SEIRING dengan perkembangan politik dan kepentingan-kepentingan yang terkait dengannya, kini kita bisa melihat betapa sejumlah kalangan penguasa memilih garis keras pengaturan rakyat berdasarkan syariat Islam. Melanjutkan semangat Piagam Jakarta, maupun bahkan seakan-akan ingin mengambilalih cita-cita pembentukan NII. Tak kurang dari lima-puluhan kabupaten/kota, selain provinsi, menerapkan syariat Islam melalui sejumlah Perda. Seringkali sulit dibedakan, apakah yang diterapkan itu adalah syariat Islam atau model pengaturan Arabiyah. Namun apapun model sesungguhnya, sepanjang yang bisa dicatat, penetapan-penetapan Perda Syariah itu cenderung dilakukan sepihak oleh eksekutif dan legislatif tanpa memperhitungkan apa yang betul-betul dikehendaki rakyat. Tanpa memperhitungkan apa prioritas-prioritas kepentingan masyarakat. Asumsinya semata-mata bahwa Islam adalah agama yang dianut mayoritas rakyat. Dengan demikian perda ditetapkan dengan pengatasnamaan belaka. Cara-cara pengatasnamaan agama seperti ini, untuk jangka panjang hanya akan menurunkan kemuliaan agama itu sendiri, saat masyarakat menjadi apriori terhadap pengekangan-pengekangan baru yang belum tentu untuk kebaikan agama itu sendiri.

Tujuan akhirnya, tak bisa tidak, pasti tak jauh dari konteks kekuasaan politik. Namun, terlepas dari itu sungguh mengherankan, kenapa selalu saja tak habis-habisnya kaum perempuan menjadi korban antara yang menderita. Seakan-akan perempuan adalah sumber dan tumpuan segala dosa sehingga bila tidak dikawal perilakunya, menjadi sumber segala bencana. Suatu keadaan yang tak terlepas dari fakta bahwa hingga kini, karena kesesatan penafsiran ajaran-ajaran agama, Islam diciptakan oleh sejumlah pemukanya menjadi pusat kekuasaan patriarki dengan maskulinitas hegemonik. Seringkali kita tak menyadari betapa banyak kaum lelaki yang misalnya melakukan pernikahan siri, menikahi perempuan di bawah umur atau melakukan poligami tanpa kesanggupan bersikap adil, dengan memanfaatkan ajaran agama guna memenuhi hasrat manusiawinya belaka. Setelah puas memenuhi hasrat, sang perempuan setiap saat bisa ditinggalkan, entah dalam seminggu, entah dalam dua minggu atau sebulan seperti contoh-contoh yang tak habis-habisnya bisa kita saksikan selama ini.

Semua itu menjadi lebih lengkap dengan fakta betapa sehari-hari kaum perempuan senantiasa menjadi korban utama yang tergilas bagai debu dalam kehidupan sosial kalangan akar rumput. Bergelimang kemiskinan yang mendera mayoritas rakyat saat ini. Secara vertikal tertekan dari atas oleh kekuatan politik dalam negara, secara horizontal disudutkan oleh kekuasaan sosial dan kekuatan agama. Padahal, tiga kekuasaan itu semestinya justru adalah penyelamat mereka.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)

PADA KUTUB peristiwa pemberontakan yang lain, terkait Peristiwa 30 September 1965 –maupun Peristiwa Madiun 1948– yang melibatkan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), pun diperlukan cara memandang yang selain cermat juga bijak. Terutama mengenai dimensi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dalam skala besar-besaran yang terjadi dalam peristiwa, serta, siapa saja para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut sesungguhnya. Bingkai dasar cara memandangnya pun haruslah kebenaran sepenuhnya dengan sebanyak-banyaknya keadilan.

PEMUDA RAKYAT PKI DI ATAS TRUK DI TANGERANG, DIKAWAL TENTARA MENUJU PENAHANAN. “Hal menarik lainnya, adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu, tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut”. (dokumentasi asiafinest)

Di wilayah abu-abu, bukan hitam-putih. Bila diperbandingkan, Peristiwa 30 September 1965 lebih complicated daripada rangkaian pemberontakan DI/TII yang lebih hitam putih. Proses penyelesaian DI/TII lebih tuntas, baik secara politis, militer maupun secara hukum. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan selesai akhir 1959 dengan tertangkapnya Ibnu Hadjar. Hampir 3 tahun setelahnya, masalah DI/TII di Jawa Barat diakhiri dengan tertangkapnya SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962 melalui Operasi Pagar Betis yang dilancarkan Divisi Siliwangi bersama rakyat. Kemudian, SM Kartosoewirjo diadili Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya dilaksanakan 12 September 1962 di Kepulauan Seribu di utara pantai Jakarta. Pemberontakan DI/TII di Aceh selesai setelah Daud Beureueh memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke masyarakat pada tahun 1962.

Terakhir dalam rangkaian ini adalah penyelesaian DI/TII di Sulawesi Selatan yang tercapai setelah Kahar Muzakkar tertembak mati oleh Kopral Satu Ili Sadeli dari Batalion 330 Siliwangi dalam suatu penyergapan dinihari 4 Februari 1965. Beberapa pengikut Kahar secara berangsur-angsur telah lebih dulu kembali ke pangkuan ibu pertiwi memenuhi seruan pemerintah, atau menyerah ketika operasi militer yang dilancarkan makin ketat. Dalam operasi fase akhir yang mengikutsertakan pasukan dari Divisi Siliwangi, pola operasi pagar betis juga diterapkan. Rakyat di berbagai wilayah operasi, berpartisipasi dengan cukup Continue reading Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (1)

PUBLIKASI 81 foto dokumentasi hari-hari terakhir ‘proklamator’ Negara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, yang sekaligus adalah panglima tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, sengaja atau tidak, menguak salah satu luka lama republik ini. Seluruhnya, bersama pemberontakan DI/TII tersebut, ada tujuh luka besar penuh darah sepanjang usia republik yang pada 17 Agustus 2012 yang baru lalu ini genap 67 tahun. Belum terhitung luka-luka berdarah lainnya yang lebih kecil, namun terakumulasi sebagai suatu rangkaian keperihan bagi bangsa ini, dengan kalangan akar rumput selalu sebagai korban utama yang paling menderita.

BENDERA NEGARA ISLAM INDONESIA. “Lalu bagaimana mungkin itu semua disebutkan sebagai suatu perjuangan suci? Kalau nama Islam dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya sebagian terbesar korban itu bukan penganut Islam? Bukankah sembilan dari sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut Islam?”. (download okezonenews)

Tujuh pemberontakan ‘besar’ itu adalah Pemberontakan Madiun 1948, Pemberontakan DI/TII sejak Agustus 1949, Pemberontakan Separatis Republik Maluku Selatan (RMS) 1950, Pemberontakan PRRI/Permesta 1958-1961, Peristiwa Gerakan 30 September 1965, lalu dua terbaru, perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan perlawanan gerilya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua ditumpas dan diselesaikan dengan tindakan tegas dan keras oleh pasukan pemerintah, kecuali GAM dan OPM.

Mulanya masalah GAM coba diatasi dengan operasi militer –yang terkesan dipanjang-panjangkan dan enggan dituntaskan dengan cepat, entah dengan pertimbangan apa– di masa Presiden Soeharto, namun diakhiri dengan perundingan damai di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Perundingan dan kompromi ini adalah sikap terlunak yang pernah ditunjukkan pemerintah terhadap suatu pemberontakan. Jauh dari kriteria perdamaian yang layak misalnya diganjar dengan hadiah nobel perdamaian, baik untuk Susilo Bambang Yudhoyono maupun untuk Jusuf Kalla.

Dengan penanganan seperti itu, perlawanan GAM tercipta menjadi seolah-olah suatu gerakan kemerdekaan ‘bangsa’ Aceh. Ini ironis, karena pemimpin-pemimpin Aceh pada momen proklamasi termasuk pelopor Continue reading Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (1)

Ketika Tuhan dan Agama Didegradasi Menjadi Berwajah Buruk

Sebuah catatan pasca lebaran

MESKIPUN dimulai dengan suasana mendua dalam penentuan awal Ramadhan, akhirnya masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam bisa merayakan Idul Fitri di satu hari yang sama, 19 Agustus 2012. Tapi tak urung, selama beberapa hari menjelang Lebaran, sebagian masyarakat tetap diliputi ketidakpastian, apakah mempersiapkan diri untuk merayakan hari besar Islam itu di hari Minggu, atau merayakannya di hari Senin 20 Agustus. Suatu keadaan yang secara psikologis, sebenarnya sangat tak nyaman. Banyak yang berpikir, karena Muhammadiyah sudah jauh hari mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 19 Agustus, pastilah pemerintah, NU dan ormas yang berbeda pendapat dalam penentuan awal Ramadhan, akan menentukan lain, yakni sehari setelahnya.

PASUKAN PERANG SALIB. “Sesungguhnya Islam memerlukan pembaharuan pemikiran dan penafsiran oleh para cendekiawannya….. Tapi sayangnya para cendekiawan muslim itu lebih senang bermain politik demi kekuasaan”. (download byzantinum)

Bila kita, sebagai sesama umat, harus terbelah dalam pilihan hari merayakan lebaran, seperti yang kita alami beberapa kali pada tahun-tahun sebelum ini, kita juga bisa merasa mengalami keterbelahan kebersamaan. Padahal, kita berada dalam satu naungan agama. Secara lebih luas, dalam konteks kebersamaan sebagai umat beragama, dan bahkan sebagai manusia, bila kita harus mengalami keterbelahan dalam kebersamaan, karena menganut agama yang tak sama, secara batiniah memberi perlukaan. Padahal, kita memiliki fitrah yang sama sebagai insan yang bersumber pada kebenaranNya.

KEGAGALAN berkepanjangan manusia selama berabad-abad –terutama di abad-abad awal– dalam menjalankan agama dengan sebaik-baiknya, tak lain adalah egoisme dalam menafsirkan berbagai ajaran agama yang dianutnya. Beberapa dari penafsiran itu mengendap sebagai kerak pemikiran tradisional, yang menjadi sumber pertentangan terus menerus sepanjang masa. Itu terjadi dalam agama Kristen maupun dalam Islam, sebagai suatu keadaan yang menjadi sumber konflik internal, sekte melawan sekte, maupun konflik eksternal di antara agama-agama, antara Islam dengan Kristen (sejak Perang Salib), Islam dengan Hindu (di Asia Selatan), Islam dengan Budha (yang dianggap sedang terjadi di Myanmar) ataupun antar agama lainnya. Continue reading Ketika Tuhan dan Agama Didegradasi Menjadi Berwajah Buruk

Sodong dan Mesuji: Mewarisi Ketidakadilan dan Tradisi Penyelesaian Berdarah

KEKERASAN berdarah sebenarnya bukan peristiwa yang asing bagi rakyat Indonesia, karena sudah tumbuh mengakar dan mewaris sejak dulu dari masa Nusantara. Berbagai bentuk kekerasan dalam mengambil nyawa orang lain, sampai dengan cara-cara paling ekstrim dan mengerikan, telah menjadi bagian dari pengalaman manusia penghuni kepulauan ini. Namun, meskipun kekerasan masih melanjut sebagai tradisi, cara-cara mengerikan yang primitif praktis telah ditinggalkan. Maka, ketika terbetik berita bahwa dalam konflik lahan perkebunan sawit di Sumatera Selatan dan Lampung yang kini menjadi pusat perhatian, ada korban yang dipenggal kepalanya, semua orang tersentak. Sampai sejauh ini, selain mencincang tubuh korban, cara membunuh dengan memenggal kepala adalah yang paling mengerikan terutama untuk ukuran peradaban dalam konteks hak azasi manusia di abad 21.

Semula kalangan kekuasaan dan atau penegak hukum memperlihatkan sikap resisten terhadap pengungkapan-pengungkapan tentang pelanggaran HAM di daerah-daerah perkebunan sawit itu dan mengedepankan mekanisme defensif dengan kecenderungan spontan menyangkal. Tapi lama kelamaan, ketika pengungkapan berlanjut, penegak hukum terpaksa mulai mengakui satu persatu fakta peristiwa sesungguhnya, kendati masih membutuhkan waktu lebih lama bagi terungkapnya kebenaran lengkap. Dan makin terlihat pula, walau masyarakat juga terlibat sebagai pelaku kekerasan yang kadangkala ekstrim, pada dasarnya adalah merupakan reaksi atau akibat saja, yakni sebagai reaksi terhadap ketidakadilan yang sudah berlangsung lama dan laten. Ketidakadilan paling telanjang di depan mata masyarakat adalah perpihakan yang nyata pihak aparat terhadap mereka yang punya uang. Tak beda dengan perilaku kolonial Belanda dulu yang selalu membela ondernemingonderneming betapapun kejinya perilaku para administratur dan para centeng perkebunan. Ironis bahwa di masa pasca kolonial sekarang ini, masyarakat yang sedang memprotes ketidakadilan justru diperlakukan bagai hama perusak yang harus dibasmi.

Terkesan bahwa aparat sendiri yang menggiring rakyat menjadi ‘pemberontak’, setidaknya melakukan perlawanan fisik terbuka. Dan bila suatu konflik dengan kekerasan fisik sudah terjadi –secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat (PAM Swakarsa atau Satpam Perkebunan pada hakekatnya juga adalah bagian dari masyarakat) atau secara vertikal masyarakat melawan petugas– semua pihak kemungkinan besar sulit menghindarkan diri untuk tidak melakukan kekerasan yang keji. Pada sisi lain, terkesan kuat pula makin menjadi-jadinya kekacauan koordinasi dan kendali di internal kekuasaan, yang mengindikasikan kelemahan kepemimpinan pada setiap tingkat dan lini.

GAMBAR LAPORAN PERISTIWA MESUJI. “Terkesan bahwa aparat sendiri yang menggiring rakyat menjadi ‘pemberontak’, setidaknya melakukan perlawanan fisik terbuka. Dan bila suatu konflik dengan kekerasan fisik sudah terjadi –secara horizontal antara masyarakat dengan masyarakat atau secara vertikal masyarakat melawan petugas– semua pihak kemungkinan besar sulit menghindarkan diri untuk tidak melakukan kekerasan yang keji”. (Foto, download Tempo)

Mengenai peristiwa Sodong dan Mesuji, akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan lain, saat duduk perkara dan fakta menjadi lebih jelas dan tak terbantahkan pada beberapa waktu mendatang. Tetapi untuk sementara sudah bisa diyakini, bahwa apa yang terjadi di Sodong dan Mesuji, hanyalah sebagian kecil dari peristiwa serupa di berbagai penjuru Indonesia.

TERDAPAT beberapa contoh peristiwa yang melibatkan kekerasan yang keji dalam pengalaman sejarah bangsa ini. Apalagi memang terdapat beberapa konsep mengerikan dalam tradisi mengeliminasi lawan di kalangan penghuni Nusantara ini dari masa ke masa. Salah satu cara paling ‘sempurna’ dalam memusnahkan musuh adalah memenggal kepala. Dengan memenggal kepala tercipta efek penggentar yang luar biasa yang menghancurkan moral musuh, walau juga bisa malah menimbulkan dendam yang sangat dalam. Seringkali setelah memenggal musuh, darah musuh yang masih melekat pada senjata pemenggal dijilat dan kerap pula kepala yang terlepas digantungkan di pendopo sebagai hiasan. Ini dilakukan untuk menangkal pembalasan roh korban, karena musuh harus ditundukkan baik tubuh maupun rohnya. Kebiasaan ini bisa ditemukan pada masa lampau di beberapa daerah di Kalimantan maupun Sumatera atau daerah lainnya lagi. Cara ini ditemukan setidaknya sampai masa pergolakan PRRI, yang melibatkan pelaku dari kelompok anti pusat maupun pro pemerintah pusat.

Guru ilmu pancung yang terkenal adalah tentara pendudukan Jepang, yang berkuasa di Indonesia 1942-1945. Siapa yang menentang akan segera dijatuhi hukum pancung dengan samurai. Salah satu tokoh politik yang bisa mengalami pancung leher adalah Amir Syarifuddin bila tertangkap. Tetapi dengan ‘jasa baik’ Soekarno yang dekat dengan penguasa militer Jepang, Amir Syarifuddin tak berlanjut dalam DPO. Pemancungan dengan samurai tak jarang pula terjadi karena ‘kesialan’ belaka. Seorang penduduk kota di Makassar, yang terburu-buru kembali ke rumahnya menjelang jam malam, berpapasan dengan seorang tentara Jepang yang sedang setengah mabuk. Tanpa banyak tanya, si mabuk langsung mencabut samurai dan menebas leher orang naas tersebut, sehingga kepalanya lepas menggelinding. Beberapa penduduk yang mengintip kejadiaan itu, tak mampu menahan kemarahan, berhamburan keluar mengeroyok tentara Jepang itu dan menyembelih lehernya. Tentu ada pembersihan oleh tentara Jepang sesudah itu. Tapi selain itu, peristiwa tersebut melahirkan cerita takhyul bahwa dua hantu tanpa kepala seringkali muncul di sana.

Saat Timor Timor masih berada pada masa integrasi, satuan tertentu tak jarang mempraktekkan pemenggalan kepala tokoh Fretilin yang tertangkap. Tidak dipenggal langsung hidup-hidup, tetapi ditembak mati dulu lalu dipisahkan kepala dari tubuhnya. Kepala itu lalu ditenteng untuk dipertontonkan kepada penduduk. Namun Fretilin tak kalah kejinya, di tahun 1986 seorang perwira pertama TNI-AD yang tertawan dikerat lepas bagian atas batok kepalanya, dikeluarkan isinya, diganti dengan beras lalu ditutup kembali dengan peci militernya. Sang perwira lalu diletakkan tersandar di tepi jalan di luar kota Dili, dengan secarik kertas bertulis ’Ini nasib si pemakan beras’. Kekejaman memang menjadi milik kedua belah pihak dalam suatu peperangan.

Di Sulawesi Selatan pada masa bergolak 1950-1964, yakni pada masa adanya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar (maupun petualangan TKR Osman Balo dalam jangka waktu yang lebih singkat), pemisahan kepala dengan tubuh dilakukan tidak dengan cara memancung melainkan dengan penyembelihan. Pada masa itu, kerapkali terjadi ‘perang’ yang melibatkan tiga pihak –tentara, DI-TII dan rakyat. Rakyat menjadi pihak ketiga, karena seringkali mengalami kekejaman baik dari tentara maupun dari gerombolan, saat dituduh membantu salah satu pihak. Entah mengapa, dalam eliminasi dan pembalasan dendam di antara tiga pihak, cara menyembelih menjadi salah satu pilihan favourite.

Terbaru barangkali adalah pergolakan Aceh di masa pemberontakan GAM. Kekejaman dan pelanggaran HAM disebutkan terutama dilakukan oleh pasukan pusat. Tapi tak bisa disangkal kekejaman yang sama juga telah dilakukan oleh pihak GAM. Sekali lagi, kekejaman memang menjadi milik semua pihak dalam suatu konflik kekerasan.

SEMUA yang dikisahkan pada beberapa alinea di atas adalah cerita lampau. Sebagai suatu peristiwa lampau, semestinya ia sudah ikut terkubur bersama berlalunya waktu. Maka sungguh mencemaskan bila masih selalu terjadi kekerasan-kekerasan, terutama bila kekerasan itu beraroma kekejaman primitif yang seakan kembali menjelma. Artinya, kita masih gagal dalam pembangunan sosiologis, gagal mencerdaskan dan mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Kita gagal membangun budaya penyelesaian masalah melalui jalur hukum. Bagaimana tidak gagal, bila pemerintah dan kalangan penguasa negara pada umumnya justru tidak memiliki peradaban hukum itu sendiri? Tidak memiliki pemahaman tentang kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya. Bahkan mungkin sudah bisa disebutkan sebagai perusak utama terhadap kebenaran dan keadilan itu sendiri, yang membuat rakyat putus asa, tidak percaya kepada establishment, dan akhirnya tersudut dalam pilihan mau tak mau melawan dan melawan, dengan segala eksesnya……

PENGUASA agaknya telah memisahkan tubuh dengan kepala rakyatnya, selain memisahkan tubuhnya dengan kepalanya sendiri. Padahal, kepala adalah tempat pusat pemikiran seorang manusia berada yang sekaligus sebagai pusat pengelolaan hati nurani.

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (2)

KETIKA melapor kepada Ahmad Yani, beberapa jam kemudian pada hari Kamis petang 30 September 1965 itu, selain menyampaikan laoran pertemuannya dengan Sudisman dan Aidit tiga hari sebelumnya, Sugandhi juga menyampaikan pembicaraannya dengan Soekarno pagi itu. Siangnya Sugandhi sebenarnya berusaha bertemu langsung dengan Ahmad Yani, tapi tidak berhasil karena Yani ada acara di luar Markas Besar AD, sehingga malamnya barulah ia bisa melapor dan itu hanya per telepon. Itupun, pada mulanya telepon Sugandhi hanya ditampung oleh ajudan, karena Yani sedang menerima tamu, Mayjen Basoeki Rachmat. Di kalangan kolega dan atasan, Sugandhi dikenal sebagai seorang yang banyak humor. Kedekatannya secara pribadi dengan Soekarno diketahui dengan baik oleh para kolega dan atasan, termasuk Yani. Meskipun kerap ‘usilan’ dan ‘bandel’ ia termasuk disayangi oleh Soekarno. Apakah pengenalan Yani terhadap Sugandhi itu, mempengaruhi daya dan cara cerna Yani terhadap apa yang disampaikan Sugandhi ?

SOEKARNO-OMAR DHANI-AHMAD YANI. “..saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi mengenai dirinya, dan masih meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengenadlikan PKI” (Repro).

Menurut Sugandhi, saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi PKI mengenai dirinya, dan meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengendalikan PKI. Bahwa Soekarno akan menegur atau mendamprat dirinya, Yani sudah tahu dan siap, karena ia sudah mendapat pemberitahuan dari istana untuk menghadap Panglima Tertinggi Jumat pagi 1 Oktober 1965. Pemberitahuan disampaikan oleh Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah satu ajudan Presiden. Perlu dicatat bahwa secara samar-samar, sebenarnya Yani telah pula mendengar informasi bahwa ada kemungkinan Soekarno akan mencopotnya dari jabatan Menteri/Pangad. Dan sebuah informasi amat rahasia yang juga diterima Yani, bahwa setelah itu ia akan ‘dilempar’ ke atas, meskipun belum jelas ke sebelah mana. Apakah akan mengulangi pola mutasi sebelumnya, sekali lagi akan menggantikan posisi Abdul Harris Nasution, namun dalam kadar kewenangan lebih lemah ? Menurut Drs Achadi, salah seorang menteri dalam kabinet Soekarno, Yani akan diangkat menjadi Waperdam IV suatu posisi baru yang diciptakan Soekarno khusus untuk Achmad Yani.

Berdasarkan pembicaraan per telepon dengan Yani, saat itu Sugandhi mendapat kesan, rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Soekarno. Tentang ucapan-ucapan Sudisman dan Aidit yang katanya akan memukul dan memberi pelajaran pada para pimpinan Angkatan Darat, dinyatakan Yani sebagai provokasi dan pancingan. Untuk apa? Agar Angkatan Darat mengambil tindakan terhadap PKI untuk kemudian dimanfaatkan sebagai momentum mendiskreditkan Angkatan Darat dan dipersalahkan Soekarno. Meskipun pada mulanya Sugandhi pun tidak punya pikiran ‘berat’ mengenai ucapan Sudisman dan Aidit, tanggapan Yani mengenai hal itu, lagi-lagi dianggap Sugandhi sebagai tanda terlalu percaya diri. Tapi tentu saja tak ada lagi yang bisa lebih jauh dilakukannya atas sikap sang Panglima Angkatan Darat itu. Dengan Sugandhi petang itu, Yani tak menyinggung telah adanya laporan-laporan intelijen mengenai rencana-rencana gerakan dalam waktu dekat, dari pihak PKI misalnya, meskipun Yani dengan nada biasa saja sempat mengatakan “kita harus berhati-hati” terhadap PKI dan kawan-kawannya yang mengelilingi Pemimpin Besar Revolusi. Padahal, di antara laporan intelijen yang disampaikan Asisten I Intelijen Mayor Jenderal Soewondo Parman beberapa waktu sebelumnya, ada satu bagian yang semestinya berkategori sangat penting, yakni rencana suatu gerakan, yang DDaynya adalah tanggal 19 atau 20 September 1965, didorongkan oleh PKI untuk mengeliminasi sejumlah perwira teras Angkatan Darat. Adalah menarik, bahwa dalam daftar tersebut tercantum pula nama Mayjen Soeharto, Mayjen Mursjid dan Brigjen Sukendro –yang kemudian ternyata tak disentuh sama sekali.

Sebenarnya, bagi Yani laporan Sugandhi pada 30 September 1965 itu, adalah laporan yang sepenuhnya ‘basi’, karena bahkan laporan Suwondo Parman yang menyebutkan D-Day 18 atau 20 September telah berlalu sepuluh hari tanpa ada kejadian apa pun. Sedangkan laporan Sugandhi, secara objektif bisa saja dianggap kurang masuk akal, karena apakah Sudisman dan Aidit bisa begitu naif menyampaikan rencana gerakan mereka begitu saja? Lagipula, terminologi dalam ‘dua-tiga hari ini’ yang disampaikan Sugandhi itu, jauh lebih tidak definitif tentang timing dibandingkan laporan Asisten Intelijen, Mayor Jenderal Soewondo Parman. Asisten intelijen ini juga sempat melaporkan desas-desus tentang rencana penculikan sejumlah jenderal. Soewondo Parman menerima laporan ini antara lain dari Brigjen Yoga Soegama, perwira yang ditarik Pangkostrad Soeharto dari pos atase pertahanan Kedutaan Besar RI di Beograd Jugoslavia. Mayor Jenderal Soewondo Parman, yang meminta dukungan bukti dari laporan Yoga itu, menganjurkan Yoga untuk mencari bukti setelah Yoga menyatakan belum punya bukti. Yoga menjanjikan akan menyelidiki lebih jauh. Tapi sepanjang yang dapat dicatat, tidak lagi pernah kembali melapor kepada S. Parman membawa bukti-bukti, sampai penculikan ternyata betul-betul terjadi 1 Oktober 1965 dinihari.

Selain memberi informasi, justru menurut Soebandrio dalam memoarnya (‘Kesaksianku tentang G30S’, 2000) Yoga juga menyampaikan pesan Soeharto agar Soewondo Parman untuk berhati-hati sehubungan dengan isu penculikan. Terhadap penyampaian pesan ini, Soebandrio memberikan konotasi tertentu terkait dengan analisa pribadinya mengenai adanya peranan khusus Mayjen Soeharto dalam terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Soebandrio menggambarkan adanya klik khusus yang terdiri dari tiga perwira eks Diponegoro, terdiri dari Mayjen Soeharto, Brigjen Yoga Soegama dan Kolonel Ali Moertopo. Mereka ini sejak awal telah ‘bergiat’ dalam pengaturan posisi dan kepentingan khusus dalam kekuasaan, yang bermula antara lain dalam soal jabatan Panglima Kodam Diponegoro, beberapa tahun yang lalu.

Beberapa waktu sebelumnya, dalam suatu pertemuan langsung dengan Sugandhi, Yani juga sempat menyampaikan dengan nada serius –lebih tepatnya menyampaikan kejengkelan– tentang adanya perwira-perwira Angkatan Darat yang mencantelkan diri ke mana-mana, termasuk ke partai-partai politik, seperti pada PKI misalnya, karena ambisi pribadi. Termasuk yang mengincar jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam bahasa Jawa, Yani menyampaikan juga agar Sugandhi jangan seperti beberapa perwira yang kebetulan bisa dekat ke Panglima Tertinggi, lalu menjelek-jelekkan pimpinan Angkatan Darat dengan harapan bisa mendapat tempat. Waktu itu, Yani sempat menyebut beberapa nama.

Posisi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam rangka pertarungan kekuasaan di seputar Soekarno kala itu, posisi pimpinan Angkatan Darat memang merupakan salah satu sasaran incaran, baik berdasarkan strategi politik, maupun perkawinan kepentingan politik dengan ambisi pribadi. Terkait nama Soeharto, menurut penuturan Siti Suhartinah Soeharto, pernah ada –lebih dari sekali, dengan cara yang berbeda-beda– yang menyampaikan semacam ‘pancingan’, “bagaimana kalau pak Harto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat?”. Itu, karena sebagai Panglima Kostrad, Jenderal Soeharto selalu mewakili Menteri Pangad dalam berbagai acara, bilamana Yani berhalangan. Pelantikan Brigjen Soemitro sebagai Panglima Mulawarman Februari tahun 1965 di Kalimantan Timur umpamanya, dilakukan Mayjen Soeharto mewakili Menteri Panglima Angkatan Darat. “Itu kami anggap tidak mungkin, pak Yani kan masih ada”, demikian ibu Tien, “dan apa dikira menjadi Pangad itu gampang ? Saya sendiri, sebagai isteri, terus terang merasa tidak sanggup. Saya sudah merasakan setiap kali pak Yani pergi, pak Harto itu mewakili, sehingga saya pun ikut menjalani sebagai pendamping wakil Pangad”. Sebenarnya, memang ada semacam tatacara yang merupakan kebiasaan dan disepakati, antara Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan Mayor Jenderal Soeharto, bahwa dalam keadaan tertentu bila Menteri Pangad berhalangan maka Panglima Kostrad –dahulu Kostrad dikenal sebagai Tjaduad, Cadangan Umum AD– yang akan mewakili sebagai pimpinan Angkatan Darat. Suatu kebiasaan yang merupakan kelanjutan kebiasaan masa masih berlakunya SOB. Presiden Soekarno pun mengetahui hal ini. Bahwa kemudian, dalam konteks tersebut Soeharto kerap disebut-sebut sebagai pengganti Yani kelak, tentulah tidak mengherankan. Selain itu, beberapa jenderal AD lainnya merasa bisa membaca ‘bahasa tubuh’ Soeharto dan menyimpulkan bahwa keinginan seperti itu ada juga pada diri Soeharto betapa pun samarnya. Sebenarnya, Mayor Jenderal Soeharto adalah seorang yang tak mudah ‘dibaca’, apalagi dengan sekedar melihat ekspresi wajahnya dan atau sekedar berdasarkan ucapannya secara harfiah.

Namun, di samping nama Soeharto, sampai September 1965 itu, beredar pula sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon kuat untuk menjadi Menteri Panglima AD, terutama karena kedekatan secara pribadi dan langsung dengan Soekarno, ataupun karena ‘dukungan’ kekuatan politik aktual. Beberapa tokoh PKI berkali-kali menyampaikan nama Mayor Jenderal Pranoto sebagai kandidat. Sementara itu Soekarno sendiri pernah berbicara dengan nada menjanjikan jabatan Menteri Panglima AD itu kepada beberapa jenderal yang memegang komando, di antaranya yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, salah satu divisi terkemuka dan paling diperhitungkan kala itu. Nama Gatot Soebroto, yang pernah jadi Wakil Kasad, yang punya kedekatan khusus dengan Soekarno, jauh hari sebelumnya juga pernah disebut-sebut. Hanya saja, Letnan Jenderal Gatot Soebroto meninggal tahun 1962. Tapi menjelang akhir September 1965, muncul nama ‘baru’, ketika beredar kuat berita bahwa Soekarno akan mengangkat Mayor Jenderal Mursjid sebagai Menteri Pangad yang baru dan hal itu akan disampaikan Soekarno kepada Yani yang menurut jadwal menghadap pada 1 Oktober pagi.

Nama-nama yang disebut sebagai calon pengganti Yani, pada umumnya diketahui tidak punya kedekatan dengan Yani, untuk tidak secara terbuka menyebutnya sebagai rival Yani selama beberapa tahun terakhir. Mayor Jenderal Soeharto misalnya, tak punya faktor kedekatan subjektif dengan Yani, kecuali kedekatan objektif yang semata-mata dalam kerangka masalah kedinasan. Bahkan diantara kedua jenderal itu ada ganjalan yang berasal dari masa lampau. Tatkala menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto terlibat kasus yang dinilai sebagai penyimpangan –barter gula dengan beras ke Singapura– yang dilakukan bersama pengusaha Liem Soei Liong dan Bob Hasan. Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter adalah untuk membiayai beberapa kebutuhan Kodam, antara lain untuk kesejahteraan prajurit, tetapi laporan dari beberapa perwira bawahannya menyatakan tidak demikian. Yani yang waktu itu menjadi salah satu Asisten Kasad, amat marah dan mengusulkan kepada Kasad Nasution agar Soeharto dipecat. Bahkan Yani digambarkan sempat melakukan sentuhan fisik. Pemecatan urung, padahal naskah Surat Keputusan itu –yang diajukan Kasad Nasution– sudah di meja Presiden Soekarno, karena Wakil Kasad Mayjen Gatot Soebroto maju membela Soeharto dan menyatakan Soeharto masih bisa dibina. Nyonya Siti Suhartinah dikabarkan ikut ‘berjuang’, menemui Gatot Soebroto memohon bantuan untuk menyelamatkan karir suaminya, dan berhasil.  Soeharto hanya harus melepaskan jabatannya sebagai Panglima Diponegoro dan masuk pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) Bandung, yang kala itu dipimpin Brigjen (kemudian, Mayjen) Soewarto.

Pranoto dan Mursjid, yang juga disebutkan namanya untuk posisi Panglima AD, jelas ada pada posisi dan ‘aspirasi politik’ yang berseberangan dengan Yani. Sedangkan menyangkut Ibrahim Adjie, situasinya tak terlepas dari rivalitas yang cukup kuat di antara tiga divisi terkemuka di pulau Jawa –bahkan di seluruh Indonesia– yakni Siliwangi-Diponegoro-Brawidjaja, meskipun umumnya berlangsung di bawah permukaan. Tapi pada tahun 1963-1964 sampai pertengahan 1965, Siliwangi sedang di atas angin karena keberhasilannya dalam mengakhiri pemberontakan DI-TII berturut-turut di Jawa Barat dan kemudian Sulawesi Selatan. Di Jawa Barat Kartosoewirjo tertangkap dan di Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar disergap dan tertembak mati 4 Pebruari 1965. Bahkan atas instruksi Soekarno kepada Yani, Divisi Siliwangi diberikan penghargaan Sam Karya Nugraha, yang penyerahannya dilakukan di Bandung 25 Agustus 1965.

Berlanjut ke Bagian 3

 

Pancasila dan Piagam Jakarta (2)

UNTUK seberapa lama, Kahar Muzakkar dan para gerilyawan itu bergerak sebagai ‘barisan sakit hati’, tahun 1951-1952, tanpa suatu ideologi perjuangan. Motivasi perjuangan Kahar dan kawan-kawan adalah kebencian terhadap dominasi Jawa dan Minahasa yang menduduki seluruh posisi penting dalam jabatan sipil maupun militer di Sulawesi Selatan. Sesuatu yang tak terlepas dari permainan politik dan kekuasaan di tingkat pusat, saat di mana semua golongan sedang bergulat untuk menetapkan posisinya sendiri di dalam negara baru ini. Ketika bergerak di hutan-hutan, Kahar didekati sejumlah kader komunis agar memilih ideologi tersebut sebagai dasar perjuangan. Namun akhirnya ia memilih untuk bergabung dengan DI/TII dan NII SM Kartosoewirjo, terutama karena para anakbuahnya menolak digunakannya ideologi kiri itu. Meskipun pendekatan intensif dengan SM Kartosoewirjo telah dilakukan sejak bulan-bulan terakhir 1952, barulah pada bulan Agustus 1953, Kahar Muzakkar memproklamirkan pasukannya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang berbasis di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Begitu bergabung dengan NII, kader-kader komunis yang selama ini mencoba ‘membina’nya dieksekusi mati.

Untuk menghadapi perlawanan Kahar Muzakkar di bawah bendera NII, pemerintah pusat mengirim pasukan-pasukan TNI dari Jawa Timur (Brawijaya) dan Jawa Tengah (Diponegoro) yang beberapa perwiranya berkecenderungan berhaluan kiri dan kebetulan terdiri dari kaum abangan. Kekerasan yang mengarah kejam, yang kerapkali diperlihatkan pasukan-pasukan dari Jawa ini, bukan hanya kepada pasukan DI/TII tetapi juga kepada rakyat pedalaman Sulawesi Selatan, merupakan persoalan baru yang makin mengobarkan kebencian kesukuan, yang untuk sebagian justru menguntungkan Kahar Muzakkar. Namun karena pasukan DI/TII seringkali juga bersikap keras dan kejam terhadap rakyat yang dituduh membantu TNI, maka pada hakekatnya terjadi perang segitiga: TNI-DI/TII-Rakyat. Selain itu secara internal, juga seringkali terjadi bentrokan bersenjata antara kesatuan-kesatuan TNI itu sendiri, yakni antara ‘pasukan Jawa’ versus ‘pasukan Bugis-Makassar’, atau bahkan antar batalion sesama Sulawesi Selatan. Kita bisa melihat bahwa persoalan agama bukan satu-satunya alasan dan bukan persoalan utama yang melatarbelakangi pertengkaran di Sulawesi Selatan, melainkan juga masalah kepentingan kekuasaan dan masalah kesukuan yang bercampuraduk.

Sebelum pasukan Kahar menjelma menjadi DI/TII, situasi sosial-politik Sulawesi Selatan tak kalah rumitnya. Menarik untuk meminjam sebuah pemaparan Barbara Sillas Harvey dalam Rebellion, berikut ini. Sebulan setelah Peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta, tepatnya 16 November 1952, menurut Barbara, Letnan Kolonel Warouw sebagai Kepala Staf TT-VII (Indonesia Timur dengan kedudukan di Makassar) mendaulat komandan Jawa, Kolonel Gatot Soebroto, yang telah menegaskan sokongannya pada Kolonel AH Nasution serta tantangannya terhadap Presiden Soekarno. Tindakan Warouw didorong oleh Soekarno, dan terlihat setidak-tidaknya mendapat sokongan diam-diam dari Gubernur Soediro (orang Jawa dan anggota PNI).

Reaksi rakyat di Makassar atas tahanan rumah  bagi Gatot dan tahan asrama bagi polisi militer Jawa yang cukup besar (CPM), menangkap inti dimensi daerah dalam peristiwa ini: “Orang-orang Jawa dilucuti orang Manado”. Sokongan perwira-perwira Minahasa kepada Warouw tampaknya teguh, baik di antara perwira-perwira TT-VII di Makassar maupun di antara mereka yang bertugas pada RI-24 di Manado. Perwira-perwira Sulawesi Selatan menyokong Gatot atau paling kurang, tidak mau terlibat. “Pemihakan ini bisa dijelaskan dari segi kepentingan-kepentingan tertentu para perwira dari kedua daerah pada ketika itu. Perwira-perwira Minahasa bangga atas warisan militer dari daerah mereka, tetapi menyadari fakta bahwa sebagai suatu minoritas Kristen yang tadinya pernah disenangi Belanda, mereka sering dicurigai oleh mayoritas Islam. Mereka mungkin menganggap pengangkatan Gatot sebagai panglima merupakan suatu ancaman campur tangan Jawa ke dalam suatu wilayah, yang mereka yakini semestinya sebagai daerah mereka. Mereka juga mungkin takut pada suatu persekongkolan orang-orang Jawa dan Sulawesi Selatan terhadap mereka”.

Perwira-perwira Bugis dan Makassar, pada pihak lain, berjumlah lebih kecil, dan pada umumnya berpendidikan lebih rendah. Mereka tidak bisa mengharap ketika itu akan dapat bertahan tanpa bantuan dari saingan mereka dari utara. “Mereka mungkin telah berpikir menurut kepentingan mereka sendiri bekerjasama dengan orang-orang Jawa untuk menghalangi dominasi orang-orang Minahasa di TT-VII”.

Salah seorang tokoh militer asal Sulawesi Selatan, Mayor Muhammad Jusuf, perwira pertama di daerah itu yang masuk Sekolah Staf dan Komando AD di Bandung dan juga pertama kali dilatih di luar negeri (di Fort Benning, AS) menganggap kekacauan berlarut-larut yang antara lain diiringi masalah kesukuan di Sulawesi Selatan membahayakan persatuan Indonesia. Sementara itu, fakta bahwa pasukan-pasukan yang ditugaskan ‘membasmi’ pemberontakan di Sulawesi Selatan adalah pasukan-pasukan Jawa, dieksploitir oleh Kahar Muzakkar dengan menggunakan retorika anti Jawa untuk menarik dukungan rakyat setempat bagi perjuangannya. Kahar mengobarkan retorika bahwa hendaknya Sulawesi Selatan dipimpin dan diatur oleh putera-putera daerah sendiri. In terutama ditujukan kepada orang Jawa, tetapi sekaligus juga ditujukan kepada orang-orang Minahasa yang berbeda agama, yang mendominasi jabatan-jabatan sipil dan militer di Sulawesi Selatan.

Muhammad Jusuf sendiri ikut mengembangkan pendapat bahwa sebaiknya putera daerah lah yang mengurus daerahnya sendiri. Ketika pulang dari pendidikan di Fort Benning AS, pada tahun 1956, ia pernah dibentur pernyataan dari pemegang baru komando militer di Sulawesi Selatan, Kolonel Herman Nicolas (Ventje) Sumual, bahwa tak ada posisi yang terbuka bagi Jusuf di TT-VII.

Menurut pengakuan Kahar Muzakkar kepada orang-orang dekatnya selama bergerak di hutan-hutan Sulawesi Selatan, ia pernah menyurati Presiden Soekarno mengusulkan mengeluarkan dekrit mengganti dasar negara Pancasila dengan falsafah Ketuhanan berdasarkan Al Qur’an maupun kitab suci agama lainnya yang berlaku bagi pemeluknya masing-masing. Ini mirip dengan apa yang dimaksudkan Piagam Jakarta. Tak ada saksi sejarah yang bisa menguatkan keberadaan surat Kahar kepada Soekarno ini. Mungkin saja surat itu pernah dilayangkan setelah Kahar menyatakan bergabung dengan DI/TII, tapi tipis kemungkinan bahwa itu dilakukan sebelumnya, karena sewaktu berada di Pulau Jawa, Kahar lebih banyak bergaul dengan perwira-perwira berhaluan kiri –dan sempat sedikit terpengaruh– daripada dengan kalangan berlatarbelakang keagamaan.

Kalau ada latar belakang Islam, itu justru diperoleh Kahar semasa bersekolah di Sekolah Guru Islam Muhammadiyah tahun 1937-1940. Muhammadiyah dikenal kala itu sebagai organisasi Islam pembaharu. Sejenak kembali ke daerah kelahirannya Luwu, Kahar yang lahir 24 Maret 1921 dengan nama La Dommeng di desa Lanipa tak jauh dari kota Palopo, sempat mengajar di Sekolah Muhammadiyah setempat. Karena suatu hal, Kahar di-‘persona non grata’-kan di daerahnya, sehingga ia memutuskan kembali ke Surakarta tahun 1943. Dan pada waktu revolusi bersenjata dimulai di masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi 1945, Kahar menggabungkan diri dengan kalangan perjuangan di sana. Ia aktif di KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) sebagai Sekertaris. Tahun 1948 ia sempat diangkat sebagai Wakil Komandan Brigade XVI. Sewaktu ditugaskan ke Sulawesi Selatan Juni 1950 untuk menyelesaikan soal gerilyawan (kasus CTN), Kahar adalah Komandan Komando Group Seberang –penamaan untuk pasukan-pasukan non-Jawa.

KH Achmad Marzuki Hasan, mantan Kepala Perwakilan Kementerian Penerangan DI/TII Sulawesi Selatan menceritakan kepada Majalah Islam Sabili (Juli 2004), ketika bergerak di hutan, Kahar Muzakkar pernah mengatakan padanya bahwa seandainya Piagam Jakarta diberlakukan, maka Kahar takkan masuk hutan. Penuturan ini sedikit artifisial karena faktanya Kahar masuk hutan oleh persoalan lain yang terkait ‘sakit hati’ dan barulah setelah tiga tahun dalam hutan ia bergabung dengan DI/TII dan NII pimpinan SM Kartosoewirjo.

DARI seluruh catatan sejarah tentang Negara Islam Indonesia, kita bisa melihat bahwa tokoh yang boleh dikata bergerak merebut kekuasaan berdasarkan keyakinan ideologis, hanyalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Itupun sedikitnya masih dilatarbelakangi kekecewaan kegagalan dalam persaingan posisi di tubuh angkatan bersenjata di awal kemerdekaan. Dalam pada itu, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar dan Kahar Muzakkar adalah tokoh-tokoh yang beralih ke perjuangan atas nama Islam karena pengalaman pribadi berdasarkan kekecewaan kepada kekuasaan negara per waktu itu. Daud Beureueh berkali-kali ‘kembali’ ke pangkuan negara melalui negosiasi. Dalam Pemilu 1971 ia digunakan dalam kampanye Golkar. Ibnu Hadjar menyerahkan diri. Kahar Muzakkar pun berkali-kali terlibat perundingan dengan pemerintah, namun selalu gagal, dan akhirnya tertembak mati 3 Februari 1965. Tetapi adalah menarik bahwa sentimen keagamaan itu hingga kini tetap dipakai sebagai senjata untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta, atau cita-cita mendirikan Negara Islam, atau setidaknya memasukkan syariah sebagai bagian dalam pengaturan negara.

SM KARTOSOEWIRJO. “Dari seluruh catatan sejarah tentang Negara Islam Indonesia, kita bisa melihat bahwa tokoh yang betul-betul bergerak sepenuhnya merebut kekuasaan berdasarkan keyakinan ideologis, hanyalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Dalam pada itu, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar dan Kahar Muzakkar adalah tokoh-tokoh yang beralih ke perjuangan atas nama Islam karena pengalaman pribadi berdasarkan kekecewaan kepada kekuasaan negara per waktu itu”.

Bila SM Kartosoewirjo tetap menjadi seorang die hard yang menebus keyakinannya dengan nyawanya di tahun 1962, banyak tokoh baru dengan hanya sedikit pengecualian, tidak berjuang sampai mati, melainkan hanya sampai saat kalangan penguasa berhasil melakukan negosiasi yang memberi keuntungan duniawi bagi mereka –harta, kedudukan dan yang semacamnya. Pengikut-pengikutnya dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, banyak berkolaborasi dengan kalangan kekuasaan negara, entah sebagai bagian dari operasi intelejen, entah sebagai bagian dari pembinaan politik dengan imbalan fasilitas atau yang semacam itu. Gerakan Aceh Merdeka berakhir dengan kompromi berupa NAD yang memberi kesempatan tokoh-tokoh GAM turut serta dalam kekuasaan setempat. Maka menarik untuk melihat lebih jauh, akan termasuk ke dalam kategori manakah Abu Bakar Ba’asyir dengan JI nantinya?

Pemerintah semestinya tak membiasakan diri melakukan ‘perdagangan politik’ semacam ini. Pemerintah sebenarnya tak perlu terlalu panik bila menghadapi berbagai move yang mengatasnamakan agama. Bila pemerintah awas dan teliti memberantas akar-akar permasalahan, dan tegas menegakkan hukum, masyarakat takkan terlalu ‘menderita’ dengan gangguan-gangguan semacam teror bom atau rekrutmen ala NII yang terjadi belakangan ini. Lain soal, kalau ada kalangan penguasa sendiri yang memanfaatkan situasi sebagai lahan keuntungan politik dan keuntungan finansial: Ada masalah, ada anggaran.

NAMUN, terlepas dari itu, ada suatu masalah jangka panjang yang serius. Saat ini, sangat terbatas tokoh kalangan kekuasaan yang memiliki pemahaman konseptual tentang apa yang dihadapi bangsa dan negara ini, maupun pemahaman tentang rasionalitas politik di Indonesia. Mereka lebih banyak ‘bermain-main politik’ daripada menjalankan politik sesungguhnya sebagaimana harusnya. Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia hingga kini, menurut Dr Marzuki Darusman SH, terdapat tiga perdebatan politik yang mengemuka dan yang membangun kerangka rasionalitas politik di Indonesia. Perdebatan-perdebatan ini untuk sebagian bertalian dengan pertanyaan-pertanyaan geopolitik internasional tentang pengenalan mengenai hakikat suatu negara atau pemerintahan di dunia. Pertama, apakah Indonesia adalah negara sekuler atau suatu negara di mana lembaga-lembaga agama tidak predominan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, apakah kita adalah negara majemuk atau multikultural. Ketiga, apakah kita adalah negara dan bangsa yang pada dasarnya berpaham sosial-demokrat atau liberal.

Tiga perdebatan definitif ini menggelar penalaran –interpretasi, justifikasi dan argumentasi– publik Indonesia. Jika politik rasional, maka dimungkinkan tindaklan-tindakan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dan beradab. Perdebatan-perdebatan itu bukanlah menggambarkan suatu tahap sejarah atau fase perkembangan bangsa Indonesia, dalam arti mempertanyakan apakah kita sudah atau akan menjadi negara atau bangsa yang semestinya kita ‘menjadi’. Artinya, apakah kita perlu menggali jauh ke masa lampau dan mendapatkan kembali apa yang diidentifikasi sebagai ‘ke-Indonesia-an’ kita, seperti yang diprakarsai oleh almarhum Nurcholis Madjid dalam upaya menasionalkan pemahaman agama? Atau, dapatkah akhirnya kita memandang keunikan kita sebagai bangsa dalam wujud prose ‘menjadi’ yang transformatif? Di sinilah Pancasila dapat dan perlu didayagunakan memenuhi peranannya yang ideologis. Peranan itu adalah menghubungkan kekuatan-kekuatan sosial dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan politik.

Pancasila dan Piagam Jakarta (1)

SETIAP kali Indonesia terbentur peristiwa-peristiwa keras karena kehadiran gerakan-gerakan ekstrim yang membawakan ideologi ekstra, semacam komunisme maupun ideologi politik Islam, atau saat keselamatan konsep NKRI ‘terancam’, orang lalu teringat dan mulai kembali menyebut-nyebutkan Pancasila. Setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dipatahkan pada 1 Oktober 1965, maka tanggal itu setiap tahun diingat dan dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Tapi kaum komunis bukan satu-satunya pemegang lisensi gerakan membahayakan Pancasila, UUD 1945 dan Pancasila meskipun mereka telah melakukan dua kali pemberontakan kepada Republik Indonesia, G30S di tahun 1965 dan Pemberontakan Madiun 1948. Kelompok yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, juga tercatat sebagai pemegang lisensi ancaman bagi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Mulai dari gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo –yang diikuti Kahar Muzakkar, Daud Beureueh, Amir Fatah dan Ibnu Hadjar– yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia Agustus 1949, sampai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang baru usai melalui jalan kompromi di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir sejajar namun tak selalu bisa begitu saja disamakan dengan DI/TII dan NII, adalah gerakan-gerakan politik yang masih selalu memperjuangkan dimasukkannya kembali Piagam Jakarta ke Pembukaan UUD 1945. Sementara itu, kelompok anti komunis di tubuh TNI juga pernah mengobarkan pemberontakan, PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi pada akhir limapuluhan. Belum lagi gerakan separatis semacam RMS dan OPM.

Persoalan Piagam Jakarta, sebenarnya adalah sebuah peristiwa politik yang secara formal telah selesai 18 Agustus 1945 saat sejumlah pemimpin politik berlatar belakang Islam sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari konsep pembukaan UUD 1945. Namun akibat ketidakmatangan kenegarawanan lapisan para pemimpin politik baru di masa-masa berikutnya, permasalahan ternyata tidaklah berakhir pada tanggal itu.

Tatkala Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang juga dikenal dengan nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai sampai kepada tahap sidang membicarakan beginsel (dasar) “negara kita”, Ir Soekarno menjadi salah satu penyampai gagasan, yakni melalui pidato 1 Juni 1945. Dalam menyampaikan konsep dasar negara yang diusulkannya, Soekarno memulai dengan butir kebangsaan. Berikutnya berturut-turut ia menyampaikan butir-butir internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi dan kesejahteraan sosial, lalu yang terakhir Tuhan Yang Maha Esa atau Ketuhanan. Di antara sekian penyampaian, yang mendapat sambutan paling antusias memang adalah pidato Ir Soekarno. Tercatat ada 12 kali tepuk tangan menggema saat ia menyampaikan pidatonya itu dengan gaya seorang orator ulung. Namun, menurut sejarawan Anhar Gonggong, setelah pidato Ir Soekarno itu, “anggota BPUPKI tampak ‘terbelah’, dalam arti ada anggota yang sepenuhnya menerima rumusan ‘calon dasar negara’ yang diajukan anggota Ir Soekarno itu, tetapi di lain pihak terdapat sejumlah anggota yang tidak sepenuhnya menerima, dan menghendaki perubahan rumusan walau tetap berdasar  pada apa yang telah dikemukakan anggota Ir Soekarno itu”.

Untuk mempertemukan dua kutub pendapat, yakni golongan nasionalis sekuler dan golongan nasionalis Islami, Ketua BPUPKI Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat berinisiatif membentuk Panitia Kecil yang seringkali juga disebut Panitia Sembilan karena memang anggotanya terdiri dari sembilan orang. Panitia Kecil ini diketuai Ir Soekarno dengan wakil ketua Drs Mohammad Hatta. Tujuh anggota lainnya adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, H. Agoes Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Muhammad Yamin, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso dan Achmad Soebardjo. Dalam serangkaian rapat, dirumuskan suatu formula yang memberi tempat bagi aspirasi golongan Islam, yaitu, “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, terdiri dari tujuh kata. Selain itu, Panitia Sembilan juga menempatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama, yang oleh Soekarno tadinya ditempatkan di bagian belakang. Adalah Mohammad Yamin yang memberi penamaan Piagam Jakarta bagi rumusan itu. Dalam piagam yang dipersiapkan sebagai bagian pembukaan UUD ini, tidak digunakan penamaan Pancasila bagi lima butir dasar negara yang di kemudian hari dinamakan Pancasila, meskipun rumusannya ditulis lengkap. Begitu pula dalam Pembukaan UUD 1945 nanti.

Pengusul dari 7 kata di alinea terakhir draft konsep Pembukaan UUD itu adalah wakil golongan Islam, dengan pengertian bahwa kewajiban itu hanya berlaku bagi para pemeluk agama Islam dan tidak mewajibkan bagi yang lain di luar itu. Tapi secara teoritis ketatanegaraan, ada anggapan bahwa bila negara mewajibkan sesuatu hanya untuk sebagian warganegaranya, maka itu berarti diskriminatif. Negara tak boleh melakukan pengecualian, tetapi harus mengatur semua warganegara secara keseluruhan. Terhadap rumusan Piagam Jakarta, menurut Dr Midian Sirait, dalam bukunya Revitalisasi Pancasila (Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2008), muncul penolakan dari kelompok Indonesia Timur yang dipimpin oleh Latuharhary. Kelompok ini datang menemui Mohammad Hatta, pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945. Mohammad Hatta menampung usulan untuk mencoret 7 kata itu, tapi tidak mengambil putusan sendiri. Ia terlebih dahulu menanyakan pendapat KH Wahid Hasyim –yang kelak menjadi Menteri Agama pertama Republik Indonesia, ayah dari KH Abdurrahman Wahid– salah seorang ulama yang menjadi anggota Panitia Sembilan. KH Wahid Hasyim mengatakan, tak apa bila 7 kata itu dicoret. H. Agoes Salim juga menyatakan bisa memahami pencoretan itu.

Sebenarnya di Panitia Sembilan, ada Mr Maramis yang juga hadir tatkala Piagam Jakarta dirumuskan. “Di kemudian hari, ketika ditanya, mengapa Mr Maramis menyetujui 7 kata, beliau menjawab, dirinya sedang mengantuk tatkala hal itu dibahas”. Atau mungkin Mr Maramis yang bukan muslim sebenarnya merasa ‘sungkan’ untuk menolak saat itu? “Namun terlepas dari itu, kita bisa melihat betapa para pendiri bangsa kita itu berkemampuan mengatasi itu semua dengan baik, terhindar dari sikap bersikeras, karena rasional dan betul-betul menghayati filosofi negara. Mereka semua berpendidikan barat, tetapi tetap taat kepada ajaran agama masing-masing, secara rasional”. Jadi tatkala mereka melihat secara filosofis bahwa bila sesuatu memiliki akibat-akibat tertentu bagi warganegara, dan menimbulkan suatu situasi diskriminatif, mereka bisa menentukan sikap secara tepat. Mereka memang para negarawan.

PADA saat Presiden Soekarno menyampaikan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, permasalahan menyangkut Piagam Jakarta juga tampil kembali. “Setiap ada perumusan pembukaan UUD 1945, persoalan itu pasti muncul kembali, yang terutama dilakukan oleh para pemimpin generasi baru yang agaknya belum memiliki pemahaman filosofis seperti yang dipahami KH Wahid Hasyim atau H. Agoes Salim”. Ketika persoalan itu muncul saat Dekrit 5 Juli 1959, suatu solusi diberikan oleh Mohammad Yamin dan Roeslan Abdoelgani, yaitu dengan menambahkan kalimat dalam dekrit bahwa langkah kembali ke UUD 1945 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Dengan rumusan seperti itu, Dekrit 5 Juli 1959 disetujui oleh kelompok politik Islam.

ABDUL KAHAR MUZAKKAR. “Kahar Muzakkar pemimpin DI/TII di Sulawesi Selatan, tadinya adalah seorang Letnan Kolonel asal daerah itu, yang selalu kecewa karena kalah dalam persaingan memperoleh posisi di tubuh TNI. Baik dengan perwira asal Minahasa, seperti Letnan Kolonel Warouw– yang merupakan rival bebuyutannya– maupun perwira-perwira Bugis seperti Kolonel Saleh Lahade dan Letnan Kolonel Andi Mattalata”. Foto Istimewa.

Selain keinginan memberlakukan Piagam Jakarta, terdapat pula beberapa gerakan untuk menjadikan Indonesia sebagai suatu negara berdasarkan agama. Gerakan yang paling menonjol tentu saja adalah gerakan bersenjata SM Kartosoewirjo yang dengan DI/TII-nya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada Agustus 1949 saat Republik Indonesia sedang mengalami kesulitan dalam usianya yang baru 4 tahun. Gerakan DI/TII mendapat pengikut di Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tapi bila dicermati, gerakan DI/TII di daerah-daerah itu bukanlah murni motif menegakkan Negara Islam, melainkan hasil komplikasi kepentingan pribadi dari para pemimpinnya masing-masing.

Daud Beureueh dari Aceh, adalah tokoh yang kecewa terhadap apa yang dianggapnya ‘ketidakadilan’ dalam penentuan posisi Gubernur Sumatera bagian Utara di tahun 1950. Pada waktu itu ada dua calon untuk mengisi posisi sebagai gubernur di propinsi Sumatera bagian Utara itu, yakni Daud Beureueh yang saat itu adalah Gubernur Militer Aceh dan Ferdinand Lumbang Tobing yang adalah Gubernur Militer Tapanuli. Tapi ternyata, pemerintah pusat memilih orang lain di luar mereka, yakni seorang tokoh yang tak begitu dikenal dan tak begitu diketahui jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, bernama Amin. Karena kecewa, Daud Beureuh menggabungkan diri dengan Kartosoewirjo dan membentuk DI/TII di Aceh. Ibnu Hadjar dari Kalimantan Selatan, membentuk DI/TII dan bergabung dengan NII Kartosoewirjo, juga karena kekecewaan pribadinya terhadap suatu masalah internal TNI di daerahnya.

Kahar Muzakkar pemimpin DI/TII di Sulawesi Selatan, tadinya adalah seorang Letnan Kolonel asal daerah itu, yang selalu kecewa karena kalah dalam persaingan memperoleh posisi di tubuh TNI. Baik dengan perwira asal Minahasa, seperti Letnan Kolonel Warouw– yang merupakan rival bebuyutannya– maupun perwira-perwira Bugis seperti Kolonel Saleh Lahade dan Letnan Kolonel Andi Mattalata. Kahar tidak punya ‘teman kuat’ yang bisa membantunya memperoleh posisi komando di Sulawesi Selatan yang menjadi obsesinya, dan hanya punya teman-teman di kalangan perwira berhaluan komunis. Namun ketika ada trouble dengan sejumlah ex gerilyawan yang pernah ikut perlawanan bersenjata melawan Belanda, Kahar dikirim oleh pemerintah pusat Juni 1950 untuk membujuk mereka. Bekas-bekas gerilyawan ini menuntut agar diakui sebagai pejuang kemerdekaan dan diterima ke dalam TNI. Bagi mereka, menurut Barbara Sillars Harvey –penulis buku mengenai Permesta dan buku tentang Kahar Muzakkar– sang Letnan Kolonel adalah adalah jagoan mereka. Tetapi sang jagoan yang diutus ini, malah ikut bergabung dengan para bekas gerilyawan yang justru harus dibujuknya keluar dari hutan. Di tahun 1951 sempat terjadi persetujuan, dengan memberi para gerilyawan itu status CTN (Corps Tjadangan Nasional). Tapi persetujuan ini separuh gagal separuh berhasil. Kahar Muzakkar bersama separuh dari pasukan gerilya itu kembali masuk hutan, sementara sebagian lainnya yang diterima masuk TNI disusun dalam 5 batalion dengan komandan-komandan mereka sendiri. Tetapi, “mereka tetap saja menyusahkan komando-komando nasional dan daerah, seperti teman-teman mereka yang menetap di hutan”, tulis Barbara Sillas Harvey.

Berlanjut ke Bagian 2