Snouck Hurgronje dan Hasrat Merdeka Nan Tak Kunjung Padam di Aceh (2)

SEJUMLAH stereotipe yang dilekatkan Snouck Hurgronje tentang Aceh sejak 124 tahun lampau tentu saja terlalu buruk, usang dan tak pantas untuk digunakan melihat Aceh masa kini. Walau, harus diakui, stereotipe yang diletakkan Hurgronje sempat banyak digunakan sebagai rujukan oleh sebagian penentu dalam kekuasaan pada rezim-rezim yang lalu, dalam menghadapi persoalan-persoalan Aceh maupun kelompok politik Islam di Indonesia. Jalan pemikirannya, seburuk-buruknya pandangan apriori Hurgronje, sebagai hasil pengamatan sosiologis tak seluruhnya mengandung ketidakbenaran.

            Namun yang paling ironis, justru perilaku yang diperlihatkan para die hard Aceh sendiri beberapa tahun terakhir, sebelum maupun sesudah Perjanjian Helsinki, malah seolah-olah mengikuti patron atau stereotipe yang diletakkan Snouck Hurgronje. Tak bisa sepenuhnya dipercaya, tak ada perjanjian yang ditaati dalam jangka panjang. Cenderung melakukan tipu daya, tunduk saat tak berdaya, menanduk saat ada kesempatan. Kepala batu. Dan kata Snouck Hurgronje, jangan pernah berunding dengan mereka, hantam terus tanpa ampun. Tapi sebenarnya, harus kita akui, disamping segala sifat baiknya, bukan hanya orang Aceh yang memiliki sifat buruk, melainkan juga manusia-manusia Indonesia lainnya dari berbagai daerah.

PEREMPUAN MUDA ACEH MEMANGGUL SENJATA UNTUK GAM. "Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal." (Repro foto Jacqueline Koch/Aceh Times)
PEREMPUAN MUDA ACEH MEMANGGUL SENJATA UNTUK GAM. “Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal.” (Repro foto Jacqueline Koch/Aceh Times)

            Dengan segala sifat buruk itu, ditambah sikap gampang dengki sehingga gampang diadu-domba, tak terlalu mengherankan bila manusia di Nusantara ini bisa dikendali oleh ‘segelintir’ kaum kolonial selama 350 tahun. Bahkan kini pun dengan sikap-sikap buruk yang masih dimiliki, yang menyatu sebagai terminologi korup –mengalahkan sikap-sikap mulia yang sesungguhnya ada akarnya dalam kultur kita– manusia Indonesia tetap mudah dipermainkan dalam persaingan global yang keras dan ketat. Terdapat begitu banyak ‘pemimpin’ yang mampu menjual diri sekaligus menjual bangsa dan tanah airnya dalam berbagai cara dan modus.

            Kesalahan sejak mula. Pemberontakan separatis GAM maupun kemudian dilakukannya suatu perundingan dan kesepakatan dengan kaum pemberontak, secara keseluruhan adalah serba kesalahan sejak mula. Masuk ke meja ‘perundingan internasional’ dengan kelompok separatis dalam negeri, harus dicatat dalam sejarah sebagai salah satu kekeliruan besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Berikutnya, di atas kekeliruan itu, mereka membuat kekeliruan baru lagi, tak mengawal dengan baik agar Perjanjian Helsinki –yang keterlanjuran itu– dipatuhi semua pihak. Catatan itu perlu, sebagaimana kita harus mencatat pula peristiwa lepasnya Timor Timur –yang sempat ‘terlanjur’ berintegrasi sebagai provinsi ke-27 Indonesia– sebagai kekeliruan besar Presiden BJ Habibie. Kalau kita tak mencatat dan tak mengingatkan, kekeliruan dan kesalahan, kelak di suatu waktu bisa dituturkan kembali seakan-akan suatu keberhasilan dan atau kepahlawanan. Bukankah kita sudah cukup kenyang dengan pemutar-balikan sejarah selama ini?

Sedikit berbeda dengan Timor Timur yang pernah bergabung melalui separuh aneksasi (dalam satu pengertian yang debatable) dan separuh keinginan sebagian rakyat setempat, Aceh sejak awal kemerdekaan Indonesia sudah bersama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang tokoh Aceh, kelahiran Pidie, Haji Teuku Mochammad Hasan, duduk dalam Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di tahun 1945 menjelang Proklamasi Republik Indonesia. Atas permintaan Mohammad Hatta, putera Aceh ini berhasil mendekati dan membuat sejumlah tokoh Islam mengerti dan bersedia menghapuskan tujuh kata (Piagam Jakarta) dari Pembukaan UUD 1945. Sejumlah pemuda Aceh ikut serta dalam Jong Sumatera yang menjadi salah satu organisasi pemuda yang mencetuskan Soempah Pemoeda 1928, yang melahirkan tekad dan pemahaman Indonesia sebagai satu tanah air, satu bangsa dengan satu bahasa. Kemudian, dalam masa kemerdekaan para pemimpin Indonesia kelahiran Aceh dari waktu ke waktu senantiasa ikut berkiprah dalam roda pemerintahan dengan peran-peran yang tak kecil. Tapi kini segelintir pemimpin Aceh atas nama Gerakan Aceh Merdeka, selalu merasa sebagai satu bangsa lain yang tersendiri dan harus dipisahkan dari Indonesia.

            Meskipun ada begitu banyak daerah di Indonesia tercatat dalam sejarah sempat terperangkap oleh hasrat separatisme segelintir pemimpinnya, tak ada yang melebihi Aceh dalam hal kecamuk hasrat ‘merdeka’, secara berkepanjangan. Walau, sebenarnya hasrat itu secara kuantitatif hanya terdapat pada sebagian kecil ‘pemimpin’ Aceh dengan pengikut yang juga tak mayoritas dalam skala Aceh secara keseluruhan. Hasrat itu tampil melalui pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Daud Beureueh –yang tak sepanjang masa pemberontakan SM Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara– disusul pemberontakan GAM.

            Dalam skala kewilayahan, daerah pengaruh GAM tak lebih dari sepertiga. Setidaknya ada dua kumpulan wilayah di Aceh yang menginginkan pemekaran, bukan hanya sekarang, tetapi sejak dulu saat GAM memulai gerakan bersenjata. Wilayah itu adalah Aceh Leuser Antara (ALA) yang terdiri dari beberapa kabupaten, dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang juga terdiri dari beberapa kabupaten.

            Sebenarnya rakyat di daerah-daerah yang dianggap sebagai kawasan pengaruh GAM, tak sepenuhnya mendukung GAM. Sebagian dari mereka terpaksa tunduk karena takut kepada peluru GAM sebagai pemegang senjata selain TNI. Tak seluruhnya senjata yang dimiliki GAM diserahkan setelah Perjanjian Helsinki. Sampai kini pun, senjata-senjata itu bisa muncul memuntahkan peluru kala ‘pertengkaran’ politik dan kepentingan dengan kata-kata tak berhasil dalam mencapai pemenuhan hasrat dan kepentingan itu. Siapa yang menembaki kantor-kantor bupati dan instansi lainnya di daerah-daerah yang tidak pro GAM? Rakyat Aceh itu tak kalah takutnya kepada peluru GAM dibanding peluru TNI. Sungguh malang mereka, terjepit di antara kepentingan segelintir manusia.

            Penyebab lain yang menyebabkan GAM bisa memperoleh tambahan dukungan, terkait dengan cara pemerintah pusat menangani Aceh. Ditambah lagi oleh ketidakmampuan pimpinan negara dan pimpinan TNI untuk mencegah kekejaman militer sebagai ekses. Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal. Terhadap TNI kala itu ada kritik lain. Dengan pemahaman yang prima terhadap perang gerilya, kenapa mereka tak mampu mengatasi GAM secara cepat dan tepat? Sejumlah pengamat militer menganalisa, memang ada kecenderungan mengulur-ulur dan memperpanjang-panjang DOM Aceh. Untuk apa, semua orang mudah menebak kenapa.

Perilaku korup di kalangan pengendali kekuasaan, khususnya di pusat negara, menciptakan terlalu banyak kekecewaan bagi daerah karena ketidakadilan. Bukan hanya di Aceh, tetapi hampir merata di seluruh penjuru tanah air, bahkan di Pulau Jawa sekalipun. Namun berapapun besarnya kekecewaan itu, tak bisa menjadi alasan mengkhianati sejarah Indonesia sebagai satu bangsa di atas satu tanah air. Lebih baik berjuang bersama untuk mengoreksi rezim penguasa atau bila perlu memperbaharui rezim itu, daripada meninggalkan sesama bangsa dengan mendirikan satu negara baru.

Satu leluhur. Alasan kesejarahan yang diajukan para petinggi GAM selama ini untuk membenarkan klaim sebagai satu bangsa, sama sekali tak berdasar. Bila sejarah kesultanan Aceh dijadikan alasan, daerah mana di Indonesia ini yang pada mulanya bukan berasal dari satu kerajaan, kecil atau besar? Kenapa kita semua menjadi satu negara dan menjadi satu bangsa, tak lain karena memiliki  rasa persamaan nasib dalam sejarah, sehingga para pemimpin dan kaum muda sejak 1908, 1928 dan 1945 tiba kepada keputusan untuk bersama sebagai satu bangsa dalam satu tanah air.

Sebagian terbesar manusia yang bermukim di pulau-pulau Nusantara ini sesungguhnya berasal dari satu leluhur yang sama. Sejak 4000 tahun sebelum Masehi, para migran ras Mongol dari daratan Cina menyeberang ke pulau Formosa, menyusur ke selatan ke pulau-pulau Filipina, lalu menyeberang ke Sulawesi bagian utara. Sebagian lainnya berbelok ke kanan menuju Kalimantan bagian utara lalu ke Indochina. Lainnya berbelok ke timur hingga pulau-pulau utara Maluku. Sebagian terbesar melanjut ke Sulawesi bagian selatan, lalu sebagian kecil berbelok ke Nusa Tenggara, dan lainnya dalam jumlah lebih besar ke Pulau Jawa. Beberapa bagian melanjutkan ke Sumatera hingga Aceh di ujung utara. Lalu dalam seribu tahun terakhir sebelum Masehi berangsur-angsur menyeberang ke semenanjung Melayu, dan seterusnya ada yang melanjut ke wilayah Indochina, bertemu dengan kelompok yang mula-mula datang dari arah Kalimantan. Mereka yang di Indochina inilah yang kemudian melakukan migrasi gelombang kedua ke selatan memasuki pulau-pulau di Nusantara dan bertemu kembali dengan para leluhur yang telah bermukim sebelumnya dan telah bercampur baur dengan sejumlah kecil penduduk asli.

Jadi, mengapa saudara-saudara kita yang di Aceh harus merasa sebagai satu bangsa yang lain dan berbeda? Apakah kemudian karena bercampur dengan pendatang-pendatang baru dari arah Asia bagian barat, lalu menjadi bangsa baru? Pendatang-pendatang baru itu terlalu kecil sebagai alasan pembentuk bangsa baru, dan lagipula semua daerah di Indonesia mengalami hal yang sama. Apakah harus merasa berbeda karena sepenuhnya menganut Islam? Ada begitu banyak daerah di Indonesia yang juga mayoritas berpenduduk Islam, tanpa harus merdeka sebagai negara tersendiri. Bahwa ada sejumlah kelompok politik dan kepentingan khusus, seperti DI/TII maupun kelompok fundamental baru lainnya, yang menjadikan agama sebagai alasan untuk menjadi negara Islam, itu adalah kekeliruan dan kesesatan lainnya yang juga harus kita cegah bersama.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.   

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s