Tag Archives: Daud Beureueh

Snouck Hurgronje dan Hasrat Merdeka Nan Tak Kunjung Padam di Aceh (3)

ADA yang mengatakan lahirnya GAM di bulan terakhir tahun 1976 –dipelopori Tengku Hasan Tiro– salah satunya adalah akibat akumulasi kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang menolak hasrat pengaturan Aceh berdasarkan syariat Islam. Penyebab lain, karena kekecewaan terhadap ketidakadilan pemerintah pusat dalam hal berbagi hasil kekayaan alam di daerah itu.

            Syariat Islam, alasan susulan yang dilekatkan. Alasan terkait syariat Islam, tak sepenuhnya benar. Alasan syariat Islam, menurut pengalaman empiris selalu menjadi alasan yang dilekatkan kemudian. Pemberontakan DI/TII, mulai dari yang dilakukan SM Kartosuwirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan dan Daud Beureueh di Aceh, cetusannya bukan dimulai karena soal keyakinan agama secara prinsipil. Selalu dimulai dari kekecewaan pribadi, yang lalu berkobar menjadi perlawanan dan kemudian dipilihkan tema agama. Keempat tokoh ini pada awalnya adalah bagian dari elite kekuasaan yang lalu marah saat tersisih dalam kancah persaingan.

HASAN TIRO MUDA, SEBELUM GAM. "Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM." (diolah dari dokumentyasi partaiaceh.com)
HASAN TIRO MUDA, SEBELUM GAM. “Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM.” (diolah dari dokumentyasi partaiaceh.com)

SM Kartosuwirjo kecewa dalam persaingan perebutan posisi ‘kemiliteran’ di Jawa Barat. Kahar Muzakkar yang pada mulanya adalah seorang Kolonel dalam tentara perjuangan kecewa ketika usai menangani masalah CTN (Corps Tjadangan Nasional) di Sulawesi Selatan tidak diangkat sebagai panglima militer setempat yang semula dijanjikan padanya. Pada awal masuk hutan, ia nyaris memilih komunisme sebagai ideologi perjuangan karena pengaruh rekan-rekan militernya semasa di Jawa Tengah. Baru beberapa lama kemudian Kahar lalu menyatakan diri bergabung dengan NII dan DI/TII.

Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan mulanya adalah Letnan TNI sebelum menyatakan diri bergabung dengan DI/TII, karena suatu kekecewaan pribadi.

Daud Beureueh yang menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh 1948-1951, yang banyak berjasa di masa perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan sebelum penyerahan kedaulatan, belakangan disisihkan pemerintah pusat. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, “ketika kedaulatan negara telah didapatkan dan Republik Indonesia Serikat (RIS) telah berdiri, Aceh dijadikan sebagai bagian dari Sumatera Utara. Ketika RIS bubar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, keputusan diperkuat. Memang benar pemerintah pusat menghadapi berbagai corak situasi yang dilematis –sebagai akibat pilihan yang tak mudah antara keharusan rasionalisasi administrasi pemerintahan dan keberlanjutan aspirasi revolusioner– tetapi bagi masyarakat Aceh pembubaran provinsi dirasakan sebagai pengkhianatan dan penghinaan.” Posisi Gubernur Sumatera Utara diserahkan kepada seorang tokoh lain yang jasa perjuangannya jauh kalah pantas dari Daud Beureueh.

Juga menurut Taufik Abdullah, meskipun Daud Beureueh menginginkan alternatif lain bagi Aceh, misalnya dengan kekhususan menjalankan syariat Islam, tak pernah ia bersikap separatis memisahkan diri dari NKRI. Ini berbeda dengan Tengku Hasan Tiro yang menyatakan diri sebagai penerus perjuangan Daud Beuereuh, tetapi di lain pihak melalui GAM ingin memisahkan Aceh dari NKRI.

Tokoh GAM Hasan Tiro tak lama setelah proklamasi, atas rekomendasi Daud Beureueh mendapat beasiswa pemerintah di masa PM Syafruddin Prawiranegara kuliah di UII Yogyakarta dan lulus 1949. Lalu berkesempatan melanjutkan kuliah di Universitas Columbia AS. Dan setelah mencapai gelar doktornya bekerja di Kedutaan Besar RI di AS.

Dengan alasan tak puas terhadap pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo, Hasan Tiro pulang ke Aceh bergabung dengan perlawanan DI/TII Aceh sejak 1953 yang dipimpin Daud. Tapi ketika pada bulan Mei 1962 Daud Beureueh ‘turun gunung’, Hasan Tiro meninggalkan Aceh kembali ke Amerika. Dalam buku biografinya “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro”, ia mengidealisir masa hidupnya di luar negeri sebagai masa pengasingan. Di luar negeri ia banyak menjalankan kegiatan hidup sebagai business man.

Dua belas tahun setelah Daud Beureueh turun gunung, ia datang ke Aceh untuk berbisnis. Kepada Gubernur Aceh Muzakkir Walad, ia mengajukan permohonan agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan kilang gas LNG Arun. Tapi ia harus kecewa karena pemerintahan Soeharto telah menyerahkan proyek itu kepada Perusahaan AS Bechtel Incorporation. Kegagalan menggoalkan bisnisnya ini digambarkannya sebagai suatu bukti bahwa pemerintahan Jakarta memang tak betul-betul mau memberikan otonomi kepada orang Aceh untuk ikut ‘membangun’ –tepatnya, menikmati kekayaan alam– Aceh. Sebenarnya, cukup naif bila Hasan Tiro menempatkan dirinya sebagai representasi dalam mengukur keadilan bagi Aceh.

Terlepas dari betapa korup rezim-rezim di Indonesia saat mengelola kekayaan alam, dalam hal rezeki pembangunan Aceh, ada begitu banyak tokoh dan kelompok pengusaha Aceh yang ikut mengambil peran dan mendapat kesempatan. Hanya saja, itu kebetulan bukan Hasan Tiro. Andaikan kalangan penguasa negara kala itu punya cenayang yang prima, mungkin ia menasehatkan agar permintaan Hasan Tiro dikabulkan dan jalan sejarah menjadi lain. Tentu saja, akan menjadi kukuh suatu tradisi, kalau ingin mendapat perhatian dan pembagian rezeki dari kalangan kekuasaan, melawan-lawanlah dalam kadar tertentu. Tapi bila kebablasan, lain lagi hasil akhirnya.

Hanya dua tahun setelah mengalami kekecewaan kedua itu, Hasan Tiro mengobarkan Gerakan Aceh Merdeka. Suatu gerakan yang dalam batas tertentu cukup berhasil sebenarnya. Buktinya tak kurang dari 5 rezim kepresidenan harus terpontang-panting menghadapi GAM. Dan masing-masing presiden telah menyumbangkan kekeliruan dalam penanganan GAM –suatu hal yang pada waktunya perlu juga dibahas.

Mulai dari Soeharto yang menggunakan operasi militer yang berlebihan dan penuh ekses; BJ Habibie yang tergesa-gesa minta maaf kepada rakyat Aceh –sebenarnya kepada GAM– dan menjanjikan penarikan mundur 4000 personil TNI, mirip dengan kekeliruannya di Timtim yang menghasilkan referendum dengan Indonesia sebagai pihak yang kalah; Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien Rais yang menyetujui referendum Aceh dengan kemungkinan senasib dengan referendum Timor Timur; Sampai Megawati yang menyetujui UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan sejumlah konsesi bagi GAM tanpa mendalami kesungguhan GAM untuk suatu perdamaian; Lalu, pasangan SBY-Jusuf Kalla, yang memberi banyak angka kemenangan bagi GAM dalam Perjanjian Helsinki, karena beberapa obsesi. Dari sekitar 57 point dan subpoint yang ada sebagai butir-butir kesepakatan Perjanjian Helsinki 2005 (mengenai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, HAM, amnesti dan reintegrasi, serta pengaturan keamanan), 40 point/subpoint memanjakan GAM dan hanya 17 yang menguntungkan pemerintah Indonesia.

Dimana-mana juga memang tak adil. UNTUK penyebab yang kedua terkait ketidakadilan yang menyebabkan alasan bagi lahirnya GAM, pertanyaannya adalah daerah mana di Indonesia ini yang samasekali tak pernah mengalami ketidakadilan pemerintah pusat, sepanjang masa Indonesia merdeka?

Bahkan Ali Sadikin tatkala menjadi Gubernur DKI, pun tak henti-hentinya mengecam sikap kurang perhatian pemerintah pusat terhadap Jakarta, sehingga harus menggali dana inkonvensional dari legalisasi aneka bentuk perjudian di ibukota. Antara lain karena perilaku korup di kalangan pemerintahan pusat, memang harus diakui banyak sikap tak adil dan lalai mengurus negara telah bermunculan. Akan tetapi selalu ada sejumlah daerah di Indonesia ini yang tidak seberuntung beberapa daerah lainnya dalam hal kepemilikan kekayaan alam dan sumber daya manusia yang secara kualitatif memadai. Daerah-daerah seperti ini harus dibantu dengan distribusi silang. Lalu apa yang terjadi bila daerah-daerah kaya enggan berbagi? Apakah daerah-daerah miskin, yang dianggap beban itu, dilepaskan saja dari Republik Indonesia ini?

Tak ada pilihan, selain kita bersama-sama memperjuangkan bagaimana negara ini tak dibiarkan dikuasai para bandit yang masuk ke dalam kekuasaan. Tepatnya, barangkali kini, bagaimana bersama-sama membuang keluar bandit-bandit korup itu dari pemerintahan negara. Itu masalah kita bersama yang harus diperjuangkan, tetapi bukan dengan melakukan pemberontakan separatis, ala GAM ataupun OPM.

NAMUN, di atas segalanya, karena Perjanjian Helsinki sudah merupakan fakta sejarah, tak ada pilihan lain selain bahwa pemerintah harus lebih tegas mengawal agar perjanjian tersebut dipatuhi semua pihak. Bila pemerintah gagal melakukan kawalan, itu hanya akan melukai hati rakyat Indonesia lainnya yang bukan pengikut atau simpatisan GAM.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)                      

Snouck Hurgronje dan Hasrat Merdeka Nan Tak Kunjung Padam di Aceh (2)

SEJUMLAH stereotipe yang dilekatkan Snouck Hurgronje tentang Aceh sejak 124 tahun lampau tentu saja terlalu buruk, usang dan tak pantas untuk digunakan melihat Aceh masa kini. Walau, harus diakui, stereotipe yang diletakkan Hurgronje sempat banyak digunakan sebagai rujukan oleh sebagian penentu dalam kekuasaan pada rezim-rezim yang lalu, dalam menghadapi persoalan-persoalan Aceh maupun kelompok politik Islam di Indonesia. Jalan pemikirannya, seburuk-buruknya pandangan apriori Hurgronje, sebagai hasil pengamatan sosiologis tak seluruhnya mengandung ketidakbenaran.

            Namun yang paling ironis, justru perilaku yang diperlihatkan para die hard Aceh sendiri beberapa tahun terakhir, sebelum maupun sesudah Perjanjian Helsinki, malah seolah-olah mengikuti patron atau stereotipe yang diletakkan Snouck Hurgronje. Tak bisa sepenuhnya dipercaya, tak ada perjanjian yang ditaati dalam jangka panjang. Cenderung melakukan tipu daya, tunduk saat tak berdaya, menanduk saat ada kesempatan. Kepala batu. Dan kata Snouck Hurgronje, jangan pernah berunding dengan mereka, hantam terus tanpa ampun. Tapi sebenarnya, harus kita akui, disamping segala sifat baiknya, bukan hanya orang Aceh yang memiliki sifat buruk, melainkan juga manusia-manusia Indonesia lainnya dari berbagai daerah.

PEREMPUAN MUDA ACEH MEMANGGUL SENJATA UNTUK GAM. "Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal." (Repro foto Jacqueline Koch/Aceh Times)
PEREMPUAN MUDA ACEH MEMANGGUL SENJATA UNTUK GAM. “Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal.” (Repro foto Jacqueline Koch/Aceh Times)

            Dengan segala sifat buruk itu, ditambah sikap gampang dengki sehingga gampang diadu-domba, tak terlalu mengherankan bila manusia di Nusantara ini bisa dikendali oleh ‘segelintir’ kaum kolonial selama 350 tahun. Bahkan kini pun dengan sikap-sikap buruk yang masih dimiliki, yang menyatu sebagai terminologi korup –mengalahkan sikap-sikap mulia yang sesungguhnya ada akarnya dalam kultur kita– manusia Indonesia tetap mudah dipermainkan dalam persaingan global yang keras dan ketat. Terdapat begitu banyak ‘pemimpin’ yang mampu menjual diri sekaligus menjual bangsa dan tanah airnya dalam berbagai cara dan modus.

            Kesalahan sejak mula. Pemberontakan separatis GAM maupun kemudian dilakukannya suatu perundingan dan kesepakatan dengan kaum pemberontak, secara keseluruhan adalah serba kesalahan sejak mula. Masuk ke meja ‘perundingan internasional’ dengan kelompok separatis dalam negeri, harus dicatat dalam sejarah sebagai salah satu kekeliruan besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Berikutnya, di atas kekeliruan itu, mereka membuat kekeliruan baru lagi, tak mengawal dengan baik agar Perjanjian Helsinki –yang keterlanjuran itu– dipatuhi semua pihak. Catatan itu perlu, sebagaimana kita harus mencatat pula peristiwa lepasnya Timor Timur –yang sempat ‘terlanjur’ berintegrasi sebagai provinsi ke-27 Indonesia– sebagai kekeliruan besar Presiden BJ Habibie. Kalau kita tak mencatat dan tak mengingatkan, kekeliruan dan kesalahan, kelak di suatu waktu bisa dituturkan kembali seakan-akan suatu keberhasilan dan atau kepahlawanan. Bukankah kita sudah cukup kenyang dengan pemutar-balikan sejarah selama ini?

Sedikit berbeda dengan Timor Timur yang pernah bergabung melalui separuh aneksasi (dalam satu pengertian yang debatable) dan separuh keinginan sebagian rakyat setempat, Aceh sejak awal kemerdekaan Indonesia sudah bersama dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang tokoh Aceh, kelahiran Pidie, Haji Teuku Mochammad Hasan, duduk dalam Badan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di tahun 1945 menjelang Proklamasi Republik Indonesia. Atas permintaan Mohammad Hatta, putera Aceh ini berhasil mendekati dan membuat sejumlah tokoh Islam mengerti dan bersedia menghapuskan tujuh kata (Piagam Jakarta) dari Pembukaan UUD 1945. Sejumlah pemuda Aceh ikut serta dalam Jong Sumatera yang menjadi salah satu organisasi pemuda yang mencetuskan Soempah Pemoeda 1928, yang melahirkan tekad dan pemahaman Indonesia sebagai satu tanah air, satu bangsa dengan satu bahasa. Kemudian, dalam masa kemerdekaan para pemimpin Indonesia kelahiran Aceh dari waktu ke waktu senantiasa ikut berkiprah dalam roda pemerintahan dengan peran-peran yang tak kecil. Tapi kini segelintir pemimpin Aceh atas nama Gerakan Aceh Merdeka, selalu merasa sebagai satu bangsa lain yang tersendiri dan harus dipisahkan dari Indonesia.

            Meskipun ada begitu banyak daerah di Indonesia tercatat dalam sejarah sempat terperangkap oleh hasrat separatisme segelintir pemimpinnya, tak ada yang melebihi Aceh dalam hal kecamuk hasrat ‘merdeka’, secara berkepanjangan. Walau, sebenarnya hasrat itu secara kuantitatif hanya terdapat pada sebagian kecil ‘pemimpin’ Aceh dengan pengikut yang juga tak mayoritas dalam skala Aceh secara keseluruhan. Hasrat itu tampil melalui pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Daud Beureueh –yang tak sepanjang masa pemberontakan SM Kartosoewirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara– disusul pemberontakan GAM.

            Dalam skala kewilayahan, daerah pengaruh GAM tak lebih dari sepertiga. Setidaknya ada dua kumpulan wilayah di Aceh yang menginginkan pemekaran, bukan hanya sekarang, tetapi sejak dulu saat GAM memulai gerakan bersenjata. Wilayah itu adalah Aceh Leuser Antara (ALA) yang terdiri dari beberapa kabupaten, dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang juga terdiri dari beberapa kabupaten.

            Sebenarnya rakyat di daerah-daerah yang dianggap sebagai kawasan pengaruh GAM, tak sepenuhnya mendukung GAM. Sebagian dari mereka terpaksa tunduk karena takut kepada peluru GAM sebagai pemegang senjata selain TNI. Tak seluruhnya senjata yang dimiliki GAM diserahkan setelah Perjanjian Helsinki. Sampai kini pun, senjata-senjata itu bisa muncul memuntahkan peluru kala ‘pertengkaran’ politik dan kepentingan dengan kata-kata tak berhasil dalam mencapai pemenuhan hasrat dan kepentingan itu. Siapa yang menembaki kantor-kantor bupati dan instansi lainnya di daerah-daerah yang tidak pro GAM? Rakyat Aceh itu tak kalah takutnya kepada peluru GAM dibanding peluru TNI. Sungguh malang mereka, terjepit di antara kepentingan segelintir manusia.

            Penyebab lain yang menyebabkan GAM bisa memperoleh tambahan dukungan, terkait dengan cara pemerintah pusat menangani Aceh. Ditambah lagi oleh ketidakmampuan pimpinan negara dan pimpinan TNI untuk mencegah kekejaman militer sebagai ekses. Ayah yang ditembak, atau ibu yang diperkosa di depan anak, telah menciptakan calon tentara GAM yang penuh dendam dan kebencian. Padahal tak semua yang dieksekusi secara kejam itu pengikut GAM, melainkan rakyat yang terjepit di antara dua kekuatan bersenjata yang sama-sama berperilaku brutal. Terhadap TNI kala itu ada kritik lain. Dengan pemahaman yang prima terhadap perang gerilya, kenapa mereka tak mampu mengatasi GAM secara cepat dan tepat? Sejumlah pengamat militer menganalisa, memang ada kecenderungan mengulur-ulur dan memperpanjang-panjang DOM Aceh. Untuk apa, semua orang mudah menebak kenapa.

Perilaku korup di kalangan pengendali kekuasaan, khususnya di pusat negara, menciptakan terlalu banyak kekecewaan bagi daerah karena ketidakadilan. Bukan hanya di Aceh, tetapi hampir merata di seluruh penjuru tanah air, bahkan di Pulau Jawa sekalipun. Namun berapapun besarnya kekecewaan itu, tak bisa menjadi alasan mengkhianati sejarah Indonesia sebagai satu bangsa di atas satu tanah air. Lebih baik berjuang bersama untuk mengoreksi rezim penguasa atau bila perlu memperbaharui rezim itu, daripada meninggalkan sesama bangsa dengan mendirikan satu negara baru.

Satu leluhur. Alasan kesejarahan yang diajukan para petinggi GAM selama ini untuk membenarkan klaim sebagai satu bangsa, sama sekali tak berdasar. Bila sejarah kesultanan Aceh dijadikan alasan, daerah mana di Indonesia ini yang pada mulanya bukan berasal dari satu kerajaan, kecil atau besar? Kenapa kita semua menjadi satu negara dan menjadi satu bangsa, tak lain karena memiliki  rasa persamaan nasib dalam sejarah, sehingga para pemimpin dan kaum muda sejak 1908, 1928 dan 1945 tiba kepada keputusan untuk bersama sebagai satu bangsa dalam satu tanah air.

Sebagian terbesar manusia yang bermukim di pulau-pulau Nusantara ini sesungguhnya berasal dari satu leluhur yang sama. Sejak 4000 tahun sebelum Masehi, para migran ras Mongol dari daratan Cina menyeberang ke pulau Formosa, menyusur ke selatan ke pulau-pulau Filipina, lalu menyeberang ke Sulawesi bagian utara. Sebagian lainnya berbelok ke kanan menuju Kalimantan bagian utara lalu ke Indochina. Lainnya berbelok ke timur hingga pulau-pulau utara Maluku. Sebagian terbesar melanjut ke Sulawesi bagian selatan, lalu sebagian kecil berbelok ke Nusa Tenggara, dan lainnya dalam jumlah lebih besar ke Pulau Jawa. Beberapa bagian melanjutkan ke Sumatera hingga Aceh di ujung utara. Lalu dalam seribu tahun terakhir sebelum Masehi berangsur-angsur menyeberang ke semenanjung Melayu, dan seterusnya ada yang melanjut ke wilayah Indochina, bertemu dengan kelompok yang mula-mula datang dari arah Kalimantan. Mereka yang di Indochina inilah yang kemudian melakukan migrasi gelombang kedua ke selatan memasuki pulau-pulau di Nusantara dan bertemu kembali dengan para leluhur yang telah bermukim sebelumnya dan telah bercampur baur dengan sejumlah kecil penduduk asli.

Jadi, mengapa saudara-saudara kita yang di Aceh harus merasa sebagai satu bangsa yang lain dan berbeda? Apakah kemudian karena bercampur dengan pendatang-pendatang baru dari arah Asia bagian barat, lalu menjadi bangsa baru? Pendatang-pendatang baru itu terlalu kecil sebagai alasan pembentuk bangsa baru, dan lagipula semua daerah di Indonesia mengalami hal yang sama. Apakah harus merasa berbeda karena sepenuhnya menganut Islam? Ada begitu banyak daerah di Indonesia yang juga mayoritas berpenduduk Islam, tanpa harus merdeka sebagai negara tersendiri. Bahwa ada sejumlah kelompok politik dan kepentingan khusus, seperti DI/TII maupun kelompok fundamental baru lainnya, yang menjadikan agama sebagai alasan untuk menjadi negara Islam, itu adalah kekeliruan dan kesesatan lainnya yang juga harus kita cegah bersama.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.   

Ketika Tuhan dan Agama Didegradasi Menjadi Berwajah Buruk

Sebuah catatan pasca lebaran

MESKIPUN dimulai dengan suasana mendua dalam penentuan awal Ramadhan, akhirnya masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam bisa merayakan Idul Fitri di satu hari yang sama, 19 Agustus 2012. Tapi tak urung, selama beberapa hari menjelang Lebaran, sebagian masyarakat tetap diliputi ketidakpastian, apakah mempersiapkan diri untuk merayakan hari besar Islam itu di hari Minggu, atau merayakannya di hari Senin 20 Agustus. Suatu keadaan yang secara psikologis, sebenarnya sangat tak nyaman. Banyak yang berpikir, karena Muhammadiyah sudah jauh hari mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 19 Agustus, pastilah pemerintah, NU dan ormas yang berbeda pendapat dalam penentuan awal Ramadhan, akan menentukan lain, yakni sehari setelahnya.

PASUKAN PERANG SALIB. “Sesungguhnya Islam memerlukan pembaharuan pemikiran dan penafsiran oleh para cendekiawannya….. Tapi sayangnya para cendekiawan muslim itu lebih senang bermain politik demi kekuasaan”. (download byzantinum)

Bila kita, sebagai sesama umat, harus terbelah dalam pilihan hari merayakan lebaran, seperti yang kita alami beberapa kali pada tahun-tahun sebelum ini, kita juga bisa merasa mengalami keterbelahan kebersamaan. Padahal, kita berada dalam satu naungan agama. Secara lebih luas, dalam konteks kebersamaan sebagai umat beragama, dan bahkan sebagai manusia, bila kita harus mengalami keterbelahan dalam kebersamaan, karena menganut agama yang tak sama, secara batiniah memberi perlukaan. Padahal, kita memiliki fitrah yang sama sebagai insan yang bersumber pada kebenaranNya.

KEGAGALAN berkepanjangan manusia selama berabad-abad –terutama di abad-abad awal– dalam menjalankan agama dengan sebaik-baiknya, tak lain adalah egoisme dalam menafsirkan berbagai ajaran agama yang dianutnya. Beberapa dari penafsiran itu mengendap sebagai kerak pemikiran tradisional, yang menjadi sumber pertentangan terus menerus sepanjang masa. Itu terjadi dalam agama Kristen maupun dalam Islam, sebagai suatu keadaan yang menjadi sumber konflik internal, sekte melawan sekte, maupun konflik eksternal di antara agama-agama, antara Islam dengan Kristen (sejak Perang Salib), Islam dengan Hindu (di Asia Selatan), Islam dengan Budha (yang dianggap sedang terjadi di Myanmar) ataupun antar agama lainnya. Continue reading Ketika Tuhan dan Agama Didegradasi Menjadi Berwajah Buruk

Pancasila dan Piagam Jakarta (2)

UNTUK seberapa lama, Kahar Muzakkar dan para gerilyawan itu bergerak sebagai ‘barisan sakit hati’, tahun 1951-1952, tanpa suatu ideologi perjuangan. Motivasi perjuangan Kahar dan kawan-kawan adalah kebencian terhadap dominasi Jawa dan Minahasa yang menduduki seluruh posisi penting dalam jabatan sipil maupun militer di Sulawesi Selatan. Sesuatu yang tak terlepas dari permainan politik dan kekuasaan di tingkat pusat, saat di mana semua golongan sedang bergulat untuk menetapkan posisinya sendiri di dalam negara baru ini. Ketika bergerak di hutan-hutan, Kahar didekati sejumlah kader komunis agar memilih ideologi tersebut sebagai dasar perjuangan. Namun akhirnya ia memilih untuk bergabung dengan DI/TII dan NII SM Kartosoewirjo, terutama karena para anakbuahnya menolak digunakannya ideologi kiri itu. Meskipun pendekatan intensif dengan SM Kartosoewirjo telah dilakukan sejak bulan-bulan terakhir 1952, barulah pada bulan Agustus 1953, Kahar Muzakkar memproklamirkan pasukannya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang berbasis di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Begitu bergabung dengan NII, kader-kader komunis yang selama ini mencoba ‘membina’nya dieksekusi mati.

Untuk menghadapi perlawanan Kahar Muzakkar di bawah bendera NII, pemerintah pusat mengirim pasukan-pasukan TNI dari Jawa Timur (Brawijaya) dan Jawa Tengah (Diponegoro) yang beberapa perwiranya berkecenderungan berhaluan kiri dan kebetulan terdiri dari kaum abangan. Kekerasan yang mengarah kejam, yang kerapkali diperlihatkan pasukan-pasukan dari Jawa ini, bukan hanya kepada pasukan DI/TII tetapi juga kepada rakyat pedalaman Sulawesi Selatan, merupakan persoalan baru yang makin mengobarkan kebencian kesukuan, yang untuk sebagian justru menguntungkan Kahar Muzakkar. Namun karena pasukan DI/TII seringkali juga bersikap keras dan kejam terhadap rakyat yang dituduh membantu TNI, maka pada hakekatnya terjadi perang segitiga: TNI-DI/TII-Rakyat. Selain itu secara internal, juga seringkali terjadi bentrokan bersenjata antara kesatuan-kesatuan TNI itu sendiri, yakni antara ‘pasukan Jawa’ versus ‘pasukan Bugis-Makassar’, atau bahkan antar batalion sesama Sulawesi Selatan. Kita bisa melihat bahwa persoalan agama bukan satu-satunya alasan dan bukan persoalan utama yang melatarbelakangi pertengkaran di Sulawesi Selatan, melainkan juga masalah kepentingan kekuasaan dan masalah kesukuan yang bercampuraduk.

Sebelum pasukan Kahar menjelma menjadi DI/TII, situasi sosial-politik Sulawesi Selatan tak kalah rumitnya. Menarik untuk meminjam sebuah pemaparan Barbara Sillas Harvey dalam Rebellion, berikut ini. Sebulan setelah Peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta, tepatnya 16 November 1952, menurut Barbara, Letnan Kolonel Warouw sebagai Kepala Staf TT-VII (Indonesia Timur dengan kedudukan di Makassar) mendaulat komandan Jawa, Kolonel Gatot Soebroto, yang telah menegaskan sokongannya pada Kolonel AH Nasution serta tantangannya terhadap Presiden Soekarno. Tindakan Warouw didorong oleh Soekarno, dan terlihat setidak-tidaknya mendapat sokongan diam-diam dari Gubernur Soediro (orang Jawa dan anggota PNI).

Reaksi rakyat di Makassar atas tahanan rumah  bagi Gatot dan tahan asrama bagi polisi militer Jawa yang cukup besar (CPM), menangkap inti dimensi daerah dalam peristiwa ini: “Orang-orang Jawa dilucuti orang Manado”. Sokongan perwira-perwira Minahasa kepada Warouw tampaknya teguh, baik di antara perwira-perwira TT-VII di Makassar maupun di antara mereka yang bertugas pada RI-24 di Manado. Perwira-perwira Sulawesi Selatan menyokong Gatot atau paling kurang, tidak mau terlibat. “Pemihakan ini bisa dijelaskan dari segi kepentingan-kepentingan tertentu para perwira dari kedua daerah pada ketika itu. Perwira-perwira Minahasa bangga atas warisan militer dari daerah mereka, tetapi menyadari fakta bahwa sebagai suatu minoritas Kristen yang tadinya pernah disenangi Belanda, mereka sering dicurigai oleh mayoritas Islam. Mereka mungkin menganggap pengangkatan Gatot sebagai panglima merupakan suatu ancaman campur tangan Jawa ke dalam suatu wilayah, yang mereka yakini semestinya sebagai daerah mereka. Mereka juga mungkin takut pada suatu persekongkolan orang-orang Jawa dan Sulawesi Selatan terhadap mereka”.

Perwira-perwira Bugis dan Makassar, pada pihak lain, berjumlah lebih kecil, dan pada umumnya berpendidikan lebih rendah. Mereka tidak bisa mengharap ketika itu akan dapat bertahan tanpa bantuan dari saingan mereka dari utara. “Mereka mungkin telah berpikir menurut kepentingan mereka sendiri bekerjasama dengan orang-orang Jawa untuk menghalangi dominasi orang-orang Minahasa di TT-VII”.

Salah seorang tokoh militer asal Sulawesi Selatan, Mayor Muhammad Jusuf, perwira pertama di daerah itu yang masuk Sekolah Staf dan Komando AD di Bandung dan juga pertama kali dilatih di luar negeri (di Fort Benning, AS) menganggap kekacauan berlarut-larut yang antara lain diiringi masalah kesukuan di Sulawesi Selatan membahayakan persatuan Indonesia. Sementara itu, fakta bahwa pasukan-pasukan yang ditugaskan ‘membasmi’ pemberontakan di Sulawesi Selatan adalah pasukan-pasukan Jawa, dieksploitir oleh Kahar Muzakkar dengan menggunakan retorika anti Jawa untuk menarik dukungan rakyat setempat bagi perjuangannya. Kahar mengobarkan retorika bahwa hendaknya Sulawesi Selatan dipimpin dan diatur oleh putera-putera daerah sendiri. In terutama ditujukan kepada orang Jawa, tetapi sekaligus juga ditujukan kepada orang-orang Minahasa yang berbeda agama, yang mendominasi jabatan-jabatan sipil dan militer di Sulawesi Selatan.

Muhammad Jusuf sendiri ikut mengembangkan pendapat bahwa sebaiknya putera daerah lah yang mengurus daerahnya sendiri. Ketika pulang dari pendidikan di Fort Benning AS, pada tahun 1956, ia pernah dibentur pernyataan dari pemegang baru komando militer di Sulawesi Selatan, Kolonel Herman Nicolas (Ventje) Sumual, bahwa tak ada posisi yang terbuka bagi Jusuf di TT-VII.

Menurut pengakuan Kahar Muzakkar kepada orang-orang dekatnya selama bergerak di hutan-hutan Sulawesi Selatan, ia pernah menyurati Presiden Soekarno mengusulkan mengeluarkan dekrit mengganti dasar negara Pancasila dengan falsafah Ketuhanan berdasarkan Al Qur’an maupun kitab suci agama lainnya yang berlaku bagi pemeluknya masing-masing. Ini mirip dengan apa yang dimaksudkan Piagam Jakarta. Tak ada saksi sejarah yang bisa menguatkan keberadaan surat Kahar kepada Soekarno ini. Mungkin saja surat itu pernah dilayangkan setelah Kahar menyatakan bergabung dengan DI/TII, tapi tipis kemungkinan bahwa itu dilakukan sebelumnya, karena sewaktu berada di Pulau Jawa, Kahar lebih banyak bergaul dengan perwira-perwira berhaluan kiri –dan sempat sedikit terpengaruh– daripada dengan kalangan berlatarbelakang keagamaan.

Kalau ada latar belakang Islam, itu justru diperoleh Kahar semasa bersekolah di Sekolah Guru Islam Muhammadiyah tahun 1937-1940. Muhammadiyah dikenal kala itu sebagai organisasi Islam pembaharu. Sejenak kembali ke daerah kelahirannya Luwu, Kahar yang lahir 24 Maret 1921 dengan nama La Dommeng di desa Lanipa tak jauh dari kota Palopo, sempat mengajar di Sekolah Muhammadiyah setempat. Karena suatu hal, Kahar di-‘persona non grata’-kan di daerahnya, sehingga ia memutuskan kembali ke Surakarta tahun 1943. Dan pada waktu revolusi bersenjata dimulai di masa pendudukan Jepang dan setelah proklamasi 1945, Kahar menggabungkan diri dengan kalangan perjuangan di sana. Ia aktif di KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) sebagai Sekertaris. Tahun 1948 ia sempat diangkat sebagai Wakil Komandan Brigade XVI. Sewaktu ditugaskan ke Sulawesi Selatan Juni 1950 untuk menyelesaikan soal gerilyawan (kasus CTN), Kahar adalah Komandan Komando Group Seberang –penamaan untuk pasukan-pasukan non-Jawa.

KH Achmad Marzuki Hasan, mantan Kepala Perwakilan Kementerian Penerangan DI/TII Sulawesi Selatan menceritakan kepada Majalah Islam Sabili (Juli 2004), ketika bergerak di hutan, Kahar Muzakkar pernah mengatakan padanya bahwa seandainya Piagam Jakarta diberlakukan, maka Kahar takkan masuk hutan. Penuturan ini sedikit artifisial karena faktanya Kahar masuk hutan oleh persoalan lain yang terkait ‘sakit hati’ dan barulah setelah tiga tahun dalam hutan ia bergabung dengan DI/TII dan NII pimpinan SM Kartosoewirjo.

DARI seluruh catatan sejarah tentang Negara Islam Indonesia, kita bisa melihat bahwa tokoh yang boleh dikata bergerak merebut kekuasaan berdasarkan keyakinan ideologis, hanyalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Itupun sedikitnya masih dilatarbelakangi kekecewaan kegagalan dalam persaingan posisi di tubuh angkatan bersenjata di awal kemerdekaan. Dalam pada itu, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar dan Kahar Muzakkar adalah tokoh-tokoh yang beralih ke perjuangan atas nama Islam karena pengalaman pribadi berdasarkan kekecewaan kepada kekuasaan negara per waktu itu. Daud Beureueh berkali-kali ‘kembali’ ke pangkuan negara melalui negosiasi. Dalam Pemilu 1971 ia digunakan dalam kampanye Golkar. Ibnu Hadjar menyerahkan diri. Kahar Muzakkar pun berkali-kali terlibat perundingan dengan pemerintah, namun selalu gagal, dan akhirnya tertembak mati 3 Februari 1965. Tetapi adalah menarik bahwa sentimen keagamaan itu hingga kini tetap dipakai sebagai senjata untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta, atau cita-cita mendirikan Negara Islam, atau setidaknya memasukkan syariah sebagai bagian dalam pengaturan negara.

SM KARTOSOEWIRJO. “Dari seluruh catatan sejarah tentang Negara Islam Indonesia, kita bisa melihat bahwa tokoh yang betul-betul bergerak sepenuhnya merebut kekuasaan berdasarkan keyakinan ideologis, hanyalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Dalam pada itu, Daud Beureueh, Ibnu Hadjar dan Kahar Muzakkar adalah tokoh-tokoh yang beralih ke perjuangan atas nama Islam karena pengalaman pribadi berdasarkan kekecewaan kepada kekuasaan negara per waktu itu”.

Bila SM Kartosoewirjo tetap menjadi seorang die hard yang menebus keyakinannya dengan nyawanya di tahun 1962, banyak tokoh baru dengan hanya sedikit pengecualian, tidak berjuang sampai mati, melainkan hanya sampai saat kalangan penguasa berhasil melakukan negosiasi yang memberi keuntungan duniawi bagi mereka –harta, kedudukan dan yang semacamnya. Pengikut-pengikutnya dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, banyak berkolaborasi dengan kalangan kekuasaan negara, entah sebagai bagian dari operasi intelejen, entah sebagai bagian dari pembinaan politik dengan imbalan fasilitas atau yang semacam itu. Gerakan Aceh Merdeka berakhir dengan kompromi berupa NAD yang memberi kesempatan tokoh-tokoh GAM turut serta dalam kekuasaan setempat. Maka menarik untuk melihat lebih jauh, akan termasuk ke dalam kategori manakah Abu Bakar Ba’asyir dengan JI nantinya?

Pemerintah semestinya tak membiasakan diri melakukan ‘perdagangan politik’ semacam ini. Pemerintah sebenarnya tak perlu terlalu panik bila menghadapi berbagai move yang mengatasnamakan agama. Bila pemerintah awas dan teliti memberantas akar-akar permasalahan, dan tegas menegakkan hukum, masyarakat takkan terlalu ‘menderita’ dengan gangguan-gangguan semacam teror bom atau rekrutmen ala NII yang terjadi belakangan ini. Lain soal, kalau ada kalangan penguasa sendiri yang memanfaatkan situasi sebagai lahan keuntungan politik dan keuntungan finansial: Ada masalah, ada anggaran.

NAMUN, terlepas dari itu, ada suatu masalah jangka panjang yang serius. Saat ini, sangat terbatas tokoh kalangan kekuasaan yang memiliki pemahaman konseptual tentang apa yang dihadapi bangsa dan negara ini, maupun pemahaman tentang rasionalitas politik di Indonesia. Mereka lebih banyak ‘bermain-main politik’ daripada menjalankan politik sesungguhnya sebagaimana harusnya. Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia hingga kini, menurut Dr Marzuki Darusman SH, terdapat tiga perdebatan politik yang mengemuka dan yang membangun kerangka rasionalitas politik di Indonesia. Perdebatan-perdebatan ini untuk sebagian bertalian dengan pertanyaan-pertanyaan geopolitik internasional tentang pengenalan mengenai hakikat suatu negara atau pemerintahan di dunia. Pertama, apakah Indonesia adalah negara sekuler atau suatu negara di mana lembaga-lembaga agama tidak predominan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, apakah kita adalah negara majemuk atau multikultural. Ketiga, apakah kita adalah negara dan bangsa yang pada dasarnya berpaham sosial-demokrat atau liberal.

Tiga perdebatan definitif ini menggelar penalaran –interpretasi, justifikasi dan argumentasi– publik Indonesia. Jika politik rasional, maka dimungkinkan tindaklan-tindakan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dan beradab. Perdebatan-perdebatan itu bukanlah menggambarkan suatu tahap sejarah atau fase perkembangan bangsa Indonesia, dalam arti mempertanyakan apakah kita sudah atau akan menjadi negara atau bangsa yang semestinya kita ‘menjadi’. Artinya, apakah kita perlu menggali jauh ke masa lampau dan mendapatkan kembali apa yang diidentifikasi sebagai ‘ke-Indonesia-an’ kita, seperti yang diprakarsai oleh almarhum Nurcholis Madjid dalam upaya menasionalkan pemahaman agama? Atau, dapatkah akhirnya kita memandang keunikan kita sebagai bangsa dalam wujud prose ‘menjadi’ yang transformatif? Di sinilah Pancasila dapat dan perlu didayagunakan memenuhi peranannya yang ideologis. Peranan itu adalah menghubungkan kekuatan-kekuatan sosial dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan politik.

Pancasila dan Piagam Jakarta (1)

SETIAP kali Indonesia terbentur peristiwa-peristiwa keras karena kehadiran gerakan-gerakan ekstrim yang membawakan ideologi ekstra, semacam komunisme maupun ideologi politik Islam, atau saat keselamatan konsep NKRI ‘terancam’, orang lalu teringat dan mulai kembali menyebut-nyebutkan Pancasila. Setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dipatahkan pada 1 Oktober 1965, maka tanggal itu setiap tahun diingat dan dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Tapi kaum komunis bukan satu-satunya pemegang lisensi gerakan membahayakan Pancasila, UUD 1945 dan Pancasila meskipun mereka telah melakukan dua kali pemberontakan kepada Republik Indonesia, G30S di tahun 1965 dan Pemberontakan Madiun 1948. Kelompok yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik, juga tercatat sebagai pemegang lisensi ancaman bagi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Mulai dari gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo –yang diikuti Kahar Muzakkar, Daud Beureueh, Amir Fatah dan Ibnu Hadjar– yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia Agustus 1949, sampai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang baru usai melalui jalan kompromi di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir sejajar namun tak selalu bisa begitu saja disamakan dengan DI/TII dan NII, adalah gerakan-gerakan politik yang masih selalu memperjuangkan dimasukkannya kembali Piagam Jakarta ke Pembukaan UUD 1945. Sementara itu, kelompok anti komunis di tubuh TNI juga pernah mengobarkan pemberontakan, PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi pada akhir limapuluhan. Belum lagi gerakan separatis semacam RMS dan OPM.

Persoalan Piagam Jakarta, sebenarnya adalah sebuah peristiwa politik yang secara formal telah selesai 18 Agustus 1945 saat sejumlah pemimpin politik berlatar belakang Islam sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari konsep pembukaan UUD 1945. Namun akibat ketidakmatangan kenegarawanan lapisan para pemimpin politik baru di masa-masa berikutnya, permasalahan ternyata tidaklah berakhir pada tanggal itu.

Tatkala Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang juga dikenal dengan nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai sampai kepada tahap sidang membicarakan beginsel (dasar) “negara kita”, Ir Soekarno menjadi salah satu penyampai gagasan, yakni melalui pidato 1 Juni 1945. Dalam menyampaikan konsep dasar negara yang diusulkannya, Soekarno memulai dengan butir kebangsaan. Berikutnya berturut-turut ia menyampaikan butir-butir internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi dan kesejahteraan sosial, lalu yang terakhir Tuhan Yang Maha Esa atau Ketuhanan. Di antara sekian penyampaian, yang mendapat sambutan paling antusias memang adalah pidato Ir Soekarno. Tercatat ada 12 kali tepuk tangan menggema saat ia menyampaikan pidatonya itu dengan gaya seorang orator ulung. Namun, menurut sejarawan Anhar Gonggong, setelah pidato Ir Soekarno itu, “anggota BPUPKI tampak ‘terbelah’, dalam arti ada anggota yang sepenuhnya menerima rumusan ‘calon dasar negara’ yang diajukan anggota Ir Soekarno itu, tetapi di lain pihak terdapat sejumlah anggota yang tidak sepenuhnya menerima, dan menghendaki perubahan rumusan walau tetap berdasar  pada apa yang telah dikemukakan anggota Ir Soekarno itu”.

Untuk mempertemukan dua kutub pendapat, yakni golongan nasionalis sekuler dan golongan nasionalis Islami, Ketua BPUPKI Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat berinisiatif membentuk Panitia Kecil yang seringkali juga disebut Panitia Sembilan karena memang anggotanya terdiri dari sembilan orang. Panitia Kecil ini diketuai Ir Soekarno dengan wakil ketua Drs Mohammad Hatta. Tujuh anggota lainnya adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, H. Agoes Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Muhammad Yamin, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso dan Achmad Soebardjo. Dalam serangkaian rapat, dirumuskan suatu formula yang memberi tempat bagi aspirasi golongan Islam, yaitu, “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, terdiri dari tujuh kata. Selain itu, Panitia Sembilan juga menempatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama, yang oleh Soekarno tadinya ditempatkan di bagian belakang. Adalah Mohammad Yamin yang memberi penamaan Piagam Jakarta bagi rumusan itu. Dalam piagam yang dipersiapkan sebagai bagian pembukaan UUD ini, tidak digunakan penamaan Pancasila bagi lima butir dasar negara yang di kemudian hari dinamakan Pancasila, meskipun rumusannya ditulis lengkap. Begitu pula dalam Pembukaan UUD 1945 nanti.

Pengusul dari 7 kata di alinea terakhir draft konsep Pembukaan UUD itu adalah wakil golongan Islam, dengan pengertian bahwa kewajiban itu hanya berlaku bagi para pemeluk agama Islam dan tidak mewajibkan bagi yang lain di luar itu. Tapi secara teoritis ketatanegaraan, ada anggapan bahwa bila negara mewajibkan sesuatu hanya untuk sebagian warganegaranya, maka itu berarti diskriminatif. Negara tak boleh melakukan pengecualian, tetapi harus mengatur semua warganegara secara keseluruhan. Terhadap rumusan Piagam Jakarta, menurut Dr Midian Sirait, dalam bukunya Revitalisasi Pancasila (Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2008), muncul penolakan dari kelompok Indonesia Timur yang dipimpin oleh Latuharhary. Kelompok ini datang menemui Mohammad Hatta, pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945. Mohammad Hatta menampung usulan untuk mencoret 7 kata itu, tapi tidak mengambil putusan sendiri. Ia terlebih dahulu menanyakan pendapat KH Wahid Hasyim –yang kelak menjadi Menteri Agama pertama Republik Indonesia, ayah dari KH Abdurrahman Wahid– salah seorang ulama yang menjadi anggota Panitia Sembilan. KH Wahid Hasyim mengatakan, tak apa bila 7 kata itu dicoret. H. Agoes Salim juga menyatakan bisa memahami pencoretan itu.

Sebenarnya di Panitia Sembilan, ada Mr Maramis yang juga hadir tatkala Piagam Jakarta dirumuskan. “Di kemudian hari, ketika ditanya, mengapa Mr Maramis menyetujui 7 kata, beliau menjawab, dirinya sedang mengantuk tatkala hal itu dibahas”. Atau mungkin Mr Maramis yang bukan muslim sebenarnya merasa ‘sungkan’ untuk menolak saat itu? “Namun terlepas dari itu, kita bisa melihat betapa para pendiri bangsa kita itu berkemampuan mengatasi itu semua dengan baik, terhindar dari sikap bersikeras, karena rasional dan betul-betul menghayati filosofi negara. Mereka semua berpendidikan barat, tetapi tetap taat kepada ajaran agama masing-masing, secara rasional”. Jadi tatkala mereka melihat secara filosofis bahwa bila sesuatu memiliki akibat-akibat tertentu bagi warganegara, dan menimbulkan suatu situasi diskriminatif, mereka bisa menentukan sikap secara tepat. Mereka memang para negarawan.

PADA saat Presiden Soekarno menyampaikan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, permasalahan menyangkut Piagam Jakarta juga tampil kembali. “Setiap ada perumusan pembukaan UUD 1945, persoalan itu pasti muncul kembali, yang terutama dilakukan oleh para pemimpin generasi baru yang agaknya belum memiliki pemahaman filosofis seperti yang dipahami KH Wahid Hasyim atau H. Agoes Salim”. Ketika persoalan itu muncul saat Dekrit 5 Juli 1959, suatu solusi diberikan oleh Mohammad Yamin dan Roeslan Abdoelgani, yaitu dengan menambahkan kalimat dalam dekrit bahwa langkah kembali ke UUD 1945 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Dengan rumusan seperti itu, Dekrit 5 Juli 1959 disetujui oleh kelompok politik Islam.

ABDUL KAHAR MUZAKKAR. “Kahar Muzakkar pemimpin DI/TII di Sulawesi Selatan, tadinya adalah seorang Letnan Kolonel asal daerah itu, yang selalu kecewa karena kalah dalam persaingan memperoleh posisi di tubuh TNI. Baik dengan perwira asal Minahasa, seperti Letnan Kolonel Warouw– yang merupakan rival bebuyutannya– maupun perwira-perwira Bugis seperti Kolonel Saleh Lahade dan Letnan Kolonel Andi Mattalata”. Foto Istimewa.

Selain keinginan memberlakukan Piagam Jakarta, terdapat pula beberapa gerakan untuk menjadikan Indonesia sebagai suatu negara berdasarkan agama. Gerakan yang paling menonjol tentu saja adalah gerakan bersenjata SM Kartosoewirjo yang dengan DI/TII-nya memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada Agustus 1949 saat Republik Indonesia sedang mengalami kesulitan dalam usianya yang baru 4 tahun. Gerakan DI/TII mendapat pengikut di Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tapi bila dicermati, gerakan DI/TII di daerah-daerah itu bukanlah murni motif menegakkan Negara Islam, melainkan hasil komplikasi kepentingan pribadi dari para pemimpinnya masing-masing.

Daud Beureueh dari Aceh, adalah tokoh yang kecewa terhadap apa yang dianggapnya ‘ketidakadilan’ dalam penentuan posisi Gubernur Sumatera bagian Utara di tahun 1950. Pada waktu itu ada dua calon untuk mengisi posisi sebagai gubernur di propinsi Sumatera bagian Utara itu, yakni Daud Beureueh yang saat itu adalah Gubernur Militer Aceh dan Ferdinand Lumbang Tobing yang adalah Gubernur Militer Tapanuli. Tapi ternyata, pemerintah pusat memilih orang lain di luar mereka, yakni seorang tokoh yang tak begitu dikenal dan tak begitu diketahui jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, bernama Amin. Karena kecewa, Daud Beureuh menggabungkan diri dengan Kartosoewirjo dan membentuk DI/TII di Aceh. Ibnu Hadjar dari Kalimantan Selatan, membentuk DI/TII dan bergabung dengan NII Kartosoewirjo, juga karena kekecewaan pribadinya terhadap suatu masalah internal TNI di daerahnya.

Kahar Muzakkar pemimpin DI/TII di Sulawesi Selatan, tadinya adalah seorang Letnan Kolonel asal daerah itu, yang selalu kecewa karena kalah dalam persaingan memperoleh posisi di tubuh TNI. Baik dengan perwira asal Minahasa, seperti Letnan Kolonel Warouw– yang merupakan rival bebuyutannya– maupun perwira-perwira Bugis seperti Kolonel Saleh Lahade dan Letnan Kolonel Andi Mattalata. Kahar tidak punya ‘teman kuat’ yang bisa membantunya memperoleh posisi komando di Sulawesi Selatan yang menjadi obsesinya, dan hanya punya teman-teman di kalangan perwira berhaluan komunis. Namun ketika ada trouble dengan sejumlah ex gerilyawan yang pernah ikut perlawanan bersenjata melawan Belanda, Kahar dikirim oleh pemerintah pusat Juni 1950 untuk membujuk mereka. Bekas-bekas gerilyawan ini menuntut agar diakui sebagai pejuang kemerdekaan dan diterima ke dalam TNI. Bagi mereka, menurut Barbara Sillars Harvey –penulis buku mengenai Permesta dan buku tentang Kahar Muzakkar– sang Letnan Kolonel adalah adalah jagoan mereka. Tetapi sang jagoan yang diutus ini, malah ikut bergabung dengan para bekas gerilyawan yang justru harus dibujuknya keluar dari hutan. Di tahun 1951 sempat terjadi persetujuan, dengan memberi para gerilyawan itu status CTN (Corps Tjadangan Nasional). Tapi persetujuan ini separuh gagal separuh berhasil. Kahar Muzakkar bersama separuh dari pasukan gerilya itu kembali masuk hutan, sementara sebagian lainnya yang diterima masuk TNI disusun dalam 5 batalion dengan komandan-komandan mereka sendiri. Tetapi, “mereka tetap saja menyusahkan komando-komando nasional dan daerah, seperti teman-teman mereka yang menetap di hutan”, tulis Barbara Sillas Harvey.

Berlanjut ke Bagian 2  

Negara Islam Indonesia di Ladang Permainan Intelejen (1)

INTENSITAS berita rekrutmen yang dilakukan gerakan NII (Negara Islam Indonesia) –dengan berbagai cara– akhir-akhir ini, telah menciptakan semacam angstpsychose di tengah masyarakat. Terutama di kalangan mahasiswa –yang menjadi sasaran utama rekrutmen ‘paksa’ itu– dan para orangtua mahasiswa maupun kalangan otoritas kampus. Bersamaan dengan itu, aparat keamanan kita sejauh ini belum mampu memberi kejelasan yang cukup, sejauh mana misalnya mereka telah mengantisipasi gerakan itu.

Juga belum ada kejelasan lebih rinci tentang NII yang bisa diperoleh dari pihak keamanan saat ini, apakah ia sama dan atau kelanjutan dari Negara Islam Indonesia yang dinyatakan dalam teks proklamasi tertanggal 7 Agustus 1949 yang dibuat Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, ataukah sesuatu jelmaan baru dengan nama yang sama? Atau setidaknya mirip dengan kelonggaran organisasi yang terjadi pada OPM (Organisasi Papua Merdeka). Menurut Marthin Tabu ex Panglima Perang OPM di sekitar Kerom, sekitar tahun 70-80an, setiap kali ada orang Papua yang kecewa ia langsung bisa masuk hutan dan menamakan diri OPM padahal belum tentu ia punya kontak dan kaitan organisasi dengan kelompok lain yang juga menamakan diri OPM. Sebaliknya, bila sumber kekecewaannya sudah ‘terobati’ dengan kompromi-kompromi dengan mudah pula ia keluar hutan. Pihak Polri pada mulanya pun sempat ‘memperkecil’ gerakan NII akhir-akhir ini sebagai sekedar kelompok penipu berkedok NII untuk mendapat dana dari para korbannya, yang besarannya bisa mencapai puluhan juta per korban. Mirip dengan sindiran di negara barat tentang The Modern Jihad, bahwa terorisme atas nama jihad telah dijadikan ladang pencarian uang yang bernilai jutaan dollar.

Secara menyeluruh, pemerintah saat ini memang terkesan kikuk dan gugup menghadapi isu NII. Tanpa menyebut NII, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya mengingatkan semua pihak untuk waspada dan bersama menanggulangi ancaman terorisme, kekerasan dan radikalisme. Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyebutkan pemerintah tak mengizinkan berdirinya NII, dan “sejauh ini tidak pernah ada deklarasi organisasi Negara Islam Indonesia”. Sejak kapan sebuah gerakan radikal yang ingin merubah bentuk dan dasar negara mau minta izin pemerintah? SM Kartosoewirjo di tahun 1949 –sebelum Patrialis Akbar lahir– tak merasa perlu minta izin pemerintah Soekarno tapi langsung memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Atau, justru Patrialis yang benar, bahwa NII yang sekarang ini bukan kelanjutan NII-nya SM Kartosoewirjo?

Sydney Jones –jurnalis yang kini lebih dikenal sebagai peneliti dari International Crisis Group– bisa menginformasikan gambaran tentang NII dan terorisme yang lebih jelas daripada kebanyakan tokoh pemerintahan. Dan, bisa lebih akurat. Menurut Sydney, terorisme belakangan ini bisa dirujuk kepada Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan SM Kartosoewirjo 7 Agustus 1949 itu. Artinya, NII tidak mati bersama SM Kartosoewirjo. NII menurut Sydney berkembang menjadi banyak faksi, meskipun setiap faksi bisa berbeda pandangan, bahkan bisa bertentangan satu sama lain. Jamaah Islamiyah (JI) yang dipimpin almarhum Abdullah Sungkar dan kemudian Abu Bakar Ba’asyir, adalah salah satu sempalan NII. Ada juga Angkatan Mujahidin Islam Nusantara, ada Ring Banten, ada faksi yang bergabung dengan gerilyawan Islam Moro dan Nurdin M. Top. “Pepi Fernando, tersangka kasus bom buku dan bom dekat gereja Christ Cathedral di Serpong, Tangerang, kemungkinan awalnya direkrut NII faksi Tahmid”, demikian Sydney (Kompas, 30 April 2011).

Selain itu ada pula NII Komandemen Wilayah 9 di bawah pimpinan Abu Toto alias Panji Gumilang yang banyak menjadi fokus pemberitaan belakangan ini. Namun, Panji Gumilang yang memimpin pesantren As-Zaytun di Indramayu, membantah keterkaitan dengan NII. Dalam wawancara dengan sebuah stasiun TV Swasta, Panji Gumilang menegaskan, Negara Islam Indonesia sudah berakhir tahun 1962, bersamaan dengan tertangkap dan dihukum matinya SM Kartosoewirjo.

ANCAMAN EKSISTENSI NEGARA PALESTINA. “Tak bisa dibandingkan dengan perlawanan di Palestina, yang melibatkan kelompok Islam maupun non Islam, dengan motivasi yang jauh lebih kuat demi eksistensi negara Palestina. Tentu saja ada kelompok die hard dalam konteks Negara Islam Indonesia, tapi tetap saja tak terlepas dari hasrat berkuasa dengan segala ‘benefit’nya”. Source: artintifada.

Tapi apapun itu, benar apa yang dikatakan sejumlah tokoh seperti Mahfud MD bahwa pemerintah gamang menghadapi radikalisme, sektarianisme dan premanisme. Kegamangan ini “membuat jaringan Negara Islam Indonesia yang pada masa lalu takut muncul dan mengembangkan diri, kini menjadi gerakan yang massive”.

UNTUK sebagian, memang benar bahwa gerakan NII cukup gentar terhadap sikap keras ABRI –khususnya TNI-AD– di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Militer masa Soekarno, di bawah Jenderal AH Nasution secara umum juga cukup tegas terhadap Pemberontakan DI/TII yang telah memproklamirkan Negara Islam Indonesia, baik yang di Jawa Barat (dipimpin langsung SM Kartosoewirjo) dan Jawa Tengah (Amir Fatah), maupun di Aceh (Daud Beureueh), Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar) dan Abdul Kahar Muzakkar (di Sulawesi Selatan). Perlawanan Amir Fatah tak berlangsung lama. Ibnu Hadjar ditangkap akhir 1959. SM Kartosoewirjo ditangkap melalui operasi pagar betis rakyat bersama Pasukan Siliwangi 4 Juni 1962, lalu diadili, dihukum mati dengan tembak mati yang dilaksanakan bulan September di tahun 1962 itu juga. Daud Beureueh kembali ke masyarakat Desember 1962. Paling akhir, Kahar Muzakkar ditembak mati di Lasolo pada subuh hari 3 Februari 1965 setelah dikejar tanpa henti selama berbulan-bulan oleh Pasukan Siliwangi.

Akan tetapi, untuk sebagian lainnya lagi, tak selalu penguasa negara bersikap keras tanpa kompromi terhadap gerakan-gerakan radikal, termasuk NII. Seringkali sejumlah tokoh NII dirangkul untuk kepentingan tertentu, entah kepentingan politik, entah kepentingan faksi-faksi dalam kekuasaan negara. Tak jarang tokoh-tokoh NII, sebagaimana halnya tokoh-tokoh eks PKI, dimanfaatkan dalam berbagai ‘operasi’ intelejen maupun politik. Satu dan lain sebab, pola rangkul dan pemanfaatan seperti itu, menyebabkan banyak gerakan-gerakan radikal, eks pemberontakan, dan sebagainya, bisa melanjutkan nafas. Belum lagi selalu tersedianya sumber dana untuk kelompok-kelompok ini dari tokoh-tokoh kekuasaan sendiri untuk berbagai kepentingan politik, selain sumbangan-sumbangan dari negara-negara Arab baik dari Libya maupun Saudi Arabia yang kadangkala dilakukan tak selektif, yang penting ada label Islam-nya.

Untuk menghadapi PKI yang makin kokoh secara politis di sekitar Soekarno, pada awal tahun 1965 misalnya, Aloysius Sugiyanto seorang perwira AD yang bekerja untuk Opsus Ali Moertopo, telah menjalin ikatan dengan Danu Mohammad Hasan, salah seorang komandan DI-TII Jawa Barat yang baru saja mendapat amnesti. Kepada Ken Conboy penulis buku Intel: Inside Indonesia’s Intellegence Service (Equinox, 2004), Sugiyanto mengaku ditugaskan membina Danu. “Pada Maret 1966, kami menggunakan Danu dan anak buahnya untuk memburu anggota-anggota BPI yang bersembunyi di Jakarta dan sekitarnya”. BPI adalah Badan Pusat Intelejen di masa Soekarno, yang dipimpin oleh Dr Soebandrio.

Dari Danu pula Opsus (Operasi Khusus) –yang tadinya dibentuk untuk kepentingan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat– dengan cepat mendapat informasi tentang pembentukan Komando Jihad di tahun 1968 yang awalnya diprakarsai oleh putera SM Kartosoewirjo, Dodo Mohammad Darda bin Kartosoewirjo bersama sejumlah eks perwira-perwira tempur Kartosoewirjo. Untuk setahun lamanya, Komando Jihad hanya sekedar bahan omongan di kalangan eks DI-TII. Di atas kertas, Adah Djaelani, salah seorang yang dekat dengan SM Kartosoewirjo, membagi Indonesia dalam tujuh daerah komando. Tapi dari tujuh daerah komando itu hanya satu yang boleh dikatakan ada wujudnya, yakni Daerah Komando 3, dipimpin oleh Danu Mohammad Hasan yang sejak lama telah terbina oleh Opsus. Proyek Komando Jihad ini ditangani oleh Pitut Suharto, seorang perwira intelejen yang pangkatnya pernah dinaik-turunkan, pulang-pergi dari Letnan Kolonel-Kapten-Mayor-Letnan Kolonel. Menghadapi Pemilihan Umum 1971 Jenderal Ali Moertopo memanfaatkan jaringan Komando Jihad untuk memobilisasi suara bagi Golongan Karya di bekas daerah-daerah kantong DI-TII. Seperti diketahui, Komando Jihad, dalam suatu cerita lain, tercatat pula keterlibatannya dengan pembajakan pesawat Garuda Woyla yang berhasil ditumpas di Bandar Don Muang Bangkok 31 Maret 1981. Sebelum melakukan pembajakan, 11 Maret 1981 mereka menyerbu Polsek Cicendo Bandung dan memperoleh sejumlah senjata di sana.

OSAMA BIN LADEN TEWAS. Tokoh sumber inspirasi dan penggerak terorisme dunia dengan mengatasnamakan Islam, tewas Minggu malam 1 Mei 2011 waktu setempat dekat Islamabad Pakistan. Menurut Presiden AS Barrack Obama, pendiri dan pimpinan Al Qaeda ini tewas setelah tembak menembak dalam penyergapan di sebuah rumah di Abbotabad oleh satuan intelejen AS. Beberapa anggota gerakan ekstrim Indonesia, setidaknya diketahui pernah dilatih oleh dan punya hubungan dengan jaringan Al Qaeda.

Selain Danu Mohammad Hasan, Pitut Suharto menggarap juga Ateng Djaelani yang dianggap punya bakat dagang, dan diberi kesempatan menangani distribusi minyak tanah yang merupakan ‘jatah’ Opsus dari Pertamina. Meski tampaknya berhasil membina tokoh-tokoh ex DI/TII dan Komando Jihad, Pitut mengakui bahwa dari 26 orang tokoh-tokoh teras gerakan itu, hanya kurang lebih sepertiga yang kooperatif. Tetapi Pitut tetap melakukan pendekatan. Dalam serangkaian pertemuan rahasia sepanjang 1972 dan 1973, para pemimpin gerakan itu merancang untuk mewujudkan komando-komando luar Jawa. Untuk Aceh pembicaraan dilakukan dengan Daud Beureueh. Pembicaraan serupa dilakukan pula di Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Namun upaya di dua daerah yang disebut terakhir ini tak begitu berhasil. Beberapa tokoh-tokoh eks DI-TII setempat tak terlalu menyenangi para pimpinan di Jawa, terutama Ateng Djaelani yang mereka anggap kurang ‘dermawan’, enggan berbagi, padahal memegang konsesi distribusi minyak tanah dari Pertamina. Ketidakmerataan pembagian rezeki, rupanya menjadi satu faktor penting juga, tak bisa dibandingkan dengan perlawanan di Palestina, yang melibatkan kelompok Islam maupun non Islam, dengan motivasi yang jauh lebih kuat demi eksistensi negara Palestina. Tentu saja ada kelompok die hard dalam konteks Negara Islam Indonesia, tapi tetap saja tak terlepas dari hasrat berkuasa dengan segala ‘benefit’nya.

Berlanjut ke Bagian 2

Negara Islam Indonesia: Dari Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, Hingga Abu Bakar Ba’asyir (1)

SELAIN karena berlangsungnya peradilan Abu Bakar Baasyir, pemberitaan mengenai Negara Islam Indonesia kembali mengisi ruang dan kolom berbagai media belakangan ini dengan terjadinya serangkaian ‘penculikan’ sejumlah mahasiswa –terakhir tujuh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang– dengan motif rekrutmen pengikut melalui proses ‘cuci otak’. Angan-angan mendirikan Negara Islam Indonesia itu sendiri bukanlah cerita baru, karena sudah seusia, bahkan lebih tua dari republik ini.

Kisah Negara Islam Indonesia ini berpangkal pada serangkaian pemisahan diri dari Sarekat Islam. Sarekat Islam –yang didirikan tahun 1911 oleh Haji Samanhudi– mendapat perhatian saat dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Sarekat Islam di bawah Tjokroaminoto menampakkan diri dengan ciri jelas sebagai suatu partai Islam. Namun, setelah berada dalam fokus perhatian dan mendapat pengikut yang semakin banyak, di dalam tubuh organisasi itu lalu terbentuk pengelompokan-pengelompokan. Dalam hitungan tahun pengelompokan itu mengerucut tajam yang berlanjut dengan pemisahan diri, setidaknya sebanyak empat kali.

ABU BAKAR BA’ASYIR. Sekalipun Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir “merupakan pendatang baru dengan sedikit persinggungan dengan DI/TII, mereka muncul sebagai ideolog utama gerakan melalui manual-manual yang mereka terbitkan yang mengajari cara dan memupuk semangat melawan pemerintahan sekular”. Foto Antara.

Kelompok pertama, adalah kelompok nasional yang berwawasan luas dan umum yang tak beda banyak dengan berbagai organisasi kebangsaan yang tumbuh kala itu. Kelompok kedua, adalah yang memiliki kecenderungan haluan komunis, dengan tokoh-tokoh seperti Semaun dan Darsono. Sedang kelompok ketiga adalah kelompok Islam radikal dan fanatik, dengan salah satu tokohnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Sejak tahun 1917, Semaun dan Darsono didekati oleh Partai Marxist ISDV (Indische Sociale Demokratische Vereniging). ISDV didirikan Mei 1914 oleh tiga orang keturunan Belanda, Sneeveliet, Bransteder dan Bergsma. Kedekatan Semaun dan Darsono dengan ISDV menandai awal pengaruh aliran komunis di tubuh Sarekat Islam, antara lain dengan penyebutan bahwa Islam pada hakekatnya adalah agama yang sosialistis. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Sarekat Islam Merah. Setelah kurang lebih 3 tahun berada dalam lintas periphery ideologi komunis, Sarekat Islam Merah bergabung dengan ISDV. Penyatuan ini menghasilkan Partai Komunis Indonesia, yang resmi didirikan 23 Mei 1920. Dua tokoh Sarekat Islam Merah ini mendapat posisi penting dalam PKI, Semaun sebagai Ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua.

Selama tiga tahun, Semaun dan Darsono, menjalani kehidupan politik ganda, dengan sebelah kaki di PKI dan sebelah kaki lainnya masih berpijak di Sarekat Islam. Kehidupan ganda ini baru berakhir setelah adanya semacam ‘penegakan disiplin’ dalam tubuh Sarekat Islam, sehingga Semaun dan Darsono keluar dari Sarekat Islam. ‘Penegakan disiplin’ adalah buah pertentangan internal antara Sarekat Islam Merah dengan Sarekat Islam Putih yang terpicu sejak berlangsungnya Kongres I PKI di Semarang 24-25 Desember 1921. Tan Malaka sempat menghimbau Sarekat Islam, agar tak usah mengenakan ‘penegakan disiplin’ terhadap Semaun dan Darsono, mengingat bahwa sejak semula unsur merah dalam Sarekat Islam, maupun PKI sendiri, dapat berjalan bersama dengan perjuangan Islam. Sedang ke dalam PKI, Tan Malaka, mengeritik sikap anti Sarekat Islam yang berlebih-lebihan. (Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).

Setelah pemisahan oleh unsur merah, berturut terjadi pula dua pemisahan diri dari Sarekat Islam, yang menghasilkan Partai Politik Islam Indonesia (Parli) dan Penyedar yang moderat dan kooperatif, dengan tokoh Hadji Agoes Salim. Tapi pemisahan diri dengan akibat yang setara dengan pemisahan diri Sarekat Islam Merah, adalah pemisahan yang keempat, yakni eksodus Sekar Maridjan Kartosoewirjo, tokoh kelompok radikal dan fanatik. Pada tahun 1938, SM Kartosoewirjo membentuk Komite Pembela Kebenaran Islam. Di kemudian hari, khususnya di masa setelah Proklamasi Tahun 1945, Kartosoewirjo melangkah lebih jauh dan pada akhirnya melahirkan DI-TII (Darul Islam, Tentara Islam Indonesia) dan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini dikenal sebagai pelaku utama pemberontakan dan berbagai peristiwa teror bergelimang darah dengan pengatasnamaan agama di Indonesia, di masa lampau (1949-1965).

Meminjam penuturan Dr Petrus Reinhard Golose –seorang perwira Polri– terorisme masa kini, untuk sebagian masih memiliki akar pada terorisme masa lampau itu. “Karena itu”, kata Golose, dalam dalam sebuah simposium Juli 2008 di Jakarta, “terorisme tidaklah sepenuhnya benar berasal dari negara lain atau negara Timur Tengah”. Ancaman terorisme di Indonesia telah nampak ke atas permukaan sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ancaman tersebut bervariasi dalam ideologi dan tujuan politiknya. Adapun yang paling militan dan masih dapat mempertahankan eksistensinya sampai sekarang adalah Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).

Pada masa perjuangan kemerdekaan, Darul Islam, yang memiliki tentara dengan penamaan Tentara Islam Indonesia (TII), menurut Golose –berdasarkan berbagai referensi– dipimpin langsung Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Melengkapi organisasinya, ia menunjuk 3 Komandan Perang Wilayah Besar (KPWB), yaitu Agus Abdullah untuk wilayah Jawa dan Madura, Kahar Muzakkar untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, lalu Daud Beureueh untuk wilayah Sumatera dan kepulauan sekitarnya. Dalam kenyataannya, keberadaan faktual DI/NII dan atau DI/TII hanyalah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Gerakan bersenjata di Jawa barat langsung di bawah komando SM Kartosoewirjo, sedang di Jawa Tengah di bawah Amir Fatah. “Tujuan perjuangan DI/NII adalah mendirikan Negara Islam Indonesia, dengan pola menggunakan ajaran hijrah dan jihad untuk melaksanakan aksi teror, seperti menyerbu desa-desa; membunuh warga; merampas barang-barang, hasil panen, dan harta penduduk; menjadikan pejabat Indonesia sebagai target penculikan; merampok bank; membakar rumah; menghancurkan jembatan; dan membebaskan tahanan Tentara Islam Indonesia yang ditangkap oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia”.

Dalam perjalanannya, menurut Golose lebih jauh, sempat terjadi perpecahan dalam DI/NII, yaitu menjadi gerakan separatis dan gerakan terorisme. DI/NII yang berada di wilayah Aceh menjadi gerakan separatis atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Teuku Mohammad di Tiro atau Hasan Tiro sejak tahun 1976. Bentuk perjuangannya pun tetap menggunakan aksi teror terhadap warga dan pemerintah Indonesia. Perpecahan berikutnya dalam kubu DI/NII untuk wilayah Jawa terjadi pada tahun 1992 antara Ajengan Masduki dengan Abdullah Sungkar. “Hingga kemudian pada tanggal 1 Januari 1993, Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Al-jama’ah Al-Islamiyah (JI), yang sampai saat ini masih aktif bergerak sebagai organisasi teroris”.

Gerakan-gerakan bawah tanah domestik, yang terdiri dari kelompok-kelompok usrah, yang menurut Noorhaidi Hasan PhD (lulusan Utrech, Belanda) secara keseluruhan dikenal sebagai NII (Negara Islam Indonesia), tak kalah tangguh dengan gerakan-gerakan radikal Islam transnasional. Sebagai per mutasi dari DI/TII yang meletus di Jawa Barat pada 1949, gerakan ini secara khusus berjuang mendirikan negara Islam melalui strategi politik revolusioner dan militan, dengan terlebih dahulu membentuk Jamaah Islamiyah. Karena persentuhan para penganjurnya dengan ide-ide Ikhwan al-Muslimin, kegiatan-kegiatan NII juga mengikuti pola Ikhwan al-Muslimin. Hanya saja, sel-sel NII diorganisasi secara lebih rahasia dan mengikuti petunjuk Amir (komandan).

Sebagaimana dalam gerakan yang lain, menurut Noorhaidi, para anggotanya melabel kegiatan-kegiatan mereka dalam sel-sel rahasia itu dengan Tarbiyah Islamiyah. Awalnya, NII masa kini berkembang di sebuah kelompok kecil mahasiswa di Yogyakarta. Irfan S. Awwas, pemimpin Badan Koordinasi Pemuda Masjid (BKPM), memainkan peranan penting dalam mengakselerasi pertumbuhan gerakan, melalui corong penerbitannya, Arrisalah.

“Salah satu simpul terpenting gerakan NII, adalah pesantren Ngruki yang didirikan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Sekalipun keduanya merupakan pendatang baru dengan sedikit persinggungan dengan DI/TII, mereka muncul sebagai ideolog utama gerakan melalui manual-manual yang mereka terbitkan yang mengajari cara dan memupuk semangat melawan pemerintahan sekular. Sungkar dan Ba’asyir secara ideologis sangat dipengaruhi Ikhwan al-Muslimin.

Berlanjut ke Bagian 2

Jalan Terorisme: Dari Fundamentalisme Islam Hingga Radikalisme (1)

Komando Jihad pimpinan Warman untuk pertama kalinya memulai aksi dengan membunuh Rektor Universitas 11 Maret Solo. Menurut dokumen pangadilan, korban dibunuh lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiyah kepada otoritas pemerintah dan karena itu, bertanggungjawab  atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Komando Jihad juga melakukan berbagai aksi terorisme, antara lain peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla (1981) dan Bom Borobudur (1985).

APA BOLEH buat, kini Islam selalu dilekatkan kepada terorisme, karena pengalaman empiris terbaru selalu menunjukkan bahwa sebagian terbesar aksi terorisme di dunia, memang terbanyak dilakukan kaum radikal yang membawakan nama agama Islam. Radikalisme dan terorisme, menurut Noorhaidi Hasan PhD, merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Memiliki matriks yang bersinggungan secara inheren dengan arus modernisasi dan globalisasi, yang memberikan ruang dan, dalam beberapa hal, memaksa munculnya identitas parokhial serta ekspresi politik berbalut kekerasan. Jangkauan pengaruhnya mengalir paralel dengan penyebaran modernisasi dan globalisasi. Dalam konteks ini dimensi ekonomi-politik yang mewarnai pergeseran lanskap geopolitik global dan ketegangan hubungan agama dengan negara yang terjadi dalam ranah politik domestik selalu menjadi bagian penting yang berperan mendorong pertumbuhan radikalisme.

Namun, pada sisi lain, fenomena radikalisme bukan gejala yang berdiri terpisah dari pergulatan ideologis dan teologis. Doktrin-doktrin kitab suci yang diinterpretasikan secara salah dapat menyediakan legitimasi dan berfungsi sebagai framing resource bagi aktivisme kekerasan yang sebenarnya pekat dengan nuansa power struggle. Gerakan fundamentalisme yang menyulut api militansi, kekerasan dan bahkan terorisme, berhubungan secara kategoris dengan sejarah, ideologi, problem-problem struktural, identitas, dan bahkan dengan pergeseran-pergeseran geostrategi dan politik global yang terjadi seiring dengan menguatnya arus globalisasi.

Noorhadi Hasan PhD menjadi salah narasumber dalam Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” (Jakarta, 27-28 Juli 2010). Selain doktor Antropologi Sosial lulusan Universitas Utrech, Belanda (2005), ada dua narasumber lain yang menyajikan makalah menarik, yakni M. Adlin Sila, peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan dari Departemen Agama, dan Dr Petrus Reinhard Golose seorang perwira dari Mabes Polri berpangkat Komisaris Besar yang juga adalah pengajar/penceramah di PTIK, UI dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Makalah mereka akan menjadi sumber utama dalam serial ini, dengan beberapa peringkasan, sehingga bisa menjadi bahan referensi untuk mengetahui lebih jauh mengenai radikalisme dan terorisme yang dalam pengalaman kita sebagai bangsa, terutama pada beberapa dekade terakhir, ibarat duri dalam daging. Sebagai warga negara yang tak ikut dalam dosa-dosa politik seperti yang dituduhkan kaum radikal itu, setiap saat kita bisa saja menjadi salah satu korban dari aksi terorisme. Korban dari “tindak kejahatan yang luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan”, seperti kata Reinhard Golose, dengan akibat penderitaan fisik dan atau psikologis dalam waktu berkepanjangan.

Evolusi Organisasi Terorisme di Indonesia

APABILA ditelusuri, menurut Petrus Golose, terdapat benang merah antara jaringan terorisme saat ini dengan jaringan terorisme masa lampau. Terorisme yang berkembang saat ini masih memiliki hubungan atau tumbuh dari akar-akar organisasi teror masa lampau. Karena itu terorisme tidaklah sepenuhnya berasal dari negara lain, khususnya negara-negara Timur Tengah. Ancaman terorisme di Indonesia telah nampak ke atas permukaan sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ancaman tersebut bervariasi dalam ideologi dan tujuan politiknya. Adapun yang paling militan dan masih dapat mempertahankan eksistensinya hingga kini adalah Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).

Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, DI/NII dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. SM Kartosuwirjo menunjuk 3 Komandan Perang Wilayah Besar (KWB) yaitu Agus Abdullah untuk wilayah Jawa dan Madura, Kahar Muzakkar untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, Irian Jaya, serta Daud Beureueh untuk Sumatera dan kepulauan sekitarnya. Ketika itu DI/NII sempat merambah ke berbagai wilayah Nusantara, mulai Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Kemudian, Wilayah Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Tujuan perjuangan  DI/NII adalah mendirikan Negara Islam Indonesia, dengan pola menggunakan ajaran hijrah dan jihad untuk melaksanakan aksi teror, seperti menyerbu desa-desa, membunuh warga, merampas barang-barang, hasil panen dan harta penduduk, menjadikan pejabat Indonesia sebagai target penculikan, merampok bank, membakar rumah, menghancurkan jembatan, dan membebaskan tahanan Tentara Islam Indonesia yang ditangkap oleh TNI.

Dalam perjalanan lanjut, DI/NII sempat mengalami perpecahan, yaitu menjadi gerakan separatis dan terorisme. DI/NII yang berada di wilayah Aceh menjelma menjadi gerakan separatis atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Di Tiro atau Hasan Tiro sejak tahun 1976. Bentuk perjuangannya pun tetap menggunakan aksi teror terhadap warga dan pemerintah. Tokoh GAM Irwandi Yusuf yang kini menjadi Gubernur Aceh (NAD), dalam simposium yang sama, menyatakan GAM selalu menampik tuduhan sebagai gerakan separatis. GAM mengklaim sebagai gerakan pembebasan nasional dengan sebutan Acheh Sumatra National Liberation Front. “Dalam versi Indonesia, Aceh adalah bagian dari NKRI sejak masa perjuangan melawan kolonial Belanda. Tapi dalam pandangan GAM, Indonesia adalah negara yang menduduki Aceh secara sepihak. Dan GAM adalah komunitas rakyat yang ingin mengembalikan kedaulatan Aceh dari pendudukan Indonesia. Oleh sebab itu GAM selalu menampik kalau perlawanan di Aceh disebut gerakan separatis”. GAM juga menampik bila dituding sebagai suatu jaringan terorisme, apalagi bila dikaitkan dengan Al Qaeda. Juru bicara GAM Tengku Sofyan Dawod mengatakan “GAM tidak pernah dan tak akan pernah melakukan kontak apapun dengan organisasi Al Qaeda ataupun organisasi lainnya yang berurusan dengan terorisme”.

Irwandi Yusuf juga menegaskan “konflik yang terjadi di Aceh tidak terkait dengan Islam. Kendati Aceh tidak bisa dipisahkan dengan Islam, namun konflik yang terjadi di Aceh bukanlah bagian dari perang agama. GAM adalah sebuah gerak politik untuk self determination, oleh sebab itu kekerasan yang terjadi dalam konflik Aceh sesungguhnya adalah perang. “Bukan kekerasan suci yang mengatasnamakan agama, dan bukan pula teror, sebab sasaran perlawanan GAM jelas, yakni pasukan niliter Pemerintah Indonesia serta kekuatan yang mendukungnya. Kalau ada masyarakat sipil yang menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan GAM, biasanya terkait dengan keterlibatannya mendukung pasukan Pemerintah Indonesia”.

Perpecahan berikutnya yang terjadi di dalam kubu DI/NII menurut Golose, adalah di wilayah Jawa pada tahun 1992, antara Ajengan Masduki dengan Abdullah Sungkar. Hingga kemudian, pada 1 Januari 1993, Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI) yang sampai saat ini “masih aktif bergerak sebagai organisasi teroris”.

Berdasarkan Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyah, JI melaksanakan Tandhim Sirri atau sebuah organisasi rahasia dan tertutup. JI pun memiliki visi mewujudkan tegaknya Daulah Islamiyah sebagai basis menuju wujudya Khilaafah’ Alaa Minhajin Nubuwwah. Misinya adalah (1) Persiapan menegakkan Daulah yang terdiri dari pembinaan jama’ah, pembinaan kekuatan dan penggunaan kekuatan. (2) Penegakan Daulah dan (3) Penegakan Khilafah atau dunia Islam. Abdullah Sungkar pernah menduduki posisi sebagai amir atau pucuk pimpinan JI sampai tahun 1999. Setelah Abdullah Sungkar wafat posisinya ditempati Abu Bakar Ba’asyir sampai 2002. “Pada masa Amir Abu Bakar Ba’asyir, terbongkar bahwa JI adalah organisasi teroris dan terbukti telah melakukan banyak aksi terorisme di wilayah Indonesia”.

Pada penghujung 1970-an dan awal 1980-an, ungkap Golose, terjadi sejumlah aksi terorisme yang terkait dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai Komando Jihad. Dua pimpinan Komando Jihad yang ditangkap adalah Haji Ismail Pranoto dan Haji Danu Muhammad Hasan, keduanya dulu kala adalah orang dekar Kartosuwirjo. Pada 1983, Haji Danu mengungkapkan pengakuan di depan pengadilan bahwa ia (pernah) direkrut Bakin. Di luar uraian Golose, sebenarnya ada peran Kolonel Pitut Soeharto dalam perekrutan itu. Pitut adalah salah seorang perwira yang oleh Jenderal Ali Moertopo diserahi tanggungjawab ‘membina’ kaum radikal atau kelompok ekstrim Islam, termasuk ex DI/TII atau DI/NII. Sementara itu jaksa dalam perkara tersebut, mengemukakan bahwa antara 1970 hingga 1977, Haji Danu beserta 7 orang lainnya telah membentuk struktur administratif yang paralel dengan DI. Haji Danu akhirnya dipenjarakan.

Haji Ismail Pranoto sementara itu, salah seorang komandan TII (Tentara Islam Indonesia) masa Kartosuwirjo, yang dikenal pula dengan julukan Hispran, ditangkap 8 Januari 1977 dan diadili September 1978 dengan tuduhan berupaya membentuk kembali Darul Islam sejak 1970 untuk menggulingkan pemerintah. Hispran dihukum seumur hidup dan meninggal dalam penjara pada tahun 1995. Januari 1979, Komando Jihad pimpinan Warman untuk pertama kalinya memulai aksi dengan membunuh Rektor Universitas 11 Maret Solo. Menurut dokumen pangadilan, korban dibunuh lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiyah kepada otoritas pemerintah dan karena itu, bertanggungjawab  atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Komando Jihad juga melakukan berbagai aksi terorisme, antara lain peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla (1981) dan Bom Borobudur (1985).

Berlanjut ke Bagian 2

 

Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah (2)

Prof Dr Midian Sirait*

SELAIN keinginan memberlakukan Piagam Jakarta, terdapat pula adanya beberapa gerakan untuk menjadikan negara ini sebagai satu negara berdasarkan agama. Tahun lima puluhan tak lama setelah kemerdekaan sudah muncul gagasan Negara Islam Indonesia yang dicetuskan oleh SM Kartosoewirjo, yang kemudian diikuti oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan serta Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Tetapi jika kita mencermati kembali catatan sejarah peristiwa-peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa motif awal dari gerakan-gerakan itu sebenarnya bukan berpangkal pada masalah agama, melainkan pada beberapa hal lain di luar itu. Daud Beureueh, membentuk DI/TII di Aceh adalah karena ketidakpuasan terhadap ketidakadilan dalam pembentukan Propinsi di Sumatera tahun 1950. Ada dua calon gubernur Sumatera bagian utara kala itu, yakni Daud Beureueh yang adalah gubernur militer Aceh dan sekitarnya serta Ferdinand Lumbantobing yang gubernur militer Tapanuli. Ternyata pemerintah pusat memilih tokoh lain diluar keduanya, yakni seorang yang bernama Amin yang saat itu tak begitu diketahui latarbelakang perjuangannya semasa perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kahar Muzakkar juga adalah orang yang tak puas kepada keputusan pemerintah pusat di tahun 1950. Ia diminta untuk menangani masalah CTN (Corps Tjadangan Nasional) yang sebagian besar adalah eks laskar rakyat.

Setelah menyelesaikan kasus itu, pemerintah pusat tidak ‘menepati’ janjinya untuk menempatkannya sebagai Panglima Territorial di wilayah itu dan malah menempatkan seorang perwira asal Sulawesi Utara dalam posisi tersebut. Kahar segera masuk hutan bersama anak buahnya dari CTN dan kemudian membentuk DI/TII. Ibnu Hadjar juga membentuk DI/TII karena kekecewaan internal dalam tubuh ketentaraan. SM Kartosoewirjo, mungkin lebih bermotif karena sejak masa awal perjuangan bersenjata sudah memimpin laskar Islam Hizbullah Sabilillah, dan sudah memprakarsai penyusunan konsep negara Islam setidaknya sejak 1945. Sewaktu Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah-Jawa Timur, tak kurang dari 40.000 anggota pasukan-pasukan Kartosoewirjo mengisi kekosongan akibat hijrahnya Siliwangi. Ketika Siliwangi kembali melalui ‘long march’ ke Jawa Barat, keduanya harus berhadapan satu sama lain. SM Kartosoewirjo yang tidak ingin meninggalkan wilayah-wilayah yang dikuasainya, lalu memproklamirkan Negara Islam Indonesia sekaligus membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Di antara pemberontakan-pemberontakan yang membawa nama DI/TII, yang paling akhir diselesaikan adalah pemberontakan Kahar Muzakkar, yakni pada awal 1965.

Setiap ada peristiwa-peristiwa berdarah berupa pemberontakan atau konflik-konflik lainnya, kerapkali orang bertanya, “di mana Pancasila itu” ? Apakah persoalan-persoalan itu terkait dengan Pancasila sebagai sistem nilai, ataukah peristiwa-peristiwa itu berdiri sendiri dan berada di luar nilai-nilai di dalamnya ? Saya melihat bahwa dalam proses pendewasaan dalam bernegara, selalu ada angan-angan dalam berbagai kelompok masyarakat untuk menjalankan keinginannya sendiri. Apakah karena terkait dengan agama, ataukah terkait dengan rasa kedaerahan atau ideologi-ideologi sempit. Dan pada waktu itu mereka melupakan Pancasila. Tetapi pada waktu yang lain, nama Pancasila digunakan dengan meninggalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bahkan Pancasila pernah digunakan dalam terminologi revolusioner dan situasi konflik dalam masyarakat.

Pada peristiwa PRRI dan Permesta tahun 1957, motif yang menonjol adalah masalah kedaerahan yang sekaligus dibarengi adanya sikap anti komunis. Sikap anti komunis tercermin antara lain dari tokoh-tokoh yang turut serta dalam pemberontakan PRRI itu, seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Aspek kedaerahannya ditandai dengan dibentuknya Dewan Gajah, Dewan Banteng dan sebagainya di pulau Sumatera. Bila berbagai pemberontakan itu ditempatkan sebagai salah satu indikator, secara empiris terlihat surutnya Pancasila, adalah setelah berlakunya Undang-undang Dasar Sementara, yaitu Undang-undang Dasar yang kita pakai setelah Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang sempat berlaku selama setahun. Dengan mosi yang dipelopori oleh Masjumi tahun 1950, agar kembali kepada negara Republik, maka dirumuskan dan dipakai UUD Sementara itu. Republik Indonesia Serikat berakhir, dengan adanya mosi tersebut. Semua negara anggota RIS, seperti Negara Pasoendan, Negara Kalimantan, Negara Madura dan lain-lain menyatakan membubarkan diri. Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur sempat bertahan. Tapi akhirnya, NIT ikut membubarkan diri juga. Sementara itu, Negara Sumatera Timur,  menurut beberapa pihak tidak pernah membubarkan diri dan tak pernah diketemukan catatan atau dokumen tentang pembubarannya. Menjadi tugas para ahli sejarah untuk mengungkap bagaimana duduk perkara sebenarnya, apakah tidak pernah membubarkan diri, atau kalau pernah, kapan dan dengan cara bagaimana pembubaran itu terjadi.

Dengan pembubaran negara-negara ‘bagian’ itu, Indonesia kembali utuh sebagai Republik Indonesia, yang menggunakan UUD Sementara sebagai konstitusi dasar. Tetapi perlu dicatat, bahwa baik dalam UUD RIS maupun UUDS sebenarnya keberadaan nilai-nilai Pancasila dalam bagian pembukaan senantiasa dipertahankan, nilai-nilainya tersurat di dalamnya, seperti halnya pada Pembukaan UUD 1945, meskipun juga tak menyebutkannya dengan penamaan Pancasila. Dengan demikian, tak pernah ada masalah sepanjang menyangkut bagian pembukaan undang-undang dasar, sejak tahun 1950 sampai kembali ke Undang-undang dasar 1945 di tahun 1959. Yang bermasalah adalah praktek kehidupan politik. Antara tahun 1950, yakni setelah pengakuan kedaulatan, hingga tahun 1955 saatnya dilakukan pemilihan umum untuk menyusun konstituante, kehidupan politik penuh pergolakan karena ‘pertengkaran’ antar partai-partai, yang tercermin baik di parlemen maupun dalam bergantinya kabinet terus menerus. Presiden Soekarno hanya menjadi simbol, kepala negara, sedangkan pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri yang dipilih di forum parlemen itu sendiri.

Terlihat betapa partai-partai yang ada tidak menampakkan kedewasaan dalam berkehidupan parlemen. Namun, sepanjang sejarah parlemen, tidak pernah ada kabinet yang jatuh karena suatu resolusi di parlemen. Selalu, kabinet jatuh, karena partai-partai menarik menterinya dari kabinet, pecah dari dalam tubuh kabinet. Dengan perkataan lain, terjadi ketidaksepakatan atau pertengkaran antara partai pendukung kabinet sehingga koalisi pecah. Ketidakakuran itu terutama terjadi diantara empat partai terbesar, yakni PNI, Masyumi, NU serta PSI pada masa-masa sebelum Pemilihan Umum 1955. Semestinya, kabinet bubar karena voting atau adanya mosi tidak percaya di parlemen. Tapi ini yang justru tak pernah terjadi. Kedewasaan dalam berpartai dan berpolitik memang belum ada, suatu keadaan yang agaknya tetap berlangsung hingga kini. Tentu ini berarti pula bahwa ketidakdewasaan itu juga belum ada dalam berparlemen. Mungkin itulah salah satu kekurangan utama kehidupan politik kita. Bandingkan misalnya dengan Inggeris, yang sudah mulai mengenal kehidupan berparlemen dalam sistem yang tetap monarkis, yaitu sejak Magna Charta tahun 1215. Dalam kehidupan berparlemen kita –dan begitu pula secara umum dalam kehidupan politik– masih terdapat dari waktu ke waktu kecenderungan dikotomis, baik Jawa-Luar Jawa maupun dalam konteks pusat-daerah.

Soekarno: Dari ‘bangsa tempe’ hingga revolusi terus menerus

Hingga tahun 1965, kehidupan politik kita juga mengalami situasi konflik yang berkepanjangan, terkait dengan ideologi komunis versus non komunis. Sedikit banyaknya, situasi itu adalah karena imbas perang dingin antara blok timur dan blok barat yang berlangsung sengit secara internasional. Puncak situasi konflik komunis-non komunis di Indonesia berlangsung terutama tahun 1960-1965. Dalam konflik ideologi itu, Soekarno memperlihatkan kecenderungan kuat berpihak kepada kaum komunis, yang tercermin dari berbagai pidatonya selama masa Nasakom. PKI memanfaatkan situasi seperti itu. Sebenarnya, Soekarno pada dasarnya memiliki ‘cara’ berpikir ilmiah dan universal, tidak terlalu menonjol kejawaannya, antara lain bila dibandingkan dengan Soeharto yang menjadi penggantinya kelak. Malahan, pemikiran-pemikiran filosofis Soekarno kadangkala amat terasa berorientasi pada pemikiran barat. Dia memiliki pandangan yang mendunia, mengenal universal weltanschauung. Kerapkali ia ‘menunjukkan’ kekecewaan terhadap kualitas pemikiran bangsa dengan menampilkan sebutan terus terang bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa tempe. Mohammad Hatta pun memiliki pemikiran yang luas dan mendunia, cenderung akademik, tetapi dibanding Soekarno ia kalah dalam berpidato atau berorasi. Namun ia seorang penulis yang baik, yang mampu menyampaikan bunga rampai pemikirannya dalam beragam karya tulis. Bung Hatta menghayati konsep demokrasi. Bunga rampai pemikiran Bung Hatta tersusun dalam buku yang tebal. Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno menguraikan mengenai revolusi yang tampaknya berada dalam alur yang sejalan dengan pemikiran Trotsky. Soekarno menyebutkan revolusi sebagai suatu inspirasi besar dalam sejarah manusia. Dan inspirasi itu, menurut gambaran Soekarno, adalah pertemuan antara sadar dan bawah sadar. Revolusi, menurut Soekarno, adalah bersifat terus menerus. Di sini ia berbeda dengan Mohammad Hatta, yang menyebutkan revolusi sebagai umwertung alle werte, yakni perubahan dari semua nilai-nilai secara sekaligus. Tapi sebenarnya, sebelum 1960-1965, Bung Karno pun masih menyebut revolusi dalam pengertian ‘menjebol dan membangun’, yang mirip dengan pemahaman Mohammad Hatta.

Tetapi pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia memang melakukan satu revolusi ? Dalam pengertian budaya, menurut saya, kita tidak berrevolusi. Ciri revolusi bangsa Indonesia hanya tampak saat bangkit percaya kepada kekuatan sendiri dan meninggalkan sikap tunduk kepada kekuasaan kolonial. Saat itu, tampil rasa percaya diri, percaya kepada kemampuan dan kekuatan sendiri. Mungkin bisa dikatakan sebagai revolusi fisik, jadi semacam revolusi politik. Kekuasaan yang ada kita rombak dan membangun kekuasaan baru atas kemampuan sendiri. Tapi, dalam pengertian budaya, tidak. Itu berarti dunia pendidikan kita belum berhasil membawa suatu kemajuan berpikir untuk bisa membuat perubahan besar secara menyeluruh. Barangkali ini merupakan bagian dari pasang surutnya Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa.

Dalam kehidupan parlemen antara tahun 1950-1955, Pancasila tak pernah disebut-sebut dalam artian yang bermakna. Yang tampil hanyalah berbagai ideologi lain dari masing-masing golongan atau partai politik. Masjumi begini ideologi dan pendiriannya, PNI begitu ideologi dan pendiriannya, dan lain sebagainya. Bahkan PKI sebagai salah satu partai ideologis, pernah melakukan pemberontakan di tahun 1948, yaitu Pemberontakan Madiun. Namun tak pernah ada penyelesaian tuntas atas peristiwa politik tersebut, sehingga sejak 1950 berangsur-angsur PKI bisa memulihkan kembali kekuatannya dan menjadi empat besar partai hasil pemilihan umum tahun 1955. Tetapi terlepas dari apa yang pernah dilakukannya, PKI masih melihat dirinya sebagai satu dari semua, dan masih menempatkan diri dari bagian bangsa. PKI belum sejauh partai-partai komunis lainnya di dunia yang menempatkan diri terpisah sebagai satu kekuatan. Tan Malaka pernah mengeritik PKI sebagai kekuatan komunis yang tak jelas pendiriannya, tak punya ketegasan. Secara menyeluruh, bangsa Indonesia menurut Tan Malaka, tidak bisa diajak berrevolusi. Itu pula beda Tan Malaka dengan Sjahrir yang menjalankan sosialisme dengan cara-cara yang lebih berdiplomasi. Memang teori Sjahrir lebih kepada sosialisme yang humanistik.

Sebagian dari perkembangan tanah air menjelang dan selama masa Nasakom saya ikuti dari Eropah, antara lain melalui aktivitas di PPI Jerman dan Eropah. Sejak tahun 1955 pada masa Chairul Saleh bergiat di forum PPI, menurut dokumen yang ada, telah tergambarkan terdapatnya dua kelompok besar: Satu kelompok, yakni kelompok Chairul Saleh, yang ingin agar kekuasaan yang ada harus dijebol dan dibangun kembali. Terlihat adanya suasana anti partai-partai dalam sikap kelompok tersebut. Sedangkan kelompok lain, lebih filosofis, melihat Pancasila sebagai  dasar moral dan etika bangsa. Jadi, bukan hanya dalam aspek politik kekuasaan melainkan sebagai moral bangsa, yang berarti lebih kepada budaya. Sepulang ke Indonesia, Chairul Saleh masuk dalam kabinet Soekarno sebagai Menteri urusan Veteran.

Berlanjut ke Bagian 3