Tag Archives: Mohammad Natsir

Kisah Kandas Tokoh Sipil dan Militer Dalam Pembaharuan Politik (3)

MESKI terdapat sejumlah perspektif keberhasilan, halangan bagi pembaharuan politik masih jauh lebih banyak lagi, yang terkait dengan hasrat kekuasaan. Hambatan bagi gagasan pembaharuan politik di Indonesia, sesungguhnya juga datang dari Soeharto sendiri dengan segala perkembangan dan perobahan yang terjadi pada dirinya dan di lingkungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Soeharto berobah. Dirobah oleh kekuasaan. 

Soeharto sendiri memang berangsur berobah sikap. Pada awalnya ini bisa diketahui dari cerita-cerita Ali Moertopo kepada beberapa orang yang dipercayainya. Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota. Kehadiran keluarganya di berbagai bidang kehidupan, mulai dipandang menganggu oleh banyak orang. Ada koreksi, misalnya dari Jenderal Benny Murdani, tapi semuanya nyaris tak diindahkan. Kejengkelan-kejengkelan makin terakumulasi dari hari ke hari. Tahun 1967-1969 bahkan hingga 1970, sebenarnya Soeharto masih mau demokratis. Mau datang ke parlemen dan sebagainya. Tetapi terutama setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dengan kentara ia kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis.

JENDERAL ALI MOERTOPO. "Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota."
JENDERAL ALI MOERTOPO. “Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota.”

Beberapa bulan sebelum Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), masih di tahun 1973, salah satu tanda awal perobahan perlakuan politik Soeharto terhadap Golkar, adalah dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Perkawinan di DPR-RI. Ratusan orang dari Tangerang datang ke DPR, membubarkan sidang pembahasan RUU tersebut di DPR, menginjak-injak meja pimpinan DPR. Setelah peristiwa itu, proses RUU diputar 180 derajat mengikuti usul PPP. Soeharto memerintahkan, benar atau tidak benar isinya, RUU itu harus disahkan segera menjadi UU. Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro datang ke DPR untuk melaksanakan perintah itu. Golkar ditinggalkan, FKP dipersalahkan dan dianggap terlalu ngotot mempertahankan prinsip-prinsipnya, Soeharto merangkul PPP. Kenapa Soeharto melakukan itu? Menurut analisa intelijen, gejala keresahan yang kala itu meningkat di kalangan mahasiswa di berbagai kampus, pada akhirnya akan bermuara pada suatu letupan –yang ternyata kemudian terbukti dalam wujud Peristiwa 15 Januari 1974. Ditakutkan bahwa gerakan generasi muda Islam, terutama terkait dengan RUU Perkawinan, bila dibiarkan tak terselesaikan akan bertemu dan membesar bersamaan dengan keresahan generasi muda dari kampus yang menggejala dan akan membesar pula. Faktanya, yang terjadi hanyalah Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), yang dengan mudah dipotong melalui suatu skenario terancang baik, dengan tuduhan didalangi PSI.

Setelah Malari, Golkar ditetapkan harus dipegang ABRI. Jabatan Pelaksana Harian Dewan Pembina selalu dipegang oleh Panglima ABRI. Tubuh Golkar sendiri mengalami semacam pembersihan.

Tanpa nilai dan kebajikan baru. Banyak bagian dari rasionalitas –dan mungkin juga model kegairahan berpolitik– di tahun-tahun awal pasca Soekarno itu, kini hilang dan atau tidak ditemukan dalam euphoria kebebasan masa reformasi. Kini di era reformasi dan sesudahnya banyak orang menganggap keterikatan itu tidak boleh ada dalam demokrasi. Padahal kebebasan dan keterikatan selalu tarik menarik dalam kehidupan manusia, menuruti hukum alam. Tak mungkin hanya kebebasan tanpa keterikatan. Tetap harus ada aturan, tetap harus ada keterikatan hukum dan keterikatan akan norma-norma masyarakat yang beradab. Jangan membiarkan diri hidup tak berbudaya. Kini, budaya parlemen –untuk menyebut satu contoh penting dalam kehidupan politik Indonesia– seakan-akan menjadi tak karuan lagi. “Di Inggeris orang menyebut member of parliament sebagai the honourable, tapi di Indonesia bagaimana kita boleh menyebut terhormat lagi bila orang lebih mengutamakan urusannya sendiri saja lebih dulu? Jika tidak cermat menjaga harkat dan martabat, suatu waktu bisa saja menjadi horrible member of parliament,” ujar Dr Midian Sirait.

Demokrasi memang membuka pintu bagi siapa pun untuk masuk parlemen, tapi itu tidak berarti tak perlu lagi ada kriterium kualitatif dalam aturan kehidupan politik mengenai siapa-siapa saja yang wajar untuk masuk parlemen. Di sini salah satu kekurangan dari reformasi ini. Boleh saja menghujat orde baru bila tidak memahami secara lengkap sejarah politik Indonesia dari waktu ke waktu, tetapi harus diakui bahwa bahkan di masa awal orde baru ada visi, setidaknya dalam konsep-konsep yang dilontarkan oleh kaum intelektual, seperti gagasan merubah dan memperbaharui struktur politik, dan ada proses institusionalisasi dari kepentingan infrastruktur maupun suprastruktur. Proses merobah dan merombak dalam kehidupan politik dan ekonomi untuk beberapa lama berjalan dengan arah yang baik, sebelum kembali dilumpuhkan oleh ‘keberhasilan’ pemusatan kekuasaan di tangan satu orang karena dukungan-dukungan oportunistik terkait pengutamaan hasrat kekuasaan.

Ketika muncul, para pelopor reformasi tidak mempersiapkan visi. Tidak oleh perorangan tokoh, tidak oleh kelompok-kelompok pendukung reformasi, bersamaan dengan fakta bahwa reformasi sejauh ini hanyalah retorika. Tidak ada pembaharuan konsep moral dan penciptaan etika politik baru untuk mengganti konsep yang dianggap menyimpang di masa kekuasaan lampau. Setiap anggota parlemen menyebut diri mempunyai hak konstitusional. Termasuk paling buruk adalah setiap sidang paripurna penuh dengan interupsi. Semua ingin bicara tanpa aturan tata tertib lagi, seakan kehidupan liar di alam. Siapa yang ingin bicara, terus langsung interupsi, dan tak jarang terjadi interupsi terhadap interupsi. Bahkan interupsi atas interupsi atas interupsi.

Suasananya pengap, tak beda dengan kepengapan akibat kepungan asap kebakaran hutan.

Interupsi di DPR ini dimulai masih di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, yang dilakukan oleh Sabam Sirait dari PDI, saat Wahono menjadi Ketua DPR-RI. Itupun sebenarnya hanya untuk meminta jangan dulu diambil keputusan. Apa yang dilakukan Sabam waktu itu sudah dianggap berani. Sekarang, dianggap mode untuk unjuk kehebatan. Tentunya harus ada aturan, misalnya giliran fraksi per fraksi. Harus ada etika untuk bersedia mendengar dulu pendapat orang lain baru kemudian dikomentari. Sekarang, nyatanya bila ada yang sedang bicara, belum selesai sudah dipotong. Ketua bicara pun dipotong. Maka barangkali bisa difahami kenapa ada keengganan Presiden atau para eksekutif lainnya untuk memenuhi undangan DPR. Itu terjadi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Presiden Joko Widodo. Lembaga DPR itu sama kedudukannya dengan Presiden, namun ada fungsionalisasi dan semua fungsi sama pentingnya. Harus ada kemauan untuk saling menghormati, meski pun berbeda pendapat. Itulah demokrasi, sesungguhnya. 

Budaya aktual di parlemen ini, tentu bukan satu-satunya masalah yang saat ini dihadapi. Ada sejumlah masalah lain yang harus dibenahi, mulai dari penegakan supremasi hukum sampai kepada masalah bagaimana kebebasan pers bisa digunakan dengan baik hingga kepada masalah pembaharuan perilaku politik agar lebih berbudaya, serta masalah kebutuhan akan keluhuran seorang pemimpin.

Kita bisa bersama memberi catatan dan perhatian untuk masalah-masalah tersebut.

Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan politik serta kehidupan bernegara, kita makin kekurangan solidarity makers seperti Adam Malik, Mohammad Hatta, IJ Kasimo, Mohammad Natsir ataupun type Soekarno bahkan Tan Malaka. Semua orang yang bergerak di kancah politik saat ini, bukan solidarity maker –kalau tidak malah, meminjam Dr Midian Sirait, beberapa di antaranya adalah trouble maker. Kebanyakan hanya mampu menciptakan pertemanan atau solidaritas terbatas di kelompok kepentingannya. Bahkan dalam tubuh partai pun bisa terjadi solidaritas tidak utuh, karena adanya klik-klik kepentingan. Lihat Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan atau Partai Amanat Nasional, dan sebelumnya Partai Kebangkitan Bangsa. Kuatnya klik-klik kepentingan ditubuh partai membuat partai rapuh dan mudah dibelah-belah dari luar, misalnya oleh kalangan penguasa, atau tepatnya, oleh partai yang sedang berkuasa. Contoh paling aktual, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan, yang bisa dijungkir-balikkan melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –yang adalah kader PDIP.

 ‘Pendidikan politik’ yang berlangsung bukan untuk kepentingan etis, tetapi lebih banyak untuk kepentingan kekuasaan sendiri semata-mata. Politik sekarang lebih banyak berkonotasi taktis, penuh perjuangan taktik, bukan perjuangan untuk tujuan-tujuan strategis dan luhur. Partai-partai kini untuk sebagian besar telah menjelma sebagai partai-partai oligarkis. Para pemimpin partai berkecenderungan kuat memperlakukan partainya sebagai milik pribadi. Walau dari mulut mereka masih selalu terlontar retorika demokrasi dan retorika berjuang untuk rakyat.

Kehidupan politik seakan tak pernah berhasil tersentuh nilai dan kebajikan baru.Agaknya pembaharuan politik hingga sejauh ini memang masih selalu kandas. 

-Disusun dari beberapa dokumentasi hasil wawancara dan dokumentasi lainnya. (socio-politica.com)

Kisah Kandas Tokoh Sipil dan Militer Dalam Pembaharuan Politik (1)

BERITA-BERITA 11 Maret 2016 di berbagai suratkabar nasional, menyebutkan terjadinya kembali kebakaran lahan dan hutan di beberapa provinsi. Namun, kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, jumlah titik apinya jauh lebih kecil dibanding tahun lalu. Tapi sebenarnya, di Indonesia, bukan hanya hutan yang bisa terbakar dan membuat beberapa bagian negara ini nyaris hilang terbungkus asap, membuat penduduk di kawasan sekitar tersengal-sengal sesak napas seperti terjadi berkali-kali. Kebakaran juga sering melanda kehidupan politik. Itu sebabnya, kehidupan politik dan kepartaian di sini kerap berbau sangit.

Bak hutan ‘konsesi’  yang ditangani sejumlah korporasi dengan jalan pintas aksi kriminal ‘bakar-membakar’ untuk land clearing, dalam kehidupan politik merambah ‘hutan’ kepentingan dengan cara membakar juga terjadi. Maka dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan politik Indonesia pun senantiasa diselimuti kabut asap yang menyesakkan. Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini. Dan begitu dikritisi, muncul tudingan deparpolisasi dan semacamnya.

STATUS QUO. "Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini." (Karikatur dasar, T. Sutanto)
STATUS QUO. “Ada kesalahan dalam pembangunan sistem politik Indonesia dari waktu ke waktu, yang tak terlepas dari kandasnya serangkaian upaya pembaharuan politik beberapa dekade terakhir. Antitesisnya justru cenderung datang dari kalangan pemegang kunci-kunci kekuasaan sendiri, yang menikmati statusquo ‘sistem’ politik yang ada selama ini.” (Karikatur dasar, T. Sutanto)

            Pasca Soeharto, sistem kepartaian Indonesia berbalik 180 derajat kembali menjadi multi partai dengan kecenderungan praktek parlementer meski menurut sistem formal ketatanegaraan yang ada masih menggunakan sistem presidensial. Dan karena tak pernah ada partai yang berhasil memenangkan suara yang cukup untuk menciptakan mayoritas kerja di parlemen, maka tawar menawar politik menjadi bagian sehari-hari dalam praktek politik di lembaga perwakilan rakyat. Presiden yang terpilih dalam tiga kali pemilihan umum presiden secara langsung selalu dibayangi kekuatiran politik karena tak memiliki mayoritas kerja yang kuat di DPR dan harus melakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai yang ada. Berbagai cara, seakan dihalalkan demi terciptanya mayoritas kerja itu, baik melalui pembentukan ‘koalisi semu’ maupun ‘pelemahan’ partai seberang –bila perlu melalui akuisisi melalui paksaan kekuasaan. Dalam beberapa kasus ‘kekuasaan’ dan ‘kewenangan’ Menteri Hukum dan HAM digunakan sebagai tongkat penggebuk, bahkan bila perlu, tanpa mengindahkan keputusan Mahkamah Agung sekali pun.

Bangunan politik baru: Antara cita-cita dan fatamorgana. TAK LAMA setelah terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segera sejumlah tokoh intelektual dan kelompok generasi muda di masyarakat yang berbasis kampus berbicara tentang perlunya penghancuran bangunan politik lama. Ada yang menyebutnya bangunan politik G30S/PKI, tetapi yang dimaksudkan sebenarnya adalah bangunan politik Nasakom yang setidaknya selama sekitar lima tahun terakhir setelah Dekrit 5 Juli 1959 dibangun oleh Soekarno. Sebagai pengganti bangunan politik lama itu, harus dibangun suatu bangunan politik baru yang menjamin keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan demokrasi –yang praktis hilang dalam 5 tahun terakhir kekuasaan Soekarno– untuk membuka kemungkinan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan lebih baik.

            Banyak pemikiran baru dan segar yang muncul dari kalangan cendekiawan dan generasi muda kala itu, yang memperlihatkan keinginan kuat agar pembaharuan politik dilakukan sesegera mungkin. Namun sepanjang tahun 1966 wacana pembaharuan politik untuk sementara tenggelam dalam arus gerakan pembubaran PKI dan kemudian gerakan retoris melahirkan Orde Baru untuk menggantikan Orde Lama Soekarno. Dan masih pada tahun yang sama gerakan generasi muda tahun 1966 bereskalasi menjadi gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaan negara, mulai dari Bandung dan kemudian Jakarta sebelum merambat ke kota-kota perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Segera setelah turunnya Soekarno dari kekuasaan formal di bulan Maret 1967, barulah kelompok cendekiawan dan mahasiswa dari Bandung bisa lebih terfokus menyentuh isu pembaharuan politik. Mereka menggunakan terminologi yang lebih tajam, yakni sebagai usaha perombakan struktur politik. Bendera perombakan struktur politik ini berlangsung hingga beberapa lama. Tetapi pada sisi lain dengan segera terlihat pula bahwa upaya perombakan struktur politik ini menghadapi hambatan-hambatan, yang antara lain terutama datang dari kalangan partai-partai ideologis yang  keberadaannya berakar dari zaman Soekarno. Tetapi kelak di kemudian hari, upaya perombakan struktur politik itu kerapkali justru harus berhadapan dengan Jenderal Soeharto yang ternyata memiliki arus pemikiran berbeda. “Padahal,” menurut Dr Midian Sirait –salah satu tokoh KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) yang bersama tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dari Bandung Rahman Tolleng, banyak melontarkan gagasan perombakan struktur politik– “pada mulanya Soeharto sempat diharapkan sebagai tokoh yang akan menerobos kebekuan politik yang ada pada rezim terdahulu.”

            Terhadap arus pemikiran Jenderal Soeharto yang berbeda, sejumlah tokoh memprakarsai suatu simposium pembaharuan di Bandung, 10 hingga 12 Pebruari 1968. Simposium yang berlangsung di Bumi Sangkuriang Bandung ini diselenggarakan bersama oleh KASI, ITB, Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dan Kodam Siliwangi. Peserta simposium antara lain tokoh-tokoh terkemuka seperti Mohammad Hatta, Adam Malik, Sultan Hamengku Buwono IX, TB Simatupang, Sjafruddin Prawiranegara, IJ Kasimo, Mr Sumanang dan Mohammad Natsir. Dr Midian Sirait menjadi ketua Steering Committee dan memimpin diskusi bergantian dengan Kolonel Samosir dari Seskoad. Komandan Seskoad kala itu adalah Jenderal Tjakradipura. Diskusi berlangsung 3 hari, tanpa kehadiran wartawan. Kini boleh dikatakan semua peserta diskusi telah tiada, termasuk tokoh KASI Adnan Buyung Nasution selain Midian Sirait.

Kepada seorang penulis buku, Rum Aly, Dr Midian Sirait menuturkan, “Saya memimpin diskusi itu dengan sangat hati-hati, agar jangan sampai ada di antara tokoh bangsa ini yang tersinggung. Mulanya mereka bertanya kenapa mereka diundang. Saya menjawab, bapak-bapak diundang karena tidak pernah terlibat dalam kekuasaan di masa Soekarno. Saya mempersilahkan mereka berbicara berdasarkan urutan alfabetis. Dengan demikian Adam Malik selalu berbicara dulu dan Sjarifuddin Prawiranegara serta TB Simatupang bicara belakangan.”

Dalam pertemuan itu tokoh Katolik IJ Kasimo mengatakan: “Sudahlah. Partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berdosa sepanjang perjalanan sejarah politik kita. Sekarang kekuasaan ada di tangan tentara. Kita moratorium saja selama 25 tahun. Kita beri saja tentara kesempatan memimpin 25 tahun. Setelah 25 tahun kita tata kembali. Kita beri waktu 25 tahun sebagai periode moratorium pertentangan ideologi.”

Adam Malik lain lagi. Ia berkata: “Ya sudahlah, untuk sekali ini dalam revolusi perubahan kekuasaan ini biarlah tentara di depan. Selesai tugas, tentara kembali ke baraknya. Tentara ini kan seperti malaikat, jangan berpolitik. Bukankah politik itu kotor, jadi malaikat tidak usah terlibat lagi.” Mendengar ucapan Adam Malik, Jenderal Tjakradipura dengan agak marah, berkata: “Itu tidak manusiawi. Masa’ kami disebut malaikat? Tentara bukan malaikat, bung. Tapi kami punya tanggungjawab pada bangsa dan negara.”

TB Simatupang mengatakan, “Prosesnya harus dalam satu pencetan.” Simatupang mencontohkan pengalaman Turki di bawah Jenderal Kemal Ataturk. “Kemal Ataturk mengambil alih kekuasaan dan pada waktu yang sama ia menyuruh temannya mendirikan satu partai politik, dan berjalan sejajar dengan militer dalam kekuasaan. Kemudian, tiba waktunya Ataturk memberikan kekuasaan kepada partai politik yang sudah dipersiapkan itu. Dalam konteks Indonesia, kita harus mempersiapkan lebih dulu partai politik yang bisa bekerjasama.”

Bung Hatta samasekali tidak menyebut partai politik. Seperti yang kerap disampaikannya sebelumnya, ia menganjurkan menyerahkan kekuasaan hukum ke tangan polisi, perkuat kesatuan Brigade Mobil (Brimob), perkuat koperasi. Sjafruddin Prawiranegara lebih radikal. “Bubarkan semua partai,” ujarnya. “Lalu bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan yang ketiga satu partai netral.” Sjafruddin menggunakan istilah netral namun tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –“ya, partai netral lah”, katanya– dan menghindari menyebut kekuatan sosialis. Di situlah Mohammad Natsir tampil dengan sosok seorang guru. “Jangan bubarkan partai politik”, ujarnya. “Partai itu ibarat belukar. Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang. Itulah keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik.” Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan ibarat ilalang sesuai belukar dibakar. Mungkin itu sebabnya Natsir mengingatkan, jangan dibakar, tapi biarkan. “Kita bina partai yang masih baik.”

“Jadi memang ada bermacam-macam pendapat yang muncul dalam diskusi di Bumi Sangkuriang itu,” Midian Sirait menyimpulkan. “Tapi setidaknya harus ada satu yang jelas, harus ada perubahan struktural. Sebagai pimpinan sidang saya melontarkan bagaimana caranya supaya ada perubahan struktural dalam rangka pembaharuan politik Indonesia. Saya sendiri lebih condong kepada suatu pemerintahan teknokratis yang dijalankan bersama militer. Biarkan saja 25 tahun ini pemerintahan yang teknokratis, sambil kita robah struktur masing-masing. Yang paling pokok adalah –seperti juga pendapat Rahman Tolleng– ada proses institusionalisasi dari gerakan, semisal masuk ke dalam parlemen untuk membangun parlemen yang lebih baik. Katakanlah, memperjuangkan gagasan dari dalam institusi formal.” (Berlanjut ke Bagian 2 – socio-politica.com).

Abu Bakar Ba’asyir, Kisah ‘Don Kisot’ dari Ngruki (2)

SETELAH Peristiwa Bom Bali, Abu Bakar Ba’asyir mengadakan konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo (14 Oktober 2002), dan mengatakan bahwa peristiwa ledakan di Bali tersebut merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu (17/10), namun Ba’asyir tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME. Namun, berdasarkan pengakuan Al Faruq –sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali–  yang diterima tim Mabes Polri di Afganistan, Ba’asyir ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI (18/10).

Kemudian, Ba’asyir dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, dan divonis 2,6 tahun penjara (3 Maret 2005). Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006. Namun, Ba’asyir kembali ditahan oleh Kepolisian RI di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaeda di Aceh (9 Agustus 2010). Walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan, Ba’asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (16 Juni 2011) setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Belum banyak terungkap dari aktivitas NII
Ada dua kejadian yang berujung pada pelabelan Abu Bakar Ba’asyir sebagai biang teroris di Indonesia, yaitu aktivitas NII dan kegiatan intelijen internasional yang berimpit kepentingan memerangi kelompok Islam radikal. Menurut AM Fatwa, tokoh aktivis dakwah yang dituduh terlibat dalam kerusuhan Tanjung Priok (1984) dan dihubungkan dengan aksi Komando Jihad –sekarang Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD)– di balik aksi NII berupa pemboman yang terjadi pada waktu dulu, ada peran Ali Moertopo, petinggi militer Indonesia, sebagai aktor penting yang bermain di balik aksi radikal tersebut. “Dia mengadopsi konsep komando jihad Abdul Kadir Jaelani,” ungkapnya di tempat kerja, Kamis (28/4). Komando jihad Abdul Kadir dinilainya tidak masalah karena merangkul anak muda untuk melakukan aksi-aksi positif, mengaktualisasikan potensi diri, dan mengembangkan minat, dan bakat. Sedangkan, komando jihad bentukan Ali, cenderung mengarah kepada aksi-aksi radikal yang meresahkan, bahkan mengancam keamanan dan pertahanan negara. Fatwa menyebutkan, mendiang Ali Moertopo merekrut mantan pejuang DI/TII yang kini dinamakan Negara Islam Indonesia (NII) untuk melakukan aksi-aksi radikal. (Republika.co.id, Jakarta, Kamis, 28 April 2011).

Awalnya, dengan dihapuskannya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang sila Ketuhanan dalam Piagam Jakarta, terjadi perdebatan panjang antara golongan Islam dan golongan nasionalis. Mohammad Natsir, wakil golongan Islam dari Masyumi, menyatakan dengan tegas bahwa Islam harus menjadi dasar negara Indonesia. Dengan kekalahanan Masyumi dalam Pemilu 1955, namun dengan perolehan suara 45,2% yang menggambarkan realitas kekuatan umat Islam, menyebabkan kelompok Islam kembali menuntut agar naskah asli Piagam Jakarta diakui sebagai kaidah dasar negara dan peraturan perundangan.
Untuk meredam perdebatan ini, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan setahun kemudian, ia memperkenalkan ideologi Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sebagai upaya untuk menyatukan ketiga ideologi dominan dalam masyarakat. Tidak lama kemudian, untuk meredam kembali munculnya isu negara Islam, Soekarno meminta Masyumi membubarkan diri, dan menyingkirkannya dari DPRGR yang dibentuk Soekarno setelah dibubarkannya parlemen hasil Pemilu 1955.
Setelah mengalami penekanan yang dilakukan oleh Soekarno kepada golongan Islam yang mendukung pemberlakuan syariat Islam sebagai dasar negara (Masyumi dan DI/TII) tersebut, jatuhnya Orde Lama dan berkuasanya Orde Baru adalah sebuah harapan baru bagi mereka. Tetapi, di awal pemerintahannya, Soeharto ternyata menunjukkan sikap antipatinya terhadap golongan Islam jalur keras tersebut dan mulai merangkul golongan sosialis. Pemerintah Orde Baru menjuluki PKI sebagai “ekstrim kiri” dan Islam mendapatkan julukan “ekstrim kanan”. Berbagai sumber menyatakan, sikap Soeharto ini merupakan perwujudan dari paranoia pada ancaman kekuatan Islam terhadap kekuasaannya. Bagaimanapun, kelompok Islam radikal itu memiliki peran dan jasa besar dalam menghancurkan kekuatan komunis dan meruntuhkan rezim Soekarno, selain karena kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam.

JENDERAL ALI MOERTOPO. “Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif”. (Foto Tempo/Syahrir Wahab)

Dengan alasan untuk mengatasi kelompok radikal tersebut, melalui Opsus (Operasi Khusus) di bawah pimpinan Ali Moertopo, pemerintah merekrut mantan DI/TII sebagai kontra aksi berupa teror yang memberi alasan pemerintah bisa bertindak represif.

Puncak dari sikap represif Orde Baru tercermin dalam SU-MPR 1978 dan UU No. 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Setelah pengaturan mengenai Partai Politik dan Golkar tersebut, Pemerintah Orde Baru kemudian mengeluarkan UU No. 8 tahun 1985 mengenai pengaturan Pancasila sebagai anggaran dasar organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tentu saja kebijakan Pemerintah tersebut mendatangkan polemik di berbagai ormas Islam. Namun,  pada akhirnya, ormas-ormas Islam memilih untuk berdamai dengan Pemerintah dan menjadikan Pancasila sebagai anggaran dasar ormas-ormas tersebut. Berbanding terbalik dengan ormas-ormas Islam tersebut, para aktivis dakwah kampus menolak keras Pancasila. Menurut mereka, menerima Pancasila berarti melakukan tindakan syirik. Selain itu, konsep nasionalisme menurut mereka sama dengan paham ashobiyah (kesukuan) dalam bentuk baru.

Namun, permainan yang dijalankan Ali Moertopo itu tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan tentara, yang dipresentasikan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro dan didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa 15 Januari 1974 atau Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh, baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.

Motif perang Amerika Serikat melawan kelompok Islam radikal
Pada pihak lain, dengan runtuhnya imperium Uni Soviet pada tahun 1989, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa (super-power) di dunia. Tidak heran, bila Amerika Serikat berusaha mempertahankan dan meningkatkan perannya sebagai pemimpin dunia, yang dipandang “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)”. Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan Kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 September 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman dengan judul “The National Security Strategy of United States of Amerika”. Amerika Serikat menurut doktrin itu harus meningkatkan upaya memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara. Tujuannya, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuasaan Amerika Serikat. Untuk mengamankan kepentingan itu, Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama “Proactive Pre-Emptiv Organization Group” (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar “pukul dahulu urusan belakang”.

Prinsip ini sesuai dengan ancaman Presiden Bush kepada semua negara, “if you âre not with us, you âre against us” (kalau tak mendukung kami, anda adalah musuh kami). Serangan Bom Bali (12 Oktober 2002) dan Makassar (6 Desember 2002) merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan Menteri Pertahanan Donald Rumfield, operasi semacam itu ditujukan untuk memancing keluarnya “tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.”
Karena itu, jelaslah motif Amerika Serikat memerangi kelompok Islam radikal, yang ditampilkan sebagai sosok Al Qaeda, untuk sebagian merupakan wujud arogansi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia. Padahal, menurut Brahma Chellaney, Guru Besar Studi Strategi pada Center for Policy Research di New Dehli, pengarang buku “Asian Juggernaut” dan “Water Asia’s New Battleground”, pada tahun 1980-an pemerintah Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam sebuah upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika” (Koran Tempo, 23 November 2011).

Pelajaran yang bisa ditarik dari upaya pemerintah Obama sekarang untuk berdamai dengan Taliban, yang tidak menghiraukan pengalaman Amerika Serikat akibat mengikuti kepentingan sesaat, adalah pentingnya fokus pada tujuan jangka panjang. Pelajaran kedua, perlu keberhati-hatian dalam melatih pejuang-pejuang Islamis dan mengucurkan senjata-senjata yang mematikan kepada mereka guna membantu menggulingkan suatu rezim. “Upaya melawan terorisme Islamis hanya bisa berhasil jika negara-negara tidak memperkuat bentuk-bentuk fundamentalisme Islamis yang menganjurkan kekerasan atas nama negara”, tulis Brahma. Sayangnya, dengan pelajaran dari masa lalu yang tidak dihiraukan Amerika Serikat itu, sekali lagi kelompok-kelompok ekstremis tersebut siap memberi pukulan pada mereka.

Namanya masih disebut-sebut pada setiap aksi teroris
Melihat situasi sekarang, nampak kecenderungan gerakan radikal sempalan NII, seperti JI (Jamaah Islamiyah), yang tidak lagi mau berjihad, walaupun tetap melihat jihad sebagai sesuatu yang penting, atau mungkin sudah merasa kekuatan mereka tidak cukup lagi mampu untuk menghadapi musuh. Menurut Sidney Jones, penasehat senior International Crisis Group (ICG) yang juga pengamat terorisme, “Sekarang mereka melihat jihad terlalu lemah dan juga sangat kontra produktif” (Koran Jakarta,1 Mei 2011).

Menurut laporan International Crisis Group tentang terorisme di Indonesia yang berjudul “Small Groups Big Plans” April 2011, setelah organisasi JI melemah, terlihat gejala munculnya kelompok-kelompok kecil berjejaring lokal yang lebih longgar dalam mengakomodasi individu yang ingin “berjihad” dengan biaya lebih rendah. Kelompok-kelompok kecil itu beririsan dengan kelompok Aman Abdurahman (bom Cimanggis), Tim Hisbah (bom Cirebon) dan Jamaah Anshorut Tauhid (Kompas, 27 Desember 2011). Nama Ba’asyir masih selalu disebut-sebut.

Masalah kita, mengapa pemerintah sepertinya masih membiarkan aksi gerakan radikal ini terus berlanjut?

Disusun untuk sociopolitica oleh Syamsir Alam –mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.  

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (1)

SEKILAS PINTAS, koalisi yang diintrodusir dan dijalankan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menopang kekuasaan dan pemerintahannya di periode kedua (2009-2014) ini, ada persamaannya dengan gagasan dwi group –yang diharapkan berproses lanjut menuju sistem dwi partai– yang dilontarkan Mayor Jenderal HR Dharsono bersama ‘rakyat’ Jawa Barat di kwartal pertama 1968. Tetapi dengan suatu telaah lanjut, akan segera terlihat, bahwa meskipun kedua gagasan itu bisa sama-sama menghasilkan suatu struktur politik baru yang lebih sederhana, terdapat sejumlah perbedaan esensial.

Gagasan dwi group (kemudian menjadi dwi partai) merupakan bagian dari gerakan pembaharuan struktur politik yang menggelinding masih pada bagian-bagian awal masa kekuasaan Soeharto –sejak ia masih menjabat sebagai Pejabat Presiden. Sejumlah kesatuan aksi yang baru saja usai dengan gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaannya –yang bermuara pada Sidang Istimewa MPRS 1967– beberapa bulan sebelumnya, di awal 1968 menuntut perombakan struktur politik Nasakom (Orde Lama), menuju “pola kehidupan politik baru yang lebih efisien dan berlandaskan program kesejahteraan rakyat”. Di antara penandatangan tercantum nama Rahman Tolleng yang waktu itu adalah Ketua Periodik Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat. Namun, gerakan perombakan struktur politik yang lebih deras, menggelinding lanjut di Jawa Barat, terutama melalui peranan Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono. Salah satu media utama pembawa tuntutan perombakan struktur politik waktu itu adalah Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pemimpin redaksinya saat itu adalah Rahman Tolleng.

Gagasan dwi partai mengkristal pada Musyawarah Rakyat Jawa Barat III (7 Maret 1968). Menilai sistem multi partai telah gagal total, musyawarah memutuskan bahwa sistem dwi partai akan segera dilaksanakan di Jawa Barat. Untuk itu, terlebih dahulu akan disusun dua program dalam waktu secepat-cepatnya oleh suatu panitia yang akan dibentuk dalam waktu singkat. Selanjutnya, kedua program tersebut akan diajukan untuk dinilai dan dipilih oleh rakyat Jawa Barat, sehingga akan terbentuk dua kelompok yang berdasarkan program. Pengelompokan itu akan menuju ke arah dua partai (dwi partai). Musyawarah juga ‘menugaskan’ wakil-wakil rakyat yang mewakili Jawa Barat, menyuarakan gagasan itu di Sidang Umum ke-5 MPRS yang saat itu akan berlangsung di Jakarta. Tetapi gagasan dwi partai ini kandas pada akhirnya.

Konsep dwi partai menghadapi resistensi yang amat kuat dari partai-partai ideologi yang ada, ex struktur Nasakom minus PKI dan Partindo. Partai-partai ex Nasakom itu antara lain: PNI, NU, PSII, Perti, Murba, Parkindo, Partai Katolik dan IPKI. Di luar partai-partai ada Sekber Golkar yang terbentuk Oktober 1964. Ada juga ex Masjumi yang berusaha eksis kembali dan akhirnya ‘tersalurkan’ melalui pembentukan Parmusi yang kemudian bisa ikut Pemilihan Umum 1971. Di kalangan ABRI pun, kecuali di lingkungan Divisi Siliwangi, gagasan dwi partai untuk sebagian besar disambut dengan tanda tanya, dan bahkan ada yang serta merta menolaknya, terutama para jenderal di lingkaran Soeharto. Dua jenderal yang dikenal kedekatan idealismenya dengan Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yakni Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Mayor Jenderal Kemal Idris, walaupun tidak pernah menyatakan menolak gagasan tersebut, sangat membatasi diri dalam memberi tanggapan maupun menggunakan terminologi dwi partai –untuk tidak mengatakannya tak pernah menggunakan terminologi itu. Akan tetapi seperti halnya dengan Mayor Jenderal HR Dharsono, Sarwo dan Kemal, sama-sama senantiasa menyerukan perlunya pembaharuan politik di Indonesia.

Menurut Dr Midian Sirait, pada tahun 1969-1972, di medan kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Seperti yang dicatat di atas, dari KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) Bandung, sebelumnya (1968) muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Sedikit banyaknya gagasan ini berasal mula dari Rahman Tolleng juga. Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.

Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak dwi partai, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. “Semestinya, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut”, kata Dr Midian Sirait. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang”.

Sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan di sebuah forum di Bandung (Februari 1968) oleh tokoh ex Masjumi, Sjafruddin Prawiranegara. “Bubarkan semua partai”, kata Sjafruddin, lalu “Bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan satu partai netral”. Sjafruddin Prawiranegara tak mau menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –dan hanya berkata, “ya, partai netral-lah”– tetapi para tokoh yang hadir di forum itu, antara lain Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Adam Malik, TB Simatupang dan Sultan Hamengku Buwono IX, menganalisa bahwa yang dimaksudkannya adalah partai sosialis, namun ia enggan menyebutkannya. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Hanya sayang bahwa dasar pengelompokan itu lebih ideologistis (kelompok ideologi politik Islam versus kelompok ‘gado-gado’ ideologi nasionalistis plus non Islam, dan di luar keduanya adalah kelompok kekaryaan. Bukan berdasar kepada orientasi program (pembangunan).

Berlanjut ke Bagian 2

Kenapa Para Pemimpin Memilih Jalan Kebohongan?

MASIH pada bulan pertama 2011 ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menghadapi tuduhan serius, melakukan tak kurang dari 9+9 kebohongan selama 6 tahun memerintah. Sumber kritik adalah para pemuka lintas agama, yang dipersepsi bahkan diyakini publik sebagai tokoh-tokoh yang tak berkecenderungan melakukan kebohongan-kebohongan. Sebaliknya, berdasarkan pengalaman empiris yang dihadapi sehari-sehari dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan, kalangan politisi dan penguasa, dianggap sangat lekat pada kebohongan. Bahkan, jurus kebohongan, sudah menjadi senjata standar mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.

HIDUNG PINOKIO. Untung hidung para tokoh itu tidak memanjang seperti Pinokio bila sedang berbohong…… Memang tidak kasat mata, tetapi bisa terlihat oleh ‘mata hati’ publik….. (Download: Picsearch).

Sekali dalam 5 tahun. Musim berbohong secara nasional terjadi setiap lima tahun sekali pada masa pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden. Hal yang sama terjadi di propinsi-propinsi maupun kabupaten/kota saat diselenggarakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dan karena Pilkada itu ganti berganti berlangsung di berbagai daerah setiap saat sepanjang tahun selama bertahun-tahun, maka tindak kebohongan itu secara akumulatif praktis terjadi setiap hari. Pelakunya mencapai ribuan orang. Kebohongannya, bukan kebohongan jenis ringan, melainkan kebohongan berat berkadar tinggi, dengan rakyat sebagai korban. Antara lain menjanjikan hal-hal berlebihan padahal sejak awal mengetahui bahwa dirinya takkan mungkin sanggup memenuhi janji-janji itu.

KALAU tidak seluruhnya, setidaknya 99,99 persen dari manusia dimuka bumi ini pernah melakukan kebohongan, sekecil apapun kebohongan itu. Di kalangan rohaniwan Katolik misalnya, ada semacam ‘pandangan’ bahwa tidak semua kebenaran perlu diungkapkan –artinya, ada kalanya terpaksa berbohong karenanya– terutama bilamana kebenaran itu akan menimbulkan keburukan, malapetaka, bahaya, keresahan atau yang semacamnya. Misalnya, tidak semua kebenaran bisa begitu saja diungkapkan kepada anak-anak, karena sang anak belum sanggup menerima kebenaran itu. Para pemimpin juga kerapkali menutup-nutupi banyak hal kepada rakyat, memperlakukan rakyat bagai anak-anak yang tak perlu tahu banyak seluk beluk kekuasaan dan liku-liku bernegara. Bahwa sebagian besar rakyat masih berada di alam ‘kebodohan’, tak terlepas dari fakta bahwa pada umumnya elite yang berkuasa memang tidak terlalu mengutamakan pencerdasan bangsa seperti yang diamanatkan dalam UUD negara.

Namun, tentu saja, tidak mengungkapkan seluruh kebenaran demi suatu alasan kebaikan, berbeda sepenuhnya dengan berbohong demi meraih dan atau memelihara kekuasaan seperti yang terjadi di Indonesia selama setengah abad terbaru, 1960-2011. Dampaknya pun samasekali bertolak belakang.

Malu berbohong. Kepemimpinan bangsa sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga tahun 1959, hampir sepenuhnya tidak cukup diwarnai oleh tindak kebohongan para pemimpinnya. Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Haji Agoes Salim, Jenderal Soedirman dan lain-lain, bukan hanya tidak berkebiasaan melakukan kebohongan tetapi betul-betul merasa malu dan cemar bila melakukannya. Soekarno pun sebenarnya bukan pemimpin yang ingin membiasakan diri menggunakan jurus bohong sebagai senjata, tetapi semacam kecenderungan megalomania telah membuatnya kerapkali memberikan penyampaian berlebih-lebihan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan diri dan kekuasaannya. Penyampaian berlebihan-lebihan dalam hal tertentu pada hakekatnya sama dengan kebohongan. Apalagi saat ia berada dalam puncak kekuasaan yang sudah patut dianggap diktator, yakni pada tahun 1960-1965 dan 1996-1967. Kecenderungan megalomania yang dimiliki Soekarno, kala itu pun makin menguat karena disuburkan oleh perilaku akrobatik para yes-men yang berada di sekitarnya.

Jenderal Soeharto yang naik ke tampuk kekuasaan melalui peristiwa-peristiwa berkategori historical by accident memulai perjalanan kekuasaannya dengan suatu kondisi ketokohan ideal, pada akhirnya harus melepaskan kekuasaannya dalam situasi tidak nyaman. Masa kekuasaannya yang terlalu panjang, membuatnya tak mampu menerima kritik. Padahal kritik, khususnya dalam konteks kekuasaan Soeharto, pada hakekatnya adalah penyampaian yang benar tentang ketidakbenaran yang terjadi di sekeliling Soeharto. Terutama pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaannya, Soeharto dikelilingi para Brutus, yang pada awalnya berbohong atas nama Soeharto untuk pada akhirnya membohongi Soeharto sendiri. Baik tentang Indonesia yang akan memasuki abad kemajuan teknologi maupun tentang dukungan rakyat –katanya, rakyat masih menghendaki Soeharto sebagai Presiden, tetapi dua bulan kemudian datang lagi untuk mengatakan rakyat sudah tak menghendaki Soeharto– dan aneka kebohongan lainnya. Para Brutus –dalam kasus Indonesia, jumlahnya lebih dari satu– inilah yang ramai-ramai menikamkan belati di punggung Soeharto pada tahun 1998. Termasuk di sini, yang menjanjikan keamanan bagi Soeharto dan keluarga, namun cepat pindah ke lain hati (ke gardu pengawalan dan pengamanan penguasa baru).

Soeharto dan Hosni Mubarak. Soeharto pada tahun-tahun terakhir masa kekuasaannya, praktis sudah kehilangan dukungan utama yang kuat dari ABRI sejalan dengan makin berlalunya para jenderal senior yang sedikit banyak masih punya idealisme perjuangan 1945, sementara beberapa Brutus baru di sekeliling Soeharto tak punya kualitas yang sama. Sejumlah jenderal dari generasi yang lebih baru pun, yang semula mendukung Soeharto, berangsur-angsur meninggalkannya saat Soeharto tak mau lagi mendengar atau memperhatikan mereka, dan lebih mendengar dan memanjakan para Brutus baru. Golkar di bawah Harmoko dalam pada itu, kelihatan besar, tapi rapuh. Itu sebabnya, Soeharto memilih mundur saat tekanan dari segala penjuru makin menguat. Presiden Mesir Hosni Mubarak lebih berani bertahan dalam situasi serupa, padahal massa yang bergerak menentangnya berskala jutaan, melebihi yang dihadapi Soeharto di tahun 1998. Militer Mesir, meskipun tidak terlalu keras terhadap rakyat penentang, juga tidak memilih untuk meninggalkan Hosni Mubarak yang otoriter.

Militer Mesir sebenarnya cukup solid, tetapi tidak punya pemimpin dengan kualitas tangguh. Rakyat yang menentang Hosni Mubarak –sebagai pemimpin yang lalai dalam keadilan sosial dan demokrasi serta larut dalam korupsi, kolusi dan nepotisme– jumlahnya memang cukup besar, namun tak ada pemimpin alternatif yang tangguh untuk mengelola situasi dan momentum. Hosni Mubarak mungkin lebih beruntung dari Soeharto, karena sejauh ini tak terlihat adanya para Brutus di sekelilingnya. El Baradei, tokoh oposisi Mesir, bukan pemimpin yang punya akar. Selain itu, sebenarnya reputasi tokoh pemenang Hadiah Nobel untuk Perdamaian ini tak cukup gemerlap di dunia Islam yang fundamental dan bergaris keras. Tak dilupakan bahwa dia lah –dalam kedudukannya sebagai Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) PBB– tokoh yang tempo hari berperan ‘menunjuk’ dan menguatkan bahwa Irak memiliki instalasi nuklir dan menjadi alasan bagi AS menyerbu. Seperti halnya di banyak negara lain yang berada di bawah kekuasaan otoriter, Mesir pun mengalami krisis pemimpin. Dalam sistem multi partai Mesir, partai-partai di luar partai pendukung Hosni Mubarak hanyalah kekuatan kecil. Mirip dengan umumnya partai-partai di Indonesia. Setelah berlalunya batas ultimatum Jumat 4 Februari, menjadi tanda tanya apakah people’s power akan berhasil memundurkan Hosni Mubarak, atau gembos di tengah jalan dan tidak berhasil mengulangi sukses suksesi Tunisia?

Pinokio. KEBOHONGAN adalah salah satu mekanisme defensif manusia saat menghadapi tekanan eksternal, terutama bila ia berada dalam posisi tidak benar atau punya kesalahan. Kebohongan juga menjadi lekatan bagi pribadi dengan kecenderungan psikopatik maupun neurotik. Pribadi yang berkecenderungan neurotik umumnya memberi reaksi berlebihan terhadap situasi yang sebenarnya biasa-biasa saja. Sadar atau tidak, seorang yang menderita neurosis, secara konstan merasa inferior. Sedang pribadi psikopat berkecenderungan anti sosial, immoral, tak bertanggungjawab dan kerapkali kriminal, tahu membedakan mana yang benar mana yang salah namun tidak memperdulikannya.

Situasi kehidupan politik dan kehidupan bernegara di Indonesia, pasca Soeharto, tidak berhasil berkembang menjadi lebih baik dari situasi buruk yang ada pada masa yang digantikannya. Salah satu pengaruh buruk yang melanjut dari masa Soekarno maupun masa Soeharto, adalah kegagalan melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Bukannya tidak ada manusia-manusia yang berhasil menempa dirinya agar lebih berkualitas, tetapi ‘budaya’ kolusi dan nepotisme yang tak segera bisa disembuhkan, menjadi halangan besar bagi manusia-manusia berkualitas, cerdas dan beretika (sebagai dua unsur yang melekat satu sama lain), untuk bisa tampil secara wajar. Kecuali, ia merubah diri dari manusia cerdas dan beretika menjadi cerdik, licik dan mengabaikan moral, agar bisa menjadi peserta dalam persekongkolan politik, persekongkolan ekonomi, persekongkolan kekuasaan dan bahkan persekongkolan sosial (tak terkecuali dalam konteks pengatasnamaan agama) yang menyimpang dan amoral.

Maka, tidak mengherankan bila kini kita selalu dihidangi kebohongan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari kegiatan periklanan komersial hingga periklanan dalam rangka pencitraan politik. Beberapa menteri yang menurut tim penilai pemerintah sendiri mendapat angka merah dalam rapornya, giat beriklan menyampaikan keberhasilan prestasi kementerian yang dipimpinnya. Politik pencitraan memang mudah tergelincir ke dalam kebohongan, apalagi bila yang ingin dicitrakan itu pada hakekatnya memang secara normatif tak sepadan dengan citra yang ingin dibentuk. Dalam konteks itu, kita juga bisa menyaksikan bahwa sebagai hasil kegiatan pencitraan yang prima dan mahal, seorang pemimpin bisa menjadi tokoh yang dilimpah-ruahi ekspektasi yang begitu tinggi yang mungkin sudah takkan mampu dipikulnya lagi. Begitu kekecewaan kemudian mengalir disertai tuduhan melakukan kebohongan-kebohongan ia juga lalu over reaktif. Karena akhirnya merasa inferior di depan ekspektasi yang begitu tinggi dan merasa sebenarnya memang atau tak lagi punya kemampuan lebih?

BERBAGAI kasus korupsi dan penyimpangan lainnya yang boleh dikata sudah nyaris telanjang bulat di mata publik, tetap saja dibuat berputar-putar tanpa penyelesaian. Sebagaimana sebagian besar anggota DPR kita juga berputar-putar dalam menanggapi masalah-masalah tersebut, dan seringkali juga disertai kebohongan publik. Seorang anggota DPR akan bersuara keras saat yang terkena adalah lawan politik, tetapi berputar 180 derajat bila yang terkena adalah kawan separtai. Ternyata partai-partai memang hanyalah sekedar kelompok kepentingan eksklusif belaka, bukan untuk bangsa. Patokan kebenaran menjadi tidak jelas.

Fakta bagaimana pemilihan umum legislatif dan eksekutif telah menghasilkan tidak sedikit manusia yang tak segan-segan menggunakan senjata kebohongan, bisa memperkuat syak-wasangka, jangan-jangan pemilu demi pemilu kita juga memang berjalan di atas kebohongan, tipu daya dan manipulasi angka? Dan sebagai pertanyaan penutup: Kenapa para pemimpin memilih jalan kebohongan? Apakah karena semuanya sudah menderita gejala neurosis atau psikopatis………….? Hasrat kekuasaan memang mudah membuat  pelakunya menderita neurosis, psikopatis, dan sakit mental lainnya tatkala hasrat itu tak terkendali lagi. Untung, hidung para tokoh itu tidak memanjang seperti Pinokio bila sedang berbohong. Hidung itu makin panjang bila kebohongan makin besar.  Memang tidak kasat mata, tetapi bisa terlihat oleh ‘mata hati’ publik. Tetapi saat Pinokio, yang awalnya adalah boneka kayu, menyesal dan menyampaikan penyesalan itu, dan berbuat kebaikan setelah itu, hidungnya surut, lalu menjalani hidup sebagai manusia yang baik.

Partai Politik dan Perombakan Struktur Politik di Indonesia (3)

”Entah bagaimana pula dengan gagasan –lebih tepatnya disebut isu– tentang konfederasi partai, fusi atau asimilasi, yang belakangan di tahun 2010 ini banyak dilontarkan oleh sejumlah elite partai terkait dengan dinaikkannya ambang batas parliamentary threshold. Entah pula dengan gagasan yang coba dimasukkan dalam RUU Kepartaian baru, yaitu bahwa partai ’baru’ tidak bisa serta merta ikut pemilihan umum kecuali sudah berusia sekurang-kurangnya 5 tahun”.

BEBERAPA bulan sebelum Peristiwa 15 Januari 1974, masih di tahun 1973, salah satu tanda awal perobahan perlakuan politik Soeharto terhadap Golkar, adalah dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Perkawinan di DPR-RI. Ratusan orang dari Tangerang datang ke DPR, membubarkan sidang pembahasan RUU tersebut di DPR, menginjak-injak meja pimpinan DPR. Setelah peristiwa itu, proses RUU diputar 180 derajat mengikuti usul PPP. Soeharto memerintahkan, benar atau tidak benar isinya, RUU itu harus disahkan segera menjadi UU. Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro datang ke DPR untuk melaksanakan perintah itu. Golkar ditinggalkan, FKP dipersalahkan dan diangap terlalu ngotot mempertahankan prinsip-prinsipnya, Soeharto merangkul PPP.

Kenapa Soeharto melakukan itu? Menurut analisa intelijen, gejala keresahan yang kala itu meningkat di kalangan mahasiswa di berbagai kampus, pada akhirnya akan bermuara pada suatu letupan –yang ternyata kemudian terbukti dalam wujud Peristiwa 15 Januari 1974 yang sering diringkas sebagai Malari. Ditakutkan bahwa gerakan generasi muda Islam, terutama terkait dengan RUU Perkawinan, bila dibiarkan tak terselesaikan akan bertemu dan membesar bersamaan dengan keresahan generasi muda dari kampus yang menggejala dan akan membesar pula. Faktanya, yang terjadi hanyalah Peristiwa Malari, yang dengan mudah dipotong melalui suatu skenario terancang baik, dengan tuduhan didalangi PSI.

Setelah Malari, Golkar ditetapkan harus dipegang ABRI. Jabatan Pelaksana Harian Dewan Pembina selalu dipegang oleh Panglima ABRI. Tubuh Golkar sendiri mengalami semacam pembersihan. Rahman Tolleng yang adalah fungsionaris Golkar ditangkap. Sejumlah orang yang dianggap teman-temannya mengalami ‘tekanan’. Tentang ini, kita kutip catatan Dr Midian Sirait berikut ini. ”Saya prihatin atas penangkapan Rahman Tolleng ini. Saya pun diisukan akan ditangkap, lalu ada kolega di Golkar ‘mengusulkan’ saya pergi dulu ke luar negeri. Tapi tidak saya lakukan, karena saya pikir itu akan menimbulkan kesan melarikan diri. Saya malah pergi menemui Ali Moertopo di kantor Bakin untuk menanyakan apakah betul saya akan ditangkap. Kalau memang mau ditangkap, tangkap saja di ruangan Ali Murtopo ini. Ali membantah. Lalu saya tanyakan mengapa Rahman Tolleng ditangkap. Ali menjawab dia itu difitnah. Tapi nyatanya ia ditahan terus. Tak lain karena telah dilontarkan opini artifisial bahwa PSI terlibat, sedangkan Rahman senantiasa dikaitkan dengan PSI, maka dia tetap tak dilepaskan. Pemikiran Rahman Tolleng sebenarnya tidak ada hubungan dengan ideologi PSI. Tapi persamaannya ada, sama-sama rasional. Kalau dia membaca ‘Perjuangan Kita’ Sjahrir, ada pertemuan logika. Ada persamaan cita-cita mengenai pendidikan politik dan pembaharuan. Sjahrir pun dalam perjuangannya, memasukkan kesadaran berpolitik itu ke dalam lingkungan partainya. Tapi apakah persamaan-persamaan seperti itu membuat orang menjadi PSI?”.

”Rasionalitas dan kegairahan berpolitik seperti itu, terlepas dari konteks dan konotasi PSI yang dikait-kaitkan, saya lihat juga dimiliki oleh aktivis Bandung lainnya seperti Rachmat Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja atau Marzuki Darusman dan beberapa yang lain. Tidak menerima dan tidak terikat dengan emosional ideologi-ideologi seperti marhaenisme, islamisme apalagi marxisme. Saya menyetujui pikiran Rahman Tolleng, bahwa janganlah agama diideologikan. Ideologi dan teologi adalah dua hal yang berbeda. Ideologi adalah suatu sistem berpikir yang menjadi landasan bagi seluruh program aspek-aspek politik, ekonomi maupun sosial. Politik adalah susunan organisasi dan susunan kekuasaan yang sangat manusiawi. Sementara agama itu sendiri lebih merupakan penyerahan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pedoman moral pelaksanaan hidup kita sehari-hari, komitmen kita kepada sesama, solidaritas dan hubungan antara manusia, hubungan antara aturan dan hubungan antara manusia dengan alam”.

Banyak bagian dari rasionalitas –dan mungkin juga model kegairahan berpolitik– di tahun-tahun awal pasca Soekarno itu, seperti dituturkan di atas, kini hilang dan atau tidak ditemukan dalam euphoria kebebasan masa reformasi. Kini di era reformasi dan sesudahnya banyak orang menganggap keterikatan itu tidak boleh ada dalam demokrasi. Padahal kebebasan dan keterikatan selalu tarik menarik dalam kehidupan manusia, menuruti hukum alam. Tak mungkin hanya kebebasan tanpa keterikatan. Tetap harus ada aturan, tetap harus ada keterikatan hukum dan keterikatan akan norma-norma masyarakat yang beradab. Jangan membiarkan diri kita hidup tak berbudaya.

Kini, budaya parlemen –untuk menyebut satu contoh penting dalam kehidupan politik Indonesia– seakan-akan menjadi tak karuan lagi. ”Di Inggeris orang menyebut member of parliament sebagai the honourable, tapi di Indonesia bagaimana kita boleh menyebut terhormat lagi bila orang lebih mengutamakan urusannya sendiri saja lebih dulu? Jika tidak cermat menjaga harkat dan martabat, suatu waktu bisa saja menjadi horrible member of parliament. Demokrasi memang membuka pintu bagi siapa pun untuk masuk parlemen, tapi itu tidak berarti tak perlu lagi ada kriterium kualitatif dalam aturan kehidupan politik mengenai siapa-siapa saja yang wajar untuk masuk parlemen. Di sini salah satu kekurangan dari reformasi ini. Boleh saja menghujat orde baru bila tidak memahami secara lengkap sejarah politik Indonesia dari waktu ke waktu, tetapi harus diakui bahwa bahkan di masa awal orde baru ada visi, setidaknya dalam konsep-konsep yang dilontarkan oleh kaum intelektual, seperti gagasan merubah dan memperbaharui struktur politik, dan ada proses institusionalisasi dari kepentingan infrastruktur maupun suprastruktur”. Proses merubah dan merombak dalam kehidupan politik dan ekonomi untuk beberapa lama berjalan dengan arah yang baik, sebelum kembali dilumpuhkan oleh ‘keberhasilan’ pemusatan kekuasaan di tangan satu orang karena dukungan-dukungan oportunistik terkait pengutamaan hasrat kekuasaan.

Ketika muncul, para pelopor reformasi tidak mempersiapkan visi. Tidak oleh perorangan tokoh, tidak oleh kelompok-kelompok pendukung reformasi, bersamaan dengan fakta bahwa reformasi sejauh ini hanyalah retorika. Tidak ada pembaharuan konsep moral dan penciptaan etika politik baru untuk mengganti konsep yang dianggap menyimpang di masa kekuasaan lampau. Setiap anggota parlemen menyebut diri mempunyai hak konstitusional. Yang paling buruk adalah setiap sidang paripurna penuh dengan interupsi. Semua ingin bicara tanpa aturan tata tertib lagi, seakan kehidupan liar di alam. Siapa yang ingin bicara, terus langsung interupsi, dan tak jarang terjadi interupsi terhadap interupsi. Bahkan interupsi atas interupsi atas interupsi.

Interupsi di DPR ini dimulai masih di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto, yang dilakukan oleh Sabam Sirait dari PDI, saat Wahono menjadi Ketua DPR-RI. Itupun sebenarnya hanya untuk meminta jangan dulu diambil keputusan. Apa yang dilakukan Sabam waktu itu sudah dianggap berani. Sekarang, dianggap mode untuk berhebat-hebatan. Tentunya harus ada aturan, misalnya giliran fraksi per fraksi. Harus ada etika untuk bersedia mendengar dulu pendapat orang lain baru kemudian dikomentari. Sekarang, nyatanya bila ada yang sedang bicara, belum selesai sudah dipotong. Ketua bicara pun dipotong. ”Maka barangkali bisa difahami kenapa ada keengganan Presiden atau para eksekutif lainnya untuk memenuhi undangan DPR. Lembaga DPR itu sama kedudukannya dengan Presiden, namun ada fungsionalisasi dan semua fungsi sama pentingnya. Harus ada kemauan untuk saling menghormati, meski pun berbeda pendapat. Itulah demokrasi, sesungguhnya”.

Dan kini di bulan Juli 2010, sorotan baru untuk sesuatu yang sebenarnya ’penyakit’ lama, kembali diarahkan kepada para anggota DPR yang semestinya terhormat dan tidak untuk diperolok-olokkan. Para anggota dituding makin malas, banyak bolos dalam berbagai sidang paripurna maupun sidang-sidang penting lainnya. Kalaupun hadir, seperti yang secara ’jahil’ ditayangkan oleh sejumlah media televisi, mereka ketiduran saat sidang. Persis sama dengan ’musibah’ ngantuk dan ketiduran yang dialami sejumlah menteri Kabinet Bersatu II sekitar 30 jam setelah nonton bareng final sepakbola Piala Dunia dengan Presiden SBY di Puri Cikeas bulan lalu. Dengan perilaku para yang terhormat itu, olok-olok lama muncul kembali dalam versi remix baru, yakni DDT-D yang berarti Datang, Duduk, Tertidur tetapi tetap dapat Duit. Kalau para terhormat itu banyak bolos dan tertidur saat menjalankan ’tugas’, bagaimana para anggota DPR dan juga anggota Kabinet itu, bisa memenuhi kriteria Jujur-Adil-Tegas yang dituliskan aktor Pong Hardjatmo di atas kubah Gedung DPR-MPR?

Budaya aktual di parlemen ini, tentu bukan satu-satunya masalah yang saat ini dihadapi. Ada sejumlah masalah lain yang harus dibenahi, mulai dari penegakan supremasi hukum sampai kepada masalah bagaimana kebebasan pers bisa digunakan dengan baik hingga kepada masalah pembaharuan perilaku politik agar lebih berbudaya, serta masalah kebutuhan akan keluhuran seorang pemimpin.

Kita bisa bersama memberi catatan dan perhatian untuk masalah-masalah tersebut.

Penegakan supremasi hukum tetap harus dilanjutkan, tetapi bukan berarti untuk membuat orang senang berperkara. Di zaman Belanda dulu, menurut Dr Midian Sirait, hukum adat difungsikan, karena kenyataannya banyak hal yang bisa diselesaikan dengan baik dengan hukum adat. Pengadilan umum hanya untuk menyelesaikan apa yang tidak bisa diselesaikan hukum adat –meskipun tentu tidak terlepas dari kepentingan kolonial mereka– yaitu masalah hukum di antara penduduk bukan pribumi atau masalah-masalah politik yang melibatkan kaum pergerakan Indonesia. Dalam perkembangan pembangunan hukum di masa Indonesia merdeka, upaya penegakan supremasi hukum cenderung menghilangkan peranan hukum adat. Harus ada ruang untuk hukum adat, itu pertama. Kedua, supremasi hukum tidak boleh menghilangkan unsur positif dalam budaya kita. Orang Inggeris punya budaya yang melekat dengan cita-cita to be a gentleman. Orang Inggeris akan merasa tak berharga bila dikatakan “you are not gentle”. Orang Amerika menekankan “how to be a good citizen”, menekankan taat hukum dan karenanya konsisten menindaki semua yang melanggar hukum. Ingeris agak berbeda, termasuk negara yang paling sedikit memiliki undang-undang, tetapi punya banyak konvensi yang disepakati dan dipatuhi masyarakat secara luas. Indonesia sebenarnya bisa mencoba menghidupkan budaya konvensi, karena memiliki banyak konvensi yang baik dan berharga dalam adat di berbagai daerah. Di beberapa daerah, bila disebut sebagai tak tahu adat, itu betul-betul terhina, karena manusia dianggap ideal kalau tahu adat. Amerika Serikat memang tidak memiliki adat karena negara itu dibentuk oleh kaum imigran dari berbagai latar belakang budaya tempat asal.

Dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan politik serta kehidupan bernegara, kita makin kekurangan solidarity makers seperti Adam Malik, Mohammad Hatta, IJ Kasimo, Mohammad Natsir ataupun type Soekarno bahkan Tan Malaka. Semua orang yang bergerak di kancah politik saat ini, bukan solidarity maker –kalau tidak malah beberapa di antaranya adalah trouble maker. Kebanyakan hanya mampu menciptakan pertemanan atau solidaritas terbatas di kelompok kepentingannya. Bahkan dalam tubuh partai pun bisa terjadi solidaritas tidak utuh, karena adanya klik-klik kepentingan. ‘Pendidikan politik’ yang berlangsung bukan untuk kepentingan etis, tetapi lebih banyak untuk kepentingan kekuasaan sendiri semata-mata. Politik sekarang lebih banyak berkonotasi taktis, penuh perjuangan taktik, bukan perjuangan untuk tujuan-tujuan strategis dan luhur.

Pertemuan-pertemuan PDI-P dan Partai Golkar di tahun 2007 misalnya lebih banyak bernuansa taktis dan bukannya mengarah kepada suatu koalisi strategis. Dulu, semasa PDI dipimpin oleh Prof Sunawar Sukawati pernah ada gagasan lebih strategis yang muncul di tubuh PDI dan Golkar, untuk menyatukan keduanya karena sejumlah kesamaan aspek watak nasionalis. Tapi tidak diteruskan prosesnya. Entah bagaimana pula dengan gagasan –lebih tepatnya disebut isu– tentang konfederasi partai, fusi atau asimilasi, yang belakangan di tahun 2010 ini banyak dilontarkan oleh sejumlah elite partai terkait dengan dinaikkannya ambang batas parliamentary threshold. Entah pula dengan gagasan yang coba dimasukkan dalam RUU Kepartaian baru, yaitu bahwa partai ’baru’ tidak bisa serta merta ikut pemilihan umum kecuali sudah berusia sekurang-kurangnya 5 tahun. Sepanjang titik beratnya tetap pada kepentingan memperkuat diri sendiri demi kekuasaan semata, tak banyak yang bisa diharapkan dalam konteks penyederhanaan partai. Konon pula pembaharuan kehidupan politik secara menyeluruh.

Sebagai penutup, kita kutip catatan berikut ini. ”Mungkin semua peristiwa politik yang telah kita hadapi, mengajarkan kita untuk kembali memulai proses dengan lebih baik dan cermat tanpa sikap ketergesa-gesaan yang tak terukur. Pulihkan nilai-nilai budaya yang baik yang kita miliki, membangun lanjut ekonomi dan politik dengan lebih baik dan cermat. Dalam konteks ini harus ditampilkan keluhuran para pemimpin. Feodalisme dalam bentuk kekuasaan dihilangkan, tetapi feodalisme dalam keluhuran dipertahankan. Partai-partai politik harus diatur lagi dulu –seperti saran seorang guru bangsa, Mohammad Natsir– dengan lebih baik, dengan menghindarkan pembatasan hak-hak”.

Partai Politik dan Perombakan Struktur Politik di Indonesia (1)

Partai itu ibarat belukar”, kata Mohammad Natsir. Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang, keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik. Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan lagi. Itulah yang Natsir maksudkan, jangan dibakar, tapi biarkan. Kita bina partai yang masih baik.

SETELAH sebelas tahun berada dalam sistem multi partai pada kehidupan politik yang hiruk pikuk, kini para pelaku politik di Indonesia seakan gerah sendiri. Beberapa waktu belakangan ini muncul gagasan-gagasan untuk menyederhanakan jumlah partai. Dimulai dengan wacana meningkatkan ambang batas electoral threshold, dari 2,5 persen pada pemilu yang lalu menjadi 5 persen di waktu mendatang, disusul beberapa gagasan penyederhanaan jumlah partai. PAN melontarkan gagasan Konfederasi Partai dengan mengajak sejumlah partai yang tak berhasil memperoleh kursi di DPR. Pada sekitar waktu yang sama, Partai Golkar menggagas fusi antar partai. Dan terbaru, wacana Partai Demokrat untuk melakukan asimilasi di antara sejumlah partai. Partai yang memperoleh suara terbanyak kesatu dalam Pemilihan Umum yang baru lalu itu menyampaikan ajakan berasimilasi kepada beberapa partai non kursi DPR, dan tentu saja berada di luar Sekertariat Gabungan Partai Koalisi.

Dari puluhan partai politik yang ikut Pemilihan Umum 2009 yang lalu, hanya 9 partai yang berhasil memperoleh kursi DPR. Tak ada pemenang mutlak yang mampu memiliki mayoritas kerja di DPR, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan ‘takut’ memerintah tanpa kompromi dengan partai-partai lain di luar Partai Demokrat. Lima partai –Partai Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP– bergabung dengan Partai Demokrat dalam suatu koalisi dengan harapan pemerintahan SBY memperoleh satu mayoritas kerja di DPR. Situasi kompromis dan pemilu DPR tanpa peraih suara mayoritas ini memberi aroma rasa parlementer dalam kekuasaan negara, meski secara formal dinyatakan bahwa yang kita anut adalah sistem kekuasaan presidensil.

Dalam pemilihan-pemilihan umum lainnya pasca Soeharto di tahun 1999 (diikuti 48 peserta) dan 2004 (diikuti 24 peserta), juga selalu hanya sedikit yang berhasil memperoleh kursi di DPR. Dan setiap kali akan dilaksanakan pemilihan umum, selalu bermunculan ratusan partai, namun sebagian terbesar tak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum.

Memang ada ketentuan electoral threshold, yang menggugurkan partai-partai yang tak memenuhi ketentuan minimal perolehan suara, namun setiap pemilu akan diselenggarakan tak ‘kapok-kapoknya’ orang mendirikan partai baru lagi yang untuk sebagian sebenarnya adalah hasil sulapan atau daur ulang dari partai-partai pemilu sebelumnya. Semangat untuk berpisah lalu berdiri sendiri memang menggebu. Tak beda dengan semangat untuk membuat propinsi atau kabupaten baru. Asal ada perbedaan ‘etnis’ dan atau kesukuan ataupun alasan lain untuk membedakan diri, sudah cukup menjadi alasan mendirikan propinsi atau kabupaten baru. Untuk proses itu dipilih nama yang bagus, yakni ‘pemekaran’, bak kembang saja, meskipun tak semua daerah hasil pemekaran itu berhasil semerbak mewangi. Jangankan daerah hasil pemekaran, propinsi atau kabupaten asli saja, banyak yang mengalami kemunduran dan atau kegagalan di berbagai sektor. Tetapi terlepas dari itu, sedikitnya telah terpenuhilah hasrat jangka pendek ‘biar kecil asal jadi raja’ di kalangan penggagas atau pemrakarsa daerah pemekaran.

Fakta empiris menunjukkan bahwa di banyak negara yang demokrasinya berjalan baik, jumlah partai cenderung lebih sederhana, sehingga demokrasi menjadi lebih efektif dan efisien. Di Amerika Serikat hanya ada dua partai besar dan meskipun tak pernah ada larangan adanya partai lain di luar yang dua itu, tetapi rakyat pemilih membuka ‘peluang’ hanya bagi dua partai yang berbeda bukan berdasarkan ideologi politik melainkan berdasarkan keunggulan program.

Dan di Indonesia, belajar dari pengalaman Pemilihan Umum 1955 yang demokratis namun kurang efisien dan efektif, sejumlah kaum pembaharu senantiasa muncul dengan gagasan kepartaian yang sederhana secara kuantitatif namun memiliki tampilan tinggi secara kualitatif. Upaya itu kerap disebut sebagai pembaharuan politik dan bahkan pasca Soekarno disebut sebagai perombakan struktur politik. Gerakan perjuangan perombakan struktur politik –yang tak terlepas dari proses pembaharuan Indonesia pasca Soekarno– telah mempertemukan sejumlah orang yang kepalanya penuh ‘angan-angan’ idealistik di suatu jalur yang sebenarnya kerap melawan arus.

MENURUT catatan Dr Midian Sirait, sepanjang pengenalan terhadap orang-orang yang menjadi pelaku dalam kehidupan politik Indonesia, terdapat beberapa hal yang agaknya terluputkan, yakni mereka –para pelaku politik itu– kurang melihat struktur dan sistem politik yang akan dituju. Di antara para tokoh dalam sejarah politik, Bung Karno banyak dikagumi. Ia selalu menyebutkan, kita harus mengadakan revolusi. Dan revolusi ia sebutkan sebagai suatu inspirasi raksasa dalam sejarah yang merubah situasi. Inspirasi itu sendiri, kata Bung Karno, adalah pertemuan antara sadar dan bawah sadar. “Saya kagum, walau tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, bagaimana proses sadar dan bawah sadar itu bertemu? Bung Karno sendiri tak pernah memberikan penjelasannya, sebagaimana iapun tak pernah menjelaskan struktur dan sistem yang akan dituju melalui pengobaran revolusi”.

Bung Karno semakin terbenam dalam ‘proses’ mengambil kekuasaan untuk dirinya. Pemusatan kekuasaan di Indonesia di satu tangan, seperti yang dilakukan Soekarno di tahun 1959-1965, sudah menghilangkan sistem yang natural. Kehidupan manusia terkesan hampir sepenuhnya tidak mengikuti kodrat dan proses alam, di dalam mana ia harus memiliki harga diri, mempunyai kehidupan sejahtera, memiliki hak berbicara mengutarakan pikiran; Dalam lingkup yang didefinisikan sebagai demokrasi. Dari sudut harkat kemanusiaan ini saja, terlihat betapa telah terjadi perubahan besar karena pemusatan kekuasaan yang dilakukan Soekarno, apalagi ketika PKI yang menganut ideologi totaliter bergabung bersama sebagai ‘pendukung’ Soekarno. Falsafah komunisme bersandar pada dialektika ‘kekuatan lawan kekuatan’, berpegang pada pendekatan material dalam materialisme dengan alur tesis, antitesis dan sintesis.

Sebagai reaksi terhadap Soekarno, banyak pemikiran segar kaum intelektual untuk pembaharuan muncul dengan berbagai cara, termasuk yang didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan yang separuh bawah tanah. Dari situ terlihat betapa kuat keinginan agar pembaharuan politik dilakukan sesegera mungkin. Dengan lebih tegas kemudian disebutkan bahwa pembaharuan itu sebagai upaya perombakan struktur politik. Sejumlah mahasiswa juga turut serta di dalamnya. Bendera yang dikibarkan gerakan itu adalah perombakan struktur politik, dan berlangsung hingga beberapa lama hingga masa-masa awal kekuasaan Soeharto yang naik menggantikan Soekarno di tahun 1967.

Tetapi menurut Dr Midian Sirait lebih lanjut, sesungguhnya pada sisi lain terlihat pula bahwa upaya perombakan struktur politik menghadapi hambatan-hambatan. Hambatan itu antara lain datang dari kalangan partai-partai ideologis, dan di kemudian hari pun kerap harus berhadapan dengan Jenderal Soeharto yang memiliki arus pemikiran yang berbeda –padahal pada mulanya Soeharto sempat diharapkan sebagai tokoh yang akan menerobos kebekuan politik yang ada di masa rezim terdahulu. Tentu harus dicari jalan keluar. Salah satunya adalah penyelenggaraan bersama –oleh KASI, ITB, Seskoad dan Siliwangi– suatu simposium pembaharuan, 10 hingga 12 Pebruari 1968 di Bumi Sangkuriang, Bandung. Peserta diskusi antara lain Mohammad Hatta, Adam Malik, Sultan Hamengku Buwono IX, TB Simatupang, Sjafruddin Prawiranegara, IJ Kasimo, Mr Sumanang dan Mohammad Natsir.

Jangan membakar belukar

Mulanya para tokoh ini bertanya kepada penyelenggaran, “Kenapa kami diundang?”. Penyelenggara menjawab, “Bapak-bapak diundang karena tidak pernah terlibat dalam kekuasaan di masa Soekarno”. Mereka berbicara berdasarkan urutan alfabetis. Dengan demikian Adam Malik selalu berbicara terlebih dulu dan Sjarifuddin Prawiranegara serta TB Simatupang bicara belakangan.

IJ Kasimo mengatakan: “Sudahlah. Partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berdosa sepanjang perjalanan sejarah politik kita. Sekarang kekuasaan ada di tangan tentara. Kita moratorium saja selama 25 tahun. Kita beri saja tentara kesempatan memimpin 25 tahun. Setelah 25 tahun kita tata kembali. Kita beri waktu 25 tahun sebagai periode moratorium pertentangan ideologi”.

Adam Malik lain lagi. Ia berkata: “Ya sudahlah, untuk sekali ini dalam revolusi perubahan kekuasaan ini biarlah tentara di depan. Selesai tugas, tentara kembali ke baraknya. Tentara ini kan seperti malaikat, jangan berpolitik. Bukankah politik itu kotor, jadi malaikat tidak usah terlibat lagi”. Mendengar ini, seorang tokoh militer, Jenderal Tjakradipura, langsung marah, ia bilang: “Itu tidak manusiawi. Masa’ kami disebut malaikat? Tentara bukan malaikat, bung. Kami punya tanggungjawab pada bangsa dan negara”.

TB Simatupang yang juga seorang tokoh militer terkemuka di masa lampau, mengatakan: “Prosesnya harus dalam satu tekanan tombol”. Ia mencontohkan pengalaman Turki di bawah Jenderal Kemal Ataturk. Ia ini mengambil alih kekuasaan dan pada waktu yang sama ia menyuruh temannya mendirikan satu partai politik, dan berjalan sejajar dengan militer dalam kekuasaan. Kemudian, tiba waktunya Ataturk memberikan kekuasaan kepada partai politik yang sudah dipersiapkan itu. “Dalam konteks Indonesia, kita harus mempersiapkan lebih dulu partai politik yang bisa bekerjasama”.

Bung Hatta samasekali tidak menyebut partai politik. Seperti dulu-dulu, ia menganjurkan menyerahkan kekuasaan hukum ke tangan polisi, perkuat kesatuan Brigade Mobil (Brimob), perkuat koperasi. Sjafruddin Prawiranegara lebih radikal. “Bubarkan semua partai”, katanya. Lalu bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan yang ketiga satu partai netral. Ia menggunakan istilah netral dan tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral – “ya, partai netral lah”, katanya– dan menghindari menyebut kekuatan sosialis. Di situlah Mohammad Natsir tampil dengan sosok seorang guru. “Jangan bubarkan partai politik”, ujarnya. “Partai itu ibarat belukar”, kata Mohammad Natsir. “Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang, keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik”. Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan lagi. Itulah yang Natsir maksudkan, jangan dibakar, tapi biarkan. “Kita bina partai yang masih baik”.

Berlanjut ke Bagian 2

Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah (4)

Prof Dr Midian Sirait*

‘Tidak. Tidak bisa’, kata Nasution. Soeharto memilih ‘berdiam’ diri

Pada masa-masa sekitar pemilihan umum tahun 1955 dan berlanjut di masa kekuasaan Soekarno 1959-1965, terjadi masa surut yang berat dalam kehidupan politik Indonesia, dan dengan sendirinya merupakan pula masa surut Pancasila. Dan semua itu berpuncak pada Peristiwa 30 September 1965. Maka sewaktu Soeharto berpidato melalui RRI pada tanggal 1 Oktober, muncul dari balik tabir peristiwa dan akhirnya berhasil meraih kekuasaan menggantikan Soekarno, saya cukup berdebar-debar, entah karena semacam kesangsian.

Saya teringat saat kami PPI Jerman Barat pertama mengenal Soeharto di tahun 1961, sewaktu ia masih berpangkat Brigadir Jenderal. Saat itu ia datang ke Jerman Barat bersama KASAB Jenderal AH Nasution, tak lama sebelum Kongres PPI Eropah di Praha, Cekoslowakia. Brigjen Soeharto kala itu menjabat sebagai salah satu deputi di bawah AH Nasution. Soeharto sangat pendiam dan tak ‘pernah’ bisa diajak berbicara bila kita ingin menggali pikiran-pikiran atau pandangannya mengenai situasi di tanah air. Jadi tidak mengherankan bila saya sedikit berdebar-debar sewaktu Soeharto tampil dan berkuasa. Kita buta tentang pikiran-pikirannya, karena ia tak pernah mengutarakannya. Berbeda dengan AH Nasution yang mudah dan banyak berbicara dengan para mahasiswa Indonesia yang ada di Jerman. Mahasiswa-mahasiswa bertemu dengan Jenderal Nasution di Berlin.

Sewaktu berkeliling melihat-lihat Berlin dengan bus, Jenderal Nasution duduk didampingi Duta Besar RI di Jerman Barat, sedang saya selaku Ketua PPI mendampingi Soeharto duduk. Selain basa-basi sebagai tanda perkenalan, tak ada percakapan penting yang terjadi dengannya, karena ia lebih memilih untuk diam. Seberapa banyak saya mencoba menggambarkan situasi mahasiswa Indonesia dan gerakan-gerakannya di luar negeri, seraya melontarkan pertanyaan mengenai situasi di dalam negeri, tak satu pun yang memperoleh jawab. Ia hanya diam, sedikit sekali tersenyum dan tak sepatahpun menjawab, tapi menyimak. Ia pun tak pernah berkomentar dan hanya tersenyum amat sedikit pada saat tertentu pada waktu mendengar berbagai ucapan dalam pertemuan itu. Apakah ia rikuh karena hadir bersama Jenderal Nasution atasannya ?  Atau memang ia selalu membiarkan orang ‘membuka’ sementara ia sendiri tetap ‘menutup’ ?

Sebaliknya, dengan Jenderal Nasution terjalin sejumlah percakapan yang saya anggap cukup ‘berharga’ dan menambah ‘pengetahuan’ tertentu, meskipun juga tidak sepenuhnya terbuka. Kepada AH Nasution kami menyampaikan dengan nada bertanya, kenapa PKI semakin maju dalam posisi politiknya di Indonesia. Lalu kami mengutarakan pendapat bahwa adanya Front Nasional dan Manipol Usdek, menjadi tanda pertama dari perjalanan PKI untuk merebut kekuasaan. Dengan keras Jenderal Nasution menjawab, “Tidak. Tidak bisa itu”. Menurut Nasution, mahasiswa harus percaya saja, “kita sudah punya Manipol”. Manipol itu harus kita pertahankan, dan tidak akan bisa komunis menang. Jadi, kami tidak melanjutkan, dan hanya bisa berpikir, apakah ia betul-betul sepenuhnya setuju Manipol atau secara proforma saja, karena sewaktu kami menyampaikan akan melontarkan pikiran itu nanti di Konperensi PPI di Praha, ia tidak melarang dan tidak juga menyatakan setuju. Tetapi, yang penting kami sudah menyampaikan semacam warning kepada Nasution. Adapun Brigjen Soeharto, ia diam saja mendengarkan itu semua. Lalu kami mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain.

Setelah ikut ‘memperingatkan’ Jenderal AH Nasution –dan tentunya, juga Soeharto, yang ikut mendengarkan– beberapa waktu kemudian kami delegasi PPI Jerman Barat berangkat ke Praha untuk mengikuti Konperensi ke-4 PPI se Eropah. Kami membawa pandangan tentang Manipol yang pernah diutarakan kepada AH Nasution, ke forum seminar sebelum konperensi. Dalam konperensi yang dihadiri lagi oleh Achmadi sebagai utusan pemerintah dari Jakarta, sebuah paper tentang pandangan tersebut yang dituliskan oleh seorang mahasiswa Psikologi, Agus Nasution, diketengahkan ke dalam forum. Sebagai ketua, saya meminta sekalian Agus Nasution membacakannya di forum seminar. Suasana ‘meledak’. Agus membacakan pokok pikiran yang mengatakan Manifesto Politik adalah bagian dari konsep dan strategi PKI. Dari Front Nasional dan Manifesto Politik, PKI akan menuju kepada pengambilan kekuasaan di Indonesia. Dari Manifesto Politik sudah muncul kata-kata pembelahan bangsa, melalui kalimat-kalimat “siapa kawan, siapa lawan” yang merupakan ciri komunis. Dari Praha, Achmadi langsung bergabung dengan rombongan Presiden Soekarno yang tak lama sesudah itu tiba di Beograd, dan pada kesempatan pertama melaporkan bahwa PPI Jerman bersikap anti Manipol dan menyebutkan atase militer Indonesia di Jerman Barat, Kolonel DI Panjaitan, sebagai ‘dalang’nya.

Soekarno marah-marah saat Achmadi melaporkan itu di meja makan. Isteri atase militer Indonesia di Beograd, Kolonel Samosir, yang mendengar itu saat menyiapkan hidangan, menelpon malam itu juga ke Jerman Barat kepada Kolonel DI Pandjaitan. Semula DI Pandaitan kaget dan tegang juga mendengar informasi itu. Ia memanggil kami para delegasi, segera sepulangnya di Jerman. Tetapi kami membesarkan hatinya, bahwa itu berarti DI Panjaitan dianggap mempunyai pengaruh di kalangan PPI. Berdasar laporan Achmadi, Soekarno mengirim Mohammad Yamin dari Beograd ke Jerman Barat untuk ‘mencari tahu’ duduk perkara sebenarnya. Tetapi sewaktu di Jerman para mahasiswa ‘menyambut’ Yamin dengan suatu pernyataan PPI bahwa para mahasiswa Indonesia di Jerman Barat mendukung sepenuhnya perjuangan membebaskan Irian Barat dari tangan kolonial Belanda. Para mahasiswa sekaligus mengumumkan berdirinya Baperpib PPI Jerman Barat –Badan Perjuangan Pembebasan Irian Barat.

Mohammad Yamin menjadi amat terharu, dan meneteskan air mata. DI Pandjaitan berbisik-bisik pada saya, “dengan satu pernyataan saja Pak Yamin telah meneteskan air mata, bagaimana kalau kita berikan lebih banyak pernyataan ?”. Apalagi, setelah itu ia dibawa oleh para mahasiswa berlayar menyusuri Sungai Rhein yang indah menggugah perasaan romantis dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca lagi. Bisa dimengerti, kenapa Jerman melahirkan filsuf-filsuf besar, ujarnya, karena alamnya indah dan membangkitkan inspirasi. Sekembalinya ke Beograd, ia langsung melaporkan kepada Presiden Soekarno, bahwa para mahasiswa kita di luar negeri tetap patriotis. Buktinya, mereka tidak melupakan perjuangan membebaskan Irian Barat dan mendirikan badan perjuangan untuk pembebasan Irian Barat. Persoalan pun selesai. Soekarno tak bertanya lebih jauh lagi. Bung Karno dan rombongan berada di Beograd dalam Konperensi I negara-negara non blok.

Sesungguhnya pengutaraan mahasiswa tentang Manipol itu tak mengada-ada, karena nyatanya memang Soekarno dalam pidato-pidatonya sudah mulai membedakan ‘musuh-musuh revolusi’ di satu pihak dan ‘kekuatan-kekuatan revolusi’ di pihak lain, dalam posisi yang dipertentangkan. Bung Karno dalam pidatonya sudah menggunakan kalimat ‘de samen bundeling van alle revolutionaire krachten’, kesatuan dari semua kekuatan revolusioner. Padahal sebelumnya ia hanya menggunakan kalimat ‘de samen bundeling van alle krachten’, kesatuan dari semua kekuatan. Sudah ditambahkan kata revolutionaire di depan kata krachten, yang memberi arti kekuatan revolusioner. Di situ Bung Karno mulai menggunakan Pancasila sebagai dasar bagi Manifesto Politik yang memberi pengertian untuk menentukan ‘siapa kawan, siapa lawan’. Bisa juga kalimatnya menjadi, ‘siapa kawan dan siapa lawan revolusi’. Atau dalam perkataan lain, telah ditetapkan ‘siapa kawan dan siapa lawan Pancasila’. Dengan muatan aspek konflik dan pertentangan seperti itu, Pancasila kehilangan nilai-nilai dasarnya tentang persatuan dan persaudaraan.

Pasca masa kekuasaan Soekarno, saya dan Rahman Tolleng pada berbagai kesempatan menyampaikan anjuran agar teori ‘siapa kawan, siapa lawan’ dalam kehidupan politik, segera ditinggalkan. Kami berkeinginan, hendaknya perombakan struktur politik yang kala itu sedang kita upayakan, jangan sampai terbawa dan terseret dalam pergolakan antar ideologi golongan, sehingga membelah masyarakat kita. Tapi agaknya, teori ‘siapa kawan, siapa lawan’ dan ‘pembelahan-pembelahan’ masyarakat masih berlangsung, tampil kembali, apalagi dengan besarnya jumlah partai yang ada sekarang. Kehadiran banyak partai, di satu sisi memang mencerminkan terjaminnya hak dan kebebasan berserikat, tetapi pada sisi lain mesti dihitung pula potensinya untuk membelah masyarakat manakala politik kepentingan demi kekuasaan menjadi arus utama dalam pemikiran dan praktek politik.

Sekarang ini langka kita lihat adanya orang yang membawa pesan dengan konsep kebersamaan seperti yang antara lain mendasari masa awal kita berbangsa yang terkandung dalam bagian pembukaan undang-undang dasar. Pancasila harus kita lihat sebagai moral dan etika politik, terutama dalam konteks hubungan dan pengalaman budaya. Itu sebabnya, kita menyebutkan revitalisasi Pancasila. Bukan karena dan atau berarti Pancasila pernah dihilangkan, melainkan karena ia pernah diartikan beragam-ragam. Mohammad Natsir misalnya, seperti tulisan-tulisan yang pernah dimuat dalam sebuah media, dalam rangka 100 tahun Mohammad Natsir, menyebutkan Pancasila itu adalah buatan manusia, sehingga belum sepenuhnya jelas. Sementara itu, Islam adalah buatan Tuhan. Artinya, bila yang belum jelas itu kita evaluasi, kita bisa kembali kepada yang sudah jelas. Masjumi memperjuangkannya melalui parlemen. Tetapi Natsir menujukan hal itu hanya kepada penganut Islam politik, kepada dan bagi siapa syariat itu ingin dilaksanakan, tanpa mengait-ngaitkan ucapannya itu dengan proses terjadinya Piagam Jakarta. Dengan itu, Natsir menempatkan Pancasila dalam posisi ‘ragu-ragu’, sementara Islam adalah sesuatu yang pasti, sudah ada konsep negaranya dan sudah ada pula konsep sosialnya. Inilah yang sebenarnya harus kita pahami.

Bagaimana membuat agar Pancasila itu lebih jelas –bagi masyarakat. Itulah dasar saya untuk mencoba memperjelas, mungkin dengan pertama-tama memperjelas sistimatika Pancasila. Itu yang saya sebut hubungan struktural Pancasila. Untuk bisa mengembalikan Pancasila ke dalam kerangka tersebut, pertanyaan yang timbul, mana strukturnya, mana fungsi-fungsinya masing-masing dan setelah itu mana tujuannya. Seperti satu gedung, ada dasar-dasarnya atau fundamennya, yang dalam hal ini adalah norma-norma dasar Pancasila. Ada tiang-tiangnya, itulah undang-undang dan berbagai undang-undang yang harus dihasilkan untuk itu. Itu semua harus berhasil sejak fundamental ethics-nya. Lalu di atasnya ada atapnya, itu adalah tujuannya. Kita menyebutkan tujuan itu sebagai ‘adil makmur dalam rangka sejahtera, cerdas, aman dan damai.

Ideologi itu hidup, dalam kebersamaan, namun semua diatur oleh undang-undang yang menjadi aspek operasionalnya. Hubungan struktural fungsional seperti itu yang saya lihat, tiang-tiang dan dasar-dasarnya, harus memberikan fungsi masing-masing dalam kehidupan bersama di gedung itu. Dalam konteks kebutuhan saat ini, kita kembalikan Pancasila terutama pada terwujudnya kesejahteraan, terwujudnya keadilan sosial. Sebenarnya perwujudan keadilan sosial itu lebih merupakan tujuan daripada sebagai sila, sebagaimana yang tersirat dalam kalimat-kalimat bagian pembukaan Undang-undang Dasar tahun 1945. Tetapi bisa juga, kedua aspek itu berlaku, sebagai tujuan sekaligus sebagai dasar berpikir, sebagai sila keadilan sosial. Bila terminologi keadilan tidak bisa diukur dan hanya bisa dirasakan, maka keadilan sosial bisa langsung dilihat dan terukur. Tingkat keadilan sosial itu antara lain bisa dilihat dalam besar satuan energi dalam makanan yang tersedia bagi tiap-tiap orang berkategori miskin. Teori Rostow dapat digunakan untuk mengukur tingkat keadilan sosial. Berapa besar ‘kue nasional’ dibagikan untuk berapa persen rakyat miskin. Adalah tidak adil bila bagian terbesar dari ‘kue nasional’ itu dinikmati hanya oleh bagian terkecil dalam masyarakat, sementara bagian terbesar dalam masyarakat menikmati sisa yang terkecil, seperti yang banyak kita alami dalam perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu.

*Diangkat dengan beberapa peringkasan dari buku Prof Dr Midian Sirait, Revitalisasi Pancasila, Catatan-catatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial, Kata Hasta Pustaka, 2008. Prof Dr Midian Sirait adalah Doktor Ilmu Pengetahuan Alam sekaligus Doktor Rerum Naturalum dua-duanya di raih pada FU Berlin Barat (1961). Selama mempersiapkan gelar doktor mengikuti kuliah sosiologi dan politik. Salah satu pelaku usaha pembaharuan politik di Indonesia pada paruh kedua tahun 1960-an.

Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah (2)

Prof Dr Midian Sirait*

SELAIN keinginan memberlakukan Piagam Jakarta, terdapat pula adanya beberapa gerakan untuk menjadikan negara ini sebagai satu negara berdasarkan agama. Tahun lima puluhan tak lama setelah kemerdekaan sudah muncul gagasan Negara Islam Indonesia yang dicetuskan oleh SM Kartosoewirjo, yang kemudian diikuti oleh Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan serta Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Tetapi jika kita mencermati kembali catatan sejarah peristiwa-peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa motif awal dari gerakan-gerakan itu sebenarnya bukan berpangkal pada masalah agama, melainkan pada beberapa hal lain di luar itu. Daud Beureueh, membentuk DI/TII di Aceh adalah karena ketidakpuasan terhadap ketidakadilan dalam pembentukan Propinsi di Sumatera tahun 1950. Ada dua calon gubernur Sumatera bagian utara kala itu, yakni Daud Beureueh yang adalah gubernur militer Aceh dan sekitarnya serta Ferdinand Lumbantobing yang gubernur militer Tapanuli. Ternyata pemerintah pusat memilih tokoh lain diluar keduanya, yakni seorang yang bernama Amin yang saat itu tak begitu diketahui latarbelakang perjuangannya semasa perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kahar Muzakkar juga adalah orang yang tak puas kepada keputusan pemerintah pusat di tahun 1950. Ia diminta untuk menangani masalah CTN (Corps Tjadangan Nasional) yang sebagian besar adalah eks laskar rakyat.

Setelah menyelesaikan kasus itu, pemerintah pusat tidak ‘menepati’ janjinya untuk menempatkannya sebagai Panglima Territorial di wilayah itu dan malah menempatkan seorang perwira asal Sulawesi Utara dalam posisi tersebut. Kahar segera masuk hutan bersama anak buahnya dari CTN dan kemudian membentuk DI/TII. Ibnu Hadjar juga membentuk DI/TII karena kekecewaan internal dalam tubuh ketentaraan. SM Kartosoewirjo, mungkin lebih bermotif karena sejak masa awal perjuangan bersenjata sudah memimpin laskar Islam Hizbullah Sabilillah, dan sudah memprakarsai penyusunan konsep negara Islam setidaknya sejak 1945. Sewaktu Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah-Jawa Timur, tak kurang dari 40.000 anggota pasukan-pasukan Kartosoewirjo mengisi kekosongan akibat hijrahnya Siliwangi. Ketika Siliwangi kembali melalui ‘long march’ ke Jawa Barat, keduanya harus berhadapan satu sama lain. SM Kartosoewirjo yang tidak ingin meninggalkan wilayah-wilayah yang dikuasainya, lalu memproklamirkan Negara Islam Indonesia sekaligus membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Di antara pemberontakan-pemberontakan yang membawa nama DI/TII, yang paling akhir diselesaikan adalah pemberontakan Kahar Muzakkar, yakni pada awal 1965.

Setiap ada peristiwa-peristiwa berdarah berupa pemberontakan atau konflik-konflik lainnya, kerapkali orang bertanya, “di mana Pancasila itu” ? Apakah persoalan-persoalan itu terkait dengan Pancasila sebagai sistem nilai, ataukah peristiwa-peristiwa itu berdiri sendiri dan berada di luar nilai-nilai di dalamnya ? Saya melihat bahwa dalam proses pendewasaan dalam bernegara, selalu ada angan-angan dalam berbagai kelompok masyarakat untuk menjalankan keinginannya sendiri. Apakah karena terkait dengan agama, ataukah terkait dengan rasa kedaerahan atau ideologi-ideologi sempit. Dan pada waktu itu mereka melupakan Pancasila. Tetapi pada waktu yang lain, nama Pancasila digunakan dengan meninggalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bahkan Pancasila pernah digunakan dalam terminologi revolusioner dan situasi konflik dalam masyarakat.

Pada peristiwa PRRI dan Permesta tahun 1957, motif yang menonjol adalah masalah kedaerahan yang sekaligus dibarengi adanya sikap anti komunis. Sikap anti komunis tercermin antara lain dari tokoh-tokoh yang turut serta dalam pemberontakan PRRI itu, seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikoesoemo. Aspek kedaerahannya ditandai dengan dibentuknya Dewan Gajah, Dewan Banteng dan sebagainya di pulau Sumatera. Bila berbagai pemberontakan itu ditempatkan sebagai salah satu indikator, secara empiris terlihat surutnya Pancasila, adalah setelah berlakunya Undang-undang Dasar Sementara, yaitu Undang-undang Dasar yang kita pakai setelah Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang sempat berlaku selama setahun. Dengan mosi yang dipelopori oleh Masjumi tahun 1950, agar kembali kepada negara Republik, maka dirumuskan dan dipakai UUD Sementara itu. Republik Indonesia Serikat berakhir, dengan adanya mosi tersebut. Semua negara anggota RIS, seperti Negara Pasoendan, Negara Kalimantan, Negara Madura dan lain-lain menyatakan membubarkan diri. Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur sempat bertahan. Tapi akhirnya, NIT ikut membubarkan diri juga. Sementara itu, Negara Sumatera Timur,  menurut beberapa pihak tidak pernah membubarkan diri dan tak pernah diketemukan catatan atau dokumen tentang pembubarannya. Menjadi tugas para ahli sejarah untuk mengungkap bagaimana duduk perkara sebenarnya, apakah tidak pernah membubarkan diri, atau kalau pernah, kapan dan dengan cara bagaimana pembubaran itu terjadi.

Dengan pembubaran negara-negara ‘bagian’ itu, Indonesia kembali utuh sebagai Republik Indonesia, yang menggunakan UUD Sementara sebagai konstitusi dasar. Tetapi perlu dicatat, bahwa baik dalam UUD RIS maupun UUDS sebenarnya keberadaan nilai-nilai Pancasila dalam bagian pembukaan senantiasa dipertahankan, nilai-nilainya tersurat di dalamnya, seperti halnya pada Pembukaan UUD 1945, meskipun juga tak menyebutkannya dengan penamaan Pancasila. Dengan demikian, tak pernah ada masalah sepanjang menyangkut bagian pembukaan undang-undang dasar, sejak tahun 1950 sampai kembali ke Undang-undang dasar 1945 di tahun 1959. Yang bermasalah adalah praktek kehidupan politik. Antara tahun 1950, yakni setelah pengakuan kedaulatan, hingga tahun 1955 saatnya dilakukan pemilihan umum untuk menyusun konstituante, kehidupan politik penuh pergolakan karena ‘pertengkaran’ antar partai-partai, yang tercermin baik di parlemen maupun dalam bergantinya kabinet terus menerus. Presiden Soekarno hanya menjadi simbol, kepala negara, sedangkan pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri yang dipilih di forum parlemen itu sendiri.

Terlihat betapa partai-partai yang ada tidak menampakkan kedewasaan dalam berkehidupan parlemen. Namun, sepanjang sejarah parlemen, tidak pernah ada kabinet yang jatuh karena suatu resolusi di parlemen. Selalu, kabinet jatuh, karena partai-partai menarik menterinya dari kabinet, pecah dari dalam tubuh kabinet. Dengan perkataan lain, terjadi ketidaksepakatan atau pertengkaran antara partai pendukung kabinet sehingga koalisi pecah. Ketidakakuran itu terutama terjadi diantara empat partai terbesar, yakni PNI, Masyumi, NU serta PSI pada masa-masa sebelum Pemilihan Umum 1955. Semestinya, kabinet bubar karena voting atau adanya mosi tidak percaya di parlemen. Tapi ini yang justru tak pernah terjadi. Kedewasaan dalam berpartai dan berpolitik memang belum ada, suatu keadaan yang agaknya tetap berlangsung hingga kini. Tentu ini berarti pula bahwa ketidakdewasaan itu juga belum ada dalam berparlemen. Mungkin itulah salah satu kekurangan utama kehidupan politik kita. Bandingkan misalnya dengan Inggeris, yang sudah mulai mengenal kehidupan berparlemen dalam sistem yang tetap monarkis, yaitu sejak Magna Charta tahun 1215. Dalam kehidupan berparlemen kita –dan begitu pula secara umum dalam kehidupan politik– masih terdapat dari waktu ke waktu kecenderungan dikotomis, baik Jawa-Luar Jawa maupun dalam konteks pusat-daerah.

Soekarno: Dari ‘bangsa tempe’ hingga revolusi terus menerus

Hingga tahun 1965, kehidupan politik kita juga mengalami situasi konflik yang berkepanjangan, terkait dengan ideologi komunis versus non komunis. Sedikit banyaknya, situasi itu adalah karena imbas perang dingin antara blok timur dan blok barat yang berlangsung sengit secara internasional. Puncak situasi konflik komunis-non komunis di Indonesia berlangsung terutama tahun 1960-1965. Dalam konflik ideologi itu, Soekarno memperlihatkan kecenderungan kuat berpihak kepada kaum komunis, yang tercermin dari berbagai pidatonya selama masa Nasakom. PKI memanfaatkan situasi seperti itu. Sebenarnya, Soekarno pada dasarnya memiliki ‘cara’ berpikir ilmiah dan universal, tidak terlalu menonjol kejawaannya, antara lain bila dibandingkan dengan Soeharto yang menjadi penggantinya kelak. Malahan, pemikiran-pemikiran filosofis Soekarno kadangkala amat terasa berorientasi pada pemikiran barat. Dia memiliki pandangan yang mendunia, mengenal universal weltanschauung. Kerapkali ia ‘menunjukkan’ kekecewaan terhadap kualitas pemikiran bangsa dengan menampilkan sebutan terus terang bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa tempe. Mohammad Hatta pun memiliki pemikiran yang luas dan mendunia, cenderung akademik, tetapi dibanding Soekarno ia kalah dalam berpidato atau berorasi. Namun ia seorang penulis yang baik, yang mampu menyampaikan bunga rampai pemikirannya dalam beragam karya tulis. Bung Hatta menghayati konsep demokrasi. Bunga rampai pemikiran Bung Hatta tersusun dalam buku yang tebal. Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno menguraikan mengenai revolusi yang tampaknya berada dalam alur yang sejalan dengan pemikiran Trotsky. Soekarno menyebutkan revolusi sebagai suatu inspirasi besar dalam sejarah manusia. Dan inspirasi itu, menurut gambaran Soekarno, adalah pertemuan antara sadar dan bawah sadar. Revolusi, menurut Soekarno, adalah bersifat terus menerus. Di sini ia berbeda dengan Mohammad Hatta, yang menyebutkan revolusi sebagai umwertung alle werte, yakni perubahan dari semua nilai-nilai secara sekaligus. Tapi sebenarnya, sebelum 1960-1965, Bung Karno pun masih menyebut revolusi dalam pengertian ‘menjebol dan membangun’, yang mirip dengan pemahaman Mohammad Hatta.

Tetapi pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia memang melakukan satu revolusi ? Dalam pengertian budaya, menurut saya, kita tidak berrevolusi. Ciri revolusi bangsa Indonesia hanya tampak saat bangkit percaya kepada kekuatan sendiri dan meninggalkan sikap tunduk kepada kekuasaan kolonial. Saat itu, tampil rasa percaya diri, percaya kepada kemampuan dan kekuatan sendiri. Mungkin bisa dikatakan sebagai revolusi fisik, jadi semacam revolusi politik. Kekuasaan yang ada kita rombak dan membangun kekuasaan baru atas kemampuan sendiri. Tapi, dalam pengertian budaya, tidak. Itu berarti dunia pendidikan kita belum berhasil membawa suatu kemajuan berpikir untuk bisa membuat perubahan besar secara menyeluruh. Barangkali ini merupakan bagian dari pasang surutnya Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa.

Dalam kehidupan parlemen antara tahun 1950-1955, Pancasila tak pernah disebut-sebut dalam artian yang bermakna. Yang tampil hanyalah berbagai ideologi lain dari masing-masing golongan atau partai politik. Masjumi begini ideologi dan pendiriannya, PNI begitu ideologi dan pendiriannya, dan lain sebagainya. Bahkan PKI sebagai salah satu partai ideologis, pernah melakukan pemberontakan di tahun 1948, yaitu Pemberontakan Madiun. Namun tak pernah ada penyelesaian tuntas atas peristiwa politik tersebut, sehingga sejak 1950 berangsur-angsur PKI bisa memulihkan kembali kekuatannya dan menjadi empat besar partai hasil pemilihan umum tahun 1955. Tetapi terlepas dari apa yang pernah dilakukannya, PKI masih melihat dirinya sebagai satu dari semua, dan masih menempatkan diri dari bagian bangsa. PKI belum sejauh partai-partai komunis lainnya di dunia yang menempatkan diri terpisah sebagai satu kekuatan. Tan Malaka pernah mengeritik PKI sebagai kekuatan komunis yang tak jelas pendiriannya, tak punya ketegasan. Secara menyeluruh, bangsa Indonesia menurut Tan Malaka, tidak bisa diajak berrevolusi. Itu pula beda Tan Malaka dengan Sjahrir yang menjalankan sosialisme dengan cara-cara yang lebih berdiplomasi. Memang teori Sjahrir lebih kepada sosialisme yang humanistik.

Sebagian dari perkembangan tanah air menjelang dan selama masa Nasakom saya ikuti dari Eropah, antara lain melalui aktivitas di PPI Jerman dan Eropah. Sejak tahun 1955 pada masa Chairul Saleh bergiat di forum PPI, menurut dokumen yang ada, telah tergambarkan terdapatnya dua kelompok besar: Satu kelompok, yakni kelompok Chairul Saleh, yang ingin agar kekuasaan yang ada harus dijebol dan dibangun kembali. Terlihat adanya suasana anti partai-partai dalam sikap kelompok tersebut. Sedangkan kelompok lain, lebih filosofis, melihat Pancasila sebagai  dasar moral dan etika bangsa. Jadi, bukan hanya dalam aspek politik kekuasaan melainkan sebagai moral bangsa, yang berarti lebih kepada budaya. Sepulang ke Indonesia, Chairul Saleh masuk dalam kabinet Soekarno sebagai Menteri urusan Veteran.

Berlanjut ke Bagian 3

Indonesia Dalam Malapetaka Politik Ideologi dan Keruntuhan Ekonomi (2)

“Ke dalam penafsiran manakah Megawati akan membawa dan memposisikan partainya dalam konteks partai ideologi? Dalam arti yang ‘terlalu sempit’ atau dalam arti yang ‘terlalu luas’? Pertanyaan lain, juga ditujukan kepada partai-partai politik lain yang ada di Indonesia sekarang ini: Apakah mereka partai-partai ideologis ataukah partai-partai program? Kerapkali tidak jelas. Dalam retorika politik saat mereka berkampanye, mereka berbicara –tepatnya, menyampaikan janji-janji– bagaikan partai program, dan betrsamaan dengan itu memperebutkan atau mempertengkarkan kekuasaan bagaikan partai ideologis di masa lampau”.

JIKA  pemikiran-pemikiran baru yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara berakar pada penggalian nilai-nilai kebudayaan Indonesia sendiri, maka Mohammad Natsir yang pada dasarnya memiliki disiplin ilmu pengetahuan barat menambahkan dan menemukan pemikiran-pemikiran baru tentang Islam yang kemudian dikenal sebagai pemikiran modernisme Islam. Masih menurut Dr Alfian, sebagaimana pemikiran baru tentang kebudayaan, pemikiran modernisme Islam berusaha pula mencari relevansi baru dari nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama dengan tuntutan perubahan dan pembaharuan masyarakat.

Meski harus diakui bahwa pemikiran-pemikiran yang bersandar pada referensi barat, maupun yang dikembangkan dengan nilai-nilai dari akar budaya Indonesia, serta yang dikembangkan berdasar nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang orisinal, tetap saja ada perbenturan antar pemikiran baru itu yang kadangkala amat sulit dipertemukan. Salah satu penyebab utama adalah bahwa ideologi maupun ajaran-ajaran agama yang menjadi landasan dasarnya masing-masing memiliki sejumlah nilai dasar atau bahkan dogma yang tak dapat ditawar-tawar, sehingga sewaktu-waktu menyebabkan pencemaran dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Dalam pada itu, secara kultural atau pun dalam kebudayaan yang menjadi dasar tempat berpijak sebagai bangsa, terdapat benturan-benturan yang tak pernah berhasil dituntaskan. Sejumlah perbedaan sistim nilai yang terjadi secara horizontal di masyarakat tak berhasil dipertemukan melalui suatu dialog budaya yang bersungguh-sungguh dan dilakukan secara tekun. Padahal, para pemimpin masyarakat kala itu adalah tokoh-tokoh terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, memiliki kualitas integritas dan idealisme yang tak perlu disangsikan lagi. Berdasarkan pemikiran dan ideologi yang mereka yakini, masing-masing tokoh itu telah memiliki konsep untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.

Hanya persoalannya, menurut Drs Hatta Albanik Mpsi dar Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, secara horizontal mereka gagal untuk mempertemukan gagasan-gagasan mereka yang berbeda satu dengan yang lainnya agar tercipta satu konsep bersama yang tuntas. Selain itu, agaknya di sana-sini secara vertikal juga terdapat kesulitan secara internal dalam kelompok-kelompok masyarakat, yakni antara para pemimpin dengan para pengikutnya, yang satu dan lain hal banyak terkait dengan adanya kesenjangan kualitas pemikiran akibat kesenjangan tingkat pendidikan antara elite pemimpin dengan rakyat pada umumnya. Kadangkala, sejumlah pemimpin ‘terpaksa’ mempergunakan pendekatan yang primordial baik berdasarkan keagamaan, etnis, feodalisme dan pemberian pemahaman ideologi dengan penekanan pada aspek loyalitas, yang pada mulanya dimaksudkan sebagai satu tindakan ‘taktis’ atau kompromi dengan massa yang bersifat sementara. Tetapi tatkala tindakan-tindakan taktis itu berlangsung terlalu lama, sehingga sadar atau tidak justru bekerja kembali secara kontra produktif dan menghalangi pendidikan politik yang sehat bagi rakyat, maka lama-kelamaan simpul-simpul sementaranya menjadi ketat dan bersifat menjerat.

Soekarno yang mempunyai referensi yang luas dari pemikir-pemikir barat, sekaligus disertai pendalaman filsafat timur, dan karenanya berhasil memperlihatkan warna lain dalam pemikiran-pemikirannya, bisa membaca dengan baik semua proses yang berlangsung dalam masyarakat itu. Dalam proses ‘pembacaan’ itu ia menemukan terdapatnya sejumlah potensi desintegratif di tengah masyarakat yang perlu penanganan dini. Khususnya pada masa pra proklamasi, Soekarno juga melihat gelagat mengkhawatirkan dari dinamika perkembangan berbagai aliran pemikiran yang tampak berjalan sendiri-sendiri secara terpisah-pisah yang mudah mengundang perselisihan faham dan pertentangan pendapat. Tetapi pada sisi lain, karena merasa sudah memahami betul dinamika berbagai aliran pemikiran yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat itu, maka Soekarno masih memiliki keyakinan yang cukup kuat tentang kemampuan bangsanya yang majemuk untuk membangun diri sendiri.

Pemikiran yang kemudian berkecamuk dalam kepala Soekarno adalah bagaimana caranya berbagai aliran pemikiran yang dilandasi oleh berbagai corak nilai bisa dipertemukan dalam suatu konsep pandangan hidup bersama tanpa menghilangkan dinamika yang sehat yang terkandung dalam diri masing-masing fihak. Dari situ Soekarno mulai membangun kerangka pemikirannya ke dalam suatu konsep baru pandangan hidup bersama yang menghimpun nilai-nilai dasar yang terkandung dalam berbagai aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat menjadi satu rangkaian yang tak terpisah-pisah. Kristalisasi dari pemikirannya, yang juga merupakan hasil pekerjaan menghimpun berbagai pemikiran yang hidup di masyarakat dan dalam pikiran sejumlah tokoh yang menjadi pendiri bangsa, dipaparkannya dalam pidato 1 Juli 1945, tentang Pancasila, yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Namun pada saat yang sama, Soekarno tidak pernah melakukan analisa dan penjelajahan pemikiran yang memadai tentang kebudayaan. Sehingga, sama dengan sejumlah tokoh lain yang menjadi pendiri bangsa ini, ia tidak begitu ‘mau’ mendalami fakta benturan kebudayaan, dan tak banyak berbuat untuk membangun dialog sebagai solusi menyelesaikan aneka konflik kebudayaan dan sistim nilai.

Satu dan lain hal, mungkin inilah pula kenapa Pancasila ini ternyata mengalami nasib yang penuh pasang surut dalam eksistensinya. Meminjam istilah Muhammad Yamin, suatu konsepsi akan menjadi sebatang kayu yang ditancapkan di tengah-tengah padang pasir, jikalau tidak untuk dilaksanakan atau dipergunakan, itulah yang kemudian dialami Pancasila. Padahal, seperti kata Muhammad Yamin lebih jauh, falsafah negara yang bernama Pancasila ideal sebagai dasar negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam fakta dan pengalaman empiris, khususnya dalam masa setelah proklamasi terutama setelah tahun 1950, kalau tidak dijadikan sekedar retorika, maka Pancasila disalahartikan, bahkan disalahgunakan, dan tak pernah mendapat kesempatan untuk memperoleh perumusan implementasi secara final dan menjadi suatu konsensus nasional dengan posisi sekuat misalnya nilai-nilai dalam rumusan Declaration of Independence di Amerika Serikat. Belum lagi, rentetan upaya yang tak habis-habisnya untuk meniadakan dan menggantikannya dengan ideologi lain dalam posisi sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa.

Ketidakberhasilan penuntasan rumusan implementasi dan kegagalan pencapaian konsensus nasional yang final mengenai posisi Pancasila sebagai ideologi negara, menyebabkan berbagai kekuatan politik di Indonesia tetap mendua dengan mempertahankan politik aliran mereka berdasar ideologi yang mereka anut sejak mula. Sebaliknya, sikap mendua itu pada gilirannya memperkuat kembali kadar kegagalan dalam menuntaskan implementasi dan konsensus mengenai Pancasila. Di masa kekuasaan Soekarno, khususnya 1959-1965, struktur politik Nasakom memperkuat dan menyuburkan pola kepartaian yang ideologistis. Suatu keadaan yang sudah mengakar dan terasa melajur melintasi waktu ke masa-masa kekuasaan berikutnya hingga kini, dengan segala kesulitan yang diakibatkannya. Partai-partai terbagi dalam tiga kelompok besar ideologi –nasionalisme yang terdiri atas berbagai aliran, ideologi-ideologi berdasar agama, baik Islam maupun Kristen-Katolik, serta komunisme– dan pada waktu yang sama masih hidup pula berbagai aliran sosialisme non komunis meskipun dalam kondisi yang sulit dan tertekan oleh kekuasaan dan PKI sebagai pemegang hegemoni kehidupan politik.

Apakah ideologi itu ? Kita perlu meminjam uraian mengenai ideologi menurut Encyclopaedia Politik (Rahman Tolleng, Mingguan Mahasiswa Indonesia, 1967). Berasal dari suatu kata Yunani, ideologi terdiri dari rangkaian kata eidos dan logos. Eidos berarti pandangan, pikiran atau idea (gagasan), sedangkan logos yang di sini berubah menjadi logia, berarti pengertian atau ilmu pengetahuan. Jadi ideologi berarti the science of idea atau “ilmu pengetahuan tentang gagasan”. Pembatasan ini masih terlalu sederhana. Ideologi adalah kesatuan dari banyak idea atau kompleks dari sejumlah idea, dan kesatuan ini diperoleh melalui dan di dalam logos. Pengertianlah yang mempersatukan kompleks idea tadi dalam satu rangkaian, dalam satu sistem. Kita berbicara tentang satu sistem, bila banyak hal dilihat sebagai satu totalitas (keseluruhan), di mana setiap bagian mempunyai tempat dan makna tertentu di dalam keseluruhan itu serta terhadap satu sama lain. Dan apakah yang dimaksud idea di sini ? Idea dalam suatu ideologi bukanlah sembarang idea, tetapi idea-idea yang (dianggap) mengandung nilai-nilai luhur, idea-idea yang azasi, yang fundamental. Dan idea-idea itu adalah pikiran tentang hidup, tentang manusia dan dunia.

Selanjutnya ideologi bisa dirumuskan sebagai “suatu kompleks idea-idea azasi tentang manusia dan dunia”. Pembatasan ini hampir sama dengan definisi yang umum terdapat, seperti yang dikutip Paul E. Sigmund Jr dalam bukunya The Ideologies of the Developing Countries, yaitu “a systematic scheme or coordinated body of ideas about human life or culture” – satu rencana sistematik atau badan yang dikoordinasikan dari idea-idea tentang kehidupan manusia dan kebudayaan. Menurut Sigmund, definisi seperti ini nampaknya menyamakan antara ideologi dengan filsafat atau teori sosial. Akan tetapi, dalam pemakaian yang lazim, istilah ideologi mengandung makna tambahan, yaitu adanya unsur commitment, emosional maupun intelektual, unsur action orientation (orientasi kegiatan) dan bahkan unsur distortion (pemutarbalikan) yang disengaja atau tidak disengaja atas fakta-fakta agar sesuai dengan suatu doktrin yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Di samping sebagai suatu pengertian, ideologi memang merupakan pula pedoman dan cita-cita. Sebagai pedoman, berarti bahwa ideologi itu dijadikan pola atau norma hidup. Sedangkan sebagai cita-cita, maka pelaksanaan dari ideologi itu dianggap suatu kebesaran atau keluhuran. Di sinilah terletak keterangan, mengapa dalam suatu ideologi terkandung pula unsur commitment dan action orientation, malahan demi mengejar keluhuran itu, para penganutnya sering cenderung untuk memutarbalikkan fakta supaya cocok dengan doktrin ideologinya. Hal ini terutama terlihat dalam ideologi-ideologi totaliter, seperti komunisme. Tidak terkecuali, kalau para penganut dari suatu ideologi sudah dimasuki pula dasar kepentingan, yaitu menganut ideologi karena menguntungkan. Baik buruknya suatu ideologi tergantung kepada isinya, apakah betul-betul mencerminkan realitas atau tidak. Tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa ideologi dianut karena adanya keyakinan bahwa ideologi itu ‘benar’. Adanya aspek kebenaran ini yang di sini diartikan secara relatif, adalah ciri-ciri dari ideologi. Begitu pula sebagai suatu cita-cita, ideologi didasarkan atas pandangan yang azasi, walaupun belum tentu bahwa apa yang dianggap azasi itu betul-betul azasi. Kaum Nazi di Jerman umpamanya, menganut Naziisme, karena adanya keyakinan mereka akan ‘kebenaran’ ideologinya, meskipun sejarah kemudian membuktikan betapa jahatnya ideologi ini. Karl Mannheim dalam bukunya Ideology and Utopia membedakan antara ideologi dan utopia. Menurut Mannheim, the process of thought atau proses berpikir adalah utopian, kalau menerima rangsangan tidak dari kekuatan langsung realita sosial, tetapi konsepsi-konsepsi, seperti simbol-simbol, khayalan dan lain sebagainya. Sedangkan ideologi bertolak pangkal kepada realita sosial itu.

Dalam konteks Indonesia, menurut Rahman Tolleng, sebagai akibat dari pertarungan-pertarungan antar golongan yang tidak sehat, maka pada beberapa tahun terakhir di akhir masa Soekarno dan awal masa Soeharto, apa yang disebut ‘ideologi’ kehilangan pamor di kalangan rakyat. Dikatakan, bahwa pola kepartaian harus dirombak dari ideologische-centris ke programma-centris. Agaknya di sini telah dipergunakan istilah ideologi yang di satu pihak terlalu sempit, tetapi di lain pihak adalah terlalu luas. Terlalu sempit, karena ideologi ditafsirkan dalam arti buruk, dan terlalu luas karena masih merupakan tandatanya apakah memang semua partai politik di Indonesia menganut suatu ideologi tertentu. “Dalam prakteknya, kita menyaksikan selama ini, bahwa banyak partai-partai ngawur dalam garis perjuangannya”.

Ke dalam penafsiran manakah Megawati akan membawa dan memposisikan partainya dalam konteks partai ideologi? Dalam arti yang ‘terlalu sempit’ atau dalam arti yang ‘terlalu luas’? Pertanyaan lain, juga ditujukan kepada partai-partai politik lain yang ada di Indonesia sekarang ini: Apakah mereka partai-partai ideologis ataukah partai-partai program? Kerapkali tidak jelas. Dalam retorika politik saat mereka berkampanye, mereka berbicara –tepatnya, menyampaikan janji-janji– bagaikan partai program, dan betrsamaan dengan itu memperebutkan atau mempertengkarkan kekuasaan bagaikan partai ideologis di masa lampau.

Berlanjut ke Bagian 3