Tag Archives: Bung Hatta

4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (2)

SEJAUH ini, satu-satunya yang cukup menghibur, khususnya bagi kalangan akar rumput adalah keadaan bebas biaya dalam menyekolahkan anak. Tetapi untuk tingkat perguruan tinggi, masih membayang faktor biaya tinggi yang tak tertolong program beasiswa yang masih terbatas daya jangkaunya. Di bidang kesehatan, dalam batas tertentu pertolongan Kartu Indonesia Sehat dan manfaat BPJS cukup menolong namun kini terjadi kesulitan dalam masalah pendanaan dan pengelolaan. Baru-baru ini secara terbuka di muka khalayak Presiden menegur Menteri Kesehatan dan Direktur BPJS untuk masalah dana kesehatan ini. Namun belum tentu kesalahan sepenuhnya ada pada BPJS atau Kementerian Kesehatan. Pengorganisasian pengumpulan dana (wajib) dari masyarakat hingga ke pengelolaannya, memang termasuk sesuatu yang rumit. Harus pula dirunut duduk soalnya, mulai dari apakah perencanaannya sudah sempurna atau belum sempurna menghitung segala aspek.

Adalah memprihatinkan, bila dua program ini tak berjalan baik. Kedua jenis program terkait pendidikan dan kesehatan ini adalah kebutuhan mutlak kalangan akar rumput, di samping masalah perut. Selain itu, kedua program, bila dijalankan dengan baik, pasti sangat berguna untuk sedikit menimbun jurang perbedaan sosial ekonomi, sebelum ada keberhasilan pemerataan ekonomi yang lebih baik.

Tertatih-tatih dalam kemiskinan etika

Di luar masalah ekonomi dan kesejahteraan, secara umum pemerintahan ini masih tertatih-tatih dalam menjalankan konsolidasi politik dan demokrasi. Demi memperkuat mayoritas kerja di DPR, pada awal masa pemerintahan diperlukan intervensi untuk melemahkan beberapa partai seberang. Sebuah jalan pintas yang sebenarnya harus dihindari dalam pembangunan politik dan demokrasi.

Padahal, daripada menempuh jalan inkonvensional, lebih terhormat bila dari arah internal ditumbuhkan sikap realistis –dengan meninggalkan politik-politikan yang akrobatis. Sikap realistis yang positif merupakan kebutuhan dalam memecahkan masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Dalam konteks kehidupan politik dan kekuasaan yang sehat, dari arah eksternal diperlukan sikap kritis dan analisis objektif sebagai pengganti perilaku politicking.

Bila dari arah internal ada perilaku politik tercerahkan, maka sangat bisa diharapkan kehadiran perilaku yang juga tercerahkan dari arah eksternal. Perilaku politik buruk yang berkecamuk bukan perbuatan sepihak. Perbaikannya juga takkan terjadi sepihak, tetapi bersama-sama. Mereka yang merasa lebih memiliki kenegarawanan, layak untuk mempelopori perbaikan.

Ini perlu diingatkan, karena dari dua kutub pembelahan politik yang menajam selama tak kurang dari empat tahun belakangan ini masih saja selalu tampil gaya berpolitik yang sarat pengutamaan kepentingan eksklusif namun minus altruisme. Sarat kebohongan tapi miskin etika. Suatu keadaan yang membuat kehidupan politik makin hari kian compang-camping. Dari polarisasi politik yang terjadi, lahir berbagai manuver kontra produktif dengan alas argumentasi yang seringkali tak masuk akal. Semua menggunakan retorika demi rakyat dan demokrasi, namun pada hakekatnya hanyalah permainan kepentingan dan perebutan jengkal demi jengkal area kekuasaan dalam konteks berburu benefit.

JOKO WIDODO DAN IRON THRONE DALAM PENGGAMBARAN KOMIKAL HARI PRAST. Referensi pidatonya pun makin mengikuti trend, semisal kisah filmis fantasi The Avengers dengan tokoh antagonis Thanos. Lalu, serial Game of Thrones –bertema persaingan kekuasaan memperebutkan Iron Throne, you win or you die, di 7 kerajaan antah berantah, dengan bahaya sesungguhnya klan Stark yang protagonis dari daerah utara Winter’s Fell.

Sensitivitas terhadap kritik dan ‘penghinaan’

Usai menghadiri Kongres Persatuan Alumni GMNI –yang sejak masa Nasakom dulu dikenal sebagai organisasi mahasiswa sayap PNI– di Jakarta Jumat 7 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputeri terlihat pulang semobil menggunakan RI-1. Ibu Negara Iriana dengan demikian mesti menggunakan mobil lain. Lalu Harian Kompas melalui pojok Mang Usil berkomentar usil, “Sebagai Presiden atau petugas partai?” Jelas, ini hanya sekedar senda gurau, di tengah bermulanya gelombang kritik yang kemudian tak henti-hentinya mengarus menuju sang Presiden hingga menjelang akhir 2019 ini.

Sesungguhnya memang tak diperlukan waktu yang lama dalam masa kepresidenannya sebelum Joko Widodo mulai diterpa begitu banyak kritik dan kecaman maupun sekedar sebagai sasaran senda gurau. Maka tak heran bila beberapa di antara kalangan lingkaran Presiden dalam waktu yang singkat pun menjadi sensitif dan makin sensitif. Serangan dan senda gurau, oleh mereka yang hypersensitive –maupun yang sebenarnya sekedar berkelakuan ‘akrobatik’– dikategorikan bahkan sudah merupakan penghinaan.

Tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri yang menyebut adanya olok-olok dan penghinaan terhadap dirinya. “Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekkan, sudah makanan sehari-hari,” kata Joko Widodo kepada pers di Istana Bogor dua hari sebelum komentar Mang Usil. Sebelumnya, menjelang menjadi Presiden, menjawab tuduhan terhadap dirinya sebagai keturunan PKI Joko Widodo mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.”  Kelihatannya per saat itu sang Presiden masih bisa bertahan dengan mekanisme rapoponya.

Namun kemarin, Presiden Joko Widodo agak ‘meledak’ terhadap rangkaian serangan yang dilontarkan pada dirinya. Ketika membagi sertifikat tanah di Lapangan Ahmad Yani Kebayoran Lama (23/10) Presiden mengatakan masih banyak politisi yang memakai cara-cara lama, memakai politik kebencian, politik SARA, politik adu domba, politik pecah belah.  “Itu namanya politik sontoloyo,” ujarnya. “Hati-hati, banyak politikus baik-baik, tapi banyak juga politikus sontoloyo.” Esoknya, Rabu 24 Oktober, Presiden mengaku kata sontoloyo itu keluar, karena geram. Namun apa dan bagaimanapun, sontoloyo adalah istilah yang semestinya tak layak keluar dari mulut seorang Presiden dalam konteks keteladanan.

Mutasi dari ndeso ke powerful

Joko Widodo muncul dan ‘dibesarkan’ oleh suatu situasi seolah-olah antitesis terhadap model ketokohan ala Susilo Bambang Yudhoyono atau Soeharto, yang dalam perjalananan sejarah terbawa ke atas ke tingkat kelas elite. Joko Widodo yang tertampilkan masih ndeso, baik sosok maupun karakternya, sehingga terkesan sebagai replika sosok akar rumput, akhirnya dipilih oleh rakyat pemegang suara di tahun 2014, dengan keunggulan tipis atas tokoh lainnya, Prabowo Subianto yang dianggap dari kelas elite.

Majalah Time dalam cover-storynya bulan Oktober 2014, menyebut Joko Widodo sebagai presiden pertama Indonesia yang berasal dari kalangan bukan elite. Meski, Joko Widodo yang seorang insinyur, paling tidak selama dua belas tahun terakhir sebenarnya sudah menapak menjadi bagian dari elite kekuasaan, sebagai Walikota Solo dan kemudian sebagai Gubernur DKI. Namun wajah ndesonya yang tidak ber-‘evolusi’ dan gaya pendekatan kerakyatannya yang sempat ‘menawan’ hati banyak orang, menolong membuat dirinya tetap tercitrakan dan ditempatkan oleh khalayak di luar kelompok pemimpin dengan gaya elitis.

Sebagai tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa terhadap beberapa gaya kepemimpinan elitis sebelumnya. Para pemimpin elitis selalu mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.

Kendati masih tercitrakan sebagai tokoh pemimpin berwajah ndeso toh Joko Widodo mulai makin banyak punya persamaan dengan para pemimpin elitis. Beberapa rencana dan wacananya –drone, mobil nasional, kelistrikan yang massive dan beberapa lainnya– masih berjarak dengan realita, persepsi dan dengan kepentingan rakyat banyak. Banyak obsesi pembangunannya masih merupakan puisi. Sebutkanlah pula kegetolannya membangun jalan tol bersama BUMN dan para pemodal swasta, masih dipertanyakan, akan lebih menguntungkan siapa. Apakah lebih menguntungkan kalangan dunia usaha kelas atas atau ekonomi rakyat akar rumput? Kemudian kebiasaan blusukannya, apakah masih akan dipertahankan. Blusukan kini pasti berbeda dan tak sesederhana dahulu, katakanlah dalam aspek pembiayaan dan pengerahan aparat serta fasilitas maupun luasan area blusukan.

Untuk para pemimpin elitis yang berpikiran dan berkebijakan elitis, dan kepada umumnya para pemimpin yang muluk-muluk, Bung Hatta pernah menyitir frase dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid. Agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.

Kini, Joko Widodo sudah lebih banyak berada dalam model penampilan yang rapih dan perfect. Mengenakan setelan jas atau pun baju batik yang cantik motifnya, dan bagus jahitannya. Dalam berbatik, ia kelas atas. Tapi sekali-sekali saat pejabat bawahannya tampil berbatik atau berstelan jas, Joko Widodo malah tampil berkaos oblong. Juga banyak mengadopsi gaya milenial, tak segan berjoget dan melakukan jumping dengan sepeda motor besar meski sebagian memakai jasa stuntman. Referensi pidatonya pun makin mengikuti trend, semisal kisah film fantasi The Avengers dengan tokoh antagonis Thanos. Lalu, serial Game of Thrones –bertema persaingan kekuasaan memperebutkan Iron Throne, you win or you die, di 7 kerajaan antah berantah, dengan bahaya sesungguhnya klan Stark yang protagonis dari daerah utara Winter’s Fell.

Selain perubahan gaya berbusana, ‘sayup-sayup’ terasa terjadi pula suatu perubahan lain. Garis dan ‘tarikan’ wajahnya sekarang sedikit lebih sering tegang kencang. Tutur bahasanya pun lebih kerap ketus. Terbaru, itu, penggunaan kosa kata sontoloyo. Tetapi, memaknai secara positif, tentu saja terkesan bahwa sang Presiden kini lebih powerful… (socio-politica.com/media-karya.com)

Episode ‘The Killing Fields’ KPK dan Fenomena Presiden Tanpa Power

JALAN TENGAH yang diambil Presiden Joko Widodo terkait konflik KPK-Polri, 14 hari yang lalu pada 18 Februari, ternyata tidak sebenar-benarnya berhasil menjadi suatu solusi. Ibarat tablet sakit kepala, ‘solusi’ yang diberikan presiden, hanya mampu meredakan sementara rasa nyeri, namun tak mampu menyembuhkan penyakit sesungguhnya. KPK bahkan semakin tersudutkan setelah itu, seakan-akan tergiring masuk ke ladang ‘pembantaian’ dengan kemungkinan mati suri atau mati seterusnya.

Tidak bisa tidak, nasib KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi hanya memperkuat kesimpulan berdasarkan pengalaman empiris hampir sepanjang sejarah republik ini, bahwa lembaga-lembaga seperti itu hingga sejauh ini takkan bisa eksis. Tak lain, karena setiap rezim pemerintahan maupun institusi-institusi kekuasaan sosial-politik lainnya di Indonesia dari waktu ke waktu senantiasa makin terisi oleh lebih banyak manusia-manusia berwatak culas melalui rekrutmen dengan cara dan ‘sistem’ yang sesat. Kegagalan pembangunan sosiologis, menyebabkan kegagalan kehidupan sosial dan politik, dan pada gilirannya kegagalan sosial-politik itu menjadi sumber kegagalan pembentukan kekuasaan negara –legislatif dan judikatif– serta pemerintahan (eksekutif) secara baik dan benar. Dan kegagalan yang disebut terakhir ini lalu berputar kembali menjadi sumber peningkatan kegagalan sosiologis yang makin parah. Selama puluhan tahun, kita semua tak berhasil memutus lingkaran setan tersebut, yang makin ketat membelit bangsa ini.

THE KILLING FIELDS. "Apakah KPK yang setidaknya pernah menggiring petinggi Polri ke penjara –dalam kasus korupsi Korlantas– dan kemudian sekali lagi mencoba mengutak-atik seorang tokoh petinggi lainnya, tinggal tunggu nasib? Berakhir di sebuah ladang pembantaian –episode The Killing Fields, meminjam judul kisah pembantaian di masa perang Kamboja." (download)
THE KILLING FIELDS. “Apakah KPK yang setidaknya pernah menggiring petinggi Polri ke penjara –dalam kasus korupsi Korlantas– dan kemudian sekali lagi mencoba mengutak-atik seorang tokoh petinggi lainnya, tinggal tunggu nasib? Berakhir di sebuah ladang pembantaian –episode The Killing Fields, meminjam judul kisah pembantaian di masa perang Kamboja.” (download)

Mari mencatat apa yang kita miliki hingga kini, khususnya terkait dengan berbagai masalah krusial paling aktual per saat ini.

Dalam pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden, rakyat dihadapkan kepada bentuk pilihan the bad among the worst –suatu situasi akut yang telah berulang berkali-kali setiap lima tahun. Tercium bagi publik, meskipun tak selalu bisa dibuktikan, bahwa calon-calon legislatif umumnya maju dan berhasil melalui topangan politik uang dan atau jenis transaksional lainnya. Kandidat-kandidat pimpinan negara tampil melalui ongkos yang fantastis dan seringkali tak masuk akal lagi. Lalu menjadi pertanyaan, dari mana dana-dana besar itu datang? Mungkinkah di sini memang berlaku ‘adagium’ Honoré de Balzac yang diformulasikan kembali oleh Mario Puzo sebagai “behind every great fortune there is a crime.”? Atau dalam versi Frank P. Walsh, “Every great fortune is a fundamental wrong” –Setiap keberuntungan yang luar biasa, fundamental salah. (Baca: https://socio-politica.com/2014/12/26/retorika-jusuf-kalla-persoalan-kekayaan-dan-korupsi/)

Merupakan informasi yang menjadi rahasia publik –yang lagi-lagi selalu sulit untuk dibuktikan, namun dipercaya kebenarannya oleh publik– bahwa dalam berbagai proses rekrutmen kepegawaian negara, termasuk di berbagai instansi penegakan hukum, berlaku pengenaan biaya khusus untuk ‘tiket’ masuk. Bahkan, menurut penuturan sejumlah purnawirawan atau pensiunan, dalam kenaikan pangkat dan jabatan terjadi kebiasaan “jeruk makan jeruk”. Sesekali ada kasus yang terbukti, tetapi agaknya lebih banyak lagi terbenam sebagai rahasia antara para pihak saja. Dari apa yang bisa ditangkap dari pemberitaan seputar kasus Komjen Pol Budi Gunawan, ketersangkaaan beliau oleh KPK, soal imbal jasa dalam promosi jabatan menjadi salah satu hal yang dipersoalkan.

Paradoks. DALAM konteks kegagalan sosiologis, terjadi semacam situasi paradoks. Makin terpuruk suatu bangsa, makin besar pula kebutuhan munculnya tokoh(-tokoh) pemimpin yang secara kualitatif luarbiasa, berkemampuan tinggi dan brilian. Tetapi pada sisi lain, makin dalam situasi keterpurukan masyarakat, justru lebih besar pula peluang tampilnya pemimpin (atau para pemimpin) yang secara mental sakit dan berkualitas terpuruk.

Sewaktu Indonesia menuju kemerdekaan, tampil tokoh-tokoh berkualitas seperti Bung Karno dan Bung Hatta, serta sederetan tokoh lainnya yang tak kalah bermutunya. Ini menjadi suatu keadaan sejarah yang luar biasa. Sayang bahwa Bung Hatta berhenti di tengah perjalanan Indonesia merdeka. Dan, Bung Karno tergelincir dalam pola semi diktator  1960-1965 untuk akhirnya tersandung dalam Peristiwa 30 September 1965. Sementara itu, Jenderal Soeharto yang menjadi pelanjut setelah Soekarno, terlalu berlama-lama dalam kekuasaan sehingga terjangkiti adagium power tends to corrupt.

Presiden BJ Habibie, cerdas dalam keilmuan namun ‘awam’ dalam lika-liku politik. Abdurrahman Wahid, adalah seorang berkualitas, namun menjadi presiden saat terbelit kemunduran kesehatan. Megawati Soekarnoputeri, besar dalam bayang-bayang kebesaran nama Soekarno, namun mengalami kesulitan dalam mengemban nama itu dalam praktek kekuasaan. Susilo Bambang Yudhoyono, sempat menjadi bintang harapan baru, namun pencapaian dalam pencitraan tak sebanding dengan fakta pencapaian di medan realita saat harus berhadapan dengan kehidupan politik yang sudah terlanjut tergelincir sakit. Ia dikritik sebagai seorang peragu.

Namun kini, mulai muncul pendapat, bahwa ternyata dalam memecahkan berbagai masalah, Susilo Bambang Yudhoyono sedikit masih lebih baik dari Presiden Joko Widodo. Sempat menjadi bintang harapan baru, Joko Widodo dengan cepat pudar reputasinya, ketika ia tak begitu berhasil dalam pengambilan keputusan untuk berbagai persoalan. Mulai dari kekurangberhasilan menampilkan sebuah kabinet impian sesuai yang dijanjikan, soal harga BBM,sampai yang paling menjadi perhatian yakni penanganan penyelesaian konflik KPK-Polri terkait penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka KPK.

Keputusan jalan tengah Presiden Jokowi, membatalkan pencalonan Budi Gunawan dan menggantikannya dengan Komjen Badrodin Haiti, dan bersamaan dengan itu memberhentikan sementara dua pimpinan KPK dan mengangkat tiga pimpinan sementara KPK, hanya sejenak bisa menurunkan ‘ketegangan’. Namun ketika Polri tidak sepenuhnya patuh dengan seruan Presiden untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK, malah makin menjadi, publik lalu kembali sangsi. Sekaligus tersoroti pula kualitas kepemimpinan Presiden Jokowi dalam mengendalikan kekuasaan negara ini.

Main-mainan. Popularitas dan tingkat kepercayaan terhadap ketokohan Jokowi, memang tergoyahkan. Dengan pedas, perempuan aktivis dan penggiat seni, Ratna Sarumpaet, bahkan sampai kepada semacam kesimpulan, “Buat aku, negara ini sudah tidak punya kepala negara. Mana kepala negara…? Cuma mondar-mandir.” Kata Ratna, rakyat dan kita semua tidak begitu tolol untuk tidak mengetahui kenyataan. “Ini titik paling konyol, tidak berwibawa, kehilangan harkat, kehilangan harga diri… itulah Indonesia sekarang,” ujarnya dalam forum Indonesia Lawyers Club di tvOne (17/2) menilai para tokoh pelaku politik dan kekuasaan masa kini.

Menurut tokoh Petisi 50, Chris Siner Key Timu (3/3) masalah pokok adalah Presiden Jokowi tidak mampu memerintah –menyelenggarakan negara dan kekuasaan pemerintahan– sehingga membiarkan kriminalisasi terhadap KPK dan insubordinasi kepolisian. Jika tidak ada solusi mendasar, kondisi ini akan berlanjut dan berulang. Pendapat seperti yang disampaikan Chris Siner ini, juga menjadi pendapat banyak orang belakangan ini.

Dengan situasi sekarang, apakah Presiden Jokowi sebaiknya mengundurkan diri menyusul munculnya berbagai tanda ketidakmampuannya mengelola negara sebagai presiden? Kepada Chris Siner Key Timu, pengamat politik senior Dr Arbi Sanit, menyampaikan pandangan, “Presiden mengundurkan diri, bisa jadi sebagai sebuah pilihan nasional dari kerumitan yang keras secara nasional sekarang.” Tapi perlu ditimbang komplikasinya. “Pertama, harus sepasang, karena Jusuf Kalla bukan pula yang tepat dan bisa mengatasi masalah, karena kondisi kini sudah jauh berbeda dengan 2004-2009. Kedua, partai-partai dan masyarakat sipil tak siap dan tak punya calon yang lebih baik dan mampu. Ketiga, percepatan pemilu, atau proses lain, berpeluang untuk chaos, karena birokrasi termasuk Polri dan TNI tak siap secara profesional menghadapinya. Karena itu, saya cenderung mengatasi kelemahan utama presiden, yaitu tambah power untuk bisa efektif menggunakan otoritas –hak prerogatif– lembaga presiden. Satu-satunya sumber instan dan bisa efektif ialah mengelola dukungan TNI. Tapi itu bukan tanpa risiko: melawan reformasi dan bisa liar. Jika tidak, tinggal menunggu Joko Widodo sadar diri dan mundur, serta kita hidup tanpa kepastian, selama beberapa tahun ke depan.”

Menanggapi Arbi Sanit, pengamat politik lainnya, Margarito Kamis mengatakan bahwa tambahan power harus diikuti dengan tambahan kapasitas beliau. Apa mungkin itu? “Kalau mengikuti jalan pikiran Dr Arbi Sanit, kita dapat katakan, yang ada sekarang saja, tak terkelola, apalagi menambah power. Ini memang rumit dan kita harus arif, yaitu dalam batas yang tidak membahayakan negara ini.”

                Berakhir di ladang pembantaian? Dengan nada sedikit bergurau, Chris Siner Key Timu mengatakan “Kalau di masa Orde Baru, TNI jadi ‘mainan’ Presiden Soeharto, kini Presiden Jokowi jadi ‘main-mainan’ Polri.” Meskipun bernada gurauan, sedikit banyaknya apa yang disampaikan Chris Siner ini cukup mengkonfirmasi pandangan yang ada di tengah publik saat ini. Dan di balik gurauan itu, bagi kita sesungguhnya terlihat suatu kemungkinan yang serius. Andaikan memang benar bahwa bahkan seorang presiden sudah menjadi main-mainan –tidak diindahkan lagi imbauannya– dari suatu institusi yang nyata-nyata berposisi sebagai subordinasi dari lembaga kepresidenan, lalu bagaimana? Apakah KPK yang setidaknya pernah menggiring petinggi Polri ke penjara –dalam kasus korupsi Korlantas– dan kemudian sekali lagi mencoba mengutak-atik seorang tokoh petinggi lainnya, tinggal tunggu nasib? Berakhir di sebuah ladang pembantaian –dalam episode The Killing Fields, meminjam judul kisah pembantaian di masa perang Kamboja.

            Sebagai penutup, sekedar sebagai pengingat, jangan lupa nasib Antasari Azhar yang tereliminasi dalam satu keroyokan, mulai dari unsur kepolisian, kejaksaan sampai para hakim……. KPK tahun 2015 ini juga sedang dalam kerumunan keroyokan oleh unsur-unsur yang terkesan memusuhi gerakan pemberantasan korupsi, baik di DPR, di partai politik, unsur-unsur tertentu dalam birokrasi pemerintahan, kepolisian, kalangan pengacara maupun di pengadilan. (socio-politica.com)

Dari Dua Semarak ‘Pesta’: Angan-angan Akar Rumput dan Kemakmuran Elite

DALAM momen yang berdekatan di bulan Oktober 2014 ini, terjadi dua ‘pesta’ yang semarak.

Pertama, 20 Oktober 2014, usai pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, berupa ‘kirab budaya’ yang diorganisir relawan Jokowi untuk mengantar sang Presiden dari Gedung MPR menuju Istana Merdeka. Ini juga tergambarkan sebagai semacam pesta rakyat. Sebuah kelompok relawan Jokowi yang dipimpin seorang pengusaha kelapa sawit, mengorganisir dana untuk konsumsi senilai 385 juta rupiah. Tentu itu bukan satu-satunya kontribusi, dan biaya keseluruhan mungkin saja tak hanya berskala ratusan juta rupiah. Apalagi pesta rakyat itu berlanjut dengan konser salam tiga jari hingga malam hari di kompleks Monumen Nasional.

JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. "Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental." (foto tribunews)
JOKOWI DAN JUSUF KALLA DI ATAS KERETA KENCANA MENUJU ISTANA. “Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental.” (foto tribunnews)

Dan yang kedua, resepsi pernikahan satu pasangan selebriti dunia entertainmen di sebuah hotel di Bali, sehari sebelumnya, 19 Oktober yang disiarkan langsung oleh sebuah televisi swasta lengkap dengan iklan-iklan sponsor. Pesta yang konon berbiaya 15 milyar ini, dihadiri tak kurang dari 6000 tamu, yang sebagian terbesar tampil dengan busana ‘wah’ dan pasti mahal. Sebagai perbandingan, untuk Sidang MPR pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja, hanya disebarkan 1200 undangan. Maka, ada yang menyebut resepsi pernikahan selebrities ini sudah setara dan pantas disebut Royal Wedding. Kalau pesta di Bali ini diibaratkan sebuah etalase, maka ia berhasil menampilkan citra betapa makmur sejahtera sudah Indonesia ini. Salah satu kado untuk pernikahan ini, diserahkan Minggu siang. Sebuah mobil mewah, Lamborghini, yang menurut pengacara terkenal (dan kaya raya) Hotman Paris Hutapea pada acara penyerahan, berharga sekitar dua belas setengah milyar rupiah. Pemberi kado adalah klub para pemilik mobil mewah dengan merek tersebut.

Dua peristiwa semarak tersebut sebenarnya mewakili dua ‘dunia’ yang berbeda. Peristiwa pertama mewakili dunia politik dalam kaitannya dengan partisipasi dan apresiasi akar rumput yang ditampilkan dalam momen pergantian kepemimpinan nasional. Sedang peristiwa kedua, mewakili dunia entertainmen komersial sebagai salah satu sub sektor ekonomi bidang jasa. Dunia entertainmen itu merupakan salah satu ladang keberhasilan mencapai pendapatan besar oleh sebagian kecil anggota masyarakat berketrampilan entertainer yang berjaya menggali benefit yang semakin booming dari pasar masyarakat dalam negeri.

Kontras Laten. Tanpa sengaja, angka-angka rupiah dari dua peristiwa tersebut sekaligus mewakili suatu kontras laten dalam kehidupan bangsa ini, yaitu gap kaya-miskin, dalam konteks pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Dalam kontras itu, kurang lebih 20 persen golongan masyarakat makmur yang hidup berkelimpahan dalam satu ruang dan waktu bersama 80 persen yang hidup dalam serba keterbatasan karena belum berhasil terciprat rezeki pembangunan ekonomi. Kenyataan ini menjadi lebih memilukan, karena seperti metafora yang disebutkan penyair Taufiq Ismail dalam satu puisinya, uang telah menjadi berhala dan kerap diperlakukan seperti tuhan. Mereka yang menguasai akumulasi uang bisa mengendali kekuasaan negara dan kekuasaan sosial, sementara sebagian kalangan akar rumput yang ada dalam tekanan berat kehidupan ekonomi bisa terfaitaccompli untuk menggadaikan hak politik, hak sosial dan bahkan harkat-martabat dirinya.

Pembangunan ekonomi sesungguhnya bisa dipertemukan dengan pembangunan sosial dalam konteks sosial-ekonomi, melalui kebijakan politik yang diletakkan dengan baik. Namun, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, belum pernah ada kebijakan politik yang berhasil mempertemukan dengan baik pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial.

Dari waktu ke waktu menjadi pertanyaan begitu banyak orang: Sejauh manakah sudah keadilan sosial itu telah terwujud di Indonesia? Sub judul buku Revitalisasi Pancasila (Dr Midian Sirait, Kata Hasta Pustaka, 2008) dapat menjadi jawaban yang masih berlaku hingga kini. Bahwa Indonesia ini dihuni oleh “Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial”. Selanjutnya, beberapa penggambaran dalam buku tersebut masih akan dipinjam lebih jauh dalam tulisan ini dengan tambahan catatan lebih aktual.

Bangsa Indonesia berada dalam suatu posisi yang selain terjerat hutang luar negeri juga terjerat dengan angka kemiskinan yang besar dan bersamaan dengan itu memiliki angka pengangguran yang semakin tinggi. Hingga September 2014, hutang luar negeri berada pada angka 3000 triliun rupiah, dengan sekitar 70 persen di antaranya hutang swasta. Pemerintah sendiri telah mengambil dana masyarakat dalam negeri melalui surat berharga dengan nilai kurang lebih 1800 triliun rupiah.

Dari tahun ke tahun semakin banyak lulusan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, tetapi sebagian besar tidak tertampung oleh lapangan perkerjaan yang tersedia. Semakin besar jumlah pengangguran ini, semakin besar pula tanggungan sosial yang harus dipikul. Dari sejak lima tahun yang lampau hingga kini, seorang yang bekerja harus menanggung biaya makan dan biaya hidup lainnya setidaknya untuk 6 orang dalam satu keluarga. Kesempatan bekerja semakin terbatas dengan terus bertambahnya manusia yang siap menjadi tenaga kerja. Dengan sendirinya, tingkat pendapatan juga semakin terbatas, sehingga kemiskinan pun akan bertambah, meskipun para pemerintah dari waktu ke waktu selalu menyebutkan adanya penurunan angka kemiskinan.

Sepintas kerapkali angka kemiskinan terlihat menurun, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah quasi miskin-tidak miskin. Banyak orang yang memiliki angka pendapatan yang bisa saja terlihat membaik, tetapi secara mendadak berkemampuan di bawah garis kelayakan dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya, pada tahun ajaran baru, atau saat terjadi gejolak harga komoditi yang menjadi kebutuhan pokok, entah harga cabai, minyak goreng, kelangkaan beras, kerumitan dan kenaikan tarif angkutan umum. Bila pemerintahan baru mendatang menurunkan subsidi BBM, yang esensinya berarti kenaikan harga BBM –dengan segala dampak non-ekonomisnya yang sebenarnya tidak rasional– untuk jangka waktu tertentu, banyak yang mendadak miskin kembali. Tak lain karena, mereka berada di perbatasan antara miskin dan tak miskin.

Tentang kemiskinan ini, menjelang akhir periode pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahun 2009, pemerintah pernah memberikan angka-angka yang menunjukkan menurunnya angka kemiskinan. Angka penurunan itu terjadi karena pengaruh bantuan langsung tunai (BLT) yang dibagi-bagikan pemerintah kepada rakyat miskin. Tetapi program itu hanya menurunkan angka kemiskinan untuk 2-3 bulan. Jadi bila dibuat statistik berdasarkan sensus pada 2-3 bulan setelah dibagikannya BLT, pasti angka kemiskinan itu menurun. Dan bila diteliti lagi 2-3 bulan sesudah itu, pasti akan menaik lagi, karena bantuan seperti itu takkan sempat digunakan secara produktif melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek menutup lubang akibat tekanan ekonomi yang berlangsung permanen. Menjadi semacam fatamorgana belaka.

Bagaimana caranya mengatasi kemiskinan itu? Pada tahun-tahun mendatang ini, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla akan menghadapi fakta persaingan yang makin ketat dengan negara-negara atau bangsa-bangsa lain. Bila terhadap kemajuan Cina dan India misalnya, kita tak mampu mengimbanginya, meskipun jumlah penduduk kita juga besar, kita akan makin terpuruk. Bangsa ini akan makin tertinggal.

Metoda Keadilan Sosial. Sebenarnya tersedia metoda yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan manusia Indonesia menghadapi persaingan, yakni keadilan sosial  dari falsafah Pancasila. Ini bukan sekedar retorika, karena bisa dilaksanakan. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar seperempat miliar jangan sampai menjadi beban pembangunan, tetapi harus menjadi modal. Agar sumber daya manusia yang secara kuantitatif besar itu, bisa menjadi modal, maka kemampuan kualitatifnya harus bisa ditingkatkan.

Menurut keyakinan kaum sosial demokrat –istilah ini digunakan Dr Midian Sirait dalam buku itu– dengan membagi rata kemampuan pembangunan, maka akan makin meningkat pula pendapatan bangsa secara merata. PDIP yang menjadi tulang punggung utama pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, diakui atau tidak, semestinya tergolong kaum sosial-demokrat.

Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah menyebutkan rencana-rencana pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan dengan cara padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Hal yang sama sebenarnya dijanjikan dalam kampanye-kampanye Jokowi-Jusuf Kalla maupun Prabowo-Hatta Rajasa. Dengan demikian, akan makin banyak orang memiliki pekerjaan. Pada masa mendatang ini yang harus diutamakan memang adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak yang mungkin bisa disediakan. Itu akan mengurangi angka kemiskinan. Barangkali, bila selama ini satu orang bekerja untuk menghidupi dan memberi makan enam orang dalam satu keluarga, maka nanti satu orang bekerja untuk menghidupi empat orang saja. Seterusnya meningkat untuk tiga orang saja, yakni untuk satu isteri dan satu anak.

Pencapaian seperti ini akan mengurangi ketegangan sosial di perbatasan gurun kemiskinan dengan oase kelompok kecil masyarakat kaya yang berkelimpahan secara ekonomis. Oase itu selama ini antara lain diisi para pemilik koleksi kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kaum bergaya hidup kelas tinggi dan pemilik pemukiman mewah berharga fantastis yang tak mungkin terjangkau kalangan akar rumput dalam angan-angan sekali pun.

Peningkatan harkat dan martabat manusia, dengan sendirinya juga mencipta solidaritas masyarakat karena kerja, sebagai bagian dari keadilan sosial. Kekuatan dari keadilan sosial akan memperkuat kemampuan manusia berproduksi. Kemampuan manusia itu bila dihubungkan dengan jumlah penduduk yang besar, akan membuat bangsa Indonesia survive. Karena itu, keadilan sosial sebagai bentuk peningkatan kemampuan bangsa, bukan hanya berarti membagi rata kekayaan republik. Tetapi, kekayaan republik, kekayaan alam dan tanah, dimanfaatkan untuk seluruh kegiatan demi meningkatkan kemampuan manusia, sekaligus meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Harkat dan martabat manusia serta kemampuan intelejensi bangsa ini, pada gilirannya akan lebih memperkuat lagi solidaritas satu sama lain sebagai satu bangsa.

            Puisi dan Kereta Kencana. DALAM dunia retorika, yang dijejalkan para pemimpin selama 69 tahun Indonesia merdeka untuk ‘mengenyangkan’ batin rakyat di lapisan akar rumput, kehidupan Indonesia ini bisa indah bagai puisi. Dalam dunia akar rumput, angan-angan dan persuasi bernuansa dongeng kerapkali mampu menciptakan ekstase. Tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa gaya kepemimpinan elitis –yang mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.

Tapi perlu meminjam Bung Hatta yang menyitir dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid, agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.

Prinsip keadilan sosial tentu tak hanya berarti pembagian-pembagian rezeki bagi masyarakat. Masyarakat juga harus dijamin kesehatannya, hari tuanya serta berbagai hal dasar lainnya, termasuk bidang pendidikan. Dua calon presiden dalam Pilpres yang baru lalu sama-sama menjanjikan hal-hal tersebut. Janji-janji jaminan sosial ini harus segera dibuktikan. Presiden yang bisa mengembangkan program dana sehat, dana pendidikan dan sebagainya dalam rangka jaminan-jaminan sosial, akan diingat sepanjang masa.

Di antara dua calon presiden yang ada, Jokowi yang terpilih. Tokoh yang kemunculannya bagaikan separuh dari dunia dongeng dan mitos Jawa ini –yang lahir dari kandungan wong cilik dan tersurat sebagai penyelamat negeri– ‘mengalahkan’ seorang tokoh atas yang lebih terbuka hitam-putih riwayatnya dalam catatan sejarah kontemporer Indonesia merdeka.

Sebagai yang terpilih, Joko Widodo pun masuk ke Istana berkendara kereta kencana. Suatu momen yang memang mudah terasosiasikan dengan dunia dongeng dan mitos, meskipun itu bisa juga disebut sebagai pementasan sebuah peristiwa budaya. Tetapi apapun itu, jangan lupa tentang janji revolusi mental. Dongeng dan mitos harus segera didekatkan dengan realita. (socio-politica.com)

Soekarno, September 1966 (2)

SIAPAKAH Bung Karno? Bung Karno –atau Ir Soekarno, yang nama lengkapnya adalah Raden  Koesno Sosro Soekarno– lahir di Surabaya tanggal 6 Juni 1901. Memperoleh gelar ingenieur di Bandung tahun 1925. Menurut tulisan Aldy Anwar, “ia adalah seorang yang cerdas, berbakat luar biasa dan berambisi besar.”

Semasa remajanya Raden Koesno Sosro Soekarno telah jatuh cinta pada teman sekolahnya di HBS, seorang anak Belanda bernama Mien Hessels. Setelah berkasih-kasihan beberapa waktu lamanya, Raden Koesno Sosro Soekarno memberanikan dirinya untuk melamar Mien Hessels kepada ‘Meneer’ Hessels. Tetapi oleh Hessels pinangan ‘inlander R. Koesno Sosro Soekarno yang tak tahu diri itu’ ditolak mentah-mentah dengan caci maki, penghinaan dan pengusiran dari rumahnya.

SOEKARNO-SOEHARTO. "Cara mereka membawa keberhasilan perlu ditiru, sebagaimana kegagalan mereka dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi. Namun sayang, tak belajar dari sejarah, banyak para pemimpin masa kini yang kembali mengulang sejarah: Semakin lebih bersikap sebagai politisi daripada sebagai negarawan. Lebih cenderung menjadi pemimpin golongan dalam konteks kepentingan partainya daripada menjadi pemimpin bangsa seluruhnya." (foto: nusantara-history)
SOEKARNO-SOEHARTO. “Cara mereka membawa keberhasilan perlu ditiru, sebagaimana kegagalan mereka dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi. Namun sayang, tak belajar dari sejarah, banyak para pemimpin masa kini yang kembali mengulang sejarah: Semakin lebih bersikap sebagai politisi daripada sebagai negarawan. Lebih cenderung menjadi pemimpin golongan dalam konteks kepentingan partainya daripada menjadi pemimpin bangsa seluruhnya.” (foto: nusantara-history)

Peristiwa itu mungkin menimbulkan semacam dendam dalam diri Soekarno kepada Hessels pribadi maupun kepada orang-orang Belanda pada umumnya. “Di bawah pengaruh lingkungan pergaulan di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tempat ia tinggal selama bersekolah di HBS”, dan bertemu dengan tokoh-tokoh politik pemimpin pergerakan dari berbagai aliran, “ia mendapat saluran dalam bentuk sikap anti kolonialisme dan imperialisme Belanda.”

Sebagai student pada Technische Hooge School yang mengalami berbagai diskriminasi dan penghinaan oleh orang-orang Belanda, bertambah kuat tekadnya untuk melawan kekuasaan orang-orang Belanda dan mencari kekuatan sendiri. Menurut Aldy, kemahiran Soekarno untuk mempersuasi orang, ‘akting’ dan berpidato, ternyata berguna baginya dalam klub-klub debat, dan kemudian dalam Bandungsche Studie Club. Kepandaiannya menggunakan kata-kata menyebabkan ia ditarik untuk membantu pers pergerakan seperti “Fikiran Rakjat”. Sasaran tulisan-tulisan dan pidato-pidato agitasinya selalu Belanda dan apa-apa yang diciptakan dan diakibatkan  oleh Belanda di Indonesia. “Demikianlah, dengan kepopuleran yang diperolehnya itu Raden Sosro Soekarno atau Ir Soekarno, memulai karir politiknya sebagai pemimpin, yang dalam jangka waktu 40 tahun berhasil membawanya sampai ke puncak kekuasaan dan kejayaan pribadinya.”

Tatkala sesuai keputusan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda tahun 1926, tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia yang aktif dalam Bandungsche Studie Club memutuskan untuk mendirikan suatu partai yang bercorak nasional, maka Ir Soekarno yang ditonjolkan sebagai ketuanya. Dengan pidato-pidato Soekarno yang menarik massa, PNI dapat menjadi besar. Kepopuleran Ir Soekarno menanjak terus, lebih-lebih setelah ia ditangkap dan dipenjarakan di Banceuy dan kemudian di Sukamiskin.

Sewaktu mahasiswa Mohammad Hatta selaku ketua Perhimpunan Indonesia pada tanggal 9 Maret 1928 dihadapkan Rechtbank di Den Haag, ia mengucapkan pembelaannya yang terkenal, “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Di situ ia menguraikan kolonialisme dan imperialisme Belanda di Indonesia serta perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan Perhimpunan Indonesia. Dalam pada itu, saat Ir Soekarno dihadapkan ke Landraad di tahun 1930, ia mengajukan pembelaan yang hampir serupa bagi PNI, “Indonesia Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat). Pembelaan itu menambah kepopulerannya di kalangan pergerakan dan kalangan rakyat banyak.

Selama Ir Soekarno dalam pembuangan di Flores dan Bengkulu, usaha-usaha Dr Tjipto Mangunkusumo, A. Hassan dari Persatuan Islam di Bandung, dan lain-lain dalam pers pergerakan, dapat memelihara kepopuleran Ir Soekarno. Maka tatkala Drs Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pada permulaan pendudukan Jepang, memutuskan untuk membagi tugas antara memimpin kerjasama dengan Jepang dan memimpin gerakan bawah tanah melawan Jepang, Hatta mengajukan Soekarno yang dianggap pandai ‘bersandiwara’ untuk memimpin kerjasama dengan Jepang.

Semenjak itulah Ir Soekarno dan Drs Mohamamad Hatta dengan dukungan pemimpin-pemimpin lainnya, praktis memegang pimpinan nasional pergerakan kemerdekaan  Indonesia. Kedua tokoh itu mulai terkenal sebagai Bung Karno dan Bung Hatta, serta dipandang sebagai lambang persatuan bangsa dan lambang perjuangan kemerdekaan bangsa. Sehingga wajar dan dianggap dengan sendirinya bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus ditandatangani dan diumumkan oleh Soekarno-Hatta. Dan, bahwa sebagai Presiden dan Wakil Presiden, hanya dipilih Bung Karno dan Bung Hatta. Kepemimpinan Dwitunggal Soekarno-Hatta sebagai pimpinan bangsa, negara dan revolusi adalah suatu kenyataan yang berangsur-angsur juga menjadi mitos.

Tetapi setelah tahun 1950 Bung Karno semakin lebih bersikap sebagai politikus daripada sebagai negarawan. Menjadi pemimpin golongan dan bukan pemimpin bangsa seluruhnya. Semakin melibatkan dirinya dalam percaturan politik dan pertarungan kekuatan, bahkan menjalankan politik devide et impera dan balance of power. Maka, semakin retaklah Dwitunggal Soekarno-Hatta pada tahun 1956. Semakin leluasalah Bung Karno menjalankan politik devide et impera dan balance of power, sementara kepemimpinannya sebagai Bapak Rakyat dan Kepala Negara semakin merosot. Kesalahan-kesalahan dan penyelewengan-penyelewengan yang bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila dan UUDS 1950, dan kemudian UUD 1945, semakin besar dan semakin banyak diperbuatnya.

“Bung Karno pemimpin rakyat semakin terasing dari rakyat, bertahta dalam istana-istana dengan dikelilingi para pemaisuri, dayang dan hulubalang dan tentara istana, bermewah-mewah dan berpelesir di atas penderitaan rakyat yang semakin sengsara. Bung Karno kesayangan rakyat telah meninggalkan dan melupakan rakyatnya. Bung Karno yang dikenal rakyat dahulu, telah tinggal bayangannya saja, tinggal mitosnya saja. Bung Karno yang dahulu, sudah tak ada lagi.” Demikian Aldy Anwar menulis.

            SETENGAH tahun kemudian, Maret 1967, masa kekuasaan Presiden Soekarno berakhir. Meski para pendukung Soekarno melakukan tiarap politik panjang setelah itu, untuk sebagian pemitosan Soekarno tak pernah betul-betul berakhir. Tampilnya Megawati Soekarnoputeri sekitar 25 tahun kemudian dengan PDIP, mencuatkan kembali nama Soekarno sebagai simbol keberhasilan dan contoh kharisma suatu model kepemimpinan. Hal yang sama terjadi pada Soeharto setelah 1998. Kini, saat kepemimpinan negara dianggap lemah, nostalgia tentang kejayaan kedua pemimpin itu kembali hidup. Lalu, banyak yang menoleh lagi kepada jalan pikiran, model kepemimpinan, ataupun cara memimpin bangsa dan negara ala Soekarno maupun Soeharto.

            Kenapa tidak? Kedua tokoh itu memang sama-sama memiliki keistimewaan, kegemilangan dan keberhasilan. Pantas untuk dicontoh dalam konteks kontinuitas keberhasilan bernegara. Tetapi jangan lupa, sejarah juga mencatat bahwa keduanya pun memiliki banyak kekeliruan dan ketidakberhasilan yang hampir saja menenggelamkan bangsa dan negara ini. Maka bila ingin menarik hikmah dan berkah dari sejarah, mari kita belajar dari pengalaman mereka. Belajar dari keberhasilan mereka, sambil juga belajar titik-titik kegagalan mereka. Cara mereka membawa keberhasilan perlu ditiru, sebagaimana kegagalan mereka dijadikan pelajaran untuk tidak diulangi. Namun sayang, tak belajar dari sejarah, banyak pemimpin masa kini yang kembali mengulang sejarah: Semakin lebih bersikap sebagai politisi daripada sebagai negarawan. Lebih cenderung menjadi pemimpin golongan dalam konteks kepentingan partainya daripada menjadi pemimpin bangsa seluruhnya.

(socio-politica.com)  

Bung Karno Seorang Marxis, Apakah Ia Juga Komunis? (1)

Marion Mueng Yong*

             BUNG Karno adalah seorang Marxis. Ia sendiri yang selalu mengatakan “Aku seorang Marxis”. Marxis itu bukan orang sekedar tahu Marxisme saja. Bung Sjahrir dan Bung Hatta juga tahu betul Marxisme, tetapi mereka adalah sosialis, dan sosialis yang anti komunis. Mereka adalah Pancasilais. Buat mereka, Pancasila dengan sendirinya adalah sosialis yang anti komunis. Bung Hatta juga bilang bahwa Marxisme tidak ada hubungan apa-apa dengan Pancasila. Bung Karno lain. Bung Karno tidak cuma tahu Marxisme, tidak cuma cinta Marxisme, tetapi menganggap Marxisme sudah menjadi sebagian dari kepuasan jiwanya.

            Bung Karno adalah sosialis, tapi sosialis yang tidak anti komunis, bahkan sosialis yang terang-terangan pro komunis. Bung Karno adalah Pancasilais yang Marxis yang nasionalis yang Islamis yang sosialis yang pro komunis. Bukan pro komunis saja, tapi cinta sepenuh hatinya kepada komunis. Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin sosialis Pancasilais di Indonesia ini yang terang-terangan berkata “aku merangkul kepada PKI”, dan lalu memang betul-betul merangkul Aidit di hadapan massa.

*Marion Mueng Yong. Ini hanyalah nama samaran dari Dr Soedjoko MA setiap kali ia menulis. Soedjoko adalah seorang cendekiawan terkemuka, pengajar ITB yang menjadi aktivis. Memiliki gaya menulis yang memikat dan tajam. Tulisan ini berjudul asli “Siapa Dalang Gestapu?” dimuat serial selama 3 minggu di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, akhir September dan awal Oktober 1966. Kemudian menjadi salah satu artikel koleksi dalam buku “Simtom Politik 1965” yang terbit 2007. Soedjoko termasuk salah satu yang meyakini keterlibatan penuh Soekarno dalam Peristiwa 30 September 1965. Soedjoko meninggal dunia tahun 2006.
*Marion Mueng Yong. Ini hanyalah nama samaran dari Dr Soedjoko MA setiap kali ia menulis. Soedjoko adalah seorang cendekiawan terkemuka, pengajar ITB yang menjadi aktivis. Memiliki gaya menulis yang memikat dan tajam. Tulisan ini berjudul asli “Siapa Dalang Gestapu?” dimuat serial selama 3 minggu di Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung, akhir September dan awal Oktober 1966. Kemudian menjadi salah satu artikel koleksi dalam buku “Simtom Politik 1965” yang terbit 2007. Soedjoko termasuk salah satu yang meyakini keterlibatan penuh Soekarno dalam Peristiwa 30 September 1965. Soedjoko meninggal dunia tahun 2006.

            Bung Karno selalu berkata, “Aku bukan komunis”.

            Ini tentu reaksi atas anggapan banyak orang bahwa Bung Karno itu komunis, atau komunis gelap. Yang terang adalah, bahwa Bung Karno tidak pernah anti komunis, ya, tidak mau anti komunis. Bacalah saja buku-buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I dan II. Dari halaman pertama sampai halaman terakhir tidak ada kritik tajam –apalagi kutukan– terhadap komunisme dan PKI. Kalaupun ada di satu dua tempat, maka kritik ini diberikan dengan cara segan-segan, lembek, ‘reserved’ dan ‘reluctant’ sekali. Dia bersifat catatan yang sambil lalu saja, biasanya segera disusul oleh apa-apa yang membaikkan komunisme, atau pembicaraan dibelokkan begitu saja kepada hal-hal lain. Tidak pernah Bung Karno memberikan satu artikel atau pidato yang khusus mengeritik dan menyerang komunisme dan PKI. Bandingkan ini dengan tulisan-tulisan panjang lebar yang khusus mengecam Islam, sampai ada pula yang berjudul amat sarkastis, bunyinya “Islam sontoloyo”, yang rupanya sampai perlu juga ditambah dengan kalimat “baca: Islam soontoolooyoo!”.

            Perbedaan perlakuan terhadap komunisme dan Islam ini tentu saja menyolok. Dan sangat mencurigakan. Inilah celakanya jadi Marxis.

            Bung Karno adalah seorang Islam dan seorang Nasionalis sekaligus, dan menganggap kaum Islam dan kaum Nasionalis sebagai kawan-kawan seperjuangannya. Komunis juga menjadi kawan seperjuangannya. Cuma ada bedanya. Yang komunis hampir tidak pernah dikritik. Yang Islam dan Nasionalis seringkali dikritik, dengan bernafsu, panjang lebar, berapi-api dan sarkastis. Dimana dianggap perlu, maka kawan-kawan seperjuangan yang nasionalis dan religius ini dihancurkannya samasekali. Masjumi, PSI dan Murba dibubarkan, BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dibubarkan, pemimpin-pemimpinnya dipenjarakannya bertahun-tahun lamanya tanpa proses, dus tanpa kesalahan yang bisa dibuktikan. Sekarang mereka sudah bebas kembali. Tapi bukan Bung Karno yang membebaskan mereka.

            Bandingkan ini dengan perlakuan Bung Karno terhadap PKI dan benggolan-benggolannya, dari dulu hingga saat ini. Akhir-akhir ini katanya minta fakta, lantas fakta ditumpuk setinggi gunung di depan Bung Karno, tapi jawabnya cuma satu: “PKI paling berjasa. Aku Marxis. Biar digorok lehernya komunis tidak bisa mati”.

Bagaimana Stalin dan Mao? Dan Bagaimana Madiun?

             Adolf Hitler diktator fasis dikutuk. John Foster Dulles dikutuk. Tengku Abdul Rahman dikutuk. U Thant pun tidak lepas dari dampratan Bung Karno. Hatta, Sjahrir, Prawoto, Natsir, Mochtar Lubis, semua kena tangan besinya. Sjahrir mati karenanya.

            Tapi Marx, Lenin, Stalin, Mao, Aidit tidak pernah dikritik. Mereka disitir buat dicontoh dan dipuji. Paling banter mereka didiamkan saja, seakan-akan kejahatan Stalin, pengganti Lenin, adalah cuma kejahatan mencuri seekor ayam. Notabene Stalin adalah diktator juga. Tapi buat Bung Karno diktator-komunis adalah okay, diktator-fasis go to hell. Inilah celakanya Marxis yang merangkul komunis. Punya standar ganda. Padahal Khruschov sendiri melabrak Stalin habis-habisan, sampai-sampai ia menghancurkan semua patung Stalin di seluruh Eropah Timur supaya segala bekas tokoh paling keras komunis ini bisa hilang dari pandangan dan kenangan rakyat. Ini dilupakan Bung Karno, dan sebagai gantinya Bung Karno mengisi pidato-pidato 17 Agustus-nya dengan celaan-celaan terhadap “anak-anak muda yang berdansa cha-cha-cha dan rocknroll dan berambut sasak serta beatlebeatlean”.

            Bung Karno adalah anti komunis, anti kapitalis, anti fasis, anti fuhrer prinzip, anti nekolim. Mengenai konsistensinya atau tidak, mengenai kecapnya atau bukan, semua orang sekarang juga sudah tahu. Tetapi yang terang, Soekarno pro kolonialisme imperialisme komunis, kolonialisme imperialisme Cina, kolonialisme imperialisme Rusia.

            Gerakan 1 Oktober (Gestok) dikutuk. Tapi kita harus menerka saja gerakan mana yang dikutuk Bung Karno itu, sebab ada Gestok Soeharto dan ada Gestok Aidit. Sudah terang bukan komunisnya, bukan PKI-nya, bukan Aiditnya yang dikutuk. Jadi yang dikutuk itu apa?

            Bagaimana dengan kebuasan ‘revolusi Madiun’ dulu itu? Sikap Bung Karno, setali tiga uang. Dikutuk, tapi tidak terang siapa yang dikutuk. Yang dikutuk hanyalah apa yang Bung Karno sebut sebagai “mereka”. “Komunis” atau “PKI” tak sekalipun disebut. Periksa “Kepada Bangsaku” dan Pidato 17 Agustus 1949. Bung Karno mengecam “mereka” itu sebagai orang-orang yang kejam, buas, biadab, penyembelih-penyembelih yang sama sekali telah meninggalkan Pancasila. Sebetulnya gampang saja buat Bung Karno untuk mengatakan “PKI-Muso kejam, buas, biadab, anti Pancasila, kontra revolusioner”. Tetapi Bung Karno berkeberatan untuk mengatakan itu. Bung Karno tidak berani mengatakan itu. Itulah celakanya menjadi Marxis yang merangkul komunis.

            Apakah sebetulnya kesalahan “mereka” itu? Menurut Bung Karno, ialah karena “mereka” memaksakan revolusi sosial “sebelum waktunya tiba”, karena masyarakat kita “belum masak untuk revolusi sosial, belum mau kepada revolusi sosial”. Seakan-akan Bung Karno mau berkata kepada “mereka” itu: “Jangan sekarang adakan revolusi-mu! Tunggu sampai nanti waktunya tiba! Tunggu kalau rakyat sudah mau revolusi-mu”.

            Setiap orang yang waras pikirannya, setiap orang yang Pancasilais tulen, tentu akan segera melarang dan membubarkan PKI pada tahun 1948 itu. Toh sudah terang-terangan kejam, biadab dan anti Pancasila. Tunggu apa lagi?

            Jawabnya: Tunggu sampai tiba waktunya yang baik buat “mereka” untuk mengadakan revolusi sosial dan rebut kekuasaan mutlak. Tunggu sampai masyarakat sudah masak buat adakan revolusi sosial di mana nanti “mereka” akan bisa menang. Apakah karena itu “mereka” tidak dilarang dan tidak dibubarkan? Apakah izin hidup bagi “mereka” itu dimaksudkan buat memberi kesempatan kepada “mereka” untuk “memasakkan situasi” dengan perencanaan yang lebih teratur dan jitu, dan kemudian, membuat revolusi sosial lagi?

            Maka perhatikanlah politik Bung Karno sesudah “revolusi Madiun” ini terhadap PKI dan terhadap ormas/orpol lainnya, politik yang memuncak menjadi diktator-durnoisme di mana PKI kebagian “Lebensraum” yang makin membesar saja.

 Teori Dwi-Fase Revolusi dan Jalan Kekerasan

             Menurut Bung Karno (dalam “Kepada Bangsaku”), Revolusi Indonesia punya dua fase, ialah pertama Fase Nasional dan kemudian Fase Sosial. Menurut pengertian Marxistis, maka hingga saat ini Indonesia masih berada pada Fase Nasional, atau Fase Revolusi Nasional. Bung Karno kelak mempergunakan istilah Nasional Demokratis yaitu istilah baru yang diciptakan oleh musyawarah 81 partai komunis di Moskow pada akhir tahun 1960. Pendeknya, teori revolusi Bung Karno ini adalah teori komunis, teori asing, dan sama sekali bukan hasil “berdikari” dalam teori dan ideologi.

            Amat panjang lebar Bung Karno menerangkan mengenai dwi-fase revolusi ini, terutama mengenai fase yang pertama. Tapi biar pun begitu Bung Karno tetap menyembunyikan satu hal yang teramat serius, yaitu bahwa teori ini adalah teori komunis. Dan teori komunis hanyalah mengabdi kepada komunisme. Teori ini dikembangkan Stalin di tahun-tahun duapuluhan, kemudian dipertajam Mao Zedong pada tahun 1939. Ini bukannya sekedar teori buat mencapai masyarakat sosialis sebagaimana tergambar dalam ‘Kepada Bangsaku’. Ini adalah teori buat mencapai sosialisme yang dikuasai oleh partai komunis dengan cara kekerasan dan diktatorial.

(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2 

Bila Masyarakat Sudah Muak Pada Partai Politik

Tanpa etika, kepemimpinan tereduksi menjadi manajemen, dan politik menjadi sekadar teknik memenangkan kekuasaan”, James Mac Gregor Burns, Penulis Amerika Serikat.

Oleh Syamsir Alam*

            JIKA pemilu dilakukan saat ini, partai apa yang akan dipilih? InPoll, sebuah kelompok kajian dan survei independen yang menyatakan beranggotakan dosen-dosen lintas disiplin dari berbagai perguruan tinggi, mengungkapkan 52,8% sudah menentukan pilihan. Ada tiga partai dominan dengan pemilih lebih dari 5%, yaitu: Partai Demokrat 14,3%, PDIP 12,4% dan Partai Golkar 11,7%. Selanjutnya, ada enam partai dengan pemilih kurang dari 5%, yaitu: PKS 3,6%, Gerindra 2,5%, PKB 2,2%, PAN 2%, PPP 2%, dan Hanura 1,2%. Partai baru diperkirakan hanya mampu menarik perhatian sekitar 0,9% (Iklan pada Kompas, 30 September 2011, halaman 10).

Terlepas dari valid atau tidaknya hasil survei tersebut, paling tidak kita dapat melihat kecenderungan yang akan terjadi. Dibandingkan dengan hasil survei nasional Mei 2011 yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), kedekatan pemilih dengan partai memang sangat rendah, yang paling tinggi adalah PDIP dengan 5,1%, disusul Golkar 3,7%, Demokrat 3,5%, PKS 1,7%, PPP 1,3%, PKB 1,1%, Gerindra 0,9%, PAN 0,6%, partai lainnya 0,7%  (Republika, 22 Juni 2011). Angka-angka tersebut jauh di bawah apa yang pernah dicapai sebelumnya. Nampak jelas, bahwa kekuatan partai lebih banyak ditentukan oleh kekuatan figur yang ditampilkan oleh masing-masing partai tersebut.

Mengejar tujuan jangka pendek. Sekarang ini semakin jelas bedanya antara partai politik era awal kemerdekaan yang umumnya berlandaskan ideologi tertentu, dengan partai era setelah reformasi sekarang yang tidak lebih dari sebuah merek dagang yang disukai sesaat karena figur pimpinan partai yang dipromosikan dengan gencar, seperti model iklan yang hanya memerankan figur impian dengan baik. Karena itu, banyak pemilih yang kecewa dengan figur tersebut yang kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan semula, sehingga mereka mencari idola baru pada partai lain yang diharapkan lebih baik.

Yang tampak sekarang adalah kecenderungan mencari kedudukan dan memperoleh kesempatan, dan bukan oleh dorongan idealisme perjuangan. Praktik politik uang yang sudah membudaya sekarang ini merupakan bukti nyata dari kehidupan berpolitik yang tidak lagi didasarkan atas idealisme. Integritas tidak lagi menjadi ukuran dan acuan. Padahal, politik adalah medan pengabdian dan karena itu, seorang politikus adalah orang yang memilih sebuah karier yang mulia. Sebuah panggilan hidup dan bukan sebuah mata pencarian yang mengutungkan. Seorang politikus adalah figur publik yang mewakafkan diri, waktu, dan segala yang ia punyai untuk membela serta memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, ia memperoleh mandat dari masyarakat. Karena itu, sebenarnya yang diandalkan oleh seorang politikus adalah kepercayaan masyarakat yang harus ia junjung tinggi, dan pantang mengkhianatinya.

Dalam perubahan mental politisi tersebut sekarang ini, tidak heran bila kader partai tanpa merasa bersalah meninggalkan partainya yang mulai suram, mereka beralih ke partai lain yang menjanjikan keuntungan lebih. Ideologinya adalah mencari keuntungan sesaat, apakah itu jabatan, materi atau popularitas. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu siklus yang saling terkait. Mereka yang populer berpeluang besar mengumpulkan dana banyak untuk mendapatkan jabatan yang menjanjikan kehidupan mewah sebagai ukuran sukses. Karena itu, banyak para pengusaha yang ikut aktif di partai dengan tujuan menggunakan partai tersebut sebagai mesin pencari proyek.

Loyalitas partai. Menurut Paul A Djupe dalam bukunya “Religious Brand Loyalty and Political Loyalty” yang diulas pada Journal for the Scientific Study of Religion, Volume 39, Issue 1, pages 78–89, March 2000, pengertian loyalitas adalah, “a continued psychologycal identification and social attachment arising from involvement with a social or political institution, whether a class, movement, car brand, sports, team, beer, political party, religion” (hal 2). Jadi, loyalitas partai adalah kelanjutan identifikasi psikologis dan meningkatnya kedekatan sosial yang muncul dari keterlibatan dengan sebuah partai politik. Dan, ada tiga elemen pembangun perilaku loyal tersebut.

Pertama, elemen ikatan psikologis (psychological ties) yang merupakan sikap dan perilaku loyal pada objek loyalitas yang diterapkan sepanjang kehidupan manusia. Ikatan psikologis tersebut ditunjukkan dengan adanya komitmen individu terhadap objek loyalitas. Bagi orang yang loyal, tidak terfikirkan, dan bukanlah sebuah pilihan, untuk memilih institusi politik lain, walaupun ia mendapatkan keuntungan yang nyata.

Kedua, hubungan ikatan sosial (social ties) yang berfokus pada afiliasi individu dengan objek loyalitas tersebut akan memperkuat jaringan sosial yang membentuk afiliasi yang lebih kuat dan sulit untuk diubah-ubah. Dengan adanya ikatan sosial itu, individu terlibat dalam jaringan sosial untuk mendukung, atau dipaksa mendukung, dan membantu pemeliharaan afiliasi (maintenance of affiliation).

Ketiga, elemen keadaan sosial (social circumstances) yang dapat diketahui dari  peningkatan dan penurunan kondisi loyalitas partai, karena dipengaruhi oleh fenomena atau kejadian-kejadian sosial yang berkembang. Dalam konteks loyalitas partai tersebut, misalnya, terungkapnya skandal partai politik dapat menurunkan loyalitas terhadap partai politik dari partisan yang kurang loyal. Mobilitas geografis dapat menyebabkan hilangnya loyalitas karena individu bisa terlepas dari jaringan ikatan sosial partai politik. Selain itu, media massa juga dapat menunjukkan kondisi loyalitas partai, misalnya dengan adanya pemberitaan televisi yang gencar tentang skandal suatu partai politik akan menciptakan peluang bagi individu untuk membentuk pilihan-pilihan politik lain. Djupe juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, dapat menunjukkan loyalitas yang cenderung bertahan lama.

Inilah yang terjadi sekarang pada umumnya di sekitar partai besar di Indonesia, hilangnya loyalitas karena partai tidak lagi berbasis pada ideologis yang dapat mengikat anggotanya. Memang ada ideologi yang ditampilkan, tetapi tidak beda dengan partai lain. Partai sudah menjadi ‘merek dagang’ yang boleh diganti-ganti. Tidak heran bila popularitas partai semakin menurun, dan kalau perlu ganti nama. Para kadernya pun berpindahan seenak hati mereka tanpa merasa malu, hanya dengan alasan perbedaan pendapat. Padahal, dalam demokrasi perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar.

Karena partai yang membutuhkan para tokoh, maka banyaknya berita skandal yang dilakukan para tokoh-tokoh partai tersebut tidak lagi dianggap sebagai hal yang salah, sebab bila ditegur berkemungkinan mereka pindah dengan membawa sekian persen suara. Padahal, masyarakat tidak bodoh, dan diam-diam mereka mengalihkan pilihan kepada partai lain yang memberikan janji yang lebih memikat, walaupun kemudian kecewa lagi setelah tidak mendapatkan kenyataan dari janji tersebut.

Sebagian besar anggota DPR berjarak dengan rakyat “Kita hanya melahirkan wakil rakyat yang mengandalkan logistik dan popularitas, tak diimbangi kaderisasi parpol”, kata Muhammad Arwani Thomafi, wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang (Pansus RUU) Pemilu dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), dalam diskusi bertemakan “Menciptakan UU Pemilu Menuju Pelembagaan Demokrasi Elektroral yang Proporsional dan Berkeadilan” di Jakarta  (9/10). (Kompas, 10 Oktober 2011).

Belajar dari kasus Wall StreetGerakan pendudukan Wall Street di Amerika Serikat yang dimulai bulan September yang lalu oleh segelintir pemuda dengan mendirikan tenda di depan kantor Bursa Efek New York untuk menyuarakan kekesalan mereka atas tingginya tingkat pengangguran dan ketidaksetaraan pendapatan, telah meluas menjadi gerakan berskala nasional. Banyak demonstran di New York dan kota-kota lain mengaku muak dengan pemerintahan di Washington yang lebih melindungi perusahaan dengan mengorbankan kelas menengah. Krisis ekonomi kembali mengancam Amerika Serikat dengan indikasi naik dan sulitnya mendapatkan pekerjaan.

Aktivis menyatakan frustrasi yang mendalam dengan kebuntuan politik Amerika Serikat sekarang yang didominasi partai Demokrat. Sebagian lain menyalahkan partai Republik yang memblokade reformasi yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama (Kompas, 8 Oktober 2011). Para politisi di Amerika Serikat lebih memperhatikan kepentingan para sponsornya (pengusaha) daripada memperhatikan nasib rakyat yang didera krisis ekonomi. Akibat kelesuan ekonomi yang menyebabkan tingkat pengangguran mencapai angka 9,1% tersebut, jajak pendapat terbaru menunjukkan popularitas Obama menjelang pemilihan umum tahun depan turun menjadi 42%. (Media Indonesia, 12 Oktober 2011).

Perseteruan antara partai yang berkuasa dengan partai oposisi tersebut, telah lama terjadi Indonesia sejak awal era reformasi yang tidak menginginkan partai yang sedang berkuasa bisa sukses menjalankan programnya. Selalu ada gangguan, usaha mencari-cari kesalahan dan blokade pelaksaan program yang mencerminkan kita bukanlah sebagai satu bangsa yang utuh. Walaupun sudah dibuat koalisi partai yang berkuasa masih terjadi perbedaan pendapat yang sering mengacaukan program partai yang berkuasa. Loyalitas bangsa telah dikalahkan oleh loyalitas kelompok yang terhimpun dalam sebuah partai tertentu.

Menyimak kasus ketidakstabilan pemerintahan pada tahun 1950-an yang lalu karena ketidakkompakan partai-partai besar, terutama antara dua partai besar ketika itu, PNI dan Masjumi, pemerintahan silih berganti dipimpin oleh Masjumi dan PNI, dan tak ada yang berumur panjang sehingga mempunyai waktu yang cukup untuk menjalankan program pembangunan. Berulang kali Bung Hatta mengkritik kalangan politisi yang dinilainya telah mulai mengalami kritis watak. Kepentingan negara yang memerlukan kestabilan untuk melaksanakan pembangunan dikalahkan oleh kepentingan partai yang mengejar kekuasaan.

Jangan lupa, masyarakat sekarang lebih kritis. Partai sekarang sangat tergantung pada popularitas tokoh dan dana yang bisa dihimpun untuk membina citra positif dari tokoh yang diunggulkan tersebut, sering pengurus partai lupa akan tujuan jangka panjang perjuangan partai. Banyak tokoh-tokoh idealis dipinggirkan, karena dianggap sudah “kuno” dengan pola permainan baru yang serba instan dengan kekuatan uang. Tidak heran bila partai politik menjadi mesin korupsi paling agresif. Partai politik juga menjadi broker proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di kementerian dan lembaga negara. Rendahnya akuntabilitas keuangan partai politik menjadi gejala awal institusi itu menjadi mesin korupsi yang ganas (Kompas, 11 Oktober 2011).

Selain itu, dengan pemilihan wakil rakyat sebagai anggota DPR melalui kampanye berbiaya besar, tidak heran bila yang terpilih adalah orang-orang yang sudah populer (selebritis) dan berkantong tebal, walaupun tidak punya minat dan pengalaman politik yang memadai. Dapat dipahami pula bila politisi karbitan, para anggota DPR yang tidak mengabdikan diri kepada kepentingan negara, malas ikut sidang, dan tidak merasa penting untuk menyuarakan aspirasi pemilihnya. Bahkan, mereka pun tidak dekat dengan pemilihnya (Kompas, 10 Oktober 2011).

Solusinya, buat daftar hitam para politisi bermasalah. Mungkin saja kita kita belum dewasa dalam berpolitik dengan pola demokrasi, yang cenderung ditafsirkan serba boleh menurut penfasiran masing-masing. Ada rambu-rambu, tetapi tidak berlaku bagi yang berkuasa, sehingga para politisi justru berlomba mengejar kekuasaan, walaupun kalau perlu bergabung dengan kelompok lain yang secara ideologis tidak searah tujuan politiknya. Karena itu, dengan bergesernya tujuan partai mengejar kekuasaan, jelas semua partai apapun akan sejalan dan bisa bergabung sebagai koalisi, walaupun tidak akan pernah menjadi padu. Koalisi tersebut hanyalah sebagai teman seperjalanan yang sebenarnya berbeda tujuan dan kepentingan, yang dapat saja saling menyalahkan bila ada masalah.

Menurut J. Kristiadi dalam tulisannya “Menuju Negara Partitokrasi?”, praktik politik sekarang ini mengatas-namakan demokrasi, tetapi praktiknya parpol menjadi pemain utama, dengan melakukan invasi, intrusi, serta penetrasi di berbagai lembaga negara dan publik. “Jalan paling mujarab mencegahnya adalah melakukan reformasi parpol. Ia harus kembali ke khitahnya sebagai pilar tatanan kekuasaan yang beradab” (Kompas, 11 Oktober 2011).

Namun, agenda tersebut tak dapat dilakukan parpol itu sendiri, kalau tokoh-tokoh parpolnya masih bersemangat mengabdi kepada kepentingan mereka sendiri. Kalau begitu, solusi lain adalah koreksi dari masyarakat sebagai penentu eksistensi dari intrumen politik tersebut. Dulu pernah sebuah partai dibubarkan oleh pemerintah, apakah hal ini akan terulang kembali? Memang, partai yang kehilangan nama baik akan ditinggalkan pemilihnya, tetapi tokoh-tokohnya yang penyebab masalah dengan semangat bajing loncat bisa saja meninggalkan partai yang sudah bermasalah tersebut dan berkiprah lagi di partai baru sebagai orang yang merasa tidak bersalah.

Karena itu, sekarang saatnya masyarakat membuat daftar hitam para politisi bermasalah agar mereka tidak dipilih lagi. Atau, tindakan yang paling keras adalah tidak ikut dalam prosesi pemilihan sehingga tidak ada lagi orang yang bisa mengaku sebagai wakil rakyat, yang artinya pembubaran partai secara tidak langsung.

*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Angkatan 66: Peluang Emas Yang Sia-sia?

Oleh Parakitri T. Simbolon*

APA yang pernah disebut Angkatan 66 praktis sudah dilupakan orang. Nama itu sekarang tinggal terselip di lembaran-lembaran buku tipis yang pada umumnya ditulis kurang menarik, atau paling banter di benak mereka yang pernah jadi bagiannya. Namun sesungguhnya Angkatan 66 pernah membahana di persada Tanah Air Indonesia, meski tidak lama, mungkin barang dua tahun, baik karena sepak-terjangnya maupun karena harapan meluap yang sempat dipicunya di dalam sanubari masyarakat. Semboyan Tiga Tuntutan Rakyat, terkenal dengan Tritura, merupakan pekik perjuangan Angkatan 66 itu.

Saya sendiri teringat dengan Angkatan 66 utamanya karena saya memerlukannya sebagai contoh yang ke sekian setiap kali saya terdesak untuk menegaskan bahwa salah satu sifat pokok kita sebagai bangsa, yang sangat berbeda dengan sifat kita sebagai orang per orang, adalah kecenderungan menyia-nyiakan peluang. Saya sering merasa, sifat ini tampak tidak hanya sekali-sekali tapi nyaris terus-menerus. Sebagian di antara yang terbaru sebut saja saat berakhirnya kepresidenan Suharto, atau masa Timor Timur menuntut merdeka, atau masa pemerintahan Megawati dan Abdurrahman Wahid, atau masa melejitnya harga BBM hingga hari ini.

***

Betapa membahananya gema Angkatan 66 dan meluapnya harapan yang dibangkitkannya di dalam masyarakat, sedikitnya pada tahun kelahirannya, baiklah kita resapkan kesaksian beberapa tokoh yang sengaja saya pilih untuk mewakili sentimen semua golongan dalam masyarakat kita: ulama besar HAMKA, pejuang kemerdekaan Bung Tomo, pemimpin media massa P.K. Ojong, dan tokoh utama kelahiran Angkatan 66 itu sendiri, Jenderal A.H. Nasution.

“Sekarang keadaan sudah berobah, Angkatan 66 jang menuntut keadilan dan menentang kezaliman telah bangkit, angin baru telah bertiup.” Begitulah HAMKA menulis dalam “Pendjelasan” yang berkaitan dengan diterbitkannya kembali brosur yang masyhur karya Bung Hatta, Demokrasi Kita, oleh P.T. Pustaka Antara, Djakarta, 1 Juni 1966. Ia menambahkan, “[…] Moga2 dengan terbitnja buku ini, dizaman angin baru bagi negara kita telah bertiup dan semangat Angkatan ’66 telah bangkit, keadaan jang muram, suram dan seram jang telah lalu itu tidak berulang lagi.”

Pejuang kemerdekaan Bung Tomo, seperti diberitakan dalam hampir semua suratkabar pada awal minggu kedua April 1966, dengan rendah hati mengakui bahwa Angkatan 66 lebih hebat daripada Angkatan 45. Berbeda dengan Angkatan 45 yang berjuang dengan bedil, Angkatan 66 berjuang tidak dengan senapan, tapi dengan “keberanian, kecerdasan, kesadaran politik, motif yang murni.” Dengan semua itu Angkatan 66 “memberi arah baru pada sejarah nasional Indonesia.”

Harapan yang meluap ini boleh dikata mencapai puncaknya dalam ungkapan sanubari seorang pencinta rakyat Indonesia yang jarang ada duanya, Petrus Kanisius Ojong , penerbit suratkabar yang kemudian jadi salah satu koran terbesar di negeri ini. Karena pekerjaannya memimpin media massa selama bertahun-tahun, P.K. Ojong tentu sangat akrab dengan serba masalah Indonesia, bahkan dunia, dan karena itu paham betul betapa parahnya keadaan bangsa dan negaranya. Ditambah lagi dengan kecintaannya yang mendalam pada bangsa dan negaranya, P.K. Ojong menuliskan dengan penuh disiplin luapan harapannya itu dalam suatu rubrik tetap bernama “Kompasiana” di suratkabar yang dipimpinnya, Kompas.

Boleh kutip yang mana saja dari “Kompasiana” yang ditulis sampai akhir 1968, luapan harapan itu tidak surut-surut. Ambil misalnya yang disiarkan pada 9 April 1966: “[…] sejarah nasional Indonesia mengalami suatu turning point, suatu penyimpangan dari pola yang lama. Kapankah turning point dalam sejarah kita itu terjadi? Dan siapakah pelakunya yang utama? Menurut kami, jawaban atas kedua pertanyaan itu tersimpul dalam istilah yang baru-baru ini untuk pertama kali dikemukakan oleh Jenderal Nasution: Angkatan 66. Turning point dalam sejarah kita, saat sadarnya rakyat kita akan hak demokrasinya, saat menjadi dewasanya bangsa kita –semua ini terjadi dalam tahun 1966. Tegasnya dalam bulan-bulan Januari, Februari dan Maret.”

Memang Angkatan 66 adalah nama yang diusulkan oleh Jenderal A.H. Nasution kepada presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk dipakai seterusnya oleh organisasi itu tidak lama setelah KOGAM (Komando Ganyang Malaysia) resmi membubarkan KAMI, Sabtu 26 Februari 1966, hanya empat bulan sesudah terbentuk, Selasa 26 Oktober 1965. Nama itu sengaja diusulkannya untuk “menandaskan suatu kebangkitan nasional yang baru.”

***

Ternyata harapan yang meluap itu hanya bertahan sebentar, tidak lebih daripada dua tahun (1966-67). Dua tahun berikutnya (1968-69) suasana lambat-laun makin dingin, sebagaimana jelas terpantul dari “Kompasiana”, rubrik tetap yang setia mencatat keadaan penuh harapan itu hanya sampai akhir 1968. Dari 1969 hingga 1971, dengan puncaknya pemilihan umum, harapan itu sirna sudah. Apa yang dikenal sebagai Orde Baru  yang runtuh hampir 30 tahun kemudian sudah jadi dadih yang kental.

Cerita berikut ini, dari “Kompasiana” yang diturunkan pada Selasa, 11 Juni 1968, menggambarkan dengan baik perubahan yang menyedihkan itu.

Di Jawa Tengah kata “piket” mempunyai arti yang luar biasa, yakni penduduk sipil wajib menyerahkan mobil miliknya untuk dipakai oleh aparat Kodim (Komando Distrik Militer). Terdapat tiga keluhan pokok terhadap wajib “piket” itu. Pertama, mobil milik sipil itu ternyata tidak digunakan untuk urusan dinas tentara, tapi urusan pribadi aparatnya, seperti ke pesta kawin atau kunjungan keluarga. Kedua, pemilik mobil yang menyetir mobilnya guna keperluan aparat tentara itu sering diminta mampir di restoran, tapi yang bayar rekening adalah pemilik mobil. Tidak jarang pemilik mobil merangkap supir itu harus membeli oleh-oleh lagi buat keluarga si aparat di rumahnya. Ketiga, bisa juga mobil yang dikemudikan oleh pemiliknya dipakai bukan untuk urusan dinas, tidak juga untuk urusan keluarga, tapi untuk mengunjungi pelacur. Akibatnya, orang kota kecil yang saling mengenal mengira si pemilik mobil yang jajan ke bordil.

Di kalangan mereka yang merupakan pelaku dalam Angkatan 66 itu, kemerosotan harapan itu tidak kalah hebatnya. Semakin aktif seorang mahasiswa bekas pelaku Angkatan 66 dalam politik sejak 1969, semakin besar kemungkinan ia “mahasiswa abadi yang tidak memiliki prestasi akademik, tidak bernalar dalam argumentasi, suka pamer jasa dan kekuasaan, bahkan … sering memeras pengusaha-pengusaha Cina…” Begitulah Hatta Albanik, bekas aktivis gerakan mahasiswa intra di Bandung (1970-1974), menuliskan kenangannya dalam Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Juni 2004). Tidak kurang juga mahasiswa yang berkuasa di kampus menyelewengkan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, seperti dalam pemutaran film, pengelolaan pers mahasiswa, kongres-kongres mahasiswa.

***

Bagaimana menjelaskan harapan yang meluap itu cepat sekali menguap sirna? Bagaimana hal seperti itu sering terjadi di Indonesia, negeri yang begitu kaya, dengan orang-orangnya yang cukup pintar, beragama lagi? Mengapa begitu banyak peluang emas berlalu dengan sia-sia sepanjang sejarahnya?

Seorang di antara dua Proklamator Indonesia Merdeka, Bung Hatta, pernah mengajukan jawaban dengan mengutip seorang pujangga Jerman, Friedrich von Schiller (1759-1805). Tentang mengapa peristiwa-peristiwa besar sering tidak menimbulkan perubahan penting, konon pujangga itu bilang: “Eine grosse Epoche hat das Jahrhundert geboren. Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht.” Sang Abad melahirkan Masa Penting, tapi Masa Penting itu ketemu Generasi Kerdil.

Alangkah menggetarkan makna intuisi sang pujangga ini, tapi sayang, itu pun tidak cukup menjawab persoalan kita. Abad, Masa, Generasi, semua itu merupakan urusan suatu bangsa, negara, tradisi, bahkan sejarah masyarakat, bukan utamanya urusan sekelompok kecil orang, apalagi orang per orang, seperti mereka yang aktif dalam Angkatan 66. Tidak kurang daripada politik dalam arti sesungguhnya terlibat di dalamnya, yaitu pengelolaan kekuasaan sedemikian rupa sehingga kekuasaan itu mampu menghadapi tiga masalah utama: pertama, bagaimana menyediakan mata pencaharian bagi rakyat; kedua, bagaimana menyerasikan tuntutan-tuntutan yang berbeda, bahkan bertentangan dalam masyarakat; ketiga bagaimana menimbulkan suatu tata pergaulan yang lebih kokoh dan hubungan yang lebih saling melengkapi antara unsur-unsur dalam masyarakat. Harap dicamkan, urutan masalah tersebut di atas penting sekali, karena akibanya akan lain kalau urutannya diubah.

Kita tahu, jangankan urutan masalah itu, masing-masing masalah itu pun boleh dikata terbengkalai tidak terjamah dalam sebagian besar perjalanan sejarah bangsa dan negara kita. Keadaan ini tentu hanya bisa dijelaskan kalau kita melihat ramuannya bukan hanya dalam sekelompok orang , tapi seluruh masyarakat Indonesia. Terus terang, kajian semacam ini belum pernah dilakukan tentang mengapa peluang yang diciptakan dengan timbulnya Angkatan 66 bisa terlewatkan dengan percuma.

Paling sedikit ada tiga fakta kehidupan masyarakat kita sebagai keseluruhan yang harus diperiksa jika kita hendak menjawab peluang yang sia-sia itu. Pertama, seberapa jauh politik dalam pengertian di atas yang gagal selama kepresidenan Sukarno berubah ketika Jenderal Suharto mulai berkuasa. Kalau perubahan itu tidak penting, misalnya cuma pergeseran kedudukan dari manajer-manajer asing ke tentara, dan dari anggota PKI-PNI ke anggota partai-partai baru, maka harapan yang meluap berkat Angkatan 66 pantas sirna dengan cepat. Kedua, faktor-faktor sosial apa yang berperanan dalam timbulnya Angkatan 66. Ambil misalnya faktor usia dan pendidikan. Angkatan 66 pastilah produk ekspansi pendidikan tinggi yang terjadi di Indonesia pada 1960. Artinya mereka merupakan kelompok yang terlanjur mengharapkan banyak dari jenjang pendidikan mereka (rising expectations). Kemungkinan besar hampir semua mereka terjebak ke dalam tujuan-tujuan yang sifatnya lebih pribadi daripada politis ketika berjuang merubuhkan Orde Lama, dan ketika bergabung dengan Orde Baru. Ketiga, kelompok-kelompok mana yang mendapatkan keuntungan dan mana yang tetap tersisihkan ketika Suharto berkuasa.

Semoga kajian seperti ini bisa secepatnya kita dapatkan.

*Parakitri T. Simbolon. Lulusan  Universitas Gadjah Mada dan mencapai gelar doktor di Universitas Sorbonne Perancis. Pernah menjadi redaktur Harian Kompas dan memimpin penerbit buku KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Tulisan ini merupakan referensi tema bagi buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Kisah Legiun Penggempur Naga Terbang, Doa di Bawah Rumpun Bunga Matahari (2)

Dr Midian Sirait*

Tak ada lagi Jenderal. Barulah pada akhir Nopember hingga awal Desember, Mohammad Hatta datang bersama Letnan Kolonel Alex Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adjie, untuk mencoba mengatasi pertikaian. Seluruh komandan pasukan dipanggil oleh Bung Hatta, dan untunglah Wakil Presiden ini masih punya wibawa. Seluruh komandan mematuhi panggilan dan bersedia menerima pengaturan-pengaturan dari Bung Hatta. Pola pengaturan seperti di Pulau Jawa dengan pembagian wilayah menjadi beberapa Wehrkreise dijadikan contoh dengan penamaan sebagai Sektor-sektor. Bagian selatan Tapanuli ditetapkan sebagai Sektor I, terdiri dari Brigade A dan Brigade B, dengan Bejo sebagai komandannya, berkedudukan di Sidempuan. Bagian utara Tapanuli yang bersinggungan dengan wilayah yang diduduki pasukan Belanda, menjadi Sektor II yang terdiri dari eks Divisi Banteng Negara dan eks Brigade XI yang untuk sebagian juga sempat dilucuti oleh Brigade B. Posisi Komandan Sektor II diserahkan kepada Liberty Malau dan berkedudukan di Tarutung. Pada Sektor II bergabung Kapten AE Manihuruk, Kepala Staf Batalion III, karena luka-luka yang dideritanya untuk beberapa lama ia diperlakukan ‘istimewa’ seperti Jenderal Sudirman, kemana-mana ditandu. Sementara itu Sektor III meliputi wilayah bagian utara Karo dan Dairi, komandannya adalah Slamet Ginting bekas komandan Laskar Halilintar, berpusat di Sidikalang. Seluruh komandan sektor ini diberi pangkat mayor. Sektor IV  mencakup daerah pantai sisi barat Sumatera Utara di Tapanuli Tengah, dengan Sibolga sebagai pusat. Untuk sementara komandannya adalah Ricardo Siahaan yang dulu adalah Panglima di Medan Area, sebelum Maraden Panggabean tiba dari Bukittinggi. Adapun Maraden Panggabean, dilepaskan dari tahanan di Bukittinggi ketika Belanda menduduki kota itu. Maraden Panggabean dengan berjalan kaki akhirnya tiba di Sibolga dan menjadi komandan Sektor IV itu. Masih ada satu sektor lagi yang disebut Sektor S, meliputi pantai barat dari Barus sampai ke Natal, yang komandonya diserahkan kepada Angkatan Laut, dipimpin oleh Simanjuntak. Secara keseluruhan gabungan sektor-sektor ini disebut Sub Tertorial VII di bawah komando Letnan Kolonel Kawilarang, karena situasi saat itu tak memungkinkan diangkatnya Komandan yang dipilih dari antara perwira-perwira setempat yang telah terlibat konflik bersenjata. Sementara itu ‘Jenderal’ Timur Pane, yang memudar namanya pasca pertempuran Medan Area, tak ada lagi kabar beritanya. Tak ikut jadi Komandan Sektor hasil ‘reformasi’ Tapanuli.

Natal ala tentara Belanda. Keberhasilan Bung Hatta mendamaikan pertikaian di Tapanuli, membuat semua pihak bisa bernafas lega. Tapi tak lama-lama, karena hanya dua minggu setelah pengangkatan Kawilarang sebagai Komandan Sub Tertorial VII, Belanda menyerbu ke wilayah republik, menuju ke arah Balige dan Tarutung, pada tanggal 23 Desember 1948, hanya sehari menjelang malam Natal. Belanda rupanya tidak mempertimbangkan lagi untuk jangan bertempur di hari-hari menjelang Natal. Barangkali juga sengaja dengan alasan taktis atau memang karena ‘ingin’ berhari Natal di wilayah Tapanuli yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen. Sebelum penyerbuan, Belanda sudah menguasai wilayah sejak garis pantai Selat Malaka, Tebing Tinggi hingga Prapat di pantai timur Danau Toba. Tatkala Belanda memasuki Tapanuli, Komando Sektor II sebaliknya juga membentuk satu batalion khusus masuk bergerilya ke daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda. Satuan yang masuk bergerilya di Simalungun dipimpin oleh Bunga Simanungkalit yang menjelajah melakukan serangan-serangan sporadis sampai ke Sumatera Timur. Selain itu, untuk keperluan logistik, ada penyelundupan-penyelundupan dengan perahu melalui Danau Toba, tanpa perlu melintasi garis demarkasi Belanda di wilayah daratan, khususnya demarkasi Prapat yang memang sulit dilewati, menuju Sumatera Timur. Waktu itu pantai-pantai Danau Toba dekat di wilayah Simalungun diduduki Belanda, sedang pantai selatan danau masih dikuasai pasukan Republik.

Pagi hari 23 Desember, saya membawa pasukan kecil tentara pelajar, sepulang dari Pulau Samosir, memasuki kota Tarutung. Kami yang terdiri dari 10 orang, baru selesai menjalankan tugas untuk memberi penerangan kepada rakyat di pulau itu, bagaimana caranya membantu pasukan pejuang yang akan datang ke pulau itu dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang per kelompok, bila ada serangan Belanda. Dari radio memang kita sudah mendengar tentang penyerbuan Yogya pada 19 Desember 1948, sehingga sudah bisa memperkirakan bahwa Tapanuli juga akan diserbu lagi. Tanggal 22 kami kembali dari Samosir dengan kapal kecil ke Balige, lalu melanjutkan perjalananan ke Tarutung untuk melapor kepada Komandan Sektor II. Sekaligus untuk memenuhi instruksi bahwa seluruh tentara pelajar menjelang serbuan Belanda agar kembali ke kampung halaman masing-masing dan bergabung dengan satuan-satuan setempat. Kami tidak bisa melapor kepada Komandan Sektor II Mayor Liberty Malau. Sang komandan sudah meninggalkan kota untuk menyiapkan tempat pengungsian. Para pimpinan militer kita pada waktu itu memang menggariskan untuk tidak melakukan perlawanan frontal terhadap Belanda. Keputusan itu sangat beralasan, karena akibat benturan fisik habis-habisan antar pasukan sebulan sebelumnya, persediaan peluru hampir terkuras habis, dan setiap pasukan amat banyak kehilangan anggota gugur dalam pertempuran sesama pejuang. Semua pasukan telah compang-camping dan baik di atas kertas maupun di lapangan takkan mungkin mampu bertempur lagi, kali ini melawan Belanda.

Puluhan tahun kemudian, jauh setelah usainya perang, Pangeran Bernhard, suami Ratu Belanda datang ke Danau Toba. Ia terpesona akan keindahan danau ini, tetapi juga sekaligus cemas akan kelestariannya. Pada kedatangannya yang ketiga kali ke Danau Toba, ia mengatakan, “Kelestariannya harus dijaga”, dan merelakan namanya –ia adalah Presiden pertama World Wild Fund– ‘dijual’ demi pelestarian danau itu. “Sebetulnya saya paling tidak suka nama saya dibawa-bawa untuk urusan apapun, tapi untuk keindahan Danau Toba, silahkan  jual nama saya ke manca negara”, ujarnya.

Doa di bawah rumpun bunga matahari. Serangan Belanda ke Tapanuli memang terjadi pada tanggal 23 Desember. Kota Tarutung yang sebagian adalah perbukitan dan sebagian lain adalah lembah, dibom dan dihujani peluru mitraliur dari udara oleh pesawat-pesawat Belanda, pada pukul satu siang, bertepatan saat saya dan kawan-kawan akan memasuki kota itu. Sewaktu akan melintasi sebuah jembatan yang membentang di atas sungai di bagian lembah, di pintu masuk kota Tarutung, sekitar pukul tiga sore, pesawat Belanda datang lagi menghujani dengan tembakan. Dengan cepat kami semua turun ke tebing sungai di bawah jembatan. Tapi tak lama kemudian, muncul pasukan Belanda yang mengendarai puluhan jeep yang masing-masingnya terdiri dari 5 orang, menuju ke arah jembatan. Melihat itu, tanpa pikir panjang kami semua melompat ke sungai Sigeaon yang sedang banjir dan berenang sampai belasan meter jauhnya. Lalu saya dan seorang teman, Victor Napitupulu, yang berenang berdekatan melihat di salah satu sisi sungai ada rimbunan pohon bunga matahari yang merunduk condong ke air karena menyongsong arah terbit matahari. Dengan cepat kami berdua menepi dan bersembunyi di sana di bawah rimbunan pohon bunga matahari itu. Saya menggigil kedinginan. Saya mengajak Victor untuk berdoa bersama, “Bapa kami di Surga, berilah kami keselematan. Izinkanlah kami hidup lebih lama, supaya dapat berbuat kebaikan kepada orang tua, saudara dan orang-orang lain dan bangsa kami, dengan penuh kasih”. Jalan keselamatan seakan membuka perlahan bagi kami berdua. Perhatian tentara Belanda teralih ke arah jembatan lain yang berlawanan arah dengan tempat kami. Tentara Belanda menembaki truk-truk pasukan republik yang sedang melintas di jembatan kedua itu. Perhatian mereka tersita seluruhnya ke sana. Kami aman karenanya di bawah rimbunan bunga matahari yang sedang mekar itu, berendam selama 4 jam dalam air sebatas leher hingga pukul 7 malam. Lalu kami mendengar suara ibu-ibu yang datang berombongan kurang lebih 20-an orang dari arah gereja HKI. Dengan cepat saya dan Victor Napitupulu, merangkak naik dari sungai, memungut buntalan pakaian kami dan segera menggabung di tengah ibu-ibu itu. Rombongan kaum ibu itu, rupanya menuju ke arah jembatan untuk melintasi sungai, apa boleh buat kami terpaksa terus ikut karena tak ada lagi pilihan lain. Pasukan Belanda, yang seluruhnya terdiri dari orang Belanda asli dan tidak tercampur dengan tentara ‘sawo matang’ seperti biasanya, lebih tertuju perhatiannya ke arah jembatan kedua di bagian lain sungai, dan seorang perwiranya malah memberi isyarat sambil berkata “Kom…. kom…”, menyuruh ibu-ibu itu segera melintas jembatan dengan cepat. Demikianlah, kami berdua pun ikut lolos. Perilaku tentara-tentara Belanda saat itu kepada kaum ibu merupakan hal yang menarik, setidaknya untuk saat itu. Mereka tidak menunjukkan sikap ganas, tidak membabi buta, dan tidak merasa perlu bersikap keras dan kejam kepada kaum sipil. Sungguh ironis bahwa seperti yang terlihat pada masa pertempuran di Medan Area, tentara-tentara Belanda keturunan Indonesia berkulit sawo matang, berperilaku lebih bengis dan berangasan. Asal melihat ada pemuda, entah sipil entah gerilya, langsung diberondong tembakan. Terhadap para tangkapan, mereka juga main tendang dan popor. Mungkin begitulah mental orang bayaran.

Washington itu bermarga Sitorus. Kira-kira pukul 8 malam saya masuk ke sebuah desa di sisi lain Tarutung. Di desa itu ada sebuah seminari milik HKBP (Huriah Kristen Batak Protestan). Salah seorang pendeta yang mengajar di seminari itu, bermarga Sirait juga, tapi tak saya kenal. Ketika saya memberitahu nama ayah saya, dengan segera ia ingat bahwa mereka dulu teman sekelas semasa Sekolah Dasar. Di situlah saya dan Victor menginap. Ikut berhari Natal. Barulah pada tanggal 27 Desember saya berjalan kaki 90 kilometer jauhnya hingga ke tempat kelahiran saya. Ternyata ayah dan keluarga telah mengungsi lebih jauh beberapa kilometer, dan hanya mengetahui mengenai saya dari berbagai kabar yang simpang   siur,   sudah    bertempur   entah  di mana. Tetapi, akhirnya baik, kami berkumpul kembali.Setelah segala urusan perjumpaan dengan keluarga usai, baru saya berkesempatan melapor kepada komandan tentara di tempat itu, Kapten Washington Strouwsky yang memimpin Kompi IV dari Batalion II yang tergabung dalam Sektor II. Nama sang kapten sebenarnya sempat menimbulkan tanda tanya bagi para tentara Belanda. Kedengarannya seperti nama orang Rusia, jangan-jangan memang Rusia menempatkan perwira di daerah itu. Tapi nama  depannya itu, kenapa  Washington, yang mengingatkan orang kepada nama Jenderal pemimpin perjuangan kemerdekaan yang diabadikan namanya untuk ibukota Amerika Serikat ? Duduk perkaranya, adalah sebagai berikut ini: Nama marga asli Strouwsky sebenarnya adalah Sitorus. Karena ia komandan Kompi yang biasa diringkas Ki, maka dia disebut Sitorus Ki, artinya Sitorus yang komandan kompi. Inilah yang kemudian menjelma menjadi Strouwsky. Lalu bagaimana ceritanya dengan nama depan Washington –yang ditulis meleset sebagai Washinton– wah, itu tidak jelas bagi saya. Mungkin asli pemberian orang tua. Sesudah perang berakhir, Strouwsky melanjutkan karir militernya dan mencapai pangkat terakhir sebagai kolonel. Saya sangat terkesan kepada keberanian dan kepemimpinannya, sehingga puluhan tahun kemudian, untuk mengenangnya saya memprakarsai pembuatan sebuah monumen untuknya di wilayah perjuangannya tempo dulu.

*Dr Midian Sirait. Doktor rerum naturalum sekaligus doktor filsafat lulusan Jerman (Barat). Pernah menjadi Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan DepKes, tetapi lebih dikenal sebagai aktivis gerakan pembaharuan politik Indonesia pada paruh kedua tahun 1960-an. Semasa mudanya, sebagai tentara pelajar, berjuang dalam perang kemerdekaan Indonesia di front pertempuran Medan Area, Sumatera Utara. Jumat 13 Agustus 2010 mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama. Tapi tak hadir di Istana, karena sedang terbaring tak sadarkan diri di RS, di Singapura maupun di Indonesia, sejak beberapa lama karena berbagai penyakit yang dideritanya di usia menjelang 82 tahun.

Partai Politik dan Perombakan Struktur Politik di Indonesia (1)

Partai itu ibarat belukar”, kata Mohammad Natsir. Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang, keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik. Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan lagi. Itulah yang Natsir maksudkan, jangan dibakar, tapi biarkan. Kita bina partai yang masih baik.

SETELAH sebelas tahun berada dalam sistem multi partai pada kehidupan politik yang hiruk pikuk, kini para pelaku politik di Indonesia seakan gerah sendiri. Beberapa waktu belakangan ini muncul gagasan-gagasan untuk menyederhanakan jumlah partai. Dimulai dengan wacana meningkatkan ambang batas electoral threshold, dari 2,5 persen pada pemilu yang lalu menjadi 5 persen di waktu mendatang, disusul beberapa gagasan penyederhanaan jumlah partai. PAN melontarkan gagasan Konfederasi Partai dengan mengajak sejumlah partai yang tak berhasil memperoleh kursi di DPR. Pada sekitar waktu yang sama, Partai Golkar menggagas fusi antar partai. Dan terbaru, wacana Partai Demokrat untuk melakukan asimilasi di antara sejumlah partai. Partai yang memperoleh suara terbanyak kesatu dalam Pemilihan Umum yang baru lalu itu menyampaikan ajakan berasimilasi kepada beberapa partai non kursi DPR, dan tentu saja berada di luar Sekertariat Gabungan Partai Koalisi.

Dari puluhan partai politik yang ikut Pemilihan Umum 2009 yang lalu, hanya 9 partai yang berhasil memperoleh kursi DPR. Tak ada pemenang mutlak yang mampu memiliki mayoritas kerja di DPR, sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan ‘takut’ memerintah tanpa kompromi dengan partai-partai lain di luar Partai Demokrat. Lima partai –Partai Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP– bergabung dengan Partai Demokrat dalam suatu koalisi dengan harapan pemerintahan SBY memperoleh satu mayoritas kerja di DPR. Situasi kompromis dan pemilu DPR tanpa peraih suara mayoritas ini memberi aroma rasa parlementer dalam kekuasaan negara, meski secara formal dinyatakan bahwa yang kita anut adalah sistem kekuasaan presidensil.

Dalam pemilihan-pemilihan umum lainnya pasca Soeharto di tahun 1999 (diikuti 48 peserta) dan 2004 (diikuti 24 peserta), juga selalu hanya sedikit yang berhasil memperoleh kursi di DPR. Dan setiap kali akan dilaksanakan pemilihan umum, selalu bermunculan ratusan partai, namun sebagian terbesar tak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum.

Memang ada ketentuan electoral threshold, yang menggugurkan partai-partai yang tak memenuhi ketentuan minimal perolehan suara, namun setiap pemilu akan diselenggarakan tak ‘kapok-kapoknya’ orang mendirikan partai baru lagi yang untuk sebagian sebenarnya adalah hasil sulapan atau daur ulang dari partai-partai pemilu sebelumnya. Semangat untuk berpisah lalu berdiri sendiri memang menggebu. Tak beda dengan semangat untuk membuat propinsi atau kabupaten baru. Asal ada perbedaan ‘etnis’ dan atau kesukuan ataupun alasan lain untuk membedakan diri, sudah cukup menjadi alasan mendirikan propinsi atau kabupaten baru. Untuk proses itu dipilih nama yang bagus, yakni ‘pemekaran’, bak kembang saja, meskipun tak semua daerah hasil pemekaran itu berhasil semerbak mewangi. Jangankan daerah hasil pemekaran, propinsi atau kabupaten asli saja, banyak yang mengalami kemunduran dan atau kegagalan di berbagai sektor. Tetapi terlepas dari itu, sedikitnya telah terpenuhilah hasrat jangka pendek ‘biar kecil asal jadi raja’ di kalangan penggagas atau pemrakarsa daerah pemekaran.

Fakta empiris menunjukkan bahwa di banyak negara yang demokrasinya berjalan baik, jumlah partai cenderung lebih sederhana, sehingga demokrasi menjadi lebih efektif dan efisien. Di Amerika Serikat hanya ada dua partai besar dan meskipun tak pernah ada larangan adanya partai lain di luar yang dua itu, tetapi rakyat pemilih membuka ‘peluang’ hanya bagi dua partai yang berbeda bukan berdasarkan ideologi politik melainkan berdasarkan keunggulan program.

Dan di Indonesia, belajar dari pengalaman Pemilihan Umum 1955 yang demokratis namun kurang efisien dan efektif, sejumlah kaum pembaharu senantiasa muncul dengan gagasan kepartaian yang sederhana secara kuantitatif namun memiliki tampilan tinggi secara kualitatif. Upaya itu kerap disebut sebagai pembaharuan politik dan bahkan pasca Soekarno disebut sebagai perombakan struktur politik. Gerakan perjuangan perombakan struktur politik –yang tak terlepas dari proses pembaharuan Indonesia pasca Soekarno– telah mempertemukan sejumlah orang yang kepalanya penuh ‘angan-angan’ idealistik di suatu jalur yang sebenarnya kerap melawan arus.

MENURUT catatan Dr Midian Sirait, sepanjang pengenalan terhadap orang-orang yang menjadi pelaku dalam kehidupan politik Indonesia, terdapat beberapa hal yang agaknya terluputkan, yakni mereka –para pelaku politik itu– kurang melihat struktur dan sistem politik yang akan dituju. Di antara para tokoh dalam sejarah politik, Bung Karno banyak dikagumi. Ia selalu menyebutkan, kita harus mengadakan revolusi. Dan revolusi ia sebutkan sebagai suatu inspirasi raksasa dalam sejarah yang merubah situasi. Inspirasi itu sendiri, kata Bung Karno, adalah pertemuan antara sadar dan bawah sadar. “Saya kagum, walau tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, bagaimana proses sadar dan bawah sadar itu bertemu? Bung Karno sendiri tak pernah memberikan penjelasannya, sebagaimana iapun tak pernah menjelaskan struktur dan sistem yang akan dituju melalui pengobaran revolusi”.

Bung Karno semakin terbenam dalam ‘proses’ mengambil kekuasaan untuk dirinya. Pemusatan kekuasaan di Indonesia di satu tangan, seperti yang dilakukan Soekarno di tahun 1959-1965, sudah menghilangkan sistem yang natural. Kehidupan manusia terkesan hampir sepenuhnya tidak mengikuti kodrat dan proses alam, di dalam mana ia harus memiliki harga diri, mempunyai kehidupan sejahtera, memiliki hak berbicara mengutarakan pikiran; Dalam lingkup yang didefinisikan sebagai demokrasi. Dari sudut harkat kemanusiaan ini saja, terlihat betapa telah terjadi perubahan besar karena pemusatan kekuasaan yang dilakukan Soekarno, apalagi ketika PKI yang menganut ideologi totaliter bergabung bersama sebagai ‘pendukung’ Soekarno. Falsafah komunisme bersandar pada dialektika ‘kekuatan lawan kekuatan’, berpegang pada pendekatan material dalam materialisme dengan alur tesis, antitesis dan sintesis.

Sebagai reaksi terhadap Soekarno, banyak pemikiran segar kaum intelektual untuk pembaharuan muncul dengan berbagai cara, termasuk yang didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan yang separuh bawah tanah. Dari situ terlihat betapa kuat keinginan agar pembaharuan politik dilakukan sesegera mungkin. Dengan lebih tegas kemudian disebutkan bahwa pembaharuan itu sebagai upaya perombakan struktur politik. Sejumlah mahasiswa juga turut serta di dalamnya. Bendera yang dikibarkan gerakan itu adalah perombakan struktur politik, dan berlangsung hingga beberapa lama hingga masa-masa awal kekuasaan Soeharto yang naik menggantikan Soekarno di tahun 1967.

Tetapi menurut Dr Midian Sirait lebih lanjut, sesungguhnya pada sisi lain terlihat pula bahwa upaya perombakan struktur politik menghadapi hambatan-hambatan. Hambatan itu antara lain datang dari kalangan partai-partai ideologis, dan di kemudian hari pun kerap harus berhadapan dengan Jenderal Soeharto yang memiliki arus pemikiran yang berbeda –padahal pada mulanya Soeharto sempat diharapkan sebagai tokoh yang akan menerobos kebekuan politik yang ada di masa rezim terdahulu. Tentu harus dicari jalan keluar. Salah satunya adalah penyelenggaraan bersama –oleh KASI, ITB, Seskoad dan Siliwangi– suatu simposium pembaharuan, 10 hingga 12 Pebruari 1968 di Bumi Sangkuriang, Bandung. Peserta diskusi antara lain Mohammad Hatta, Adam Malik, Sultan Hamengku Buwono IX, TB Simatupang, Sjafruddin Prawiranegara, IJ Kasimo, Mr Sumanang dan Mohammad Natsir.

Jangan membakar belukar

Mulanya para tokoh ini bertanya kepada penyelenggaran, “Kenapa kami diundang?”. Penyelenggara menjawab, “Bapak-bapak diundang karena tidak pernah terlibat dalam kekuasaan di masa Soekarno”. Mereka berbicara berdasarkan urutan alfabetis. Dengan demikian Adam Malik selalu berbicara terlebih dulu dan Sjarifuddin Prawiranegara serta TB Simatupang bicara belakangan.

IJ Kasimo mengatakan: “Sudahlah. Partai-partai politik yang ada sekarang ini telah berdosa sepanjang perjalanan sejarah politik kita. Sekarang kekuasaan ada di tangan tentara. Kita moratorium saja selama 25 tahun. Kita beri saja tentara kesempatan memimpin 25 tahun. Setelah 25 tahun kita tata kembali. Kita beri waktu 25 tahun sebagai periode moratorium pertentangan ideologi”.

Adam Malik lain lagi. Ia berkata: “Ya sudahlah, untuk sekali ini dalam revolusi perubahan kekuasaan ini biarlah tentara di depan. Selesai tugas, tentara kembali ke baraknya. Tentara ini kan seperti malaikat, jangan berpolitik. Bukankah politik itu kotor, jadi malaikat tidak usah terlibat lagi”. Mendengar ini, seorang tokoh militer, Jenderal Tjakradipura, langsung marah, ia bilang: “Itu tidak manusiawi. Masa’ kami disebut malaikat? Tentara bukan malaikat, bung. Kami punya tanggungjawab pada bangsa dan negara”.

TB Simatupang yang juga seorang tokoh militer terkemuka di masa lampau, mengatakan: “Prosesnya harus dalam satu tekanan tombol”. Ia mencontohkan pengalaman Turki di bawah Jenderal Kemal Ataturk. Ia ini mengambil alih kekuasaan dan pada waktu yang sama ia menyuruh temannya mendirikan satu partai politik, dan berjalan sejajar dengan militer dalam kekuasaan. Kemudian, tiba waktunya Ataturk memberikan kekuasaan kepada partai politik yang sudah dipersiapkan itu. “Dalam konteks Indonesia, kita harus mempersiapkan lebih dulu partai politik yang bisa bekerjasama”.

Bung Hatta samasekali tidak menyebut partai politik. Seperti dulu-dulu, ia menganjurkan menyerahkan kekuasaan hukum ke tangan polisi, perkuat kesatuan Brigade Mobil (Brimob), perkuat koperasi. Sjafruddin Prawiranegara lebih radikal. “Bubarkan semua partai”, katanya. Lalu bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan yang ketiga satu partai netral. Ia menggunakan istilah netral dan tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral – “ya, partai netral lah”, katanya– dan menghindari menyebut kekuatan sosialis. Di situlah Mohammad Natsir tampil dengan sosok seorang guru. “Jangan bubarkan partai politik”, ujarnya. “Partai itu ibarat belukar”, kata Mohammad Natsir. “Jika belukar dibakar, setelah terbakar akan tumbuh macam-macam ilalang, keadaan yang akan kita hadapi nanti suatu waktu setelah melakukan ‘pembakaran’. Tanam saja pohon-pohon yang baik”. Gambaran Natsir terjadi kini, bermunculan bermacam-macam partai yang tidak karuan lagi. Itulah yang Natsir maksudkan, jangan dibakar, tapi biarkan. “Kita bina partai yang masih baik”.

Berlanjut ke Bagian 2

Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah (3)

Prof Dr Midian Sirait*

PADA Konperensi ke-2 PPI Eropah di Düren, Jerman Barat,  tahun 1957, pemerintah mengirim Menteri Pembangunan Desa Achmadi untuk memberikan pengarahan. Dengan arahan Achmadi, konperensi menghasilkan gagasan agar golongan fungsional turut serta dalam parlemen, dan agar dibentuk Dewan Nasional dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Saya melihat bahwa gagasan pembentukan Front Nasional itu termasuk dalam strategi PKI. Bila kita melihat perkembangan di Cekoslowakia, juga diintrodusir pembentukan suatu Dewan Nasional, yang di dalamnya kaum nasional, kaum komunis dan kaum agama masih bisa bersatu. Akan tetapi begitu kaum buruh dipersenjatai, kemenangan langsung jatuh ke tangan kaum revolusioner kiri. Vietnam yang kiri juga memulai dengan membentuk Front Nasional. Ho Chi Minh tidak langsung mengambil kekuasaan, melainkan dengan terlebih dulu membentuk Front Nasional. Setelah situasi sudah matang, dengan adanya Front Nasional itu, barulah kaum komunis mengambil alih kekuasaan.

Dari Konperensi PPI Eropah tahun 1957, di Düren itulah, terlontar gagasan pembentukan Front Nasional di Indonesia, yang asal usulnya adalah dari Achmadi, Menteri Pembangunan Desa yang dikirim Soekarno sebagai wakil pemerintah. Cukup menarik memang, bahwa gagasan Front Nasional itu dibawa dari Jakarta, lalu di’matang’kan dan diusahakan menjadi ‘produk’ konperensi mahasiswa Indonesia yang berada di Eropah, kemudian dibawa kembali ke Indonesia dan segera dilaksanakan. Sewaktu gagasan Front Nasional itu disampaikan Achmadi kepada Soekarno, ia ini agaknya ‘sepenuhnya menganggap’ itu sebagai gagasan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Eropah, dan Soekarno mengapresiasinya dengan baik. Padahal menurut Soekarno, semestinya parlemenlah yang mengajukan usul seperti itu. Demikian proses pembentukan Front Nasional di Indonesia.

Saya sendiri baru datang ke Jerman Barat tahun 1956, dan tidak ikut dalam konperensi 1957 itu, sehingga tidak ikut dalam pembicaraan mengenai gagasan pembentukan Front Nasional itu. Saya baru ikut kemudian pada Konperensi PPI ke-3 tahun 1959 di Paris. Tapi PPI Jerman melakukan suatu Seminar Pembangunan terlebih dulu sebelum menuju Paris. Seminar Pembangunan itu dilakukan di suatu tempat, agak di luar kota Hamburg. Seminar itu dicetuskan oleh seorang mahasiswa yang cukup muda yang dikenal sebagai Baharuddin Jusuf Habibie –tetapi dipanggil sebagai Rudy oleh para mahasiswa Indonesia di Jerman. Dengan berapi-api Rudy menyatakan, “kita jangan hanya bicara politik, tapi mari kita juga membicarakan pembangunan”. Namun Rudy tak sempat ikut berbicara lebih jauh mengenai pembangunan itu, karena keburu ia sakit, dan dibawa oleh para mahasiswa ke rumah sakit dan harus mengalami perawatan. Seminarnya dilanjutkan, dipimpin oleh suatu presidium. Saya sendiri anggota presidium seminar itu bersama Iskandar Alisjahbana dan Arifin Musnadi dari Muenchen, Gultom dari Berlin, dan Sjaharil, teman BJ Habibie, dari Aachen.

Saya mendapat tugas untuk menyusun hasil seminar untuk dibukukan. Saya teringat ‘nasib’ Rudy yang tak dapat lanjut mengikuti seminar karena harus masuk rumah sakit. Saya memasang fotonya di halaman pertama dan memberi teks yang menjelaskan bahwa inilah Bung Rudy Habibie, yang tak bisa hadir sepenuhnya dalam seminar pembangunan ini karena sakit. Setidaknya terdokumentasikan bahwa dia adalah salah seorang inisiator seminar. Saya kirimkan satu buku ke rumah sakit, tetapi agaknya dia menyangka saya sendiri yang telah datang mengantarkannya ke rumah sakit. Rudy sembuh dua minggu setelah menerima buku itu. Kelak di kemudian hari, sepulangnya ke tanah air, ia sempat memperlihatkan buku yang berisi keikutsertaannya dalam seminar yang secara dini telah membicarakan masalah pembangunan, kepada pak Harto yang belakangan sempat digelari Bapak Pembangunan di tanah air.

Setelah seminar di Hamburg, berlangsung Konperensi ke-3 PPI Eropah di Paris, ibukota Perancis. Tapi di situ, gagasan-gagasan mengenai pembangunan itu ‘mengendap’, tenggelam oleh situasi baru di tanah air, yakni lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, hanya beberapa waktu sebelum konperensi berlangsung. Kekuasaan ‘kembali’ ke tangan Soekarno.

Setelah Dekrit 5 Juli 1959, mulailah muncul pengertian Pancasila sebagai alat revolusi. Mereka yang memiliki pemahaman seperti itu, menyebutkan revolusi ini sebagai Revolusi Pancasila, atau, Pancasila yang Revolusioner. Tetapi sebenarnya, di dalam Pancasila itu samasekali tidak terdapat nilai-nilai yang revolusioner. Malahan, yang ada di dalam Pancasila, justru nilai-nilai humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai sosial demokrasinya ada, tetapi itu bukan revolusi. Bung Karno membawa pengertian-pengertian baru tentang Pancasila yang revolusioner itu sebagai dasar-dasar dalam ‘pembangunan’ yang dilaksanakan dalam masa kekuasaannya setelah dekrit. Kekuasaan sudah ada di tangannya kembali. Ia mulai berpidato memperkenalkan Manifesto Politik. Lalu berpidato mengenai Resopim –Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional. Pidato itu memberikan jalan pemikiran, bahwa dengan adanya revolusi, harus ada pimpinan revolusi. Tetapi revolusi itu sendiri, untuk apa? Revolusi adalah untuk mencapai sosialisme. Jadi, ia telah membawa Pancasila ke dalam pengertian revolusi, dan dalam revolusi harus ada pemimpin revolusi.

Terkait Pancasila, dalam pada itu berkembang pula pengertian sosialisme dalam artian sosial demokrasi. Tetapi kaum komunis menganggap pengertian sosialisme dalam artian sosial demokrasi itu, sebagai pikiran dari mereka yang disebutnya ‘para cecunguk’. Itu dianggap ‘konsep’ lawan, konsep yang reaksioner, dan harus dipukul. Mereka menyebutkannya sebagai suatu pseudo ideologi. Dalam konteks sosialisme, ada komunisme, ada sosial demokrat. Tapi yang terakhir ini disebut oleh kaum komunis sebagai sebuah pseudo ideologi, sebagai pseudo sosialisme. Itulah sebabnya, yang paling pertama diminta Aidit untuk dibubarkan adalah PSI yang dianggapnya penyandang ideologi sosial demokrasi. Setelah itu, ia menuntut pembubaran Partai Murba kekuatan berpaham sosialis lainnya. Dengan keinginan seperti itu, Aidit harus berhadapan dengan Chairul Saleh yang ‘berada’ di barisan Partai Murba.

Setelah tahun 1959, terlihat bahwa Soekarno ‘terbawa’ dalam situasi internasional, saat makin memuncaknya pertarungan dalam rangka perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Makin tampak bahwa Soekarno makin anti Amerika, anti PBB yang dianggapnya didominasi pengaruh barat. Anti Amerika dari Soekarno ini telah tampil karena sejumlah pengalaman tidak menyenangkan dengan adanya campur tangan Amerika dalam kehidupan politik Indonesia. Pada waktu terjadi pemberontakan PRRI-Permesta, Amerika Serikat diketahuinya membantu para pemberontak, yang antara lain terbukti dengan tertembaknya pesawat dan tertangkapnya pilot berkebangsaan Amerika Allan Lawrence Pope pada masa pemberontakan itu.

Dengan membawa Pancasila sebagai dasar revolusi, Bung Karno agaknya mulai berlawanan pikiran dengan Mohammad Hatta. Bung Hatta mencetuskan sejumlah pemikirannya melalui buku Demokrasi Kita. Terbentuk pula “Liga Demokrasi’, yang antara lain diikuti IJ Kasimo bersama sejumlah tokoh-tokoh politik Katolik. Memang keberadaan tokoh-tokoh Katolik ini cukup menonjol dalam Liga Demokrasi. Sejak tahun 1959 hingga 1965, dengan demikian kita berada dalam kekuasaan Soekarno, yang membawakan dengan kuat situasi revolusioner ke dalam kehidupan politik dan kehidupan masyarakat. Situasi revolusioner ini membawa Soekarno lebih dekat dengan kaum komunis dan komunisme.

Terjadi polarisasi di masyarakat dalam dua arus utama, komunis dan non komunis. Bagaimanapun air dan minyak tidak bisa disatukan, itu kata Bung Hatta. Pancasila tidak bisa disatukan dengan komunisme. Kenapa demikian? Saya sendiri melihat dari sudut dasar-dasar filsafat dan dasar-dasar perjuangannya, komunisme berpangkal dari ajaran atau teori konflik. Komunisme memandang dan menempatkan masyarakat dalam situasi konflik. Konflik dalam kekuasaan, dan aneka konflik lainnya, seperti misalnya buruh melawan kaum kapital. Di desa-desa diserukan kewaspadaan terhadap apa yang disebut 7 setan desa, di kota-kota disebutkan adanya kapbirkapbir atau kaum kapitalis birokrat. Tetapi berkaca pada keadaan sekarang, terlepas dari retorika provokatif komunis itu, saat ini juga harus diakui terlihatnya ada kaum birokrat yang makin kaya karena korupsi, sehingga masyarakat mulai menyerukan, awas koruptor.

Dengan adanya konflik-konflik dalam masa kekuasaan Soekarno, sesungguhnya telah dapat diprediksi bahwa pada akhirnya tak terelakkan akan terjadi suatu benturan besar. Bagaimanapun, dalam suatu hubungan sebab-akibat, benturan besar itu akan terjadi. Dan ternyata itu meletus sebagai suatu peristiwa berdarah di bulan September 1965, yang kemudian berkepanjangan dengan serentetan peristiwa berdarah lanjutan di berbagai penjuru tanah air. Dalam suatu iklim dengan situasi konflik, sumber konflik sudah datang dari mana-mana dan dari arah manapun dalam masyarakat. Beberapa pertemuan dengan sejumlah perwira militer, sewaktu saya masih belajar di Eropah. Kami di PPI mendapat informasi tentang keadaan politik di Indonesia. Melalui atase militer di Jerman Barat, Kolonel DI Panjaitan, kami para pengurus PPI kerap dipertemukan dengan sejumlah perwira militer, termasuk dari kalangan intelejen. Suatu ketika di tahun 1960-an itu, datang Kolonel Soekendro, salah seorang perwira yang ikut dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. Dia mengungkapkan antara lain soal bagaimana PNI selalu berusaha menggerogoti kekuatan tentara, sehingga ada sikap apriori tentara terhadap partai itu.

Para perwira yang datang itu, memberikan gambaran situasi tanah air cukup lengkap dan mendalam. Salah satu yang mereka ungkapkan adalah bahwa sebenarnya banyak perwira, setidaknya di kalangan intelejen, tidak setuju kepada Manipol Usdek. Tetapi persoalannya, Jenderal AH Nasution, setidaknya seperti yang secara formal selalu dinyatakannya di muka khalayak. setuju terhadap Manipol Usdek itu. Para perwira ini juga sudah melihat bahwa arah dari Manipol itu pada akhirnya akan memberikan keuntungan kepada komunis. Sejak tahun 1950-an, termasuk pada tahun 1955 dan setelahnya, sebenarnya tentara sudah terjun dalam political game. Salah satunya adalah bagaimana menyusup ke dalam dan mengganggu PKI. Secara faktual, yang bisa mengimbangi PKI adalah tentara yang memiliki kemampuan organisasi yang tangguh dan terbaik di antara kekuatan yang ada, di luar PKI.

Dalam pemilihan umum di tahun 1955, PKI mengkampanyekan pengertian ke tengah khalayak, PKI sebagai Partai Komunis dan Independen. Dalam pemilihan umum itu, PKI dengan cerdik merangkul lalu memanfaatkan calon-calon perorangan independen yang beratus banyaknya menjadi peserta pemilihan umum. Ketua Panitia Pemilihan Umum saat itu, tokoh Masjumi Burhanuddin Harahap, agaknya sedikit memandang ringan keberadaan calon-calon perorangan independen itu dan tidak ‘memperhatikan’ dengan baik gerakan PKI di situ. Akhirnya PKI berhasil menjadi 4 besar dalam Pemilihan Umum 1955, setelah PNI, NU dan Masjumi.

Sebelum Pemilihan Umum 1955, Masjumi merupakan partai besar, dan termasuk di dalamnya ada unsur NU (Nahdatul Ulama). Tetapi ada tanda-tanda ketidakserasian antara unsur-unsur NU ini dengan unsur lainnya dan akhirnya NU meninggalkan Masjumi dan berdiri sendiri sebagai satu partai. Masjumi dan NU berada dalam urutan kedua dan ketiga dalam 4 besar hasil pemilu. Bila diakumulasikan, jumlah perolehan suara mereka lebih besar daripada yang diperoleh PNI yang berada pada urutan pertama. Adapun PNI, setelah pemilihan umum, nasibnya cukup tragis, sebenarnya telah sobek-sobek di dalam, sehingga ada PNI revolusioner dan berbagai macam faksi lainnya. Hanya saja perpecahan itu tetap bisa terbungkus, mungkin karena pengaruh Soekarno. Sementara itu Soebandrio yang tadinya anggota PSI, meninggalkan partai itu dan membangun partai baru, yakni Partindo.

Berlanjut ke Bagian 4