SEJAUH ini, satu-satunya yang cukup menghibur, khususnya bagi kalangan akar rumput adalah keadaan bebas biaya dalam menyekolahkan anak. Tetapi untuk tingkat perguruan tinggi, masih membayang faktor biaya tinggi yang tak tertolong program beasiswa yang masih terbatas daya jangkaunya. Di bidang kesehatan, dalam batas tertentu pertolongan Kartu Indonesia Sehat dan manfaat BPJS cukup menolong namun kini terjadi kesulitan dalam masalah pendanaan dan pengelolaan. Baru-baru ini secara terbuka di muka khalayak Presiden menegur Menteri Kesehatan dan Direktur BPJS untuk masalah dana kesehatan ini. Namun belum tentu kesalahan sepenuhnya ada pada BPJS atau Kementerian Kesehatan. Pengorganisasian pengumpulan dana (wajib) dari masyarakat hingga ke pengelolaannya, memang termasuk sesuatu yang rumit. Harus pula dirunut duduk soalnya, mulai dari apakah perencanaannya sudah sempurna atau belum sempurna menghitung segala aspek.
Adalah memprihatinkan, bila dua program ini tak berjalan baik. Kedua jenis program terkait pendidikan dan kesehatan ini adalah kebutuhan mutlak kalangan akar rumput, di samping masalah perut. Selain itu, kedua program, bila dijalankan dengan baik, pasti sangat berguna untuk sedikit menimbun jurang perbedaan sosial ekonomi, sebelum ada keberhasilan pemerataan ekonomi yang lebih baik.
Tertatih-tatih dalam kemiskinan etika
Di luar masalah ekonomi dan kesejahteraan, secara umum pemerintahan ini masih tertatih-tatih dalam menjalankan konsolidasi politik dan demokrasi. Demi memperkuat mayoritas kerja di DPR, pada awal masa pemerintahan diperlukan intervensi untuk melemahkan beberapa partai seberang. Sebuah jalan pintas yang sebenarnya harus dihindari dalam pembangunan politik dan demokrasi.
Padahal, daripada menempuh jalan inkonvensional, lebih terhormat bila dari arah internal ditumbuhkan sikap realistis –dengan meninggalkan politik-politikan yang akrobatis. Sikap realistis yang positif merupakan kebutuhan dalam memecahkan masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Dalam konteks kehidupan politik dan kekuasaan yang sehat, dari arah eksternal diperlukan sikap kritis dan analisis objektif sebagai pengganti perilaku politicking.
Bila dari arah internal ada perilaku politik tercerahkan, maka sangat bisa diharapkan kehadiran perilaku yang juga tercerahkan dari arah eksternal. Perilaku politik buruk yang berkecamuk bukan perbuatan sepihak. Perbaikannya juga takkan terjadi sepihak, tetapi bersama-sama. Mereka yang merasa lebih memiliki kenegarawanan, layak untuk mempelopori perbaikan.
Ini perlu diingatkan, karena dari dua kutub pembelahan politik yang menajam selama tak kurang dari empat tahun belakangan ini masih saja selalu tampil gaya berpolitik yang sarat pengutamaan kepentingan eksklusif namun minus altruisme. Sarat kebohongan tapi miskin etika. Suatu keadaan yang membuat kehidupan politik makin hari kian compang-camping. Dari polarisasi politik yang terjadi, lahir berbagai manuver kontra produktif dengan alas argumentasi yang seringkali tak masuk akal. Semua menggunakan retorika demi rakyat dan demokrasi, namun pada hakekatnya hanyalah permainan kepentingan dan perebutan jengkal demi jengkal area kekuasaan dalam konteks berburu benefit.

Sensitivitas terhadap kritik dan ‘penghinaan’
Usai menghadiri Kongres Persatuan Alumni GMNI –yang sejak masa Nasakom dulu dikenal sebagai organisasi mahasiswa sayap PNI– di Jakarta Jumat 7 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputeri terlihat pulang semobil menggunakan RI-1. Ibu Negara Iriana dengan demikian mesti menggunakan mobil lain. Lalu Harian Kompas melalui pojok Mang Usil berkomentar usil, “Sebagai Presiden atau petugas partai?” Jelas, ini hanya sekedar senda gurau, di tengah bermulanya gelombang kritik yang kemudian tak henti-hentinya mengarus menuju sang Presiden hingga menjelang akhir 2019 ini.
Sesungguhnya memang tak diperlukan waktu yang lama dalam masa kepresidenannya sebelum Joko Widodo mulai diterpa begitu banyak kritik dan kecaman maupun sekedar sebagai sasaran senda gurau. Maka tak heran bila beberapa di antara kalangan lingkaran Presiden dalam waktu yang singkat pun menjadi sensitif dan makin sensitif. Serangan dan senda gurau, oleh mereka yang hypersensitive –maupun yang sebenarnya sekedar berkelakuan ‘akrobatik’– dikategorikan bahkan sudah merupakan penghinaan.
Tak kurang dari Presiden Joko Widodo sendiri yang menyebut adanya olok-olok dan penghinaan terhadap dirinya. “Saya sejak walikota, sejak gubernur, setelah jadi presiden, entah dicemooh, diejek, dijelek-jelekkan, sudah makanan sehari-hari,” kata Joko Widodo kepada pers di Istana Bogor dua hari sebelum komentar Mang Usil. Sebelumnya, menjelang menjadi Presiden, menjawab tuduhan terhadap dirinya sebagai keturunan PKI Joko Widodo mengatakan “Ini penghinaan besar bagi saya pribadi serta ke orang tua saya.” Kelihatannya per saat itu sang Presiden masih bisa bertahan dengan mekanisme rapoponya.
Namun kemarin, Presiden Joko Widodo agak ‘meledak’ terhadap rangkaian serangan yang dilontarkan pada dirinya. Ketika membagi sertifikat tanah di Lapangan Ahmad Yani Kebayoran Lama (23/10) Presiden mengatakan masih banyak politisi yang memakai cara-cara lama, memakai politik kebencian, politik SARA, politik adu domba, politik pecah belah. “Itu namanya politik sontoloyo,” ujarnya. “Hati-hati, banyak politikus baik-baik, tapi banyak juga politikus sontoloyo.” Esoknya, Rabu 24 Oktober, Presiden mengaku kata sontoloyo itu keluar, karena geram. Namun apa dan bagaimanapun, sontoloyo adalah istilah yang semestinya tak layak keluar dari mulut seorang Presiden dalam konteks keteladanan.
Mutasi dari ndeso ke powerful
Joko Widodo muncul dan ‘dibesarkan’ oleh suatu situasi seolah-olah antitesis terhadap model ketokohan ala Susilo Bambang Yudhoyono atau Soeharto, yang dalam perjalananan sejarah terbawa ke atas ke tingkat kelas elite. Joko Widodo yang tertampilkan masih ndeso, baik sosok maupun karakternya, sehingga terkesan sebagai replika sosok akar rumput, akhirnya dipilih oleh rakyat pemegang suara di tahun 2014, dengan keunggulan tipis atas tokoh lainnya, Prabowo Subianto yang dianggap dari kelas elite.
Majalah Time dalam cover-storynya bulan Oktober 2014, menyebut Joko Widodo sebagai presiden pertama Indonesia yang berasal dari kalangan bukan elite. Meski, Joko Widodo yang seorang insinyur, paling tidak selama dua belas tahun terakhir sebenarnya sudah menapak menjadi bagian dari elite kekuasaan, sebagai Walikota Solo dan kemudian sebagai Gubernur DKI. Namun wajah ndesonya yang tidak ber-‘evolusi’ dan gaya pendekatan kerakyatannya yang sempat ‘menawan’ hati banyak orang, menolong membuat dirinya tetap tercitrakan dan ditempatkan oleh khalayak di luar kelompok pemimpin dengan gaya elitis.
Sebagai tokoh baru dalam kepemimpinan nasional, Joko Widodo, dipilih oleh separuh lebih rakyat pemilih sebagai antitesa terhadap beberapa gaya kepemimpinan elitis sebelumnya. Para pemimpin elitis selalu mencitrakan diri dekat dengan rakyat tetapi sesungguhnya berjarak dalam kenyataan sehari-hari.
Kendati masih tercitrakan sebagai tokoh pemimpin berwajah ndeso toh Joko Widodo mulai makin banyak punya persamaan dengan para pemimpin elitis. Beberapa rencana dan wacananya –drone, mobil nasional, kelistrikan yang massive dan beberapa lainnya– masih berjarak dengan realita, persepsi dan dengan kepentingan rakyat banyak. Banyak obsesi pembangunannya masih merupakan puisi. Sebutkanlah pula kegetolannya membangun jalan tol bersama BUMN dan para pemodal swasta, masih dipertanyakan, akan lebih menguntungkan siapa. Apakah lebih menguntungkan kalangan dunia usaha kelas atas atau ekonomi rakyat akar rumput? Kemudian kebiasaan blusukannya, apakah masih akan dipertahankan. Blusukan kini pasti berbeda dan tak sesederhana dahulu, katakanlah dalam aspek pembiayaan dan pengerahan aparat serta fasilitas maupun luasan area blusukan.
Untuk para pemimpin elitis yang berpikiran dan berkebijakan elitis, dan kepada umumnya para pemimpin yang muluk-muluk, Bung Hatta pernah menyitir frase dalam bahasa Jerman, Zwischen Diechtung und Wahrheid. Agar antara puisi dan kebenaran jangan terlalu jauh. Harus mendekatkan angan-angan dengan kenyataan, mendekatkan puisi dengan realita.
Kini, Joko Widodo sudah lebih banyak berada dalam model penampilan yang rapih dan perfect. Mengenakan setelan jas atau pun baju batik yang cantik motifnya, dan bagus jahitannya. Dalam berbatik, ia kelas atas. Tapi sekali-sekali saat pejabat bawahannya tampil berbatik atau berstelan jas, Joko Widodo malah tampil berkaos oblong. Juga banyak mengadopsi gaya milenial, tak segan berjoget dan melakukan jumping dengan sepeda motor besar meski sebagian memakai jasa stuntman. Referensi pidatonya pun makin mengikuti trend, semisal kisah film fantasi The Avengers dengan tokoh antagonis Thanos. Lalu, serial Game of Thrones –bertema persaingan kekuasaan memperebutkan Iron Throne, you win or you die, di 7 kerajaan antah berantah, dengan bahaya sesungguhnya klan Stark yang protagonis dari daerah utara Winter’s Fell.
Selain perubahan gaya berbusana, ‘sayup-sayup’ terasa terjadi pula suatu perubahan lain. Garis dan ‘tarikan’ wajahnya sekarang sedikit lebih sering tegang kencang. Tutur bahasanya pun lebih kerap ketus. Terbaru, itu, penggunaan kosa kata sontoloyo. Tetapi, memaknai secara positif, tentu saja terkesan bahwa sang Presiden kini lebih powerful… (socio-politica.com/media-karya.com)