Tag Archives: Burhanuddin Harahap

Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17 Oktober 1952 (2)

DALAM uraian TB Simatupang –saat memberi ceramah di depan Group Diskusi UI, Agustus 1973– disampaikan bahwa kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.

ABDUL HARRIS NASUTION. “Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta….. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi”.

Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru –koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi– yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi.

Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa. Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam. Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia. Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.

-Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Tentara Dalam Kancah Politik 1952-1959 (3)

Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam.

Bersamaan dengan tersisihnya AH Nasution, KSAP Tahi Bonar Simatupang juga mengundurkan diri, dan itulah pula sebenarnya akhir dari karir militernya, meskipun secara formal baru pada tahun 1959 ia meninggalkan dinas aktif militernya. Sebagai KSAD baru diangkat Kolonel Bambang Soegeng. Tak ada pengganti untuk Simatupang, karena jabatan KSAP untuk selanjutnya ditiadakan. Tapi Simatupang –bersama dengan konsep dan buah pikiran Nasution– melalui penyampaian uraian dan tulisan-tulisannya ikut mewariskan pemikiran yang memberi ilham bagi konsep Dwifungsi ABRI dikemudian hari.

Menurut Simatupang, kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.

Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru – koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi – yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta.

Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi. Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa.

Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam.

Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia.

Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.

Berlanjut ke Bagian 4

Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah (3)

Prof Dr Midian Sirait*

PADA Konperensi ke-2 PPI Eropah di Düren, Jerman Barat,  tahun 1957, pemerintah mengirim Menteri Pembangunan Desa Achmadi untuk memberikan pengarahan. Dengan arahan Achmadi, konperensi menghasilkan gagasan agar golongan fungsional turut serta dalam parlemen, dan agar dibentuk Dewan Nasional dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Saya melihat bahwa gagasan pembentukan Front Nasional itu termasuk dalam strategi PKI. Bila kita melihat perkembangan di Cekoslowakia, juga diintrodusir pembentukan suatu Dewan Nasional, yang di dalamnya kaum nasional, kaum komunis dan kaum agama masih bisa bersatu. Akan tetapi begitu kaum buruh dipersenjatai, kemenangan langsung jatuh ke tangan kaum revolusioner kiri. Vietnam yang kiri juga memulai dengan membentuk Front Nasional. Ho Chi Minh tidak langsung mengambil kekuasaan, melainkan dengan terlebih dulu membentuk Front Nasional. Setelah situasi sudah matang, dengan adanya Front Nasional itu, barulah kaum komunis mengambil alih kekuasaan.

Dari Konperensi PPI Eropah tahun 1957, di Düren itulah, terlontar gagasan pembentukan Front Nasional di Indonesia, yang asal usulnya adalah dari Achmadi, Menteri Pembangunan Desa yang dikirim Soekarno sebagai wakil pemerintah. Cukup menarik memang, bahwa gagasan Front Nasional itu dibawa dari Jakarta, lalu di’matang’kan dan diusahakan menjadi ‘produk’ konperensi mahasiswa Indonesia yang berada di Eropah, kemudian dibawa kembali ke Indonesia dan segera dilaksanakan. Sewaktu gagasan Front Nasional itu disampaikan Achmadi kepada Soekarno, ia ini agaknya ‘sepenuhnya menganggap’ itu sebagai gagasan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Eropah, dan Soekarno mengapresiasinya dengan baik. Padahal menurut Soekarno, semestinya parlemenlah yang mengajukan usul seperti itu. Demikian proses pembentukan Front Nasional di Indonesia.

Saya sendiri baru datang ke Jerman Barat tahun 1956, dan tidak ikut dalam konperensi 1957 itu, sehingga tidak ikut dalam pembicaraan mengenai gagasan pembentukan Front Nasional itu. Saya baru ikut kemudian pada Konperensi PPI ke-3 tahun 1959 di Paris. Tapi PPI Jerman melakukan suatu Seminar Pembangunan terlebih dulu sebelum menuju Paris. Seminar Pembangunan itu dilakukan di suatu tempat, agak di luar kota Hamburg. Seminar itu dicetuskan oleh seorang mahasiswa yang cukup muda yang dikenal sebagai Baharuddin Jusuf Habibie –tetapi dipanggil sebagai Rudy oleh para mahasiswa Indonesia di Jerman. Dengan berapi-api Rudy menyatakan, “kita jangan hanya bicara politik, tapi mari kita juga membicarakan pembangunan”. Namun Rudy tak sempat ikut berbicara lebih jauh mengenai pembangunan itu, karena keburu ia sakit, dan dibawa oleh para mahasiswa ke rumah sakit dan harus mengalami perawatan. Seminarnya dilanjutkan, dipimpin oleh suatu presidium. Saya sendiri anggota presidium seminar itu bersama Iskandar Alisjahbana dan Arifin Musnadi dari Muenchen, Gultom dari Berlin, dan Sjaharil, teman BJ Habibie, dari Aachen.

Saya mendapat tugas untuk menyusun hasil seminar untuk dibukukan. Saya teringat ‘nasib’ Rudy yang tak dapat lanjut mengikuti seminar karena harus masuk rumah sakit. Saya memasang fotonya di halaman pertama dan memberi teks yang menjelaskan bahwa inilah Bung Rudy Habibie, yang tak bisa hadir sepenuhnya dalam seminar pembangunan ini karena sakit. Setidaknya terdokumentasikan bahwa dia adalah salah seorang inisiator seminar. Saya kirimkan satu buku ke rumah sakit, tetapi agaknya dia menyangka saya sendiri yang telah datang mengantarkannya ke rumah sakit. Rudy sembuh dua minggu setelah menerima buku itu. Kelak di kemudian hari, sepulangnya ke tanah air, ia sempat memperlihatkan buku yang berisi keikutsertaannya dalam seminar yang secara dini telah membicarakan masalah pembangunan, kepada pak Harto yang belakangan sempat digelari Bapak Pembangunan di tanah air.

Setelah seminar di Hamburg, berlangsung Konperensi ke-3 PPI Eropah di Paris, ibukota Perancis. Tapi di situ, gagasan-gagasan mengenai pembangunan itu ‘mengendap’, tenggelam oleh situasi baru di tanah air, yakni lahirnya Dekrit 5 Juli 1959, hanya beberapa waktu sebelum konperensi berlangsung. Kekuasaan ‘kembali’ ke tangan Soekarno.

Setelah Dekrit 5 Juli 1959, mulailah muncul pengertian Pancasila sebagai alat revolusi. Mereka yang memiliki pemahaman seperti itu, menyebutkan revolusi ini sebagai Revolusi Pancasila, atau, Pancasila yang Revolusioner. Tetapi sebenarnya, di dalam Pancasila itu samasekali tidak terdapat nilai-nilai yang revolusioner. Malahan, yang ada di dalam Pancasila, justru nilai-nilai humanisme atau nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai sosial demokrasinya ada, tetapi itu bukan revolusi. Bung Karno membawa pengertian-pengertian baru tentang Pancasila yang revolusioner itu sebagai dasar-dasar dalam ‘pembangunan’ yang dilaksanakan dalam masa kekuasaannya setelah dekrit. Kekuasaan sudah ada di tangannya kembali. Ia mulai berpidato memperkenalkan Manifesto Politik. Lalu berpidato mengenai Resopim –Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional. Pidato itu memberikan jalan pemikiran, bahwa dengan adanya revolusi, harus ada pimpinan revolusi. Tetapi revolusi itu sendiri, untuk apa? Revolusi adalah untuk mencapai sosialisme. Jadi, ia telah membawa Pancasila ke dalam pengertian revolusi, dan dalam revolusi harus ada pemimpin revolusi.

Terkait Pancasila, dalam pada itu berkembang pula pengertian sosialisme dalam artian sosial demokrasi. Tetapi kaum komunis menganggap pengertian sosialisme dalam artian sosial demokrasi itu, sebagai pikiran dari mereka yang disebutnya ‘para cecunguk’. Itu dianggap ‘konsep’ lawan, konsep yang reaksioner, dan harus dipukul. Mereka menyebutkannya sebagai suatu pseudo ideologi. Dalam konteks sosialisme, ada komunisme, ada sosial demokrat. Tapi yang terakhir ini disebut oleh kaum komunis sebagai sebuah pseudo ideologi, sebagai pseudo sosialisme. Itulah sebabnya, yang paling pertama diminta Aidit untuk dibubarkan adalah PSI yang dianggapnya penyandang ideologi sosial demokrasi. Setelah itu, ia menuntut pembubaran Partai Murba kekuatan berpaham sosialis lainnya. Dengan keinginan seperti itu, Aidit harus berhadapan dengan Chairul Saleh yang ‘berada’ di barisan Partai Murba.

Setelah tahun 1959, terlihat bahwa Soekarno ‘terbawa’ dalam situasi internasional, saat makin memuncaknya pertarungan dalam rangka perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Makin tampak bahwa Soekarno makin anti Amerika, anti PBB yang dianggapnya didominasi pengaruh barat. Anti Amerika dari Soekarno ini telah tampil karena sejumlah pengalaman tidak menyenangkan dengan adanya campur tangan Amerika dalam kehidupan politik Indonesia. Pada waktu terjadi pemberontakan PRRI-Permesta, Amerika Serikat diketahuinya membantu para pemberontak, yang antara lain terbukti dengan tertembaknya pesawat dan tertangkapnya pilot berkebangsaan Amerika Allan Lawrence Pope pada masa pemberontakan itu.

Dengan membawa Pancasila sebagai dasar revolusi, Bung Karno agaknya mulai berlawanan pikiran dengan Mohammad Hatta. Bung Hatta mencetuskan sejumlah pemikirannya melalui buku Demokrasi Kita. Terbentuk pula “Liga Demokrasi’, yang antara lain diikuti IJ Kasimo bersama sejumlah tokoh-tokoh politik Katolik. Memang keberadaan tokoh-tokoh Katolik ini cukup menonjol dalam Liga Demokrasi. Sejak tahun 1959 hingga 1965, dengan demikian kita berada dalam kekuasaan Soekarno, yang membawakan dengan kuat situasi revolusioner ke dalam kehidupan politik dan kehidupan masyarakat. Situasi revolusioner ini membawa Soekarno lebih dekat dengan kaum komunis dan komunisme.

Terjadi polarisasi di masyarakat dalam dua arus utama, komunis dan non komunis. Bagaimanapun air dan minyak tidak bisa disatukan, itu kata Bung Hatta. Pancasila tidak bisa disatukan dengan komunisme. Kenapa demikian? Saya sendiri melihat dari sudut dasar-dasar filsafat dan dasar-dasar perjuangannya, komunisme berpangkal dari ajaran atau teori konflik. Komunisme memandang dan menempatkan masyarakat dalam situasi konflik. Konflik dalam kekuasaan, dan aneka konflik lainnya, seperti misalnya buruh melawan kaum kapital. Di desa-desa diserukan kewaspadaan terhadap apa yang disebut 7 setan desa, di kota-kota disebutkan adanya kapbirkapbir atau kaum kapitalis birokrat. Tetapi berkaca pada keadaan sekarang, terlepas dari retorika provokatif komunis itu, saat ini juga harus diakui terlihatnya ada kaum birokrat yang makin kaya karena korupsi, sehingga masyarakat mulai menyerukan, awas koruptor.

Dengan adanya konflik-konflik dalam masa kekuasaan Soekarno, sesungguhnya telah dapat diprediksi bahwa pada akhirnya tak terelakkan akan terjadi suatu benturan besar. Bagaimanapun, dalam suatu hubungan sebab-akibat, benturan besar itu akan terjadi. Dan ternyata itu meletus sebagai suatu peristiwa berdarah di bulan September 1965, yang kemudian berkepanjangan dengan serentetan peristiwa berdarah lanjutan di berbagai penjuru tanah air. Dalam suatu iklim dengan situasi konflik, sumber konflik sudah datang dari mana-mana dan dari arah manapun dalam masyarakat. Beberapa pertemuan dengan sejumlah perwira militer, sewaktu saya masih belajar di Eropah. Kami di PPI mendapat informasi tentang keadaan politik di Indonesia. Melalui atase militer di Jerman Barat, Kolonel DI Panjaitan, kami para pengurus PPI kerap dipertemukan dengan sejumlah perwira militer, termasuk dari kalangan intelejen. Suatu ketika di tahun 1960-an itu, datang Kolonel Soekendro, salah seorang perwira yang ikut dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. Dia mengungkapkan antara lain soal bagaimana PNI selalu berusaha menggerogoti kekuatan tentara, sehingga ada sikap apriori tentara terhadap partai itu.

Para perwira yang datang itu, memberikan gambaran situasi tanah air cukup lengkap dan mendalam. Salah satu yang mereka ungkapkan adalah bahwa sebenarnya banyak perwira, setidaknya di kalangan intelejen, tidak setuju kepada Manipol Usdek. Tetapi persoalannya, Jenderal AH Nasution, setidaknya seperti yang secara formal selalu dinyatakannya di muka khalayak. setuju terhadap Manipol Usdek itu. Para perwira ini juga sudah melihat bahwa arah dari Manipol itu pada akhirnya akan memberikan keuntungan kepada komunis. Sejak tahun 1950-an, termasuk pada tahun 1955 dan setelahnya, sebenarnya tentara sudah terjun dalam political game. Salah satunya adalah bagaimana menyusup ke dalam dan mengganggu PKI. Secara faktual, yang bisa mengimbangi PKI adalah tentara yang memiliki kemampuan organisasi yang tangguh dan terbaik di antara kekuatan yang ada, di luar PKI.

Dalam pemilihan umum di tahun 1955, PKI mengkampanyekan pengertian ke tengah khalayak, PKI sebagai Partai Komunis dan Independen. Dalam pemilihan umum itu, PKI dengan cerdik merangkul lalu memanfaatkan calon-calon perorangan independen yang beratus banyaknya menjadi peserta pemilihan umum. Ketua Panitia Pemilihan Umum saat itu, tokoh Masjumi Burhanuddin Harahap, agaknya sedikit memandang ringan keberadaan calon-calon perorangan independen itu dan tidak ‘memperhatikan’ dengan baik gerakan PKI di situ. Akhirnya PKI berhasil menjadi 4 besar dalam Pemilihan Umum 1955, setelah PNI, NU dan Masjumi.

Sebelum Pemilihan Umum 1955, Masjumi merupakan partai besar, dan termasuk di dalamnya ada unsur NU (Nahdatul Ulama). Tetapi ada tanda-tanda ketidakserasian antara unsur-unsur NU ini dengan unsur lainnya dan akhirnya NU meninggalkan Masjumi dan berdiri sendiri sebagai satu partai. Masjumi dan NU berada dalam urutan kedua dan ketiga dalam 4 besar hasil pemilu. Bila diakumulasikan, jumlah perolehan suara mereka lebih besar daripada yang diperoleh PNI yang berada pada urutan pertama. Adapun PNI, setelah pemilihan umum, nasibnya cukup tragis, sebenarnya telah sobek-sobek di dalam, sehingga ada PNI revolusioner dan berbagai macam faksi lainnya. Hanya saja perpecahan itu tetap bisa terbungkus, mungkin karena pengaruh Soekarno. Sementara itu Soebandrio yang tadinya anggota PSI, meninggalkan partai itu dan membangun partai baru, yakni Partindo.

Berlanjut ke Bagian 4