Tag Archives: IPKI

Dari Kegagalan Politik Sipil Lahir Peran Militer

PERUBAHAN kekuasaan model Mesir saat ini, dengan segala kekacauan ikutannya bukan suatu hal yang mustahil terjadi di Indonesia, entah besok entah kapan. Dari kegagalan politik kaum sipil, saat mengelola kekuasaan pasca Hosni Moubarak, tercipta peluang dan alasan bagi militer Mesir untuk mengambil alih kekuasaan negara. Tindakan Presiden Mursi yang terburu-buru mengubah konstitusi Mesir dengan acuan syariat Islam mendorong militer yang menempatkan diri sebagai pengawal konstitusi untuk bertindak. Segala unsur yang ada, yang hampir serupa dengan Mesir, sesungguhnya telah terpenuhi di Indonesia, khususnya terkait kegagalan kaum sipil Indonesia mengelola kehidupan politik dan kekuasaan negara selama beberapa tahun terakhir pasca rezim militer Jenderal Soeharto.

Kegagalan kaum sipil belakangan ini direpresentasikan secara jelas oleh partai-partai politik yang korup maupun organisasi-organisasi massa yang berperilaku anarkistis dengan segala pengatasnamaan. Tak kalah pentingnya, mirip dengan Mesir, meskipun dengan kadar lebih rendah upaya beberapa daerah di Indonesia untuk menerapkan syariat Islam, beberapa tahun terakhir cukup mengemuka. NAD misalnya, kini sudah sepenuhnya diatur berdasarkan syariat Islam. Juga perlu dicermati adalah kurikulum pendidikan baru yang diintrodusir Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, sarat dengan semangat menjalankan syariat agama. Pada saatnya, ini akan menjadi kontroversi baru di tengah kehidupan bangsa yang majemuk ini.

            Terlepas dari masalah syariat Islam, kegagalan utama partai-partai politik Indonesia saat ini, tanpa kecuali, adalah kuatnya mereka menganut politik kepentingan pribadi dan golongan, melebihi kepentingan bangsa dan negara. Seringkali –untuk tidak menyebutnya selalu– semua itu dilakukan dengan berbagai pengatasnamaan, baik agama maupun ideologi. Suatu keadaan yang mulai menggejala sejak awal kemerdekaan, khususnya setelah 1950 dan makin menguat dalam Indonesia merdeka, lalu mewaris secara tetap hingga kini.

            Politik kepentingan pribadi, kelompok dan golongan di tubuh partai-partai yang ada saat ini, secara empiris terbukti selalu bergandengan dengan perilaku korup. Baik korupsi untuk dana kegiatan politik partai maupun untuk memperkaya pribadi-pribadi pimpinan partai. Belakangan, mereka yang disebut terakhir ini, lebih dominan dan melahirkan ‘orang-orang kaya baru’ di tubuh partai dengan segala eksesnya. Maka kembalilah situasi kebutuhan ala zaman feodal di antara kaum patriarkis partai: tahta, harta dan wanita. Tak kalah ironis, kaum perempuan yang terjun dalam politik dan atau kepartaian, seringkali ikut terjebak dalam alam pikiran yang dibangun kaum patriarkis dalam perebutan tahta dan harta. Tak jarang ada yang tak segan-segan mempertaruhkan ‘kehormatan’ yang tertinggi sebagai perempuan, secara seksual.

            Partai politik mana yang tak terisi dengan manusia-manusia yang pernah disebut-sebut namanya –besar atau sedikit– dalam kasus-kasus korupsi dan permainan uang ? Tak sedikit partai politik, lama atau baru, tidak cermat dalam melakukan rekrutmen untuk partai mereka. Tokoh-tokoh yang pernah menjadi bintang pemberitaan dan dugaan korupsi di masa lampau, diterima dengan senang hati ke dalam partai. Entah ia seorang konglomerat dengan sejarah bisnis abu-abu, entah perorangan yang pernah mengeruk uang dalam jumlah besar melalui bisnis kolusi fasilitas yang pasti tak bersih, entah mantan menteri yang kaya secara menakjubkan, entah bintang premanisme dan sebagainya. Banyak yang ‘tembak langsung’ ke posisi penting, semata-mata karena yang bersangkutan membawa kebutuhan politik yang dianggap ‘terpenting’ saat ini, yakni uang.

ABRI VERSUS POLITISI SIPIL. "Tidak dibutuhkan tempo yang terlalu lama untuk melihat bahwa perwira-perwira yang ditugaskan menjalankan fungsi sospol secara kualitatif tak banyak melebihi kaum sipil. Bedanya, mereka memiliki jaringan dan solidaritas korsa yang sedikit lebih baik, dan terpenting, lebih kuat karena punya bedil. Pun tak dibutuhkan waktu yang lama bagi munculnya barisan koruptor dan pemanfaat kekuasaan di sekitar Jenderal Soeharto. Barisan ini terdiri dari jenderal dengan jasa kelas dua atau kelas tiga dalam pergolakan politik 1965, 1966 sampai pertengahan 1967, serta kalangan pengusaha pengejar fasilitas maupun para kerabat kalangan kekuasaan." (Karikatur T. Sutanto 1967)
ABRI VERSUS POLITISI SIPIL. “Tidak dibutuhkan tempo yang terlalu lama untuk melihat bahwa perwira-perwira yang ditugaskan menjalankan fungsi sospol secara kualitatif tak banyak melebihi kaum sipil. Bedanya, mereka memiliki jaringan dan solidaritas korsa yang sedikit lebih baik, dan terpenting, lebih kuat karena punya bedil. Pun tak dibutuhkan waktu yang lama bagi munculnya barisan koruptor dan pemanfaat kekuasaan di sekitar Jenderal Soeharto. Barisan ini terdiri dari jenderal dengan jasa kelas dua atau kelas tiga dalam pergolakan politik 1965, 1966 sampai pertengahan 1967, serta kalangan pengusaha pengejar fasilitas maupun para kerabat kalangan kekuasaan.” (Karikatur T. Sutanto 1967)

SELAIN negara-negara Amerika Latin, Indonesia adalah negara yang memiliki pengalaman sejarah munculnya peran militer dalam kekuasaan negara karena lemahnya kelompok politik sipil. Menjelang akhir 1950an, setelah melalui rangkaian panjang perbedaan pendapat selama bertahun-tahun dengan para politisi sipil, para pemimpin Angkatan Darat Indonesia muncul dengan kecaman-kecaman yang lebih keras terhadap partai-partai politik Indonesia. Para pemimpin militer, Jenderal AH Nasution dan kawan-kawan, menilai para politisi sipil adalah kelompok orang yang miskin konsep namun banyak kemauan. Dalam beberapa kesempatan, para pimpinan militer ini menuntut agar parlemen dibubarkan saja. Militer menganggap parlemen seringkali terlalu jauh mencampuri masalah internal tentara. Para politisi sipil dicurigai tentara telah berkonspirasi untuk memojokkan dan melemahkan tentara, serta memposisikan tentara sekedar sebagai alat kekuasaan sipil. Tentara menuding banyak politisi sipil di parlemen sebagai orang-orang yang tak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagian lainnya lagi bahkan berasal dari unsur-unsur federalis dan separatis yang memecah belah negara kesatuan RI.

Keinginan tentara itu akhirnya bertemu dengan keinginan Presiden Soekarno yang ingin mengembalikan kekuasaan presidensial ke tangannya dari kekuasaan parlementer sepanjang tahun 1950an. Soekarno mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945 dan membubarkan parlemen hasil Pemilihan Umum 1955. Secara sukarela maupun terpaksa para anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 22 Juli 1959 menyatakan kesediaan mereka untuk terus bekerja dan dilantik oleh Soekarno sebagai anggota DPR berdasarkan UUD 1945.

Meskipun menjadi pendukung penting bagi Dekrit 5 Juli 1959, tentara tidak sendirian dalam berbagi kekuasaan dengan Presiden Soekarno. Ada kaki lain yang mendapat porsi, yakni PKI dan PNI. Lalu, masih ada partai ideologi Islam dan Kristen/Katolik sebagai figuran. Partai-partai berideologi agama ini yang secara relatif menjadi lebih lemah setelah Dekrit 5 Juli, disusun oleh Soekarno sebagai unsur A(agama) ke dalam tatanan Nasakom. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lebih terorganisir dengan baik, menjadi unsur Kom (komunis) yang berjaya. Sementara itu PNI yang memang merupakan ‘milik’ Soekarno, dominan sebagai unsur Nas (nasional) yang mengatasi sejumlah partai nasional kecil seperti IPKI. Dengan tatanan ini, serta konsep Manipol Usdek, Soekarno menciptakan kekuasaan sipil yang kokoh setidaknya untuk 5 tahun. Tetapi begitu rivalitas antar unsur Nas-A-Kom meningkat, terutama oleh agresifitas PKI dengan senjata gerakan massa, kekuasaan sipil Soekarno yang mengandalkan politik perimbangan kekuatan ini berangsur-angsur mewujud sebagai kegagalan sipil. Puncaknya adalah konflik berdarah Peristiwa 30 September 1965.

PEMBUNUHAN sejumlah jenderal teras Angkatan Darat dan seorang perwira pertama di ibukota, serta dua perwira menengah di Yogyakarta, memicu ‘kemarahan’ Angkatan Darat. Dengan alasan terjadi pengkhianatan oleh Gerakan 30 September, Panglima Kostrad Mayor Jenderal bergerak melakukan operasi penumpasan. Disusul pembasmian terhadap Partai Komunis Indonesia dan kelompok politik kiri lainnya. Sikap bersikeras Soekarno yang tak mau membubarkan PKI yang dianggap perancang Gerakan 30 September, menjadi pemicu gerakan generasi muda untuk menjatuhkan dirinya. Berakhir dengan kejatuhan Soekarno melalui Sidang Istimewa MPRS tahun 1967. Lahir satu rezim kekuasaan baru di bawah Jenderal Soeharto yang memberi tempat dan beberapa peran bagi tokoh sipil, namun pada hakekatnya Soeharto dan para jenderalnya lah yang menentukan kendali negara.

Konsep dwifungsi ABRI yang menempatkan militer Indonesia dalam dua fungsi, yakni fungsi pertahanan keamanan sekaligus fungsi sosial politik, pada awal pasca Soekarno dianggap sebagai solusi yang tepat di masa transisi. Dengan fungsi sosial politik perwira-perwira tentara yang dianggap lebih berkualitas, mengingat mereka berasal dari kelompok yang faktual paling terorganisir per saat itu, mendapat legitimasi untuk mengisi posisi sipil yang dianggap lemah. Partai-partai politik Nasakom minus PKI pasca Soekarno cenderung tak dipercayai karena telah ‘membuktikan’ diri lemah, tak mampu dan hanya bisa membeo di masa Soekarno. Demi seciprat bagian kekuasaan dan tetesan kenikmatan dari kekuasaan itu. Dari partai-partai tak berkepribadian seperti itu relatif tak mungkin lahir tokoh-tokoh berkualitas.

Tidak dibutuhkan tempo yang terlalu lama untuk melihat bahwa perwira-perwira yang ditugaskan menjalankan fungsi sospol secara kualitatif tak banyak melebihi kaum sipil. Bedanya, mereka memiliki jaringan dan solidaritas korsa yang sedikit lebih baik, dan terpenting, lebih kuat karena punya bedil. Pun tak dibutuhkan waktu yang lama bagi munculnya barisan koruptor dan pemanfaat kekuasaan di sekitar Jenderal Soeharto. Barisan ini terdiri dari jenderal dengan jasa kelas dua atau kelas tiga dalam pergolakan politik 1965, 1966 sampai pertengahan 1967, serta kalangan pengusaha pengejar fasilitas maupun para kerabat kalangan kekuasaan. Suatu waktu, bagi generasi baru perlu juga dihidangkan daftar nama kelompok penikmat kekuasaan ini, sekedar sebagai catatan untuk diketahui.

Sejalan dengan bertambahnya usia kekuasaan Soeharto, makin terlihat bahwa konsep dwifungsi ABRI yang tadinya cukup ideal dan bisa menjadi solusi transisi, bermutasi menjadi senjata mempertahankan posisi tentara dalam kekuasaan negara di segala tingkat dengan segala kenikmatannya. Sejumlah generasi baru ABRI makin mempersepsi konsep dwifungsi sebagai konsep warisan kekuasaan belaka, bukan dalam konteks pembangunan politik. Faktor tanggungjawab bagi bangsa dan negara makin tertinggal dan terlupakan. Meminjam pendapat kelompok pembaharu dari Bandung pertengahan 1960an hingga awal tahun 1970an, fungsi sospol ABRI bukan suatu fungsi permanen. Bila keadaan membutuhkan ia bisa dijalankan secara penuh, namun sebaliknya ia bisa ditekan hingga titik nol sejalan dengan terbangunnya pemerintahan yang makin demokratis dalam suatu negara dengan produktivitas tinggi. Pada saat itu semestinya penggunaan fungsi hankam menjadi lebih optimal digunakan untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara, serta menjaga keutuhan wilayah. Karena, dasar utama dari eksistensi negara adalah bagaimana membuat kedaulatan ada di tangan rakyat dalam satu sistem bernegara yang baik.

INDONESIA dalam 15 tahun terakhir ini –dengan penamaan retoris ‘masa reformasi’– menampilkan fakta kelompok sipil dan atau partai-partai politik yang secara bersama memiliki kekuasaan besar dan luas. Namun, masing-masing dengan porsi kecil sehingga tak ada yang mampu menciptakan mayoritas kerja di parlemen. Sebenarnya, ini sesuai dengan suasana traumatis yang diderita akibat pengalaman masa lampau, yaitu situasi alergi terhadap kekuasaan mayoritas dan serba kuat. Namun nyatanya, situasi banyak partai yang ‘sesuai’ dengan hasrat ‘biar kecil asal jadi raja’ di kelompok kecil sekalipun, yang diidap kebanyakan manusia Indonesia, ternyata tidak pas dan tak berguna dalam praktek politik. Banyaknya ‘raja-raja kecil’ justru hanya melahirkan persekongkolan-persekongkolan kekuasaan. Ibarat koalisi preman pasar, yang bersatu agar lebih kuat, namun setiap saat bisa tawuran ketika ada yang mulai serakah ingin mendapat porsi rezeki lebih banyak.

Rakyat yang jenuh dengan segala pertengkaran politik, perlombaan korupsi di kalangan kekuasaan, kelemahan kepemimpinan negara dan kepemimpinan sosial, mulai merindukan kembali pemimpin yang kuat seperti Jenderal Soeharto. Segala keburukan di masa Soeharto –korupsi, kolusi, nepotisme dan kekerasan terhadap kemanusiaan– mulai terhapus dari ingatan. Mirip kerinduan buta kalangan akar rumput terhadap masa kolonial yang disebut zaman normal, tatkala mengalami masa sulit ekonomi pada dua dekade awal masa kemerdekaan.

Mungkin saja negara ini kini masih ‘beruntung’. Meski kegagalan politik sudah merupakan suatu kenyataan, dan makin akan membesar dari hari ke hari, pada saat yang sama unsur militer juga sedang mengalami krisis kualitas kepemimpinan. Bila tak terjadi situasi yang sangat luarbiasa, takkan ada yang berani melakukan perubahan kekuasaan yang radikal. Tapi bila tak ada perubahan, kita semua akan tetap menderita bersamaan dengan makin merajalelanya korupsi dan ketidakadilan serta makin maraknya kekerasan antar sesama karena perbedaan suku, etnis, agama, sekte dan pilihan partai…. (socio-politica.com).

Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

‘KEGIGIHAN’ Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia dari waktu ke waktu, dalam banyak hal sebenarnya layak diapresiasi. Namun, ketika lembaga itu menjadi tidak cermat dan tergelincir menjadi sangat subyektif dan terkesan melakukan perpihakan berkadar tinggi dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam kaitan Peristiwa 1965-1966, lembaga tersebut saatnya untuk dipertanyakan. Apakah lembaga tersebut, khususnya, pada periode yang baru lalu terdiri dari sekumpulan manusia jujur dan punya integritas serta kapabilitas untuk menangani persoalan HAM di Indonesia? Dan bagaimana pula di masa mendatang ini?

JENDERAL SOEHARTO DI LUBANG BUAYA 6 OKTOBER 1965. “Perwira-perwira penerangan Angkatan Darat di Mabes AD menjalankan peran untuk mempertajam kemarahan rakyat melalui dramatisasi artifisial kekejaman Gerakan 30 September 1965 dalam peristiwa penculikan dan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya dinihari 1 Oktober 1965. Penggambaran berlebihan tentang kekejian anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya itu, di luar dugaan para perwira itu sendiri berhasil menyulut kemarahan masyarakat yang begitu dahsyat. Tetapi pada sisi lain, merupakan pula fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan atas para perwira Angkatan Darat itu memang terjadi, di ibukota maupun di Yogyakarta”. Foto AP.

Beberapa hari yang lalu, rekomendasi dan laporan penyelidikan Komnas HAM periode 2007-2012 tentang kejahatan HAM dalam Peristiwa 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Laporan mengenai Penembakan Misterius 1982-1985 dituangkan dalam sebuah ringkasan eksekutif 12 Juli 2012 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Ad Hoc Josep Adi Prasetyo. Sementara laporan 23 Juli 2012 mengenai pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965-1966 ditandangani Ketua Tim Ad Hoc Nur Kholis SH, MH. Komisioner yang disebut terakhir ini, ikut terpilih kembali sebagai anggota Komnas HAM 2012-2017. Belum kita ketahui, apakah serta merta 13 komisioner baru periode 2012-2017 secara keseluruhan akan melanjutkan kesimpulan dan rekomendasi 23 Juli 2012 sebagai sikap yang Continue reading Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17 Oktober 1952 (2)

DALAM uraian TB Simatupang –saat memberi ceramah di depan Group Diskusi UI, Agustus 1973– disampaikan bahwa kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.

ABDUL HARRIS NASUTION. “Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta….. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi”.

Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru –koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi– yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi.

Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa. Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam. Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia. Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.

-Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (5)

WAPERDAM (Wakil Perdana Menteri) I Laksamana Udara Tituler Dr Soebandrio, juga ‘menerima’ laporan tentang akan adanya gerakan internal Angkatan Darat pada tanggal 18 September 1965. Tapi sampai saatnya ia berkeliling ke beberapa daerah Indonesia Timur dan Jawa Timur, melakukan apa yang saat itu dikenal sebagai Turba (akronim untuk kegiatan ‘turun ke bawah’ meninjau daerah), tak ada kejadian apa pun. Soebandrio menuturkan, beberapa hari sebelum ia melakukan kunjungan serupa ke Sumatera tanggal 29 September, ada laporan dari empat orang sipil –Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang  dari IPKI– bahwa “pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta”.

Rapat itu membicarakan antara lain rencana pengesahan kabinet baru versi Dewan Jenderal. Muchlis, tutur Soebandrio, tak hanya bercerita tetapi juga membawa pita rekaman suara pembicaraan dalam rapat tersebut. Dalam rekaman itu ada suara Mayjen Soewondo Parman, “yang membacakan susunan kabinet”. Susunan kabinet versi rekaman itu, antara lain adalah Jenderal AH Nasution menjadi Perdana Menteri, sedang Letjen Ahmad Yani menempati posisi Waperdam I merangkap Menteri Pertahanan Keamanan. Posisi lainnya, Mayjen MT Harjono sebagai Menteri Luar Negeri, Mayjen Soeprapto sebagai Menteri Dalam Negeri, Mayjen Soewondo Parman sebagai Menteri Kehakiman dan Brigjen Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan. “Rekaman ini lantas saya serahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya”.

Mengenai keberadaan Dewan Jenderal ini, Soebandrio pertama kali mendengarnya dari wakilnya di BPI, Brigjen Sutarto. “Tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal angkatan darat yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap presiden”. Setelah melaporkannya kepada Presiden Soekarno, Soebandrio berusaha mencari tahu lebih dalam. “Saya bertanya langsung kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani tentang hal ini. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu dewan yang merancang kepangkatan di angkatan bersenjata dan bukan dewan yang akan melakukan kudeta”. Merasa tidak puas, Soebandrio bertanya pula kepada Brigjen Soepardjo, Pangkopur II dan mendapat jawaban, memang benar ada Dewan Jenderal dan bahkan sekarang sudah siap membentuk kabinet baru. Isu Dewan Jenderal ini sebenarnya terbuka kepada publik sejak awal April 1965 melalui pemberitaan ditemukannya ‘dokumen’ Gilchrist di villa seorang Amerika, Bill Palmer. Soebandrio menerima salinan dokumen itu melalui surat pos tanpa alamat pengirim pada tanggal 15 Mei 1965, dan melaporkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 25 Mei.

Kisah seorang perwira intel dan seorang mayor revolusioner

            Keberangkatan Soebandrio ke Sumatera 29 September, dimulai dengan kunjungan ke Lampung. Ikut bersama Soebandrio, Laksamana Muda Udara Sri Muljono Herlambang. Tapi saat Soebandrio menuju Medan, Sri Muljono Herlambang dan rombongan berpisah, menuju ke Bengkulu dan Padang. Soebandrio berada di Sumatera hingga 2 Oktober 1965.

SOKARNO TAHUN 1965-1966.“Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio? (Karikatur Harjadi S)

Pada hari yang sama, tanggal 29 September pagi, Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani, menghadap Presiden Soekarno. Kepada Soekarno, ia melaporkan adanya sejumlah pasukan yang didatangkan dari daerah ke Jakarta. Kesatuan-kesatuan itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, atas permintaan Panglima Kostrad. Dengan laporan Omar Dhani ini, makin terakumulasilah laporan-laporan tentang kegentingan situasi di kepala Presiden Soekarno. Beberapa waktu sebelumnya, Soebandrio yang membawahi Badan Pusat Intelijen juga menyampaikan ‘setumpuk’ laporan. Mengenai “adanya sekelompok perwira Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Presiden, yang menamakan diri Dewan Jenderal”. Soebandrio juga melaporkan apa yang disebutnya ‘bocoran’ rencana pembentukan kabinet baru. “Dengan akumulasi laporan yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal  terjadi”, tulis Soebandrio dalam naskah ‘Kesaksianku tentang G30S’. Tetapi benarkah Soekarno saat itu sebegitu ‘awam’nya terhadap situasi terakhir, seperti yang dikesankan Soebandrio?

Laksamana Omar Dhani sendiri, di hari-hari terakhir bulan September 1965, terkesan tidak mengetahui gambaran situasi dengan jelas. Panglima Angkatan Udara ini, sudah tahu mengenai beberapa hal, setidaknya ia telah mendengar sejumlah rumour terkait Dewan Jenderal, yang santer pada hari-hari terakhir. Tetapi, tampaknya masih perlu mencari tahu lebih banyak untuk mendapat gambaran lengkap perkembangan terakhir tentang apa yang akan terjadi. Ia mengetahui adanya pasukan-pasukan yang didatangkan dari daerah. Katanya, untuk defile 5 Oktober, tetapi ada beberapa kesatuan yang dilengkapi peluru tajam. Ia juga tahu rencana kedatangan Soepardjo yang bertugas di Kalimantan Barat, tetapi apa tujuannya ia merasa masih serba samar. Apakah terkait dengan kabar adanya masalah internal Angkatan Darat? Maka ia menugaskan Letnan Kolonel Heru Atmodjo untuk menemui dan mencari tahu apa maksud kedatangan Soepardjo ke Jakarta. (Omar Dhani, wawancara).

Bagaimana sampai Heru Atmodjo mendapat tugas langsung dari Menteri Panglima Angkatan Udara, jalan ceritanya adalah seperti penuturan Heru sendiri, yang untuk sebagian dipaparkan kembali berikut ini (dalam bukunya ‘Gerakan 30 September 1965’, PEC-Hasta Mitra-Tride, 2004). Berdasarkan penuturan itu, terlihat betapa sebenarnya Heru Atmodjo yang saat itu menjabat sebagai Asisten Direktur Intelijen Udara pada Markas Besar Angkatan Udara, telah menemukan informasi amat berharga tentang apa yang akan terjadi dalam dua puluh empat jam ke depan. Tetapi adalah pula karena jejak langkahnya mengumpulkan informasi itu, dan karena pertemuannya dengan para pelaksana gerakan tanggal 30 September dalam perjalanan tugasnya tersebut, ia kemudian ditangkap dan diadili. Melalui rangkaian sidang-sidang Mahmillub tahun 1966 ia akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Apalagi, namanya tercantum dalam daftar nama Dewan Revolusi yang diumumkan Letnan Kolonel Untung pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi.

Sekitar jam sepuluh pagi, tanggal 30 September 1965, Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo menerima dua perwira tinggi, Komodor Suwondo, Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi Madiun, dan Komodor Surjono, Inspektur Jenderal MBAU yang datang ke ruangannya. Kedua perwira itu menginformasikan tentang meningkatnya aksi-aksi demonstrasi massa PKI, dan sebaliknya meminta gambaran perkembangan situasi keamanan dan politik terbaru dari Heru Atmodjo. Setelah tamu-tamunya pergi, Heru menuju ke kantor Deputi Menteri Panglima Angkatan Udara, Komodor Dewanto. Sang komodor ternyata tak ada di tempat, karena berangkat mendadak bersama Menteri Panglima Angkatan Udara, “dengan tergesa-gesa”. Yang ada di kantor itu hanyalah perwira-perwira muda, di antaranya Letnan Dua Murdono. Ketika mendiskusikan perubahan situasi nasional dengan perwira muda itu, Heru tak memperoleh hal baru, kecuali saran untuk menemui Mayor Sujono yang dianggap kemungkinan tahu banyak perkembangan terbaru karena mempunyai hubungan dengan organisasi massa di luar AURI.

Sedikit berliku, Heru Atmodjo akhirnya berhasil bertemu Mayor Sujono di rumah salah satu isterinya di Pondok Gede, pukul 14.00 Kamis 30 September 1965. Perwira Menengah Angkatan Udara ini adalah Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan AURI yang bermarkas di daerah Kramat Jati, dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, namun tak termasuk wilayah pangkalan tersebut. Dari sang Mayor, Letnan Kolonel Heru mendapat gambaran bahwa Dewan Djenderal akan melakukan kudeta bersamaan dengan peringatan Hari Angkatan Bersenjata RI 5 Oktober 1965. Maka, sejumlah perwira Angkatan Darat dibantu perwira dari angkatan lainnya –yang disebut Sujono sebagai perwira-perwira progressif revolusioner– akan melakukan pencegahan dengan menangkap para jenderal dari Dewan Djenderal itu. Sujono menyebutkan nama-nama Jenderal Abdul Harris Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto, Mayor Jenderal Soewondo Parman, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo dan Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan.

Sujono juga mengungkapkan pasukan yang disiapkan: Brigade Infantri I yang dipimpin Kolonel A. Latief, Yon I Tjakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung, dibantu Yon Raiders 454 Diponegoro dan Yon Raiders 530 Brawidjaja. Selain pasukan tersebut, kata Sujono, juga akan ambil bagian para sukarelawan yang selama ini dilatihnya dekat Lubang Buaya Pondok Gede serta pasukan yang ada di bawah komandonya. Heru Atmodjo menghitung-hitung, akan ada pasukan yang berkekuatan kurang lebih satu divisi. Informasi terpenting yang diperoleh dari Sujono adalah bahwa mereka akan bergerak malam itu. Sujono juga menyebut bahwa Brigadir Jenderal Soepardjo sudah ada di Jakarta. Disebutnya nama Soepardjo membuat Heru tidak lagi menganggap informasi Sujono sebagai suatu klise –dan telah banyak didesas-desuskan– yang tidak dapat dijadikan sebagai elemen penting informasi menurut bahasa intelejen. “Tetapi ketika ia menyebut Brigjen Soepardjo, yang jenderal ini, yakni seorang Panglima Komando Tempur II di Kalimantan serta bawahan langsung Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dhani, sebagai Panglima Komando Siaga; faktor ini menjadi amat penting untuk mendapat konfirmasi dari Men/Pangau sendiri”.

Mayor Sujono juga menyatakan kepada Heru Atmodjo, bahwa gerakan para perwira Angkatan Darat ini adalah masalah intern Angkatan Darat, “akan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan revolusi secara keseluruhan”. Dan untuk itu ia bergabung dengan mereka, ia akan membantu mereka dengan atau tanpa restu Menteri Panglima Angkatan Udara, atas tanggung jawab pribadi selaku seorang “insan revolusioner”. Sujono juga mengungkapkan bahwa gerakan akan menggunakan Gedung Penas sebagai Senko (Sentral Komando), serta akan menggunakan kendaraan dan senjata dari gudang milik AURI.

Berlanjut ke Bagian 6

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (2)

SEBENARNYA struktur politik Nasakom yang diintrodusir Soekarno setelah Dekrit 5 Juli 1959, sebagai ‘jawaban’  terhadap sistem multi partai dalam kehidupan demokrasi parlementer sebelumnya, pada hakekatnya juga mengarah kepada sistem kepartaian berkaki tiga. Dalam struktur Nasakom terjadi pengelompokan partai-partai berdasar ideologi nasionalisme, agama dan komunisme. Namun di luar struktur Nasakom sebagai kenyataan objektif terdapat kekuatan politik keempat, yakni ABRI di bawah Jenderal AH Nasution. Tetapi sebenarnya secara faktual, ABRI sebagai kekuatan politik kala itu tak lain hanyalah Angkatan Darat, karena angkatan yang lain cenderung tidak ber’politik’ namun pimpinan-pimpinannya adalah Soekarnois dan bahkan ada yang cenderung Soekarnois plus kiri. Angkatan Darat sendiri pun tidak sepenuhnya padu, antara lain oleh adanya penyusupan yang signifikan oleh Biro Khusus PKI dan atau adanya sejumlah jenderal akrobatik di sekitar Soekarno.

PENDERITAAN SOSIAL-EKONOMI DI GURUN POLITIK. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik……… (Karikatur 1967, T. Sutanto)

Dalam kelompok nasionalisme semestinya selain PNI ada partai-partai seperti IPKI dan Partindo, tetapi dalam praktek politik Nasakom praktis hanya PNI yang mewakili kelompok nasionalis, sedang Partindo lebih ke kiri dan berimpit dengan PKI. Dalam kelompok ideologi agama, selain partai-partai Islam NU, PSII, Perti ada partai-partai seperti Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katolik. Gabungan ini sewaktu-waktu memiliki masalah tersendiri, tetapi sejauh yang terlihat di masa Nasakom, perbedaan di antara partai-partai agama ini bisa teredam dengan adanya PKI sebagai ‘musuh’ bersama. Pasca Nasakom, ‘musuh’ bersama hilang, sehingga dalam penyederhanaan kepartaian ala Soeharto, Parkindo dan Partai Katolik digabungkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Sementara itu dalam kelompok Kom dari Nasakom, semestinya Partai Murba (Chairul Saleh) yang sosialistis-kerakyatan ada di dalamnya, namun nyatanya ia ditempatkan PKI (DN Aidit) sebagai seteru yang cenderung dieliminasi.

Bentuk-bentuk sederhana kepartaian –terlepas dari apakah sudah tepat atau belum tepat menjawab kebutuhan kehidupan politik Indonesia– yang sudah tercapai di masa Soeharto, bahkan pada dasarnya juga sudah menjadi tendensi di masa Soekarno, ambruk begitu saja di masa pasca Soeharto. Berakar pada tradisi tumpas kelor dalam kultur kekuasaan Nusantara, berlaku teori pendulum yang seringkali dipinjam dan digunakan almarhum Jenderal Ali Moertopo untuk menggambarkan perilaku politik dan perilaku sosial manusia Indonesia. Orang Indonesia itu seringkali mengayun ke kiri dan ke kanan bagaikan pendulum dan tak pernah singgah di tengah. Ada these, ada antithese, tapi cenderung gagal menciptakan synthesis.

Saat Soekarno dijatuhkan, terjadi tumpas kelor lahir-batin, apa yang berbau Soekarno disapu sampai rata tanah. Dalam kultur Nusantara masa lampau, raja yang digulingkan akan dibasmi habis bersama seluruh keturunannya dan bahkan namanya tak boleh disebut-sebut lagi. Beberapa konsep bernegara masa Soekarno yang sebenarnya masih berkategori positif tertumpas bersama konsep-konsep ekses yang tercipta dalam praktek Nasakom. Sikap ‘ketat’ Soekarno terhadap pengaruh dan modal asing, ditukar dengan politik buka pintu total tanpa batas tanpa filter lagi di masa kekuasaan Soeharto. Tapi setelah Soeharto terpinggirkan, giliran sejumlah konsep dan langkah pembangunan yang masih berguna, ditinggalkan total, sehingga kontinuitas proses sosial-politik terputus dan bukannya sekedar dikoreksi.

Sampai-sampai, terminologi pembangunan enggan untuk digunakan. Pembangunan ekonomi misalnya diganti dengan pengembangan ekonomi. Tampaknya orang sedikit traumatis dengan pengalaman masa Soeharto, bahwa kata pembangunan tidak lagi sekedar bermakna pembangunan ekonomi atau pembangunan dalam makna development, melainkan sudah berkonotasi sebagai bagian penting pengokohan penegakan kekuasaan Jenderal Soeharto semata. Pendek kata istilah pembangunan tidak lagi digunakan sebagai kata padanan bagi kegiatan mengembangkan berbagai bidang kehidupan. Sistem GBHN yang sebenarnya berfaedah bila digunakan dengan tepat dalam kerangka perencanaan tujuan pembangunan, ditinggalkan, karena ia adalah istilah masa lampau. Padahal, rakyat perlu mengetahui program apa yang akan dilaksanakan pemerintah dalam jangka waktu tertentu, katakanlah per lima tahun, sehingga bisa ikut mengawasi apakah betul rencana atau program itu dijalankan ataulah tidak dilakukan perwujudannya.

Bahkan, Pancasila yang adalah ideologi negara, dimasukkan ke dalam lemari, dan baru belakangan ini digunakan kembali, diakui kebenaran nilai-nilai filosofis dan kegunaannya sebagai pegangan moral kehidupan bernegara. Upaya mengingatkan kembali pada Pancasila, dilakukan antara lain oleh tokoh Muhammadiyah Syamsul Ma’arif dan sejumlah akademisi. Tapi kalangan partai politik dan kekuasaan seakan tetap alergi menyebutnya, sementara perilaku sehari-harinya juga tak punya sentuhan dan sinergi apapun dengan ideologi negara itu. Boleh coba dihitung, sekedar sebagai contoh, berapa kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara mengenai Pancasila selama enam setengah tahun berkuasa. Coba hitung pula, sebagai contoh perilaku, berapa pemimpin pemerintahan dan institusi politik yang segera beristeri lebih dari satu (dan ada yang memaksimalkan sampai empat dengan memanfaatkan ajaran agama), sesuatu yang tak dimungkinkan oleh suatu peraturan pemerintah berdasarkan UU Perkawinan yang ketat di masa Soeharto.

Pembalikan yang luar biasa, pasca Soeharto, Indonesia kembali ke sistem multi partai, mengulangi pengalaman ‘buruk’ politik kepartaian tahun 1950an sekitar Pemilihan Umum tahun 1955. Lengkap dengan praktek politik parlementer di DPR dan Konstituante. Tidak belajar dari pengalaman masa lampau, segala ciri dan perilaku politik tahun 1950-1959 itu diulangi hampir seutuhnya dengan segala eksesnya. Ratusan partai baru terbentuk, meskipun untuk sebagian besar tidak keruan juntrungan masud dan tujuan perjuangannya, dan lebih banyak karena dorongan ingin memiliki partai sendiri, biar kecil asal nanti, siapa tahu, bisa jadi raja. Setiap pemilihan umum ‘masa reformasi’ diikuti puluhan partai peserta.

Dan bersamaan dengan itu, semakin banyak orang yang merasa mampu menjadi presiden, walau sebagian besar hanya sekedar berangan-angan. Tapi pada waktu yang sama, mencengangkan betapa kita mengalami krisis kepemimpinan berkualitas, dan selalu saja kita dihadapkan pada pilihan the bad among the worst, bukan best of the best. Alhasil, kita tak berkesempatan memperoleh yang terbaik di antara yang terbaik. Politik uang dan adu kuat otot (dalam bentuk kerumunan) serta politik pencitraan (yang sayangnya kerapkali penuh kebohongan) mendapat tempat seluas-luasnya.

Pada sisi lain, rakyat yang dari masa ke masa tidak pernah disentuh dengan upaya pencerdasan secara bersungguh-sungguh, tidak cukup memiliki kemampuan kualitatif memilih pemimpin dengan baik. Mengulangi kepahitan dalam lima tahun terakhir masa kekuasaan Soekarno dan berlanjut pada bagian awal masa Soeharto, kini pun rakyat Indonesia seakan-akan masih merangkak dalam penderitaan sosial-ekonomi di tengah gurun politik. Bagaimana bisa memilih dengan baik, jika berada dalam keadaan: Bodoh, lapar dan serba berkekurangan, setiap hari sesak nafas dalam situasi penuh kekerasan, merasa tak aman dalam persentuhan sehari-hari dalam relasi sosial maupun relasi dengan sesama yang seagama maupun tidak seagama, merasa terancam dan tak terlindungi oleh hukum dan keadilan, serta kelangkaan contoh panutan berbudi pekerti, berakumulasi sebagai timbunan menuju malapetaka sosiologis panjang yang entah kapan akan berakhir?

Berlanjut ke Bagian 3

Koalisi ala SBY: Pembaharuan Politik Yang Tersesat di Jalan Politik Pragmatis (1)

SEKILAS PINTAS, koalisi yang diintrodusir dan dijalankan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menopang kekuasaan dan pemerintahannya di periode kedua (2009-2014) ini, ada persamaannya dengan gagasan dwi group –yang diharapkan berproses lanjut menuju sistem dwi partai– yang dilontarkan Mayor Jenderal HR Dharsono bersama ‘rakyat’ Jawa Barat di kwartal pertama 1968. Tetapi dengan suatu telaah lanjut, akan segera terlihat, bahwa meskipun kedua gagasan itu bisa sama-sama menghasilkan suatu struktur politik baru yang lebih sederhana, terdapat sejumlah perbedaan esensial.

Gagasan dwi group (kemudian menjadi dwi partai) merupakan bagian dari gerakan pembaharuan struktur politik yang menggelinding masih pada bagian-bagian awal masa kekuasaan Soeharto –sejak ia masih menjabat sebagai Pejabat Presiden. Sejumlah kesatuan aksi yang baru saja usai dengan gerakan menurunkan Soekarno dari kekuasaannya –yang bermuara pada Sidang Istimewa MPRS 1967– beberapa bulan sebelumnya, di awal 1968 menuntut perombakan struktur politik Nasakom (Orde Lama), menuju “pola kehidupan politik baru yang lebih efisien dan berlandaskan program kesejahteraan rakyat”. Di antara penandatangan tercantum nama Rahman Tolleng yang waktu itu adalah Ketua Periodik Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat. Namun, gerakan perombakan struktur politik yang lebih deras, menggelinding lanjut di Jawa Barat, terutama melalui peranan Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono. Salah satu media utama pembawa tuntutan perombakan struktur politik waktu itu adalah Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pemimpin redaksinya saat itu adalah Rahman Tolleng.

Gagasan dwi partai mengkristal pada Musyawarah Rakyat Jawa Barat III (7 Maret 1968). Menilai sistem multi partai telah gagal total, musyawarah memutuskan bahwa sistem dwi partai akan segera dilaksanakan di Jawa Barat. Untuk itu, terlebih dahulu akan disusun dua program dalam waktu secepat-cepatnya oleh suatu panitia yang akan dibentuk dalam waktu singkat. Selanjutnya, kedua program tersebut akan diajukan untuk dinilai dan dipilih oleh rakyat Jawa Barat, sehingga akan terbentuk dua kelompok yang berdasarkan program. Pengelompokan itu akan menuju ke arah dua partai (dwi partai). Musyawarah juga ‘menugaskan’ wakil-wakil rakyat yang mewakili Jawa Barat, menyuarakan gagasan itu di Sidang Umum ke-5 MPRS yang saat itu akan berlangsung di Jakarta. Tetapi gagasan dwi partai ini kandas pada akhirnya.

Konsep dwi partai menghadapi resistensi yang amat kuat dari partai-partai ideologi yang ada, ex struktur Nasakom minus PKI dan Partindo. Partai-partai ex Nasakom itu antara lain: PNI, NU, PSII, Perti, Murba, Parkindo, Partai Katolik dan IPKI. Di luar partai-partai ada Sekber Golkar yang terbentuk Oktober 1964. Ada juga ex Masjumi yang berusaha eksis kembali dan akhirnya ‘tersalurkan’ melalui pembentukan Parmusi yang kemudian bisa ikut Pemilihan Umum 1971. Di kalangan ABRI pun, kecuali di lingkungan Divisi Siliwangi, gagasan dwi partai untuk sebagian besar disambut dengan tanda tanya, dan bahkan ada yang serta merta menolaknya, terutama para jenderal di lingkaran Soeharto. Dua jenderal yang dikenal kedekatan idealismenya dengan Mayor Jenderal Hartono Rekso Dharsono, yakni Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan Mayor Jenderal Kemal Idris, walaupun tidak pernah menyatakan menolak gagasan tersebut, sangat membatasi diri dalam memberi tanggapan maupun menggunakan terminologi dwi partai –untuk tidak mengatakannya tak pernah menggunakan terminologi itu. Akan tetapi seperti halnya dengan Mayor Jenderal HR Dharsono, Sarwo dan Kemal, sama-sama senantiasa menyerukan perlunya pembaharuan politik di Indonesia.

Menurut Dr Midian Sirait, pada tahun 1969-1972, di medan kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Seperti yang dicatat di atas, dari KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) Bandung, sebelumnya (1968) muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Sedikit banyaknya gagasan ini berasal mula dari Rahman Tolleng juga. Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.

Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak dwi partai, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. “Semestinya, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut”, kata Dr Midian Sirait. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang”.

Sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan di sebuah forum di Bandung (Februari 1968) oleh tokoh ex Masjumi, Sjafruddin Prawiranegara. “Bubarkan semua partai”, kata Sjafruddin, lalu “Bentuk tiga partai. Satu partai nasionalis, satu partai agama dan satu partai netral”. Sjafruddin Prawiranegara tak mau menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan partai netral –dan hanya berkata, “ya, partai netral-lah”– tetapi para tokoh yang hadir di forum itu, antara lain Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Adam Malik, TB Simatupang dan Sultan Hamengku Buwono IX, menganalisa bahwa yang dimaksudkannya adalah partai sosialis, namun ia enggan menyebutkannya. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Hanya sayang bahwa dasar pengelompokan itu lebih ideologistis (kelompok ideologi politik Islam versus kelompok ‘gado-gado’ ideologi nasionalistis plus non Islam, dan di luar keduanya adalah kelompok kekaryaan. Bukan berdasar kepada orientasi program (pembangunan).

Berlanjut ke Bagian 2

Partai NU Bersama KH Idham Chalid di Suatu Masa (3)

“Bersama PPP, KH Idham Chalid tetap menjadi tokoh utama dan masih berkali-kali menduduki posisi dalam kabinet-kabinet Soeharto dalam beberapa periode. Itulah kelebihan KH Idham Chalid, yang bisa eksis dan berkibar bersama NU di masa ‘kediktatoran’ Soekarno maupun di masa otoritarian Soeharto”.

Harapan yang kandas

GOLKAR tampil sebagai pemenang dengan skor yang mencengangkan pada Pemilihan Umum 1971. Kemenangan ini memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto. Belum lagi DPR baru  hasil Pemilu 1971  dilantik dan berfungsi tetapi corak, langgam dan lalu lintas politik telah berubah. Dan terasa sekali betapa pemerintahan sudah menjadi ‘lebih kokoh’ dan lebih berkuasa segera setelah usainya pemilihan umum. Sebaliknya, partai-partai yang tidak menjadi pemenang, terpuruk dan kehilangan daya untuk melakukan bargaining position. Apalagi setelah pelantikan DPR hasil pemilihan umum, pada 28 Oktober 1971. Betapa tidak, Fraksi Karya Pembangunan yang mewakili Golkar berkekuatan 236 orang, ditambah dengan Fraksi ABRI dan anggota non ABRI yang diangkat sebanyak 100 orang, menjadi 336 orang dari 460 ‘wakil rakyat’, yang berarti memiliki mayoritas kerja sebesar 73 persen lebih.

Di balik kemenangan Golkar ini, sesungguhnya teronggok kekecewaan yang mendalam dari partai-partai politik ideologi Islam terhadap tentara. Tatkala ada dalam ‘kebersamaan’ dengan ABRI pada saat menghadapi kaum Komunis hingga tumbangnya Soekarno, sejumlah pemimpin partai politik Islam telah berharap bahwa cepat atau lambat mereka akan dipilih oleh ABRI untuk bermitra dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan pasca Soekarno. Harapan ini terutama dimiliki oleh para pemimpin NU, seperti KH Idham Chalid dan kawan-kawan, mengingat ‘besar’nya peranan massa NU, teristimewa Banser (Barisan Ansor Serba Guna), dalam pembasmian PKI yang berdarah-darah.

Lebih dari sekedar berharap, tokoh-tokoh partai Islam, sebelum Pemilihan Umum 1971, secara optimistik menghitung bahwa dalam Pemilu itu nanti, dengan tidak hadirnya lagi PKI dan melemahnya PNI, kemenangan dengan sendirinya jatuh ke tangan mereka. Mengacu kepada Pemilihan Umum 1955, secara kumulatif partai-partai Islam memperoleh 119 kursi parlemen dari 272 kursi hasil pemilu, yang berarti 43,75 persen. Dua besar partai Islam, Masjumi memperoleh 60 kursi dan NU 47, sisanya dari Perti dan PSII. Sementara itu, PNI memperoleh 58 kursi dan PKI 32 kursi di luar 7 orang yang dicalonkan PKI dan masuk ke parlemen sebagai Fraksi Pembangunan. Dibubarkannya PKI dan melemahnya PNI, diperhitungkan setidak-tidaknya memberi peluang tambahan kursi dan atau peluang berupa prosentase besar dari kursi 1971, diyakini akan bisa melampaui 50 persen. Dengan demikian keikutsertaan dalam pengendalian pemerintahan pasca 1971 bisa dalam genggaman.

Harapan dan perhitungan tersebut, membuat partai-partai Islam lebih antusias untuk diselenggarakannya suatu pemilihan umum yang lebih cepat setelah Soekarno jatuh. Sementara sebaliknya, kelompok independen, partai-partai non ideologi Islam dan juga tentara, meskipun sama-sama menghendaki pemilihan umum, cenderung untuk tidak terburu-buru. Suatu pemilihan umum yang lebih cepat dan terburu-buru dianggap hanya akan menguntungkan partai-partai ideologistis yang berasal dari struktur politik lama warisan Orde Lama dalam sistim Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Tetapi sebenarnya sebelum Pemilu 1971, bukannya tak pernah muncul sejumlah kekecewaan di kalangan politisi partai Islam. Kekecewaan pertama sebenarnya telah sempat menyentak kelompok politik Islam, tatkala pada Desember 1966 pihak militer –melalui pernyataan salah seorang jenderal utama–  mengeluarkan penilaian yang sama dengan ‘vonnis’ yang pernah dijatuhkan Soekarno, bahwa Masjumi adalah partai terlarang dan termasuk partai yang menyimpang dari Pancasila. Pada waktu-waktu berikutnya, makin jelas bahwa tentara menghalangi kembali tampilnya Masjumi. Melalui liku-liku proses yang berkepanjangan dan penuh trik dan intrik yang berlaku timbal balik, titik kompromi tercapai. Dikeluarkan persetujuan berdiri bagi satu partai Islam yang ‘seolah-olah’ untuk menyalurkan pengikut-pengikut Masjumi, namun dengan syarat tak boleh menampilkan tokoh-tokoh utama Masjumi seperti Mohammad Roem dan kawan-kawan dalam kepengurusan dan struktur partai. Sehingga, roh Masjumi tidak dapat melakukan reinkarnasi sempurna. Tokoh kompromi yang muncul memimpin partai baru yang bernama Parmusi itu adalah Mintaredja SH.

Salah seorang Jenderal yang dianggap penasehat politik utama Soeharto yang sangat menentang comebacknya Masjumi adalah Mayjen Ali Moertopo. Penulis-penulis Barat seperti Richard Robinson dan Robert Heffner, menggambarkan Ali Moertopo yang merupakan seorang pembantu terdekat Soeharto pada tahun-tahun pertama Orde Baru, sebagai tokoh kekuasaan anti partai politik Islam. Ali Moertopo yang “berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia-Tionghoa dan Katolik” adalah tokoh “teknokrat militer yang berpandangan politik nasional sekuler”, sehingga sikapnya itu tidak mengherankan. Moertopo berpandangan bahwa untuk membatasi pengaruh politisi Islam dan peran partai ideologis lainnya, harus dicegah terulangnya persaingan politik yang sengit dan menggoyahkan kehidupan bernegara seperti pada tahun 1950-an. Menurut uraian para penulis asing ini, Ali Moertopo dan para petinggi rezim Soeharto yang lain sepenuhnya yakin bahwa Indonesia akan mencapai kestabilan hanya bila politik dijalankan untuk dan berdasarkan keterwakilan kepentingan yang rasional, dan bukannya kepentingan emosional berdasarkan sentimen agama atau kesukuan yang primordial.

Namun dapat dicatat bahwa sikap Ali Moertopo ini, dalam perkembangan situasi berikutnya, tampak mengalami perubahan karena pertimbangan taktis. Setelah beberapa kegagalan dalam mengantisipasi Pemilihan Umum 1971, kelompok militan Islam mulai tidak sabar untuk mengambil alih permainan dan muncul dengan gerakan-gerakan sistimatis yang kelihatannya bisa semakin membahayakan rezim. Adalah menarik bahwa KH Idham Chalid tetap berhasil menjaga jarak dengan kelompok militan Islam, sehingga NU tak pernah ‘terlalu’ dimusuhi oleh kalangan kekuasaan, khususnya tentara. Namun, pada sisi sebaliknya NU tetap diterima dengan baik sebagai kawan sebarisan oleh kekuatan politik Islam lainnya, meskipun memilih berdiri di bagian belakang.

Menyadari bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi jangka panjang rezim Soeharto adalah dari kelompok Islam yang menurut jumlahnya adalah mayoritas, maka pilihannya adalah merangkul kalau tidak mungkin ‘dihancurkan’. Atau bisa juga, merangkul di sisi kiri dan menghancurkan di sisi kanan. Apalagi, kelompok politik dan kepentingan yang membawakan nama Islam pun sebenarnya terbelah antara mereka yang bergaris keras dan mereka yang bergaris lunak. Dengan cerdik Ali Moertopo bersama Jenderal Benny Moerdani memanfaatkan keadaan. Pada satu sisi mereka merekrut kelompok Islam garis keras yang sebelumnya terpinggirkan dan terlibat kasus DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia), dan memunculkan gerakan Komando Jihad, yang menciptakan opini negatif terhadap gerakan Islam garis keras. Pada sisi yang lain mereka merekrut tokoh-tokoh politik Islam yang moderat maupun yang opportunis ke dalam jaringan-jaringan. Dalam hal ini NU terbilang. Sejak Ali Moertopo, dengan posisi sebagai Aspri (Asisten Pribadi) Presiden dan pimpinan Opsus (Operasi Khusus), semakin kuat dan semakin masuk ke jalur kendali eksekutif, polarisasi kekuasaan di sekitar Soeharto mulai tampak makin menajam.

Dengan CSIS (Centre for Strategic & International Studies) –pusat studi dan kajian strategis yang didirikan pada tahun 1971– Ali Moertopo dan kelompoknya makin tajam dalam membaca dan merancang situasi, sehingga Opsus bahkan mulai menggeser fungsi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang dipimpin Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Kelompok Ali menjadi amat unggul dalam mengembangkan isu-isu pengarah maupun pemancing ke arah perubahan situasi yang dikehendaki dalam skenario politik. Golkar menjadi salah satu bagian dalam rancangan skenario politik Ali Moertopo kala itu.

Keluhan utama yang secara klasik disampaikan para politisi partai Islam, khususnya kelompok seaspirasi dengan ex Masjumi, adalah bahwa sepak terjang mereka dihambat dengan cara-cara curang oleh tentara. Tokoh-tokoh NU, terutama KH Idham Chalid, bersikap lebih adem ayem. Tudingan terhadap tentara ini sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Tetapi tudingan ini seakan mendapat pembenaran, dibelakang hari, ketika setelah pensiun, mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, pernah dikutip oleh Adam Schwarz (buku ‘A Nation in Waiting’) penilaiannya mengenai kemenangan Golkar tahun 1971 bahwa “kalau mengandalkan kepada kemampuan Golkar sendiri, tanpa topangan dari ABRI, maka partai-partai Islam lah yang akan menang”. “Saya dapat memastikan itu”. Sekali lagi, tentu hal ini masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi terlepas dari itu, nyatanya memang partai-partai politik berideologi Islam tersebut, mengalami pencapaian yang di luar harapan mereka sendiri. NU yang pada tahun 1955 memperoleh 47 kursi, pada pemilu 1971 memperoleh 58 kursi, tapi jelas sangat berbeda posisinya karena pada tahun 1971 itu kursi DPR adalah 460. Jadi NU hanya memperoleh 12,6 %. Bandingkan dengan tahun 1955 yang sebesar 17,28%. Sementara itu Parmusi yang dianggap penjelmaan Masjumi hanya memperoleh 24 kursi (5,21%), sedangkan Masjumi tahun 1955 memperoleh perwakilan 22,05%, karena perolehan kursi 60 dan berada pada tempat teratas melebihi PNI yang memperoleh 58 kursi.

Sederhana, namun tak alamiah

SEBENARNYA, harapan partai-partai Islam untuk unggul setelah jatuhnya Soekarno, sehingga bisa bermitra dalam kekuasaan negara dengan tentara, memang tidak terlalu realistis. Memang benar menurut statistik sekitar 90% rakyat Indonesia tercatat beragama Islam. Tetapi, mereka yang beragama Islam itu tidak dengan sendirinya seluruhnya setuju dengan dibawa-bawanya nama Islam dalam politik untuk memperebutkan kekuasaan yang duniawi. Kalangan cendekiawan Islam sendiri misalnya, tak kurang banyaknya yang menyerukan keberatan terhadap pengatasnamaan Islam ini dalam berpolitik. Selain itu, harus disadari juga adanya kaum abangan dalam struktur masyarakat Indonesia, yang biasanya lebih bersimpati kepada kekuatan politik yang beraliran nasionalis tanpa membawa embel-embel agama dan sikap-sikap fanatis. Setelah terjadi Peristiwa G30S, merupakan fakta yang berkaitan untuk dicatat, bahwa pengikut-pengikut atau simpatisan PKI dan demikian pula simpatisan PNI Asu (Ali Surachman), yang untuk sebagian juga beragama Islam ternyata melakukan eksodus dalam rangka mencari perlindungan baru, berpindah agama menjadi Kristiani, ditambah sedikit Hindu dan Budha. Jelas, tidak tampilnya PKI dan PNI Asu dalam pemilihan umum 1971, bukan berarti partai-partai Islam akan mendapat benefit, kecuali bahwa jumlah pesaing menurut kuantita kepartaian berkurang.

Dengan pengutamaan kekuasaan demi kekuasaan, seluruh kekuatan politik yang ada harus disesuaikan untuk fungsi penopang bagi kekuasaan di bawah Jenderal Soeharto. Setelah pemilihan umum 1971 usai, dilakukan penyederhanaan kepartaian. Sebenarnya, dengan hasil pemilihan umum, secara alamiah melalui suatu proses yang wajar terbuka pintu bagi terjadinya penyederhanaan dengan sendirinya akibat ‘paksaan keadaan objektif’. Partai-partai berideologi Islam tidak berhasil memperoleh suara yang signifikan untuk mendapat share dalam kekuasaan pemerintahan. Dengan kumulatif 94 kursi, secara objektif mereka tak ‘dibutuhkan’ dalam kekuasaan pemerintahan oleh Golkar dan ABRI yang memiliki 336 kursi dari 460 kursi di DPR. Kalau mereka tidak diajak, mau tak mau mereka berada di luar, dan mungkin mereka merasa perlu bergabung satu sama lain. Setidak-tidaknya bagi Perti yang hanya memperoleh 2 kursi dan PSII yang hanya memperoleh 10 kursi, tentu harus berpikir untuk menggabungkan diri kalau tidak mau hilang dari peta politik. Tidak selalu  harus bergabung berdasarkan persamaan ideologi Islam. Hal yang sama bagi partai-partai lain, IPKI dan Murba yang tak memperoleh kursi DPR samasekali. Keharusan penggabungan secara objektif pun harus dipertimbangkan oleh PNI yang mendapat hanya 20 kursi dan oleh partai-partai Kristen yang juga kebagian sedikit saja kursi, Partai Katolik 3 kursi dan Partai Kristen Indonesia yang memperoleh 7 kursi.

Namun sayangnya, Soeharto yang sudah lebih kokoh kekuasaannya, memilih melakukan penyederhanaan yang artifisial dan ‘dipaksakan’, setidaknya bukan sepenuhnya karena keikhlasan, melahirkan PPP sebagai gabungan partai-partai ideologi Islam dan Partai Demokrasi Indonesia untuk sisanya yang campur aduk antara kaum nasionalis dan Kristen. Suatu pengelompokan yang kala itu betul-betul debatable –namun perdebatan berlangsung di bawah permukaan saja. Terlihat bahwa dalam tubuh PPP bagaimanapun yang dominan adalah unsur-unsur NU mengatasi unsur lainnya, khususnya unsur ex Parmusi. Bersama PPP, KH Idham Chalid tetap menjadi tokoh utama dan masih berkali-kali menduduki posisi dalam kabinet-kabinet Soeharto dalam beberapa periode. Itulah kelebihan KH Idham Chalid, yang bisa eksis dan berkibar bersama NU di masa ‘kediktatoran’ Soekarno maupun di masa otoritarian Soeharto.

Tentara Dalam Kancah Politik 1952-1959 (3)

Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam.

Bersamaan dengan tersisihnya AH Nasution, KSAP Tahi Bonar Simatupang juga mengundurkan diri, dan itulah pula sebenarnya akhir dari karir militernya, meskipun secara formal baru pada tahun 1959 ia meninggalkan dinas aktif militernya. Sebagai KSAD baru diangkat Kolonel Bambang Soegeng. Tak ada pengganti untuk Simatupang, karena jabatan KSAP untuk selanjutnya ditiadakan. Tapi Simatupang –bersama dengan konsep dan buah pikiran Nasution– melalui penyampaian uraian dan tulisan-tulisannya ikut mewariskan pemikiran yang memberi ilham bagi konsep Dwifungsi ABRI dikemudian hari.

Menurut Simatupang, kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada. Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi, selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah, melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”. Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial pemerintahan negara.

Pergolakan internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja. Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21 hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut, secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution, namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda pendapat dan sikap.

Pemerintah mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir, mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953. Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.

Masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru – koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi – yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38 hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir, berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat, diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution. Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan 272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember 1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor. Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR dengan 2 kursi perwakilan.

Dalam masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta.

Pemilihan Umum 1955 di satu pihak memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi. Meneruskan pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya, dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya bangsa.

Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi keluhuran Islam.

Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk Indonesia. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri, tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia.

Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari 272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi. Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272. Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game, dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan argumentasi rasional.

Berlanjut ke Bagian 4

Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (1)

”10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen”.

Antara konsolidasi dan akrobat politik

DALAM bulan Oktober 1965, hanya selang beberapa hari setelah Peristiwa Gerakan 30 September, beberapa organisasi mahasiswa antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal), dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) mendesak agar PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah yang menghimpun organisasi mahasiswa ekstra universiter di masa Orde Lama Soekarno –yang didominasi oleh organisasi-organisasi seperti CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI Asu (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang pro PNI Ali Surachman), Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia)– untuk segera mengadakan kongres. Desakan para mahasiswa ‘garis seberang’ itu ditolak oleh GMNI yang dipimpin oleh Bambang Kusnohadi dan organisasi mahasiswa ideologi kiri lainnya, dengan alasan masih menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno pasca Peristiwa 30 September 1965.

Beberapa organisasi pengusul kongres akhirnya mengultimatum akan menyelenggarakan sendiri kongres bilamana pimpinan PPMI tidak mau melaksanakan kongres tersebut. Mendapat ultimatum, pimpinan PPMI melaporkan hal tersebut kepada Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) Dr Sjarif Thajeb, dengan menambahkan bumbu insinuasi bahwa Somal merencanakan membuat huru-hara dalam kongres pada saat kongres itu berlangsung. Pada awalnya Sjarif Thajeb percaya kepada insinuasi ini, lalu memanggil pimpinan Somal dan meminta mereka jangan dulu memaksakan kongres. Setelah menerima penjelasan dari Somal, Sjarif Thajeb lalu menyarankan pertemuan antara seluruh organisasi mahasiswa, pada 25 Oktober 1965 di kediamannya. Namun, pertemuan itu ternyata berlangsung tanpa kehadiran CGMI, Germindo dan Perhimi yang adalah organisasi mahasiswa onderbouw PKI dan partai serta organisasi ideologi kiri lainnya. Hanya GMNI yang hadir berhadapan dengan organisasi-organisasi pengusul Kongres.

Pertemuan di rumah kediaman Sjarif Thajeb ini berlangsung alot. Para pemimpin organisasi mahasiswa menyepakati membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia disingkat KAMI, dengan program utama ‘mengganyang’ Gerakan 30 September dan PKI. Dalam pertemuan itu, Sjarif Thajeb memperlihatkan kebimbangan-kebimbangan, antara lain terkait dengan kedekatannya saat itu dengan Soekarno karena bagaimanapun ia adalah menteri Soekarno. Namun di sisi lain terjadi arus perkembangan baru yang sebenarnya memiliki perspektif perubahan yang menggoda sebagai ‘investasi’ masa depan namun pada tahap itu mengarah kepada penentangan terhadap Soekarno sebagaimana yang ditunjukkan oleh para mahasiswa. Maka, agaknya seakan satu jalan tengah, Sjarif Thajeb lalu ‘bersikeras’ agar GMNI duduk sebagai pimpinan dalam wadah baru kemahasiswaan, KAMI, yang akan dibentuk itu dan memadukannya dengan organisasi-organisasi lainnya.

Saat itu, seperti diungkapkan Marsillam Simanjuntak, Sjarif Thajeb mempunyai jalan pikiran atau patron yang menilai satu organisasi berdasarkan ranking urutan partai yang menjadi induk organisasi tersebut. Karena PNI formal adalah partai yang terbesar, maka GMNI pun ditempatkannya di urutan teratas. Sebaliknya, HMI yang sebenarnya justru adalah organisasi mahasiswa yang terbesar massanya, diabaikan Sjarif Thajeb, karena HMI memang tidak punya induk politik. PMII yang anggotanya amat sedikit, apalagi dibandingkan HMI, mendapat posisi karena ‘anak’ Partai NU. Somal yang merupakan ‘federasi’ nasional dengan anggota-anggota berbagai organisasi mahasiswa lokal, dianggap memenuhi syarat, seperti PMKRI yang adalah anak Partai Katolik dan Mapantjas karena adalah organisasi sayap IPKI. Kelima organisasi mahasiswa itu ditunjuk untuk duduk dalam Presidium KAMI, yakni GMNI, PMKRI, Somal, PMII dan Mapantjas. Tetapi GMNI sendiri akhirnya menyatakan tidak bersedia ikut duduk dalam Presidium KAMI dan bahkan tidak ikut bergabung sama sekali dengan KAMI, karena berpendapat PPMI masih harus dipertahankan. Pilihan Bambang Kusnohadi ini, akan tercatat kemudian sebagai awal tersisih dan rontoknya GMNI sebagai suatu organisasi mahasiswa dengan massa terbesar saat itu.

Belakangan, ketidaksertaan GMNI Asu di bawah Bambang Kusnohadi digantikan oleh GMNI pimpinan Surjadi yang berseberangan dengan PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo SH dan Ir Surachman. Dr Sjarif Thajeb yang awalnya bimbang, karena tak punya pendirian yang jelas, akhirnya ikut arus dan menyetujui lahirnya KAMI dan namanya pun lalu tercatat sebagai tokoh yang ikut membidani lahirnya KAMI. Posisinya terhadap Soekarno pada mulanya tentu saja menjadi dilematis dan sulit, ketika ternyata KAMI kemudian menjadi penentang kuat yang akhirnya ikut menjatuhkan Soekarno dari kekuasaannya. Sampai-sampai ia pernah membekukan ‘organisasi’ yang kelahirannya dibidani olehnya itu. Namun tatkala pada akhirnya kejatuhan Soekarno terjadi, hal itu mengakhiri pula dilema Sjarif Thajeb dan dilema pun berubah menjadi semacam berkah bagi tokoh ini serta menjadi tiket baginya turut dalam kekuasaan baru pada masa berikutnya. Masalahnya, walau Sjarif Thajeb memang dianggap berjasa dalam berdirinya KAMI, tetapi sekaligus juga kerap tidak disukai mahasiswa karena sejumlah tindakannya merugikan mahasiswa. Pada masa awal pemerintahan Soeharto, sebagai Menteri PTIP, beberapa kali ia melakukan tindakan represif di kampus-kampus.

KAMI terbentuk di Bandung tanggal 1 Nopember 1965, hanya selang beberapa hari dengan terbentuknya KAMI di Jakarta. Rapat pembentukannya mengambil tempat di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9 Bandung. Mengikuti pola KAMI Pusat, organisasi ini juga dipimpin oleh satu Presidium. Pertama kali, Presidium terdiri dari Majedi Sjah (PMII), RAF Mully (PMKRI), Rohali Sani (Somal), Daim A. Rachim (Mapantjas), yang didampingi para sekertaris Ta’lam Tachja (HMI) dan Mansur Tuakia (IMM). Pembentukan KAMI Bandung diikuti oleh pembentukan KAMI di ITB. Tetapi dalam perjalanan kegiatannya, seperti yang digambarkan Hasjrul Moechtar, aksi-aksi KAMI Bandung sampai Desember 1965 tidak mampu menggambarkan potensi yang sebenarnya dari mahasiswa Bandung.

Para pimpinan KAMI Bandung, sejalan dengan pikiran Menteri PTIP Sjarif Thajeb, berpikir terlalu formal organisatoris, bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa organisasi ekstra, terutama yang punya induk politik, yang mampu menggerakkan mahasiswa –sesuai kepentingan politik faktual saat itu– untuk menghadapi PKI. Padahal pada beberapa perguruan tinggi terkemuka di  Bandung, khususnya di ITB, merupakan fakta bahwa organisasi intra lebih populer dan lebih mewakili keseluruhan mahasiswa dibandingkan dengan organisasi ekstra universiter. Faktanya, “walaupun sama-sama anti PKI, Dewan-dewan Mahasiswa tidak merasa perlu untuk menggerakkan mahasiswa di kampusnya mengikuti aksi-aksi KAMI”. Di mata Dewan-dewan Mahasiswa, kehadiran KAMI tak lebih dari sekedar perubahan wajah saja dari PPMI minus CGMI, GMNI-Asu, Perhimi dan Germindo.

Dengan penilaian atas KAMI seperti itu, maka 24 Nopember 1965, Dewan-dewan Mahasiswa maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se Bandung sepakat membentuk Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII), yang sekaligus juga menjadi pengganti MMI yang mereka tak percayai lagi. Ketua Umum pertama KOMII adalah Rachmat Witoelar dari ITB. Rachmat yang saat itu adalah Ketua Umum DM-ITB dianggap mewakili wajah kampus ITB yang betul-betul a politis. Ketua-ketua KOMII yang lain adalah Soegeng Sarjadi dari Universitas Padjadjaran yang waktu itu belum bergabung sebagai anggota HMI, Asmawi Zainul dari IKIP dan AP Sugiarto dari Universitas Parahyangan. Sekertaris Umum Hermanto Hs dari ITB dengan Sekertaris-sekertaris Anis Afif (Akademi Tekstil) dan Sadan Sapari dari Universitas Pasundan. Tiga bendahara adalah R. Hasoni dari AKMI, I Gede Artika (APN) dan Tatang Haris dari Universitas Pantjasila.

Untuk beberapa bulan, hingga Pebruari 1996, aksi-aksi kedua organisasi ini berjalan terpisah. Tapi tatkala aksi-aksi mahasiswa makin meningkat, 24 Pebruari, terjadi kesepakatan untuk berintegrasi dalam artian unsur-unsur KOMII masuk ke dalam Presidium. Dalam Presidium duduk 4 unsur ekstra universiter dan 4 unsur intra universiter. Terjadi perubahan signifikan. Masuknya unsur intra membuat gerakan-gerakan KAMI Bandung lebih impresif dan selalu diikuti dengan massa yang jauh lebih besar. Sebenarnya, sebelum terjadi penggabungan, sejumlah aktifis mahasiswa yang menjadi penggerak Pernyataan 1 Oktober –menolak Dewan Revolusi– berinisiatif mengkoordinasi suatu gerakan bersama antara KAMI dan KOMII pada 13 Januari 1966 di Bandung, tiga hari setelah aksi Tritura di Jakarta. Hasilnya menakjubkan, sehingga membuka mata semua aktivis mahasiswa untuk memikirkan suatu kebersamaan yang lebih baik. Pola memasukkan unsur intra ke dalam Presidium ini akhirnya diikuti pula oleh KAMI konsulat Jakarta, dan juga menghasilkan peningkatan efektifitas gerakan. Tetapi KAMI Pusat dan KAMI daerah-daerah lainnya, tidak mengikuti pola itu. Masalahnya memang, di kampus-kampus perguruan tinggi kota lainnya, adalah merupakan fakta bahwa organisasi ekstra universiter memang lebih dominan dalam kehidupan kampus. Pasca Peristiwa 30 September 1965 organisasi ekstra yang paling dominan di kampus-kampus berbagai kota selain Bandung, adalah HMI, terutama di luar Jawa.

Tanggal 10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen. Di satu pihak mereka menganjurkan dan bahkan melarang kenaikan harga-harga, tetapi pada pihak lain pemerintah sendiri menaikkan tarif dan menaikkan harga sejumlah kebutuhan pokok. Pada tanggal 3 Januari 1966, pemerintah menaikkan harga bensin menjadi Rp. 1000 per liter. Padahal harga bensin itu baru saja dinaikan harganya pada 26 Nopember menjadi Rp. 250 per liter. Harga beras sementara itu tak terkendali. Di Jakarta, harga beras yang semula Rp. 1000 per kilogram mendadak melonjak menjadi Rp. 3500 per kilogram.

Waperdam III Chairul Saleh yang sebenarnya cukup dihormati masyarakat, dengan nada arogan mengatakan bahwa pemerintah takkan meninjau kembali kenaikan tarif dan harga-harga. Ini katanya untuk mencegah jangan sampai terjadi defisit anggaran belanja negara, sehingga pemerintah terpaksa untuk mencetak uang. Alasan yang tampaknya rasional ini dibantah oleh mahasiswa sebagai alasan yang dicari-cari, karena mahasiswa melihat bahwa penyebab utama defisit adalah ketidakbecusan para menteri dan tidak memahami tanggungjawabnya. Mereka mengatasi keadaan dengan bertindak asal-asalan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan rakyat banyak. Dalam pada itu, menteri-menteri lainnya, terutama Waperdam I Soebandrio lebih menyibukkan diri melontarkan provokasi-provokasi politik.

Berlanjut ke Bagian 2

Golkar: Perjalanan dari Masa Lampau ke Titik Nadir 2009 (5)

“Mahasiswa 1966 yang tadinya termasuk pemeran utama –sebagaimana realitanya dan merupakan opini rakyat ketika itu– telah dirubah menjadi bercitra figuran. Biasanya memang, bila ‘suatu pertempuran’ telah usai adalah penting untuk mendapat citra ‘number one hero’, guna memperoleh medali terbanyak. Dalam kaitan perjuangan 1966, ‘medali’ itu akan berupa benefit politis untuk peran kekuasaan. ‘Nasib’ mahasiswa 1966 yang ‘disisihkan’ ABRI dari catatan sejarah ini, menjadi pelajaran berharga bagi para mahasiswa generasi baru”.

Kehadiran militer dalam kekuasaan pemerintahan dan dominasi mereka dalam kehidupan politik, menghasilkan pemerintahan ataupun cara menjalankan kekuasaan yang ketat. Tentu saja, sekaligus berarti pertumbuhan demokrasi yang hampir tidak beringsut-ingsut sedikitpun, untuk tidak mengatakannya tanpa pertumbuhan sama sekali. Ini adalah salah satu aspek yang ditentang mahasiswa generasi baru di kampus, yang kelak terbukti menjadi salah satu tema perlawanan  yang berkepanjangan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi. Korupsi dan otoriterisme adalah hal-hal yang menyebabkan suatu altruisme dari kekuasaan yang bisa membawakan kemajuan dan kesejahteraan rakyat hampir tidak pernah berhasil didorongkan oleh kekuasaan militer ini.

Sasaran lain dari kritik dan melahirkan perlawanan yang kuat adalah masalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi ini sebenarnya adalah buah dari pertumbuhan dan pengokohan kekuasaan yang mengepal pada satu tangan atau kelompok, yang terkombinasi dengan pertumbuhan ekonomi yang mulai terjadi. Salah satu tanda pertumbuhan ekonomi adalah dengan munculnya ‘boom minyak’ serta masuknya penanaman modal asing. Pada tanggal 23 Oktober 1970, Presiden Soeharto meresmikan sumur minyak lepas pantai Shinta I di sebelah Tenggara Sumatera bagian Selatan. Shinta I adalah sumur lepas pantai yang pertama dieksploitasi secara komersial. Setelah Shinta I, menyusul penemuan dan pembukaan sumur-sumur lepas pantai lainnya seperti Arjuna di lepas pantai pulau Jawa dan Attaka di lepas pantai Kalimantan Timur. Bersama sumur-sumur yang ada di daratan Sumatera, Kalimantan dan lain-lain, minyak bumi menjadi sumber pendapatan baru bagi negara, disebutkan sebagai ‘boom’, sekaligus menjadi sumber malapetaka berkecamuknya korupsi sebagai akibat sampingan yang amat kuat. Bersamaan dengan itu, dibukanya pintu masuk bagi penanaman modal asing tanpa mekanisme pengawasan yang andal, secara cerdik dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan dalam kekuasaan.

Korupsi ini menciptakan kelompok-kelompok kekayaan baru, yang pada gilirannya membiayai pemeliharaan kekuasaan negara dengan hasil korupsinya itu. Harus diakui bahwa pelaku-pelaku kebanyakan adalah dari kalangan tentara. Tetapi korupsi itu ternyata semacam penyakit juga, ia bisa menular. Korupsi dari waktu ke waktu telah menular ke kalangan birokrasi, bukan hanya di lingkungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mengelola kekayaan negara tetapi juga ke dalam birokrasi non produktif, melalui penggerogotan Anggaran Pendapatan dan  Belanja Negara, yang berasal dari kalangan tentara maupun sipil. Tak terkecuali di antara mereka yang pada awal Orde Baru sempat terlibat gerakan demonstrasi anti korupsi. Bahkan pada tahun 1970-an di Jakarta ada ‘sisa-sisa laskar pajang’ yang sanggup mengaitkan kegiatan demo dengan kegiatan bisnis. Hari ini mereka mendemo Pertamina dengan tema korupsi, tapi besoknya sejumlah oknum pimpinannya maju bernegosiasi ke Pertamina untuk mendapat bisnis dan rezeki berminyak. Fenomena inilah yang salah satunya membuat para mahasiswa generasi baru di kampus-kampus utama Bandung apriori dan melontarkan kecaman kepada angkatan pendahulunya.

Ternyata, korupsi memang menular, termasuk kepada yang berpretensi ‘dokter’ yang mau membedah kanker korupsi itu sendiri. Dan malangnya, para teknokrat ekonomi yang tidak mampu mengendalikan korupsi di kalangan birokrasi ini, di belakang hari bahkan pada akhirnya dianggap oleh kaum kritis telah menjadi bagian yang tak mungkin terlepas dari tindak korupsi dalam birokrasi itu sendiri. Ukurannya sederhana, ada di antara mereka memiliki tingkat kemakmuran jauh di atas rata-rata.

Kekuasaan, Demi Kekuasaan

Dalam tubuh tentara sendiri terjadi jalan simpang, bahkan persilangan yang tak jarang cukup tajam. Pada tahun 1970 dan 1971 setelah pemilihan umum, menjelma satu tatanan kekuasaan baru yang lebih kokoh dengan legitimasi formal yang begitu kuatnya. Dalam tatanan baru itu tentara pembaharu yang idealis telah menjadi sejarah tahun lampau. Mayjen HR Dharsono –pencetus konsep pembaharuan total dan Dwi Partai di Jawa Barat– yang sudah lengser dari jabatan Panglima Kodam Siliwangi (waktu itu Kodam VI), lebih banyak berkiprah di luar Indonesia. Ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Kamboja yang berkedudukan di Phnom Penh yang sedang berada diambang pergolakan berdarah. Setelah itu ia berturut-turut dilibatkan dengan tugas-tugas luar negeri, termasuk misi-misi perdamaian internasional di Kamboja itu sendiri. Setelah kembali ke Indonesia, ia sudah dalam status purnawirawan sehingga boleh dikatakan sebagai ‘maung’ yang tak bergigi lagi. Beberapa perwira yang sejenis, juga terhapus secara bergiliran. Digusurnya Mayjen HR Dharsono ke orbit luar, menjadi pula awal proses menurunnya pamor dan kharisma Siliwangi, dalam suatu proses yang berlangsung beberapa tahun berikutnya.

Nasib ‘tersisihkan’ juga dialami Letnan Jenderal Sarwo Edhie yang legendaris, tak pernah diberikan jabatan-jabatan strategis. Pertama, ia dijauhkan, dengan memberinya tugas sebagai Duta Besar RI di Korea Utara. Sekembalinya ke Indonesia, satu dua kali dihembuskan akan diberi posisi penting semisal Menteri Dalam Negeri atau Ketua DPR-RI, namun kemudian berakhir dengan kekecewaan karena dalam fakta, melalui suatu ‘permainan’ politik penuh kelicikan, ia selalu dilemparkan keluar gelanggang. Meskipun Sarwo tak harus berakhir di penjara rezim Soeharto seperti yang dialami HR Dharsono, apa yang dilakukan Soeharto dan lingkaran jenderal di sekitar sang penguasa terhadap dirinya tak kalah menyakitkan. Namun ia tetap mampu menjaga sikap loyalnya terhadap pemerintah, ia menjalankan tugasnya dengan baik sebagai Kepala BP-7 di Pejambon.

Dengan tergesernya jenderal-jenderal yang masih idealis dari pusat kekuasaan tertinggallah unsur-unsur yang mengutamakan prinsip kekuasaan demi kekuasaan. Bahkan  terhadap ‘sejarah’ penumbangan Orde Lama Soekarno tahun 1966 pun, dalam rangka taktik kekuasaan, disodorkan sejumlah penafsiran baru ke tengah masyarakat untuk kepentingan meletakkan sebaik-baiknya posisi tentara sebagai ‘bintang utama’. Partnership Mahasiswa-ABRI berangsur-angsur diberi semacam versi baru, bahwa dalam perjuangan menumbangkan Soekarno dan Orde Lama mahasiswa hanyalah alat yang dijadikan ujung tombak oleh ABRI. Mahasiswa 1966 yang tadinya termasuk pemeran utama –sebagaimana realitanya dan merupakan opini rakyat ketika itu– telah dirubah menjadi bercitra figuran. Biasanya memang, bila ‘suatu pertempuran’ telah usai adalah penting untuk mendapat citra ‘number one hero’, guna memperoleh medali terbanyak. Dalam kaitan perjuangan 1966, ‘medali’ itu akan berupa benefit politis untuk peran kekuasaan. ‘Nasib’ mahasiswa 1966 yang ‘disisihkan’ ABRI dari catatan sejarah ini, menjadi pelajaran berharga bagi para mahasiswa generasi baru. Maka, harus dihindari untuk banyak bergaul dengan tentara, sehingga tidak perlu terperosok pada nasib serupa.

Dalam kaitan pergeseran, menarik untuk dicatat bahwa minus Siliwangi, dalam tubuh tentara sendiri telah berlangsung persaingan pengaruh, terutama antara rumpun Diponegoro dengan rumpun Brawidjaja. Tapi tak bisa diabaikan pula adanya fenomena lintas kesetiaan yang dalam beberapa momen bisa saja terkalahkan oleh ‘kesetiaan’ spesifik berdasarkan kesamaan kepentingan ekonomis dan godaan uang, yang bisa membingungkan dalam membaca peta politik dan kekuasaan. Uang adalah ‘spirit’ yang mampu bekerja lintas batas.

Dengan pengutamaan kekuasaan demi kekuasaan, seluruh kekuatan politik yang ada harus disesuaikan untuk fungsi penopang. Setelah pemilihan umum 1971 usai, dilakukan penyederhanaan kepartaian. Sebenarnya, dengan hasil pemilihan umum, secara alamiah melalui suatu proses yang wajar terbuka pintu bagi terjadinya penyederhanaan dengan sendirinya akibat ‘paksaan keadaan objektif’. Partai-partai berideologi Islam tidak berhasil memperoleh suara yang signifikan untuk mendapat share dalam kekuasaan pemerintahan. Dengan kumulatif 94 kursi, secara objektif mereka tak ‘dibutuhkan’ dalam kekuasaan pemerintahan oleh Golkar dan ABRI yang memiliki 336 kursi dari 460 kursi di DPR. Kalau mereka tidak diajak, mau tak mau mereka berada di luar, dan mungkin mereka merasa perlu bergabung satu sama lain. Setidak-tidaknya bagi Perti yang hanya memperoleh 2 kursi dan PSII yang hanya memperoleh 10 kursi, tentu harus berpikir untuk menggabungkan diri kalau tidak mau hilang dari peta politik. Tidak selalu  harus bergabung berdasarkan persamaan ideologi Islam. Hal yang sama bagi partai-partai lain, IPKI dan Murba yang tak memperoleh kursi DPR samasekali. Keharusan penggabungan secara objektif pun harus dipertimbangkan oleh PNI yang mendapat hanya 20 kursi dan partai-partai Kristen yang juga kebagian sedikit saja kursi, Partai Katolik 3 kursi dan Partai Kristen Indonesia yang memperoleh 7 kursi. Tetapi Soeharto yang sudah lebih kokoh kekuasaannya, memilih melakukan penyederhanaan yang artifisial dan ‘dipaksakan’, setidaknya bukan sepenuhnya karena keikhlasan, melahirkan PPP sebagai gabungan partai-partai ideologi Islam dan Partai Demokrasi Indonesia untuk sisanya yang campur aduk antara kaum nasionalis dan Kristen-Katolik. Suatu pengelompokan yang kala itu betul-betul debatable –namun berlangsung di bawah permukaan saja.

Berlanjut ke Bagian 6