Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)

‘KEGIGIHAN’ Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia dari waktu ke waktu, dalam banyak hal sebenarnya layak diapresiasi. Namun, ketika lembaga itu menjadi tidak cermat dan tergelincir menjadi sangat subyektif dan terkesan melakukan perpihakan berkadar tinggi dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat dalam kaitan Peristiwa 1965-1966, lembaga tersebut saatnya untuk dipertanyakan. Apakah lembaga tersebut, khususnya, pada periode yang baru lalu terdiri dari sekumpulan manusia jujur dan punya integritas serta kapabilitas untuk menangani persoalan HAM di Indonesia? Dan bagaimana pula di masa mendatang ini?

JENDERAL SOEHARTO DI LUBANG BUAYA 6 OKTOBER 1965. “Perwira-perwira penerangan Angkatan Darat di Mabes AD menjalankan peran untuk mempertajam kemarahan rakyat melalui dramatisasi artifisial kekejaman Gerakan 30 September 1965 dalam peristiwa penculikan dan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya dinihari 1 Oktober 1965. Penggambaran berlebihan tentang kekejian anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya itu, di luar dugaan para perwira itu sendiri berhasil menyulut kemarahan masyarakat yang begitu dahsyat. Tetapi pada sisi lain, merupakan pula fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan atas para perwira Angkatan Darat itu memang terjadi, di ibukota maupun di Yogyakarta”. Foto AP.

Beberapa hari yang lalu, rekomendasi dan laporan penyelidikan Komnas HAM periode 2007-2012 tentang kejahatan HAM dalam Peristiwa 1965-1966 dan Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985 dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Laporan mengenai Penembakan Misterius 1982-1985 dituangkan dalam sebuah ringkasan eksekutif 12 Juli 2012 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Ad Hoc Josep Adi Prasetyo. Sementara laporan 23 Juli 2012 mengenai pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965-1966 ditandangani Ketua Tim Ad Hoc Nur Kholis SH, MH. Komisioner yang disebut terakhir ini, ikut terpilih kembali sebagai anggota Komnas HAM 2012-2017. Belum kita ketahui, apakah serta merta 13 komisioner baru periode 2012-2017 secara keseluruhan akan melanjutkan kesimpulan dan rekomendasi 23 Juli 2012 sebagai sikap yang menetap atau kembali ke tengah dengan sikap “kebenaran sepenuhnya dengan keadilan sebanyak-banyaknya”?

Sejumlah aktivis HAM mengecam tindakan Kejaksaan Agung, dan menyimpulkan bahwa tindakan pengembalian seperti itu sudah menjadi pola tetap. Koordinator Kontras, Haris Azhar, menyebut apa yang dilakukan Kejaksaan Agung sudah merupakan “pola pengabaian hukum atas pelanggaran HAM berat”. Namun terlepas dari anggapan apa dan bagaimana pola Kejaksaan Agung selama ini dalam menghadapi masalah-masalah HAM berat, sepanjang menyangkut laporan pelanggaran HAM berat dalam kaitan Peristiwa 1965-1966, tanpa ragu kita perlu menyatakan bahwa laporan dan kesimpulan 23 Juli 2012 tersebut pantas untuk dikembalikan.

Laporan 23 Juli 2012 itu lemah secara kualitatif maupun kuantitatif, tidak memenuhi kriteria kebenaran sepenuhnya dan samplingnya tak sepenuhnya representatif. Bukan sekedar banyak data terlewatkan akibat keterbatasan kemampuan menjangkau fakta, melainkan karena sejak mula penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM untuk kejahatan kemanusiaan di sekitar tahun 1965-1966 dirancang untuk mengumpulkan data satu sisi saja, yakni sisi korban. Itupun dari sisi korban yang khusus berasal dari kelompok anggota PKI. Padahal kategori korban kekerasan atas kemanusiaan di tahun 1965-1966 itu begitu bervariasi, setidaknya terdiri dari kelompok korban dari kalangan anggota PKI dan organisasi mantelnya, kelompok dari kalangan organisasi anti komunis, dan kelompok masyarakat biasa yang tak ada kaitannya sama sekali dengan dua kelompok tersebut. Belum lagi, di luar itu, kelompok salah tunjuk dan pelampiasan dendam pribadi dengan berbagai motif.

Dengan laporan model 23 Juli 2012, Komnas HAM seakan-akan menjelmakan diri sebagai PKI baru di saat ideologi komunis makin ditinggalkan di dunia. Kita keberatan dengan narasi masa lampau yang senantiasa dikemukakan rezim Soeharto, karena penuh dengan manipulasi sejarah. Namun sebaliknya, kita juga keberatan terhadap narasi yang dilontarkan bekas-bekas PKI dan simpatisannya yang terlalu jauh mengayunkan bandul sejarah ke kiri, yang juga sarat dengan manipulasi kebenaran sejarah. Kedua kutub, sama buruknya. Dan kenapa Komnas HAM harus ikut tergelincir, padahal ia seharusnya menjadi kekuatan utama dalam menemukan kebenaran sepenuhnya dalam konteks masalah HAM Indonesia? Dengan kebenaran sepenuhnya, keadilan sebanyak-banyaknya untuk semua pihak tanpa kecuali akan lebih mudah digapai.

Terkesan kuat pula bahwa dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM tak mencoba dengan cermat dan baik untuk memahami struktur dan fundamen permasalahan maupun situasi Indonesia sekitar 1965-1966 tersebut dalam segala aspek –khususnya aspek politik dan aspek sosiologis. Ataukah di kepala para komisioner tersebut, memang telah lebih dulu tertanam sikap apriori yang bersumber pada trauma mereka kepada rezim Orde Baru Soeharto? Suatu gejala yang juga mungkin diderita sejumlah sejarawan seperti Asvi Warman Adam dan beberapa sejarawan muda yang tak punya sentuhan pengalaman dengan masa sebelum 1965-1966. Suatu pembalikan dari model militer sejarawan seperti Nugroho Notosusanto. Tetapi mengapa sejarawan seperti Anhar Gonggong, yang juga tajam terhadap Soeharto, tetap bisa lebih jernih memandang berbagai peristiwa, termasuk mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan berbagai gejala ikutannya? Mungkin karena Anhar Gonggong lebih taat kepada disiplin ilmu sejarah, khususnya dalam aspek kebenaran.

Kekerasan dan situasi balas berbalas. PELAKU kekerasan kemanusiaan pada masa-masa 1965-1966 pun adalah begitu bervariasi, dalam pola mendahului atau didahului, yaitu dari kelompok komunis maupun anti komunis. Secara menyeluruh, rangkaian peristiwa di masa itu memang sangat kompleks, rumit bagaikan gumpalan benang kusut.

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, kekerasan dimulai oleh kelompok pendukung partai komunis dengan cara keji, untuk kemudian mendapat pembalasan yang tak kalah kejinya dari kalangan non komunis. Kelompok pelaku pembalasan utama di propinsi itu, terutama adalah dari kalangan pengikut PNI yang kemudian dibantu unsur dari kelompok lain. Sasaran utamanya adalah mereka yang dituduh pengikut PKI. Tapi beberapa bulan kemudian hingga tahun 1966-1967, sejumlah aksi kekerasan oleh massa PNI juga beralih terarah kepada kelompok non komunis lainnya.

Di Jawa Timur, gerakan kekerasan dimulai dan dilancarkan terutama oleh massa golongan politik Islam, khususnya pengikut NU, dengan sasaran-sasaran mereka yang dianggap pengikut PKI. Ini adalah semacam balas dendam atas aksi-aksi sepihak yang dilakukan terus menerus oleh organisasi-organisasi mantel PKI sebelum Peristiwa 30 September 1965 yang diperkuat retorika bahwa PKI ingin menghancurkan Islam dan umat beragama.

Di Bali, aksi kekerasan terhadap mereka yang dianggap pengikut PKI dipelopori oleh massa PNI sebagai pelaku utama. Apa yang terjadi di Bali ini, tak lain merupakan babak lanjutan dari rivalitas antara kedua kekuatan politik tersebut –PNI versus PKI– yang telah berlangsung sejak sebelum terjadinya Peristiwa 30 September 1965.

(Baca juga di sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com; Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII, 11, 23, 26, 30 September dan 2 Oktober 2012. Peristiwa 1965: PKI Dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan, 27,29 Juli dan 2 Agustus 2012. Peristiwa 1965: Politik Keadilan atau Politik Kebenaran? – oleh Marzuki Darusman, 25 juli 2012).

Di Sumatera Utara, kekerasan kemanusiaan terhadap pengikut PKI terutama dilakukan oleh massa sejumlah organisasi pemuda, khususnya Pemuda Pantjasila yang kala itu bernaung di bawah Partai IPKI. Percobaan penculikan dan pembunuhan Jenderal AH Nasution –tokoh pendiri IPKI– 1 Oktober 1965 dinihari menjadi pemicu utama ‘amok’ massa Pemuda Pantjasila di sana. Walau tidak terlalu massive seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pembasmian PKI di di daerah ini memang termasuk menonjol. Penggambaran bahwa di bulan Oktober 1965, Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah sesuatu yang berlebih-lebihan. Ini merupakan buah pembalasan terhadap aksi sepihak PKI dan organisasi mantelnya yang intensif di daerah tersebut di masa sebelum Peristiwa 30 September 1965. Buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Penerbit Kata Hasta Pustaka, 2006) memaparkan bahwa PKI Sumatera Utara, tak kalah agresif dengan PKI di Pulau Jawa. Di sini pernah terjadi Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil nyawa anggota militer. Rangkaian aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan di Sumatera Utara ini sangat gencar. PKI Sumatera Utara memiliki suratkabar  Harian Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI yang agresif dan di bawah perlindungannya PKI leluasa melakukan aksi sepihak di sana.

Di Sulawesi Selatan, korban mayoritas kekerasan justru pengikut PNI dan etnis China, melebihi apa yang diderita pengikut-pengikut PKI. Rumah pimpinan-pimpinan PNI diobrak-abrik, media massa mereka, Harian Marhaen diambil-alih. Banyak rumah dan harta milik keturunan China yang dijarah, dan ditumpas sampai kepada menumpahkan habis garam di dapur. Ini semua ada hubungannya dengan keunggulan PNI dalam politik dan dominasi jabatan pemerintahan sebelum 1965 yang menimbulkan iri hati, serta kecemburuan sosial-ekonomi terhadap etnis China kala itu. Padahal, etnis China di Sulawesi Selatan punya sejarah pembauran yang tergolong baik dibandingkan dengan beberapa daerah lain di tanah air.

Perlu dicatat bahwa di daerah ini, sebagaimana juga dengan beberapa daerah lainnya, cukup menonjol terjadinya pemanfaatan situasi dengan main tunjuk sasaran karena motif pribadi, dan tak selalu korbannya terkait secara politis dengan PKI. Sejumlah penahanan dilakukan dengan motif untuk menciptakan barisan kerja paksa –yang menurut bahasa Komnas HAM disebut perbudakan– dalam konteks kepentingan ekonomi. Salah satu peristiwa kekerasan berdarah terjadi di Watampone ibukota Kabupaten Bone. Penjara yang berisi ‘tahanan politik’ diserbu massa, para tahanan yang adalah anggota PKI maupun yang bukan PKI diseret ke jalan lalu dibantai, berdasarkan retorika agama. PKI di daerah ini tidak cukup dipahami secara politik, tetapi lebih dipahami sebagai kekuatan anti Tuhan dan anti agama.

Tentara dalam kancah peristiwa. Bagaimana dengan keterlibatan tentara? Tentara memang terlibat dalam pertarungan politik pada masa prolog sampai epilog Peristiwa 30 September 1965. Perwira-perwira penerangan Angkatan Darat di Mabes AD menjalankan peran untuk mempertajam kemarahan rakyat melalui dramatisasi artifisial kekejaman Gerakan 30 September 1965 dalam peristiwa penculikan dan pembantaian para jenderal di Lubang Buaya dinihari 1 Oktober 1965. Penggambaran berlebihan tentang kekejian anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya itu, di luar dugaan para perwira itu sendiri berhasil menyulut kemarahan masyarakat yang begitu dahsyat. Tetapi pada sisi lain, merupakan pula fakta bahwa kekerasan dan pembunuhan atas para perwira Angkatan Darat itu memang terjadi, di ibukota maupun di Yogyakarta.

Tidak salah bila Komnas HAM menunjuk lembaga-lembaga kekuasaan militer seperti Kopkamtib dan Kopkamtibda serta Komando Antar Daerah sebagai pihak yang termasuk di antara yang perlu dimintai pertanggungjawaban. Tapi Komnas HAM tidak cermat –untuk tidak menyebutnya sengaja memberikan gambaran yang tak sepenuhnya lengkap dan benar– dalam pengungkapan peranan militer dalam rangkaian Peristiwa 1965-1966. Militer Indonesia kala itu –khususnya Angkatan Darat– tidak satu garis yang sama dalam bertindak. Angkatan Darat setidaknya terdiri dari kelompok anti PKI yang berada di ‘kubu’ Jenderal Soeharto di satu pihak, dan pada pihak lain ada kelompok perwira berhaluan komunis. Di Jawa Tengah, sejumlah perwira PKI bahkan sempat mengambilalih komando Divisi Diponegoro sambil membentuk Dewan Revolusi Jawa Tengah.

Dengan dukungan aparat militer teritorial massa PKI mendahului melakukan pembersihan berdarah di beberapa daerah Jawa Tengah. Dan ketika situasi berbalik dengan kedatangan satuan RPKAD, giliran pengikut PKI mendapat pembalasan yang tak kalah keji dan lebih luas dan massal. Namun perlu dicatat bahwa dalam setiap rangkaian peristiwa kekerasan tersebut, selalu terdapat kelompok masyarakat tak berdosa yang ikut menjadi korban, entah karena salah tunjuk entah karena memboncengnya faktor dendam pribadi. Satu aspek yang luput dari penyelidikan Komnas HAM, adalah bahwa sebagian aparat teritorial Divisi Diponegoro yang tadinya dikenal sebagai pendukung PKI, ternyata pada fase berikutnya –dengan orang-orang yang sama– menjadi pembasmi PKI yang tak kalah ganas. (Baca juga, serial “Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966”, Oktober dan November 2012 di sociopolitica).

Keadaan yang kurang lebih sama terjadi di lingkungan Divisi Brawijaya Jawa Timur. Lebih dari separuh Komandan Batalion dan beberapa perwira Kodim sebagai aparat teritorial ada dalam pengaruh PKI. Panglima Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat memang dikenal sebagai perwira anti PKI, namun ia tak cukup berdaya membendung pengaruh PKI di kalangan personil di bawahnya. Sebagai salah satu di antara de beste zonen van Soekarno ia agaknya kikuk bersikap terhadap PKI.

(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

One thought on “Tatkala Komnas HAM Melangkah Terlalu ke ‘Kiri’ Meninggalkan Kebenaran dan Sikap Adil (1)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s