‘METODE’ struggle from within ini bukannya tak pernah dicoba. Melalui Golongan Karya. Meski suatu waktu, 40 tahun kemudian, Rahman Tolleng akhirnya mengakui, “Asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah. Dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi.” Katakanlah semacam fatamorgana.
Dalam Sidang Umum MPRS Maret 1968, tiga tokoh sipil yang bergabung dalam Golkar –Dr Midian Sirait, Rahman Tolleng dan tokoh pers dari Bandung Djamal Ali SH– ditampilkan secara bergiliran berpidato. Mereka tampil menyampaikan konsep perubahan struktur politik yang dibarengi pembangunan ekonomi, yang sekaligus menempatkan pentingnya penciptaan kepastian hukum. Tetapi untuk kepastian hukum itu diperlukan dukungan politik. Karena itu struktur politik harus diperbaharui, untuk mengenyahkan pertarungan ideologi dan menggantikannya dengan orientasi program, guna terciptanya dukungan politik yang sehat. Sementara itu, sejumlah partai pada Sidang Umum yang sama, lebih fokus menyampaikan keinginan agar segera dilaksanakan pemilihan umum. Konteksnya, tak lebih tak kurang adalah perebutan porsi kekuasaan.
Sipil dan Militer. DALAM suatu kurun waktu di tahun 1969-1972, Golkar dan ABRI mengadakan sesi yang berlangsung terus menerus untuk merumuskan mengenai akselerasi dan modernisasi 25 tahun. Topik dan terminologi ini, di belakang hari selalu disebut dan dipopulerkan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo, sehingga banyak yang menganggapnya sebagai gagasan Aspri Presiden tersebut. Dr Midian Sirait menuturkan, rantai awal menuju lahirnya gagasan percepatan modernisasi dalam jangka 25 tahun tersebut sebenarnya adalah simposium tahun 1968 di Bumi Sangkuriang itu. Masukan dalam simposium itu disimpulkan dan diteruskan Seskoad ke Presiden Soeharto. Cara penyampaian gagasan dan pemikiran seperti ini telah dilakukan berkali-kali. Bila kalangan gerakan pembaharuan perlu menyampaikan pemikiran kepada Soeharto, maka itu dilakukan lewat Mayor Jenderal Soewarto sampai 1967 maupun melalui Tjakradipura, Komandan Seskoad berikutnya. Termasuk misalnya pemikiran Soemitro Djojohadikoesoemo di Eropa –tentang pembangunan ekonomi– yang dikirim lewat seorang pilot sampai Hongkong, diterima Tombokan dan disampaikan ke Dr Midian Sirait lalu diteruskan ke Soeharto lewat Mayjen Soewarto.

Demikianlah di tahun 1969-1972 lima tokoh sipil yang untuk sebagian adalah peserta percobaan struggle from within –Rahman Tolleng, Sumiskum, Moerdopo, Oetojo Oesman dan Midian Sirait– mewakili Golkar dalam rangkaian sesi dengan tim ABRI, yang diketuai oleh Amir Moertono yang ketika itu menjabat Asisten Sosial Politik ABRI. Amir bekerja di bawah Kepala Staf Kekaryaan ABRI Jenderal Darjatmo. Karena Oetojo Oesman kerap kali tidak muncul, sementara Moerdopo sibuk untuk berbagai urusan lain, maka praktis tiga lainnya yang selalu muncul dalam rangkaian sesi marathon tersebut.
Cukup banyak perbedaan yang muncul kala itu dengan pihak ABRI. Orang-orang sipil itu menyebut jangka waktu akselerasi-modernisasi selama 25 tahun –mengacu pada simposium 1968– sedang ABRI menginginkan jangka 30 tahun. Bagaimana dengan struktur politik di masa datang? Rahman Tolleng tampil dengan teori missile: Pendorong utama adalah ABRI, pendorong kedua pegawai negeri dari kalangan birokrasi pemerintahan, lalu pendorong ketiga adalah partai politik dan organisasi massa. ABRI protes: “Jadi kita ini pendorong saja? Setelah lepas landas, kita ditinggal?”. Teori yang diprotes ini hampir sama dengan ide Adam Malik, setelah tugas selesai, agar tidak berdosa, sang malaikat kembali ke langit. Berikutnya, Sumiskum memaparkan pentahapan 5 tahunan dalam 25 tahun. Pada 5 tahun pertama ABRI berkuasa, 5 tahun kedua ABRI memimpin, dan makin berkurang peranannya dalam tahapan-tahapan berikut, untuk pada akhirnya ABRI pun berlalu. Meredakan kegusaran ABRI, akhirnya Midian Sirait menyampaikan agar dalam menjalani 25 tahun itu, ABRI lah sendiri yang menentukan kapan mengakhiri tugas dan meninggalkan politik. Tapi apakah mereka sudi berhenti sukarela begitu? “Takkan berhenti mereka,” demikian Rahman memprotes. Namun Midian mengatakan itu hanya penyampaian taktis belaka sebagai bagian dari persuasi. Tetapi Rahman tetap mempertahankan gagasan, dan harus berhadapan dengan ABRI dalam forum ini.
Di tahun 1969-1972 itu, di medan lainnya dalam kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Dari KASI Bandung, sebelumnya muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Gagasan Dwi Partai ini pertama kali menjadi topik dalam suatu pembicaraan antara Soemarno –yang kala itu juga adalah politisi di DPR– dengan Rahman Tolleng. Pembicaraan yang sama tampaknya juga dilakukan Soemarno dengan dr Rien Muliono Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.
Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak gagasan itu, mungkin gaya HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. Gagasan dwi partai Sang Jenderal pembaharu, kandas. Semestinya, kata Midian Sirait, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang.”
Seperti diketahui, sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada simposium di Bandung. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Sebenarnya, sebelumnya sekitar waktu itu pernah ada yang mengajukan gagasan 5 partai, yakni 2 partai Islam, 1 partai nasional, 1 partai Kristen-Katolik serta 1 Golongan Karya. Namun terhadap gagasan ini, Ali Moertopo bilang, “Sudahlah, pak Harto telah memutuskan 3 partai.”
Benang merah gerakan pembaharuan kala itu, dari Bandung khususnya, adalah perombakan struktur politik, melaksanakan dwi partai, dan tentara tidak lagi masuk dunia politik, barulah tercipta kehidupan politik baru dalam sistem politik dengan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Tapi itu semua ternyata bukan sesuatu yang mudah dikerjakan.
Pengalaman terbenturnya gagasan dwi partai, antara lain menunjukkan banyaknya hambatan bahkan kemusykilan yang harus dihadapi. Tapi terlepas dari itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa sedikit banyak Golkar dalam kadar tertentu sempat menjadi wahana bagi kaum pembaharu untuk memperjuangkan gagasannya. Berbeda banyak dengan Golkar masa kini yang lebih penuh pertikaian opportunistik antar tokoh-tokoh antagonis. Bagaimana pun, sejumlah gagasan pembaharuan berhasil diwujudkan, misalnya pembentukan ormas-ormas mandiri yang bukan onderbouw partai atau Golkar. (Berlanjut ke Bagian 3 – socio-politica.com)