Saat Demokrasi dan Keadilan Sosial Tertinggal

Prof. Dr MIDIAN SIRAIT*

Sebenarnya kala itu saya mencoba memberi peringatan ‘halus’ tentang digunakannya hubungan keluarga sebagai dasar saling memberi keuntungan dalam kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi, yang belakangan di masa reformasi empat tahun kemudian diserang sebagai nepotisme yang terkait dengan korupsi dan kolusi. Tetapi mungkin peringatan itu terlalu demikian halusnya sehingga tak ada gemanya kala itu. Dan korupsi, kolusi serta nepotisme tetap berlangsung.

TANTANGAN alam yang berat menciptakan bangsa-bangsa yang tangguh di dunia ini. Manusia-manusia di negeri yang memiliki empat iklim adalah manusia tangguh yang sekaligus punya kemampuan menghitung dengan akurasi yang tepat kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipersiapkan pada setiap pergantian musim, terutama pada saat akan memasuki musim dingin. Tanpa persiapan yang baik, mereka akan melalui musim dingin yang kejam tanpa makanan yang cukup. Jerman menjadi negara Eropah yang paling kuat ekonominya. Bangsa Jerman di Eropah adalah manusia-manusia yang tangguh, ulet, teratur dan disiplin. Bila bermalas-malas, tubuh akan tergelitik serasa meriang, stekt die glieder. Namun pada sisi lain mereka memiliki filsafat serta seni yang tinggi karena di musim panas dan semi mereka bisa menikmati keindahan alam sekitarnya dan menjadikannya sumber inspirasi.

Di belahan timur dunia, setidaknya ada dua bangsa yang tangguh, yaitu Jepang dan Cina, yang juga mengenal empat musim dalam setahun kehidupan mereka. Tetapi tantangan alam yang paling berat dan harus dihadapi setiap saat oleh bangsa Jepang adalah karena mereka hidup di atas pulau-pulau yang kerak bawahnya penuh sumber gempa tektonik. Setiap saat dalam kehidupan sehari-hari mereka diguncang oleh gempa, dari yang ringan hingga yang terberat. Namun di atas bumi yang tidak stabil itu mereka berhasil menciptakan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi yang stabil dan berkembang dengan teratur. Tantangan bagi Cina adalah alamnya yang terlalu luas, beberapa bagian di antaranya liar dan buas, sungai-sungainya yang besar kerap membawa banjir raksasa. Selain itu jumlah manusianya sangat banyak. Itu semua membuat kadar survival of the fittest menjadi lebih tinggi. Dibandingkan dengan negara-negara itu, alam Indonesia jauh lebih nyaman, bahkan begitu memanjakan manusia-manusia yang menghuni negeri kepulauan ini.

Tentu tidak mudah memimpin negeri sebesar Cina dengan jumlah rakyat yang luar biasa besarnya. Diperlukan pemimpin yang tangguh. Mao-Zedong mengartikannya sebagai tangguh, sekaligus ketat dan keras. Pepatah Cina mengatakan bahwa rambut di kepala manusia boleh sama hitam, tapi pikiran dan kemauannya berbeda-beda. Perlu ketangguhan khusus dari seorang pemimpin untuk menghadapi segala macam kemauan rakyat. Selain melengkapi diri dengan berbagai peralatan politik dan kekuasaan, Mao juga membangun gambaran diri sebagai pemimpin antara lain dengan menciptakan satu mitos sebagai senjata psikologis terhadap rakyatnya untuk membuktikan ketangguhannya. Suatu hari ia berenang dalam terpaan arus yang deras menyeberangi sungai Yang-Tsekiang. Hanya orang-orang kepercayaannya yang tahu apakah Mao-Zedong betul berhasil menyeberangi sungai besar itu atau tidak. Tapi kepada rakyat Cina disampaikan bahwa Mao-Zedong telah berenang dalam terjangan arus menyeberangi sungai Yang-Tsekiang, dan berhasil menciptakan satu ‘mitos’ tentang ketangguhan sang pemimpin.

Suatu hari, 10 Maret 1971 –sehari sebelum peringatan 5 tahun Super Semar– Presiden Soeharto juga berenang melawan arus sungai Cisimeut di daerah Badui Banten dalam suatu semangat ritual Jawa. Pagi-pagi, Gubernur Jawa Barat Mayor Jenderal Solihin GP dan Panglima Siliwangi Mayor Jenderal AJ Witono (waktu itu) sudah memberi tahu semua anggota rombongan agar tidak mendekat ke sungai yang letaknya tak jauh dari tempat menginap. Dan Soeharto pun berenang melawan arus sungai yang cukup deras itu. Dalam bahasa yang simbolistik, khas Jawa, ditunjukkan bahwa sebagai pemimpin, Soeharto tak gentar menghadapi semua persoalan, dengan melawan arus sekalipun. Harus diakui bahwa Soeharto memang memiliki ketangguhan tertentu, sehingga berhasil mempertahankan kekuasaan 27 tahun lagi sesudahnya sehingga genap menjadi 32 tahun secara keseluruhan. Ketika itu saya ikut dalam rombongan Presiden Soeharto, sebagai ‘wartawan’ Harian Umum Suara Karya yang nomor perdananya akan terbit, esok hari tepat pada peringatan 5 tahun Surat Perintah 11 Maret. Saya mendapat tugas untuk melakukan peliputan berita perjalanan dan pidato Soeharto di depan masyarakat di Rangkasbitung menjelang pemilihan umum. Hasil liputan itu cepat-cepat dibawa oleh saudara Louis Taolin kembali ke Jakarta malam-malam,  sehingga sudah bisa dibaca esok pagi pada halaman depan Suara Karya.

Sebagai pemimpin, Soeharto lebih banyak menggunakan falsafah kepemimpinan Jawa, melebihi referensi dari teori-teori kepemimpinan lain yang dianggap lebih modern. Karenanya, ia juga banyak menjalankan ritual-ritual Jawa sebagai kelengkapan diri. Namun dalam pola tindakan, ciri militernya tetap terasa alurnya secara kuat. Dalam masa pemerintahannya, kita tahu bahwa Soeharto memakai pembangunan –sebagai sentuhan yang lebih modern karena mengenal sistematika– sebagai dasar. Konsep dasarnya adalah Pancasila, yang di dalam rangka pelaksanaannya adalah melalui pembangunan. Kalau kita lihat secara historis, adanya pembangunan secara sistematis, terkait dengan adanya sikap anti komunisme. Tanpa pembangunan, PKI akan subur. Soeharto melihat komunisme itu dari sudut praktis.

Terkait penempatan Pancasila sebagai ideologi, Pak Harto secara gamblang mengatakan kalau orang mau ber-Pancasila, maka orang itu harus menghayati dan hidup sebagai orang yang Pancasilais. Itu dinyatakannya sebelum perumusan P-4 di tahun 1978. Dalam pidato-pidatonya, Soeharto berkata, kita sudah mempunyai Pancasila, tapi kita belum menghayati Pancasila. Akan tetapi dalam pelaksanaan pemerintahannya ia lebih melihat pada aspek pembangunan, melebihi Soekarno. Bila Soekarno adalah pemimpin mempertahankan kemerdekaan dan Pemimpin Revolusi, maka Soeharto diangkat sebagai Bapak Pembangunan. Sebagai akibatnya, pada masa pemerintahan Soeharto aspek manajemen atau pengelolaan pembangunan lebih mengemuka. Dan bila aspek pengelolaan pembangunan itu sudah dominan, ditambah dengan retorika bahwa pembangunan memerlukan stabilitas nasional, dengan sendirinya unsur demokrasi akan tertinggal. Namun demikian, institusi-institusi sebagai cerminan negara demokrasi ada dengan jelas. Hanya, di dalam institusi-institusi itu tidak berlangsung metabolisme. Serba artifisial.

Pada tahun 1994 saya mencoba memberikan kontribusi pemikiran mengenai aspek kedaulatan rakyat yang tertinggal ini dalam sebuah media nasional, Suara Pembaruan, 29 Agustus 1994. Tulisan tersebut mengaitkan mengenai paham kekeluargaan dengan kedaulatan rakyat. Paham kekeluargaan, demikian saya tuliskan, acap kali diidentikkan dengan konsep keluarga. Identifikasi demikian, kemungkinan berasal dari kerancuan pengertiannya. Namun yang lebih mendasar tampaknya karena hal itu berangkat dari perspektif empiris yang menangkap berbagai implementasi negatif hubungan-hubungan ekonomi dan politik dalam kehidupan kemasyarakatan. “Implementasi negatif demikian seharusnya segera dihilangkan agar tidak menimbulkan sikap apatis dan sinis dari masyarakat”. Sebenarnya kala itu saya mencoba memberi peringatan ‘halus’ tentang digunakannya hubungan keluarga sebagai dasar saling memberi keuntungan dalam kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi, yang belakangan di masa reformasi empat tahun kemudian diserang sebagai nepotisme yang terkait dengan korupsi dan kolusi. Tetapi mungkin peringatan itu terlalu demikian halusnya sehingga tak ada gemanya kala itu. Dan korupsi, kolusi serta nepotisme tetap berlangsung.

Kedaulatan rakyat dengan sikap demokratis dan respek satu sama lain adalah esensi sikap dalam paham kekeluargaan yang merupakan suatu tekad atau kehendak bersama  yang tumbuh dari bawah untuk hidup sebagai bangsa dalam negara merdeka. Paham kekeluargaan merupakan paham kebersamaan, persatuan dan kesatuan yang tidak melenyapkan pribadi-pribadi warganya. Paham kekeluargaan demikian senantiasa dikaitkan dengan sistem demokrasi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai esensi paham kekeluargaan, memerlukan sekaligus mendorong berkembangnya respek antar individu, kelompok maupun golongan dalam masyarakat, yang mungkin lebih dipahami sebagai persaudaraan. Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dipecahkan melalui musyawarah dengan semangat paham persaudaraan. Sikap demokratis dan respek merupakan suatu wujud keterbukaan diri, di dalamnya pendapat masyarakat dan penyelenggara negara dapat berbeda ataupun salah. Hal ini mengisyaratkan perlu adanya pola atau mekanisme untuk saling kontrol dan koreksi antar berbagai komponen masyarakat maupun penyelenggara negara. Sikap demokratis dan toleran dalam sifat keterbukaan diri demikian, akan memungkinkan terjadinya dialog dan kontrol sosial. Keterbukaan diri, baik pada individu maupun secara kolektif dalam kelompok-kelompok masyarakat dan para penyelenggara negara, menunjukkan sejauh mana sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai demokrasi yang kita anut. Keterbukaan yang cenderung ditentukan pemerintah menunjukkan tingkat pengendalian pemerintahan dalam komunikasi politik.

Paham kekeluargaan atau persaudaraan menegaskan, kesejahteraan rakyat lebih dari sekedar kemakmuran. Kesejahteraan rakyat lebih dari keseimbangan antara kewajiban sosial dan keuntungan individu. Kesejahteraan sosial sebagai kesejahteraan umum mencakup keseluruhan lembaga dan usaha dalam hidup sosial, yang membangun dan memungkinkan masing-masing pribadi, keluarga dan kelompok sosial untuk lebih mudah mencapai kesempurnaan dan martabat secara penuh serta mencapai masyarakat adil makmur. Individu warga masyarakat diperlakukan sama untuk menjamin pemenuhan harkat dan martabat kemanusiaannya secara adil. Keadilan sosial dan kemakmuran dalam paham persaudaraan menyangkut keseluruhan masyarakat. Keadilan sosial lebih luas daripada sekedar keadilan perorangan, senantiasa menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga masyarakat dan negara secara keseluruhan. Hak-hak dan kewajiban dasar itu harus dihargai, dijamin dan dilindungi oleh keseluruhan masyarakat dan negara. Dengan demikian, perwujudan keadilan sosial berkaitan erat dengan struktur dan proses sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat dalam suatu negara.

*Prof. Dr Midian Sirait. Hari ini Minggu 9 Januari 2011, pukul 09.35, beliau meninggal dunia dalam usia 82 tahun. Semasa hidupnya, antara lain pernah menjadi, Pembantu Rektor II urusan Kemahasiswaan ITB (1965-1969), Anggota DPR-GR/MPR-RI (1968-1978) dan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan(1978-1988), tetapi jauh lebih dikenal sebagai tokoh gerakan perombakan struktur politik Indonesia 1966-1970. Tulisan ini dicuplik dari buku terbaru yang merupakan karya tulisnya yang terakhir, saat berusia 80 tahun, “Revitalisasi Pancasila, Catatan-catatan Tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial”, Kata Hasta Pustaka, 2008.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s