PERSOALAN terbesar Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat –sebagai basis utama kekuatan politiknya– adalah proses pertumbuhan yang terlalu cepat dalam suatu situasi kehidupan politik yang serba tidak normal. Kemunculan SBY lebih banyak ditopang oleh sejumlah ‘kecelakaan’ politik di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dan masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri, yang menciptakan kesan sebagai korban penganiayaan politik berturut-turut oleh dua presiden.
SBY diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menko Polsoskam 1 Juni 2001, dengan latarbelakang cerita ketidaksetujuannya terhadap rencana Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid. Sebaliknya, Abdurahman Wahid menganggapnya tak bisa diandalkan lagi sebagai Menko Polsoskam untuk menghadapi Jenderal Wiranto –yang sebelumnya sempat menjadi Menko Polsoskam dan digantikan posisinya oleh SBY– dan konspirasi partai-partai. Sebenarnya, Abdurrahman Wahid menawarkannya pindah posisi menjadi Menteri Perhubungan –yang saat itu dijabat Jenderal Agum Gumelar– atau Menteri Dalam Negeri, tapi ia menolak. Posisinya sebagai Menko Polsoskam akhirnya diberikan kepada Agum Gumelar. Menteri yang dipastikan mengundurkan diri karena menolak Dekrit, adalah Sekretaris Kabinet Marzuki Darusman –yang sebelumnya sempat menjadi Jaksa Agung.
Malam menjelang dekrit, Marzuki Darusman masih mencoba mencegah Abdurrahman Wahid, tetapi ia ini tetap bersikeras akan melakukan dekrit. Marzuki langsung menyatakan mengundurkan diri. Abdurahman Wahid menyatakan bisa memahami dan menerima pengunduran diri itu. Saat keluar dari ruang pertemuan dengan Presiden, Marzuki berpapasan Agum Gumelar, yang menanyakan, “bagaimana?”. Marzuki menjawab, “saya cabut”. Agum yang diterima Presiden setelah itu, akhirnya memilih sikap yang sama. Seperti halnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Agum juga melapor ke Wakil Presiden Megawati, setelah mengundurkan diri. Marzuki Darusman dalam pada itu, melewatkan acara lapor-melapor seperti itu. Apakah mungkin karena itu, Marzuki kemudian tidak terbawa dalam kabinet baru Megawati Soekarnoputeri yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid pasca impeachment, sementara Susilo Bambang Yudhoyono maupun Agum Gumelar kembali mendapat posisi di kabinet?
Susilo Bambang Yudhoyono ikut dicalonkan sebagai salah satu kandidat Wakil Presiden dalam Sidang Istimewa MPR 25 Juli 2001 untuk mengisi kekosongan setelah Megawati Soekarnoputeri naik menjadi Presiden RI pasca impeachment. Namun pilihan mengerucut kepada dua nama saja, yakni Hamzah Haz (PPP) dan Akbar Tanjung (Partai Golkar), untuk akhirnya dimenangkan oleh Hamzah Haz. Gagal menjadi Wapres, SBY dipilih Mega menjadi Menko Polkam 10 Agustus 2001. Hubungannya baik-baik saja dengan sang Presiden sampai saatnya, pihak ‘istana’, khususnya Taufiq Kiemas, mulai membaca bahwa SBY sedang mempersiapkan diri sebagai the next number one. Tetapi sebenarnya, ini tidak harus mengejutkan, karena bukankah dalam SI MPRS 2001 SBY telah maju sebagai calon Wakil Presiden. Biasanya, sekali melangkah, orang takkan mau surut lagi. Dalam hal SBY, ternyata ia didorong oleh kelompok sekelilingnya untuk terus mempersiapkan diri. Sempat ada saling pendekatan bahwa dalam Pemilihan Umum Presiden 2004, ia akan maju mendampingi Megawati Soekarnoputeri sebagai number two. Namun menunggu sampai saat-saat terakhir, belum ada kepastian yang bisa dipegang, sehingga ‘kubu’ SBY memutuskan untuk melangkah sendiri. Antara lain kemudian, mendirikan Partai Demokrat.
Saat mulai melangkah sendiri itulah muncul serangan-serangan, khususnya dari Taufiq Kiemas. SBY dianggap mulai mengabaikan tugas utamanya sebagai Menko Polkam demi keinginannya melaju ke pentas kepemimpinan nasional. SBY mengeluh kepada para wartawan bahwa dirinya berkali-kali dilampaui, tidak diundang dalam rapat kabinet, dan tidak dilibatkan oleh Presiden dalam pengambilan keputusan di bidangnya. Ketika SBY mengadakan rapat koordinasi Polkam, menteri-menteri yang diundangnya tak menghadiri rapat. Taufiq Kiemas, menyebutnya sebagai seorang jenderal yang kekanak-kanakan, mengeluh dan mengadu kepada wartawan, bukannya kepada Presiden sebagai atasannya. Tanggal 9 Maret 2001 ia mengirim surat kepada Presiden mempertanyakan hal ikhwal kewenangannya sebagai Menko Polkam sekaligus meminta waktu untuk bertemu Presiden. Suratnya tak dijawab, karena menurut Sekertaris Negara Bambang Kesowo, seorang menteri semestinya tak perlu menyurat sekedar untuk meminta waktu bertemu Presiden. Lalu ia diundang untuk hadir dalam rapat kabinet. Namun ia ‘membalas’ dengan tidak hadir, dan malah 11 Maret 2001 mengirim surat pengunduran diri kepada Presiden Megawati Soekarnoputeri.
Beberapa ucapan Taufiq Kiemas, maupun sikap Megawati sendiri, agaknya cukup menyinggung rasa kehormatan keluarga, termasuk isteri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Nyonya Sunarti Sri Hadijah, sang mertua. Beliau diketahui menjadi salah satu pendorong utama agar SBY maju bertarung dalam gelanggang perebutan posisi number one. Jenderal Sarwo Edhie, seperti yang tercatat dalam sejarah, adalah salah satu tokoh penentu yang penting dalam tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, bukan hanya dalam momen sejarah 30 September dan 1 Oktober 1965, melainkan juga sebagai penopang gerakan-gerakan anti Soekarno oleh kaum muda di tahun 1966.
KARENA semua yang dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono serba beraroma accident, maka karier politik dan kekuasaan SBY cenderung dibangun dalam rangkaian jawaban dan reaksi situasional. Bukan hasil rancangan yang cermat dirancang dalam waktu yang cukup, sebagaimana menjadi ciri kemunculan sejumlah pemimpin nasional di Indonesia, dengan Soekarno sebagai pengecualian. Presiden-presiden Indonesia setelah Soekarno, lahir sebagai buah historical by accident, atau paling tidak sebagai improvisasi sesaat, mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono. Mungkin dapat pula dikatakan, mereka bukanlah tokoh-tokoh yang sempat secara kualitatif berjuang dan mempersiapkan diri sebagai negarawan. Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah buah tempaan karir militer –yang dulu mengandalkan kekuatan senjata dalam politik di saat kaum sipil mengandalkan kecap politik– bukan negarawan. BJ Habibie adalah ilmuwan dan teknolog yang tidak terdidik dengan pengalaman kenegarawanan. Abdurrahman Wahid, mungkin memiliki dasar-dasar pemahaman demokrasi dan kenegarawanan yang memadai, tetapi kondisi kesehatannya di masa menjadi Presiden tidak mendukung, sebagaimana atmosfir lingkungan ‘politik’nya di lingkaran NU sama tak menopangnya. Megawati sementara itu hanya ditopang oleh aspek sentimental sejarah terkait ayahandanya.
Cita-cita awal SBY adalah menjadi Wakil Presiden mendampingi Megawati, diupayakan dalam dua kesempatan, namun persinggungan keduanya malah menghasilkan kecelakaan-kecelakaan. Namun, memang kecelakaan-kecelakaan itulah yang membawanya ke kursi number one pada akhirnya. Tetapi sebagai number one ia tak begitu pandai memilih orang untuk duduk dalam kabinetnya, terutama mungkin karena ia terlalu meladeni situasi kompromistis.
Masa kepresidenannya yang pertama, sedikit tertolong oleh the bad among the worst Muhammad Jusuf Kalla yang cukup gesit dan lincah. Dan tak kalah penting, tertolong oleh keberhasilan Jusuf Kalla ‘merebut’ Partai Golkar melalui Munas di Bali yang berlangsung sedikit banyak dalam pengaruh iklim money politics dan masih kuatnya rasa gamang sejumlah tokohnya untuk berada di luar lingkaran kekuasaan pemerintahan. Sedang dalam masa kepresidenannya yang kedua, SBY tertolong oleh kehadiran Sri Mulyani di posisi Menteri Keuangan, meski pada saat yang sama terjadi sorotan kuat dalam kasus Bank Century dan skandal Mafia Pajak Bahasyim dan Gayus Tambunan. Tetapi orang pada akhirnya tahu dan ‘melepaskan’ Sri Mulyani dari kedua kasus itu dan menempatkannya sebagai ‘korban’ konspirasi tingkat tinggi dalam tubuh kekuasaan.

SEBENARNYA, secara objektif beberapa keberhasilan Presiden SBY selama 6 tahun lebih ini, cukup bisa diapresiasi, terutama di bidang ekonomi dan keuangan. Angka devisa tertinggi Indonesia misalnya, tercapai di masa SBY, melebihi masa Soeharto. Pers dan masyarakat juga menikmati kebebasan demokrasi, namun banyak di antara unsur pers dan masyarakat sendiri yang kebablasan dalam menikmati kebebasan dan hak azasinya dalam demokrasi seraya melupakan aspek kewajiban azasinya. Arus anarki dari luar kekuasaan lebih kuat dari anarki yang datang dari kalangan kekuasaan, terbalik dengan masa lampau. Dengan demikian, SBY sesungguhnya punya potensi menjadi number one, bukan number two setelah Soeharto. Tetapi persoalannya, aparat di bawah SBY tidak tangkas menghadapi persoalan-persoalan anarki dan sebagainya itu, sehingga SBY harus rela menerima kritik-kritik bahwa negara gagal melindungi dan menjamin rasa aman warganegaranya. SBY dan kalangan penegak hukum di bawahnya juga dianggap gagal menghadapi para koruptor, karena para pagar hukum itu terjangkit oleh perilaku suap dan korupsi itu sendiri.
Bersamaan dengan itu, SBY direpotkan menangkis berbagai serangan karena tidak selektif dalam menanggapi langsung berbagai persoalan, sebagaimana ia harus repot menghadapi berbagai akibat dari ulah, komentar dan beraneka move yang tidak matang dan sebenarnya tidak penting-penting amat, baik dari aparatnya di pemerintahan maupun para kader di partai pendukung utamanya, Partai Demokrat. Terbaru, mulai dari kasus Seskab Dipo Alam versus pers, isu gempa Jakarta dari Andi Arief staf khusus Presiden sampai ke yang terbaru kasus suap Kemenpora dan berita keterlibatan bendahara Partai Demokrat Nazaruddin serta anggota DPR Partai Demokrat Angelina Sondakh. Adapun Partai Demokrat yang mengalami sindrom mendadak menang besar –tiga kali lipat dari pemilu sebelumnya– memiliki persoalan tersendiri dengan mengarusnya berbagai macam manusia ke dalam tubuhnya saat filter pengamannya belum berfungsi baik. Partai ini masih bersandar penuh kepada figur SBY, sebagaimana PDIP bersandar kepada figur Mega. Merupakan tanda tanya, bagaimana nasib kedua partai itu nantinya tanpa figur sandaran mereka?
Dan last but not least, karena para pengeritik melihat bahwa SBY sangat sensitif bila citranya dilukai, maka para pengeritik maupun lawan-lawan politiknya selalu menyerang dari sisi lemah itu. SMS gelap yang menyinggung suatu hal yang sangat pribadi dari dirinya, bisa membuatnya bereaksi melebihi apa yang bisa diduga sebelumnya. Seringkali di antara kritik dan serangan itu ada yang tidak adil bahkan tidak beretika, tapi dalam kehidupan politik yang sakit, semua itu menjadi ‘halal’ karena ‘dihalalkan’. Meniru adagium dalam mitologi Cina, hanya ada satu cara menghadapi naga, yakni menebas kepala sang naga. Barangkali itu yang mau dilakukan lawan-lawan politik Susilo Bambang Yudhoyono. Masalahnya, kesempatan itu kerap kali dibuka sendiri….