Tag Archives: PM Jepang Kakuei Tanaka

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (13)

“Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.

PADA saat-saat berikutnya, dengan kombinasi tindakan-tindakan keras dengan cara bujuk rayu, sejumlah kerusuhan di berbagai tempat berhasil diredakan. Meski, sampai Rabu petang, di sana sini masih ada juga pencegatan-pencegatan dan pembakaran kendaraan bermotor dilakukan oleh sekelompok massa. Hingga sepanjang hari Rabu, rangkaian penangkapan dilakukan terus menerus dalam frekuensi yang besar. Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar yang siang harinya mengadakan konperensi pers bersama Rektor UI Prof Dr Mahar Mardjono, petang harinya diberitakan menyerahkan diri kepada Laksus Kopkamtibda. Tetapi istilah menyerahkan diri ini dibantah oleh Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Tidak benar Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar menyerahkan diri kepada Kopkamtib, demikian penjelasan mereka. Yang benar adalah bahwa kedatangan Hariman Siregar untuk menemui Wapangkopkamtib Soedomo atas anjuran dan jaminan Gubernur DKI Ali Sadikin. Tapi bantahan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini beberapa waktu sesudahnya (18 Januari) dinyatakan oleh mereka sendiri sebagai dicabut kembali.

Apapun kejadiannya, faktanya Hariman Siregar kemudian ditahan. Dan malam harinya menjelang tutup siaran TVRI, Hariman muncul di layar TV milik negara itu menyerukan kepada mahasiswa dan pelajar untuk tenang dan waspada dan tidak ikut aksi-aksi perusakan. Ia membacakan pernyataan Dewan Mahasiswa dan Senat-senat Mahasiswa UI yang menegaskan “tidak membenarkan cara-cara perusakan”.

Tentang peranan Ali Sadikin di seputar Peristiwa 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro belakangan mengungkap bahwa setelah ia kembali ke kantor usai menghambat demonstran dari arah Selatan menuju Monas, ia menerima laporan bahwa Gubernur Ali Sadikin waktu itu ada di kampus. Ia meminta Ali Sadikin datang, dan menegur “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus ?”. Ali Sadikin memang adalah seorang perwira Korps Komando Angkatan Laut –kini disebut Korps Marinir– dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Soedomo, namun tak tahu apa dibicarakan mereka kemudian. “Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro di kemudian hari. Adalah menarik bahwa sebelum peristiwa 15 Januari 1974, tak jarang para pimpinan mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. “Lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak”, kata beberapa dari mereka.

Keinginan menjadi ‘incoming leader’ memang secara diam-diam menjadi obsesi beberapa tokoh dalam kekuasaan waktu itu. Setidaknya ada tiga nama pada deretan atas dalam daftar tokoh yang punya obsesi seperti itu: Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Ali Sadikin dan Jenderal Soemitro sendiri. Beberapa diantaranya memang amat serius, kendati pun secara terbuka mereka menyembunyikan hasrat itu rapat-rapat. Di lingkungan Ali Moertopo, ada semacam keyakinan bahwa Jenderal Soeharto mau tak mau pada waktunya harus melepaskan kursi Presiden dalam satu periode atau paling lambat dua periode lagi, yakni 1978 atau 1983. Alternatif terkuat –dan harus diupayakan diwujudkan– sebagai ‘the next’ adalah Ali Moertopo. Maka kemunculan Jenderal Soemitro dengan ‘pola kepemimpinan nasional baru’nya menjadi persoalan yang harus dihadapi.

Selama dua hari kerusuhan, 15-16 Januari 1974, tercatat 9 orang meninggal dan 23 orang luka parah maupun ringan, menurut angka-angka resmi. Berdasarkan keterangan saksi-saksi mata, jumlah korban yang jatuh sebenarnya jauh lebih banyak, terutama di antara mereka yang dikategorikan kaum perusuh yang memanfaatkan situasi. Banyak dari mereka yang dianggap perusuh langsung ditembak di lokasi peristiwa.

Tetapi terlihat, betapa kalangan penguasa lebih mengutamakan memberikan keterangan mengenai kerugian materil yang diderita daripada angka-angka yang menyangkut nyawa manusia. Menurut Gubernur Ali Sadikin, 269 mobil terbakar, 253 mobil rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung dibakar dan 113 dirusak, 5 bangunan industri rusak berat maupun ringan. Sedang menurut Menteri Pertahanan Keamanan Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean di depan Sidang Pleno DPR-RI Senin 21 Januari, 807 mobil terbakar atau rusak, 187 sepeda motor dibakar, 160 kilogram emas dirampok disamping kerusakan gedung-gedung dan bangunan. Korban jiwa diakui 11 orang dan jumlah yang luka-luka tidak bisa diperincikan.

Garis sikap yang tak patah

MENANGGAPI apa yang terjadi di Jakarta sejak 14 hingga 15 Januari 1974, mahasiswa Bandung tidak menunjukkan garis sikap yang patah. Dewan-dewan dan Senat-senat Mahasiswa se-Bandung, karena pertimbangan tersendiri yang berkaitan dengan adanya gelagat penunggangan oleh pihak non kampus terhadap gerakan mahasiswa dan kemungkinan adanya skenario khusus permainan kekuasaan, tidak jadi ke Jakarta menyambut Tanaka. Sebagai gantinya mereka merencanakan turun ke jalan pada 14 Januari di Bandung untuk melancarkan gerakan protes. Selain itu, pada saat-saat terakhir para pimpinan 13 DM/SM Bandung memutuskan untuk menolak menghadiri pertemuan dialog dengan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta Rabu siang 16 Januari, sesuatu yang diusahakan oleh Pangkopkamtib dan telah disetujui oleh Tanaka.

Namun, turun ke jalan 14 Januari juga batal dilaksanakan oleh para mahasiswa Bandung. Mereka melangsungkan “Apel Berkabung” dengan kedatangan Tanaka, sebagai pengganti turun ke jalan. Pembatalan turun ke jalan antara lain sebagai isyarat mahasiswa Bandung menghormati Divisi Siliwangi, karena pada hari itu ada serah terima jabatan Panglima Siliwangi kepada pejabat baru Mayjen Aang Kunaefi. “Bagaimana pun juga, kami tetap menghormati Siliwangi”, ujar Sekjen DM Universitas Padjadjaran Tjupriono Priatna mewakili para mahasiswa. Dalam apel yang berlangsung dalam hujan rintik-rintik di kampus Dipati Ukur Universitas Padjadjaran itu, mahasiswa mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda duka. Mereka mengibarkan pula bendera hitam yang di bagian tengahnya terdapat sebuah tanda tanya, mendampingi bendera Merah Putih. Tak kurang dari 20 DM/SM se Bandung menghadiri apel duka.

Arjuna dari DM Universitas Padjadjaran membacakan naskah “Berita Duka untuk Indonesia”. Hari ini tanggal 14 Januari 1974, Perdana Menteri Tanaka dari Jepang akan datang ke Indonesia. “Kita kecewa karena pihak penguasa lebih mementingkan menyambut Tanaka dengan melupakan bagaimana besar perasaan tak puas masyarakat terhadap peranan pengusaha Jepang dalam kolaborasinya dengan ‘penjual-penjual’ bangsa Indonesia”. Mahasiswa menyimpulkan bahwa penguasa memang makin menomorduakan perhatian terhadap usaha-usaha kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Muslim Tampubolon dari ITB menyatakan hukum bukan semakin tegak, keadilan sosial hampir tak terasa ada, “karenanya sekarang kita perlu memperjuangkan penurunan harga dan menghilangkan ekspansi ekonomi dari Jepang”. Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran yang juga tampil berbicara, menegaskan “Penundaan turun ke jalan bukan berarti perjuangan mahasiswa telah mengendur, tetapi justru mahasiswa tahu dan harus menghormati norma-norma yang terdapat di masyarakat”. Menurutnya, “mahasiswa bergerak dengan akal dan perhitungan, dan mencoba membuang emosi yang tidak-tidak”. Turun ke jalan bukanlah satu-satunya cara mencapai tujuan.

Tatkala pada waktu yang bersamaan gerakan mahasiswa di Jakarta ‘dijerumuskan’ ke dalam perangkap dan skenario gerakan makar, mahasiswa Bandung tidak terbawa arus untuk melontarkan kecaman apalagi kutukan terhadap kerusuhan yang terjadi di Jakarta dengan menyudutkan posisi mahasiswa dalam Peristiwa. Pada saat tersiar berita pecahnya peristiwa 15 Januari di Jakarta, mahasiswa Bandung segera mengeluarkan seruan bersama. “Berita terakhir yang dapat diperoleh menyatakan bahwa Jakarta dalam situasi yang dapat mengancam keselamatan negara dan bangsa. Dikhawatirkan adanya ekses-ekses yang dapat membawa pengaruh buruk bagi rakyat Indonesia. Maka dengan ini kami, Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung menyatakan kepada seluruh mahasiswa agar: 1. Tetap tenang dan waspada serta dapat menilai situasi secara akademis. 2. Tidak bertindak sendiri-sendiri dan terus mengikuti perkembangan keadaan melalui kampusnya masing-masing (DM-SM masing-masing). Seruan ini agar menjadi perhatian kita semua dengan mengingat kecintaan kepada Negara dan Bangsa”. Seruan itu ditandatangani oleh wakil 12 DM/SM se Bandung, yakni Muslim Tampubolon (DM-ITB), Hatta Albanik (DM Universitas Padjadjaran), Budiono (DM Universitas Parahyangan), Roy Pradana (DM Universitas Kristen Maranatha), Muddin Said (DM-IKIP), Eddy Suparminto (SM Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Pulung Peranginangin (SM Akademi Tekstil Berdikari), Rahman Abbas (SM Akademi Geologi dan Pertambangan), Rizal Asri (DM Institut Teknologi Tekstil), Dedeng Z (DM Universitas Islam Bandung), Y. Lase (SM Akper) dan Jance Andreas (SM National Hotel Institute).

Keesokan harinya, Badan Kerja Sama DM/SM se Bandung kembali mengeluarkan pernyataan.“Gerakan-gerakan mahasiswa yang berlangsung hingga saat ini masih berada dalam garis yang menampilkan aspirasi masyarakat luas”, demikian mereka nyatakan dengan tegas pada tanggal 16 Januari 1974. Dengan sikap kritis yang tetap jelas dan tegas terhadap kalangan kekuasaan, mereka menguraikan pokok masalah sejak awal. “Kondisi dan perkembangan hidup kemasyarakatan saat ini, menunjukkan perlunya perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh dari seluruh lapisan masyarakat untuk tetap tegaknya kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Betapa pun juga perkembangan kondisi dan situasi ini, bermula dari timbulnya keresahan-keresahan di dalam masyarakat yang juga melanda dan kemudian direfleksikan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.

Merasa gerakan mahasiswa masih berada pada garis aspirasi masyarakat, BKS DM/SM se Bandung ini menyatakan lebih jauh bahwa perkembangan dari gerakan-gerakan mahasiswa hingga saat itu, 16 Januari 1974, menunjukkan semakin melebarnya partisipasi masyarakat luas, “Konsekwensi lanjut dari keadaan ini berkembang hingga sampai pada suatu titik yang memprihatinkan, sudah seharusnyalah ditanggapi dalam proporsinya yang wajar. Adalah merupakan kewajiban dari setiap lapisan masyarakat untuk dalam ikut sertanya, tetap berusaha membela panji-panji suci kemurnian gerakan mahasiswa yang diarahkan pada tujuan perjuangan kehidupan masyarakat banyak. Suatu tindakan yang mencoba memancing sikap keras mahasiswa, haruslah dinilai sebagai sikap yang sama sekali tidak bijaksana, apalagi jika hal itu dilakukan oleh pihak penguasa”.

Berlanjut ke Bagian 14

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (9)

“Dan tatkala Hariman diisukan lagi menjalin hubungan baru dengan Jenderal Soemitro yang dianggap rival Jenderal Ali Moertopo dalam kekuasaan, lengkaplah sudah kegusaran terhadap sepak terjang Hariman dalam permainan politik dan kekuasaan. Salah satu sebab kenapa Hariman dianggap bersatu dengan Soemitro adalah karena keikutsertaannya dengan gerakan anti Jepang yang berarti menyerang Soedjono Hoemardani dan dengan sendirinya berarti anti Aspri”.

“KITA akui Angkatan 45 berjuang mencucurkan darah. Tapi harus diakui juga nama Angkatan 45 juga sering digunakan untuk memeras rakyat”, kata Paulus Tamzil yang adalah anggota MPPM Universitas Padjadjaran. “Meski kita lahir belakangan, kita pun mencintai negara kita dengan cara kita sendiri”. Ia menegaskan mahasiswa akan turun ke jalan kalau perasaan sudah tak tertahankan. Dikatakannya, dukungan kepada pemerintah kini tidak seratus persen lagi. “Apa gunanya mendukung seratus persen, apa gunanya jilat menjilat. Saya dukung Presiden Soeharto kalau mengemban aspirasi rakyat. Tapi sekarang ini banyak dukun palsu di sekitar Presiden”. Menyambung pengutaraan Paulus, Sofjan dari IKIP Bandung menyatakan kegembiraan bahwa seluruh generasi muda dapat berjuang untuk seluruh masyarakat, bukan hanya perjuangan oleh sekelompok pimpinan mahasiswa atau perguruan tinggi tertentu saja.

Dengan ditunjuknya dengan jelas Soedjono Hoemardani sebagai dukun Jepang dalam apel ini, Rahman Abbas dari DM Akademi Geologi & Pertambangan mengusulkan sekaligus mencari siapa dukun cukong-cukong  untuk investasi modal dalam negeri. Mereka mengingatkan juga untuk memperhatikan fakta banyaknya pengusaha bernama tiga suku kata mendapat kredit besar. “Dapat dikatakan omong kosong Indonesia bisa maju jika pejabat-pejabat telah bisa dibeli dengan uang”. Wakil dari Akademi Tekstil Berdikari dalam pada itu menyuarakan jeritan pengusaha tekstil Majalaya. Ia mengungkap bahwa tatkala Aspri Soedjono Hoemardani berkunjung ke Majalaya sempat menjanjikan kredit bagi mereka yang mempunyai modal 25% dari jumlah kredit yang diminta. “Tapi nyatanya janji ini tidak pernah dipenuhi”. Penguasa boleh jadi sudah tidak punya kepekaan lagi dan tak merasa perlu menepati janji. Tapi mahasiswa, menurut Dewan Mahasiswa UKI Maranatha, “hendaknya memperhatikan isyarat atau jeritan rakyat. Jangan sampai rakyat frustrasi”. Masyarakat itu seperti bayi yang mungkin saja tidak bisa bicara, namun memberikan isyarat bila menghendaki sesuatu. Apalagi, menurut pengamatan Dewan Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), keadaan rakyat makin memprihatinkan. Di terminal bus Kebun Kelapa misalnya, makin banyak pengemis yang menadahkan tangan.

Bergerak membela kepentingan masyarakat sudah merupakan kewajiban mahasiswa yang tak perlu ditawar-tawar lagi. “Dalam suatu keadaan yang sehat, mahasiswa harus bisa menghayati tugas utamanya yaitu belajar”, ujar Budiono Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan. “Tetapi dalam keadaan seperti sekarang, wajib mengalihkan perhatian dari bangku kuliah ke penyelesaian masalah bangsa dan negara, dengan menilai, mengoreksi, mendesakkan koreksi kepada pemerintah sebagai lembaga yang bertanggungjawab. Mahasiswa harus menyuarakan hati nurani, ada fakta dan menggunakan akal sehat. Untuk perjuangan ini perguruan tinggi adalah lembaga yang harus bertanggung jawab menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran”. Tapi mahasiswa, kata DM Institut Teknologi Tekstil (ITT), jangan hanya berteriak-teriak, “harus berani radikal”.

Dosen ekonomi Soeharsono Sagir SE –yang pernah menjadi dekan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran– menilai pergerakan mahasiswa sekarang sudah pada tempatnya. “Kalau mereka tak bergerak, saya akan menggerakkan, karena di bumi Indonesia belum ada keadilan sosial”. Ia mengingatkan betapa negara telah berada dalam posisi yang begitu buruk dan membutuhkan perbaikan segera. “Negara kita sudah onder kuratele. Dalam istilah hukum, ini berarti orang yang sudah tidak punya hak turut serta dalam lalu lintas hukum”. Onder kuratele dikenakan kepada antara lain orang tidak waras otak, di bawah umur. “Keadaan onder kuratele ini sudah dimulai sejak kita menggadaikan pada luar negeri.  Negara kita telah digadaikan, ikan di laut, minyak di bumi, hasil hutan pun digadaikan. Omong kosong kalau tidak bisa katakan negara kita onder kuratele”.

Dewan-dewan mahasiswa dalam pertemuan 9 Januari 1974 itu menyebutkan pula rencana untuk turun ke jalan, bertepatan dengan hari kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka pada tanggal 14 Januari 1974. Namun aksi ini menurut mereka akan dilaksanakan dengan tertib dan hati-hati “untuk menghindarkan terjadinya penunggangan”. Turun ke jalan perlu dilakukan karena situasi yang ada tidak memberi kepuasan. Tahun demi tahun lewat, namun pejabat justru makin lupa berbuat untuk rakyat dan hanya ingat kepentingan pribadinya. Padahal menurut Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta Albanik, masalahnya sederhana saja, yakni pemerintah harus ada kemauan untuk memperhatikan keperluan rakyat. “Pejabat harus membawakan hati dan perasaan rakyat banyak”, ujar Hatta. “Dari pengusaha-pengusaha Jepang, kita ingin ada jaminan peningkatan usaha-usahanya diarahkan pada usaha-usaha untuk peningkatan taraf hidup rakyat. Sampai sekarang, pengusaha-pengusaha Jepang cenderung menggunakan mental lemah dari pejabat-pejabat kita”.

Tapi belakangan, ternyata mahasiswa Bandung membatalkan turun ke jalan pada hari kedatangan Tanaka di tanggal 14 Januari, baik di Bandung maupun di Jakarta. Di Jakarta, para mahasiswa justru menyambut Tanaka dengan gerakan besar-besaran yang kemudian berkembang menjadi peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974. Kenapa tidak turun ? Mahasiswa Bandung tampaknya punya alasan tersendiri dan jelas untuk itu.

Pertarungan internal kekuasaan

DIBANDINGKAN dengan mahasiswa Bandung, agaknya mahasiswa-mahasiswa Jakarta menghadapi berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Satu hal yang nyata, masih amat kuatnya pengaruh organisasi-organisasi ekstra universiter di dalam tubuh student government intra kampus, membuat situasi pergerakan atas nama kampus menjadi lebih rumit. Setiap organisasi ekstra melalui perpanjangan tangannya masing-masing bergerak sendiri-sendiri untuk memanfaatkan gerakan-gerakan atas nama kampus untuk kepentingan induknya masing-masing –baik induk organisasi maupun induk kelompok politik ataupun kelompok-kelompok dalam tubuh kekuasaan. Di kampus-kampus Jakarta terlihat misalnya betapa HMI yang punya tujuan dan agenda kepentingan atau agenda politik sendiri, begitu kuat percobaannya mewarnai gerakan mahasiswa untuk kepentingan spesifiknya. Sementara di beberapa kampus spesifik lainnya, dominasi organisasi ekstra lainnya juga tidak ketinggalan melakukan hal yang sama.

Yang paling tidak sepi masalah tak syak lagi adalah Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Terpilihnya Hariman Siregar sebagai Ketua Umum DM merupakan pertama kalinya untuk jangka waktu panjang bahwa DM dipimpin oleh non HMI. Tapi naiknya, Hariman Siregar tidak terlepas dari topangan kedekatannya pada awalnya dengan kelompok politik Tanah Abang (di bawah pengawasan kelompok Ali Moertopo) –yang oleh Hariman sendiri diakui dan disebutkan sebagai topangan Golkar. Pada masa sebelumnya, Hariadi Darmawan yang HMI dan sekaligus seorang perwira AD, juga memimpin DM-UI dan amat berpengaruh, satu dan lain hal juga terkait dengan topangan kelompok Ali Moertopo.

Tapi setelah menjadi Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar dianggap mulai melenceng dari garis Tanah Abang, kemudian dianggap dekat dengan GDUI (Group Diskusi Universitas Indonesia) dan kelompok PSI yang reperesentasinya di kampus antara lain dikaitkan dengan aktivis di Fakultas Ekonomi Sjahrir dari Somal dan Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Hariman dicurigai terkait dengan kelompok berkonotasi PSI itu, apalagi Hariman kemudian memang menjadi menantu Prof Sarbini Somawinata yang dikenal sebagai ekonom beraliran PSI garis keras. Selain itu Hariman dianggap melakukan pengkhianatan ketika menyerahkan posisi Sekjen DM-UI kepada Judil Herry yang HMI dan bukannya kepada tokoh mahasiswa yang dikehendaki Tanah Abang.

Dan tatkala Hariman diisukan lagi menjalin hubungan baru dengan Jenderal Soemitro yang dianggap rival Jenderal Ali Moertopo dalam kekuasaan, lengkaplah sudah kegusaran terhadap sepak terjang Hariman dalam permainan politik dan kekuasaan. Salah satu sebab kenapa Hariman dianggap bersatu dengan Soemitro adalah karena keikutsertaannya dengan gerakan anti Jepang yang berarti menyerang Soedjono Hoemardani dan dengan sendirinya berarti anti Aspri. Selain itu, sepanjang pengetahuan kelompok Tanah Abang, Hariman beberapa kali mengatakan Soeharto sudah perlu diganti dan penggantinya adalah Jenderal Soemitro. Hariman di belakang hari berkali-kali menyangkal adanya hubungan khusus dengan Jenderal Soemitro ini.

Bantahan Hariman ini sebenarnya dalam beberapa titik tertentu sejajar dengan suatu informasi internal di lingkungan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, bahwa di mata Soemitro maupun Sutopo Juwono hingga saat-saat terakhir  Hariman Siregar bagaimanapun disimpulkan ada dalam pengaruh Ali Moertopo. Pertama, secara historis Hariman terpilih sebagai Ketua Umum DM-UI karena dukungan Tanah Abang. Kedua, sikapnya yang banyak mengeritik strategi pembangunan para teknokrat, dianggap segaris dengan Ali Moertopo. Namun, Ali Moertopo pernah direpotkan oleh sikap dan kritik-kritik Hariman terhadap teknokrat ini. Suatu ketika Presiden Soeharto –yang tampaknya berdasarkan beberapa laporan yang masuk padanya juga menganggap Hariman ada dalam pengaruh dan binaan Ali Moertopo– meminta Ali untuk menegur Hariman agar menghentikan serangan-serangan terhadap strategi pembangunan yang dilontarkan para teknokrat, karena bagi Soeharto menyerang strategi pembangunan sama artinya dengan menentang GBHN. Ali diminta mempersuasi Hariman memperlunak kritik-kritiknya, kalau memang tidak bisa menghentikannya, menjadi kritik terhadap ‘pelaksanaan’ dan bukan terhadap ‘strategi’. Maka kelompok Tanah Abang lalu sibuk mencari Hariman, namun gagal karena Hariman menghindari mereka.

Satu dan lain sebab kenapa Hariman tetap dianggap dalam kawasan pengaruh Ali Moertopo, tak lain karena beberapa ‘operator’ Ali Moertopo sendiri beberapa kali mengklaim dalam laporan-laporannya ke atasan bahwa mereka berhasil ‘mempengaruhi’ dan ‘membina’ Hariman. Tapi sebenarnya yang berkomunikasi dengan Hariman adalah Dr Midian Sirait yang menangani koordinasi Pemuda-Mahasiswa-Cendekiawan (Pemacen) di DPP Golkar, dan tampaknya hubungan itu bisa berjalan baik untuk beberapa waktu. Suatu waktu, tugas komunikasi itu dialihkan kepada David Napitupulu, tetapi tugas itu banyak di’recok’i oleh yang lain di lingkungan kelompok Tanah Abang. Menurut Dr Midian Sirait, Hariman Siregar pernah menyatakan ketidak senangannya terhadap ‘peralihan’ ini.

Tanggal 28 Desember 1973, 10 fungsionaris DM-UI mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap Hariman Siregar. Sepuluh orang itu dengan jelas diidentifikasi kedekatannya dan merupakan bagian dari kelompok Tanah Abang. Mereka adalah Postdam Hutasoit, Leo Tomasoa, Togar Hutabarat, Arifin Simanjuntak, Agus Napitupulu, Saman Sitorus, Tisnaya Irawan Kartakusuma, Ria Rumata Aritonang, Max Rusni dan Sarwoko (Meskipun nama yang disebut terakhir ini disebutkan sebenarnya tidak turut serta dalam mosi tidak percaya itu. Hariman sendiri menyebutkan jumlah mereka hanya 8 orang, karena 2 lainnya tidak ikut mosi, termasuk Sarwoko). Sebelum melancarkan mosi tidak percaya diberitakan fungsionaris DM-UI sempat mengadakan rapat di rumah seorang Letnan Kolonel yang kebetulan adalah ajudan Jenderal Ali Moertopo.

Dewan Mahasiswa UI kelompok Hariman membawa persoalan mosi tidak percaya ke dalam kategori hambatan perjuangan melawan ketidakbenaran dalam tubuh kekuasaan. “Tentu saja, setiap perjuangan tidak luput dari risiko dan hambatan”, demikian DM-UI menanggapi. “Setiap gerakan sosial betapapun ukurannya, di samping melahirkan pahlawan-pahlawan, juga tak kurang banyaknya menghasilkan pengkhianat-pengkhianat: cecunguk-cecunguk murah, kaki tangan bayaran, oportunis-oportunis bernaluri rendah dan sebangsanya. Mahasiswa bukanlah politikus profesional, bahkan tidak memiliki pengalaman berpolitik sama sekali. Kita hanyalah mahasiswa dan bagian dari generasi muda Indonesia belaka. Tetapi kita cukup sadar dan dewasa untuk memahami dan mengerti praktek-praktek kotor cecunguk-cecunguk kaki tangan bayaran yang ingin mengacau itu. Dengan berbagai latar belakang, antara lain uang, ambisi pribadi, dengki dan iri hati, sikap petualangan, persaingan popularitas, beberapa gelintir anak muda dan mahasiswa menyerahkan dirinya menjadi kaki tangan golongan-golongan yang merasa terancam kedudukannya akibat kritik-kritik terbuka dan tajam yang diarahkan oleh mahasiswa selama ini”.

Dalam mosi tidak percaya, mereka mendakwa bahwa “kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM-UI tidak pernah dibicarakan secara formal dalam lingkungan institusi Dewan Mahasiswa UI secara keseluruhan. Mereka menuding “Kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM-UI telah menjurus kepada kegiatan-kegiatan pribadi dan di luar keputusan-keputusan rapat kerja DM-UI Nopember 1973 sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Kegiatan-kegiatan tersebut mereka anggap sudah bertendensi pengkhianatan terhadap hasil-hasil perjuangan alma mater Universitas Indonesia yang sudah dimulai sejak Oktober 1965. Mereka menuduh seluruh perbuatan Hariman Siregar adalah perbuatan manipulasi yang dalam bahasa plakat yang ditempelkan mengiringi mosi “didalangi dari belakang oleh partai tertentu”. Leo Tomasoa mempertegas tuduhan terakhir ini tanpa menyebut partai mana yang dimaksudkan. Hariman mereka sebutkan bermuka seribu, diktator kecil yang telah menjual Universitas Indonesia. Namun tak satu pun tuduhan dari kelompok mosi ini berani menyebutkan adanya hubungan Hariman dengan kelompok Jenderal Soemitro. Hariman sendiri membantah hubungannya dengan partai mana pun kecuali Golkar melalui koordinasi Pemacen yang diakuinya membantu mengorbitkannya menjadi Ketua Umum DM-UI.

Berlanjut ke Bagian 10

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (8)

Doa yang tak lazim….“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.  “Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.

Setidaknya masih terjadi dua pertemuan besar mahasiswa pada pekan pertama Januari 1974 itu. Satu di kampus Universitas Indonesia dalam bentuk malam tirakatan menyambut Tahun Baru 1974. Satunya lagi, Rabu 9 Januari di kampus Universitas Padjadjaran dalam suatu kegiatan yang disebut ‘apel berjemur diri’ hanya dua hari sebelum pertemuan mahasiswa dengan Presiden Soeharto.

Dalam malam tirakatan di kampus Universitas Indonesia, Salemba, para mahasiswa menampilkan ekspresi keprihatinan dan kegelisahan yang makin mendalam. “Kami mengajak semua yang hadir untuk merasakan keprihatinan pada malam ini”, ujar Gurmilang Kartasasmita dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, tatkala memulai acara sebagai tuan rumah. Ajakan ini mendapat sambutan dari DM-DM yang hadir, dari Jakarta maupun Bandung. “Mahasiswa resah karena peka terhadap sekitarnya. Kami resah karena ada yang tidak normal. Mudah-mudahan malam prihatin ini bisa menggugah bapak-bapak kita”, kata Hermansyah dari Universitas Muhammadiyah. “Saya merasa bahagia karena generasi muda sepakat untuk prihatin akan penderitaan rakyat, yang berarti generasi muda cukup mempunyai pandangan yang jauh ke depan”, sambung Ketua DM Universitas Trisakti yang menilai keadaan saat itu tak sesuai lagi dengan cita-cita kemerdekaan. Namun lebih dari sekedar keprihatinan, Ketua DM Universitas Atmajaya Jakarta, Lopez, mempertanyakan “Kita telah melihat kegelisahan-kegelisahan dan keprihatinan, lalu apa kelanjutan dari keprihatinan itu ? Kita menuntut perbaikan, kita bukan menganjurkan sekedar keprihatinan karena keprihatinan memang sudah ada di dada kita masing-masing. Dengan segala koreksi kita akan mengisi keprihatinan”.

Lalu Hatta Albanik, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran dari Bandung, mempertajam pernyataan-pernyataan sebelumnya, “Segelintir manusia telah memanfaatkan kebodohan masyarakat. Mereka tidak ingat bahwa negeri ini ditegakkan dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Terlalu sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata bagaimana penderitaan bangsa kita, dan apa yang harus kita perbuat. Tapi satu hal yang pasti, kita harus berbuat ! Malam ini merupakan satu pencetusan, satu obor perjuangan yang membakar negeri ini !”. Ucapannya yang retorik itu mendapat sambutan meriah dari hadirin.

Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi tuan rumah malam tirakatan itu menyampaikan pidato pernyataan diri yang dibacakan oleh Ketua Umum Hariman Siregar. “Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita adalah membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah untuk membuat rakyat yang menganggur untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. Beban kita adalah mengetatkan gandengan dengan sesama generasi muda untuk memikirkan masa kini dan masa depan. Ringkasnya, beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian rakyat untuk menyuarakan diri”. Beban itu, menurut DM-UI adalah beban bersama. “Sekali kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang dikutuk sejarah. Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan yang ditimbulkan himbauan kenikmatan yang dijanji-janjikan kepada kita. Dan juga kebisuan akibat feodalisme yang mementingkan sikap nrimo, apatis dan anti partisipasi. Artinya, kita harus membebaskan diri dari mitos-mitos yang menempatkan diri kita dalam posisi bisu dan terbelenggu”.

Menggambarkan realita aktual saat itu, DM-UI menyebutkan “Ketidakadilan dan pengangguran semakin terasa dibanding dengan waktu-waktu yang lalu. Ini disebabkan bersatunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dari sumber-sumber ekonomi dengan kekuatan politik dalam bentuk populer berupa kerja sama antara kelompok-kelompok cina dan jenderal-jenderal. Tidak mengherankan jika sebagian rakyat yang tidak jenderal atau tidak cina, tidak menikmati pembangunan ekonomi, seperti sekarang ini”. Alternatif pembangunan yang terbuka, adalah menyadarkan jenderal-jenderal dan cina-cina kembali menjadi warga negara biasa seperti sebagian terbesar rakyat. “Kalau tidak, maka kemungkinan lain yang harus ditempuh!”.

Seraya menyerukan agar mahasiswa berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapatnya, DM-UI melalui Hariman kali ini memperluas wilayah himbauannya ke wilayah luar mahasiswa. “Kepada tukang beca, mari abang-abang, kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan di kota-kota, untuk bergerak menuntut kesejahteraan sosial. Kepada warga negara Indonesia yang bekerja pada perusahaan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang”.

Seruan yang disampaikan Hariman dan menembus ke luar batas kawasan mahasiswa ini kelak mendapat terjemahan tersendiri dalam laporan-laporan intelejen dan analisa kalangan kekuasaan, sebagai sesuatu ajakan konspirasi yang menuju makar. Apalagi, dalam malam tirakatan di Salemba itu, hadir unsur-unsur luar kampus seperti antara lain wakil buruh dari Tanjung Priok yang bernama Salim Kadar. Dalam pertemuan itu, Salim Kadar dengan nada berapi-api menyatakan “Buruh pelabuhan Tanjung Priok menyatakan solidaritas atas perjuangan saudara-saudara ! Saya harap agar api perjuangan tahun 1966 tetap jadi prinsip. Bagi kami tidak ada yang lain selain mendukung perjuangan saudara-saudara !”.

Meskipun sebelumnya telah pernah berlangsung pertemuan bersama antar Dewan Mahasiswa beberapa kota, seperti misalnya di ITB di bulan Desember 1973, masih terdapat kekurangyakinan akan kebersamaan dalam aspirasi yang sama antara para mahasiswa. Masalahnya, sebelum ini gerakan-gerakan berbagai Dewan Mahasiswa lebih banyak berjalan sendiri-sendiri. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, pada akhir tahun 1973 memasuki 1974 dewan mahasiswa antar kota tampak berusaha mendekatkan diri satu sama lain. Dalam acara tirakatan itu, Charles Mangun dari Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung menyatakan “Saya hanya ingin mengemukakan pentingnya persatuan, bukan hanya satu kepentingan. Idealisme hanya bisa dilaksanakan kalau kita mendekati rakyat”. Ketua DM Akademi Tekstil Berdikari dari Bandung menyatakan keinginan serupa. “Kami merasa ikut terpanggil untuk berjuang”, ujarnya. “Dulu di zaman Orde Lama tangan kita dibelenggu oleh KOTI (Komando Operasi Tertinggi), dan sekarang di zaman Orde Baru pikiran kita coba dibelenggu. Di sini ada yang identik antara KOTI dengan Kopkamtib”. Di tengah tepuk tangan riuh yang menyambut ucapan itu, ia meneruskan dengan tuntutan “Hendaknya Kopkamtib dibubarkan ! Mari, kita tidak perlu takut kepada Kopkamtib ! Mari kita bersatu padu”. Lebih jauh ia bahkan menggugat eksistensi Surat Perintah 11 Maret yang disebutnya sebagai “surat yang tidak bernomor”.

Membaca tanda-tanda kebersamaan yang membayang malam itu, Rektor UI Mahar Mardjono lalu berkata “Saya melihat bahwa kehadiran mahasiswa luar Jakarta malam ini menunjukkan kekompakan di kalangan mahasiswa. Hendaknya mahasiswa jangan sampai terpecah-pecah oleh kekuatan apapun”.

Tetapi, nyatanya pertemuan menyambut tahun 1974 di Salemba itu, merupakan pertemuan terakhir yang dihadiri bersama oleh dewan-dewan mahasiswa antar kota, sebelum pada akhirnya para mahasiswa dari 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi beberapa kota se Indonesia bertemu Presiden Soeharto 11 Januari di Bina Graha.

Bersamaan dengan malam tirakatan di UI, mahasiswa Yogyakarta –Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri– juga menyelenggarakan malam tirakatan menyambut 1974 dalam gerimis. Lulusan Fakultas Sastra Gajah Mada, Mochtar Pabottingi, malam itu membacakan empat doa tidak lazim yang berisi permohonan “kutuk dan nista’.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada orang barbar yang telah memperkosa Sum Kuning, yang telah mengakibatkan kematian Rene Coenraad dan kepada semua yang sengaja menyebarkan kemaksiatan dengan kekuatan di tanah air kami yang tercinta”.

“Tetapi ya Tuhan kami, lindungilah dan berikanlah kekuatan abadiMu kepada para pemimpin kami dari angkatan tua maupun angkatan muda dan kepada semua yang ikhlas, jujur dan penuh bakti dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan”.

Dan di Bandung, 9 Januari 1974 hanya dua hari sebelum pertemuan dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, mahasiswa se Bandung mengadakan apel berjemur diri di kampus Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur. Dalam apel tersebut mahasiswa membakar dua boneka besar, yang satu bernama Tanaka yang menggambarkan PM Jepang Kakuei Tanaka yang akan berkunjung ke Indonesia tanggal 14 Januari. Boneka yang lainnya dikalungi papan nama ‘Makelar Penjual Bangsa’ dengan tambahan tulisan besar “Dulu Haji Peking. Sekarang Haji Tokyo”. Meskipun nama asli sang boneka pribumi tidak dituliskan semua orang tahu bahwa yang dituju tak lain adalah Aspri Presiden. Apalagi beberapa poster yang terpampang telah menyebutkan dengan jelas bahwa negara ini akan dijual segera dan salesmannya  adalah Soedjono Hoemardani dengan salah satu pembelinya adalah Tanaka. “Tanaka tengok tanah jajahan atau tengok kawan lama (Soejono H)”, bunyi poster lainnya memperjelas.  “Pembakaran ini bukan mencerminkan kebuasan kita, bukan pula kanibalisme”, para mahasiswa memberi penjelasan. “Kami tak benci orangnya, tapi perbuatannya”. Dan apel di tengah siang hari yang terik ini, menurut pengantar acara untuk menunjukkan bahwa mahasiswa juga ikut merasakan apa yang dirasakan rakyat sekarang. “Hari ini kita berkabung mengenai situasi negara dan penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam minggu ini ‘pembeli’ negara ini akan datang”. Iwan Abdurrahman –pimpinan group pencinta lagu dari Universitas Padjadjaran– menggambarkan pertemuan hari itu dalam lagu: “Tuhan, ini kami berkumpul, merenungkan arti hidup kami yang terisi sedikit niat bakti. Bagi sesama yang sedang dalam kegelapan” pada bait pertama. Diakhiri dengan “Tabahkan hatimu. Tuhan selalu dekatmu. Sinar terang akan datang, bagi orang yang tabah”.

Pernyataan-pernyataan dalam apel berjemur ini termasuk paling tajam dan langsung ke sasaran tujuan. Kritik pedas disampaikan bukan hanya kepada kalangan kekuasaan di Jakarta, tetapi juga kepada Gubernur Jawa Barat (Solichin GP) dan Walikota Bandung (Otje Djundjunan). Bahwa melontarkan kritik dan kecaman seperti itu mungkin saja memberi akibat tertentu, sudah lebih awal dinyatakan oleh salah satu Ketua DM Universitas Padjadjaran, Hidayat Wirahadikusumah. “Sekarang kita bicara di sini, siapa tahu besok lusa kita ditangkap”, ujarnya, “namun kalau toh sampai mati, kota Bandung akan dipenuhi orang yang mengantar mayat saya”. Pembicara dari DM IKIP Bandung menegaskan “Generasi muda sekarang pun harus berjiwa patriot”.

Berlanjut ke Bagian 9