Tag Archives: Gurmilang Kartasasmita

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (15)

“Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri”.

KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda Jaya sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.

Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Gunawan Mohammad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh ‘Tempo’ tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi ‘Tempo’ kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.

Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional.

Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Alasan pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.

Bingkai skenario makar versi badan intelejen

Penggambaran peristiwa 15 Januari 1974 sebagai suatu gerakan makar  dapat ditemui dalam laporan Bakin. Tetapi sejalan dengan keyakinan dan pembelaan Brigjen Aang Kunaefi, dalam laporan Bakin itu memang dapat dikatakan tak ada bagian yang melibatkan mahasiswa Bandung dalam skenario makar. Hanya ada satu bagian yang menceritakan kegiatan Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, bahwa “kepergian Ketua Dewan Mahasiswa ITB Muslim Tampubolon (HMI) ke Medan (17-24 Desember 1973) dengan maksud tidak lepas dari pada menciptakan situasi dengan cara mengajak dan menghasut mahasiswa di daerah-daerah untuk bergerak serentak”. Menurut keterangan Muslim sendiri, kunjungannya ke Medan itu lebih untuk urusan lain dan bukan dalam konotasi berat seperti yang dituduhkan dengan tujuan-tujuan akhir menggulingkan pemerintahan. Namun ada dugaan bahwa pihak mahasiswa yang sempat berhubungan dengannya  adalah mahasiswa-mahasiswa yang dikategorikan sebagai ‘garapan’ intel, dan melalui ‘channel’nya menyampaikan laporan pada Jakarta.

Mendapat tempat dan peranan dalam penggambaran pada laporan Bakin itu adalah bergerak dan bekerjanya jaringan-jaringan eks PSI dan Masjumi serta tokoh-tokoh HMI yang dikelompokkan sebagai Islam ekstrimis (seperti Ir Tawang Alun dan tokoh lain bernama Drs Kahar Badjuri). Eks PSI dilukiskan bertujuan menegakkan demokrasi liberal parlementer, sedang eks Masjumi bertujuan memberlakukan Piagam Jakarta, dan bersama-sama mendorong gerakan massa untuk mengganti pimpinan nasional dan pemerintah.

Laporan Bakin itu melukiskan pecahnya peristiwa kerusuhan menuju perusakan dengan bekerjanya kekuatan non kampus, bermula ketika pada pukul 09.00 Julius Usman yang menelpon isterinya, Ita, untuk menghubungi Frans Max pada pukul 10.00 agar yang disebut terakhir ini mempersiapkan gerakan massa STM dan gerakan turun ke jalan dengan aksi mengempeskan ban-ban. Lalu datang lagi pesan dari Louis Wangge melalui Ita juga, anak-anak Senen disiapkan dan agar Proyek Senen dibakar. Sementara itu, Peter Tarigan memimpin rapat di STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri I untuk mempersiapkan aksi pengempesan ban. Kelompok Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru juga sudah tahu dan bersiap-siap, begitu pula kelompok BPSK (Badan Perguruan Sekolah Kristen) yang punya channel dengan sekolah-sekolah Kristen. “Disamping itu mereka mendapat bantuan dari gang-gang, gang-gang sekitar Planet Senen dan Proyek Senen, Sartana yang berada di sekitar Tanah Abang dari Kebayoran gang Legos”.

Daerah gerakan, masih menurut laporan tersebut, meliputi daerah kota dari SMA II, Pusat Kegiatan Kappi dibawah pimpinan Jusuf AR dan ex Laskar. Berikutnya, Tanah Abang Jakarta pusat, pusat gerakan dari BPSK, Sartana, Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru, SMA IV/VII dan SMEA di Jalan Batu yang kesemuanya tergabung dalam Kappi, dan STM Jaya ditambah Laskar Yon Haryono. Daerah gerakan Senen/Kramat membawahi daerah Planet Senen, STM Poncol anak buah Katje Sumual, anak daerah Apotik Farma Senen dan ‘tukang catut’ Kramat. Daerah Jatinegara membawahi Kappi Raja  (PII/HMI), sekolah-sekolah Kristen, ex Laskar Yon Sutoyo, SMP dan SMA Yayasan IKIP. Daerah Kebayoran membawahi Legos, anak-anak Blok M (di bawah Buce Rumaruri) dan ex Laskar Yon Pandjaitan. Daerah Jakarta Utara membawahi ex Laskar Yon Tendean di bawah Fahmi Idris, Kappi, PII, HMI dan pusatnya di SMA XXX.

Berbeda dengan laporan Mingguan Mahasiswa Indonesia, laporan Bakin menyebutkan bahwa sehabis apel di Universitas Trisakti demonstran sudah ditunggu oleh mobil-mobil baru pelat putih Mitshubishi Colt yang diatur oleh Fahmi Idris. Sebagian demonstran diangkut menuju Kota, sebagian masuk Jalan Nusantara ke Pecenongan –karena penggiringan oleh aparat keamanan sendiri yang menimbulkan tanda tanya. Pukul 12.00 hingga 18.00 terjadi aksi pengrusakan hebat. Dimulai dengan pengempesan ban-ban oleh pelajar SLP/SMA. Lalu terjadi pengrusakan dan pembakaran mobil-mobil dan motor-motor buatan Jepang. Pembakaran mobil dimulai di Mesjid Istiqlal dan menjalar ke jalan-jalan di ibukota seperti di Pecenongan, Gambir dan Senen. Show room PT Astra di Jalan H. Juanda dan Jalan Jenderal Sudirman dirusak dan dibakar beserta mobil-mobilnya. Kemudian ada pula pengrusakan toko-toko di Jalan Gajah Mada dan gedung-gedung steambath dan night club. Beberapa nama disebutkan sebagai pemimpin pengrusakan, antara lain Monang Siagian, Yessi Moninca, Pontas Siahaan, Purba, Jusuf AR, Marcus Mali, Asmara Nababan, Jusril dari kelompok Fahmi Idris, Reny Is dan Mudjiarto.

Selain versi Bakin itu, beberapa waktu setelah peristiwa 15 Januari 1974, beredar pula satu versi bahwa kelompok-kelompok yang dikerahkan oleh operator-operator Ali Moertopo juga ikut memulai kerusuhan dengan melakukan perusakan di wilayah-wilayah yang sama, terutama di sekitar Proyek Senen. Keterkaitan yang menyebut-nyebut nama Ali Moertopo ini sempat ada dalam laporan intelejen beberapa lembaga keamanan. Menurut laporan para reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia, saat itu di jalanan tempat kerusuhan dan perusakan terdapat beraneka ragam tipe pelaku. Mulai dari yang tampak berciri pelajar sampai dengan yang bukan. Justru yang berciri mahasiswa boleh dikatakan tidak ada. Antara massa, satu sama lain jelas terlihat tidak selalu satu koordinasi atau komando. Apalagi di Proyek Senen dan sekitarnya, betul-betul sulit mengidentifikasi ciri dan kelompok.

Seperti halnya dengan mahasiswa Bandung, mahasiswa Jakarta juga pada siang hari 15 Januari 1974 usai apel di Trisakti –dan kemudian tanggal 16– mencoba mengadakan rapat-rapat membahas situasi. Di Universitas Indonesia, ada rapat DM-UI yang dihadiri antara lain Gurmilang Kartasasmita, John Pangemanan (dari STO), Karantiko, Jusril Amrul dan Hariman Siregar (pada tanggal 15 sebelum ditangkap), serta Jusuf AR. Mereka mengevaluasi kegiatan serta rencana selanjutnya. Mereka pun menyerukan agar mahasiswa dan pelajar tetap tenang dan waspada, tidak terpancing dan tidak sampai terintimidasi. Mereka menegaskan pula bahwa mahasiswa dan pelajar akan tetap berjuang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Siang tanggal 16 Januari itu masih sempat terkumpul kurang lebih 2000 mahasiswa yang kemudian menuju Blok P Kebayoran Baru untuk menghadiri pemakaman korban yang jatuh pada 15 Januari 1974.

Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Bandung, terlihat sudah bahwa gerakan mahasiswa Jakarta segera patah karena tekanan tuduhan makar. Dan pecahnya kerusuhan di Jakarta itu sendiri –siapa pun pelaku sebenarnya– sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pemukul terhadap gerakan mahasiswa. Maklumat No.004/PK/I/1974 yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtibda Jaya sangat efektif dan tak sanggup dihindari. Maklumat itu menyatakan bahwa terhitung mulai tanggal 16 Januari 1974 semua sekolah/perguruan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi/Universitas di wilayah hukum Jakarta, ditutup. Ditambah lagi adanya larangan berkumpul diluar rumah lebih dari lima orang antara matahari terbit hingga terbenam, yang pada malam harinya disambung dengan berlakunya jam malam. Tak ada peluang untuk koordinasi dan konsolidasi. Belum lagi, beberapa kalangan kekuasaan yang tadinya tampaknya masih cukup dekat dan bisa berkomunikasi dengan kalangan mahasiswa, mendadak berubah sikap dan penuh inisiatif menggiring mahasiswa menuju kepada kepatuhan. Hariman Siregar misalnya, menghadap Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo karena anjuran dan jaminan Ali Sadikin, dan kemudian berlanjut dengan penahanan. Setelah peristiwa tanggal 15, Ali Sadikin menjadi yang termasuk di antara yang berbicara keras terhadap pelajar dan mahasiswa.

Menjadi luka yang kedua, sebelum luka yang ketiga

BAGI mahasiswa Bandung, apa yang terjadi dan berlangsung sekitar tanggal 15 Januari 1974, hanyalah merupakan petunjuk kesekian betapa kalangan kekuasaan memang lebih mengutamakan kekuasaan bagi dirinya masing-masing daripada kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Sehingga, Peristiwa 1974 dapat dicatat sebagai Luka Kedua dalam hubungan mahasiswa dengan kekuasaan. Pasca Pemilihan Umum 1971, semua unsur dalam kekuasaan melihat betapa besar kekuasaan yang telah mereka capai dan peroleh bersama-sama. Dan adalah sangat merangsang untuk berupaya agar berada pada pucuk kekuasaan.

Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri. Di antara kelompok yang paling tangguh secara kualitatif, adalah kelompok Ali Moertopo yang mengendalikan beberapa kekuatan sospol, selain Golkar dan juga beberapa unsur partai di luar Golkar. Penguasaan mereka terhadap sektor-sektor ekonomi juga amat signifikan, ditambah pengaruh-pengaruh dalam batas tertentu di kalangan militer yang terikat dalam satu kepentingan ekonomis. Tetapi kelompok yang paling kuat dan berotot tentulah kelompok Jenderal Soemitro karena faktor posisi pengendalian komando-komando. Namun hubungan pribadinya yang kurang serasi dengan Jenderal Maraden Panggabean yang memegang jabatan Menteri Hankam Pangab, sedikit mengurangi keunggulannya.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah rivalitas yang berlangsung di bawah permukaan berdasarkan rumpun divisi, yakni antara rumpun Diponegoro dan Brawijaya dengan Siliwangi sebagai faktor yang menciptakan balans. Tapi peranan Siliwangi telah agak lama merosot sejalan dengan berakhirnya pengaruh perwira-perwira idealis terkemuka di tubuhnya, tanpa suatu regenerasi kualitatif. Diantara kelompok Ali Moertopo dan kelompok Jenderal Soemitro, dalam pemerintahan Soeharto, terdapat kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Kelompok yang sering diberi predikat Mafia Berkeley ini memiliki kecenderungan kedekatan yang memadai dengan kalangan perguruan tinggi –tetapi sekaligus juga dihubung-hubungkan dengan kelompok ex PSI yang satu dan lain hal sering dilekatkan dengan kaum intelektual. Dalam beberapa pengalaman empiris, terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar dalam pandangan-pandangan kelompok teknokrat ini dengan kelompok pemikir yang disusun oleh Ali Moertopo. Paling terasa adalah dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Dalam banyak hal, kelompok Jenderal Soemitro lebih banyak memilih pandangan sejajar dengan kelompok teknokrat, sehingga terutama pada tahun 1973 hingga awal 1974 kepada mereka dilekatkan teori konspirasi. Di luar kelompok-kelompok yang ‘berseteru’ itu terdapat beberapa kelompok lagi, tetapi tidak terlalu jelas perpihakan sebenarnya, kecuali bahwa umumnya mengikuti arah angin. Diantara mereka ini, misalnya para perwira yang telah melakukan praktek korup dan dagang yang tidak sehat. Pada setiap kelompok utama yang berseteru akan selalu bisa ditemukan tipe yang punya catatan berbau korup ini.

Berlanjut ke Bagian 16

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (14)

“Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. “Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.

BERKAITAN dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu, usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot, prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.

Kepada masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.

Lalu kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan, akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di kampus masing-masing”.

Pernyataan itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.

Pernyataan sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung), Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung), Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).

Tingkat situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing. Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo, STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun). Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya, yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966. “Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.

Mereka yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.  Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.

Selain aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.

Belakangan dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan, tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah ‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.

Disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini, praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Maka, menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

Berlanjut ke Bagian 15

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (12)

“Siapa pun dan kepada kekuatan sosial apa pun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan sekarang dan membantu secara langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan hal ini sudah cukup kami pertanggung jawabkan terhadap hati nurani kami”.

PASUKAN bersenjata dari berbagai kesatuan –termasuk satuan berkendaraan lapis baja– telah menjaga dengan ketat jalan menuju Monumen Nasional di pagi hari 15 Januari 1974. Di Merdeka Barat rombongan mahasiswa berdebat dengan para anggota pasukan keamanan yang menolak bendera Merah Putih diturunkan setengah tiang. Bendera tidak jadi diturunkan. Menghadapi tebalnya lapisan pengamanan yang ketat disekitar Istana –tempat PM Tanaka menginap– sebagian besar rombongan mahasiswa dan pelajar berputar menuju Tanah Abang III. Selama perjalanan ini, rombongan menjadi makin besar karena bergabungnya rombongan-rombongan lain, sehingga jumlahnya menjadi ribuan dalam barisan yang amat panjang. Barisan induk ini meneruskan perjalanan menuju Universitas Trisakti di Grogol dengan berjalan kaki diiringi sebagian lainnya yang naik truk berkecepatan rendah. Tapi sementara itu di jalan-jalan menuju Istana banyak rombongan massa lainnya yang mencoba terus masuk mendekati Istana.

Salah satu dari rombongan mahasiswa tiba di pertigaan Merdeka Barat dengan Jalan Museum, dipimpin oleh Gurmilang Kartasasmita dari DM-UI. Tiba-tiba datang seorang aktivis non kampus Jopie Lasut yang mengajak mahasiswa untuk maju menuju Istana. Gurmilang menolak karena sejak tadi malam di kampus menurutnya tak ada penggarisan untuk menerobos ke arah Istana. Jika Gurmilang membiarkan, pasti terjadi bentrokan keras dengan pasukan yang mengawal ketat Istana dan kemungkinan besar jatuh korban berdarah saat itu juga. Maka Gurmilang membelokkan rombongan ke arah Jalan Museum dan meneruskan perjalanan ke kampus Trisakti. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah adanya dua rombongan pelajar yang bergabung dengan barisan mahasiswa di sekitar Monas, yang tidak ‘terdaftar’ dalam rencana sebelumnya untuk bergabung. Salah satunya dipimpin oleh Muhammad Muas ex tokoh KAPI yang dianggap dekat dengan Kelompok Politik Tanah Abang. Barisan Muas ini diketahui tak pernah ikut sampai di kampus Universitas Trisakti, yang berarti pergi ke tujuan lain untuk suatu kegiatan lain.

Ketika seluruh mahasiswa telah tiba di kampus Trisakti, mereka melakukan appel bersama. Mereka mengacung-acungkan sebuah boneka yang menggambarkan Aspri, menyampaikan orasi dan bernyanyi-nyanyi.

AKAN TETAPI sementara ribuan mahasiswa melakukan appel di kampus Trisakti, di sekitar Istana terjadi perkembangan lain. Mingguan Mahasiswa Indonesia melaporkan, bahwa bersamaan dengan gerakan mahasiswa, dari arah Jalan Pecenongan –sisi Utara Istana– pada tengah hari itu ratusan massa pelajar dan anggota masyarakat lainnya (yang umumnya masih berusia muda-muda namun jelas bukan pelajar atau mahasiswa) bergerak menuju Monumen Nasional. Di ujung jalan depan PT Astra mereka dihadapi oleh pasukan keamanan yang membawa anjing-anjing herder. Para petugas keamanan ini kadang-kadang seolah melepas anjingnya ke arah massa, sehingga kelihatan massa menjadi agak marah karenanya. Namun mereka tak mampu menembus barisan anjing dan barisan keamanan. Lalu mereka mundur. Tapi itulah, sambil mundur itu mereka lalu mulai melakukan tindakan-tindakan perusakan. Mereka menjungkir balikkan kendaraan-kendaraan bermotor yang ada di sepanjang Jalan Pecenongan yang dikenal sebagai daerah perdagangan mobil dan sepeda motor itu. Sasaran utama adalah kendaraan buatan Jepang. Kaca-kaca kendaraan dipecah, akhirnya dijungkir balikkan, lalu meningkat menjadi pembakaran terhadap kendaraan yang ada di area itu. Pada kejadian pertama saja tak kurang dari 15 mobil –termasuk sebuah Mercedes 220 S– dirusak bersama sejumlah sepeda motor. Pada waktu yang hampir bersamaan, etalase toko-toko pamer di situ mulai dipecahkan, terutama PT Astra yang dianggap sebagai salah satu simbol usaha Jepang di Indonesia. Sewaktu 15 menit kemudian para petugas pemadam kebakaran datang, massa menghadang dan meneriaki mereka: “Kamu dibayar Jepang, ya !”. Ada pula yang melempari dengan batu, seraya meniup-niup trompet kertas dengan suara nyaring.

Para petugas keamanan yang ada, tidak menindaki karena agaknya mereka lebih mementingkan untuk menjaga jalan-jalan masuk ke arah Istana agar tidak kebobolan. Tanpa penindakan –sangat kentara bahwa ada sikap membiarkan dengan sengaja– kerusuhan makin berkobar dan menjadi-jadi. Dan itu ternyata menjalar dan meluas ke berbagai wilayah lain yang ‘tak terjaga’ di luar kepentingan pengamanan Istana dan tamu negara. Peristiwa perusakan terjadi di wilayah Pasar Senen dan tempat-tempat lainnya, bahkan hingga keesokan harinya. Sepanjang Selasa tercatat perusakan, penjarahan, pembakaran di wilayah-wilayah Sudirman, Thamrin, Kramat, Senen, Harmoni, Hayam Wuruk, Gajah Mada. Proyek Senen terbakar berjam-jam lamanya tanpa bisa dipadamkan, sebagaimana halnya showroom PT Astra di Jalan Sudirman lengkap dengan mobil-mobil yang ada di dalam ruang pamernya. Bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya bertebaran di berbagai penjuru ibukota. Sedang di dasar kanal antara Harmoni di sisi Utara Istana hingga Gunung Sahari bersemayam tak sedikit kendaraan yang dicemplungkan oleh massa di hari Selasa 15 Januari 1974 itu.

Mahasiswa yang selesai melakukan appel di kampus Trisakti di Grogol, dan tidak turut dalam perusakan dan kerusuhan massal, langsung menarik diri kembali ke kampus-kampus. Tetapi sebagian dari mereka yang diangkut dengan truk ketika sampai dekat Monas, justru digiring dan diarahkan oleh para petugas untuk melalui Harmoni, Jalan Juanda sebelah Utara Istana, melewati pertigaan Pecenongan yang telah penuh dengan bangkai-bangkai kendaraan yang telah dirusak. Tak ada mahasiswa yang turun dari truk.

Sementara itu, di berbagai penjuru ibukota, keadaan ‘tak terkendali’ sudah makin meluas. Aksi pembakaran dan perusakan meningkat. Kerusuhan massa telah berubah menjadi kekalapan terhadap segala macam barang mahal, terutama kendaraan-kendaraan bermotor. Pelaku-pelaku aksi perusakan tak dapat dikenali lagi identitasnya. Hingga larut malam keadaan bukannya makin mereda, meskipun Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan jam malam dan mengumumkannya berulang-ulang melalui TVRI dan saluran-saluran komunikasi lain. Ultimatum-ultimatum tindakan keras yang berturut-turut dikeluarkan tidak mempan.

Hingga hari Rabu 16 Januari, seruan penguasa militer daerah yang melarang untuk bergerombol, mengerahkan massa, melakukan tindakan kekerasan, tidak dipedulikan massa. Tetap terjadi pemusatan-pemusatan massa di berbagai penjuru ibukota. Ada rumah tokoh penguasa dikepung, di antaranya rumah Jenderal Ali Moertopo, di Matraman. Juga rumah Soedjono Hoemardani. Mendengar pengepungan tersebut, Jenderal Soemitro memerintahkan pengiriman pasukan untuk mengamankan kedua rumah tersebut. Selain pengepungan rumah pejabat, ada steambath dibakari seperti di Jalan Blora. Gedung Pertamina di Kramat Raya diseruduk dan dibakari isinya, termasuk sejumlah kendaraan milik perusahaan minyak itu.

Menteri Hankam Jenderal Maraden Panggabean pada Rabu pagi 16 Januari coba menenangkan massa dengan tampil di Kramat Raya. Kepada massa sang jenderal bertanya, apa yang menjadi tuntutan mereka. Dijawab “Turunkan harga”. Semua pertanyaan dan pernyataannya, tetap saja dijawab “Turunkan harga!”. Adalah pula Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang sehari sebelumnya pada Selasa sore 15 Januari telah melakukan hal yang sama –didampingi Brigjen Herman Sarens Soediro– mencoba menenangkan massa dari atas kendaraan panser. Di depan Kedutaan Besar Jepang ia menghadapi massa yang hendak merusak. “Bunuh saya kalau tidak mau percaya”, ujarnya kepada massa. Ia berjanji untuk menampung tuntutan massa yang menginginkan “Bubarkan Aspri, turunkan harga, berantas korupsi”. Massa tidak mau menghentikan gerakan, namun mereka sempat mengelu-elukan sang jenderal dengan meneriakkan “Hidup pak Mitro !” berulang-ulang. Peristiwa yang sejenak di Jalan Thamrin ini, sempat dicatat beberapa pihak yang melakukan analisis di kemudian hari, sebagai salah satu momentum ‘terakhir’ bagi Jenderal Soemitro bila ia ingin melakukan ‘sesuatu’, katakanlah mengambilalih kekuasaan. Momentum lain adalah bila Jenderal Soemitro berani segera menangkap Jenderal Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani yang tanggal 15 Januari itu rumahnya dikepung massa. Dan segera melaporkan kepada Presiden, bahwa ia melakukan penangkapan berdasarkan data intelejen yang secara kuat menunjukkan keterlibatan Ali Moertopo terutama karena fakta sebagian besar massa yang mengobarkan kerusuhan digerakkan oleh ‘orang-orang’ Ali Moertopo. Tapi Soemitro tidak melakukannya. Mungkin ia sangsi kepada sebagian orang di’sekitar’nya yang mungkin saja ada dalam ‘pengaruh’ Ali Moertopo. Laksamana Soedomo mungkin merupakan faktor lain yang ke’cenderungan’nya ‘diperhitungkan’ Soemitro. Nyatanya, pada waktu-waktu berikutnya Jenderal Soemitro mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memperkuat arus ‘kesepakatan’ kalangan penguasa saat itu.

Adalah menarik menyelipkan satu cerita di balik berita yang diangkat berdasarkan penuturan Jenderal Soemitro sendiri dalam biografinya. Pada tanggal 15 Januari 1974, adalah cukup aneh bahwa pada hari itu di Merdeka Barat diselenggarakan rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi) yang dipimpin oleh Jenderal Maraden Panggabean sebagai Ketua Wanjakti, didampingi Jenderal Soemitro selaku Wakil Wanjakti. Betul-betul satu rapat yang menurut logika salah waktu dan salah posisi. Hadir antara lain Jenderal Soerono. Selama sidang Wanjakti berlangsung, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo bolak balik menyampaikan memo kepada Jenderal Soemitro. Diantaranya menyebutkan laporan Brigjen Herman Sarens Soediro bahwa keadaan semakin gawat (Hari itu sejak pagi mahasiswa bergerak, diikuti oleh pelajar dan massa lainnya).

Pembakaran pun sudah mulai terjadi. Tapi sidang terus berjalan. Laporan Laksamana Soedomo –yang tampak sibuk dan sedikit gelisah– kepada Jenderal Soemitro pun masuk tak henti-hentinya. Brigjen Herman Sarens melaporkan lagi, pembakaran di depan Kedutaan Besar Jepang. Perampokan di Glodok. Rusuh mulai di Senen. Lalu Jenderal Soemitro minta izin kepada Jenderal Panggabean untuk keluar ruangan, tapi yang terakhir ini menahan Soemitro. “Saya jadi duduk lagi yang tadinya akan bangkit”, tutur Soemitro. “Lalu, saya bergerak lagi akan bangkit, akan meninggalkan sidang itu. Eh, Panggabean menahan lagi”. Belakangan, menurut Soemitro, bila dipikir kok aneh, “Panggabean berulang kali menahan saya setiap kali saya akan meninggalkan ruangan itu”. Sebenarnya, masalahnya sederhana. Apakah para ‘rival’ mungkin kuatir bila Soemitro turun ke lapangan segera, ia akan mempergunakan momentum sebagaimana skenario-skenario menurut beberapa laporan intelijen? Atau, justru kehadiran Jenderal Soemitro di jalanan akan bisa meredakan dan mengendalikan situasi, padahal memang diinginkan terciptanya suatu situasi ‘tertentu’?

Namun, apa pun dugaan yang ada ketika itu, nyatanya pada hari Rabu siang 16 Januari 1974, Jenderal Soemitro tampil memberikan keterangan pers –didampingi oleh dua Aspri Presiden, yakni Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo dan sejumlah jenderal teras lainnya– bahwa mulai hari Rabu itu akan dilakukan penangkapan-penangkapan yang tidak pandang bulu. “Keadaan telah memaksa kami, yang telah sabar sampai batasnya, terpaksa bertindak tegas dan di sana sini dengan mempergunakan kekerasan”, ujar Jenderal Soemitro dalam suatu sikap dan penampilan yang amat represif. “Siapa pun dan kepada kekuatan sosial apa pun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan sekarang dan membantu secara langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan hal ini sudah cukup kami pertanggung jawabkan terhadap hati nurani kami”.

Tampilnya Jenderal Soemitro bersama para Aspri dan Laksamana Soedomo, bagaikan membuka pintu bagi sejumlah pernyataan untuk mengutuk peristiwa tanggal 15 dan 16 Januari itu sebagai “aksi liar yang patut disesali, emosional, destruktif” dan sebagainya. Termasuk mereka yang masih bimbang menilai situasi perpihakan, di bawah bayang-bayang asumsi adanya pertarungan internal kekuasaan yang bermuara ke peristiwa pertengahan Januari tersebut. Yang paling cepat mengeluarkan pernyataan adalah HMI dan Golkar. Dalam pernyataan PB HMI yang ditandatangani oleh Ketua Umum Akbar Tandjung dan Ketua I Ridwan Saidi, disebutkan bahwa aspirasi kolektif yang proporsional dilakukan generasi muda adalah cukup wajar sepanjang dilakukan dalam bentuk-bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi PB HMI menyesalkan “terjadinya pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan dalam rangka aksi-aksi protes generasi muda yang dapat menjurus ke arah anarki”. HMI merasa perlu menegaskan “untuk kesekian kalinya PB HMI tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto”.

Pernyataan HMI disusul berbagai pernyataan yang mengalir bagai air dari keran yang dibuka maksimal katupnya, dimulai oleh Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, GMNI, Angkatan Muda Islam, Federasi Buruh Seluruh Indonesia, PMII hingga pada PMKRI dan Somal. Sebagian dari pernyataan digunakan pula sebagai kesempatan oleh beberapa organisasi untuk menyampaikan tanda dukungan kepada Presiden Soeharto pada satu sisi, dan pada sisi lain melontarkan kutukan terhadap tindakan-tindakan anarki. Kesatuan Aksi Pengemudi Becak umpamanya, menyatakan “tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto”. Mirip HMI, para pengemudi becak ini juga menyampaikan “penyesalan atas terjadi pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan dalam rangka aksi protes generasi muda”. Formulasi kalimat “pengrusakan dalam rangka aksi protes generasi muda ini” banyak ditemukan dalam beberapa pernyataan dari berbagai organisasi dan pihak lainnya, mendampingi pernyataan dukungan kepada kepemimpinan Soeharto.

Berlanjut ke Bagian 13

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (8)

Doa yang tak lazim….“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.  “Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.

Setidaknya masih terjadi dua pertemuan besar mahasiswa pada pekan pertama Januari 1974 itu. Satu di kampus Universitas Indonesia dalam bentuk malam tirakatan menyambut Tahun Baru 1974. Satunya lagi, Rabu 9 Januari di kampus Universitas Padjadjaran dalam suatu kegiatan yang disebut ‘apel berjemur diri’ hanya dua hari sebelum pertemuan mahasiswa dengan Presiden Soeharto.

Dalam malam tirakatan di kampus Universitas Indonesia, Salemba, para mahasiswa menampilkan ekspresi keprihatinan dan kegelisahan yang makin mendalam. “Kami mengajak semua yang hadir untuk merasakan keprihatinan pada malam ini”, ujar Gurmilang Kartasasmita dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, tatkala memulai acara sebagai tuan rumah. Ajakan ini mendapat sambutan dari DM-DM yang hadir, dari Jakarta maupun Bandung. “Mahasiswa resah karena peka terhadap sekitarnya. Kami resah karena ada yang tidak normal. Mudah-mudahan malam prihatin ini bisa menggugah bapak-bapak kita”, kata Hermansyah dari Universitas Muhammadiyah. “Saya merasa bahagia karena generasi muda sepakat untuk prihatin akan penderitaan rakyat, yang berarti generasi muda cukup mempunyai pandangan yang jauh ke depan”, sambung Ketua DM Universitas Trisakti yang menilai keadaan saat itu tak sesuai lagi dengan cita-cita kemerdekaan. Namun lebih dari sekedar keprihatinan, Ketua DM Universitas Atmajaya Jakarta, Lopez, mempertanyakan “Kita telah melihat kegelisahan-kegelisahan dan keprihatinan, lalu apa kelanjutan dari keprihatinan itu ? Kita menuntut perbaikan, kita bukan menganjurkan sekedar keprihatinan karena keprihatinan memang sudah ada di dada kita masing-masing. Dengan segala koreksi kita akan mengisi keprihatinan”.

Lalu Hatta Albanik, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran dari Bandung, mempertajam pernyataan-pernyataan sebelumnya, “Segelintir manusia telah memanfaatkan kebodohan masyarakat. Mereka tidak ingat bahwa negeri ini ditegakkan dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Terlalu sulit untuk mengungkapkan dengan kata-kata bagaimana penderitaan bangsa kita, dan apa yang harus kita perbuat. Tapi satu hal yang pasti, kita harus berbuat ! Malam ini merupakan satu pencetusan, satu obor perjuangan yang membakar negeri ini !”. Ucapannya yang retorik itu mendapat sambutan meriah dari hadirin.

Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi tuan rumah malam tirakatan itu menyampaikan pidato pernyataan diri yang dibacakan oleh Ketua Umum Hariman Siregar. “Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita adalah membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah untuk membuat rakyat yang menganggur untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. Beban kita adalah mengetatkan gandengan dengan sesama generasi muda untuk memikirkan masa kini dan masa depan. Ringkasnya, beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian rakyat untuk menyuarakan diri”. Beban itu, menurut DM-UI adalah beban bersama. “Sekali kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang dikutuk sejarah. Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan yang ditimbulkan himbauan kenikmatan yang dijanji-janjikan kepada kita. Dan juga kebisuan akibat feodalisme yang mementingkan sikap nrimo, apatis dan anti partisipasi. Artinya, kita harus membebaskan diri dari mitos-mitos yang menempatkan diri kita dalam posisi bisu dan terbelenggu”.

Menggambarkan realita aktual saat itu, DM-UI menyebutkan “Ketidakadilan dan pengangguran semakin terasa dibanding dengan waktu-waktu yang lalu. Ini disebabkan bersatunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dari sumber-sumber ekonomi dengan kekuatan politik dalam bentuk populer berupa kerja sama antara kelompok-kelompok cina dan jenderal-jenderal. Tidak mengherankan jika sebagian rakyat yang tidak jenderal atau tidak cina, tidak menikmati pembangunan ekonomi, seperti sekarang ini”. Alternatif pembangunan yang terbuka, adalah menyadarkan jenderal-jenderal dan cina-cina kembali menjadi warga negara biasa seperti sebagian terbesar rakyat. “Kalau tidak, maka kemungkinan lain yang harus ditempuh!”.

Seraya menyerukan agar mahasiswa berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapatnya, DM-UI melalui Hariman kali ini memperluas wilayah himbauannya ke wilayah luar mahasiswa. “Kepada tukang beca, mari abang-abang, kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan di kota-kota, untuk bergerak menuntut kesejahteraan sosial. Kepada warga negara Indonesia yang bekerja pada perusahaan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang”.

Seruan yang disampaikan Hariman dan menembus ke luar batas kawasan mahasiswa ini kelak mendapat terjemahan tersendiri dalam laporan-laporan intelejen dan analisa kalangan kekuasaan, sebagai sesuatu ajakan konspirasi yang menuju makar. Apalagi, dalam malam tirakatan di Salemba itu, hadir unsur-unsur luar kampus seperti antara lain wakil buruh dari Tanjung Priok yang bernama Salim Kadar. Dalam pertemuan itu, Salim Kadar dengan nada berapi-api menyatakan “Buruh pelabuhan Tanjung Priok menyatakan solidaritas atas perjuangan saudara-saudara ! Saya harap agar api perjuangan tahun 1966 tetap jadi prinsip. Bagi kami tidak ada yang lain selain mendukung perjuangan saudara-saudara !”.

Meskipun sebelumnya telah pernah berlangsung pertemuan bersama antar Dewan Mahasiswa beberapa kota, seperti misalnya di ITB di bulan Desember 1973, masih terdapat kekurangyakinan akan kebersamaan dalam aspirasi yang sama antara para mahasiswa. Masalahnya, sebelum ini gerakan-gerakan berbagai Dewan Mahasiswa lebih banyak berjalan sendiri-sendiri. Namun bersamaan dengan berjalannya waktu, pada akhir tahun 1973 memasuki 1974 dewan mahasiswa antar kota tampak berusaha mendekatkan diri satu sama lain. Dalam acara tirakatan itu, Charles Mangun dari Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung menyatakan “Saya hanya ingin mengemukakan pentingnya persatuan, bukan hanya satu kepentingan. Idealisme hanya bisa dilaksanakan kalau kita mendekati rakyat”. Ketua DM Akademi Tekstil Berdikari dari Bandung menyatakan keinginan serupa. “Kami merasa ikut terpanggil untuk berjuang”, ujarnya. “Dulu di zaman Orde Lama tangan kita dibelenggu oleh KOTI (Komando Operasi Tertinggi), dan sekarang di zaman Orde Baru pikiran kita coba dibelenggu. Di sini ada yang identik antara KOTI dengan Kopkamtib”. Di tengah tepuk tangan riuh yang menyambut ucapan itu, ia meneruskan dengan tuntutan “Hendaknya Kopkamtib dibubarkan ! Mari, kita tidak perlu takut kepada Kopkamtib ! Mari kita bersatu padu”. Lebih jauh ia bahkan menggugat eksistensi Surat Perintah 11 Maret yang disebutnya sebagai “surat yang tidak bernomor”.

Membaca tanda-tanda kebersamaan yang membayang malam itu, Rektor UI Mahar Mardjono lalu berkata “Saya melihat bahwa kehadiran mahasiswa luar Jakarta malam ini menunjukkan kekompakan di kalangan mahasiswa. Hendaknya mahasiswa jangan sampai terpecah-pecah oleh kekuatan apapun”.

Tetapi, nyatanya pertemuan menyambut tahun 1974 di Salemba itu, merupakan pertemuan terakhir yang dihadiri bersama oleh dewan-dewan mahasiswa antar kota, sebelum pada akhirnya para mahasiswa dari 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi beberapa kota se Indonesia bertemu Presiden Soeharto 11 Januari di Bina Graha.

Bersamaan dengan malam tirakatan di UI, mahasiswa Yogyakarta –Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri– juga menyelenggarakan malam tirakatan menyambut 1974 dalam gerimis. Lulusan Fakultas Sastra Gajah Mada, Mochtar Pabottingi, malam itu membacakan empat doa tidak lazim yang berisi permohonan “kutuk dan nista’.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.

“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada orang barbar yang telah memperkosa Sum Kuning, yang telah mengakibatkan kematian Rene Coenraad dan kepada semua yang sengaja menyebarkan kemaksiatan dengan kekuatan di tanah air kami yang tercinta”.

“Tetapi ya Tuhan kami, lindungilah dan berikanlah kekuatan abadiMu kepada para pemimpin kami dari angkatan tua maupun angkatan muda dan kepada semua yang ikhlas, jujur dan penuh bakti dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan”.

Dan di Bandung, 9 Januari 1974 hanya dua hari sebelum pertemuan dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, mahasiswa se Bandung mengadakan apel berjemur diri di kampus Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur. Dalam apel tersebut mahasiswa membakar dua boneka besar, yang satu bernama Tanaka yang menggambarkan PM Jepang Kakuei Tanaka yang akan berkunjung ke Indonesia tanggal 14 Januari. Boneka yang lainnya dikalungi papan nama ‘Makelar Penjual Bangsa’ dengan tambahan tulisan besar “Dulu Haji Peking. Sekarang Haji Tokyo”. Meskipun nama asli sang boneka pribumi tidak dituliskan semua orang tahu bahwa yang dituju tak lain adalah Aspri Presiden. Apalagi beberapa poster yang terpampang telah menyebutkan dengan jelas bahwa negara ini akan dijual segera dan salesmannya  adalah Soedjono Hoemardani dengan salah satu pembelinya adalah Tanaka. “Tanaka tengok tanah jajahan atau tengok kawan lama (Soejono H)”, bunyi poster lainnya memperjelas.  “Pembakaran ini bukan mencerminkan kebuasan kita, bukan pula kanibalisme”, para mahasiswa memberi penjelasan. “Kami tak benci orangnya, tapi perbuatannya”. Dan apel di tengah siang hari yang terik ini, menurut pengantar acara untuk menunjukkan bahwa mahasiswa juga ikut merasakan apa yang dirasakan rakyat sekarang. “Hari ini kita berkabung mengenai situasi negara dan penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam minggu ini ‘pembeli’ negara ini akan datang”. Iwan Abdurrahman –pimpinan group pencinta lagu dari Universitas Padjadjaran– menggambarkan pertemuan hari itu dalam lagu: “Tuhan, ini kami berkumpul, merenungkan arti hidup kami yang terisi sedikit niat bakti. Bagi sesama yang sedang dalam kegelapan” pada bait pertama. Diakhiri dengan “Tabahkan hatimu. Tuhan selalu dekatmu. Sinar terang akan datang, bagi orang yang tabah”.

Pernyataan-pernyataan dalam apel berjemur ini termasuk paling tajam dan langsung ke sasaran tujuan. Kritik pedas disampaikan bukan hanya kepada kalangan kekuasaan di Jakarta, tetapi juga kepada Gubernur Jawa Barat (Solichin GP) dan Walikota Bandung (Otje Djundjunan). Bahwa melontarkan kritik dan kecaman seperti itu mungkin saja memberi akibat tertentu, sudah lebih awal dinyatakan oleh salah satu Ketua DM Universitas Padjadjaran, Hidayat Wirahadikusumah. “Sekarang kita bicara di sini, siapa tahu besok lusa kita ditangkap”, ujarnya, “namun kalau toh sampai mati, kota Bandung akan dipenuhi orang yang mengantar mayat saya”. Pembicara dari DM IKIP Bandung menegaskan “Generasi muda sekarang pun harus berjiwa patriot”.

Berlanjut ke Bagian 9

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (2)

“Makin jauh dari kota makin sulit untuk menjalankan demokrasi. Makin jauh dari kota, bukan pemikiran, tetapi kekuatan yang berbicara”. “Tentulah tidak salah mahasiswa meronta menyatakan isi hatinya menuntut tumbuhnya kepemimpinan yang demokratis”.

PERTANYAAN mengenai eksistensi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mendapat jawaban agak luas dan panjang dari Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, lengkap dengan gambaran tentang ‘hubungan buruk’ dirinya dengan sejumlah Aspri Presiden. Adalah memang, para mahasiswa dalam pertemuan itu cukup mempersoalkan eksistensi Kopkamtib. Paulus Tamzil dari Universitas Padjadjaran misalnya mengatakan “Wewenang Pangkopkamtib sekarang ini tidak jelas. Bukan saja tidak jelas bagi kalangan mahasiswa, tetapi juga tidak jelas bagi kalangan pemerintah di daerah-daerah”. Lalu dari DM-ITB muncul pernyataan bahwa waktu ini ada semacam kecurigaan dari mahasiswa terhadap Kopkamtib, demikian juga terhadap Jenderal Soemitro sendiri.

“Curiga sifat azasi manusia”, jawab Soemitro, “tapi kecurigaan tak boleh dikembangkan menjadi permusuhan, karena pada dasarnya kami tak ingin memusuhi orang lain dan saudara pun pada dasarnya tak mau memusuhi orang lain. Curiga, biasa”. Mengenai eksistensi Kopkamtib, sang jenderal berkata “Ada pepatah mengatakan ‘Bukan aku memilih yang baik, yang baiklah memilih aku’. Apakah Kopkamtib perlu, apa tidak, bukan urusan Soemitro, silahkan masyarakat yang menilai. Kalau tak perlu Kopkamtib, hak masyarakat lah, hak masyarakat yang disalurkan melalui konstitusi, tatakrama yang bersumber dari konstitusi. Dus, saya tak akan membela Kopkamtib. Kalau Kopkamtib dibubarkan, lalu Soemitro sakit hati? Seneng malah. Capek”. Ia menyebutkan pula bahwa Kopkamtib menyebabkan adanya wibawa ‘atribut-atribut’ (institusi) yang lain. “Penggunaan otoritas Pangkopkamtib itu adalah last resolve, pemecahan terakhir. Apabila ‘atribut’ yang lain sudah dapat mengatasi masalah yang ada, Pangkopkamtib tak usah menonjolkan diri. Tutwuri handayani, itu bahasa Jawa yang saya sendiri tak tahu artinya. Itu bahasa Jawa Tengah”.

Sejumlah pertanyaan mengenai masalah sensitif lainnya, menyangkut Aspri, juga diajukan. Mahasiswa sendiri menilai bahwa Aspri-aspri Presiden juga punya fungsi yang tak kalah kaburnya, tapi dengan kekuasaan yang begitu besarnya. Termasuk, dalam urusan-urusan kegiatan ekonomi. Lalu serentetan dengan itu, kepada Soemitro juga ditanyakan “Apakah pak Mitro berambisi untuk menjadi Presiden ?”. Pertanyaan ini dilontarkan Paulus Tamzil yang bertubuh tinggi besar dan bersuara keras nyaring. Lontaran pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh apa yang diucapkan oleh Jenderal Soemitro sendiri beberapa waktu sebelumnya mengenai yang disebutnya sebagai ‘pola kepemimpinan nasional baru’ (Semula ia menggunakan terminologi ‘pola kepemimpinan sosial baru’).

“Jangankan di Indonesia, negara yang sudah maju pun mengenal Aspri. Apalagi sesuatu pemerintahan yang timbul karena sesuatu peristiwa”, ujar Jenderal Soemitro. Tentang ambisi menjadi Presiden? “Masalah ini, semenjak tahun enam puluhan banyak pusat-pusat kebatinan meramalkan. Tapi anehnya, di sini menyebut calon Presiden itu Soemitro, di sana calon Presiden adalah Ali Moertopo, di sana calon Presiden pak Widjojo”, Soemitro menjawab. “Mengenai masalah Presiden, bukan mau tak mau. Kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu”. Pertanyaan mahasiswa dan jawaban yang diberikan Jenderal Soemitro terhadap masalah ambisi menjadi Presiden ini dan kemudian penonjolannya dalam pemberitaan Mingguan Mahasiswa Indonesia, ternyata menjadi catatan tersendiri bagi rival-rival dalam kekuasaan. Suatu telaah dilakukan dan disampaikan kepada Presiden Soeharto dengan beberapa arah kesimpulan. Khusus bagi mingguan dari Bandung itu, rangkaian pemberitaannya tentang kepemimpinan nasional itu yang dilanjutkan dengan berita dan analisanya mengenai pertarungan tingkat tinggi di kalangan  kekuasaan pada edisi akhir 1973 dan awal 1974, menjadi salah satu alasan untuk pembreidelan.

Secara khusus, Jenderal yang memimpin lembaga ekstra yang sangat berkuasa itu, meminta kepada para mahasiswa agar jangan menggunakan istilah penguasa. Penguasa adalah istilah kolonial, “Saya dan kawan-kawan  di sini ingin menghilangkan istilah penguasa”, ujarnya lagi. “Kami bukan penguasa, kami bukan haus kekuasaan. Kami sekedar menjalankan tugas”. Dan menambahkan “Masalah takut tak perlu ada. Kepemimpinan yang dikembangkan di atas rasa takut itu tidak langgeng, tak abadi”.

Lalu pemerintahan yang sekarang ini, apakah juga dalam beberapa hal tidak berjalan di atas ketakutan rakyat? Pembicara dari DM Universitas Padjadjaran menyampaikan, yang menjadi masalah adalah “bagaimana rakyat bisa merasa bahagia di Klaten, di mana untuk monumen perjuangan 45 beberapa petani dikorbankan tanahnya, dipaksa untuk menjual tanahnya 500 rupiah per meter persegi ?”. Dan kalau dikatakan ada kebebasan berbicara, jelas tak ada kebebasan berbicara. “Saya kagum, pak Mitro begitu terbuka di sini, tapi adalah suatu kenyataan yang pasti juga bapak ketahui, tapi tidak dikemukakan, yaitu makin jauh dari kota makin sulit untuk menjalankan demokrasi. Makin jauh dari kota, bukan pemikiran, tetapi kekuatan yang berbicara”. Untuk ini, seorang pembicara dari DM-IPB (Institut Pertanian Bogor) mencetuskan perlunya memperhatikan masalah komunikasi sosial, bukan di pusat saja tetapi hingga tingkat terendah.

Menjawab segala pernyataan, Jenderal Soemitro menyampaikan ajakan untuk menjalankan komunikasi yang lebih baik. “Mudah-mudahan dalam pertemuan berikutnya saudara-saudara tidak marah-marah”. Setelah pertemuan, Komaruddin dari ITB mengakui, komunikasi memang tampaknya telah terjalin. “Tapi kalau mau berbicara tentang titik temu, barangkali pertemuan-pertemuan seperti ini masih harus dilakukan puluhan atau bahkan ratusan kali. Pada waktu ini, dengan kemantapannya Pangkopkamtib ‘berhasil’ juga menjadikan mahasiswa sebagai ‘anak bawang’. Namun harus diingat, bau dan kelenjar dari bawang bisa membuat orang mencucurkan air mata pedih, bukan sedih”. Ia memperingatkan agar mahasiswa menarik pelajaran dari pertemuan semacam ini, pertemuan yang salah satu targetnya adalah memberi jalan pelepasan emosi kaum muda. Dalam istilah Paulus Tamzil, sebagai keran sebuah bak yang yang hampir melimpah. Dan bila itu benar, emosi mahasiswa lah yang jadi airnya. Karena keran dibuka, tekanan air pada dinding bak menjadi berkurang. “Karena itu, terhanyutnya sebagian hadirin pada pertemuan tersebut, dapatlah dikatakan sebagai keberhasilan beliau. Tentu saja ini menguntungkan Kopkamtib”, ujar Komaruddin. Merasa cukup puas atas hasil pertemuan itu boleh saja, ujarnya, “Tetapi untuk lantas bersalaman dan menutup buku perjuangan, sebaiknya jangan”. Masih banyak persoalan yang harus diselesaikan secara konkrit, bukan sekedar dengan omong-omong.

Yogyakarta mendapat giliran dikunjungi Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sepuluh hari kemudian, Senin 12 Nopember 1973. Mengenai pertemuan Soemitro dengan mahasiswa Jawa Tengah dan Yogya itu di gedung BPA (Balai Pertemuan Agung), Mingguan Mahasiswa Indonesia, menurunkan laporan berdasarkan kontribusi mahasiswa Universitas Gajah Mada, Mahadi Sinambela, yang sebelumnya pernah menulis mengenai gejolak pembaharuan di tubuh HMI Yogya secara serial untuk mingguan Bandung itu.

Suara mahasiswa Yogya dalam pertemuan itu dilaporkan cukup lumayan. Mereka memulai dengan satu persoalan mendasar tentang eksistensi Kopkamtib. Mahasiswa Yogya mengakui fakta kehadiran Kopkamtib, meskipun hati nurani mereka tidak menerima. Mereka menganggap kekuasaan lembaga ekstra itu terlalu berlebihan, bahkan menjadi kekuasaan kedua setelah lembaga kepresidenan. Lalu pada forum itu, mahasiswa Yogya menolak eksistensi Kopkamtib dan “memohon dengan kerendahan hati agar lembaga inkonstitusional itu dibubarkan”. Ini semua bukan lahir dari hasrat mendongkel, melainkan sekedar untuk memfungsikan lembaga yang ada. “Apa guna polisi, kalau Kopkamtib masih ada ?”.

Dalam pertemuan yang berlangsung tujuh setengah jam ini, sedikit berbeda dengan mahasiswa Yogya, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah banyak menggunakan waktu pertemuan untuk mengadukan bermacam-macam persoalan kepada Panglima Kopkamtib. Mulai dari soal pupuk, tentang tanah sampai kepada berbagai persoalan universitas swasta. Walaupun, ada juga di antara mereka yang menunjukkan isyarat keinginan untuk membubarkan Kopkamtib. Dengan ungkapan-ungkapan ‘khas’ Mahadi menulis “Rupanya mahasiswa Jawa Tengah menganggap Kopkamtib semacam miniatur Republik ini. Kita khawatir jadinya, jangan-jangan Kopkamtib ini adalah semacam PPO (Pak Pung Oil) si raja minyak angin, yang mampu mengobati segala macam penyakit, tetapi tak berfungsi khusus untuk satu macam penyakit”. Dengan menyebut pertemuan itu sebagai ‘bull session’ –yang arti harfiahnya sidang sapi– Mahadi menggambarkan “tapi lumayan, mereka toh bersuara, mahasiswa Jawa Tengah bagai sapi menguak karena kehausan, sedang mahasiswa Yogya menguak bagaikan sapi yang ketakutan”.

Tapi bagaimana pun dalam pertemuan itu tetap muncul sejumlah pertanyaan tajam. Hanya, jawaban yang diberikan Jenderal Soemitro dalam bull session itu banyak yang tidak menyentuh pokok persoalan sebagaimana yang dikehendaki para mahasiswa. Panglima Kopkamtib banyak lari ke GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan berbagai alat penangkis lain yang telah ‘baku’. Padahal, menurut para mahasiswa, masalah kita bukan terletak pada kesalahan GBHN atau Pelita, melainkan terutama pada sikap mental manusia yang sedang mengemudikan GBHN dan Pelita tersebut. “Yang menjadi permasalahan, kenapa para pelaksana pembangunan kurang bisa mengerti kehendak rakyat”. Suatu hal yang menarik di antara jawaban Jenderal Soemitro, ialah tentang akan adanya perobahan kepemimpinan. Yaitu dari kepemimpinan yang otoriter kepada kepemimpinan sosial yang demokratis. Dengan demikian secara tidak langsung kepemimpinan yang ada sekarang diakui Jenderal Soemitro sebagai kepemimpinan yang otoriter. “Tentulah tidak salah mahasiswa meronta menyatakan isi hatinya menuntut tumbuhnya kepemimpinan yang demokratis”. Tapi yang tidak jelas bagi para mahasiswa, bagaimana proses perubahan kepemimpinan tersebut. Apakah kepemimpinan yang ada sekarang masih terpakai melalui adaptasi, atau sama sekali disingkirkan?

Meskipun tidak ada yang menanyakan pada forum tersebut, Jenderal Soemitro tetap memaparkan seputar kabar mengenai keinginannya menjadi Presiden, mengulangi apa yang pernah disampaikannya di Bandung. Bagi Soemitro, menurut laporan dari Yogya itu, komunikasi dengan mahasiswa merupakan alternatif baru yang tumbuh. Memang terasa betapa kecenderungan para mahasiswa melakukan gerakan ekstra parlementer sangat tinggi waktu itu, dan mungkin pada waktunya tak dapat dibendung, hingga Jenderal Soemitro berniat membuka komunikasi baru sebagai katup pengaman.

Sementara itu di Jakarta, Jenderal Soemitro menolak undangan DM UI berkunjung ke kampus mereka –dan akhirnya Hariman Siregar cs lah yang berkunjung ke kantor Kopkamtib. Menurut Gurmilang Kartasasmita, alasan Soemitro adalah karena urusan kampus-kampus Jakarta telah diserahkan kepada Laksamana Soedomo. Tetapi menurut Hariman, “dia takut ke kampus UI”. Pertemuan pun sebatas beberapa klarifikasi, seperti rencana pentas ‘Mastodon’ Rendra di UI.

Berlanjut ke Bagian 3