“Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat. Salah satu kelompok kuat dalam persaingan menuju pertarungan kekuasaan itu adalah kelompok Jenderal Soemitro yang kala itu berada dalam posisi powerful sebagai Panglima Kopkamtib. Kelompok lain adalah kelompok Aspri Mayjen Ali Moertopo dan Mayjen Sudjono Hoemardani, yang dikenal memiliki kelengkapan barisan intelijen semi formal yang tangguh. Di luar kelompok itu, ada kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang mulai kurang nyaman hubungan batin dan kepentingannya dengan Soeharto”.
SEORANG aktivis mahasiswa tahun 1970-an, Hariman Siregar –yang terkenal dalam kaitan Peristiwa 15 Januari 1974– Rabu 18 Agustus 2010, dianugerahi Sugeng Sarjadi Award bersama tokoh pers Jakob Oetama dan tokoh pendidikan Daoed Joesoef yang pernah menjadi Menteri Pendidikan. Empat nama yang terlibat di sini adalah nama tokoh-tokoh yang menarik. Soegeng Sarjadi sendiri adalah tokoh pergerakan 1966 dari Bandung, yang dikenal sebagai tokoh mahasiswa yang merobek-robek gambar Presiden Soekarno di bulan Agustus 1966 dan memicu aksi aksi anti Soekarno yang lebih terbuka dan lebih terang-terangan.
Jakob Oetama adalah tokoh pers yang bersama PK Oyong (Auwyong Peng Kun) mendirikan Harian Kompas di akhir Juni tahun 1965, yang dikenal sebagai suatu media pers yang sangat moderat. Sedang Daoed Joesoef adalah menteri pencetus NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan mengintrodusir BKK untuk menggantikan DM (Dewan Mahasiswa) setelah masa pendudukan sejumlah kampus oleh tentara, yang dimulai dengan penyerbuan kampus ITB 1978. Pada masanya, Daoed Joesoef, menjadi sasaran kemarahan dan kebencian mahasiswa karena dianggap telah menghancurkan kehidupan kampus dengan kehidupan student governmentnya yang demokratis. Belakangan, agaknya mulai dipahami bahwa kebijakan NKK/BKK adalah jalan tengah dari Daoed Joesoef untuk mencegah penindasan yang lebih jauh dari rezim terhadap kampus yang dianggap senantiasa menjadi sumber perlawanan terhadap kekuasaan.
Dalam gerakan kritis mahasiswa 1970-1974 Hariman Siregar mewakili kelompok Jakarta dalam arus utama kekuatan dan pergerakan mahasiswa Indonesia. Sedang kelompok arus utama lainnya adalah kelompok mahasiswa Bandung yang terutama dtopang oleh tiga kampus terkemuka, ITB-Universitas Padjadjaran-Universitas Parahyangan. Berbeda dengan mahasiswa Bandung, agaknya mahasiswa-mahasiswa Jakarta pada tahun 1970-an menghadapi berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Satu hal yang nyata, masih amat kuatnya pengaruh organisasi-organisasi ekstra universiter di dalam tubuh student government intra kampus, melanjutkan suasana politisasi kampus 1960-1965. Ini membuat situasi pergerakan atas nama kampus menjadi lebih rumit. Setiap organisasi ekstra melalui perpanjangan tangannya masing-masing bergerak sendiri-sendiri untuk memanfaatkan gerakan-gerakan atas nama kampus untuk kepentingan induknya masing-masing –baik induk organisasi maupun induk kelompok politik ataupun kelompok-kelompok dalam tubuh kekuasaan. Di kampus-kampus Jakarta terlihat misalnya betapa HMI yang punya tujuan dan agenda kepentingan atau agenda politik sendiri, begitu kuat percobaannya mewarnai gerakan mahasiswa untuk kepentingan spesifiknya. Sementara di beberapa kampus spesifik lainnya, dominasi organisasi ekstra lainnya juga tidak ketinggalan melakukan hal yang sama.
Dalam konteks pergolakan intra kampus, tak syak lagi yang paling tidak sepi masalah adalah Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Terpilihnya Hariman Siregar, mahasiswa Fakultas Kedokteran, sebagai Ketua Umum DM merupakan pertama kalinya untuk jangka waktu panjang bahwa DM dipimpin oleh non HMI. Tapi naiknya, Hariman Siregar tidak terlepas dari topangan kedekatannya pada awalnya dengan kelompok politik Tanah Abang (di bawah pengawasan kelompok Ali Moertopo) –yang oleh Hariman sendiri diakui dan disebutkan sebagai topangan Golkar. Pada masa sebelumnya, Hariadi Darmawan yang HMI dan sekaligus seorang perwira AD, juga memimpin DM UI dan amat berpengaruh, satu dan lain hal juga terkait dengan topangan kelompok Ali Moertopo.
Tapi setelah menjadi Ketua Umum DM UI Hariman Siregar dianggap mulai melenceng dari garis Tanah Abang, kemudian dianggap dekat dengan GDUI (Group Diskusi Universitas Indonesia) dan kelompok PSI yang reperesentasinya di kampus antara lain dikaitkan dengan aktivis di Fakultas Ekonomi Sjahrir dari Somal dan Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Hariman dicurigai terkait dengan kelompok berkonotasi PSI itu, apalagi Hariman kemudian memang menjadi menantu Prof Sarbini Somawinata yang dikenal sebagai ekonom beraliran PSI garis keras. Selain itu Hariman dianggap melakukan pengkhianatan ketika menyerahkan posisi Sekjen DMUI kepada Judil Herry yang HMI dan bukannya kepada tokoh mahasiswa yang dikehendaki Tanah Abang.
Dan tatkala Hariman diisukan lagi menjalin hubungan baru dengan Jenderal Soemitro yang dianggap rival Jenderal Ali Moertopo dalam kekuasaan, lengkaplah sudah kegusaran terhadap sepak terjang Hariman dalam permainan politik dan kekuasaan. Salah satu sebab kenapa Hariman dianggap bersatu dengan Soemitro adalah karena keikutsertaannya dengan gerakan anti Jepang yang berarti menyerang Soedjono Hoemardani dan dengan sendirinya berarti anti Aspri. Selain itu, sepanjang pengetahuan kelompok Tanah Abang, Hariman beberapa kali mengatakan Soeharto sudah perlu diganti dan penggantinya adalah Jenderal Soemitro. Hariman di belakang hari berkali-kali menyangkal adanya hubungan khusus dengan Jenderal Soemitro ini. Bantahan Hariman ini sebenarnya dalam beberapa titik tertentu sejajar dengan suatu informasi internal di lingkungan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, bahwa di mata Soemitro maupun Sutopo Juwono hingga saat-saat terakhir Hariman Siregar bagaimanapun disimpulkan ada dalam pengaruh Ali Moertopo. Pertama, secara historis Hariman terpilih sebagai Ketua Umum DM UI karena dukungan Tanah Abang. Kedua, sikapnya yang banyak mengeritik strategi pembangunan para teknokrat, dianggap segaris dengan Ali Moertopo. Namun, Ali Moertopo pernah direpotkan oleh sikap dan kritik-kritik Hariman terhadap teknokrat ini.
Suatu ketika Presiden Soeharto –yang tampaknya berdasarkan beberapa laporan yang masuk padanya juga menganggap Hariman ada dalam pengaruh dan binaan Ali Moertopo– meminta Ali untuk menegur Hariman agar menghentikan serangan-serangan terhadap strategi pembangunan yang dilontarkan para teknokrat, karena bagi Soeharto menyerang strategi pembangunan sama artinya dengan menentang GBHN. Ali diminta mempersuasi Hariman memperlunak kritik-kritiknya, kalau memang tidak bisa menghentikannya, menjadi kritik terhadap ‘pelaksanaan’ dan bukan terhadap ‘strategi’.
Maka kelompok Tanah Abang lalu sibuk mencari Hariman, namun gagal karena Hariman menghindari mereka. Satu dan lain sebab kenapa Hariman tetap dianggap dalam kawasan pengaruh Ali Moertopo, tak lain karena beberapa ‘operator’ Ali Moertopo sendiri beberapa kali mengklaim dalam laporan-laporannya ke atasan bahwa mereka berhasil ‘mempengaruhi’ dan ‘membina’ Hariman. Tapi sebenarnya yang berkomunikasi dengan Hariman adalah Dr Midian Sirait yang menangani koordinasi Pemuda-Mahasiswa-Cendekiawan (Pemacen) di DPP Golkar, dan tampaknya hubungan itu bisa berjalan baik untuk beberapa waktu. Suatu waktu, tugas komunikasi itu dialihkan kepada David Napitupulu, tetapi tugas itu banyak di’recok’i oleh yang lain di lingkungan kelompok Tanah Abang. Menurut Dr Midian Sirait, Hariman Siregar pernah menyatakan ketidak senangannya terhadap ‘peralihan’ ini.
Tanggal 28 Desember 1973, 10 fungsionaris DM UI mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap Hariman Siregar. Sepuluh orang itu dengan jelas diidentifikasi kedekatannya dan merupakan bagian dari kelompok Tanah Abang. Mereka adalah Postdam Hutasoit, Leo Tomasoa, Togar Hutabarat, Arifin Simanjuntak, Agus Napitupulu, Saman Sitorus, Tisnaya Irawan Kartakusuma, Ria Rumata Aritonang, Max Rusni dan Sarwoko (Meskipun nama yang disebut terakhir ini disebutkan sebenarnya tidak turut serta dalam mosi tidak percaya itu. Hariman sendiri menyebutkan jumlah mereka hanya 8 orang, karena 2 lainnya tidak ikut mosi, termasuk Sarwoko). Sebelum melancarkan mosi tidak percaya diberitakan fungsionaris DM UI sempat mengadakan rapat di rumah seorang Letnan Kolonel yang kebetulan adalah ajudan Jenderal Ali Moertopo.
Dewan Mahasiswa UI kelompok Hariman membawa persoalan mosi tidak percaya ke dalam kategori hambatan perjuangan melawan ketidakbenaran dalam tubuh kekuasaan. “Tentu saja, setiap perjuangan tidak luput dari risiko dan hambatan”, demikian DM UI menanggapi. “Setiap gerakan sosial betapapun ukurannya, di samping melahirkan pahlawan-pahlawan, juga tak kurang banyaknya menghasilkan pengkhianat-pengkhianat: cecunguk-cecunguk murah, kaki tangan bayaran, oportunis-oportunis bernaluri rendah dan sebangsanya. Mahasiswa bukanlah politikus profesional, bahkan tidak memiliki pengalaman berpolitik sama sekali. Kita hanyalah mahasiswa dan bagian dari generasi muda Indonesia belaka. Tetapi kita cukup sadar dan dewasa untuk memahami dan mengerti praktek-praktek kotor cecunguk-cecunguk kaki tangan bayaran yang ingin mengacau itu. Dengan berbagai latar belakang, antara lain uang, ambisi pribadi, dengki dan iri hati, sikap petualangan, persaingan popularitas, beberapa gelintir anak muda dan mahasiswa menyerahkan dirinya menjadi kaki tangan golongan-golongan yang merasa terancam kedudukannya akibat kritik-kritik terbuka dan tajam yang diarahkan oleh mahasiswa selama ini”.
Dalam mosi tidak percaya, mereka mendakwa bahwa “kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM UI tidak pernah dibicarakan secara formal dalam lingkungan institusi Dewan Mahasiswa UI secara keseluruhan. Mereka menuding “Kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM UI telah menjurus kepada kegiatan-kegiatan pribadi dan di luar keputusan-keputusan rapat kerja DM UI Nopember 1973 sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Kegiatan-kegiatan tersebut mereka anggap sudah bertendensi pengkhianatan terhadap hasil-hasil perjuangan alma mater Universitas Indonesia yang sudah dimulai sejak Oktober 1965. Mereka menuduh seluruh perbuatan Hariman Siregar adalah perbuatan manipulasi yang dalam bahasa plakat yang ditempelkan mengiringi mosi “didalangi dari belakang oleh partai tertentu”. Leo Tomasoa mempertegas tuduhan terakhir ini tanpa menyebut partai mana yang dimaksudkan. Hariman mereka sebutkan bermuka seribu, diktator kecil yang telah menjual Universitas Indonesia. Namun tak satu pun tuduhan dari kelompok mosi ini berani menyebutkan adanya hubungan Hariman dengan kelompok Jenderal Soemitro. Hariman sendiri membantah hubungannya dengan partai mana pun kecuali Golkar melalui koordinasi Pemacen yang diakuinya membantu mengorbitkannya menjadi Ketua Umum DM UI.
Adalah menarik bahwa bersamaan dengan radikalisasi mahasiswa Jakarta pada bulan-bulan terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat. Salah satu kelompok kuat dalam persaingan menuju pertarungan kekuasaan itu adalah kelompok Jenderal Soemitro yang kala itu berada dalam posisi powerful sebagai Panglima Kopkamtib. Kelompok lain adalah kelompok Aspri Mayjen Ali Moertopo dan Mayjen Sudjono Hoemardani, yang dikenal memiliki kelengkapan barisan intelijen semi formal yang tangguh. Di luar kelompok itu, ada kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang mulai kurang nyaman hubungan batin dan kepentingannya dengan Soeharto. Ketiga kelompok ini, per saat itu sudah tak bisa dikatakan sebagai kawan strategis yang bisa dijamin kesetiaannya terhadap Soeharto. Di sekitar kelompok-kelompok itu bertebaran pula sejumlah jenderal dan tokoh yang tak begitu ‘jelas’ namun senantiasa cermat menghitung arah angin.
Berlanjut ke Bagian 2