Tag Archives: Soemarno

Jakarta Sebagai Etalase Kegagalan Indonesia Dari Masa ke Masa (1)

DILANDA banjir besar –mulai dari daerah pelosok langganan banjir sampai Bundaran HI dan Istana Negara– ibukota negara, Jakarta saat ini, menjadi pusat perhatian rakyat di seluruh penjuru negeri. Kelumpuhan ibukota karena terjangan banjir pertengahan Januari 2013 ini, semestinya menyadarkan kita, betapa negara ini secara keseluruhan sebenarnya telah gagal ditangani dengan baik. Bukan hanya dalam soal banjir –yang sudah merupakan masalah selama puluhan tahun– tetapi juga dalam berbagai persoalan kronis lainnya. Dari rezim ke rezim pemerintahan, dalam sebagian terbesar perjalanan sejarahnya sebagai negara merdeka. Setiap rezim memang bisa mencatat beberapa keberhasilan, namun sekaligus membukukan pula lebih banyak lagi kegagalan pengelolaan negara. Dan dengan demikian, Jakarta telah menjadi etalase kegagalan Indonesia tersebut dari waktu ke waktu.

ALI SADIKIN, DILANTIK PRESIDEN SOEKARNO. "Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang jenderal Korps Komando AL (kini disebut marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan". (Foto Arsip Negara)
ALI SADIKIN, DILANTIK PRESIDEN SOEKARNO. “Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang jenderal Korps Komando AL (kini disebut marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan”. (Foto Arsip Negara)

Problem Indonesia mana yang tak tercerminkan oleh Jakarta? Dari masalah banjir yang tak kunjung teratasi, kemacetan permanen lalu lintas, masalah kriminalitas yang merajalela, suap dan korupsi dalam pembangunan, anarki dan kekerasan antar penduduk, perilaku politik penuh intrik, saling terkam dalam kehidupan ekonomi, sampai kesenjangan sosial yang tampaknya sudah abadi. Dari Jakarta, perilaku-perilaku buruk terus menerus mengalir sebagai contoh menuju ke berbagai penjuru Indonesia. Dan di daerah, perilaku buruk terolah dalam berbagai bentuk, lalu daur ulangnya mengalir kembali ke Jakarta dalam wujud yang mengejutkan.

Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menjadi lokasi delik suap atau korupsi yang spektakuler –baik cara maupun angkanya. Kadangkala lebih berani, lebih nekad, lebih terang-terangan dan vulgar, yang mengalahkan para guru korupsi di ibukota negara. Kaum korup di daerah sanggup mengorganisir perlawanan terbuka terhadap penegakan hukum. Ada pula bupati  yang diringkus di Jakarta untuk dibawa kembali ke daerahnya guna dieksekusi berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung, berhasil dirampas para preman dari tangan petugas Kejaksaan Agung. Data empiris juga memperlihatkan bahwa pelaku korupsi dari berbagai penjuru negara ‘terbawa’ urbanisasi ke Jakarta –sebagai pejabat eksekutif dan lembaga judikatif yang dimutasi ke Jakarta atau sebagai anggota legislatif hasil pemilihan umum sekali dalam lima tahun. Di ibukota negara mereka lalu ikut menambah kemeriahan dunia suap dan korupsi nasional untuk kemudian bersama-sama makin menjerumuskan Indonesia menuju kehancuran. Fenomena terbaru menunjukkan sejumlah korupsi skala besar diatur dari Jakarta dan dilakukan para pelaku kelompok campuran dalam bentuk persekongkolan nasional.

Sepanjang sejarahnya, Jakarta –sejak masih bernama Batavia– tak pernah terlepas dari masalah banjir. Bahkan, boleh dikatakan Jakarta lahir bersama banjir, karena wilayah tempat kota besar itu berdiri kini memang adalah dataran rendah yang hanya sedikit lebih tinggi dari permukaan air laut. Dilalui sejumlah sungai yang di musim kemarau sering nyaris kering, namun di musim hujan mengalirkan air berlimpah sehingga meluap sampai jauh. Batavia memasuki abad 20 dengan banjir besar di awal abad. Dan sampai memasuki abad 21, banjir secara teratur tetap menerjang sebagai masalah. Artinya, tak pernah tumbuh kemampuan menjawab tantangan di kalangan penyelenggara negara. Alih-alih menjawab tantangan, yang terjadi malah adalah sikap mati kutu mati akal, sehingga masalah serta sikap mental masyarakat justru terbiarkan makin ‘membusuk’ –misalnya membuang sampah sembarangan menyumbat sungai dan saluran air.

Kisah Gubernur Ali Sadikin. Tak satu pun gubernur Jakarta sepanjang masa Indonesia merdeka mampu menaklukkan banjir di Jakarta, dari Soemarno dan Ali Sadikin hingga Soetyoso dan Fauzi Bowo yang mengaku ahlinya banjir. Adapun Jokowi, tentu masih harus ditunggu beberapa waktu sebelum dinilai sepak terjangnya. Namun, kegesitan Jokowi blusukan meninjau lokasi banjir di ibukota, bagaimanapun agaknya berhasil memicu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk juga ikut blusukan mengunjungi lokasi banjir dan tempat penampungan korban banjir. Ketika Jokowi meninjau banjir di Bundaran HI dengan naik gerobak, di tempat lain SBY meninjau banjir menggunakan perahu karet dengan pengamanan ketat. Penjaga pojok Harian Kompas, Mang Usil –yang memang usil, sesuai namanya– lalu bikin perbandingan di akhir pekan: Gaya blusukan bintang lima dan blusukan kaki lima.

Selain terpicu Jokowi, pantas bila SBY turun meninjau banjir, karena sang banjir datang langsung menghadap dan disongsong sang Presiden di halaman Istana Merdeka pada hari Kamis pekan lalu.

PRESIDEN Soekarno dan beberapa presiden berikutnya hanya bisa marah-marah bilamana banjir melanda. Malah ada presiden yang mungkin tak pernah memikirkan soal banjir Jakarta. Entah karena sibuk menghadapi kekalutan politik yang terjadi. Entah memang tak ikut memikirkannya samasekali –“biarkan gubernur mengurusnya”– bagaikan perilaku burung onta, menyembunyikan kepala ke dalam tanah kala menghadapi masalah.

Ali Sadikin yang dipilih Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1965 –berdasarkan dukungan Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik– menghadapi masalah utama: terlalu banyak yang harus diperbaiki, namun terlalu sedikit sumber dana. Terkait dengan situasi politik tahun 1965-1966, pada awalnya praktis tak banyak yang bisa dilakukan Ali Sadikin. Setelah kemelut politik sedikit mereda, Ali Sadikin mulai melakukan terobosan, khususnya memecahkan masalah sumber dana. Ia melokalisasi dan melegalisasi tempat-tempat perjudian yang terdiri dari beberapa kasino maupun arena mesin Jackpot, aneka tempat ‘adu ketangkasan’ manusia, maupun adu cepat anjing Greyhound di Senayan dan berhasil memperoleh dana dari sana. Ia juga menyelenggarakan judi untuk konsumsi masyarakat menengah dan bawah, semacam lotto dan tebakan hwa-hwee (serikat bunga), yang berhasil mengalirkan dana dalam jumlah besar ke kas pemerintah daerah. Ia ditentang oleh para ulama dan kekuatan politik Islam, tapi tidak memperdulikannya. Salah seorang bawahannya, AM Fatwa, berperan dengan baik membantunya meredam serangan-serangan kalangan agama tersebut.

Ali Sadikin, dengan dana yang cukup dari perjudian, berhasil menjawab tantangan kebutuhan rakyat ibukota pada tahun 1967, 1968, 1969 sampai 1970. Membangun jaringan transportasi kota yang lebih baik bagi rakyat, sambil membangun jembatan-jembatan penyeberangan untuk keselamatan pejalan kaki. Membangun stasiun-stasiun bus yang baru dan halte-halte disepanjang jalan protokol. Rajin memperlebar jalan, dan merubah gang-gang becek di perkampungan menjadi jalan beton. Tak lupa menyajikan makanan rohani bagi rakyatnya dengan acara-acara panggung hiburan rakyat. Tetapi ia tak berhasil menekan melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi yang dihasilkan oleh kemajuan ibukota dan bertambahnya orang kaya baru penikmat hasil pembangunan. Dan satu lagi, ia gagal mengatasi masalah banjir. Dengan jujur ia mengakui kegagalannya itu menjelang akhir masa jabatannya.

Terkait banjir, Ali Sadikin yang adalah seorang Jenderal Korps Komando AL ( KKO, kini disebut Korps Marinir) kerap menyalahkan urbanisasi yang mengarus ke ibukota negara. Urbanisasi menyebabkan semua tanah kosong di Jakarta menjadi padat oleh manusia, ujarnya dengan berang. Dari rawa-rawa bekas bangkong bernyanyi dan tempat jin buang anak sampai tanah-tanah rendah yang seharusnya menjadi tempat menampung limpahan air di kala hujan. Manusia yang berlimpah ruah menjadi produsen sampah yang dibuang sembarangan ke sungai-sungai. Pemukiman liar memang ikut mengurangi daerah resapan air, meski sebenarnya masih kalah jauh oleh laju pertumbuhan hutan beton dan hamparan aspal. Ali Sadikin tidak segan menumpahkan kemarahannya kepada gubernur-gubernur daerah lain yang dianggapnya tak mampu mencegah urbanisasi ke Jakarta. Ada benarnya, tapi agak berlebihan, karena urbanisasi adalah risiko dari suatu negara yang keadilan dan kesempatan ekonominya tidak merata. Ibukota tidak boleh bersikap egois.

Masa penuh madu dengan dana inkonvensional dari perjudian berakhir dengan keluarnya larangan perjudian dari Kopkamtib, April 1973. Tidak memprotes langsung Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, Ali Sadikin melampiaskan kegusarannya kepada mereka yang angkat suara mendukung larangan judi tersebut. Mereka yang beramai-ramai mendukung larangan Kopkamtib, disebut Ali Sadikin sebagai burung-burung Beo. Kepada pemerintah pusat ia mengingatkan agar mengganti dana dari judi yang hilang 5 milyar rupiah per tahun –suatu jumlah yang besar untuk ukuran masa itu. “Memangnya kita membangun dengan kentut saja”, ucapnya dengan ketus. “Kalau setiap kali kentut keluar 1 milyar, mari kentut sama-sama”.

Celaka dua belas, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang semestinya merasa terkena semburan kejengkelan Ali Sadikin, malah justru menegur dan memperingati pers. “Kalian jangan coba-coba adu domba sesama pejabat”, ujarnya kepada para wartawan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.

Partai Politik dan Perombakan Struktur Politik di Indonesia (2)

“Setelah Peristiwa 15 Januari 1974 sangat kentara Jenderal Soeharto kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan untuk kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis”.

MEMANG ada bermacam-macam pendapat yang muncul dalam simposium pembaharuan di Bumi Sangkuriang Bandung itu. Namun setidaknya ada satu benang merah pemikiran yang jelas dalam konteks pembaharuan politik, yakni tentang harus adanya perubahan struktural. Sebagai pimpinan sidang Dr Midian Sirait melontarkan bagaimana caranya supaya ada perubahan struktural dalam rangka pembaharuan politik Indonesia. “Saya sendiri lebih condong kepada suatu pemerintahan teknokratis yang dijalankan bersama militer. Biarkan saja 25 tahun ini pemerintahan yang teknokratis, sambil kita robah struktur masing-masing”. Yang paling pokok adalah –seperti juga pendapat Rahman Tolleng seorang tokoh pembaharu kala itu– ada proses institusionalisasi dari gerakan, semisal masuk ke dalam parlemen untuk membangun parlemen yang lebih baik. Katakanlah, memperjuangkan gagasan dari dalam institusi formal.

Pada Sidang Umum MPRS 1968, sejumlah partai tertentu menyatakan keinginan agar segera dilaksanakan pemilihan umum. Pada sisi lain sejumlah tokoh yang lebih independen menegaskan, jangan tergesa-gesa melaksanakan pemilihan umum. Karena pemilihan umum merupakan alat demokrasi bagi seluruh bangsa Indonesia, maka pemilihan umum itu harus diselenggarakan sesuai dengan kesiapan bangsa.

Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) secara keseluruhan kala itu menginginkan mempunyai program. Rahman Tolleng yang waktu itu ada di Fraksi Karya banyak memberikan pandangan-pandangan politik mengenai perombakan struktur politik. Antara lain bahwa organisasi-organisasi massa onderbouw agar dilepaskan dari partai induknya untuk berdiri sendiri. Dasar pemikirannya, janganlah bangsa ini dikompartementasi dan diregimentasi seperti yang berlaku selama ini. Ada misalnya partai dengan kelengkapan organisasi seperti wanita partai, pemuda partai, mahasiswa partai, cendekiawan, buruh, tani sampai siswa partai. Barangkali hanya bayi yang tidak dimasukkan dalam satu kelompok organisasi onderbouw.

Sewaktu Sidang Umum MPRS Maret 1968 itu pula muncul nama dan peran belakang layar seorang jenderal Angkatan Darat bernama Ali Moertopo. Dalam rangka perubahan Sekber Golkar menjadi Golkar, agaknya Ali Moertopo ikut berperan. Dia lah yang pertama kali memberitahu kepada beberapa orang di Fraksi Karya nama 7 organisasi pendukung utama Golkar –yang disebut Kino atau Kelompok Induk Organisasi– yakni Kino Kosgoro, Soksi, MKGR, Kino Profesi, Ormas Hankam, Gakari dan Kino Gerakan Karya Pembangunan. Sejumlah tokoh muda yang berasal dari kesatuan aksi pergerakan 1966, dimasukkan ke dalam Kino Gerakan Karya Pembangunan, dan yang menjadi ketua adalah Drs Sumiskum. Dr Midian Sirait menjadi wakil ketua. Pastilah pula peranan Ali Murtopo besar dalam memasukkan nama-nama dari unsur kesatuan aksi dalam Golkar.

DPP Golkar yang kemudian tersusun 1970, dipimpin oleh Ketua Umum Sokowati dengan Sekjen Sapardjo. Para Ketua diangkat dari 7 Kino tersebut. Di bawah Ketua Umum, Sekjen dan para Ketua, terdapat sekertaris bidang yang operate. Dr Midian Sirait menjadi sekertaris bidang papermacenta –pemuda, pelajar, mahasiswa, cendekiawan dan wanita– dan Rahman Tolleng sebagai sekertaris bidang tani dan nelayan. Waktu itu, belum segera ada Dewan Pembina. Lembaga ini menjadi bagian struktur justru setelah terbentuknya DPP, hasil Kongres 1973 di Surabaya.

Perombakan struktur politik

Dalam suatu kurun waktu di tahun 1969-1972, Golkar dan ABRI mengadakan sesi yang berlangsung terus menerus untuk merumuskan mengenai akselerasi dan modernisasi 25 tahun. Topik dan terminologi akselerasi dan modernisasi ini, di belakang hari selalu disebut dan dipopulerkan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo sehingga banyak yang menganggapnya sebagai gagasan Aspri Presiden tersebut. Rantai awal menuju lahirnya gagasan percepatan modernisasi dalam jangka 25 tahun tersebut sebenarnya adalah simposium pembaharuan tahun 1968 di Bumi Sangkuriang itu.

Masukan dalam simposium itu disimpulkan dan diteruskan Seskoad ke Presiden Soeharto. Cara penyampaian gagasan dan pemikiran seperti ini telah dilakukan berkali-kali. Bila kalangan gerakan pembaharuan perlu menyampaikan pemikiran kepada Soeharto, maka itu dilakukan lewat Mayor Jenderal Soewarto sampai 1967 maupun melalui Tjakradipura, Komandan Seskoad berikutnya. Termasuk misalnya pemikiran Soemitro Djojohadikoesoemo yang kala itu masih berada di Eropa –tentang pembangunan ekonomi– yang dikirim lewat seorang pilot sampai Hongkong, diterima Tombokan dan disampaikan ke Dr Midian Sirait lalu diteruskan ke Soeharto lewat Soewarto.

Demikianlah di tahun 1969-1972 lima orang sipil –Rahman Tolleng, Sumiskum, Moerdopo, Oetojo Oesman dan Midian Sirait– mewakili Golkar dalam rangkaian sesi dengan tim ABRI, yang diketuai oleh Amir Moertono yang ketika itu menjabat Asisten Sosial Politik ABRI. Amir bekerja di bawah Kepala Staf Kekaryaan ABRI Jenderal Darjatmo. Karena Oetojo Oesman kerap kali tidak muncul, sementara Moerdopo sibuk untuk berbagai urusan lain, maka praktis Rahman Tolleng, Midian Sirait dan Sumiskum saja yang selalu muncul dalam rangkaian sesi marathon tersebut.

Cukup banyak perbedaan yang muncul kala itu dengan pihak ABRI. Kelompok sipil itu, menurut catatan Dr Midian Sirait, menyebut jangka waktu akselerasi-modernisasi selama 25 tahun –mengacu pada simposium 1968– sedang ABRI menginginkan jangka 30 tahun. Bagaimana dengan struktur politik di masa datang? Rahman Tolleng tampil dengan teori missile: Pendorong utama adalah ABRI, pendorong kedua pegawai negeri dari kalangan birokrasi pemerintahan, lalu pendorong ketiga adalah partai politik dan organisasi massa. ABRI protes: “Jadi kita ini pendorong saja? Setelah lepas landas, kita ditinggal?”. Teori yang diprotes ini hampir sama dengan ide Adam Malik, setelah tugas selesai, agar tidak berdosa, sang malaikat kembali ke langit.

Berikutnya, Sumiskum memaparkan pentahapan 5 tahunan dalam 25 tahun. Pada 5 tahun pertama ABRI berkuasa, 5 tahun kedua ABRI memimpin, dan makin berkurang peranannya dalam tahapan-tahapan berikut, untuk pada akhirnya ABRI pun berlalu. Meredakan kegusaran ABRI, akhirnya Dr Midoan Sirait menyampaikan agar dalam menjalani 25 tahun itu, ABRI lah sendiri yang menentukan kapan mengakhiri tugas dan meninggalkan politik. Tapi apakah mereka sudi berhenti sukarela begitu? Takkan berhenti mereka, demikian Rahman memprotes. Namun Midian Sirait mengatakan, itu hanya penyampaian taktis belaka sebagai bagian dari persuasi. “Tetapi Rahman memang punya karakter khas. Prinsipnya, kalau mempertahankan gagasan, dalam adu argumentasi segerobak pun akan ia lawan”, catat Dr Midian lebih lanjut. “Begitulah, berhadapan dengan ABRI dalam forum ini, ABRI pun dilawan Rahman tanpa takut. Sifat bugis-nya ‘tampil’ di sini”.

Di tahun 1969-1972 itu, di medan lainnya dalam kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Dari KASI Bandung, sebelumnya muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Sedikit banyaknya gagasan ini berasal mula dari Rahman Tolleng juga. Gagasan Dwi Partai pertama kali menjadi topik dalam suatu pembicaraan antara seorang tokoh yang sering disebut sebagai ex PSI bernama Soemarno, dengan Rahman Tolleng. Pembicaraan tentang gagasan yang sama tampaknya dilakukan pula kemudian oleh Soemarno dengan dr Rien Muliono. Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi, yang berbeda bukan atas dasar ideologi melainkan berdasarkan perbedaan program. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.

Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Presiden Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak, mungkin terutama karena gaya penyampaian HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. “Semestinya, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut”, kata Midian Sirait. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang”.

Seperti diketahui, sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan oleh Sjafruddin Prawiranegara. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai, bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Sebenarnya, sebelumnya sekitar waktu itu Dr Midian Sirait pernah mengajukan gagasan 5 partai, yakni 2 partai Islam, 1 partai nasional, 1 partai Kristen-Katolik serta 1 Golongan Karya. Namun terhadap gagasan ini, Ali Moertopo mengatakan, “Sudahlah, pak Harto telah memutuskan 3 partai”.

Pertemuan-pertemuan dengan ABRI tahun 1970, terus membuat Rahman Tolleng berada dalam satu alur, yang meskipun terkesan melawan arus, tidak pernah berobah. Benang merahnya, perombakan struktur politik, melaksanakan dwi partai, dan tentara tidak lagi masuk dunia politik, barulah tercipta kehidupan politik baru dalam sistem politik dengan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Itulah pokok pikiran Rahman. Dr Midian dan beberapa lainnya berpikiran sama. Tapi itu semua bukan sesuatu yang mudah dikerjakan.

Pengalaman terbenturnya gagasan dwi partai, antara lain menunjukkan banyaknya hambatan bahkan kemusykilan yang harus dihadapi. Tapi terlepas dari itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa sedikit banyak Golkar dalam kadar tertentu sempat menjadi wahana bagi kaum pembaharu untuk memperjuangkan gagasannya. Masuknya beberapa aktivis gerakan kritis dan pembaharuan ke dalam Golkar seringkali disebutkan dalam rangka struggle from within.  Tetapi terhadap cita-cita untuk melakukan perbaikan dari dalam, kemudian timbul pertanyaan dan kesangsian: Apakah mereka yang mengubah atau justru mereka yang diubah oleh Golkar dan kekuasaan? Di kemudian hari, Rahman Tolleng, seorang tokoh pergerakan mahasiswa yang pernah masuk untuk mencoba merubah Golkar dari dalam  mengakui bahwa “asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi”. Semua boleh bercita-cita, tetapi Soeharto juga yang menentukan cerita.

Meski terdapat sejumlah perspektif keberhasilan, halangan bagi pembaharuan politik masih jauh lebih banyak lagi, yang terkait dengan hasrat kekuasaan. Hambatan bagi gagasan pembaharuan politik di Indonesia, sesungguhnya juga datang dari Soeharto sendiri dengan segala perkembangan dan perobahan yang terjadi pada dirinya dan di lingkungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Soeharto berobah. Dirobah oleh kekuasaan.  Keluarganya pun berobah. Anak-anaknya makin dewasa dan mulai terjun dalam dunia bisnis dan keuangan. Ada pembelaan tentang kehadiran anak-anak ini dalam bisnis, yang antara lain dihubungkan dengan hak sebagai warganegara yang bebas memilih lapangan rezekinya. Bagaimanapun juga, kekuasaan Soeharto makin dipengaruhi kehadiran anak-anaknya yang bertambah usia dewasa. Anak-anaknya membuat Soeharto lemah.

Soeharto sendiri berangsur berobah sikap. Pada awalnya beberapa kalangan terbatas mengetahui ini dari cerita-cerita Ali Moertopo. Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto sejumlah orang tertentu diajak berkumpul dan diinformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi raja, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota. Kehadiran anak-anaknya di berbagai bidang kehidupan, mulai dipandang menganggu oleh banyak orang. Ada koreksi, misalnya dari Jenderal Benny Murdani, tapi semuanya nyaris tak diindahkan. Kejengkelan-kejengkelan makin terakumulasi dari hari ke hari. Tahun 1967-1969 bahkan hingga 1970, Soeharto  terlihat masih bisa demokratis. Bersedia datang ke parlemen dan sebagainya. Tetapi terutama setelah Peristiwa 15 Januari 1974 sangat kentara Jenderal Soeharto kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan untuk kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis.

Berlanjut ke Bagian 3

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (14)

“Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. “Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.

BERKAITAN dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu, usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot, prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.

Kepada masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.

Lalu kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan, akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di kampus masing-masing”.

Pernyataan itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.

Pernyataan sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung), Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung), Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).

Tingkat situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing. Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo, STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun). Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya, yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966. “Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.

Mereka yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.  Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.

Selain aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.

Belakangan dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan, tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah ‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.

Disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini, praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Maka, menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

Berlanjut ke Bagian 15