COSMAS BATUBARA –bersama Fahmi Idris, Rahman Tolleng, Mar’ie Muhammad, Subchan ZE, Liem Bian Koen dan beberapa tokoh lainnya– adalah bagian tak terpisahkan dalam salah satu proses perubahan politik Indonesia pada tonggak waktu 1966. Suatu rezim kekuasaan di bawah tokoh legendaris dalam sejarah Indonesia kontemporer Bung Karno, pengakhirannya berawal dari sana. Kenapa rezim itu harus berakhir? Sedikitnya tergambar melalui narasi yang disarikan dari catatan Cosmas Batubara berikut ini.
“Perkembangan politik Indonesia selama demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno dari tahun 1960-1965 diwarnai tiga kekuatan politik. Dari seluruh politisi dan organisasi masyarakat serta angkatan bersenjata ada yang berorientasi kepada diri Presiden Soekarno, sebagian lagi berorientasi kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan ada yang berorientasi kepada Partai Komunis Indonesia. Pada saat itu terjadi pertarungan ideologi antara yang pro Nasakom dan yang tidak menyetujui Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis).” Singkatnya pertarungan antara ideologi komunis versus Pancasila.
“Posisi Presiden Soekarno dengan para pengikut sebenarnya berada di tengah. Akan tetapi dalam realitas politik, kelompok yang tidak setuju kepada komunis berpendapat bahwa Presiden Soekarno lebih sering memberi angin kepada kelompok komunis.” Continue reading Cosmas Batubara dan Bung Karno
Tag Archives: Fahmi Idris
Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within
SEGERA setelah Peristiwa 30 September 1965 tanda-tanda tumbangnya rezim Nasakom Soekarno, mulai membayang. Diakui atau tidak, saat Jenderal Soeharto dan Jenderal Abdul Haris Nasution serta sejumlah perwira militer anti komunis masih ada dalam kesangsian mengakhiri kekuasaan Soekarno, kelompok mahasiswa dan pelajar tampil sebagai faktor pendorong diakhirinya rezim lama. Di Jakarta ada tokoh-tokoh mahasiswa di barisan depan seperti antara lain Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, Marsillam Simandjuntak dan Fahmi Idris. Sementara di Bandung ada Rahman Tolleng yang muncul dari ‘bawah tanah’ dan menjadi pelopor gerakan anti Soekarno yang kali ini dilakukan di ‘permukaan tanah’.
Bersama Rahman di Bandung ada aktivis mahasiswa senior lainnya seperti Alex Rumondor, Mangaradja Odjak Siagian dan lainnya. Lalu muncul tokoh-tokoh penggerak mahasiswa intra kampus Rachmat Witoelar yang memperkuat otot massa bagi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dan aktivis populer Soegeng Sarjadi dari kampus Universitas Padjadjaran yang memicu aksi perobekan gambar Bung Karno Agustus 1966.
Kekuasaan Soekarno berakhir dalam Sidang Istimewa MPRS 7-12 Maret 1967, saat SI MPRS itu memutuskan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala keluasaan pemerintahan negara dari tangannya. Lalu Soeharto naik ke puncak kekuasaan. Berakhirnya kekuasaan Soekarno, membawa Indonesia ke dalam satu babak baru. Continue reading Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within
Partai Golkar, Kisah Intervensi Berbalut Kain Sutera
BULAN Desember menjelang tutup tahun 2014, kepada publik tersaji serial berita tentang dua versi kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar, yakni hasil Munas IX di Bali dan hasil Munas tandingan di Ancol Jakarta. Dua-duanya menyatakan diri sesuai konstitusi partai. Tapi bagaimana pun, sepanjang ketentuan yang ada dalam konstitusi partai tersebut, mustahil terjadi dua kebenaran sekaligus. Karena, apakah mayoritas DPD Golkar yang tersebar di 34 provinsi, 412 kabupaten, 98 kota (dan kota administratif) sebagai pemilik suara terpenting dan menentukan, masing-masing telah menghadiri Munas Golkar IX di Bali lalu juga menghadiri Munas di Ancol Jakarta? Maka, pasti ada satu di antaranya yang palsu. Dan semestinya sama sekali tidak sulit memverifikasi kebenaran di antara kedua Musyawarah Nasional itu.

Meski seringkali menjengkelkan untuk melihat perilaku akrobatik yang kerap beraroma otoriter dari sejumlah tokoh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, tak boleh tidak harus diakui bahwa Munas Golkar di Bali yang harus dianggap sah karena praktis dihadiri oleh DPD-DPD yang sah dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, tidak sulit untuk melihat bahwa Munas di Ancol adalah artifisial, bersifat mengakali konstitusi partai. Tapi pemerintahan Jokowi yang diwakili dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM, mengambil sikap sangat abu-abu.
Pers mengutip Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –seorang tokoh PDIP– yang mengatakan (16/12) “Setelah kami pertimbangkan, dari semua aspek, yuridis, fakta, dan dokumen, kami menyimpulkan bahwa masih ada perselisihan yang seharusnya Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh mengintervensi….” Dan dengan anggapan adanya perselisihan, pemerintah lalu menyarankan penyelesaian internal melalui Mahkamah Partai. Tapi saran pemerintah ini pada hakekatnya hanya memperpanjang dan memperlama fase pertengkaran di tubuh partai papan atas ini. Sepintas sikap pemerintah adil dan bijaksana, tapi implikasinya sebenarnya adalah menciptakan nafas lanjutan dan kesempatan bagi kelompok ‘Munas Ancol’ Agung Laksono dan kawan-kawan untuk tetap menjadi faktor. Baik untuk membangun eksistensi mereka secara formal, maupun setidaknya untuk punya standing dalam suatu proses islah.
Intervensi terselubung. Menjadi pengetahuan publik, bahwa kekisruhan di tubuh Golkar secara pragmatis hanya akan menguntungkan koalisi partai-partai pendukung kekuasaan dan pemerintahan Jokowi-JK dalam konteks mematahkan supremasi KMP di lembaga legislatif. Makin panjang kisruh itu makin bagus bagi the ruling parties. Siapa tahu, hasil akhirnya nanti adalah sebuah Golkar yang pro kelompok berkuasa dalam kekuasaan pemerintahan negara saat ini. Dan cukup banyak kaum opportunis di tubuh partai itu siap ‘dimainkan’ sebagai pemegang peran antagonis.

Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmuziy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera. Kenapa intervensi di PPP dilakukan tanpa ragu, tak lain karena menganggap posisi kubu Suryadharma Ali sedang terpojok secara internal maupun eksternal. Tuduhan korupsi di Kementerian Agama yang sedang mengarah ke Suryadharma Ali melemahkan posisi dan penilaian integritasnya dalam opini publik. Sebaliknya, intervensi ke Partai Golkar dilakukan lebih berhati-hati, karena adalah fakta bahwa secara internal kubu Aburizal Bakrie memang cukup kokoh berkat dukungan seluruh DPD –terlepas dari soal bagaimana cara dukungan itu diperoleh– dan legal formal pasti lebih konstitusional. Maka Menteri Hukum dan HAM tak ‘berani’ untuk secara langsung memaksakan memberi pengakuan keabsahan kepada kubu Munas Ancol bila tidak ingin mengalami efek bumerang dalam opini publik. Namun, di sisi lain ada kepentingan khusus yang harus disandarkan kepada keberadaan kubu Munas Ancol itu. Maka pilihannya, adalah sikap abu-abu.
Secara khusus bagi Jusuf Kalla, bila Partai Golkar bisa dikuasai oleh unsur-unsur kelompok Ancol, itu akan mengamankan bargaining position dirinya dalam percaturan politik di tubuh kekuasaan dalam lima tahun ke depan. Diakui atau tidak, sebenarnya kebersamaan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam satu perahu kekuasaan, lebih bersifat ‘perkawinan’ taktis dengan segala kepentingan politis demi kekuasaan daripada bersatu atas dasar kesamaan strategis demi idealisme untuk bangsa.
Involusi dan molekulisasi. PERTENGKARAN internal –yang sering diperhalus secara sesat dengan terminologi “dinamika partai”– pasca Soeharto, bukan sesuatu yang baru di tubuh organisasi politik dengan sejarah yang cukup panjang ini. Akan tetapi baru sekali ini Golkar mengalami suatu pertengkaran yang menciptakan situasi ‘seakan-akan’ terjadi kepengurusan ganda. Dan ini adalah kali pertama ada kelompok bertindak terlalu jauh, menyelenggarakan Munas tandingan dan melahirkan DPP tandingan. Menjelang Pemilu 2004 tokoh Golkar Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan sempat berbeda pendirian dengan Ketua Umum Akbar Tandjung yang berujung pemecatan. Hanya saja, Marzuki dan kawan-kawan tidak memilih jalan menyelenggarakan Munas dan DPP tandingan yang bisa menyebabkan kehancuran partai.
Namun setelah itu terjadi sejumlah fenomena baru. Dalam beberapa peristiwa, sejumlah tokoh yang kecewa terhadap Golkar –misalnya kalah dalam konvensi Golkar maupun pemilihan kepemimpinan organisasi tersebut atau gagal menjadi presiden dengan dukungan Golkar– meninggalkan Golkar untuk mendirikan partai baru. Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan belakangan Surya Paloh mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasdem yang kemudian menjelma sebagai partai Nasdem. Sebelumnya, di awal pasca Soeharto Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjad mendirikan PKPI. Setiap tokoh partai-partai baru itu, menjalankan pola mirip transmigrasi bedol desa, membawa serta para pendukungnya meninggalkan Golkar. Partai Demokrat pun sebenarnya, untuk sebagian dibangun dan diisi oleh tokoh-tokoh yang tadinya adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar –misalnya dari jalur A, maupun tokoh-tokoh eks Golkar lainnya.
Fenomena baru pasca Soeharto ini, mungkin tepat disebut sebagai proses involusi, semacam degenerasi yang lebih jauh bisa saja suatu waktu menjadi molekulisasi Golkar. Ini semacam pembalikan terhadap apa yang terjadi di tahun 1964 saat tak kurang dari 291 organisasi bercorak kekaryaan berhimpun membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dan menjelang Pemilihan Umum 1971, Sekber Golkar berhasil merampingkan pengorganisasiannya namun dengan kuantitas akar rumput yang lebih luas di masyarakat. Pada saat akan memasuki tahun Pemilu 1971 itu pula Golkar berhasil mengajak sejumlah kalangan generasi muda pergerakan tahun 1966 dan kelompok-kelompok cendekiawan independen untuk memperkuat Golkar secara kualitatif. Ketertarikan generasi muda dan kalangan cendekiawan itu, terutama karena pada pasca Soekarno itu Golkar lah satu-satunya alternatif kekuatan politik yang tidak ideologistis dan hanya bersandar pada ideologi Pancasila di antara kerumunan partai ideologis lama. Dan yang paling penting, Golkar mampu menyodorkan konsep yang menjanjikan pembaharuan sosial dan pembaharuan kehidupan politik. Bahwa di kemudian hari sebagian besar janji pembaharuan tak terwujud, itu suatu persoalan yang pada waktunya perlu dikupas tersendiri.
Tiga dimensi dan pergaulan politik klik. TIGABELAS tahun setelah 1971, saat Golkar berusia 20 tahun, ahli politik terkemuka Dr Alfian memberi penilaian bahwa hingga per waktu itu Golkar masih terpaku pada penekanan dimensi preventif dalam kehidupan perpolitikan. Trauma politik di masa lampau membuat langkah-langkah preventif seolah menjadi obsesi Golkar. Tragedi politik pra Orde Baru, menyebabkan Golkar khawatir terhadap segala bentuk ancaman. Golkar cemas kalau-kalau muncul ideologi baru di luar Pancasila. Padahal, selain dimensi preventif, ada dua dimensi lain yang harus juga diberlakukan bersamaan secara proporsional, yaitu dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan dan pengembangan. Jangan ada satu dari ketiga dimensi ini yang mendapat penekanan berlebihan (Media Karya, edisi 20 Tahun Golkar, Oktober 1984).
Tetapi sejarah menunjukkan, sengaja atau tidak, sepanjang masa kekuasaan Soeharto yang adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dimensi preventif selalu menjadi warna utama politik Golkar dan Soeharto sendiri. Dalam periode Ketua Umum Sudharmono SH dan Sekjen Sarwono Kusumaatmadja, cukup terlihat ada upaya untuk juga memperhatikan dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan tersebut di tubuh Golkar. Antara lain dengan gerak kaderisasi besar-besaran serta penerapan stelsel keanggotaan aktif –dimulai dengan pemberian KAG (Kartu Anggota Golkar) dan NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Terhadap kader diberlakukan saringan kualitatif melalui kriteria PDLT –prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela– dalam penempatan atau penugasan, misalnya saat akan mengisi posisi anggota legislatif atau posisi fungsionaris partai. Namun fakta empiris memperlihatkan, betapa perhatian terhadap dimensi pemeliharaan dan dimensi pembaharuan tak cukup berlanjut di masa-masa berikut, terutama di masa Harmoko memimpin partai. Harmoko lebih mengejar aspek kuantitatif berupa pencapaian prosentase tinggi kemenangan Golkar dalam pemilu.
Penerapan PDLT, terutama menjelang Pemilu 1987, sering harus berhadapan dengan perilaku nepotisme yang terjadi di tiga jalur Golkar –ABG yang terdiri dari jalur A (Abri), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar) sendiri. ‘Pertarungan’ sengit terjadi dalam tiga tahap penyusunan daftar calon tetap untuk pengisian posisi legislatif, khususnya di tahap akhir. Hingga sejauh yang bisa terlihat saat itu, kriteria PDLT cukup bisa membatasi keberhasilan nepotisme kendati di sana-sini tetap juga terjadi sejumlah kompromi. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama menjelang Pemilu 1997, warna nepotisme menjadi corak yang menonjol. Lahir misalnya plesetan AMPI menjadi Anak-Mantu-Ponakan-Isteri atau yang semacamnya, yang pada intinya menyindir penempatan-penempatan berdasarkan hubungan kekerabatan dan atau klik. Kasat mata, satu keluarga bisa berkumpul di lembaga legislatif. Tetapi soal klik, lebih sulit diukur, walau sangat terasa. Ini menular hingga ke masa-masa berikutnya, bahkan hingga di masa reformasi dan sesudahnya. Maka Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung dan Golkar berikutnya di bawah Muhammad Jusuf Kalla maupun Aburizal Bakrie, suka atau tidak, dengan sendirinya ‘harus’ terbiasa dengan ‘pergaulan politik klik-klikan’.
Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara. Di sini, partai hanyalah ibarat sebuah kendaraan tumpangan yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila menemukan kendaraan lain yang lebih sesuai dan nyaman untuk kebutuhan per suatu saat. Dan atau sebaliknya.
Akal sehat dan ‘Golkar Putih’. Dalam konteks pertengkaran internal –dengan jalinan faktor eksternal– yang melanda Partai Golkar saat ini di dua kubu, harus diakui terdapat peran politisi akrobatis dan oportunis. Peran mereka ternyata tidak kecil. Satu dan lain hal, inilah yang membuat situasinya berbau sangat tidak sedap. Politisi akrobatis dan oportunis ini di satu sisi bisa menjadi sumber keruntuhan partai, namun di sisi lain harus diakui bahwa pada saat yang sama mereka juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam berkompromi. Maka, harus menanti sisi mana yang akan bekerja. Kelompok akal sehat yang dulu sering disebut sebagai ‘Golkar Putih’, mungkin lebih pantas diharapkan kehadirannya kembali untuk berperan. Tetapi kalaupun pada akhirnya kompromi tercapai, atau penyelesaian hukum yang baik dan benar tercapai, masa depan Golkar tetap terselaput tanda tanya selama Golkar tak berhasil mengatasi kehadiran dan peran para politisi akrobatis dan oportunis di tubuhnya. (socio-politica.com)
Persoalan Stigma Prabowo Subianto dan Para Jenderal Lainnya (2)
KENAPA mereka yang disebutkan diculik –pihak militer pelaku menggunakan istilah ‘mengambil’– itu keberadaannya bisa bertebaran di berbagai penjuru tanah air? Diduga, setelah dilepaskan (dibebaskan), pada masa jabatan Mayor Jenderal Muchdi sebagai Danjen Kopassus, mereka ‘trauma’ dan merasa perlu bersembunyi.
Tatkala dimintai keterangan oleh TGPF 12 Oktober 1998, KSAD Letnan Jenderal Subagyo HS, menyebutkan ‘pengambilan’ terhadap Andi Arief cs karena Prabowo dan para perwiranya menganggap mereka membuat rencana-rencana melakukan pemboman dan telah terbukti di Tanahtinggi. Mereka yang dianggap merencanakan dan terlibat sebagai pelaku pemboman antara lain Aan Rusdianto, Nezar Patria, Raharjo Waluyo Jati dan Mugianto selain Andi Arief. KSAD menyebut pula sejumlah nama di luar yang terkait dengan pemboman, yakni anggota-anggota PRD seperti Desmond Mahesa (aktivis kegiatan HAM bersama LBH masa Buyung Nasution), Pius Lustrilanang (pendiri kelompok ‘Siaga’ setelah Peritiwa 27 Juli 1996), dan Feisol Reza, serta Haryanto Taslam (aktivis mahasiswa pro Mega, yang pernah bergabung di PDIP). Mereka ini ‘diambil’ karena diduga merencanakan akan membuat sejumlah kekacauan.

Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma.” (foto tempo)
Di luar yang disebutkan Subagyo HS, di antara yang ‘diambil’ ada juga nama Deddy Hamdun. Kevin O’Rourke dalam bukunya Reformasi (2002), menyebut Deddy sebagai bos preman yang ‘bekerja’ untuk PPP dalam Pemilihan Umum Mei 1977. Ada pula nama Wiji Thukul, penyair dan aktivis buruh, yang menghilang sejak Agustus 1996. Joko Widodo mengaku bahwa ia kenal baik dengan Wiji Thukul, dan itu sebabnya antara lain mengapa ia berkeinginan ada penanganan terhadap yang disebut sebagai ‘penghilangan paksa’ itu. Prabowo Subianto mengakui adanya ‘pengambilan’ terhadap 6 orang sebagaimana yang dilaporkan PDI kepada Komnas HAM.
Menjadi pertanyaan yang perlu ditelusuri, apakah ‘penghilangan paksa’ lainnya –ada yang menyebut jumlah korban 13, sedang LBH menyebut angka 14– juga dilakukan tim dari Kopassus, karena ada informasi di sekitar tahun 1998, bahwa ‘pengambilan’ juga dilakukan berbagai instansi keamanan lainnya. Apa yang disebutkan terakhir ini jarang dipersoalkan, karena perhatian lebih tertuju kepada figur Prabowo Subianto. Masa-masa sebelum 1998, harus diakui, memang kuat ditandai dengan berbagai macam tindakan represif kalangan penguasa cq ABRI. Para jenderal maupun perwira lainnya dari masa itu –begitu pula tokoh sipil dari masa yang sama– kini bertebaran di dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi menuju 9 Juli 2014. Kehadiran mereka di gelanggang politik saat ini memberi aroma menyengat yang khas masa represif dan masa intrik sebelum 1998.
TERKAIT Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH, merekomendasikan beberapa hal berikut. “Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peranan Letnan Jenderal Prabowo dan pihak-pihak lainnya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.” Dalam pertemuan 14 Mei itu tercatat kehadiran beberapa tokoh terkemuka, seperti Adnan Buyung Nasution SH, Fahmi Idris dan Setiawan Djody.
TGPF juga merekomendasikan “Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan. Dalam kerangka ini Pangkoops Jaya Mayor Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam kasus penculikan, Letnan Jenderal Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke Pengadilan Militer. Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa.”
TGPF berkeyakinan, bahwa peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik Indonesia waktu itu. Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan tentang begitu banyaknya keterlibatan berbagai pihak dalam peristiwa kerusuhan, mulai dari preman lokal hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI. Kelompok-kelompok dalam ABRI tersebut mendapat keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja menumpangi kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa. “Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cukup bertindak untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggung jawab untuk itu.”
Tentu, mau tak mau, ini terarah kepada pimpinan ABRI kala itu. Di tingkat nasional Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan di tingkat ibukota Jakarta Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Sintong Pandjaitan menuturkan, kala itu seolah-olah ada rivalitas antara Wiranto dengan Prabowo. Kalau Wiranto mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada persaingan antara Wiranto dan Prabowo, karena ia seorang jenderal berbintang empat, menurut Sintong, itu boleh saja. Dalam kasus kerusuhan Peristiwa Mei 1998, terdapat silang pendapat antara Prabowo dan Wiranto. Prabowo berkata, “Kenapa Wiranto ke Jawa Timur?” Menurut Sintong dalam aturan tentara, sebenarnya Prabowo, Panglima Kostrad, tidak boleh menilai secara terbuka terhadap Wiranto, Panglima ABRI yang menjadi atasannya.
Bisa dicatat dan harus diakui, meroketnya karir militer Prabowo Subianto yang kebetulan adalah menantu Jenderal Soeharto sang penguasa puncak sebelum 1998, memang menimbulkan banyak persoalan, termasuk ‘kecemburuan’ di kalangan perwira. Berbagai pengungkapan masa lampau Prabowo, termasuk pembocoran dokumen kesimpulan badan ad-hoc Dewan Kehormatan Perwira mungkin tak bisa dilepaskan begitu saja dari rivalitas dan sentimen masa lampau itu. Prabowo Subianto adalah satu-satunya perwira tinggi yang diajukan ke DKP di tahun 1998, padahal ada begitu banyaknya perwira tinggi lainnya yang pantas untuk juga diajukan ke DKP kala itu.
TGPF telah meminta keterangan/kesaksian sepuluh pejabat terkait yang bertanggung jawab pada saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Mereka adalah Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Gubernur DKI Mayjen TNI Sutyoso, Ka BIA Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim, Dankormar Mayjen (Mar) Soeharto, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Fahmi Idris, Kastaf Kodam Jaya Brigjen TNI Sudi Silalahi, Asops Kodam Jaya Kol Inf Tri Tamtomo dan KASAD Jenderal TNI Subagyo HS. Panglima ABRI Jenderal Wiranto, tak bersedia memenuhi panggilan untuk memberi keterangan. Penolakan Jenderal Wiranto ini jelas menimbulkan tanda tanya, baik tentang diri dan keterlibatannya dalam pertarungan politik saat itu maupun tentang kebenaran sesungguhnya tentang peristiwa sekitar 1998 tersebut.
Seluruh bahan dan dokumentasi serta Laporan Akhir TGPF telah diserahterimakan kepada pemerintah melalui Menteri Kehakiman. Dengan demikian, sejak penyerahan itu, segala hak, kewajiban dan tanggung jawab TGPF berakhir. Tetapi bisa dicatat bahwa pemerintah tidak pernah menindaklanjuti temuan TGPF itu secara pantas.
Stigma dan Komisi Kebenaran. Satu dan lain sebab, dengan tidak dituntaskannya pencarian kebenaran dari peristiwa di tahun 1998 itu, maka hingga kini, sejumlah jenderal masih selalu dilekati stigma, termasuk Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan. Stigma pelanggaran HAM di Timor Timur pun masih selalu dilekatkan kepada Jenderal Wiranto dan sejumlah perwira lainnya yang pernah bertugas di sana saat daerah itu menjadi provinsi ke-27.
Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah jenderal dalam berbagai peristiwa. Stigma itu bisa benar dasar faktanya, sebagaimana itu pun bisa tidak benar, atau setengah benar setengah tidak benar. Maka kebenaran sejati harus dicari, untuk mengambil suatu kesimpulan dan sikap yang adil. Selama kebenaran peristiwa tidak ditelusuri, ia akan terus menjadi stigma. Jenderal Hendro Priyono misalnya, selalu dikaitkan dengan Peristiwa Talangsari Lampung. Jenderal Sutyoso dan sedikit banyaknya juga Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, selalu dilekatkan dengan Peristiwa Penyerbuan Kantor DPP PDIP 27 Juli 1996. Begitu pula dalam Peristiwa Semanggi I dan II, nama sejumlah petinggi militer dan polisi maupun tokoh-tokoh sipil selalu dikaitkan, sampai kepada kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.
Tidak tuntasnya pencarian kebenaran peristiwa, akan bersisi dua. Di satu pihak akan menciptakan stigmatisasi berkepanjangan meskipun misalnya yang dilekati stigma itu tidak sepenuhnya bersalah. Dan, pada sisi lain sebaliknya bisa berarti tertutupinya sejumlah kesalahan dalam suatu peristiwa –bila itu memang benar terjadi. Dalam sudut pandang dan catatan sejarah, ‘kebenaran’ pun akan tiba ke khalayak turun temurun dalam dua wajah sehingga membingungkan dan mungkin menyebabkan pembelahan berkepanjangan dalam masyarakat. Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 bisa menjadi contoh. Apakah peristiwa tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM dengan melihat keras dan tegasnya tindakan aparat keamanan terhadap kelompok sipil? Tetapi sebaliknya, bisa dipertanyakan, pilihan apa yang bisa diambil aparat keamanan menghadapi penyerbuan bersenjata ke markas Kodim yang dilakukan sekelompok besar massa bersenjata?
Bila diurut ke belakang, bangsa ini bersama-sama juga tak berhasil menemukan kebenaran sejati terhadap sejumlah peristiwa besar lainnya, seperti Peristiwa 30 September 1965 dengan segala eksesnya. Hingga kini, peristiwa itu masih selalu menjadi bahan polemik dan pertengkaran, apalagi saat dimunculkannya berbagai versi artifisial yang menggelapkan beberapa bagian kebenaran sejarah. Baik dalam konteks mekanisme defensif dalam rangka membela diri maupun dalam lingkup motivasi balas dendam politik. Hal yang sama untuk Pemberontakan GAM yang menginginkan Aceh Merdeka terlepas dari NKRI. Juga untuk berbagai peristiwa SARA –benturan antar suku, rasialisme, perusakan rumah ibadah– di sejumlah daerah, seperti kasus-kasus tergolong baru berupa penyerangan kelompok Ahmadiyah maupun Syiah.
DALAM suatu debat televisi, tim hukum kelompok Prabowo-Hatta Rajasa, melalui Prof Dr Muladi mengetengahkan gagasan pembentukan suatu Komisi Kebenaran untuk menuntaskan masalah-masalah pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Sebaliknya, meskipun tidak menyebutkan istilah Komisi Kebenaran, tak kurang dari Jokowi sendiri yang menjanjikan penanganan serius masalah pelanggaran HAM masa lampau di Indonesia. Pada waktunya, publik harus menagih janji-janji ini, sehingga suatu Komisi Kebenaran mewujud –meski Mahkamah Konstitusi pernah mematahkan pembentukan suatu komisi semacam ini. Selain menagih, bila Komisi Kebenaran terbentuk, katakanlah setelah terpilihnya presiden baru, siapa pun yang terpilih, publik harus mengawal agar Komisi Kebenaran yang terdiri dari unsur-unsur terpercaya di masyarakat, akademisi dan kalangan pemerintah, bekerja sungguh-sungguh menemukan kebenaran sebagai jalan menuju keadilan. Peristiwa apa pun, dan siapa pun yang pernah bermasalah –entah ia sedang berada dalam lingkaran kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan sosial maupun di luar itu– harus menjadi sasaran penelusuran kebenaran.
Hasil penelusuran tidak harus selalu berujung kepada peradilan. Karena, ia bisa juga dilakukan untuk kepentingan rekonsiliasi (seperti di Afrika Selatan), permintaan maaf terbuka dari pelaku, atau paling tidak menghasilkan suatu dokumen negara tentang kebenaran suatu peristiwa sebagai pegangan bersama (seperti di Jerman setelah penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur). Dan, tak kalah pentingnya, menghindarkan dan mengakhiri penggelapan sejarah yang menyesatkan hati nurani bangsa. (socio-politica.com).
Mengejar ‘Mandat Langit’: Golkar dan Partai Demokrat
DARIPADA menjadi ekor, atau sekedar semut-semut yang mengejar sisa-sisa butiran gula di sekitar Jokowi maupun Prabowo Subianto, sebenarnya adalah lebih baik bila Golkar dan Partai Demokrat berani menciptakan alternatif. Menyelenggarakan rapat pimpinan nasional di waktu yang hampir bersamaan (18/5) di tempat yang berdekatan, Partai Demokrat lebih cepat bersikap tegas daripada Partai Golkar. Kali ini, sikap Susilo Bambang Yudhoyono (dan Partai Demokrat) lebih berkepribadian: Tidak akan bergabung dengan kubu mana pun, baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo. Sementara itu, Rapimnas Golkar menyerahkan kepada Aburizal Bakrie untuk menentukan arah koalisi, dan memberi mandat pada sang ketua umum untuk menetapkan dirinya sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Tapi ternyata Aburizal berpikiran sangat pragmatis.
Konsekuensi sikap yang disampaikan SBY itu adalah Partai Demokrat harus mencoba membuat poros alternatif, dan yang paling mungkin untuk saat ini adalah bersama Golkar. Sebenarnya, berdasar historis kelahirannya sebagai pembaharu tidak pada tempatnya bila Golkar memilih menjadi pengekor demi memenuhi hasrat kecipratan remah-remah kekuasaan belaka. Dalam menghadapi pemilihan umum pertama setelah Pemilu 1955 pasca Soekarno, di tahun 1971, Golkar menampilkan diri dengan gagasan pembaharuan politik yang sempat memikat sejumlah tokoh generasi muda tahun 1966 dan kaum intelektual untuk bergabung. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa setelah kemenangan dicapai, Soeharto dan para jenderal di lingkaran kekuasaannya berangsur-angsur ‘membuktikan’ lebih cinta kekuasaan belaka daripada cita-cita pembaharuan politik yang sesungguhnya.

Namun, terlepas dari soal kesetiaan kepada cita-cita itu, apa pun yang terjadi sepanjang masa Soeharto, Golkar –tepatnya, Jenderal Soeharto– selalu memimpin arah politik. Ditempa oleh keadaan serba unggul, Golkar berhasil melahirkan politisi-politisi tangguh yang mampu mengendalikan arah kehidupan politik dari waktu ke waktu. Akan tetapi bersamaan dengan itu, khususnya pada satu dekade terakhir masa kekuasaan Soeharto Golkar juga berhasil ditumpangi oleh orang-orang oportunis yang pandai mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya. Sejak awal 1974 berangsur-angsur kelompok dengan cita-cita pembaharuan dipentalkan keluar, dan posisi-posisi kunci di tubuh Golkar makin dikuasai para oportunis pencari rezeki. Mereka yang disebut terakhir ini, tercatat paling gesit meloncat meninggalkan Golkar dan Soeharto di tahun 1998 di saat Golkar terancam karam.
DENGAN ‘susah payah’, Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Fahmi Idris, MS Hidayat dan sejumlah tokoh Golkar lain yang ‘bertahan’ di kapal yang disangka akan karam –dan nyaris diberi nasib seperti PKI pasca Nasakom Soekarno– mempertahankan keberlangsungan hidup Golkar dengan penamaan ‘Golkar Baru’ dalam bentuk sebagai partai. Penamaan ‘Golkar Baru’ sekaligus dijadikan tanda batas dengan era Soeharto, tepatnya semacam garis pemisah dengan era Golkar terakhir yang penuh ekses KKN dan oportunisme masa Harmoko. Tetapi ‘Golkar Baru’ tidak pernah betul-betul bersih dari kaum oportunis masa lampau, dan bahkan berangsur-angsur terisi juga dengan kaum oportunis baru. Untuk yang disebut terakhir ini, Akbar Tandjung, harus diakui, ikut khilaf membuka kesempatan.
‘Golkar Baru’ yang di dalam tubuhnya masih mengandung unsur-unsur yang gamang bila tak tercantel dengan kekuasaan, terpikat untuk memilih Muhammad Jusuf Kalla yang berhasil menjadi Wakil Presiden (2004-2009) pendamping SBY, sebagai Ketua Umum Golkar yang baru melalui Munas Golkar di Nusa Dua Bali akhir 2004. Padahal, beberapa tahun sebelumnya Jusuf Kalla sebenarnya sempat meninggalkan Golkar ikut berlayar di kapal Partai Persatuan Pembangunan. Tetapi di ‘masa reformasi’ faktor kesetiaan kepada ‘partai asal’ memang sudah berubah menjadi begitu encer dan tidak lagi terlalu dipersoalkan.
Hari Senin 19 Mei 2014 ini Muhammad Jusuf Kalla kembali menjadi calon Wakil Presiden, mendampingi Joko Widodo yang didukung PDIP bersama Nasdem dan PKB disusul Hanura. Tak ada manuver ‘dadakan’ di internal PDIP untuk memajukan Puan Maharani seperti yang di’kuatir’kan sebelumnya. Pun belum ada perubahan sikap di PKB akibat ketentuan kerjasama tanpa syarat yang secara ‘tegas’ dinyatakan Megawati Soekarnoputeri. Tetapi pertanyaannya, sanggupkah PKB bertahan ikut serta dalam suatu ‘koalisi’ tanpa mengharapkan suatu deal apapun untuk para petingginya? Kalau semua yang terjadi, kerjasama tanpa syarat, adalah seperti yang dikatakan, baguslah, berarti terjadi kemajuan dalam sikap dan praktek politik. Meskipun, ini semua lebih terasa sebagai sesuatu yang too good to be truth dalam iklim politik yang sangat pragmatis seperti sekarang ini.
Setelah JK mendampingi Jokowi menjadi satu kenyataan, tentu saja, sesuai penegasan Aburizal Bakrie usai Rapimnas Golkar Minggu (18/5), Jusuf Kalla tidak mewakili Golkar melainkan mewakili dirinya sendiri. Tetapi harus diakui, Jusuf Kalla masih memiliki sel-sel pendukung di tubuh Golkar. Bagaimanapun dia pernah menjadi Ketua Umum di partai berlambang pohon beringin tersebut selama 5 tahun.
Senin siang 19 Mei ini, Prabowo juga memastikan Hatta Rajasa dari PAN sebagai pendampingnya selaku Wakil Presiden. Pengumumannya disampaikan di sebuah rumah di Polonia, Jakarta, yang konon pernah menjadi kediaman sementara Soekarno. Pertanyaan yang sama memang bisa diajukan, sanggupkan partai-partai seperti PKS dan PPP bertahan dalam koalisi tersebut, padahal calon-calon Wakil Presiden yang mereka ajukan tak terakomodir? Berbeda dengan PDIP, persoalan di poros Prabowo mungkin sedikit lebih mudah. Suatu deal mengenai posisi di kabinet, tersurat maupun tersirat, bisa dipastikan telah dibicarakan lebih awal.
TERKAIT kemungkinan koalisi Golkar dengan Partai Demokrat, pernyataan Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan menjadi menarik. Partai Demokrat menginginkan Aburizal Bakrie dan Susilo Bambang Yudhoyono mengambil peran sebagai king maker. Suatu usul yang baik dan bisa menampilkan sisi kenegarawanan dari kedua tokoh itu. Tidak ada kata terlambat. “Kami mengusulkan supaya Golkar memberikan opsi-opsi untuk calon presiden, seperti mengajukan Menteri Perindustrian Mohamad Sulaeman Hidayat,” ujar Sjarif seperti dikutip Koran Tempo (18/5). Sementara itu, MS Hidayat sendiri, yang menjadi salah satu anggota tim dari kedua partai yang terdiri dari 6 orang, menyampaikan usul suatu poros ketiga untuk mengusung pasangan capres-cawapres Aburizal Bakrie dengan Pramono Edhie Wibowo.

Deklarasi pasangan dua calon presiden dan wakil presiden yang telah terjadi Senin ini, sebenarnya suatu situasi faitaccompli bagi Partai Golkar dan Partai Demokrat, agar mewujudkan poros ketiga. Kalau mereka mau dan bisa mengatasi subjektivitas tertentu pada diri mereka, Senin petang atau paling lambat Selasa pagi 20 Mei mereka masih berkesempatan mengumumkannya. Khususnya Golkar, saatnya belajar meninggalkan sikap obsesif mereka terhadap kursi kekuasaan sekalipun untuk itu harus rela menjadi figuran belaka. Tapi harapan seperti itu buyar seketika, karena Senin siang menjelang deklarasi pasangan Prabowo dengan Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie dikabarkan memutuskan mendukung pencalonan Prabowo Subianto.
Terhadap kemungkinan poros ketiga, serta merta sejumlah pengamat, termasuk mereka yang menjagokan dua capres, Jokowi dan Prabowo, mengatakan suatu pasangan baru sudah terlambat. Tak punya lagi waktu sosialisasi untuk membangun elektabilitas. Dua tokoh lainnya sudah jauh di depan. Tentu saja, pendewa-dewaan pencapaian elektabilitas yang telah dicapai dua calon lainnya, bisa juga berlebih-lebihan dan keliru. Harus diakui, kerjasama atau koalisi pendukung dua calon presiden yang sedang di atas angin itu, bukannya tak mengandung kerapuhan di sana-sini. Dua pasangan yang tampil juga tak sepenuhnya ideal. Publik masih punya kemampuan untuk menerima penyampaian-penyampaian gagasan baru –maupun fakta kebenaran dan kesadaran baru– sepanjang gagasan baru itu bisa lebih masuk akal, jujur dan genius. Dalam tempo yang sempit sekali pun. Suatu proses perubahan pikiran bisa saja terjadi hanya dalam 1-2 detik.
Pengakuan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa menurunnya angka perolehan Partai Demokrat dalam pemilihan umum legislatif yang lalu disebabkan oleh banyaknya kader partainya yang melakukan korupsi, bisa menjadi awal sikap positif yang baru dan berharga. Golkar dan Aburizal juga bisa melakukan berbagai hal positif lainnya. Bagaimana jika Aburizal segera menyelesaikan sisa kewajibannya kepada korban lumpur Lapindo misalnya, seraya menyampaikan permintaan maaf yang lebih tulus? Untuk ini, pun tidak ada kata terlambat. Tapi apa boleh buat, Aburizal memilih lain, dan menjadi sangat pragmatis. Ia memang menjadi king maker, tapi bukan bersama SBY di poros ketiga. Melainkan di poros bersama Gerindra, seperti dielu-elukan Prabowo terhadap Ketua Umum partai peraih suara kedua terbanyak itu.
Sebenarnya, kalaupun misalnya, pasangan baru sebagai pasangan ketiga yang diajukan Golkar dan Partai Demokrat, tidak memenangkan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, toh mereka bisa menjadikan ketidakberhasilan itu sebagai suatu kekalahan terhormat. Dan setelah itu, memilih untuk melangkah menjadi kekuatan oposisi yang terhormat pula. Kemenangan jangka pendek, semestinya, bukan satu-satunya hal. (socio-politica.com)
Kisah Para ‘Brutus’ di Sekitar Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (1)
KENDATI memiliki banyak perbedaan kualitatif kepemimpinan, dalam sejarah perjalanan politik dan kekuasaan, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memiliki sejumlah persamaan dengan Jenderal Soeharto. Kedua tokoh tersebut, sama-sama bermasalah dalam jalannya kekuasaan dengan Presiden pendahulu mereka. Dan ketika berada di tampuk kekuasaan, mereka memiliki pengalaman mirip, harus menghadapi para ‘Brutus’ di sekitar dirinya dalam kekuasaan mereka. Belati para ‘Brutus’ berhasil menancap di tubuh Jenderal Soeharto, sementara para ‘Brutus’ di sekitar Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mulai mengayunkan belati-belati mereka. Ini sedang menjadi cerita aktual masa kini. Mungkin saja akan memberi luka dan perdarahan, dalam masa-masa akhir kekuasaannya maupun pasca kepresidenannya nanti.

Jenderal Soeharto ‘bermasalah’ dengan Presiden Soekarno sejak 30 September menuju 1 Oktober 1965 yang berakhir dengan semi suksesi melalui Sidang Istimewa 7-11 Maret 1966 lalu suksesi sepenuhnya pada Sidang Umum IV MPRS Maret 1967. Melalui Sidang Umum IV itu, Jenderal Soeharto diangkat sebagai Pd Presiden, setelah mandat Soekarno dicabut sepenuhnya oleh MPRS.
Abdurrahman Wahid dan Megawati. Sedang Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, berturut-turut bermasalah dengan dua presiden yang pernah menjadi atasannya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri. Tanggal 1 Juni 2001 ia didesak mundur oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dari jabatan Menko Politik-Sosial-Keamanan, karena perbedaan penafsiran tentang keadaan darurat terkait konflik politik Presiden dengan DPR per saat itu. Menko Polsoskam itu menolak mengambil langkah-langkah khusus penertiban dan keamanan serta penegakan hukum dalam rangka Maklumat Presiden 28 Mei 2001. Dalam situasi konflik kala itu Dekrit Presiden –yang antara lain bertujuan membubarkan DPR– tak berhasil dilaksanakan karena tak adanya dukungan penuh dari institusi-institusi yang memiliki ‘kekuatan pemaksa’ seperti kepolisian dan para pimpinan militer. Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro menolak menyerahkan posisi pimpinan Polri kepada Komisaris Jenderal Chaerudin Ismail yang ditunjuk Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Kapolri baru.
Dekrit Abdurrahman Wahid 2001 berbeda ‘nasib sejarah’ dengan Dekrit 5 Juli 1959 Soekarno yang selain didukung sejumlah partai politik besar, juga terutama ‘didukung’ Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution.
Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono juga kemudian bermasalah dengan Presiden Megawati –pengganti Abdurrahman Wahid– yang telah mengangkatnya sebagai Menko Politik dan Keamanan 10 Agustus 2001. Pada tahun ketiga dalam jabatan tersebut, ia merasa tak dipercaya lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Sekitar waktu yang sama, suami Megawati, Taufiq Kiemas berkali-kali melontarkan ucapan yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap dirinya. Lebih dari satu kali ia tak lagi diundang ikut dalam rapat kabinet. Akhirnya, 11 Maret 2004 ia mengundurkan diri. Tetapi sebelum ‘meninggalkan’ Mega, sebenarnya Susilo Bambang Yudhoyono telah lebih dulu mempersiapkan ‘jalan baru’ dalam politik dan kekuasaan bagi dirinya. Lahirnya Partai Demokrat, merupakan bagian dari ‘jalan baru’ itu.
Semula, menurut cerita belakang layar yang banyak menjadi bahan perbincangan kalangan politik kala itu, pernah ada upaya menampilkan Megawati Soekarnoputeri berpasangan dengan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden-Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2004. Tetapi Taufiq Kiemas –berdasarkan beberapa informasi yang diterimanya– meyakini Susilo Bambang Yudhoyono diam-diam memiliki rencana sendiri menuju kursi nomor satu, dan tidak ingin sekedar menjadi orang nomor dua. Kecaman-kecaman Taufiq Kiemas yang mengalir setelah itu ke alamat Susilo Bambang Yudhoyono ditambah koinsidensi sikap ‘keras’ dan ‘dingin’ yang ditunjukkan Megawati, menimbulkan kesan penganiayaan politik terhadap figur sang jenderal. Citra teraniaya –seperti yang pernah dialami Megawati puteri sulung Soekarno dari rezim Soeharto dan terbukti menuai simpati dan dukungan publik– ternyata juga berhasil mengangkat simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono.
TAHUN 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal dengan akronim SBY, berhasil memenangkan Pemilihan Presiden berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla, mengalahkan Megawati Soekarnoputeri. Padahal, dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya di tahun yang sama, partai pendukung utama SBY, Partai Demokrat, bukan peraih suara terbanyak. Sementara Muhammad Jusuf Kalla kala itu belum menjadi Ketua Umum Golkar dan Partai Golkar sendiri oleh Akbar Tandjung –Ketua Umum saat itu– diarahkan pada pilihan mendukung Megawati Soekarnoputeri. Untuk pilihan itu, Akbar harus berpisah jalan dengan beberapa rekannya yang juga menjadi tokoh teras DPP Golkar yang sama-sama mengelola ‘Golkar Baru’ pasca Soeharto, seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman.
Setelah meraih kursi Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla, berhasil mengambil alih kepemimpinan Golkar melalui Musyawarah Nasional di Nusa Dua Bali, 19 Desember 2004. Meski Jusuf Kalla –seperti dikatakan Sudharmono SH– pernah berpaling ke PPP, kaum pragmatis di Golkar yang gamang bila tak terkait dengan tokoh yang punya jabatan tinggi dalam kekuasaan pemerintahan, tetap memilihnya sebagai Ketua Umum untuk periode 2004-2009. Hampir semua tokoh yang pernah dipentalkan Akbar dari DPP sebelumnya, seperti Fahmi Idris, Burhanuddin Napitupulu dan beberapa lainnya terakomodasi dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla. Hanya Marzuki Darusman yang tak ikut.
Walau Marzuki sempat berbenturan dan beda paham dengan Akbar, sebaliknya ia tak sepenuh hati terhadap penokohan Jusuf Kalla di Golkar. Selama Munas di Nusa Dua itu, Marzuki yang juga berada di Bali sempat berkomunikasi dengan Akbar. Marzuki kala itu bahkan tampaknya masih ikut mengusahakan supaya Akbar Tandjung berlanjut sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dan bukan yang lain-lain –Wiranto, atau Jusuf Kalla. Munas Golkar di Nusa Dua, Desember 2004 –yang penuh aroma politik uang, tawar menawar dilakukan via sms, dan merupakan salah satu di antara perilaku politik yang terburuk dan vulgar di antara event serupa di tubuh Golkar– menghasilkan resultante DPP Golkar di bawah Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla.
MELALUI beberapa orang, agaknya Marzuki Darusman sempat mengalami jalinan komunikasi dengan SBY yang baru memenangkan kursi nomor 1 Republik Indonesia. Ini ada historinya. Bersama Fahmi dan lain-lain, dalam Pilpres 2004, Marzuki Darusman menolak pilihan politik Akbar Tandjung untuk membawa Golkar mendukung Megawati Soekarnoputeri. Dalam pemilihan umum legislatif sebelumnya baru saja Golkar menggariskan kepada para kadernya untuk menempatkan PDIP sebagai saingan utama, tetapi hanya beberapa bulan setelahnya disuruh berbalik mendukung Mega dan PDIP. Sesuatu yang agaknya menurut Marzuki secara moral tak benar, walau bisa saja memenuhi kepentingan pragmatis dalam kehidupan politik yang opportunistik. Marzuki cenderung agar Golkar berjalan bersama Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat SBY sebagai presiden baru mulai menghubungi para tokoh untuk diajak ikut dalam kabinetnya, dikabarkan Marzuki Darusman termasuk yang ditemui awal. Kuat dugaan kala itu bahwa SBY akan mengajak Marzuki bergabung, seperti halnya Fahmi Idris kemudian. Dalam kenyataan, Fahmi Idris ikut dalam kabinet pertama SBY, dan Marzuki tidak. Mungkin ini merupakan sesuatu yang menarik untuk diceritakan suatu waktu, dikaitkan dengan selera SBY terhadap tokoh-tokoh yang diajaknya masuk kabinet. Sejauh ini, merupakan kenyataan empiris, hanya sedikit tokoh pilihan SBY yang berhasil menjadi seorang menteri yang cemerlang. Justru wakilnya, Jusuf Kalla, dengan segala ‘kelincahan’nya yang sempat menonjol sebagai bintang ‘pendamping’ –tepatnya, mungkin alternatif– selama 2004-2009. Tapi dalam pemilihan presiden berikutnya mereka tak melanjutkan duet, malahan bersaing.
Demi mayoritas kerja. Sebagai pemenang Pemilihan Presiden, Pemerintahan SBY yang tak punya mayoritas kerja di DPR membutuhkan koalisi, karena partai pendukungnya, Partai Demokrat, meskipun dianggap partai pendatang baru yang cukup cemerlang, kenyataannya hanya memiliki 56 dari 550 kursi DPR hasil Pemilu 2004. Partai Demokrat berada di urutan ke-4 di bawah Partai Golkar (127 kursi), PDIP (109 kursi) dan PPP (58 kursi). Hanya unggul sedikit dari PAN (53 kursi), PKB (52 kursi) dan PKS (45 kursi). Itulah sebabnya, demi mayoritas kerja dan keamanan jalannya pemerintahannya, dalam penyusunan kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono harus melakukan kompromi, membagi kursi kabinet kepada sejumlah partai. Dalam keadaan seperti itu, ia berada di ruang pilihan sempit, tak bisa menjadikan aspek kualitatif sebagai faktor dalam menentukan komposisi kabinetnya. Hak prerogatifnya terpaksa ‘dibagikan’ kepada partai-partai koalisi.
Dengan demikian, sejak awal memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak bisa sepenuhnya mengharap loyalitas utuh, karena para menterinya untuk sebagian besar punya kesetiaan yang siap sewaktu-waktu mendua. Dan situasi itu berlanjut ke dalam masa kepresidenannya yang kedua, karena tak mampu keluar dari pola kompromi. Meski mengalami kenaikan perolehan suara dalam Pemilihan Umum 2009, tetap saja Partai Demokrat tak bisa mencapai angka mayoritas kerja. Raihan suara mayoritas dalam Pemilihan Umum memang cenderung menjadi suatu kemustahilan dalam sistem banyak partai. Dalam sistem banyak partai, the art of negotiation dalam pengertian yang dinamis, konstruktif dan beretika merupakan kebutuhan melekat. Tapi malang, pengalaman empiris menunjukkan betapa kebanyakan politisi Indonesia terbukti lebih pandai bersekongkol daripada berkompromi secara wajar dan terhormat.
Apakah situasi kesetiaan mendua dalam kabinet SBY, sewaktu-waktu bisa melahirkan perilaku mirip Brutus, merupakan pertanyaan tersendiri. Sejauh ini yang pernah terjadi, ada menteri dan mantan menteri yang menyatakan kekecewaan kepada sang Presiden. Dalam posisi dan kompetensi sebagai ahli tata negara, Yusril Ihza Mahendra (tokoh PBB), pernah mempersoalkan kekeliruan administratif Presiden terkait keberlanjutan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tahun 2009 bersamaan dengan pembentukan kabinet baru. Belum merupakan perilaku Brutus yang sesungguhnya. Namun, sedikit di luar perkiraan, para Brutus justru kemudian lahir di tubuh partai pendukung utama Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat.
(socio-politica.com) – Berlanjut ke Bagian 2
Susilo Bambang Yudhoyono Beyond Soeharto (2)
PADA masa-masa awal kekuasaannya, baik Jenderal Soeharto maupun Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono harus ‘rela’ berbagi dengan orang ataupun kelompok-kelompok yang memiliki andil dalam mengantar mereka ke puncak kekuasaan. Pun harus ‘rela’ berbagi dan berkompromi dengan unsur-unsur lain yang menjadi faktor dalam penyusunan kekuasaan negara.
Setelah kejatuhan Soekarno, Jenderal Soeharto harus melakukan sharing dalam kekuasaan pengendalian negara, dengan tokoh-tokoh lain yang ikut berjasa menumbangkan Soekarno, seperti Jenderal AH Nasution serta sejumlah tokoh kuat lainnya di tubuh Angkatan Darat. Harus pula memperhitungkan panglima-panglima angkatan lainnya, yakni Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Dalam batas tertentu melakukan sharing dengan kelompok mahasiswa dan kalangan cendekiawan perguruan tinggi yang menjadi salah satu ujung tombak dan pelopor dalam gerakan menurunkan Soekarno. Sebagaimana ia juga harus membagi konsesi dengan partai-partai politik dari struktur politik Nasakom minus PKI. Bahkan, pada akhirnya berkompromi dengan unsur-unsur PNI yang untuk sebagian masih merupakan para Soekarnois sejati pendukung utama Soekarno di masa peralihan kekuasaan 1965-1967.

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Jenderal Soeharto berhasil menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh alternatif bagi kekuasaannya dan pada waktu yang sama berhasil ‘menundukkan’ berbagai institusi dan kekuatan sosial-politik –termasuk ABRI secara keseluruhan– melalui pengelolaan kelemahan manusiawi para pemimpin institusi tersebut.
Susilo Bambang Yudhoyono maju ke Pemilihan Presiden 2004 dengan dukungan partai yang hanya menduduki peringkat ke-5 dalam Pemilu Legislatif 2004 yakni Partai Demokrat dengan raihan suara 7,45 persen. Di atas Partai Demokrat ada 4 partai peraih suara terbanyak, berturut-turut Partai Golkar (21,58 persen), PDIP (18,53 persen), PKB (10,57 persen) dan PPP (8,15 persen). Tetapi Susilo Bambang Yudhoyono yang didukung partai dengan suara medium hampir minim itu diuntungkan oleh berhasilnya penggambaran dirinya sebagai korban penganiayaan politik oleh kekuasaan. Peristiwanya sendiri adalah bahwa beberapa kali Presiden Megawati tak mengajak lagi Susilo Bambang Yudhoyono mengikuti rapat kabinet berdasarkan ketidaksenangan pribadi dan ketidaksenangan sang suami, Taufiq Kiemas. Ketidaksenangan itu ditunjukkan setelah diketahui SBY ‘mempersiapkan’ diri sebagai calon Presiden. SBY dianggap ‘main belakang’ padahal tadinya siap berpasangan dengan Mega sebagai Wakil Presiden.
Dan, tak kalah pentingnya, kemenangan SBY tertolong oleh masalah internal Golkar yang terjadi ketika Jenderal Wiranto –yang punya ganjalan sejarah masa lampau– muncul sebagai calon presiden setelah memenangkan konvensi Golkar. Dengan Wiranto sebagai calon presiden, Golkar tak berhasil menggerakkan mesin partai secara penuh sehingga gagal sejak putaran pertama. Wiranto menuding Golkar bekerja setengah hati mendukungnya. Berikutnya, pada putaran kedua, dua tokoh utama Golkar Fahmi Idris dan Marzuki Darusman berbeda pendapat dengan Akbar Tandjung yang ingin mengalihkan dukungan Golkar ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Bahkan ada perjanjian koalisi pra putaran kedua itu. Padahal pada putaran pertama, Akbar Tandjung diketahui menganjurkan gerakan Asal Bukan Mega (ABM). Menurut perhitungan analitis, tak kurang dari 76 persen pendukung Golkar memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Khusus di Sulawesi Selatan, daerah kelahiran Jusuf Kalla, SBY memperoleh kemenangan terbesar yakni 92 persen.
Faktor lain yang mendorong kemenangan SBY adalah keberhasilan kompromi belakang layar dengan beberapa partai politik Islam untuk memberi dukungan dengan janji dan konsesi dalam kekuasaan mendatang.
Adalah karena basis dukungan utamanya melalui Partai Demokrat begitu kecilnya, yakni 7,45 persen (menghasilkan 57 kursi DPR) sementara pada pemilihan presiden putaran kedua memperoleh 60,62 persen, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencari kompensasi untuk rasa aman dengan melakukan koalisi bersama pemilik kursi lainnya di DPR. Dengan sendirinya ia harus berbagi kursi kabinet pemerintahannya dengan partai-partai anggota koalisi. Sesuatu yang berlanjut untuk periode kedua kepresidenannya, karena kendati Partai Demokrat memperoleh kenaikan perolehan suara, tetap saja tak sanggup menciptakan mayoritas kerja di DPR seperti halnya Presiden Soeharto dengan Golkar dan ABRI di masa lampau.
Dalam mencari sekutu kekuasaan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih mengedepankan perhitungan taktis dan kuantitas kekuatan massa yang dimiliki para sekutu, daripada pertimbangan persamaan pemikiran strategis. Tak mengherankan, perlahan namun pasti SBY berangsur-angsur ditinggalkan atau sebaliknya menanggalkan kawan-kawan strategis, termasuk di tubuh partainya sendiri. Sebaliknya, koalisinya makin kuat diwarnai pragmatisme kekuasaan demi kekuasaan, yang pada waktunya tercerminkan secara nyata oleh maraknya perilaku korupsi di tubuh kekuasaan. Seakan-akan semua yang berniat melakukan korupsi sejak awal, terkumpul di seluruh lingkaran kekuasaannya.
Dengan koalisi, tak mungkin SBY menerapkan sistem pemerintahan presidensial walau konstitusi menyebutkan demikian dan ia sendiri sangat menghendaki porsi pengambilan keputusan sebanyak-banyaknya di tangannya. Partai-partai politik berhasil menciptakan dominasi praktik sistem parlementer –yang untuk sebagian dijalankan oleh partai-partai sekutunya sendiri– yang sehari-hari serba menempatkan sang Presiden di sudut-sudut kekuasaan dalam konteks pengambilan keputusan. Apalagi sang Presiden sendiri memang memiliki sejumlah kelemahan dalam watak kepemimpinannya. Bersamaan dengan itu, ia pun tak punya keberanian menegakkan sistem pemerintahan presidensial kendati berturut-turut dalam dua kali pemilihan presiden menjadi peraih suara mayoritas di atas 60 persen. Ditambah otonomi daerah yang diterapkan terburu-buru pasca Soeharto, lengkaplah sudah fakta ‘kemalangan’ kekuasaan sang Presiden. Tak mungkin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengendalikan kekuasaan secara penuh seperti halnya Jenderal Soeharto.
MENCATAT akumulasi keluhan dari masa ke masa, tersimpulkan bahwa kisah bangsa Indonesia dengan 6 presidennya sepanjang 68 tahun ini, seringkali bagai tragi komedi. Kita pernah punya Soekarno yang mampu mendongkrak rasa bangga kita di panggung sandiwara dunia, namun setidaknya dalam lima tahun terakhir kekuasaannya lebih banyak membiarkan perut sebagian terbesar rakyatnya keroncongan. Kita pernah punya Jenderal Soeharto yang berhasil membuat sebagian terbesar dari kita berkecukupan dengan beras, tetapi tak mampu membagi dengan baik keadilan sosial-ekonomi dan politik. Kita punya BJ Habibie yang mencoba memberi kita demokrasi dan jalan pikiran imitasi barat namun tak mampu tercerna karena rakyatnya belum berhasil disembuhkan dari trauma akumulatif masa Soekarno dan Soeharto. Lalu punya Abdurrahman Wahid yang banyak gagasan baru dan inkonvensional, namun tak punya kesehatan fisik yang menunjang dan waktu yang cukup untuk mewujudkannya, serta terlalu mempan bisikan. Punya Megawati, yang sedikit bicara sekaligus sedikit berbuat. Dan akhirnya, punya Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih lamban dari bayangan(citra)nya sendiri.
Dari enam Presiden Indonesia, paling tepat untuk diperbandingkan untuk mencari tipe kepemimpinan mana yang lebih dibutuhkan Indonesia, adalah Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Jenderal Soeharto adalah tipe pemimpin yang terlalu dominan dalam pengelolaan negara, sehingga lembaga-lembaga legislatif pun dibuatnya tak mampu bernafas di bawah tekanan dominasinya. Sebaliknya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, terlalu lemah untuk diharapkan bisa mengelola Indonesia dengan baik. Kedua tipe tersebut, bukan kebutuhan kita. Harus ada suatu tipe sintesis yang tepat di antaranya. Mampu dan kuat menjalankan tugas-tugas eksekutifnya, mampu mengendalikan aparat-aparat negara di bawahnya agar optimal. Berada dalam hubungan fungsional yang wajar dengan lembaga-lembaga legislatif maupun judikatif sesuai esensi fungsi dan tugas masing-masing.
ENAM Presiden Indonesia, sama-sama tak berhasil menyembuhkan faktor-faktor disintegrasi dalam tubuh bangsa yang bhinneka ini. Faktor disintegrasi itu berkecambah dan tumbuh dari nilai-nilai yang diwariskan feodalisme dan kolonialisme yang berlangsung ratusan tahun, yang tetap menjadi masalah aktual hingga kini. Soekarno mencoba meredamnya dengan kemahiran retorika dan Soeharto meredamnya dengan represi militer. Tapi kedua-duanya hanya berhasil membuatnya tersembunyi di bawah permukaan, karena kedua-duanya tak berhasil mencerdaskan bangsa melalui pendidikan. Tiga Presiden Indonesia lainnya –BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri– berkuasa dalam masa yang terlalu ringkas untuk bisa menghasilkan sesuatu. Lagi pula, waktu mereka habis terkuras dalam pertengkaran politik demi kekuasaan pasca Soeharto. Susilo Bambang Yudhoyono, lebih punya peluang waktu, namun terhenti pada sebatas ucapan-ucapan bagus –sebagai ciri khas kepemimpinannya yang lemah tapi mengutamakan pencitraan.
Kasus-kasus Aceh, Papua, Poso dan Ambon, adalah bisul-bisul yang timbul tenggelam di bagian belakang tubuh bangsa ini. Belum tersembuhkan akar-akar penyakitnya untuk jangka panjang melalui keberhasilan pencerdasan bangsa. Tak juga ada keberhasilan menyembuhkan luka dan nanahnya, melalui penegakan hukum dan konsep pertahanan-keamanan yang baik dan benar. Terutama karena, penegakan hukum itu sendiri sedang bermasalah dan sakit, sementara konsep cemerlang takkan mungkin lahir dari manusia-manusia yang pragmatis semata dan bermasalah dengan dirinya sendiri lahir-batin.
KENAPA kemarin ini banyak kelompok yang masih punya integritas, mengeritik dan menganggap belum saatnya Susilo Bambang Yudhoyono menerima World Statesman Award, tak lain karena faktanya ia memang belum berhasil berbuat sesuatu yang berharga dan luar biasa dalam menghadapi perilaku intoleran dalam kehidupan beragama. Dan, apalagi, dalam konteks penegakan HAM secara keseluruhan. Hanya kelompok akrobatik –yang ada udang interest di balik batu politik– yang bersikap sebaliknya.
Tetapi acara penganugerahan sebagai negarawan dunia tersebut telah terjadi. Ada yang memberi, dan ada yang menerima award itu dengan senang hati. Entah ini kecelakaan atau bukan, waktu jugalah yang akan membuktikan. Untuk sementara, anggaplah ini tiruan dari sistem pra bayar yang kini menjadi kelaziman para provider jasa. Anugerahnya lebih dulu, pembuktiannya belakangan. Rakyat Indonesia dengan demikian patut menunggu pembuktian dari janji-janji ’baru’ yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya saat menerima award tersebut di Amerika sana. (socio-politica.com)
KPK, Kisah Ethic dalam Fungsi Anesthetic
SESUNGGUHNYA tak ada sesuatu yang cukup berharga dicapai Komite Etik KPK dalam kasus ‘kebocoran sprindik Anas Urbaningrum’. Kecuali, ‘keberhasilan’ mempermalukan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Adnan Pandupradja. Pembacaan keputusan dan penyampaian teguran Komite Etik –yang dipimpin tokoh muda Anies Baswedan– Rabu 3 April di forum terbuka ini lebih menyerupai suatu tontonan. Mengingatkan kita pada seremoni hukum potong tangan para pencuri di negeri Arabia yang juga dipertontonkan di muka umum.
Selain dari itu, dengan peristiwa ‘peradilan’ etik kali ini, menjadi jelas bagi kita bahwa ternyata Kode Etik Pimpinan KPK yang digunakan selama ini mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang pada hakekatnya menempatkan para pimpinan KPK sebagai manusia-manusia pasungan. Barangkali saja niatnya untuk menjadikan para komisioner KPK bercitra malaikat suci, namun pada sisi lain sebagai pemegang pedang keadilan dalam konteks pemberantasan korupsi, tangan mereka serba terikat dan kaki tertahan oleh kayu pasungan. Padahal, dengan bentuk tugas KPK sekarang, selain mengandalkan ketangguhan para penyidiknya, komisioner KPK juga harus mampu membangun jaringan seluas-luasnya dengan siapa saja untuk sumber informasi dan bahkan juga sumber inspirasi serta pengayaan wawasan.

Bahwa dalam hubungan dengan kalangan yang luas itu –kecuali dengan pihak yang berperkara– ada risiko terjadi kontaminasi, itu masalah yang terkait dengan kualitas integritas para komisioner dan kemampuan menciptakan sistem kontrol yang ampuh. Terpenting, ada mekanisme monitoring bila ada yang berbuat curang, dan tersedia sanksi hukum yang tegas dan jelas untuk itu.
Dengan kode etik dalam formula sekarang, para komisioner KPK terbentuk sebagai manusia kurang pergaulan. Tak bisa bertemu sembarang orang. Ada semacam paranoia, bahwa siapa pun yang ingin bertemu, pasti adalah orang yang punya maksud terselubung ingin mengatur perkara. Lalu bagaimana dengan kelompok masyarakat yang bertikad sebaliknya, ingin membantu dan mungkin saja justru memiliki informasi-informasi berguna? Bagaimana pula dengan kalangan pers, yang merupakan kelompok berpotensi membantu gerak pemberantasan korupsi? Lama-lama para pimpinan lembaga pemberantasan korupsi itu menjadi bagaikan katak dalam tempurung, menuju model manusia teralienasi sempurna. Para penyidik menjadi sumber ‘pengetahuan’ satu-satunya bagi para komisioner KPK. Ini rawan, sepanjang pola rekrutmen penyidik KPK belum bergerak di suatu jalur sistem yang reliable, seperti sekarang ini.
NAMUN apakah etik dan kode etik itu sesungguhnya? Etik (ethic) yang berasal dari sebuah kata Yunani kuno ethikos, bermakna sesuatu yang timbul atau muncul dari kebiasaan. Etika adalah bagian dari filsafat yang menyangkut nilai dan konsep benar dan salah, baik dan buruk, serta aspek tanggungjawab yang terkait nilai-nilai tersebut. Dengan etika manusia mencari tahu dan memahami tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia, terutama dalam hubungan antar manusia. Bagi manusia yang bersendiri, hidup terisolasi, etika kemanusiaan tak berfungsi, meski tak bisa dikatakan samasekali terlepas dari etika terhadap alam apalagi dari etika keilahian.
Ketika manusia hidup bersama sebagai kelompok, terutama bila bekerja bersama sebagai kelompok, mereka membutuhkan tatanan etika yang disepakati dan ditetapkan bersama. Tatanan itu disebut kode etik. Begitu etika dan atau kode etik tak diputuskan melalui kesepakatan bersama, apalagi bila ditetapkan berdasarkan pikiran individual belaka, ia dengan mudah menjelma menjadi anarkisme. Tatkala Immanuel Kant (1724-1804) menerapkan idealisme absolut dalam menyimpulkan suatu etika yang amat keras, meskipun logis, menjadi tak manusiawi lagi. Kata Kant, dusta adalah dusta, meskipun itu dapat menyelamatkan manusia (Lihat C.A. van Peursen, Filosofische Orientatie, 1977. Di-indonesia-kan oleh Dick Hartoko, 1980).
Kode etik, menurut berbagai referensi, merupakan dan termasuk sebagai norma sosial. Kode etik adalah pola aturan dan pedoman berperilaku dalam menjalankan tugas atau pekerjaan, untuk mencegah dan menangkal tindakan yang tidak profesional. Namun begitu ia disertai sanksi terlalu berat dan atau ‘penghukuman’, sebenarnya ia sudah bermutasi menjadi suatu norma hukum.
ABRAHAM Samad dalam putusan Komite Etik KPK meskipun dinyatakan tidak terbukti secara langsung membocorkan dokumen SprinDik, tetapi perbuatan dan sikapnya tak sesuai dengan kode Etik Pimpinan KPK dalam berkomunikasi dan dalam memimpin. Sikap tak sesuai itu dianggap Komite Etik telah menciptakan situasi dan kondisi terjadinya kebocoran SprinDik dan informasi mengenai status Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Ini dihubungkan dengan keterlibatan Wiwin Suwandi, sekertaris pribadi Abraham Samad, sebagai orang yang dianggap pembocor SprinDik Anas. Abraham Samad dinyatakan melakukan “pelanggaran sedang” terhadap Pasal 4 huruf b dan d, serta Pasal 6 ayat (1) huruf b, e, r dan v, Kode Etik Pimpinan KPK. Artinya, Abraham Samad dianggap melanggar keharusan menganut nilai-nilai dasar pribadi “Kebersamaan, melaksanakan tugas memimpin KPK secara kolektif” serta nilai “Integritas, mewujudkan perilaku yang bermartabat”. Tegasnya, Abraham Samad tak mampu memimpin, tak mampu berbagi dan tak mampu bekerja kolektif.
Khusus tentang Wiwin, bukankah kadar kesalahannya tak lebih buruk dari para pelaku dan pendukung korupsi itu sendiri, sepanjang tak beraroma transaksional? Seperti kebanyakan anggota masyarakat, ia mungkin gregetan dengan bertele-telenya penetapan status tersangka bagi Anas Urbaningrum, yang sebelum menjadi tersangka, dengan poker facenya bisa begitu tenang mengatakan dirinya tak bersalah. Tapi Anas kan tak sendirian mengatakan dirinya tak berdosa? Kolega-koleganya se-alumni di HMI pun tak henti-hentinya tampil membela, meski setiap waktu tak henti-hentinya pula beretorika tentang sikap anti korupsi. Lain kali, bila ada lagi sidang Komite Etik, tak usah saja ada alumni HMI di dalamnya bilamana masalah yang disidangkan ada kaitan sebab musababnya dengan soal yang bisa membakar jiwa korsa.
Adnan Pandupradja dalam pada itu, dinyatakan terbukti telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Kode Etik Pimpinan KPK dan oleh karenanya harus dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Adnan dianggap melakukan pelanggaran ringan terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e Kode Etik Pimpinan KPK, dan karena itu Komite Etik menjatuhkan sanksi berupa peringatan lisan.
Terhadap Abraham Samad Komite Etik memberikan peringatan tertulis. Diingatkan untuk memperbaiki sikap, tindakan dan perilaku. Agar, “memegang teguh prinsip keterbukaan, kebersamaan; perilaku yang bermartabat dan berintegritas; mampu membedakan hubungan yang bersifat pribadi dan profesional, serta; menjaga ketertiban dalam berkomunikasi dan kerahasiaan KPK.”
Pasca Komite Etik menyatakan Abraham Samad dan Adnan Pandupradja terbukti melakukan pelanggaran kode etik pimpinan KPK, terbaca adanya nada kekecewaan dalam berbagai pernyataan pengamat maupun akademisi, meski semua juga menyatakan keputusan komite itu sudah tepat. Hanya, Fahmi Idris, mantan menteri yang juga mantan aktivis, yang terangan-terangan menyatakan pendapatnya bahwa keputusan Komite Etik itu berlebihan. Pendapat Fahmi bisa disepakati, terutama bila kita mampu mengapresiasi ‘dinamika’ sikap dan tindakan Abraham Samad selama ini yang cenderung lebih cepat dan deras dibanding beberapa pimpinan KPK lainnya.
Sebelum tersusunnya Komisioner KPU periode ini, publik lebih mengenal Bambang Widjojanto yang adalah aktivis di tingkat nasional daripada Abraham Samad yang lebih dikenal kegiatannya sebatas di Sulawesi Selatan. Begitu pula, publik lebih memperhatikan Busyro Muqoddas yang pernah sementara berkiprah di KPK –paska musibah Antasari Azhar– sebelum berpindah ke Komisi Yudisial. Terus terang, pada mulanya lebih banyak yang menaruh harapan kepada Bambang Widjojanto. Namun seiring dengan berjalannya waktu, di saat Abraham Samad melaju, justru Bambang dan Busyro seringkali tampil sebagai faktor yang membuat KPK melambat kecepatannya bagaikan pedati. Alasannya, prinsip kehati-hatian. Tetapi persoalannya, laju korupsi itu jauh lebih kencang dengan aroma konspiratif yang tajam menusuk.
Ada sedikit pertanyaan yang menggelitik di seputar kasus yang diajukan sebagai masalah di Komite Etik KPK ini.
Proses penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka terasa begitu lambat dan terulur-ulur, sehingga menimbulkan tanda tanya, untuk tidak mengatakannya mengundang syak wasangka. Lalu tersiar berita tentang beredarnya draft SprinDik yang menyebutkan Anas sebagai tersangka, sudah ditandatangani oleh Abraham Samad dan sudah disetujui Adnan Pandupradja. Namun belum ada tanda tangan persetujuan komisioner lainnya, khususnya Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto. Berita adanya SprinDik yang menyebutkan status Anas sebagai tersangka, dengan tergopoh-gopoh dijadikan dasar penggusuran Anas oleh Susilo Bambang Yudhoyono dari posisi Ketua Umum di Partai Demokrat. Dan ini menimbulkan kegemparan.
Toh akhirnya setelah kegemparan itu, Anas dijadikan tersangka oleh KPK. Timbul tanda tanya, apakah bila tak ada kegemparan akibat beredarnya copy draft SprinDik tersebut, penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka tidak malah akan lebih terulur-ulur lagi? Dalam konteks keinginan agar KPK bekerja tepat dan cepat, siapa yang perlu dikecam, apakah Abraham dan Pandu atau Busyro dan Bambang yang selama ini terbukti berperilaku alon-alon kelakon? Kalau harus ada penyesuaian dalam konteks kepemimpinan kolektif, siapakah yang harus menyesuaikan diri, si cepat atau si lamban? Sayang sekali, dalam Pasal 4 Kode Etik Pimpinan KPK, tak tercantum sebagai butir g syarat nilai-nilai pribadi agar pimpinan KPK bekerja cepat dan tepat, menghindari sikap kontra produktif alon-alon asal kelakon.
Harus diakui, di tengah pujaan publik terhadap KPK sebagai benteng pengharapan terakhir dalam pemberantasan korupsi, pembawaan lamban KPK menjadi titik sumber kekecewaan. Dalam format Kode Etik Pimpinan KPK seperti sekarang ini, ia bisa menjadi sumber kekecewaan lainnya. Kode Etik Pimpinan KPK saat ini, lebih berfungsi sebagai faktor anesthetic –bius yang membuat KPK sewaktu-waktu berada dalam situasi tak sadar dan malfungsi. Tanpa sengaja menjadi faktor kontra produktif dalam konteks pemberantasan korupsi.
TERAKHIR, ada satu hal yang tak boleh dilewatkan. Beberapa waktu sebelum sidang Komisi Etik KPK, Abraham Samad melontarkan adanya upaya mengkudeta dirinya selaku pimpinan KPK. Ini seakan mengkonfirmasi dugaan publik tentang ada sesuatu yang tak berjalan baik di tubuh KPK selama ini. Mata segera tertuju kepada Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto yang selama ini menurut pengetahuan publik banyak berseberangan dengan Abraham Samad dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kaitan penetapan tersangka. Mulai dari kasus Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng sampai Anas Urbaningrum. Dan mungkin juga dalam kaitan kasus Bank Century.
Terkesan bagi publik, Abraham yang seakan tak kenal politik gaya ibukota Jakarta, lebih agresif daripada Busyro-Bambang yang tampaknya lebih paham dan cukup terbiasa dengan permainan politik lalu menyesuaikan diri. Akan kita lihat, siapa yang lebih benar, si cepat atau si lamban?
Sekali lagi, persoalan yang satu ini jangan dilewatkan. Mata publik perlu mengikuti dan mengawasi, bila ingin menjaga institusi ini tak tergilas oleh konspirasi politik dan konspirasi kaum korup. Maafkan, bila ini terasa sebagai satu tuduhan.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)
Lelucon Dalam Kehidupan Politik Lelucon
“KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan”.
DALAM sebuah catatan keluhan penumpang sebuah perusahaan bus antar propinsi, ada komplain yang berbunyi: “Full AC, Full Music, WC Full”. Ada situasi tertentu dalam kehidupan politik masa kini sering dianalogikan dengan WC, yaitu dalam hal ‘bau’. Kalau seseorang baru masuk ke ruang khusus itu, ia dengan segera bisa mencium betapa tak nyamannya aroma udara di dalamnya. Tetapi setelah berapa lama di dalam, lama-lama bau itu takkan terendus lagi oleh indera penciuman. Banyak orang saat mengamati kehidupan politik dari luar, mengatakan politik itu ‘kotor’ –penuh tipu daya, manipulasi, menghalalkan segala cara sambil mengharamkan sifat-sifat altruistik. Namun begitu seseorang ‘terbawa’ atau membawa diri masuk ke dunia politik, lama-lama yang dianggap ‘kotor’ itu tidak lagi betul-betul kotor dan bahkan pada akhirnya sanggup dikerjakan dengan nyaman tanpa rasa bersalah lagi.
Kehidupan politik Indonesia 2010, selain penuh pertengkaran, juga dipenuhi oleh ejek mengejek, termasuk dalam bentuk lelucon-lelucon sindiran lewat media SMS, Facebook, Twitter dan yang semacamnya. Namun tak kalah sering, kehidupan politik itu sendiri hadir sebagai lelucon yang belum tentu selalu lucu.
KARENA sedang menjadi Presiden, tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk tokoh yang paling sering jadi sorotan joke, sindiran sampai serangan politik. Dari yang agak enak sampai yang sangat tidak enak. Pasti SBY yang disasar ketika beredar luas sms tentang type kepemimpinan yang tidak mampu melakukan action namun hanya bisa acting. Katanya pemerintahan kita sekarang tidak sanggup menegakkan tata tertib melainkan hanya tata tutur.
Ada juga tudingan bahwa dalam soal TKW, pemimpin kita turun tangan, tapi soal Gayus Tambunan, lepas tangan. Lalu dalam soal Mafia Hukum cuci tangan. Ini tentu dihubungkan dengan hasil sidang kabinet beberapa hari lalu yang sangat memperhatikan masalah nasib TKW yang jadi korban penganiayaan di Arab (dan juga Malaysia). Mengenai soal Gayus jalan-jalan sampai ke Bali, Presiden memang menyuruh cari tahu siapa yang meloloskan dan untuk apa Gayus ke Bali, tapi ada pernyataan tambahan bahwa Presiden tidak dapat mencampuri urusan hukum.
Namun, dalam soal Gayus Tambunan yang bebas melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk jalan-jalan nonton ke Bali, tak pelak lagi Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yag dikenal sebagai Ical menjadi sasaran utama. Tampaknya sebagian pers giat mengarahkan bahwa kepergian Gayus ke Bali diatur oleh orang-orang Ical dan untuk bertemu dengan dirinya. Pasti dikaitkan dengan kecurigaan bahwa Ical akan merundingkan soal mafia pajak Gayus yang menyangkut penyelamatan perusahaan-perusahaannya. Padahal, perusahaan-perusahaan besar yang disebut-sebut terlibat skandal Gayus, bukan perusahaan Ical sendirian. Ada puluhan perusahaan yang juga disebut-sebut. Tetapi karena Ical adalah Ketua Umum Golkar, kesempatan emas ini digunakan beberapa politisi partai lain untuk memojokkan Ical. Pasti para politisi itu tahu bahwa keterlibatan Ical dengan Gayus sulit untuk dibuktikan. Bahkan tak mungkin sebagai pemilik perusahaan-perusahaan itu turun tangan sendiri mengurus soal pajak seperti itu. Kalau betul ada kejahatan pajak, pasti para eksekutif perusahaannyalah yang bertanggungjawab secara hukum. Bukan mustahil ‘pemilik’ samasekali tak mengetahui. Terkait pertemuan dengan Gayus di Bali, apakah pengusaha cerdas seperti Ical begitu bodoh turun tangan sendiri bertemu dengan Gayus? Tapi namanya politik, kapan lagi ada kesempatan seempuk ini untuk menghantam Golkar atau Ical pribadi?
Ada yang bilang sejumlah perusahaan besar yang namanya disebut-sebut terlibat, malah ikutan mendorong terjadinya serangan terhadap Aburizal Bakrie, mungkin untuk mengalihkan perhatian. Dalam suatu pertemuan, seorang politisi partai yang sudah disebut-sebut keterlibatannya dengan kasus gratifikasi/suap terkait skandal traveller cheque pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom, dengan berapi-api mengomentari kasus Aburizal-Gayus. ‘Mental’nya kuat juga. Dan kemungkinan besar kulitnya juga tebal. Untuk sementara, Ketua Umum Golkar itu harus rela mengurut dada saja. Foto Gayus dengan wig yang tertangkap kamera wartawan berdekatan dengan seorang perempuan berjilbab saat menonton tennis di Bali, disulap. Wajah sang perempuan diganti dengan wajah Aburizal Bakrie. Foto itu beredar luas via HP dan internet. Ada-ada saja.
Seorang politisi lain mengedarkan lelucon, bahwa sejak foto Gayus memakai wig beredar, angka penjualan wig merosot drastis di kalangan kaum perempuan, tetapi meningkat di kalangan waria. WIG juga menjadi akronim bagi berbagai ungkapan yang kebanyakan serba konyol. Mantan anggota Kabinet periode pertama SBY, Fahmi Idris, bahkan membuat sebuah pantun tentang Gayus dan dikutip pers. Dan soal Gayus menangis di depan persidangan pasca Bali Tour, banyak yang bilang, bukan karena menyesali perbuatannya, tetapi menangisi pengeluarannya yang ratusan juta tanpa ada after sales service berupa jaminan keamanan kerahasiaan. Tetapi kejadian sesungguhnya, katanya, adalah Gayus menyesali diri kenapa tidak berhasil memperoleh wig dan topi model Mbah Surip. Menarik perhatian, tetapi lebih sulit dikenali.
KEHIDUPAN politik kini memang makin penuh canda dan kelucuan, selain penuh acting (namun minus action). Tidak percuma para komedian dan bintang acting masuk gelanggang politik dan pemerintahan. Ada keberhasilan ‘pencerahan’ di dunia perlakonan.
Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998 (3)
“Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir lain, yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision makers per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini”.
KESIMPULAN terpenting dari TGPF mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Menurut TGPF, terdapat sejumlah ‘mata rantai yang hilang’ (missing link), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta.
Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan, bahwa banyak sekali pihak yang ‘bermain’ untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, dari terjadinya kerusuhan. Lebih jauh disimpulkan bahwa semua pihak yang terlibat bermain pada semua tingkat. Kesimpulan TGPF ini merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan semua pihak, mulai dari preman lokal, hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI pada kerusuhan tersebut. Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja untuk ‘menumpangi’ kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks inilah, ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cepat bertindak’ untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggungjawab untuk itu.
Setelah berjalannya waktu hingga 12 tahun lamanya, tabir asap yang menutupi peristiwa dan peran dalam kerusuhan Mei 1998 masih belum ‘terkuak’ secara formal. Apa sebenarnya yang terjadi dalam rangka pergulatan kekuasaan, masih selalu ditutup-tutupi. Ketua Kontras Munir, yang mencoba mengungkit dan mengungkap peranan busuk sejumlah kalangan kekuasaan, khususnya dalam rangkaian penculikan sejumlah aktivis menjelang peristiwa dan kemudian mengenai peran-peran dalam peristiwa, mati dibunuh. Siapa dalang pembunuhan Munir itu sendiri tetap ‘dibuat’ gelap, sehingga terjadi kegelapan ganda.
Dari berkas testimoni para jenderal dan sejumlah perwira lainnya yang dimintai keterangan oleh TGPF, terlihat betapa para jenderal itu cenderung memberi keterangan yang berbelit-belit kepada pewawancara TGPF. Beberapa di antaranya ‘berlagak pilon’, sementara yang lainnya menyampaikan penjelasan-penjelasan normatif yang tak berguna untuk memperjelas persoalan. Bahasa dan kalimat para jenderal itu juga seringkali kurang jelas, tidak fix, entah sengaja entah tidak. Terlihat pula ada situasi saling ‘melemparkan’ tanggungjawab, padahal nyata-nyata secara formal tanggungjawab keamanan itu ada di tangannya. Sayang pula, umumnya para pemeriksa TGPF terkesan kurang berhasil ‘mengejar’ para jenderal itu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, entah karena kekurangan data atau entah apa. Dan yang paling sulit, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sebagai puncak komando kala itu, justru tidak bersedia, tegasnya tidak mau memberi keterangan kepada TGPF.
Para jenderal dan perwira yang dimintai keterangan oleh TGPF, antara lain adalah Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin yang saat peristiwa terjadi menjabat selaku Panglima Kodam Jaya yang bertanggungjawab atas keamanan ibukota. Sebelum Mei 1998 ia dianggap punya kedekatan dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto. Setelah itu, khususnya pada saat peristiwa berlangsung terlihat bahwa ia ‘beralih’ menjadi lebih dekat dengan Pangab Jenderal Wiranto. Sementara per saat itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto diposisikan ‘berseberangan’ kepentingan dengan Jenderal Wiranto. Letnan Jenderal Prabowo, yang saat peristiwa adalah Panglima Kostrad, juga diperiksa TGPF. Jenderal lain yang ikut diperiksa TGPF adalah Mayjen Zacky Makarim, Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI), yang juga dikenal punya kedekatan khusus dengan Letjen Prabowo Subianto. Berturut-turut yang ikut diperiksa TGPF adalah, Gubernur DKI Letjen Sutiyoso, Kastaf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Suharto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Drs Fahmi Idris, serta sejumlah perwira menengah dari Kodam Jaya maupun Polda Metro Jaya.
TGPF memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Namun baik pemerintahan Presiden BJ Habibie maupun pemerintahan-pemerintahan Presiden sesudahnya, tak pernah memperlihatkan kesungguhan untuk menuntaskan peristiwa. Sejumlah nama yang justru disorot, belakangan malahan masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan maupun dalam kekuasaan politik. Terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti sempat disidangkan dengan terdakwa sejumlah perwira bawahan dan bintara, tanpa menyentuh para penanggungjawab yang ada pada tingkat lebih tinggi.
Mereka yang disorot namun tak pernah tuntas dalam proses pertanggungjawaban, terutama adalah Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Bekas Panglima Kostrad ini memang sempat diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira, dan setelah itu ia diberi penugasan ‘samping’ untuk akhirnya pensiun dini dan sempat hidup di luar Indonesia untuk beberapa tahun. Ia terjun ke dalam kancah politik dan mendirikan Partai Gerindra menyongsong Pemilihan Umum 2009. Sempat tampil sebagai calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden yang lalu, namun dikalahkan SBY-Budiono dalam satu putaran. Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsudin yang juga menjadi fokus sorotan, hanya ‘terparkir’ sejenak sebelum berturut-turut menjabat sebagai Sekjen Departemen Pertahanan kemudian Wakil Menteri Pertahanan dalam Kabinet terbaru Presiden SBY.
Mayjen Zacky Makarim terkena ‘pukulan’ lebih telak, keluar gelanggang meninggalkan karir militernya setelah peristiwa Mei 1998. Sebagai Kepala BIA Zacky mengaku sudah memberi early warning ke berbagai pihak. Misalnya kepada Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. “Saya sudah bilang khusus kepada Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya agar mewaspadai aksi-aksi yang turun ke jalan akan menuju ke Istana Presiden, Merdeka Utara, dan Merdeka Selatan dan simbol kenegaraan lainnya”. Zacky Makarim mengaku memberi early warning pada 11 Mei kepada semua pihak yang berwewenang, agar mencegah jangan sampai ada korban jatuh dan menjadi martir, seraya menyebut tanggal-tanggal yang perlu diwaspadai yakni 14, 16, 18 dan 20 Mei 1998 akan terjadi tindakan-tindakan destruktif. “Hindari adanya martir, karena akan dicerca rakyat”, ujar Zacky yang mengaku mengira martirnya jatuh di Yogya, tapi ternyata di Universitas Trisakti dan terjadi lebih cepat, 12 Mei 1998. “Saya tidak tahu bahwa tanggal 14 Mei 1998 akan dijadikan bancaan habis”.
Apakah bahan-bahan informasi BIA memang lemah dan menyebabkan perkiraan-perkiraannya pun dengan sendirinya meleset sehingga serba tertinggal sekian langkah? Atau, ada pihak di dalam tubuh kekuasaan sendiri yang sengaja ‘mewujudkan’ apa yang justru dikuatirkan dan diperingatkan BIA dan mempercepat, sehingga segala sesuatunya terjadi bagai bola liar di luar perkiraan? Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, dan kemudian disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Yang menciptakan martir, lain. Dan yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis, lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision maker per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini.
Awal Oktober 1965 enam jenderal dan satu perwira pertama jadi tumbal, tercipta alasan bagi penumpasan PKI. Tahun 1966, Arief Rahman Hakim gugur sebagai martir bersama wartawan mahasiswa Zainal Zakse, membuat mahasiswa marah, dan bola salju lalu menggelinding ke arah Presiden Soekarno. Tahun 1998 giliran empat mahasiswa Trisakti jadi tumbal, Jenderal Soeharto terpaksa turun. Akan adakah peristiwa-peristiwa baru dengan tumbal-tumbal baru?