Tag Archives: Bambang Widjojanto

Joko Widodo dan Korupsi Kepresidenan

AKHIRNYA awal pekan ini (2/7) Presiden Joko Widodo menjawab sebuah tanda tanya besar yang mengapung di tengah publik –dan sedikit menimbulkan salah paham– selama 33 hari terkait komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Ketika Komisi Pemilihan Umum mengintrodusir Peraturan KPU yang melarang mantan narapidana mengikuti pemilihan umum legislatif, Presiden Joko Widodo sempat bersikap senada dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Menteri menolak mengundangkan peraturan KPU itu –begitu pula beberapa tokoh partai pendukung pemerintah– karena dianggap menabrak perundang-undangan yang sudah ada.

Menanggapi rencana KPU mengeluarkan peraturan melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri dalam pemilu legislatif 2019, Presiden Joko Widodo Selasa 29 Mei 2018 mengatakan itu adalah soal hak. “Hak seseorang untuk berpolitik.” Konstitusi menjamin memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan narapidana korupsi. Presiden menganjurkan KPU menelaah kembali peraturannya. Pernyataan Presiden ini ditafsirkan sebagai restu terhadap penolakan Menteri Hukum dan HAM untuk mengundangkan Peraturan KPU itu. Sikap penolakan juga ditunjukkan Menteri Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilihan Umum serta sejumlah politisi pendukung pemerintah di DPR. Bila Kementerian Hukum dan HAM tak mau mengundangkan PKPU itu, maka peraturan itu takkan berlaku dan “batal demi hukum” kata Yasonna Laoly di Istana Kepresidenan 26 Juni lalu.

Tapi kini, setelah Presiden Jokowi mengatakan menghormati KPU dengan peraturan melarang mantan narapidana korupsi mengikuti pemilihan umum legislatif, sikap kalangan kekuasaan mungkin akan berubah. Takkan ‘menghalangi’. Meski Presiden juga masih menambahkan sayap kata-kata bahwa apabila ada yang berkeberatan dengan PKPU tersebut, silahkan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Dan ini bisa saja ditafsirkan sebagai ‘perintah’.

JOKOWI DI ANTARA PARA PRESIDEN RI, dalam penggambaran komik oleh Yoga Adhitrisna. “Citra antikorupsi Pemerintahan Jokowi menjadi suram setelah sejumlah kementerian dan lembaga di bawah Jokowi tersandung kasus korupsi seperti di Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Desa. Selain itu sedikitnya 18 kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK karena terlibat korupsi.”

BAGAIMANA sesungguhnya sikap dan kesungguhan Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi? Perlu meminjam narasi aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho bahwa kinerja pemberantasan korupsi era Presiden Jokowi dalam tiga tahun terakhir justru tenggelam akibat sejumlah kegaduhan di bidang hukum, khususnya upaya pelemahan terhadap KPK. Mulai dari kriminalisasi terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto selaku pimpinan KPK, hingga penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan. “Jokowi juga tersandera mayoritas partai politik pendukungnya di parlemen yang berupaya melemahkan KPK melalui rencana Revisi UU KPK maupun pembentukan Pansus Hak Angket KPK.”

Lebih jauh, “Citra antikorupsi Pemerintahan Jokowi menjadi suram setelah sejumlah kementerian dan lembaga di bawah Jokowi tersandung kasus korupsi seperti di Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Desa. Selain itu sedikitnya 18 kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK karena terlibat korupsi.” Pemerintahan Jokowi juga belum menyelesaikan regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi seperti Rancangan RUU Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. “Pada era tiga tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia masih belum keluar dari zona negara terkorup di dunia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International. Dengan skor terendah 0 dan tertinggi 100, pada tahun 2015 skor CPI Indonesia adalah 36 dan menempati posisi 88 dari 168 negara. Pada tahun 2016, skor CPI Indonesia hanya meningkat 1 poin menjadi 37 dan berada pada urutan ke-90 dari 176 negara.”

SEBAGAI pribadi, kendati ada dalam pusaran fenomena wealth driven politic, Joko Widodo tercitrakan dengan kuat di kalangan pendukungnya sebagai orang yang ‘bersih’. Tahun 2005, saat akan menjadi Walikota Solo kekayaannya Rp. 9,836 milyar. Naik pada 2012 saat akan maju ke posisi Gubernur DKI menjadi Rp. 27,25 milyar dan USD 9,876. Dan pada 2014 sebelum menjadi Presiden, naik ke angka Rp. 29.982.986.012 dan USD 27.633, yang berarti total sekitar 30 milyaran rupiah. Belum berskala ratusan milyar untuk bisa dicurigai. Seperti halnya dengan presiden-presiden terdahulu, Joko Widodo juga tak luput dari berbagai isu berisi tuduhan yang berbau korupsi. Baik di masa lampau maupun di masa kini. Selama menjadi Walikota Solo tak kurang dari 14 kasus korupsi dan suap yang ditudingkan pada dirinya. Dan saat menjadi Gubernur DKI namanya disebut-sebut dalam kasus pengadaan bus Trans Jakarta, tetapi sejauh yang terjadi dalam kasus itu hanya Kepala Dinas Perhubungan Jakarta yang telah ditangani oleh penegak hukum. Selebihnya masih berkategori buih.

Dalam masa kepresidenan, belum ada yang berani menudingkan tuduhan korupsi kepada Jokowi Widodo. Hanya saja, pada masa Basuki Tjahaja Purnama sedang menghadapi peradilan kasus penistaan agama, sempat terselip berita yang juga masih berkategori buih, bahwa bila mantan Gubernur DKI itu tak dilindungi, ia akan membuka korupsi Jokowi. Selain itu, sang Presiden sempat diingatkan beberapa pihak agar tak menggunakan dana haji untuk pembangunan infra struktur. Karena, penggunaan dana yang berkategori dana non budgeter itu bisa menjerat dirinya dalam kasus korupsi.

Sejauh ini, tak pernah ada presiden atau mantan presiden Indonesia yang diseret ke depan pengadilan karena kasus korupsi. Tidak Soekarno, tidak Soeharto tidak pula BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri, maupun Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Joko Widodo. Hanya ada satu pengecualian, yaitu pada tahun 2000 saat Jaksa Agung Marzuki Darusman mengajukan HM Soeharto ke depan pengadilan dalam kasus korupsi yayasan-yayasan sang mantan presiden. Tapi kandas di Pengadilan Jakarta Selatan. HM Soeharto tak bisa dihadirkan karena alasan sakit. Dengan demikian, belum tercipta tradisi mengadili presiden atau kepala pemerintahan di Indonesia, seperti yang terjadi di Korea Selatan dan kemudian kini di Malaysia. Tapi presiden jatuh karena topangan isu korupsi atau penyalahgunaan dana pernah terjadi. Menimpa HM Soeharto dengan isu KKN, Abdurrahman Wahid dengan isu dana non budgeter Bulog serta Dana Sumbangan Kerajaan Brunai. Juga menimpa Soekarno, karena isu Dana Revolusi selain masalah politik terkait Peristiwa 30 September 1965.

Secara hukum, tentu saja, selama tak ada peradilan, selama itu presiden-presiden kita berstatus bersih. Tapi tentu, tanpa perlu mencari-cari kesalahan, bila suatu waktu ada kasus korupsi keperesidenan yang terungkap di periode mana pun, kenapa harus tidak berani melakukan peradilan sepanjang belum kadaluarsa? Mereka yang menjadi presiden adalah manusia istimewa, tetapi tetap saja manusia, bukan malaikat. (Sumber: media-karya.com)

‘Jumat Kelabu’, Antara Polisi dan KPK

ANDAIKATA institusi Kepolisian RI berada di posisi terpercaya di mata rakyat, maka takkan mudah tercipta sejumlah prasangka terhadap berbagai tindakan yang dilakukan institusi penegakan hukum tersebut. Terbaru dalam deretan daftar prasangka itu, adalah peristiwa penangkapan salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjajanto, oleh petugas Bareskrim Polri Jumat pagi 23 Januari 2015. Prasangka tak terelakkan di sini, karena baru tujuh hari sebelumnya pengangkatan Kapolri baru –Komisaris Jenderal Budi Gunawan– ‘terpaksa’ ditangguhkan sementara oleh Presiden Jokowi karena status tersangka gratifikasi yang diberikan KPK terhadap sang kandidat. Dan orang tergiring untuk menyangkutpautkan kedua peristiwa tersebut.

CUKUP 4 JARI. “Sudah untung mereka tidak kami bunuh.” Pelapor Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ke Bareskrim Polri, bernama Sugianto Sabran. Ia tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. Ada yang juga mengatakan ia masih anggota DPR periode 2014-2019.  Anggota Komisi Hukum DPR itu menyelesaikan pendidikan hingga SMEA di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pada pemilihan umum 2009, Sugianto terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%).  Pengusaha kelahiran Sampit 5 Juli 1973 tercatat pernah menikah dengan artis Ussy Sulistiawaty pada 12 Agustus 2005 sampai bercerai setahun kemudian.  Nama Sugianto sempat mencuat saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga diduga memiliki kaitan dengan penyiksaan Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa. Abi ternyata masih kakek Sugianto.  Penyiksaan yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sg dan AR.  Selain itu Sugianto juga pernah diduga memiliki kaitan dengan kasus kerusakan hutan di Taman Nasional Tanjung Puting. Waktu itu tahun 2002 Sugianto dipercaya pamannya Rasyid mengelola perusahaan Tanjung Lingga yang mendapat hak pengusahaan hutan seluas 40 ribu hektare lebih di Kalimantan Tengah. Terbongkarnya kerusakan hutan itu diakui sendiri oleh Sugianto. Itu terekam dalam video di pabrik-pabrik ramin milik Rasyid yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama Ruwidrijanto, anggota Telapak Indonesia, pada tahun 1999. Ketika itu, mereka menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid. Sugianto, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat itu.  Dalam rekaman itu Sugianto juga memaparkan bagaimana seluk beluk mengekspor kayu-kayu secara ilegal dari Taman Nasional Tanjung Puting. Tindakan itu menghindari pajak ekspor yang mencapai 25 persen.  Soal isu-isu itu, Sugianto belum berhasil dimintai komentar. Namun, dalam wawancara dengan Tempo pada Oktober 2002 Sugianto tidak membantah. “Sudah untung mereka tidak kami bunuh,” katanya, “Masuk ke perusahaan orang kok seperti itu.” Sugianto bahkan tidak membantah telah memberi order menyiksa Abi Kusno. “Dia masih tergolong kakek saya,” katanya, “Tapi dia juga pemeras. Sudah untung dia tidak kami bunuh.” Saat itu, Sugianto hanya dihukum percobaan satu setengah bulan.  Kepada wartawan yang menemuinya di kantor di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Sugianto yakin dirinya benar dalam soal pelaporan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Dia mengaku menjadi korban Bambang Widjojanto, saat tim kuasa hukum KPK tengah menjawab pertanyaan awak media di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Jumat. “Ibu jangan bela-bela dia, saya jadi korban,” teriak Sugianto kepada Nursyahbani Katjasungkana di belakang awak media. (Sumber tulisan: Tempo.co/Gambar logo, tjahjokumolo.com)
CUKUP 4 JARI. “SUDAH UNTUNG MEREKA TIDAK KAMI BUNUH”. Pelapor Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ke Bareskrim Polri, bernama Sugianto Sabran. Ia tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. Ada yang juga mengatakan ia masih anggota DPR periode 2014-2019.
Anggota Komisi Hukum DPR itu menyelesaikan pendidikan hingga SMEA di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pada pemilihan umum 2009, Sugianto terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%).
Pengusaha kelahiran Sampit 5 Juli 1973 tercatat pernah menikah dengan artis Ussy Sulistiawaty pada 12 Agustus 2005 sampai bercerai setahun kemudian.
Nama Sugianto sempat mencuat saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga diduga memiliki kaitan dengan penyiksaan Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa. Abi ternyata masih kakek Sugianto.
Penyiksaan yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sg dan AR.
Selain itu Sugianto juga pernah diduga memiliki kaitan dengan kasus kerusakan hutan di Taman Nasional Tanjung Puting. Waktu itu tahun 2002 Sugianto dipercaya pamannya Rasyid mengelola perusahaan Tanjung Lingga yang mendapat hak pengusahaan hutan seluas 40 ribu hektare lebih di Kalimantan Tengah. Terbongkarnya kerusakan hutan itu diakui sendiri oleh Sugianto. Itu terekam dalam video di pabrik-pabrik ramin milik Rasyid yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama Ruwidrijanto, anggota Telapak Indonesia, pada tahun 1999. Ketika itu, mereka menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid. Sugianto, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat itu.
Dalam rekaman itu Sugianto juga memaparkan bagaimana seluk beluk mengekspor kayu-kayu secara ilegal dari Taman Nasional Tanjung Puting. Tindakan itu menghindari pajak ekspor yang mencapai 25 persen.
Soal isu-isu itu, Sugianto belum berhasil dimintai komentar. Namun, dalam wawancara dengan Tempo pada Oktober 2002 Sugianto tidak membantah. “Sudah untung mereka tidak kami bunuh,” katanya, “Masuk ke perusahaan orang kok seperti itu.” Sugianto bahkan tidak membantah telah memberi order menyiksa Abi Kusno. “Dia masih tergolong kakek saya,” katanya, “Tapi dia juga pemeras. Sudah untung dia tidak kami bunuh.” Saat itu, Sugianto hanya dihukum percobaan satu setengah bulan.
Kepada wartawan yang menemuinya di kantor di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Sugianto yakin dirinya benar dalam soal pelaporan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Dia mengaku menjadi korban Bambang Widjojanto, saat tim kuasa hukum KPK tengah menjawab pertanyaan awak media di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Jumat. “Ibu jangan bela-bela dia, saya jadi korban,” teriak Sugianto kepada Nursyahbani Katjasungkana di belakang awak media. (Sumber tulisan: Tempo.co/Gambar logo, tjahjokumolo.com)

Sejumlah aktivis gerakan anti korupsi, pemuka sosial dan agama, serta publik pada umumnya, meletakkan dua peristiwa pada dua Jumat berturut-turut itu dalam perspektif balas dendam. (Baca, Friday The Sixteenth, https://socio-politica.com/2015/01/19/friday-the-sixteenth-antara-presiden-jokowi-dan-para-jenderal-polisi/). Lebih dalam dari sekedar balas dendam, tercipta opini bahwa peristiwa dua Jumat ini dengan segala ikutannya menunjukkan kuatnya benang merah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahkan mungkin, tujuan akhir dari semua peristiwa tak lain adalah peniadaan eksistensi lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

Sistematis dan terencana. Serangan terhadap KPK, termasuk dari Polri, bukan pertama kali terjadi. Bisa kita hitung bersama, baik yang berasal dari para anggota DPR, tokoh-tokoh pemerintahan, kalangan pengacara tertentu maupun dari kalangan partai. Dengan berbagai cara, terbuka atau terselubung. Serangan terbaru dari kalangan partai, adalah serangan Plt Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristianto, ditujukan kepada Ketua KPK Abraham Samad yang mengaku melakukannya tanpa sepengetahuan Megawati Soekarnoputeri. Lalu, ada lagi laporan baru ke Bareskrim menuduh Wakil Ketua KPK yang lain Adnan Pandupradja melakukan pemalsuan kepemilikan saham sewaktu menjadi pengacara sekitar sembilan tahun lalu. Sistematis, intensif dan terencana.

Berkaca pada nasib KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) yang dibubarkan Presiden Megawati tahun 2004 sebelum lembaga itu selesai masa kerjanya –maupun lembaga-lembaga pengawasan serupa yang pernah ada– bisa diambil semacam pelajaran dan kesimpulan bahwa semua rezim kekuasaan yang ada di Indonesia pada dasarnya tak menghendaki adanya lembaga pemberantasan korupsi yang serius. KPKPN ketika itu baru saja menyorot kepemilikan rumah ‘mewah’ Jaksa Agung MA Rahman era Megawati.

Pengertian rezim kekuasaan di sini meliputi seluruh aspek kekuasaan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi, bahkan kekuasaan sosial. Mereka hanya menyenangi model proforma, sekedar untuk menyenang-nyenangkan hati rakyat bahwa korupsi tidak ditoleransi. Sementara, dalam kenyataan, nyaris seluruh kegiatan menuju kekuasaan sosial-politik-ekonomi di republik ini secara eskalatif dari waktu ke waktu makin mengandalkan kekuatan uang. Dan hanya ada satu cara ringkas untuk menguasai akumulasi dana yang besar, yakni korupsi uang negara dengan memanfaatkan kekuasaan dan pembiaran bisnis curang dan manipulatif untuk kemudian memungut rente dari sana.

Dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden yang baru lalu, di atas permukaan terlibat dana ratusan miliar, tetapi dengan mengamati skala kegiatan yang terjadi, bisa dianalisis bahwa biaya sesungguhnya adalah berskala multi triliun rupiah di tingkat peserta. KPU saja yang tidak punya cara jitu untuk menjejaki seliweran dana yang terjadi, di luar dana resmi yang teraudit. Coba jelaskan, dari mana dana-dana besar itu datang! Dan kini, pasca pemilihan umum, tak terhindarkan terjadinya kesibukan belakang layar berupa transaksi balas jasa dan bayar ‘utang’. Pada waktu yang sama, semua kekuatan politik dan kekuatan kepentingan ekonomi, sibuk melakukan konsolidasi dalam konteks positioning sosial-politik-ekonomi pasca pemilu sekaligus mempersiapkan diri selama lima tahun ke depan. Permainan yang satu ini memang tak pernah berakhir –it’s endless game.

Jas Merah. REZIM baru hasil pemilihan umum tahun lalu, khususnya Jokowi, tampak sedikit terseok-seok dalam konsolidasi kekuasaannya pasca pemilu. Di sisi ‘eksternal’ ia harus menghadapi berbagai kemungkinan dari kubu seberang yang mempunyai kekuatan relatif sama, sehingga secara ‘pragmatis’ dibutuhkan berbagai taktik ‘pelemahan’. Upaya ‘pelemahan’ bisa dilakukan melalui suatu jalan kompetisi yang sportif, tapi bisa juga dengan cara curang. Seberapa besar kadar kenegarawanan yang dimiliki seorang tokoh, akan menentukan pilihan mana yang diambil. Dalam kaitan ini, dengan hati-hati perlu diajukan pertanyaan, betulkah rumor politik tentang adanya tangan ‘kekuasaan’ dalam proses pembelahan internal di tubuh Golkar, antara lain dengan membantu membiayai Munas di Ancol?

ADEGAN PEMBORGOLAN BAMBANG WIDJAJANTO DI LAYAR TELEVISI. "Oegresono tak sendirian geram, karena sejumlah tokoh intelektual, rohaniwan dan tokoh masyarakat lainnya juga merasakan yang sama. Cara penangkapan yang mirip peringkusan terhadap kriminal kelas berat dan penggunaan borgol –disertai kata-kata tak pantas– dianggap sungguh tak beradab."
ADEGAN PEMBORGOLAN BAMBANG WIDJAJANTO DI LAYAR TELEVISI. “Oegroseno tak sendirian geram, karena sejumlah tokoh intelektual, rohaniwan dan tokoh masyarakat lainnya juga merasakan yang sama. Cara penangkapan yang mirip peringkusan terhadap kriminal kelas berat dan penggunaan borgol –disertai kata-kata tak pantas– dianggap sungguh tak beradab.”

Pada sisi lain dalam pada itu, Jokowi juga harus pandai mengelola kubu pendukungnya sendiri. Selain terhadap PDIP, partai induk yang melahirkannya sebagai tokoh, ia harus bisa mengelola relasi konsesif dengan partai-partai dan kelompok pendukungnya yang lain. Dalam jenis relasi yang satu ini, terlihat betapa posisi Partai Nasdem cukup menonjol. Bagi sejumlah pengamat politik, Jokowi mengalami sedikit kesulitan dalam relasinya dengan partai induk. Terutama karena ia bukan seorang pimpinan teras partai, dan hanya berada di posisi subordinat dalam partai. Seorang pengamat sampai menyodorkan suatu terminologi yang agak kurang nyaman terhadap Jokowi, bahwa Jokowi, suka atau tidak, terikat pada prinsip “Jas Merah”. Ini adalah akronim bagi “Jangan Sampai Mega Marah”. Sebenarnya, akronim ‘Jas Merah’ ini diberikan kalangan mahasiswa gerakan 1966 terhadap Pidato 17 Agustus 1966 Presiden Soekarno, yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Penggunaan akronim ‘jas merah’ dimaksudkan untuk menonjolkan konotasi tentang kedekatan Bung Karno dengan kelompok politik merah PKI hingga per saat itu. Digunakan juga akronim ‘Jali-jali Merah’ dengan konotasi yang sama, namun kalah populer.

Banyak pengamat yang mendefinitifkan bahwa pencalonan Komjen Budi Gunawan dilakukan menuruti kemauan Megawati Soekarnoputeri. Mega tergambarkan punya kedekatan dengan Budi. Sewaktu Megawati menjadi Presiden RI, ajudannya dari Polri adalah Budi Gunawan. Menurut Petrus Selestinus –Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, TPDI– kepada pers, tokoh PDIP Trimedya Pandjaitan mengakui, meskipun masih perwira aktif Budi Gunawan adalah anggota Tim Sukses Jokowi saat menghadapi Pilpres. Budi Gunawan adalah konseptor visi-misi Jokowi bidang Pertahanan Keamanan. Mungkin perlu pula ditelusuri pengungkapan lainnya dari Petrus Selestinus, tentang ada tidaknya aliran dana antara PDIP dengan Komjen Budi Gunawan.

Adab dan Etika Penegakan Hukum. Penangkapan Bambang Widjajanto selama kurang lebih 18 jam oleh Bareskrim Polri, dikecam mantan Wakil Kapolri (Agustus 2013 – Maret 2014) Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Oegroseno. Mantan orang kedua di Kepolisian RI itu,  menurut Tempo.co, mengaku geram dengan penahanan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto. Ia menilai langkah yang ditempuh Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Budi Wiseso merusak etika penegakan hukum. Dengan nada yang terasa keras, ia mengatakan “Kalau sekarang saya yang jadi Wakapolri, sudah saya tempeleng dia.” Oegroseno tak sendirian geram, karena sejumlah tokoh intelektual, rohaniwan dan tokoh masyarakat lainnya juga merasakan yang sama. Cara penangkapan yang mirip peringkusan terhadap kriminal kelas berat dan penggunaan borgol –disertai kata-kata tak pantas– dianggap sungguh tak beradab.

Selain cara penangkapan yang dianggap tak beradab, perkara yang dituduhkan kepada Bambang Widjajanto adalah peristiwa 5 tahun lampau yang tingkat kebenarannya juga sangat abu-abu dan pantas untuk diragukan. Bambang dituduh selaku pengacara telah menyuruh sejumlah saksi memberikan keterangan palsu di sebuah persidangan tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi, terkait sengketa pilkada Kotawaringin, Barat Kalimantan Tengah. Kala itu Bambang Widjajanto menjadi penasehat hukum bagi pasangan incumbent Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar, dengan Wakil Bambang Purwanto, yang menggugat keputusan KPUD yang menetapkan pasangan Sugianto Sabran dan Eko Soemarno sebagai pemenang Pilkada per tanggal 12 Juni 2010. Kemenangan pasangan yang diusung PDIP, PAN dan Gerindra akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dianggap dicapai melalui politik uang dan intimidasi. Ada 68 saksi yang diajukan.

Dari sisi hukum, menurut Oegroseno kepada sejumlah media, penyelidikan kasus itu terkesan janggal karena laporan itu telah dicabut, tapi dikembangkan lagi setelah Bareskrim ‘menerima’ laporan ulang kasus itu hanya beberapa hari sebelumnya. “Pelapor yang dulu sudah mencabut, dan saksi yang di Pangkalan Bun juga mengaku tidak ada masalah. Kenapa jadi masalah lagi? Kalau dilaporkan lalu dicabut, dan dilaporkan lagi, ini kan akrobat,” kata Oegroseno. Menurut Oegroseno lagi, proses hukum terhadap Wakil Ketua KPK itu terkesan liar karena tidak dikoordinasikan dengan Plt Kapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Kabareskrim yang baru Budi Wiseso dianggap telah menggerakkan perangkat penyidikan tanpa melaporkan rencana penangkapan itu kepada Komjen Badrodin. “Ini bukti kalau Wakapolri tidak dianggap oleh perwira berbintang tiga.”

Namun yang paling janggal dalam kasus ini, seperti yang diutarakan mantan Menteri Hukum dan HAM, Amir Sjamsuddin, adalah bahwa belum pernah terjadi dan memang tidak bisa seseorang dipidana karena mengarahkan saksi memberi keterangan palsu. Saat saksi memberi kesaksian di suatu persidangan, tak ada pengacara yang mendampinginya. Menurutnya, apakah suatu kesaksian palsu atau tidak, tergantung pada hakim. Bila seorang saksi yang sudah disumpah diduga memberikan kesaksian palsu, hakim mengingatkannya untuk memegang sumpahnya. Dan bila saksi yang bersangkutan meneruskan kesaksian yang dianggap palsu, maka hakim akan meminta polisi untuk memeriksa.

Faktor lain yang tak kurang pentingnya adalah latar belakang pelapor, politisi PDIP yang bernama Sugianto Sabran. Lebih jauh mengenai Sabran, baca box terlampir, “Cukup 4 jari”, yang bersumber dari Tempo.co. Bila laporan Tempo mengenai Sugianto Sabran itu valid, semestinya Bareskrim lebih berhati-hati melakukan penanganan, agar tidak tergelincir melakukan kekeliruan, yang akan memberi akibat besar dan bisa fatal di kemudian hari.

Jangan terlalu berlebihan menaruh harapan. Terlepas dari itu, apa pun yang terjadi kelak menyangkut kebenaran dari kasus Bambang Widjojanto, bila yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk menjegal Wakil Ketua KPK itu, atau bahkan untuk ‘meruntuhkan’ KPK, maka untuk sebagai tujuan itu telah berhasil. Dan kita akan melihat, apakah Presiden akan memberi jalan lanjut kepada ‘peruntuhan’ itu atau tidak.

Dalam pidato ringkasnya di Istana Bogor (Jumat, 23 Januari) Presiden mengatakan “Sebagai kepala negara, saya meminta kepada institusi Polri dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan undang-undang yang ada.” Sebuah pernyataan yang sangat normatif dan bisa tidak punya arti apa-apa dalam realita. Persoalan tetap kelabu. Apakah Presiden tak bisa melihat kenyataan bahwa hingga sejauh ini KPK belum sekalipun pernah cedera dalam penanganan perkara sehingga lebih pantas dipercaya? Sementara itu, sepanjang sejarah penegakan hukum, Polri tercatat berkali-kali pernah melakukan kekeliruan dalam penerapan hukum: mulai dari salah tangkap, salah tembak sampai salah mengajukan tersangka.

Barangkali, untuk sementara, jangan terlalu berlebihan menaruh harapan kepada sang Presiden. “Jokowi bukanlah kita,” bunyi sebuah poster pengunjuk rasa di depan Gedung KPK. (socio-politica.com)

KPK, Kisah Ethic dalam Fungsi Anesthetic

SESUNGGUHNYA tak ada sesuatu yang cukup berharga dicapai Komite Etik KPK dalam kasus ‘kebocoran sprindik Anas Urbaningrum’. Kecuali, ‘keberhasilan’ mempermalukan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Adnan Pandupradja. Pembacaan keputusan dan penyampaian teguran Komite Etik –yang dipimpin tokoh muda Anies Baswedan– Rabu 3 April di forum terbuka ini lebih menyerupai suatu tontonan. Mengingatkan kita pada seremoni hukum potong tangan para pencuri di negeri Arabia yang juga dipertontonkan di muka umum.

Selain dari itu, dengan peristiwa ‘peradilan’ etik kali ini, menjadi jelas bagi kita bahwa ternyata Kode Etik Pimpinan KPK yang digunakan selama ini mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang pada hakekatnya menempatkan para pimpinan KPK sebagai manusia-manusia pasungan. Barangkali saja niatnya untuk menjadikan para komisioner KPK bercitra malaikat suci, namun pada sisi lain sebagai pemegang pedang keadilan dalam konteks pemberantasan korupsi, tangan mereka serba terikat dan kaki tertahan oleh kayu pasungan. Padahal, dengan bentuk tugas KPK sekarang, selain mengandalkan ketangguhan para penyidiknya, komisioner KPK juga harus mampu membangun jaringan seluas-luasnya dengan siapa saja untuk sumber informasi dan bahkan juga sumber inspirasi serta pengayaan wawasan.

KARIKATUR KURSI ABRAHAM SAMAD. "Beberapa waktu sebelum sidang Komisi Etik KPK, Abraham Samad melontarkan adanya upaya mengkudeta dirinya selaku pimpinan KPK. Ini seakan mengkonfirmasi dugaan publik tentang adanya yang tak berjalan baik di tubuh KPK selama ini. Mata segera tertuju kepada Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto yang selama ini menurut pengetahuan publik banyak berseberangan dengan Abraham Samad dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kaitan penetapan tersangka." (download, inilah.com)
KARIKATUR KURSI ABRAHAM SAMAD. “Beberapa waktu sebelum sidang Komisi Etik KPK, Abraham Samad melontarkan adanya upaya mengkudeta dirinya selaku pimpinan KPK. Ini seakan mengkonfirmasi dugaan publik tentang adanya yang tak berjalan baik di tubuh KPK selama ini. Mata segera tertuju kepada Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto yang selama ini menurut pengetahuan publik banyak berseberangan dengan Abraham Samad dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kaitan penetapan tersangka.” (download, inilah.com)

Bahwa dalam hubungan dengan kalangan yang luas itu –kecuali dengan pihak yang berperkara–  ada risiko terjadi kontaminasi, itu masalah yang terkait dengan kualitas integritas para komisioner dan kemampuan menciptakan sistem kontrol yang ampuh. Terpenting, ada mekanisme monitoring bila ada yang berbuat curang, dan tersedia sanksi hukum yang tegas dan jelas untuk itu.

Dengan kode etik dalam formula sekarang, para komisioner KPK terbentuk sebagai manusia kurang pergaulan. Tak bisa bertemu sembarang orang. Ada semacam paranoia, bahwa siapa pun yang ingin bertemu, pasti adalah orang yang punya maksud terselubung ingin mengatur perkara. Lalu bagaimana dengan kelompok masyarakat yang bertikad sebaliknya, ingin membantu dan mungkin saja justru memiliki informasi-informasi berguna? Bagaimana pula dengan kalangan pers, yang merupakan kelompok berpotensi membantu gerak pemberantasan korupsi? Lama-lama para pimpinan lembaga pemberantasan korupsi itu menjadi bagaikan katak dalam tempurung, menuju model manusia teralienasi sempurna. Para penyidik menjadi sumber ‘pengetahuan’ satu-satunya bagi para komisioner KPK. Ini rawan, sepanjang pola rekrutmen penyidik KPK belum bergerak di suatu jalur sistem yang reliable, seperti sekarang ini.

NAMUN apakah etik dan kode etik itu sesungguhnya? Etik (ethic) yang berasal dari sebuah kata Yunani kuno ethikos, bermakna sesuatu yang timbul atau muncul dari kebiasaan. Etika adalah bagian dari filsafat yang menyangkut nilai dan konsep benar dan salah, baik dan buruk, serta aspek tanggungjawab yang terkait nilai-nilai tersebut. Dengan etika manusia mencari tahu dan memahami tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia, terutama dalam hubungan antar manusia. Bagi manusia yang bersendiri, hidup terisolasi, etika kemanusiaan tak berfungsi, meski tak bisa dikatakan samasekali terlepas dari etika terhadap alam apalagi dari etika keilahian.

Ketika manusia hidup bersama sebagai kelompok, terutama bila bekerja bersama sebagai kelompok, mereka membutuhkan tatanan etika yang disepakati dan ditetapkan bersama. Tatanan itu disebut kode etik. Begitu etika dan atau kode etik tak diputuskan melalui kesepakatan bersama, apalagi bila ditetapkan berdasarkan pikiran individual belaka, ia dengan mudah menjelma menjadi anarkisme. Tatkala Immanuel Kant (1724-1804) menerapkan idealisme absolut dalam menyimpulkan suatu etika yang amat keras, meskipun logis, menjadi tak manusiawi lagi. Kata Kant, dusta adalah dusta, meskipun itu dapat menyelamatkan manusia (Lihat C.A. van Peursen, Filosofische Orientatie, 1977. Di-indonesia-kan oleh Dick Hartoko, 1980).

Kode etik, menurut berbagai referensi, merupakan dan termasuk sebagai norma sosial. Kode etik adalah pola aturan dan pedoman berperilaku dalam menjalankan tugas atau pekerjaan, untuk mencegah dan menangkal tindakan yang tidak profesional. Namun begitu ia disertai sanksi terlalu berat dan atau ‘penghukuman’, sebenarnya ia sudah bermutasi menjadi suatu norma hukum.

ABRAHAM Samad dalam putusan Komite Etik KPK  meskipun dinyatakan tidak terbukti secara langsung membocorkan dokumen SprinDik, tetapi perbuatan dan sikapnya tak sesuai dengan kode Etik Pimpinan KPK dalam berkomunikasi dan dalam memimpin. Sikap tak sesuai itu dianggap Komite Etik telah menciptakan situasi dan kondisi terjadinya kebocoran SprinDik dan informasi mengenai status Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Ini dihubungkan dengan keterlibatan Wiwin Suwandi, sekertaris pribadi Abraham Samad, sebagai orang yang dianggap pembocor SprinDik Anas. Abraham Samad dinyatakan melakukan “pelanggaran sedang” terhadap Pasal 4 huruf b dan d, serta Pasal 6 ayat (1) huruf b, e, r dan v, Kode Etik Pimpinan KPK. Artinya, Abraham Samad dianggap melanggar keharusan menganut nilai-nilai dasar pribadi “Kebersamaan, melaksanakan tugas memimpin KPK secara kolektif” serta nilai “Integritas, mewujudkan perilaku yang bermartabat”. Tegasnya, Abraham Samad tak mampu memimpin, tak mampu berbagi dan tak mampu bekerja kolektif.

Khusus tentang Wiwin, bukankah kadar kesalahannya tak lebih buruk dari para pelaku dan pendukung korupsi itu sendiri, sepanjang  tak beraroma transaksional? Seperti kebanyakan anggota masyarakat, ia mungkin gregetan dengan bertele-telenya penetapan status tersangka bagi Anas Urbaningrum, yang sebelum menjadi tersangka, dengan poker facenya bisa begitu tenang mengatakan dirinya tak bersalah. Tapi Anas kan tak sendirian mengatakan dirinya tak berdosa? Kolega-koleganya se-alumni di HMI pun tak henti-hentinya tampil membela, meski setiap waktu tak henti-hentinya pula beretorika tentang sikap anti korupsi. Lain kali, bila ada lagi sidang Komite Etik, tak usah saja ada alumni HMI di dalamnya bilamana masalah yang disidangkan ada kaitan sebab musababnya dengan soal yang bisa membakar jiwa korsa. 

Adnan Pandupradja dalam pada itu, dinyatakan terbukti telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan Kode Etik Pimpinan KPK dan oleh karenanya harus dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Adnan dianggap melakukan pelanggaran ringan terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e Kode Etik Pimpinan KPK, dan karena itu Komite Etik menjatuhkan sanksi berupa peringatan lisan.

Terhadap Abraham Samad Komite Etik memberikan peringatan tertulis. Diingatkan untuk memperbaiki sikap, tindakan dan perilaku. Agar, “memegang teguh prinsip keterbukaan, kebersamaan; perilaku yang bermartabat dan berintegritas; mampu membedakan hubungan yang bersifat pribadi dan profesional, serta; menjaga ketertiban dalam berkomunikasi dan kerahasiaan KPK.”

Pasca Komite Etik menyatakan Abraham Samad dan Adnan Pandupradja terbukti melakukan pelanggaran kode etik pimpinan KPK, terbaca adanya nada kekecewaan dalam berbagai pernyataan pengamat maupun akademisi, meski semua juga menyatakan keputusan komite itu sudah tepat. Hanya, Fahmi Idris, mantan menteri yang juga mantan aktivis, yang terangan-terangan menyatakan pendapatnya bahwa keputusan Komite Etik itu berlebihan. Pendapat Fahmi bisa disepakati, terutama bila kita mampu mengapresiasi ‘dinamika’ sikap dan tindakan Abraham Samad selama ini yang cenderung lebih cepat dan deras dibanding beberapa pimpinan KPK lainnya.

Sebelum tersusunnya Komisioner KPU periode ini, publik lebih mengenal Bambang Widjojanto yang adalah aktivis di tingkat nasional daripada Abraham Samad yang lebih dikenal kegiatannya sebatas di Sulawesi Selatan. Begitu pula, publik lebih memperhatikan Busyro Muqoddas yang pernah sementara berkiprah di KPK –paska musibah Antasari Azhar– sebelum berpindah ke Komisi Yudisial. Terus terang, pada mulanya lebih banyak yang menaruh harapan kepada Bambang Widjojanto. Namun seiring dengan berjalannya waktu, di saat Abraham Samad melaju, justru Bambang dan Busyro seringkali tampil sebagai faktor yang membuat KPK melambat kecepatannya bagaikan pedati. Alasannya, prinsip kehati-hatian. Tetapi persoalannya, laju korupsi itu jauh lebih kencang dengan aroma konspiratif yang tajam menusuk.

Ada sedikit pertanyaan yang menggelitik di seputar kasus yang diajukan sebagai masalah di Komite Etik KPK ini.

Proses penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka terasa begitu lambat dan terulur-ulur, sehingga menimbulkan tanda tanya, untuk tidak mengatakannya mengundang syak wasangka. Lalu tersiar berita tentang beredarnya draft SprinDik yang menyebutkan Anas sebagai tersangka, sudah ditandatangani oleh Abraham Samad dan sudah disetujui Adnan Pandupradja. Namun belum ada tanda tangan persetujuan komisioner lainnya, khususnya Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto. Berita adanya SprinDik yang menyebutkan status Anas sebagai tersangka, dengan tergopoh-gopoh dijadikan dasar penggusuran Anas oleh Susilo Bambang Yudhoyono dari posisi Ketua Umum di Partai Demokrat. Dan ini menimbulkan kegemparan.

Toh akhirnya setelah kegemparan itu, Anas dijadikan tersangka oleh KPK. Timbul tanda tanya, apakah bila tak ada kegemparan akibat beredarnya copy draft SprinDik tersebut, penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka tidak malah akan lebih terulur-ulur lagi? Dalam konteks keinginan agar KPK bekerja tepat dan cepat, siapa yang perlu dikecam, apakah Abraham dan Pandu atau Busyro dan Bambang yang selama ini terbukti berperilaku alon-alon kelakon? Kalau harus ada penyesuaian dalam konteks kepemimpinan kolektif, siapakah yang harus menyesuaikan diri, si cepat atau si lamban? Sayang sekali, dalam Pasal 4 Kode Etik Pimpinan KPK, tak tercantum sebagai butir g syarat nilai-nilai pribadi agar pimpinan KPK bekerja cepat dan tepat, menghindari sikap kontra produktif alon-alon asal kelakon.

Harus diakui, di tengah pujaan publik terhadap KPK sebagai benteng pengharapan terakhir dalam pemberantasan korupsi, pembawaan lamban KPK menjadi titik sumber kekecewaan. Dalam format Kode Etik Pimpinan KPK seperti sekarang ini, ia bisa menjadi sumber kekecewaan lainnya. Kode Etik Pimpinan KPK saat ini, lebih berfungsi sebagai faktor anesthetic –bius yang membuat KPK sewaktu-waktu berada dalam situasi tak sadar dan malfungsi. Tanpa sengaja menjadi faktor kontra produktif dalam konteks pemberantasan korupsi.

TERAKHIR, ada satu hal yang tak boleh dilewatkan. Beberapa waktu sebelum sidang Komisi Etik KPK, Abraham Samad melontarkan adanya upaya mengkudeta dirinya selaku pimpinan KPK. Ini seakan mengkonfirmasi dugaan publik tentang ada sesuatu yang tak berjalan baik di tubuh KPK selama ini. Mata segera tertuju kepada Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto yang selama ini menurut pengetahuan publik banyak berseberangan dengan Abraham Samad dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kaitan penetapan tersangka. Mulai dari kasus Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng sampai Anas Urbaningrum. Dan mungkin juga dalam kaitan kasus Bank Century.

Terkesan bagi publik, Abraham yang seakan tak kenal politik gaya ibukota Jakarta, lebih agresif daripada Busyro-Bambang yang tampaknya lebih paham dan cukup terbiasa dengan permainan politik lalu menyesuaikan diri. Akan kita lihat, siapa yang lebih benar, si cepat atau si lamban?

Sekali lagi, persoalan yang satu ini jangan dilewatkan. Mata publik perlu mengikuti dan mengawasi, bila ingin menjaga institusi ini tak tergilas oleh konspirasi politik dan konspirasi kaum korup. Maafkan, bila ini terasa sebagai satu tuduhan.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com)

Kisah Korupsi Para Jenderal (1)

CATATAN empirik Indonesia merdeka pasca Perang Kemerdekaan 1945-1949, menunjukkan betapa sejumlah duri yang tumbuh dan bersemayam dalam daging di tubuh bangsa ini, tak kunjung berhasil dibersihkan. Maka, tubuh bangsa ini senantiasa didera kesakitan dan demam sepanjang waktu. Duri terbanyak adalah perilaku korupsi yang tak terlepas dan bahkan berakar kuat pada kekeliruan memahami dan menjalankan kekuasaan negara. Duri korupsi itu, dicabut satu, tumbuh sepuluh. Dicabut sepuluh tumbuh seratus. Dan karena tak pernah berhasil dicabut seratus, duri-duri itu dengan ‘bebas’ bertumbuh menjadi seribu. Tapi angka-angka ini bukan sebuah statistik, melainkan sebuah metafora, untuk menunjukkan bahwa langkah pemberantasan korupsi selalu kalah oleh laju pertumbuhan tindakan korupsi. Karena, sementara pemberantasan korupsi berjalan dalam pola deret hitung dengan bilangan penambah yang kecil, dalam waktu yang sama perilaku korupsi justru berganda dalam pola deret ukur.

KARIKATUR IRONI PEMBERANTASAN KORUPSI OLEH TPK TAHUN 1968. “Pendongkrakan harga itu terlalu fantastis dan berani. Keberanian, khususnya keberanian melanggar hukum, biasanya muncul, bila sesuatu perbuatan dilakukan bersama-sama. Terlihat, dalam kasus-kasus seperti tersebut di atas selalu terselip, sesuatu yang seolah-olah adalah ‘operasi penyelamatan para jenderal’. Kalau ada yang perlu dikorbankan, cukup perwira menengah atau perwira pertama saja”. Karikatur Harjadi S, 1968.

Selain bertumbuh secara kuantitatif, ditandai merasuknya korupsi ke dalam berbagai bagian dari tubuh bangsa ini, bukan hanya di kalangan kekuasaan tetapi juga merasuk dalam berbagai bentuk ke tengah masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan, korupsi juga mengalami pertumbuhan kualitatif. Korupsi lama kelamaan menjadi suatu bentuk kekuasaan tersendiri, bukan kekuatan biasa yang sekedar mampu melawan, melainkan juga menjadi kekuatan yang dianalisa sanggup melakukan serangan balik. Benturan keras yang dialami KPK hari-hari ini dalam penanganan kasus korupsi dalam pengadaan alat simulasi ujian SIM Korlantas (Korps Lalu Lintas) Mabes Polri, tampaknya perlu diamati dalam kacamata analisa tersebut di atas. Begitu pula, kasus yang menimpa Ketua KPK periode lalu, Antasari Azhar, yang diadili dengan tuduhan keterlibatan pembunuhan saat KPK sedang giat menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kalangan kekuasaan, perlu dicermati kembali untuk menemukan apakah di sini sedang terjadi semacam serangan balik kekuatan korup.

Kasat mata, selama ini memang terlihat pemberantasan korupsi berjalan tertatih-tatih. Penanganan politisi sipil –di lembaga- Continue reading Kisah Korupsi Para Jenderal (1)

Nazaruddin-Anas Urbaningrum, 10 Tahun

ADEGAN pada foto plesetan ilustrasi tulisan ini –yang memperlihatkan Anas Urbaningrum memohon maaf lahir batin kepada Muhammad Nazaruddin pada lebaran yang lalu– takkan pernah terjadi dalam waktu dekat ini, entah pada satu waktu nanti. Faktanya, saat ini Anas dan Nazaruddin memasuki fase tuding menuding. Nazaruddin siap sumpah pocong untuk kebenaran tuduhannya mengenai keterlibatan Anas dalam kasus Wisma Atlet dan Proyek Hambalang, serta politik uang dalam memenangkan kursi Ketua Umum dalam Kongres Partai Demokrat yang lalu di Bandung. Sebaliknya, Anas menuduh mantan bendahara partainya itu mengoceh dan memfitnah, dan siap digantung di Monas bila terbukti dirinya korupsi serupiah saja dalam kasus Hambalang.

ANAS URBANINGRUM DAN MUHAMMAD NAZARUDDIN. Dulu, gambar plesetan ini beredar di dunia maya, terutama melalui BBM. Diberi teks “Akhirnya Anas mengakui kesalahannya”. Tapi peristiwa ini “takkan pernah terjadi dalam waktu dekat ini, entah pada satu waktu nanti. Faktanya, saat ini Anas dan Nazaruddin memasuki fase tuding menuding”. Ada yang siap digantung di Monas, ada yang berani sumpah pocong.

Kasus Nazaruddin ini bisa saja secara sistematis selesai dalam tempo tertentu, saat Nazaruddin dihukum dan setelah itu ‘ditutup’ terus jalan lanjutan proses hukumnya seperti yang terjadi dalam kasus Antasari Azhar. Tetapi bisa juga menggelinding terus menumbangkan satu persatu tokoh-tokoh yang namanya muncul dalam rangkaian kasus korupsi yang pintu masuknya terbuka melalui ‘ocehan’ Nazaruddin, bilamana publik mampu mengawal proses. Hanya saja, ini butuh waktu.

Karena begitu banyaknya nama yang disebut terlibat, menurut salah seorang Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, “mungkin perlu waktu 10 tahun untuk menyelesaikan semua kasusnya”. Angka 10 tahun ini bisa masuk akal, bukan semata karena kuantita tokoh yang disebut-sebut namanya, melainkan juga karena kualita tertentu dari kasus-kasus ini maupun ‘kualitas’ posisi dari tokoh-tokoh tersebut dalam kekuasaan sehingga mempunyai kemampuan menghadang, bahkan memporak-porandakan KPK.

Sepanjang yang bisa diikuti dari jalannya pengungkapan yang tersajikan sejauh ini, terlihat bahwa korupsi-korupsi yang dilakukan belakangan ini jauh lebih sistemik dari korupsi gaya lama. Dulu, para koruptor ‘merampok’ dari proyek-proyek pembangunan berjalan, sementara korupsi-korupsi terbaru saat ini, proyek yang akan ‘dirampok’ itu sudah lebih dulu dirancang lalu dimasukkan ke dalam APBN maupun khususnya APBN-P. Dulu, di masa Soeharto, para pelaku korupsi besar ‘dibatasi’ kuantitanya, sementara pelaku serabutan tak henti-hentinya ditindak dan dibasmi, antara lain melalui Opstib di bawah Laksamana Soedomo.

Kala itu kelompok politik utama pendukung kekuasaan, tak perlu melakukan improvisasi pencarian dana, karena Dewan Pembina telah memenuhi kebutuhan dana sepenuhnya. Kini, kuantitatif lebih massal dan atau berjamaah. Kualitatif, partai-partai yang mendapat distribusi kekuasaan dan peran dalam pemerintahan, menjadi pusat penghimpunan dana politik, yang dengan sendirinya koruptif. Dan secara menyeluruh, korupsi terjadi di segala lini dan tingkat, dari pusat hingga daerah dalam berbagai bentuk dan improvisasi.

Bagaimana dengan kasus-kasus yang muncul karena pengungkapan-pengungkapan Nazaruddin? Melihat begitu luasnya perambahan kasus-kasus tersebut, yang terjadi di lintas kementerian, dan sejauh ini disebutkan bukan hanya dengan pelaku-pelaku dari kalangan Partai Demokrat, melainkan lintas partai, memang mustahil kalau hanya Nazaruddin sendirian yang melakukannya. Mesti ada kekuasaan dan kekuatan besar berada di belakang mantan bendahara Partai Demokrat itu, sehingga ia bisa begitu perkasa ‘merebut’ proyek-proyek triliunan rupiah.

Sepuluh tahun? Masuk akal. Hanya saja, terlalu lama. Persoalannya dua tiga tahun lagi penyakit korupsi –bukan hanya yang seputar Nazaruddin– akan makin membesar daya rusaknya, akan makin berat dalam 5 tahun dan mungkin dalam 10 tahun sudah berhasil ‘membubarkan’ republik ini. Entah karena bangkrut, entah karena diinterupsi revolusi sosial yang kemungkinan besar kalap, kacau dan anarkis.

Pemberantasan Korupsi: Kisah Jalan Beringsut KPK dan Panglima Pemberantasan Korupsi di Garis Belakang (2)

MESKIPUN KPK telah dibekali melalui undang-undang berbagai kelengkapan yang bisa membuatnya sebagai suatu superbody, hingga sejauh ini lembaga tersebut belum cukup membuktikan diri sebagai pemberantas korupsi nomor wahid. Tubuhnya masih dilekati berbagai penyakit dan sindrom yang secara tradisional diidap oleh lembaga penegakan hukum lainnya, kepolisian maupun kejaksaaan. Masih sulit untuk menghindari kesan bahwa KPK yang sebenarnya menjadi tumpuan harapan terakhir masyarakat per saat ini, juga masih pilih-pilih tebu dalam penanganan perkara korupsi. Keberanian? Sikap pilih-pilih tebu pastilah akibat keberanian yang kurang, bukan terutama terkait sikap ingin cermat. Kalau berani, KPK akan bersikap tidak pandang bulu.

Begitu menghadapi kasus-kasus yang diduga di belakangnya terlibat kelompok-kelompok yang sedang berkuasa –baik karena legitimasi konstitusionalnya maupun karena kekuatan dana– KPK masuk ke jalur lambat dan atau menghindar. Sebut saja, dalam kasus Bank Century, Rekening Gendut Perwira Polri, maupun babak lanjut penanganan tokoh-tokoh Partai Demokrat selain Nazaruddin dan Angelina Sondakh. KPK dalam pada itu tampaknya sungkan ikutan menangani tindak lanjut mafia perpajakan, episode pasca Gayus Tambunan, yang nyata-nyata adalah tergolong tindak pidana korupsi yang tak boleh tidak melibatkan petinggi Kementerian Keuangan dan kalangan pengusaha besar.

LUCKY LUKE, LEBIH CEPAT DARI BAYANGANNYA SENDIRI. “Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri,…..” (download).

Belakangan ini, dalam penanganan lanjut tokoh-tokoh Partai Demokrat, setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, cukup terlihat tanda-tanda kebimbangan KPK. Meski nama Anas Urbaningrum misalnya sudah berulang-ulang disebut, KPK belum ‘bergerak’ meminta keterangan Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai saksi, apalagi menjadikannya tersangka. Apa ini ada hubungannya dengan semacam analisa dari pengamat sosial-politik Tjipta Lesmana bahwa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga adalah Presiden RI, tak mau mengutik-utik Anas Urbaningrum karena Anas bisa menyeret nama SBY dan atau lingkarannya ke dalam kasus? Analisa seperti ini bisa muncul, dan masuk akal, karena setiap mobilisasi dana yang dilakukan kader-kader partai hampir bisa dipastikan adalah bagian tak terpisahkan dari ‘politik dana’ partai itu sendiri. Partai manapun. Tak terkecuali Partai Demokrat yang paling kuat aksesnya kepada aliran dana negara, sebagai partai yang berkuasa. Lalu, pertanyaannya tentu, kenapa sikap KPK harus sejalan dan seirama dengan sang Pembina Partai Demokrat yang sekaligus adalah Presiden?

Dalam persidangan Tipikor dengan terdakwa Nazaruddin, saat Angelina Sondakh ditampilkan sebagai saksi, terungkap beberapa kejanggalan dalam proses BAP oleh penyidik KPK dan menimbulkan tanda tanya. Salah satunya adalah tidak di’kejar’nya oleh penyidik KPK –masih di zaman KPK kepemimpinan Busyro Muqoddas– mengenai (kepemilikan) salah satu Blackberry Angelina Sondakh dan atau salah satu PIN BB Angelina. Padahal, satu di antara bukti penting yang diajukan jaksa KPK dalam kasus Wisma Atlet ini adalah rekaman komunikasi BBM antara Mindo Rosalina dengan Angelina Sondakh. Beberapa nama penting –Anas Urbaningrum, I Wayan Koster, Mirwan Amir, Mahyudin, Menpora dan Angelina Sondakh sendiri– serta gambaran tentang aliran dana ada dalam rekaman komunikasi BBM tersebut. Mungkin rekaman yang dibantah habis oleh Angelina Sondakh, adalah rekaman dari BB yang ‘hilang’ di BAP itu, bukan dalam BB yang menurut Angelina Sondakh baru dimilikinya sejak akhir 2010. Bila bukti rekaman ini bisa dipatahkan, terbuka kemungkinan banyak yang akan selamat dari kasus Wisma Atlet, termasuk Angelina dan Nazaruddin sendiri.

SEMENTARA itu, dalam kaitan kasus Bank Century, terlihat jelas masih berbeda-bedanya sikap dan keyakinan di antara pimpinan KPK yang baru. Dalam rapat kerja dengan Tim Pengawas Kasus Bank Century DPR-RI (15/2), Ketua KPK Abraham Samad memastikan KPK akan menyelesaikan kasus tersebut pada tahun 2012 ini juga. Tapi Wakil Ketua Zulkarnaen, mengingatkan agar jangan menggunakan kata ‘memastikan’ melainkan ‘menjanjikan’. Sedang Busyro Muqoddas menegaskan “belum dapat memastikan” kapan kasus Bank Century bisa dituntaskan. Bambang Widjojanto juga ikut mengakui, sulit dipastikan waktu penyelesaian kasus tersebut. Bambang Widjojanto lebih lanjut mengungkapkan telah memutuskan tidak mengambil suara dalam kasus Bank Century, karena “pernah menjadi penasehat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga berperan dalam kasus Bank Century” (Kompas, 16/2).

Kasus Bank Century merupakan suatu kasus besar yang pengungkapannya sangat diharapkan publik. Dalam kasus itu mengambang cerita belakang layar tentang penyalahgunaan besar-besaran dana negara untuk kepentingan politik dalam kaitan Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden tahun 2009. Setelah ‘terbiasa’ dengan angka-angka perolehan suara kecil dalam berbagai pemilihan masa reformasi, untuk pertama kalinya tercetak kembali satu perolehan angka suara besar yang hampir menyamai angka-angka perolehan kalangan penguasa di masa Orde Baru, yang tembus di atas 60 persen. Angka spektakuler ini diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono dalam Pilpres 2009.

LUCKY LUKE. “…..meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya”. (download)

Aktivis Petisi 50 di masa Soeharto, Chris Siner Keytimu, mengeritik sikap Bambang Widjojanto dalam kasus Bank Century ini. “Saudara Bambang Widjojanto sebagai Wakil Ketua KPK dalam menjalankan tugasnya harus mewakili hati nurani, akal sehat dan kehendak baik”. Aneh, kalau dalam kasus Bank Century ia menyatakan tak ambil suara. Itu berarti, tidak bersikap. “Mengapa tidak mundur sekalian dari KPK?”, kata Chris. Bambang Widjojanto menjawab Chris melalui SMS, “saya setuju nasihat dan kritik yang bernas dan dan cerdas dalam konteks saling asih, asuh dan asah dari siapapun”. Apalagi jika nasehat didasarkan atas pemahaman yang utuh atas pokok soal. “Saya terlibat conflict of interest karena kantor lawyer di mana saya bergabung pernah menjadi legal adviser LPS. Saya sudah deklarasikan potensi conflict of interest itu dalam Rapim dan sebagai konsekuensinya saya tidak bisa vote kendati tetap mendorong proses. Doakan kami agar terus meletakkan hati nurani, akal sehat, dan kehendak baik dalam bersikap dan berperilaku. Tetap professional dan akuntabel serta mencari ridho Allah dalam bekerja”.

Apakah kisah jalan beringsut KPK dalam pemberantasan korupsi ini, memiliki tali temali dengan tokoh Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri dan ‘pemilik’ Partai Demokrat? Suka atau tidak suka, dengan berbagai keterlibatan kader-kader Partai Demokrat dalam berbagai kasus korupsi di daerah hingga tingkat pusat, timbul anggapan kuat bahwa partai tersebut adalah partainya kaum korup. Meskipun, harus diakui, pada dasarnya, seluruh partai yang ada, besar atau kecil, bagaimanapun juga punya keterlibatan dengan korupsi serta berbagai manipulasi keuangan lainnya dalam lumpur money politic. Adakah satu saja di antara sembilan partai yang eksis di DPR saat ini, yang bisa memproklamirkan diri bersih dari korupsi dan manipulasi uang? Bahkan Fraksi ABRI yang sudah almarhum pun tercatat namanya dalam khazanah korupsi dan suap menyuap politik. Setiap partai punya perkara. Barangkali, partai-partai ‘baru’ yang akan tampil di arena pemilihan umum mendatang, cukup dengan mengamati para inisiatornya, sembilan dari sepuluh akan menjalani lakon yang sama. Dengan persyaratan berat yang diterapkan untuk mendirikan partai baru (atau merger) dan untuk bisa menjadi peserta pemilihan umum, diperlukan biaya yang sangat besar. Dari mana sumber dananya?

Dengan keadaannya sekarang, sebagai pembina partai, Susilo Bambang Yudhoyono, seakan tidur satu selimut dengan para kriminal keuangan politik di dalam partainya itu. Padahal, SBY pernah mendaulat akan berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi. Sejauh yang tampak, berdasarkan sikap dan tindakan faktualnya selama ini, tak pernah SBY berada di garis depan. Bayangan pencitraannya boleh saja meloncat ke garis depan pemberantasan korupsi, tapi raganya tertinggal, terperangkap dalam selimut. Sehingga, selalu lebih lambat dari bayangannya sendiri. Tak seperti tokoh komik Lucky Luke, yang bergerak lebih cepat dari bayangannya sendiri, meskipun di waktu senggang ia suka bersantai main catur dengan Jolly Jumper kudanya. Sebagai Presiden memang ia tak boleh mencampuri suatu proses peradilan, tetapi sebagai atasan para penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, ia bisa memacu dan bila perlu melecut aparat di bawah kewenangannya itu untuk menjalankan tugas pemberantasan korupsi.

Apakah untuk fenomena kelambatan dan kisah panglima pemberantasan korupsi yang tertinggal di garis belakang ini, diperlukan analisis dan penelusuran lanjut terhadap apa yang dinyatakan Tjipta Lesmana?

Pemberantasan Korupsi: Kisah Jalan Beringsut KPK dan Panglima Pemberantasan Korupsi di Garis Belakang (1)

MENGAMATI bagaimana KPK menjalankan pemberantasan korupsi, memerlukan kesabaran luar biasa. Melebihi kesabaran saat mengamati seorang anak belajar berjalan. Padahal, kini KPK sudah memasuki tahun ke-9 sejak dibentuk tahun 2003 dengan Ketua pertama Taufiqurrahman yang dilantik 16 Desember tahun itu. Komisi Pemberantasan Korupsi seakan jalan beringsut dalam menangani berbagai perkara korupsi, khususnya belakangan ini dalam penanganan kasus Wisma Atlet dan kasus Cek Pelawat serta juga kasus Bank Century yang banyak menjadi perhatian publik. Sampai berakhirnya masa jabatan KPK periode kedua di bawah Busyro Muqoddas, kasus Wisma Atlet berbulan-bulan lamanya berputar-putar pada Muhammad Nazaruddin, sementara kasus Cek Pelawat berputar-putar di sekitar Nunun Nurbaeti.

Tak heran bila kemudian muncul sangkaan, bahwa kelambanan KPK itu tak terlepas dari adanya tawar menawar dengan kalangan kekuasaan negara dan kekuasaan politik yang punya kepentingan dalam kasus-kasus tersebut. Apalagi, pada saat yang sama, memang bertaburan isu ketidakbersihan sejumlah tokoh KPK, seperti Chandra Hamzah dan beberapa kalangan internal KPK lainnya. Terlebih, KPK tak pernah berhasil memperlihatkan penanganan dan penyelesaian yang meyakinkan atas masalah-masalah internal tersebut, dan selalu berlindung dibalik argumen bahwa memang ada upaya melemahkan KPK. Publik berkepentingan dengan suatu KPK yang kuat, tetapi publik juga sama berkepentingannya dengan suatu KPK yang bersih. Jadi, hendaknya KPK harus selalu bersungguh-sungguh untuk membuktikan kebersihan dirinya dalam konteks keperluan kepercayaan masyarakat, meskipun hal itu akan cukup menguras energi. Tapi energi yang terkuras itu takkan sia-sia.

Kini, di masa kepemimpinan Abraham Samad, bersama Bambang Widjojanto, Adnan Pandupradja, Zulkarnain dan Busyro Muqoddas lagi, setelah masuk ke bulan ke-2, KPK baru menetapkan dua tersangka baru, yakni Miranda Goeltom dalam kasus Cek Pelawat dan Angelina Sondakh dalam kasus Wisma Atlet. Tak secepat yang diharapkan publik. Dan orang bisa menebak, kecuali ada sedikit keajaiban, takkan ada penetapan tersangka dalam jumlah yang cukup dalam waktu dekat, katakanlah dalam sebulan ini. Tangan KPK sampai ke Miranda Goeltom dalam tempo tahunan, sementara Angelina Sondakh sudah disebut-sebut namanya berbulan-bulan. Bagaimana dengan nama-nama lain dalam berbagai kasus seperti Johnny Allen Marbun, serta sejumlah anggota DPR lainnya yang juga disebut dalam kaitan cek pelawat dan lain sebagainya?

SENGAJA atau tidak, KPK telah memilih sikap alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat, dalam gerak pemberantasan korupsi. Padahal, sikap lamban itu belum tentu selamat, bahkan mungkin sebaliknya, bila diamati betapa daya rusak korupsi sudah begitu luas dan berlangsung makin cepat. Memang cukup banyak koruptor sudah ditindaki KPK dalam 7-8 tahun ini, dari mantan bupati, mantan gubernur, hingga mantan menteri maupun anggota dan mantan anggota DPR, tetapi bila kuantita itu dipersandingkan dengan skala waktu yang dibutuhkan menanganinya, indeks keberhasilan tersebut rendah. Secara kualitatif, prestasi KPK sejauh ini juga tak bisa dikatakan memadai, baik karena KPK boleh dikatakan hanya mampu menangani para mantan –yang secara politis sudah jauh berkurang kekuatannya– atau katakanlah anggota DPR aktif dari fraksi partai yang tak terlalu ‘kuat’ lagi (PDIP), maupun karena vonnis-vonnis yang dijatuhkan rata-rata rendah dan ringan saja.

Perlu diteliti lebih jauh, apakah vonnis-vonnis ringan oleh Pengadilan Tipikor itu adalah karena tak terlalu kuatnya pengungkapan KPK mengenai suatu tindak korupsi, atau karena masih lebih kuatnya tekanan eksternal dan tingginya kadar kompromi, atau karena memang perkara-perkara yang berhasil diajukan KPK ke pengadilan memang bukanlah perkara-perkara besar. Kelihatannya, kasus-kasus korupsi besar di lapisan atas kalangan kekuasaan negara dan kekusaan politik, takkan tersentuh untuk sementara maupun selamanya, meskipun baunya seringkali tercium. Mirip ‘angin belakang’ saja.

Mari kita tunggu bersama, apakah kasus Bank Century yang menempatkan Dr Budiono dalam sorotan akan tersentuh juga pada akhirnya? Dalam percakapan politik sehari-hari, disebutkan bahwa struktur persoalan dalam kasus tersebut, dana yang dikucurkan terkait keperluan pembiayaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sehingga suka atau tidak suka Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat pun masuk dalam sorotan. Semua ini telah dibantah. Tetapi selama kasus ini dibiarkan terkatung-katung tanpa penanganan sungguh-sungguh, asumsi negatif tetap akan bertahan. Mari pula menunggu, apakah tangan KPK akan menyentuh kasus-kasus ‘tinggi’ semacam soal ‘rekening gendut perwira Polri’, sorotan keterlibatan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dalam suap dan korupsi dalam jabatan, mafia perpajakan, isu kecurangan finansial dalam berbagai kejahatan manipulasi sekitar pemilihan umum dan sebagainya. Belum lagi, pertanyaan apakah kasus Wisma Atlet akan tuntas sampai ke akar-akarnya selain ke pucuk-pucuknya. Bagaimana kasus Hambalang dan sebagainya seperti yang dilontarkan Muhammad Nazaruddin saat ia merasa akan ditinggalkan dan dikambinghitamkan, yang melibatkan nama-nama penting di kalangan petinggi Demokrat hingga Ketua Umum Anas Urbaningrum?

SABTU 4 Februari kemarin, tatkala melakukan konperensi pers Ketua KPK Abraham Samad dilontari ucapan spontan dari wartawan, untuk jangan hanya janji-janji saja lagi. Dengan cepat Abraham Samad menjawab balik, dan mengejar agar sang wartawan menyebutkan janji-janjinya yang mana. Rupanya, sang Ketua KPK yang tampil sendirian tanpa pimpinan KPK lainnya dalam konperensi pers yang bertele-tele ala infotainment itu, lupa bahwa di awal masa jabatannya ia telah menjanjikan penanganan dan penyelesaian cepat kasus Bank Century dengan taruhan pengunduran diri.

Cara mencicil-cicil yang rupanya dilanjutkan oleh pimpinan KPK baru, dengan menetapkan tersangka satu per satu dalam jangka waktu yang cenderung berlama-lama, memang menimbulkan tanda tanya tersendiri sejak lama, baik pada masa KPK yang lalu maupun di masa pimpinan baru sekarang ini. Padahal dengan pikiran dan analisa yang sederhana saja, minimal berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan para terdakwa kasus Wisma Atlet, mulai dari Wafid Muharram dan Minda Rosalina sampai Muhammad Nazaruddin, sudah bisa ditetapkan terdakwa lebih dari sekedar Angelina Sondakh. Meminjam istilah yang sering digunakan kader-kader Partai Demokrat seperti Ruhut Sitompul atau Sutan Bathugana, sebenarnya semuanya sudah terang benderang. Kalau dalam berbulan-bulan atau tahunan, KPK hanya bisa menangani dan menyelesaikan kasus yang bisa dihitung dengan jari tangan, kapan korupsi bisa diberantas secara signifikan? Percayalah, bila KPK berlama-lama dalam dua tahun ke depan ini, maka KPK takkan pernah berhasil membekuk tokoh-tokoh yang sekarang ini dalam sorotan, karena para tokoh itu justru akan berhasil memperkokoh diri melalui Pemilihan Umum 2014. Dan dalam pada itu, kasus-kasus korupsi baru yang lebih berani akan bertambah jumlahnya dengan pesat. Kecuali KPK memang ingin sekedar menjadi spesialis ahli menangani para mantan yang sudah melemah kekuatannya.

Last but not least, terkait KPK, barangkali memang adalah suatu kenaifan untuk berharap bahwa dari rahim DPR yang sekujur tubuhnya sehari-hari sarat dengan kepentingan khusus dan perilaku korup, bisa dilahirkan bayi sehat KPK hasil pembuahan menggunakan benih bermuatan DNA korup yang berasal dari kalangan kekuasaan. Bagaimanapun KPK lahir sebagai hasil kompromi dari keduanya, dalam sejenis tragi-komedi yang bisa membuat air mata menetes bersamaan dengan gelak tawa. Tentu masih dimungkinkan suatu keajaiban berupa lahirnya satu bayi ajaib. Tetapi hingga sejauh ini, belum ada tanda-tanda bahwa KPK adalah bayi ajaib atau anak usia 8 tahun yang bertumbuh unggul meninggalkan cacat bawaan ayah dan ibunya.

Berlanjut ke Bagian 2

Pemberantasan Korupsi: Last But (Not) Least?

“Apakah yang menghalangi suatu rezim kekuasaan untuk membongkar tuntas kasus-kasus korupsi? Salah satu yang paling lazim adalah terdapatnya tali temali keterkaitan tindakan korupsi itu dengan realita kebutuhan dana politik. Itu jugakah yang sedang terjadi di kalangan kekuasaan pemerintahan dan kekuasan politik Indonesia saat ini?”.

TIGA bulan terakhir dari tahun 2010 terisi dengan awal berkiprahnya tiga pimpinan baru dari tiga institusi penegakan hukum: Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan KPK. Jenderal Timur Pradopo menjadi Kepala Polri menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang memasuki masa pensiun. Basrief Arief SH MH yang sudah pensiun tampil menjadi Jaksa Agung baru seakan sebagai jalan tengah di antara dua kutub keinginan, bahwa Jaksa Agung sebaiknya dari kalangan internal atau sebaliknya, dari kalangan eksternal. Dan Basrief Arief adalah orang luar yang dulu pernah ada di dalam, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Jaksa Agung. Sementara itu, pimpinan KPK dipilih di antara dua selera, Busyro Muqoddas yang mewakili selera manis pedas dan Bambang Widjojanto yang mewakili rasa ekstra pedas. Elite kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik (partai) yang ‘diwakili’ oleh para anggota DPR di Komisi III, rupanya tak tahan terhadap rasa ekstra pedas, lalu memilih Busyro Muqoddas melalui proses dua tahap.

Kehadiran tiga tokoh baru pemimpin institusi penegakan hukum itu, bila diamati bukan mewakili selera ekstra pedas dalam konteks pemberantasan korupsi. Maksimal, selera pedas manis. Ada pedasnya sedikit, tapi lebih dominan rasa manisnya. Namun, bisa juga bertambah pedas jika mengalami proses fermentasi karena dorongan publik dan faktor dorongan kecerdasan, atau sebaliknya menjadi asam melalui suatu proses pembusukan karena tekanan kepentingan kekuasaan.

Ketika menjadi Kapolres Jakarta Barat di tahun 1998, Letnan Kolonel Timur Pradopo, menjadi bagian yang bekerja dengan ‘baik’ dalam ‘skenario’ pemegang hegemoni kekuasaan di musim penuh intrik menjelang kejatuhan Jenderal Soeharto itu. Mereka yang tak pandai-pandai meniti buih –atau sebaliknya terlalu nekad dan salah pilih perpihakan– akan terpuruk. Dalam peristiwa pergulatan politik 1998, Kapolri Dibyo Widodo ‘tersingkir’ dan Kapolda Metro Jaya Hamami Nata terganggu perjalanan karirnya. Timur Pradopo bisa melanjutkan karir.

Sewaktu menjadi Jaksa Tinggi DKI di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman, Basrief Arief tak pernah mendapat komplain dari atasannya itu. Begitu pula dalam perjalanan karir selanjutnya di bawah sejumlah Jaksa Agung, sampai mencapai posisi Wakil Jaksa Agung. Basrief Arief jaksa yang ‘calm’, dan menjadi jaksa yang baik di mata banyak orang. Sesekali mungkin pedas, tetapi bagaimanapun bukan termasuk tipe ekstra pedas. Selain itu, ia memang belum berkesempatan untuk menunjukkan diri, kecerdasan dan tipenya yang sebenarnya. Kesempatan untuk menunjukkan diri agar bisa dinilai, baru terbuka kini. Ketika menjadi Ketua KY, Busyro Muqoddas, memang nyata bertipe manis pedas, dalam kata-kata maupun tindakan. Kendati beberapa kali ia membuat para pimpinan MA kurang nyaman, tapi bagaimanapun juga ia bukan tipe ekstra pedas. Bambang Widjojanto lebih memiliki pembawaan ekstra pedas itu, namun untuk sementara tidak menjadi selera kalangan kekuasaan. Pasukan pemberantas korupsi yang ekstra pedas, dianggap terlalu riskan dan berbahaya bagi jalannya kehidupan politik yang bernuansa biaya tinggi.

Tanpa bermaksud mengecilkan Busyro Muqoddas yang dalam segi tertentu tak kalah baiknya, namun dalam situasi pemberantasan korupsi yang nasibnya kini bagaikan sabut yang terombang-ambing timbul-tenggelam oleh ombak di laut, tokoh ekstra pedas lebih dibutuhkan untuk memimpin lembaga semacam KPK. Lembaga itu membutuhkan zat pemicu setelah spiritnya ‘diluluhlantakkan’ oleh rekayasa tuduhan kasus pembunuhan seperti yang menimpa Antasari Azhar serta kriminalisasi KPK yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.

Last but not least’, atau ‘last and least’? APAKAH kehadiran tiga tokoh utama sebagai ‘muka baru’ –yang semestinya lebih segar dan lebih berstamina sebagai ‘pengelola baru’– dalam pemberantasan korupsi, bisa dijadikan harapan baru? Bila tak ada kejadian luar biasa, bagi Presiden SBY, Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief adalah penunjukan yang terakhir. Sedangkan Busyro Muqoddas yang masa jabatannya hanya sekedar mengisi waktu 1 tahun yang tersisa dari masa jabatan Antasari Azhar, belum tentu menjadi Ketua KPK dalam masa jabatan berikut, meskipun peluangnya tetap ada. Sebagai yang terakhir untuk saat ini, apakah mereka bertiga masuk dalam kategori last but not least? Atau justru berkategori last and least –paling akhir dan paling berkekurangan?

Pengalaman empiris sepanjang lima tahun masa kepresidenan pertama dari Susilo Bambang Yudhoyono ditambah satu tahun masa kepresidenannya yang kedua, menunjukkan bahwa laju pemberantasan korupsi hanya sedikit lebih baik dari masa Megawati berkuasa. Hanya sejenak dalam masa KPK di bawah Antasari Azhar, sempat terkesan akan terjadi gerak pemberantasan korupsi yang lebih spektakuler dan massive, kendati ada kritikan telah digunakannya pola tebang pilih. Namun tak perlu waktu lama sebelum semuanya patah, karena terjadinya ‘rekayasa’ kasus pembunuhan untuk menyeret Antasari dan kriminalisasi KPK yang menyeret Bibit-Chandra.

Kita lalu belajar dari situasi lanjutan di seputar gerakan pemberantasan korupsi dan menarik kesimpulan-kesimpulan.

Aulia Pohan, eks pejabat Bank Indonesia yang kebetulan adalah besan Presiden, berhasil diseret oleh KPK di masa Antasari Azhar sampai akhirnya diadili dan dihukum. Presiden tak turun tangan menyelamatkan sang besan. Itu satu kredit poin bagi SBY. Tapi, Antasari yang berperan ‘no mercy’ seakan mendapat pembalasan. SBY memang tak terlibat dalam pembalasan itu, namun ada cukup banyak orang yang merasa berkepentingan untuk turun tangan ‘menghukum’ sang Ketua KPK dengan menyeretnya ke dalam kasus cinta segi tiga yang berakhir dengan pembunuhan.

Banyak orang yang pernah ‘dekat’ dengan Antasari, entah karena menjadi kolega, entah karena lingkup persentuhan lainnya, berani mengatakan bahwa Antasari bukan tipe lelaki yang suka bermain asmara dengan perempuan lain. Cukup banyak yang tahu betapa ia tak pernah mempan dengan godaan perempuan cantik –maaf bila harus dikatakan, yang kualitasnya jauh di atas Rani. Soal lain, mungkin saja ia bisa ‘nakal’ dan punya cacat, tapi tidak soal perempuan. Rekaman suara percakapan antara Antasari-Rani, tak sedikitpun memberi petunjuk adanya ‘kegenitan’. Jalannya persidangan seperti yang bisa disaksikan publik secara terbuka cukup memperkuat adanya aroma rekayasa, tapi Antasari tetap dihukum, hingga tingkat peradilan yang tertinggi.

Tentu menjadi pertanyaan, bilamana memang kebenaran ada pada Antasari, karena kasusnya adalah kasus rekayasa, kenapa tak seorangpun –khususnya di kalangan tokoh– yang tampil untuk membela, bukan membela Antasari sebagai pribadi, tetapi membela seseorang yang menjadi korban ketidakbenaran. Jawabannya barangkali, karena orang telah letih membela kebenaran, yang bukan saja cenderung sia-sia, tetapi juga malah membahayakan diri sendiri di zaman yang penuh krisis moral seperti sekarang ini. Jawaban lainnya adalah, Antasari itu dianggap oleh sejumlah orang, termasuk bekas-bekas koleganya, menjadi ‘no mercy’, tak memiliki welas asih dan ‘tak solider’ lagi setelah menjadi Ketua KPK. Untuk memahami kenapa ada anggapan seperti itu, sehingga menjadi alasan untuk tidak ‘membela’, kita harus mempelajari aspek kultur kita tentang pengertian ‘setia kawan’ dan ‘kebersamaan’ ataupun ‘mikul dulur mendhem jero’.

Keletihan membela kebenaran di zaman tanpa kepastian, mungkin berlaku umum dalam kehidupan kita masa ini, termasuk bagi mereka yang berada dalam posisi formal sebagai penegak hukum. Bahkan, mungkin saja kebenaran itu sendiri tak lagi dikenali oleh banyak orang, masyarakat biasa maupun mereka yang sedang memangku amanah mengelola negara. Bahwa kebenaran adalah bagian dari sifai keilahian, yang bila dipahami akan menciptakan keadilan. Otak dan dan terutama nurani kita telah tumpul. Sudah terlalu lama kita semua terlarut dalam tata cara membeli segala sesuatunya –berbagai lowongan kerja sampai posisi di pemerintahan, dari lurah, bupati, gubernur hingga menteri dan kursi kepresidenan, kursi lembaga-lembaga perwakilan rakyat, menjadi polisi, hakim, jaksa, tak terkecuali bangku di perguruan tinggi– sehingga kitapun lebih kukuh mempertahankannya. Dalam situasi seperti itu, sifat altruistik, adalah tidak menguntungkan. Melakukan sesuatu nilai tambah di luar panggilan tugas, adalah kebodohan. Bahkan memenuhi panggilan tugas sebagaimana mestinya pada akhirnya pun menjadi tindakan pandir dan tidak ekonomis.

Bukan Susilo Bambang Yudhoyono. Siapa yang mampu merubah itu semua? Seorang pemimpin yang luar biasa. Justru ini merupakan persoalan bagi satu negara bersituasi seperti Indonesia sekarang ini. Bisakah dari satu bangsa yang sedang mengalami krisis nilai, lahir seorang pemimpin yang bernilai tinggi? Bukan kemustahilan menurut hukum paradoxal, tetapi peluangnya mungkin hanya satu dalam seribu. Untuk sementara ini, setelah enam tahun, bukan Susilo Bambang Yudhoyono orangnya, walau pada satu saat pernah terbersit dalam pikiran sejumlah orang dialah jawaban bagi penderitaan Indonesia.

Dalam lingkup KPK, lengkapnya kepemimpinan lembaga itu kini dengan kehadiran Busyro Muqoddas yang bertipe manis pedas, mungkin bisa membuat KPK bangkit dari keterpurukan. Begitu pula dengan kehadiran Basrief Arief bagi Kejaksaan Agung dan jajarannya. Mungkin saja juga demikian dengan kehadiran Timur Pradopo di Polri. Ketiganya bisa memulai dengan nomor satu membenahi internal lembaga masing-masing, untuk pertama-tama menjadi lebih bersih bagi Kejaksaan Agung dan Polri, serta menjadi lebih berani bagi KPK. Lalu melakukan gebrakan yang lebih mengesankan. Tetapi akankah? Merupakan tanda tanya besar.

Sedikit banyak, semua itu sangat bergantung kepada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya dalam komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Sejauh yang bisa terlihat hingga kini, dalam masalah pemberantasan korupsi, pemerintahan SBY masih berada dalam sekedar fase retorika. Tak ada sesuatu yang nyata yang memperlihatkan kuatnya dorongan SBY bagi suatu pemberantasan korupsi, jangankan yang bersifat massive dan spektakuler, untuk tingkat yang biasa saja sejalan dengan makin menghebatnya praktek korupsi dan praktek mafia hukum. Belum ada sesuatu yang berarti. Agaknya akan tetap demikian sampai berakhirnya masa kepresidenan SBY yang kedua. Bila SBY betul-betul concern dengan apa yang selalu diucapkannya terkait dengan pemberantasan korupsi, maka sudah akan terlihat jejak telapak tangannya dalam penindakan kasus-kasus semacam skandal Bank Century, kasus mafia hukum dan mafia pajak, kasus rekening tak wajar para perwira Polri, kasus-kasus gratifikasi dan suap yang melibatkan sejumlah kalangan pendukung politiknya, dan sebagainya.

Apakah yang menghalangi suatu rezim kekuasaan untuk membongkar tuntas kasus-kasus korupsi? Salah satu yang paling lazim adalah terdapatnya tali temali keterkaitan tindakan korupsi itu dengan realita kebutuhan dana politik. Itu jugakah yang sedang terjadi di kalangan kekuasaan pemerintahan dan kekuasan politik Indonesia saat ini?

Saat Presiden Memilih

“Para tokoh dan para jenderal kategori Holland spreken itu lupa bahwa Jenderal Soeharto yang berlatar belakang PETA bukan termasuk yang suka dengan bahasa Belanda. Apalagi ia pernah dicaci Soekarno dengan bahasa Belanda, sebagai seorang yang koppig”.

JURU BICARA Presiden, Julian Aldrin Pasha, pernah menegaskan kepada pers, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tak bisa dipengaruhi siapapun. Semua hubungan bersifat formal. Presiden mendengarkan semua masukan para pembantu formalnya, namun “keputusan tetap berpulang kepada beliau”.  Aldrin Pasha menambahkan, tak ada tokoh informal atau pembisik. Kehadiran para pembisik presiden di lingkungan istana, dengan pengaruh yang signifikan, dulu selalu dikaitkan dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Mengutip sumbernya di Istana, Majalah Tempo (31/10) menulis, hingga kini tak ada orang yang bisa mempengaruhi SBY. Dua orang yang bisa melakukannya: ibu mertua dan isterinya, Nyonya Ani Yudhoyono. “Hanya ‘Ibu suri’ dan ‘permaisuri’ bisa mempengaruhi tapi juga tak mutlak”. Ibu mertua SBY, atau ‘ibu suri’ dalam kutipan ini, adalah isteri almarhum Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, jenderal legendaris dalam peristiwa politik 1965-1966.

Meskipun nama Basrief Arief SH, MH, sempat disebut-sebut juga namanya satu dua hari sebelum Presiden mengumumkan Jaksa Agung baru pilihannya untuk mengganti Hendarman Supandji, tak urung penunjukan itu cukup mengagetkan juga. Sebelum ini banyak orang yang lupa mengingat dan atau menyebut nama Basrief Arief dalam bursa calon, sehingga tetap saja agak di luar dugaan. Jadi seperti halnya dalam surprise penunjukkan  Jenderal Timur Pradopo sebagai Kapolri, sekali lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan kehendaknya yang berbeda. Mungkin ia amat merasa perlu menunjukkan ciri ‘kemauan berbeda’ seperti itu dalam rangka penegakan hak prerogatif sebagai seorang presiden.

Tapi dalam pada itu, ‘keinginan’ yang disampaikannya secara terbuka kepada publik melalui pers, agar Bambang Widjojanto yang baru saja ‘kalah suara’ dari Busyro Muqoddas dalam seleksi dan pemilihan Ketua KPK di DPR, bisa menjadi Ketua Komisi Kejaksaan, tidak terpenuhi. Bambang Widjojanto menolak tawaran itu dengan alasan etika. Namun, penawaran SBY itu sendiri –yang disampaikan dengan cara tak lazim, melalui penyampaian di depan publik tanpa lebih dulu berkomunikasi dengan yang bersangkutan– cukup mengherankan. Kalau Presiden SBY betul-betul menghendaki Bambang Widjojanto untuk jabatan itu, tentu dia akan memilih jalan berkonsultasi lebih dulu dengan yang bersangkutan dan tidak melalui penawaran terbuka. Kesannya bagi banyak pihak, penawaran itu sekedar untuk penciptaan opini dan citra bahwa SBY bersedia menampung tokoh-tokoh kredibel dalam penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi.

PRESIDEN Soeharto, melebihi siapapun di republik ini, adalah tokoh yang amat enggan berbagi hak prerogatifnya. Jangan pernah coba menawar, apalagi menekan halus dan terlebih lagi bila menekan kasar. Sekedar bertanyapun kerapkali tak disukainya untuk dilakukan para ‘bawahan’nya.

Sewaktu masa jabatan Wakil Presiden Adam Malik sudah akan berakhir, yaitu menjelang SU MPR tahun 1983, di bawah permukaan orang mulai bertanya-tanya siapa Wakil Presiden berikut. Adam Malik sendiri konon yakin masih akan menjabat untuk keduakali. Suatu ketika ia bertemu dengan Presiden Soeharto dan menyampaikan bahwa masih banyak program yang masih harus diselesaikannya dalam beberapa bulan sebelum SU MPR, dan apakah Presiden setuju dirinya melanjutkan tugas yang belum selesai itu. Presiden Soeharto konon menjawab singkat, “Pak Adam boleh meneruskan”. Dalam ‘rabaan’ optimis Adam Malik, seperti diceritakannya kepada orang dekatnya, Presiden tidak keberatan ia meneruskan sebagai Wakil Presiden. Tapi bagi Soeharto mungkin, silahkan teruskan sampai selesai…. masa jabatan. Terbukti kemudian memang Adam Malik cukup sekali itu saja.

Dalam ruang dan waktu yang hampir sama, menjelang SU MPR 1983, seperti yang pernah dituturkan Mayjen Ali Moertopo kepada beberapa orang tertentu, sejumlah tokoh, termasuk dirinya, menghadap Presiden Soeharto, untuk sekedar mencari tahu siapa yang berkenan di hati sang Presiden untuk menjadi Wakil Presiden berikutnya. Waktu itu, beberapa nama sudah beredar, termasuk Jenderal Muhammad Jusuf, bekas Menhankam/Pangab yang punya andil dalam ‘penjemputan’ Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal Soeharto. Saat itu ada yang bilang, sekarang giliran tokoh yang berjasa dalam lahirnya Super Semar. Karena waktu itu Jenderal Basoeki Rachmat sudah lebih dulu meninggal, dan Jenderal Amirmahmud dianggap kalah kualitas dari Jenderal Jusuf, maka Jenderal inilah yang berada di urutan atas. Memang ada isu, bahwa Soeharto tak begitu suka terhadap terlalu menonjolnya popularitas Jenderal Jusuf sewaktu menjadi Menhankam/Pangab, tapi bukankah dalam setiap kunjungan ke berbagai pelosok tanah air secara marathon, sang jenderal selalu tak lupa menyampaikan salam Soeharto dan bahwa ia berkeliling menemui para prajurit dan rakyat atas perintah Presiden Soeharto?

Demikianlah para tokoh –yang terdiri dari perwakilan berbagai macam pikiran dan hasrat politik– itu dengan cara sesantun mungkin menanyakan kepada Soeharto, siapa gerangan yang dikehendaki untuk menjadi Wakil Presiden mendatang. Waktu itu, menurut yang ditangkap oleh Ali Moertopo dan yang lain, Soeharto menjawab dalam bahasa Belanda “U maar”. Diterjemahkan oleh para tokoh yang hadir, yang kebetulan adalah generasi 45 yang sehari-hari tetap terbiasa dengan Holland spreken, sebagai “terserah pada tuan-tuan”. Karena ada pengarahan seperti itu, setelah itu para tokoh pun mulai membahas nama-nama yang kiranya pantas menjadi Wakil Presiden. Beberapa nama pun muncul…

Ternyata, pada saat-saat terakhir, Soeharto menyampaikan keinginan agar Jenderal Umar Wirahadikusumah yang menjadi Wakil Presiden dan diproses pada Sidang Umum MPR Maret 1983. Para tokoh cukup terperangah. Rupanya, cerita Ali Moertopo di kemudian hari, setelah tersisih dari sisi Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, “kita semua yang hadir dalam pertemuan dengan pak Harto itu salah sangka”. Presiden Soeharto sudah nyata-nyata menyebut “Umar”, bukan “U maar”. Para tokoh dan para jenderal kategori Holland spreken itu agaknya lupa bahwa Jenderal Soeharto yang berlatar belakang PETA bukan termasuk yang suka dengan bahasa Belanda. Apalagi ia pernah dicaci Soekarno dengan bahasa Belanda, sebagai seorang yang koppig.

KASUS salah orang juga pernah terjadi di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Untuk satu pos menteri Presiden Abdurrahman menginginkan seorang mantan rektor sebuah perguruan tinggi negeri. Kepada staf yang ditugaskan memanggil, ia memerintahkan mengontak “Mantan Rektor Universitas Anu”, tapi lupa lagi namanya. Ternyata, yang dikontak via telepon, salah orang. Bukan mantan rektor yang diinginkan, tetapi orang lain yang juga mantan rektor di universitas yang sama, yang kebetulan adalah rektor sesudah masa jabatan mantan rektor yang dimaksud. Saat pelantikan, barulah Presiden merasa kaget, bahwa yang akan dilantik itu bukan yang dimaksudkannya semula. Tapi, apa boleh buat…. Terpaksa diteruskan saja.