Tag Archives: Chandra M. Hamzah

Makin Sulit Memahami Perilaku Anggota DPR

TEMPOHARI, sewaktu Presiden Abdurrahman Wahid menyebut kelakuan para anggota DPR bagaikan tingkah-laku murid taman kanak-kanak, banyak juga yang menganggap sang Presiden keterlaluan. Tetapi, ternyata dengan berjalannya waktu, sejumlah fakta empiris menunjukkan bahwa memang kerapkali bisa ditemukan beberapa perilaku taman kanak-kanak di antara para anggota lembaga yang semestinya terhormat itu. Perilaku itu bisa ditampilkan baik anggota DPR Balita (yakni yang masa kerjanya di bawah lima tahun) maupun anggota DPR Artalita (yakni yang sudah membawakan ‘asiprasi rakyat’ di atas lima tahun). Dulu, maupun kini.

Entah bagian dari balas dendam, entah apa, nyatanya Abdurrahman Wahid berhasil digebuk jatuh dengan impeachment tahun 2001 yang dimotori terutama oleh para anggota DPR-RI.

Pekan lalu (Jumat, 28 Januari 2011) KPK melakukan penahanan atas 19 anggota DPR-RI periode 1999-2004 sebagai bagian dari 26 tersangka/terdakwa/terhukum dalam kasus suap Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Swaray Goeltom. Secara keseluruhan sebenarnya ada 59 terduga penerima suap sebesar 300-500 juta rupiah hingga 1-2 milyar rupiah per orang. Mayoritas berasal dari PDIP dan Partai Golkar selain PPP, PKB, ex Fraksi Reformasi dan ex Fraksi TNI/Polri. Beberapa nama populer terdapat dalam daftar penahanan, seperti Paskah Suzetta (PG), Panda Nababan (PDIP) dan Engelina Pattiasina (PDIP). Sedang nama yang menjadi populer karena kasus ini adalah Agus Condro Prayitno (PDIP) dan Dudhie Makmun Murod (PDIP) yang mengungkap banyak nama lain yang terlibat dalam kasus ini, sehingga menjadi musuh nomor wahid internal partai dan DPR. Tak kalah penting adalah Nyonya Nunun Nurbaiti Adang Daradjatun yang digambarkan sebagai pembagi dana, namun sejauh ini masih ‘lolos’ karena alasan sakit ‘lupa ingatan’ permanen (mencontoh senjata alasan pak Harto). Dan puncak segala puncak, tentu Miranda Swaray Goeltom sendiri yang sejauh ini belum juga tersentuh dalam jarak dekat karena masih putusnya mata rantai kesaksian, terutama karena ‘sakit lupa ingatan’ Nunun Nurbaiti.

Seakan-akan balas dendam, awal pekan ini (Senin 31 Januari 2011) Komisi III DPR-RI menolak (23 melawan 15 anggota) kehadiran dua pimpinan KPK –Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah– dalam forum Rapat Kerja Komisi III DPR-KPK. Penolakan dilakukan khususnya oleh anggota-anggota yang kawan sefraksinya dan atau separtainya termasuk di antara 19 orang yang ditahan KPK. Adapun Fraksi Partai Demokrat yang anggotanya terlibat kasus-kasus suap/korupsi tetapi belum disentuh dengan keras oleh KPK, tenang-tenang saja. Mungkin lain kali, bila ada di antara mereka yang kena giliran.

Alasan penolakan yang dikemukakan, kedua pimpinan KPK itu masih berstatus tersangka, meskipun kasus tuduhan pemerasan/suap yang dikenakan kepada mereka dideponeering (dikesampingkan) Jaksa Agung. Agaknya para anggota DPR itu memiliki penafsiran sendiri terhadap ketentuan Pasal 35 (c) UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menentukan adanya wewenang Jaksa Agung untuk “Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Bukankah dalam konteks semiotika hukum, ‘mengesampingkan perkara’ adalah berarti mengesampingkan secara menyeluruh, termasuk predikat-predikat yang terkait dengan perkara itu? Ketentuan-ketentuan hukum senantiasa menghindari standar ganda.

Para anggota DPR itu ‘memaksakan’ cita rasa etikanya sendiri, bahwa orang yang berstatus tersangka tidak bisa ikut rapat kerja bersama mereka. Tapi bagaimana dengan tampilnya anggota DPR Panda Nababan (Fraksi PDIP) yang juga berstatus tersangka, dalam forum Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo beberapa hari sebelumnya? Di forum itu sang anggota DPR yang sudah berstatus tersangka dalam kasus suap Miranda Goeltom dan beberapa hari sesudahnya ditahan KPK itu, sempat memberi ‘wejangan-wejangan’ panjang lebar penuh percaya diri kepada sang Kapolri. Standar ganda, atau sekedar kekhilafan bagai peribahasa “kuman di seberang lautan tampat, gajah di pelupuk mata tiada tampak”? Tampil dan hadirnya Panda Nababan hari itu luput dari protes para anggota lain.

Memang, makin sulit memahami perilaku para anggota DPR kita.

Korupsi: Musim Tanpa Akhir (2)

“Bila Jenderal Soeharto dianggap hanya melakukan pertunjukan pura-pura dalam hal pemberantasan korupsi, barangkali Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono bisa dianggap sejauh ini masih berada dalam tahap just talking dan acting. Masih dalam tahap menyatakan niat, namun belum memadai dalam melakukan hal-hal yang perlu untuk mewujudkan apa yang diniatkan itu. Ia masih harus terlebih dulu membuktikan bahwa ia akan sanggup dan akan masuk ke tahap action dalam konteks pemberantasan korupsi”.

KECUALI secara insidental oleh PKI, tudingan korupsi jarang dilontarkan secara terbuka kepada rezim Soekarno yang terus menerus menjalankan revolusi. Rezim Soekarno terlalu kuat untuk dikritik. Tetapi secara internal, khususnya di tubuh Angkatan Darat, Jenderal Abdul Harris Nasution pernah mencoba melancarkan gerakan koreksi terhadap perilaku korupsi, melalui Operasi Budi. Namun, terbentur. Saat AD dipimpin Letnan Jenderal Ahmad Yani, di masa pra Peristiwa 30 September 1965, Jenderal Nasution juga pernah memberi teguran agar para jenderal tidak ikut membiasakan diri untuk bersikap foya-foya, semisal membawa wanita selebriti turut serta dalam kunjungan ke daerah-daerah. Namun teguran-teguran itu hanya menghasilkan ‘ketegangan’ antara Nasution dan Yani.

Kesempatan dalam keleluasaan. Ada yang bilang, korupsi di masa Soekarno, jauh lebih kecil daripada korupsi di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Tentu saja, ini benar sekali. Tetapi lebih kecilnya korupsi itu, bukan karena rezim Soekarno tidak korup, melainkan karena di masa Soekarno sedikit sekali kekayaan negara yang bisa dikorupsi. Ekonomi negara sedang ambruk di tahun 1960-1965, keuangan negara sangat buruk, inflasi mencapai ribuan persen. Pada masa kekuasaan Soeharto perekonomian negara bisa diperbaiki oleh para teknorat, Widjojo Nitisastro cs, yang umumnya lulusan Universitas Berkeley Amerika Serikat. Dimulai dengan booming minyak dan gas bumi, dan topangan bantuan luar negeri, selama dua dasawarsa lebih, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan pesat dan tinggi. Tetapi menurut Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, yang setelah mengakhiri masa ‘pengasingan’nya di luar negeri, selama beberapa tahun ikut dalam pemerintahan Soeharto, anggaran pembangunan negara mengalami kebocoran hingga 30 persen per tahun.

Sebagai tokoh yang pernah menjadi menteri bidang ekonomi, dan mengingat reputasinya sebagai seorang begawan ekonomi, tentu saja Dr Soemitro Djojohadikoesoemo bisa mempertanggungjawabkan ucapannya. Dan memang, publik kala itu sangat percaya. Bukannya tak ada menteri Soeharto yang mencoba menyanggah konstatasi besan Soeharto ini, tetapi tak satu pun dari sanggahan itu yang cukup meyakinkan. Karena, terdapat begitu banyak indikasi menunjukkan bahwa memang telah terjadi kebocoran anggaran pembangunan dalam jumlah yang signifikan. Sejumlah proyek pembangunan nyata-nyata terasa luar biasa mahal karena mark up. Dalam pembelian barang kebutuhan pemerintah, seringkali ditemukan harganya tiga kali lipat dari seharusnya. Sejumlah kapal tanker yang dibeli untuk Pertamina, dianggap kelewat mahal, baik yang dipesan dari galangan kapal luar negeri maupun dari galangan dalam negeri yang untuk sebagian milik sanak keluarga tokoh-tokoh atas Pertamina. Pembelian pesawat tempur juga tak luput dari mark up. Belum lagi berbagai praktek monopoli yang dilakukan melalui kolusi kalangan kekuasaan dengan sejumlah pengusaha yang dekat dengan kalangangan kekuasaan itu. Contoh terakhir yang banyak dipersoalkan menjelang dan sesudah jatuhnya Presiden Soeharto, adalah proyek (kilang minyak) Balongan yang biayanya mengalami mark up dua hingga tiga kali lipat. Pembelian tanah lokasi proyek Balongan maupun peralatannya mengalami mark up habis-habisan. Namun, upaya pengusutan dan penanganan atas kasus itu, tak pernah berhasil dituntaskan karena besarnya hambatan dan resistensi terhadap Kejaksaan Agung yang menanganinya di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid.

Sebagaimana halnya di masa Soekarno, di masa kekuasaan Soeharto pun tak pernah ada penindakan signifikan terhadap berbagai korupsi kalangan atas. Tetapi terhadap kalangan bawah yang melakukan korupsi, tindakan rezim bisa sangat keras, dan untuk itu ada Opstib (Operasi Tertib) yang diintrodusir Kaskopkamtib Laksamana Laut Soedomo. Spesialisasi Opstib adalah menangani apa yang disebut pungli (pungutan liar) di jalan-jalan raya dan di pos-pos jembatan timbang yang dilakukan petugas-petugas kepolisian dan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) kalangan bawah. Atau pungutan-pungutan lainnya yang dilakukan pegawai pemerintah kelas ‘bawah’ di kantor-kantor pelayanan publik untuk pengurusan KTP, SIM, Paspor sampai Sertifikat Tanah dan surat-surat perizinan lainnya. Penindakan-penindakan di area pinggiran kekuasaan itu sekaligus berfungsi menahan laju penyimpangan (korupsi) massal atau secara berjamaah oleh para pelaku kecil-kecilan, agar secara akumulatif tidak menjadi massive sehingga mengurangi porsi bagi yang di atas. Itupun tidak selalu dijalankan secara konsisten, tetapi sekedar musiman manakala diperlukan pencitraan bahwa pemerintah melakukan penertiban.

Permainan di dunia perbankan hanya boleh dilakukan oleh sejumlah elite ekonomi dan dunia usaha tertentu yang punya kedekatan khusus dan kepentingan bersama dengan kalangan kekuasaan. Mobilisasi dana di sini kerapkali nyaris tak terbatas. Sementara itu sejumlah dana dalam jumlah yang telah ditakar juga dialirkan melalui kredit-kredit usaha kecil dan kredit pertanian, serta kredit candak kulak untuk pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional, untuk kamuflase politik dan mencegah kecemburuan secara vertikal. Kebanyakan dari kredit ke golongan bawah ini mengalami kesulitan pengembalian. Pemerintah tidak betul-betul berusaha mengupayakan pengembalian, melainkan dikeluhkan secukupnya saja untuk memperlihatkan betapa kalangan akar rumput yang telah di’tolong’ dengan berbagai cara itu umumnya tak tahu diri. Jadi, jangan banyak mengeluh lagi. Penguasa telah menyiapkan dana itu sebagai sesuatu yang potential loss yang oleh beberapa kalangan kritis dianggap sebagai tak lain daripada tindakan ‘penyuapan’ oleh penguasa kepada ‘rakyat’nya sendiri, agar permainan tingkat atas dengan kualitas dan kuantitas lebih tinggi bisa berjalan aman. Untuk itu semua, 30 persen anggaran pembangunan disiapkan sebagai sajian dalam ritual korupsi yang menjadi tradisi tak kurang dari 20 tahun lamanya.

Bahwa selama berlangsungnya kenakalan besar itu terselip kenakalan-kenakalan kecil, tentu saja tak bisa selalu dihindarkan. Katakanlah kenakalan dalam kenakalan. Kenakalan-kenakalan kecil yang menjadi permainan sendiri-sendiri ini, pasti ditindak keras. Kenakalan Budiadji di lingkungan Bulog atau kenakalan Haji Taher di lingkungan Pertamina misalnya, ‘terpaksa’ ditindaki. Tetapi kenakalan-kenakalan besarnya yang lebih massive diselesaikan ‘secara adat’. Pencurian ‘kecil’ oleh Dicky Iskandardinata terhadap Bank Duta (Ekonomi) yang adalah milik kalangan kekuasaan, tidak dibiarkan. Diberantas. Eddy Tanzil yang membobol dana 1,1 triliun rupiah untuk proyek industri fiktif, di’skenario’kan untuk kabur dari LP Cipinang dan ‘hilang’ hingga sekarang (yang menurut beberapa rumor mungkin sudah tewas?) sehingga tertutupilah keterlibatan perwira tinggi dan beberapa tokoh tinggi lainnya di dalam kasus itu.

Selain Opstib, rezim Soeharto juga telah mengintrodusir berbagai lembaga atau institusi pemberantasan korupsi. Ada Komisi 4 yang beranggotakan tokoh-tokoh tua antara lain Mohammad Hatta dan Wilopo, yang karena didesain tanpa taring, hanya menjadi macan ompong. Ada TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) di bawah Jaksa Agung Sugih Arto dan kemudian ada tim pemberantasan penyelundupan di bawah Jaksa Agung Ali Said. TPK tak pernah menunjukkan pencapaian yang signifikan, tak ada yang bisa diceritakan. Tim pemberantasan penyelundupan lebih banyak menangkapi ‘pengusaha-pengusaha tekstil’ turunan India, tetapi sejumlah informasi menyebutkan mereka hanya menjadi sapi perahan untuk memperkaya petugas/pejabat tertentu. Pada waktu yang tak berbeda jauh, sejumlah kalangan atas kekuasaan disebutkan namanya dalam memasukkan mobil mewah tanpa bea masuk lewat gerbang-gerbang resmi, antara lain Pangkalan TNI-AU Halim Perdana Kusumah. Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso menangkap pelaku, Robby Tjahjadi. Tapi sang Kapolri tidak bisa merambah lebih jauh ke atas, ke istana misalnya. Ironisnya, sejumlah nama perwira yang dekat dengan Hoegeng kemudian disebut-sebut namanya dalam perusahaan perdagangan helm untuk memanfaatkan kebijakan peraturan keharusan menggunakan helm bagi para pengendara sepeda motor. Kapolri Hoegeng berakhir karirnya di kepolisian tak lama kemudian.

Sepanjang mengenai pemberantasan korupsi di masa kekuasaan Soeharto, adalah tepat anggapan bahwa semua pemberantasan korupsi itu hanyalah suatu pertunjukan pura-pura. Pasca Soeharto, tampaknya situasinya sama saja. Hanya pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid sedikit ada geliat upaya pemberantasan korupsi yang ditandai intensitas penanganan berbagai kasus korupsi masa Soeharto oleh Kejaksaan Agung. Tetapi kandas, dan bersamaan dengan itu Jaksa Agungnya, Marzuki Darusman, sekalian lepas dari jabatannya, diganti oleh tokoh yang tak kalah menjanjikan, Baharuddin Lopa. Namun sayang, ia belum sempat membuktikan apa-apa, sudah dipanggil oleh Yang Di Atas. Kejaksaan Agung masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri, adalah masa senyap dalam pemberantasan korupsi. Peranan lebih ditunjukkan oleh KPKPN (Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara), Namun ketika KPKPN mulai terlalu aktif mengungkap angka-angka kekayaan pejabat dan anggota DPR yang sebagai angka mulai tidak wajar, KPKPN ramai-ramai dikuburkan. Penguburannya sulit ditolak karena dengan cerdik ia dimasukkan ke dalam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dibentuk berdasarkan suatu keputusan politik di DPR pada masa akhir kepresidenan Megawati.

Sejarah dan nasib buruk KPKPN seakan berulang terhadap KPK. Ketika lembaga dengan wewenang ekstra ini lebih menunjukkan eksistensinya, khususnya di masa Antasari Azhar dan kawan-kawan, ia tiba-tiba seakan menjadi ‘musuh bersama’ dan mengalami penganiayaan ramai-ramai seperti yang disaksikan beberapa tahun terakhir ini. KPK dianggap telah mengganggu berbagai kesempatan emas dalam keleluasaan kekuasaan masa ini.

Menjadi musim tanpa akhir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang seperti halnya Presiden Soeharto lebih dari satu kali menjanjikan untuk memimpin sendiri gerakan pemberantasan korupsi, sejauh ini juga belum berhasil menangani pemberantasan korupsi dengan baik. Para pengikutnya lebih banyak mengklaim keberhasilan berdasarkan apa yang dicapai oleh KPK dalam menangani beberapa kasus. Tetapi KPK itu sendiri, betapa pun menjanjikan dan menjadi bagian dari harapan publik yang tinggi, hingga sejauh ini juga belum pernah berhasil membuktikan adanya pemberantasan korupsi yang betul-betul signifikan. Sejumlah kasus yang bisa menjadi sesuatu peristiwa yang monumental bila berhasil ditangani, tampaknya tak sanggup disentuh KPK. Kasus-kasus yang ditangani KPK saat ini, tak terlalu salah bila masih dinilai sebagai penanganan tebang pilih, yaitu penanganan kasus-kasus populer dan menarik perhatian publik namun belum yang berkategori esensial dalam konteks menghadapi korupsi sistematis oleh kalangan kekuasaan politik dan kekuasaan pemerintahan. Menyentuh pucuk-pucuk namun masih jauh dari akar pohon korupsi.

Bila Jenderal Soeharto dianggap hanya melakukan pertunjukan pura-pura dalam hal pemberantasan korupsi, barangkali Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono bisa dianggap sejauh ini masih berada dalam tahap just talking dan acting. Masih dalam tahap menyatakan niat, namun belum memadai dalam melakukan hal-hal yang perlu untuk mewujudkan apa yang diniatkan itu. Ia masih harus terlebih dulu membuktikan bahwa ia akan sanggup dan akan masuk ke tahap action dalam konteks pemberantasan korupsi. Misalnya, mulai mendorong proses penanganan nyata terhadap apa yang disorot publik belakangan ini seperti: Kasus Bank Century dan kaitannya dengan money politics, mafia hukum, rekening-rekening pejabat yang tak wajar, mafia pajak secara keseluruhan, membongkar apa dibalik kriminalisasi KPK yang menimpa Antasari Azhar, Bibit Samad Riyanto, Chandra M. Hamzah dan seterusnya. Akankah ia sanggup? Peluangnya 1 banding 10. Dan 9 dari 10 ia takkan menjadi tokoh pemimpin yang bisa menahan ‘musim korupsi’ agar tidak melanjut sebagai ‘musim tanpa akhir’.

Pemberantasan Korupsi: Last But (Not) Least?

“Apakah yang menghalangi suatu rezim kekuasaan untuk membongkar tuntas kasus-kasus korupsi? Salah satu yang paling lazim adalah terdapatnya tali temali keterkaitan tindakan korupsi itu dengan realita kebutuhan dana politik. Itu jugakah yang sedang terjadi di kalangan kekuasaan pemerintahan dan kekuasan politik Indonesia saat ini?”.

TIGA bulan terakhir dari tahun 2010 terisi dengan awal berkiprahnya tiga pimpinan baru dari tiga institusi penegakan hukum: Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan KPK. Jenderal Timur Pradopo menjadi Kepala Polri menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang memasuki masa pensiun. Basrief Arief SH MH yang sudah pensiun tampil menjadi Jaksa Agung baru seakan sebagai jalan tengah di antara dua kutub keinginan, bahwa Jaksa Agung sebaiknya dari kalangan internal atau sebaliknya, dari kalangan eksternal. Dan Basrief Arief adalah orang luar yang dulu pernah ada di dalam, dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Jaksa Agung. Sementara itu, pimpinan KPK dipilih di antara dua selera, Busyro Muqoddas yang mewakili selera manis pedas dan Bambang Widjojanto yang mewakili rasa ekstra pedas. Elite kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik (partai) yang ‘diwakili’ oleh para anggota DPR di Komisi III, rupanya tak tahan terhadap rasa ekstra pedas, lalu memilih Busyro Muqoddas melalui proses dua tahap.

Kehadiran tiga tokoh baru pemimpin institusi penegakan hukum itu, bila diamati bukan mewakili selera ekstra pedas dalam konteks pemberantasan korupsi. Maksimal, selera pedas manis. Ada pedasnya sedikit, tapi lebih dominan rasa manisnya. Namun, bisa juga bertambah pedas jika mengalami proses fermentasi karena dorongan publik dan faktor dorongan kecerdasan, atau sebaliknya menjadi asam melalui suatu proses pembusukan karena tekanan kepentingan kekuasaan.

Ketika menjadi Kapolres Jakarta Barat di tahun 1998, Letnan Kolonel Timur Pradopo, menjadi bagian yang bekerja dengan ‘baik’ dalam ‘skenario’ pemegang hegemoni kekuasaan di musim penuh intrik menjelang kejatuhan Jenderal Soeharto itu. Mereka yang tak pandai-pandai meniti buih –atau sebaliknya terlalu nekad dan salah pilih perpihakan– akan terpuruk. Dalam peristiwa pergulatan politik 1998, Kapolri Dibyo Widodo ‘tersingkir’ dan Kapolda Metro Jaya Hamami Nata terganggu perjalanan karirnya. Timur Pradopo bisa melanjutkan karir.

Sewaktu menjadi Jaksa Tinggi DKI di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman, Basrief Arief tak pernah mendapat komplain dari atasannya itu. Begitu pula dalam perjalanan karir selanjutnya di bawah sejumlah Jaksa Agung, sampai mencapai posisi Wakil Jaksa Agung. Basrief Arief jaksa yang ‘calm’, dan menjadi jaksa yang baik di mata banyak orang. Sesekali mungkin pedas, tetapi bagaimanapun bukan termasuk tipe ekstra pedas. Selain itu, ia memang belum berkesempatan untuk menunjukkan diri, kecerdasan dan tipenya yang sebenarnya. Kesempatan untuk menunjukkan diri agar bisa dinilai, baru terbuka kini. Ketika menjadi Ketua KY, Busyro Muqoddas, memang nyata bertipe manis pedas, dalam kata-kata maupun tindakan. Kendati beberapa kali ia membuat para pimpinan MA kurang nyaman, tapi bagaimanapun juga ia bukan tipe ekstra pedas. Bambang Widjojanto lebih memiliki pembawaan ekstra pedas itu, namun untuk sementara tidak menjadi selera kalangan kekuasaan. Pasukan pemberantas korupsi yang ekstra pedas, dianggap terlalu riskan dan berbahaya bagi jalannya kehidupan politik yang bernuansa biaya tinggi.

Tanpa bermaksud mengecilkan Busyro Muqoddas yang dalam segi tertentu tak kalah baiknya, namun dalam situasi pemberantasan korupsi yang nasibnya kini bagaikan sabut yang terombang-ambing timbul-tenggelam oleh ombak di laut, tokoh ekstra pedas lebih dibutuhkan untuk memimpin lembaga semacam KPK. Lembaga itu membutuhkan zat pemicu setelah spiritnya ‘diluluhlantakkan’ oleh rekayasa tuduhan kasus pembunuhan seperti yang menimpa Antasari Azhar serta kriminalisasi KPK yang menimpa Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.

Last but not least’, atau ‘last and least’? APAKAH kehadiran tiga tokoh utama sebagai ‘muka baru’ –yang semestinya lebih segar dan lebih berstamina sebagai ‘pengelola baru’– dalam pemberantasan korupsi, bisa dijadikan harapan baru? Bila tak ada kejadian luar biasa, bagi Presiden SBY, Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief adalah penunjukan yang terakhir. Sedangkan Busyro Muqoddas yang masa jabatannya hanya sekedar mengisi waktu 1 tahun yang tersisa dari masa jabatan Antasari Azhar, belum tentu menjadi Ketua KPK dalam masa jabatan berikut, meskipun peluangnya tetap ada. Sebagai yang terakhir untuk saat ini, apakah mereka bertiga masuk dalam kategori last but not least? Atau justru berkategori last and least –paling akhir dan paling berkekurangan?

Pengalaman empiris sepanjang lima tahun masa kepresidenan pertama dari Susilo Bambang Yudhoyono ditambah satu tahun masa kepresidenannya yang kedua, menunjukkan bahwa laju pemberantasan korupsi hanya sedikit lebih baik dari masa Megawati berkuasa. Hanya sejenak dalam masa KPK di bawah Antasari Azhar, sempat terkesan akan terjadi gerak pemberantasan korupsi yang lebih spektakuler dan massive, kendati ada kritikan telah digunakannya pola tebang pilih. Namun tak perlu waktu lama sebelum semuanya patah, karena terjadinya ‘rekayasa’ kasus pembunuhan untuk menyeret Antasari dan kriminalisasi KPK yang menyeret Bibit-Chandra.

Kita lalu belajar dari situasi lanjutan di seputar gerakan pemberantasan korupsi dan menarik kesimpulan-kesimpulan.

Aulia Pohan, eks pejabat Bank Indonesia yang kebetulan adalah besan Presiden, berhasil diseret oleh KPK di masa Antasari Azhar sampai akhirnya diadili dan dihukum. Presiden tak turun tangan menyelamatkan sang besan. Itu satu kredit poin bagi SBY. Tapi, Antasari yang berperan ‘no mercy’ seakan mendapat pembalasan. SBY memang tak terlibat dalam pembalasan itu, namun ada cukup banyak orang yang merasa berkepentingan untuk turun tangan ‘menghukum’ sang Ketua KPK dengan menyeretnya ke dalam kasus cinta segi tiga yang berakhir dengan pembunuhan.

Banyak orang yang pernah ‘dekat’ dengan Antasari, entah karena menjadi kolega, entah karena lingkup persentuhan lainnya, berani mengatakan bahwa Antasari bukan tipe lelaki yang suka bermain asmara dengan perempuan lain. Cukup banyak yang tahu betapa ia tak pernah mempan dengan godaan perempuan cantik –maaf bila harus dikatakan, yang kualitasnya jauh di atas Rani. Soal lain, mungkin saja ia bisa ‘nakal’ dan punya cacat, tapi tidak soal perempuan. Rekaman suara percakapan antara Antasari-Rani, tak sedikitpun memberi petunjuk adanya ‘kegenitan’. Jalannya persidangan seperti yang bisa disaksikan publik secara terbuka cukup memperkuat adanya aroma rekayasa, tapi Antasari tetap dihukum, hingga tingkat peradilan yang tertinggi.

Tentu menjadi pertanyaan, bilamana memang kebenaran ada pada Antasari, karena kasusnya adalah kasus rekayasa, kenapa tak seorangpun –khususnya di kalangan tokoh– yang tampil untuk membela, bukan membela Antasari sebagai pribadi, tetapi membela seseorang yang menjadi korban ketidakbenaran. Jawabannya barangkali, karena orang telah letih membela kebenaran, yang bukan saja cenderung sia-sia, tetapi juga malah membahayakan diri sendiri di zaman yang penuh krisis moral seperti sekarang ini. Jawaban lainnya adalah, Antasari itu dianggap oleh sejumlah orang, termasuk bekas-bekas koleganya, menjadi ‘no mercy’, tak memiliki welas asih dan ‘tak solider’ lagi setelah menjadi Ketua KPK. Untuk memahami kenapa ada anggapan seperti itu, sehingga menjadi alasan untuk tidak ‘membela’, kita harus mempelajari aspek kultur kita tentang pengertian ‘setia kawan’ dan ‘kebersamaan’ ataupun ‘mikul dulur mendhem jero’.

Keletihan membela kebenaran di zaman tanpa kepastian, mungkin berlaku umum dalam kehidupan kita masa ini, termasuk bagi mereka yang berada dalam posisi formal sebagai penegak hukum. Bahkan, mungkin saja kebenaran itu sendiri tak lagi dikenali oleh banyak orang, masyarakat biasa maupun mereka yang sedang memangku amanah mengelola negara. Bahwa kebenaran adalah bagian dari sifai keilahian, yang bila dipahami akan menciptakan keadilan. Otak dan dan terutama nurani kita telah tumpul. Sudah terlalu lama kita semua terlarut dalam tata cara membeli segala sesuatunya –berbagai lowongan kerja sampai posisi di pemerintahan, dari lurah, bupati, gubernur hingga menteri dan kursi kepresidenan, kursi lembaga-lembaga perwakilan rakyat, menjadi polisi, hakim, jaksa, tak terkecuali bangku di perguruan tinggi– sehingga kitapun lebih kukuh mempertahankannya. Dalam situasi seperti itu, sifat altruistik, adalah tidak menguntungkan. Melakukan sesuatu nilai tambah di luar panggilan tugas, adalah kebodohan. Bahkan memenuhi panggilan tugas sebagaimana mestinya pada akhirnya pun menjadi tindakan pandir dan tidak ekonomis.

Bukan Susilo Bambang Yudhoyono. Siapa yang mampu merubah itu semua? Seorang pemimpin yang luar biasa. Justru ini merupakan persoalan bagi satu negara bersituasi seperti Indonesia sekarang ini. Bisakah dari satu bangsa yang sedang mengalami krisis nilai, lahir seorang pemimpin yang bernilai tinggi? Bukan kemustahilan menurut hukum paradoxal, tetapi peluangnya mungkin hanya satu dalam seribu. Untuk sementara ini, setelah enam tahun, bukan Susilo Bambang Yudhoyono orangnya, walau pada satu saat pernah terbersit dalam pikiran sejumlah orang dialah jawaban bagi penderitaan Indonesia.

Dalam lingkup KPK, lengkapnya kepemimpinan lembaga itu kini dengan kehadiran Busyro Muqoddas yang bertipe manis pedas, mungkin bisa membuat KPK bangkit dari keterpurukan. Begitu pula dengan kehadiran Basrief Arief bagi Kejaksaan Agung dan jajarannya. Mungkin saja juga demikian dengan kehadiran Timur Pradopo di Polri. Ketiganya bisa memulai dengan nomor satu membenahi internal lembaga masing-masing, untuk pertama-tama menjadi lebih bersih bagi Kejaksaan Agung dan Polri, serta menjadi lebih berani bagi KPK. Lalu melakukan gebrakan yang lebih mengesankan. Tetapi akankah? Merupakan tanda tanya besar.

Sedikit banyak, semua itu sangat bergantung kepada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya dalam komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Sejauh yang bisa terlihat hingga kini, dalam masalah pemberantasan korupsi, pemerintahan SBY masih berada dalam sekedar fase retorika. Tak ada sesuatu yang nyata yang memperlihatkan kuatnya dorongan SBY bagi suatu pemberantasan korupsi, jangankan yang bersifat massive dan spektakuler, untuk tingkat yang biasa saja sejalan dengan makin menghebatnya praktek korupsi dan praktek mafia hukum. Belum ada sesuatu yang berarti. Agaknya akan tetap demikian sampai berakhirnya masa kepresidenan SBY yang kedua. Bila SBY betul-betul concern dengan apa yang selalu diucapkannya terkait dengan pemberantasan korupsi, maka sudah akan terlihat jejak telapak tangannya dalam penindakan kasus-kasus semacam skandal Bank Century, kasus mafia hukum dan mafia pajak, kasus rekening tak wajar para perwira Polri, kasus-kasus gratifikasi dan suap yang melibatkan sejumlah kalangan pendukung politiknya, dan sebagainya.

Apakah yang menghalangi suatu rezim kekuasaan untuk membongkar tuntas kasus-kasus korupsi? Salah satu yang paling lazim adalah terdapatnya tali temali keterkaitan tindakan korupsi itu dengan realita kebutuhan dana politik. Itu jugakah yang sedang terjadi di kalangan kekuasaan pemerintahan dan kekuasan politik Indonesia saat ini?

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (4)

“Pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto”. “Suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang cukup fantastis”. “Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune”.

SEMESTINYA, dengan memiliki angka kemenangan mutlak satu putaran sebesar 60,8 persen –berdasarkan perolehan 73.874.105 suara pemilih– Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kepresidenannya yang kedua tak perlu lagi memelihara sikap serba ragu menjalankan kebijakan-kebijakannya selaku Presiden dalam suatu sistem presidensial penuh. Kenyataannya, sejak awal SBY seakan lebih larut dalam pola permainan politik parlementer yang berhasil diciptakan partai-partai di parlemen. Apakah karena partai pendukung utamanya, Partai Demokrat, yang kendati melonjak tiga kali perolehan suaranya dalam pemilihan umum legislatif 2009, dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen, tetap saja tidak bisa membentuk mayoritas kerja di DPR? Apalagi sebelum memasuki Pilpres 2009, SBY sudah melakukan kompromi-kompromi dengan sejumlah partai politik Islam demi mewujudkan obsesi menang satu putaran.

Mungkin juga, obsesi itu tercampur aduk dengan rasa takut kalah bila ‘koalisi’ yang terbentuk memusat di sekitar Megawati/PDIP atau Jusuf Kalla/Partai Golkar, ditambah kehadiran dua tokoh yang juga berlatarbelakang militer, Prabowo Subianto dan Wiranto. Tetapi SBY diuntungkan oleh situasi, seperti kuatnya subjektivitas 4 tokoh pesaing, khususnya Megawati Soekarnoputeri dan Muhammad Jusuf Kalla. Bagaimana kalau dua tokoh itu tampil sebagai pasangan Capres-Cawapres dan bersamaan dengan itu kedua tokoh berlatar belakang militer tersebut bergabung dengan membuang sementara keinginan menjadi tokoh nomor dua apalagi tokoh nomor satu, mengingat rekam jejak masa lampau mereka yang bermasalah, dan mencukupkan diri dengan menduduki posisi penting di kabinet?  Selain itu bukankah mereka semua pada hakekatnya banyak memiliki dasar-dasar tujuan dan ‘ideologi’ yang hampir serupa?

Di atas kertas, bila semua partai politik dengan pengatasnamaan Islam, memiliki karakter yang kuat sepadan dengan ideal-ideal yang mereka canangkan selama ini, ‘koalisi’ yang tercipta dengan Partai Demokrat, sebenarnya jauh lebih musykil. Tetapi, sekali lagi SBY diuntungkan, karena pragmatisme demi porsi kekuasaan sedang kuat-kuatnya melanda elite partai-partai tersebut. Bagaimana kita bisa membayangkan sebelumnya, PKS yang tadinya dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid dengan satu citra keteguhan yang spesifik, bisa tiba-tiba berubah sedemikian lentur di bawah Tiffatul Sembiring. Bagaimana bisa membayangkan elite baru PKB Muhaimin Iskandar cs harus menyingkirkan Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh senior lainnya sebelum bisa leluasa menjadi sangat pragmatis demi sejumlah positioning pribadi. Dan bagaimana pula bisa membayangkan PAN yang identik dengan citra playmaker ala Amien Rais, kini sekedar menjadi salah satu tulang punggung pelayanan politik penguasa baru?

Apa yang sesungguhnya dikuatirkan? Namun, terlepas dari semua yang dipaparkan di atas, tetap menjadi tanda tanya besar, kenapa sebagai pemegang mandat dari 60 persen lebih suara rakyat, SBY senantiasa memperlihatkan sejumlah perilaku terkesan gentar terhadap berbagai hal dan berbagai pihak. SBY tak hanya lemah terhadap partai-partai ‘koalisi’ pendukungnya –termasuk Partai Golkar yang menjadi anggota setelah Pemilu Pilpres– tetapi juga kepada pimpinan-pimpinan sejumlah institusi yang bekerja di bawah kewenangannya. Bisa disebut dua contoh, seperti yang terkesan kuat di mata publik, yakni terhadap Jaksa Agung dan terutama Kepala Polri.

Ketika kedua tokoh penegakan hukum itu dan institusinya ramai dikecam karena dianggap melakukan penyimpangan tugas, SBY cenderung tak berbuat satu apapun, menindaki atau setidaknya menegur, melainkan beberapa kali justru ikut ‘mengeluh’ seperti layaknya anggota masyarakat biasa. Pengungkapan tentang adanya mafia hukum di tubuh Polri –dan demikian pula di Kejaksaan Agung– melalui cetusan whistle blower Susno Duadji dibiarkan ‘berjalan’ sendiri sebagai masalah internal Polri dan tidak dicermati kemungkinan bahwa cetusan itu mengandung kebenaran tentang kebobrokan di tubuh Polri. Bahwa mungkin saja Susno benar adalah ‘maling teriak maling’, tetapi yang diteriaki sebagai maling kan perlu juga ditelusuri? Karena yang berteriak adalah seorang jenderal polisi mengenai sejumlah jenderal polisi lainnya, jangan dibiarkan polisi juga yang memeriksanya. Mana mungkin ada hasilnya selain pengaburan masalah? Dan mana dorongan dari Presiden sebagai atasan para jenderal itu, agar ada pengusutan tuntas dan cepat sebelum terjadi hapus-menghapus jejak? Tidak ada. Satu lagi momentum untuk membersihkan Polri yang sudah tidak dipercayai mayoritas masyarakat, dengan demikian terlewatkan.

Soal rekening ‘gendut’ perwira Polri, juga terlewatkan begitu saja melalui suatu proses internal. Tidak mengherankan bahwa pada akhirnya muncul kesimpulan-kesimpulan yang sukses menunjukkan bahwa tak ada yang tidak beres dalam persoalan rekening para perwira itu. Ini juga mengingatkan kita kembali pada kasus beberapa tahun lalu tentang rekening fantastis seorang jenderal polisi yang nilainya satu triliun rupiah lebih, yang pada akhirnya juga tenggelam begitu saja. Persoalan yang sama, juga terjadi di lingkungan Kejaksaan Agung. Betul dan mungkinkah dalam kasus Arthalita Suryani dan jaksa Urip, permainan hanya melibatkan kedua orang itu sebagai duet? Mana orkestra lengkapnya dan mana dirigennya? Apakah begitu cintanya Arthalita kepada Syamsu Nursalim sehingga menggunakan uangnya sendiri untuk menyuap dalam rangka penyelamatan sang konglomerat? Padahal dalam momen yang sama terjadi dua peristiwa: Ada yang menyuap seorang jaksa, dan ada satu tim jaksa yang memutuskan suatu keputusan yang seakan ‘menghapus’ dosa kejahatan keuangan Syamsu Nursalim.

Dalam kasus kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Samad Bibit Riyanto dan Chandra M. Hamzah, Presiden menggunakan Tim 8 untuk maju ke depan, lalu pada akhirnya sekedar ‘menghimbau’ agar Polri dan Kejaksaan Agung memperhatikan rekomendasi tim tersebut. Tidak mengherankan bila Tim 8 Adnan Buyung Nasution cs harus seakan melampaui panggilan tugasnya ‘bersitegang urat leher’ dengan Polri dan Kejagung, karena begitu samar-samarnya apa yang menjadi kehendak Presiden SBY yang sebenarnya dalam penyelesaian masalah. Hanya satu pesan yang bisa ditangkap, bahwa Presiden lebih suka bila kasus kriminalisasi KPK itu diselesaikan di luar jalur pengadilan, namun disertai embel-embel perangkai bahwa dengan itu bukan berarti Presiden ingin melakukan intervensi. Polri dan Kejagung menang dalam berpacu dengan waktu, sehingga kasus tersebut ‘berhasil’ di-P21-kan. Ibarat ikan yang sudah dicemplungkan ke panci penggorengan, pilihannya hanyalah digoreng cukup setengah matang seadanya atau digoreng garing sekalian sampai selesai. Kejaksaan Agung memilih jalan ‘setengah’, ikan yang sudah setengah garing diangkat dari panci dan dinyatakan penggorengan tidak dilanjutkan. Dikeluarkan SKPP dengan mencantum alasan tak lazim yaitu menambahkan alasan penghentian karena pertimbangan sosiologis, yang mudah untuk ditorpedo. Nyatanya, SKPP itu di pra-peradilankan dan ‘dikalahkan’ di Pengadilan. Ikannya dengan demikian, pindah ke panci penggorengan lain. Kini kasus itu baru mendekati tahap akhir dari suatu perjalanan hukum yang panjang, menanti hasil proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

Para jurubicara dan staf khusus Presiden berulang kali mencoba menjawab setiap ada tudingan, bahwa SBY bukannya lemah atau takut menegur Kapolri dan Jaksa Agung, melainkan karena tidak mau melakukan intervensi terhadap suatu proses hukum. Melakukan intervensi kekuasaan terhadap suatu proses hukum yang berjalan baik dan benar memang merupakan pelanggaran. Tetapi itu tidak berarti seorang Presiden tak boleh menegur bawahannya dan mengambil tindakan-tindakan bila melihat ada tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Setidaknya Presiden bisa bertanya mengapa ada kejanggalan dalam penanganan penegakan hukum, sehingga mendapat sorotan masyarakat misalnya, tanpa perlu mencampuri materi suatu perkara yang berada dalam wilayah posisi independen penyidik kepolisian dan jaksa penuntut. Polri dan Kejaksaan (Agung), adalah termasuk dalam lembaga eksekutif, berbeda dengan lembaga-lembaga peradilan yang merupakan lembaga judikatif. Tak mungkin Presiden dan para ahli hukum di sekitarnya tak memahami perbedaan intervensi terhadap aspek juridis dengan ‘intervensi’ atasan terhadap bawahan yang tak menjalankan kinerjanya dengan baik.

Lalu, pertanyaannya, kenapa Presiden begitu ‘lemah’ sehingga seringkali bahkan dianggap agak ‘gentar’, khususnya terhadap Polri/Kapolri. Apakah karena Presiden punya sejumlah titik lemah di hadapan Polri/Kapolri, yang tidak kita ketahui entah apa? Apakah titik lemah itu, misalnya, semacam jasa yang pernah diberikan Polri/Kapolri dalam kasus tuduhan money politics dan atau kecurangan perolehan suara salah satu putera Presiden, Baskoro, dalam Pemilu Legislatif yang lalu. Pertanyaan yang sama dengan sikap serba sungkan SBY terhadap partai-partai, padahal ia pemenang mutlak dengan angka 60,8 persen. Atau apakah sumber kegentaran itu adalah terkait keabsahan yang diragukan tentang kemenangan 60 persen dalam Pilpres yang menurut seorang mantan perwira intelejens militer seperti disebutkan dimuka, sebenarnya hanyalah 21-22 persen? Artinya, bila informasi itu terbukti benar, pemilihan umum presiden yang lalu, harus berlangsung dalam dua putaran, dan entah pasangan yang mana seharusnya tersingkir dari gelanggang. Kendati saat ini percakapan politik tentang permasalahan tersebut, belum mencuat ke tengah publik secara terbuka, ada baiknya bila ada klarifikasi lebih dini, untuk menjawab segala pertanyaan. Tak mungkin Presiden belum mengetahui informasi tentang hal itu. Tapi pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto.

Namun, terlepas dari adanya informasi tentang angka 60 persen yang diragukan itu, suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang berkategori cukup fantastis, untuk seorang yang sepopuler SBY sekalipun. Kenaikan suara untuk Partai Demokrat dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen di tahun 2009, suatu kenaikan dalam kelipatan tiga, pun cukup mencengangkan. Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune. Dan, memang kini tak diragukan lagi bahwa sejumlah kemenangan dengan angka tinggi pada beberapa pemilihan umum masa lampau memang adalah hasil dari satu rekayasa ke rekayasa lainnya.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (3)

“DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu”.

Tagihan kepada Susilo Bambang Yudhoyono. BILA pemberantasan korupsi disebutkan sebagai hutang moral kepada rakyat, tentu saja surat tagihan terbesar harus dialamatkan kepada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang kini sedang berkuasa. Terutama, karena dalam beberapa tahun pertama masa kekuasaannya SBY amat banyak memanfaatkan retorika pemberantasan korupsi dalam politik pencitraannya. SBY juga sangat diuntungkan oleh kehadiran KPK, sebuah lembaga baru pemberantasan korupsi dengan sederet wewenang ekstra.

Beberapa ‘jurubicara’ politik SBY dari Partai Demokrat seringkali mendengung-dengungkan bahwa SBY lah Presiden yang misalnya paling banyak menandatangani surat izin pemeriksaan atas sejumlah pejabat –seperti gubernur dan bupati– yang menjadi tersangka perkara korupsi. Tetapi bersamaan dengan itu, terdapat tak sedikit keluhan dari kalangan instansi penegakan hukum, tentang kelambanan birokrasi kepresidenan dalam menangani proses surat izin tersebut. Sementara itu, berdasarkan catatan yang ada maupun data dalam pemberitaan pers, terlihat bahwa intensitas rata-rata penanganan perkara korupsi besar masa kepresidenan SBY yang sudah berlangsung 6 tahun, masih kalah oleh masa kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya berlangsung dua tahun lebih. Namun secara menyeluruh kuantitas penanganan di masa SBY yang berdurasi 6 tahun tentu saja lebih besar. Di masa Abdurrahman Wahid penanganan perkara korupsi yang berdurasi dua tahun lebih, sepenuhnya dilakukan Kejaksaan Agung. Sedang di masa Susilo Bambang Yudhoyono peranan pemberantasan korupsi dilakukan terutama oleh KPK dan hanya sedikit oleh Kejaksaan Agung maupun Polri.

Penanganan korupsi di tingkat pengadilan pada masa Abdurrahman Wahid sangat terkendala dan merupakan fakta mencengangkan betapa sejumlah pengadilan justru menjadi kuburan bagi perkara-perkara korupsi. Sinergi KPK dengan Pengadilan Tipikor di masa SBY, dalam pada itu, menghasilkan penuntasan perkara korupsi yang lebih baik, walau angka rata-rata vonnis yang dijatuhkan pun hanyalah kurang lebih 2,5 tahun. Namun sebaliknya, sangat menonjol betapa pemerintahan SBY sangat royal dengan pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Dengan segala remisi, pada umumnya para narapidana korupsi hanya menjalani setengah masa hukuman. Belum dihitung, berbagai cuti rekayasa, dengan berbagai alasan, entah berobat atau apa. Dengan demikian para koruptor sepertinya mendekam di penjara dalam tempo singkat saja yang ibaratnya hanya seumur jagung. Besan Presiden SBY, Aulia Pohan, termasuk salah seorang narapidana korupsi yang menikmati masa sesingkat tanam jagung oleh akumulasi berbagai remisi.

Presiden SBY belum lama ini juga menciptakan satu preseden –sehingga menjadi topik perdebatan di masyarakat dan kalangan penegakan hukum– berupa pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi, bekas Bupati Kutai Kertanegara Syaukani, dengan alasan kemanusiaan, karena menurut dokter, yang bersangkutan menderita sakit permanen. Ini meniru alasan almarhum Presiden Soeharto yang bisa lolos dari proses peradilan karena alasan sakit permanen. Kalau suatu ketika Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan menyembuhkan penyakit yang oleh sejumlah dokter berani disimpulkan sebagai sakit permanen –sementara para ulama meyakini bahwa semua penyakit bisa disembuhkan bila Allah menghendaki– tentu saja Syaukani akan digugurkan grasinya. Semoga Allah juga bermurah hati memulihkan ingatan orang-orang yang mendadak hilang ingatan tatkala terungkap keterlibatannya dalam perbuatan korupsi dan suap menyuap.

Meski harus diakui bahwa citra positif pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi sangat terangkat oleh sepak terjang KPK, terutama di masa lembaga itu ditangani oleh Antasari Azhar dan kawan-kawan, adalah pula di masa itu KPK justru mengalami hantaman dan penganiayaan dahsyat. Mungkin hanya suatu kebetulan, tetapi awal masa hantaman dan penganiayaan terhadap KPK, hampir bertepatan waktu dengan penanganan kasus Aulia Pohan dan kawan-kawan serta mulai disebut-sebutnya kasus Bank Century. Kedua kasus ini sangat dihubungkan dengan kalangan kekuasaan negara. Kasus Aulia Pohan dikaitkan, karena ia adalah besan Presiden. Sedang kasus Bank Century dianalisis terkait erat dengan effort penggalian dana untuk kepentingan biaya pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden. Dalam versi rumours di bawah permukaan, istana sangat kecewa dan marah terhadap sikap tak tahu diri Antasari Azhar dan kawan-kawan yang ‘berani-berani’nya menindaki Aulia Pohan. Tetapi pada permukaan, SBY menjaga sikap untuk tidak mencampuri apalagi intervensi dalam kasus perkara korupsi Aulia Pohan, sehingga tak terlihat adanya suatu situasi tarik menarik sehebat yang kemudian terjadi dalam kasus Bank Century.

Dalam satu analisa dan versi yang ekstrim, kasus Bank Century tergambarkan sebagai suatu kejahatan terhadap keuangan negara yang terkait dengan kepentingan politik dari kelompok tertentu dalam kekuasaan negara. Dan yang dimaksud dengan kelompok tertentu di sini, adalah mereka yang sedang ikut memperjuangkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kali dan kali ini berpasangan dengan Dr Budiono sebagai Wakil Presiden. Momentum ketika Bank Century sedang mengalami krisis likuiditas karena manipulasi internal, dimanfaatkan oleh sejumlah petinggi Bank Indonesia dan otoritas keuangan untuk memberi bank tersebut posisi berpotensi memberi dampak sistemik yang membahayakan dunia perbankan Indonesia dan karenanya tak boleh tidak harus diselamatkan dengan mekanisme bail-out.

Entah sekedar suatu kebetulan, tetapi sungguh menarik bahwa Dr Budiono –yang kemudian diproyeksi sebagai calon Wakil Presiden– sudah lebih dulu diposisikan sebagai Gubenur Bank Indonesia setelah melepaskan jabatan penting sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai Gubernur Bank Indonesia, Dr Budiono menjadi kunci lahirnya kebijakan bail-out untuk Bank Century. Ada analisa bahwa sebenarnya dampak sistemik yang digambarkan adalah terlalu dibesar-besarkan secara artifisial, sekedar sebagai alasan bisa mengeluarkan dana talangan. Setelah dana talangan keluar –nyatanya kemudian mencapai 6,7 triliun rupiah– sebagian akan dialihkan sebagai dana politik yang diyakini bisa berangsur-angsur ‘dikembalikan’ dalam jangka waktu tertentu, yang sangat dimungkinkan bila kendali kekuasaan negara tetap ada di tangan. Bank Century sendiri akan diambil-alih dan disehatkan kembali melalui suatu program penyelamatan yang telah dirancang. Dan sangat diyakini bahwa penyehatan kembali itu bisa berhasil terkait dengan tingkat kemampuan teknis yang sudah disiapkan, selain bahwa kerusakan internal bank tersebut sudah terkalkulasi baik dan memang tidak separah yang digambarkan. Analoginya, bisul digambarkan sebagai tumor ganas.

Suka atau tidak, karena analisa dan versi ekstrim seperti itu telah menjadi bahan pembicaraan khalayak pada level tertentu, tentu saja harus ada jawaban berupa penuntasan penyelidikan dan penyidikan serta proses hukum lanjut terhadap kasus Bank Century. KPK yang tadinya mulai mempersoalkan keanehan di Bank Century dan telah menggerakan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan semacam audit investigasi yang menghasilkan penemuan sejumlah indikator ketidakberesan, kini dipertanyakan. Mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla tatkala bertemu dengan Ketua Umum Golkar Ir Aburizal Bakrie dan sejumlah tokoh Golkar lainnya di hari kedua lebaran kemarin ini, mempertanyakan tenggelamnya kasus itu setelah KPK mengatakan sejauh ini tidak menemukan bukti adanya aspek korupsi dalam kasus tersebut. Terlepas dari ada tidaknya yang mempertanyakan, memang merupakan kenyataan bahwa pasca mengalami gempuran, KPK mendadak berubah bagai macan yang sudah tanggal seluruh gigi dan taringnya serta tumpul cakarnya. Betapa tidak, mantan ketuanya, Antasari Azhar masih mendekam dalam penjara menunggu kasasi dalam suatu kasus pembunuhan Drs Nasruddin Zulkarnain yang kebenarannya hingga kini masih menjadi kontroversi, sementara dua wakil ketuanya, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih terkatung-katung proses hukumnya karena tuduhan menerima suap Anggoro-Anggodo.

Setelah terbentur-bentur, kini KPK sekedar main pinggir dengan menangani kasus-kasus yang tidak begitu ‘membahayakan’ diri, yakni memilih tersangka-sangka yang tidak punya hubungan langsung dengan titik sentral kekuasaan. Pilihan cenderung beralih kepada tersangka-tersangka yang secara politik berseberangan dengan pusat kekuasaan, seperti Panda Nababan dan kawan-kawan atau Paskah Suzetta yang sudah mantan menteri seperti halnya Bachtiar Chamsyah. Pada waktu yang sama, tokoh Partai Demokrat Allen Marbun belum ditindaklanjuti kasusnya. Dan yang paling menimbulkan pertanyaan, tentu saja adalah mengendapnya kasus Bank Century. Tampaknya para pimpinan KPK selain sudah tak bergigi dan tumpul cakarnya juga sekaligus mirip macan yang dipegang ekornya.

Keraguan terhadap angka 60 persen. DIATAS segala soal, masih ada satu persoalan yang mungkin akan segera harus dihadapi dan diluruskan (kalau ternyata bengkok) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun saat ini persoalan itu masih sekedar bahan percakapan di bawah permukaan di kalangan yang masih cukup terbatas. Persoalan itu menyangkut keabsahan dan kebenaran angka kemenangan di atas 60 persen yang diperoleh dalam Pemilihan Presiden yang lalu. Konon, bersumber pada seorang mantan tokoh intelejen militer, yang tentu saja kebenarannya masih harus diusut dan ditelusuri lanjut, karena masih menyerupai pantulan bola liar, angka kemenangan yang sebenarnya hanyalah sekitar 21-22 persen.

Berlanjut ke Bagian 4.

Pemberantasan Korupsi: Kembali ke Titik Mula?

“NAMUN keajaiban selalu bisa terjadi. Mungkin datang dari Dia yang di atas yang sudah begitu belas kasihan melihat nasib rakyat Indonesia yang seumur-umur terbelit ketidakbenaran. Mungkin juga datang dari kekuatan opini publik sendiri yang kini sudah berada pada titik kulminasi kekecewaannya terhadap segala permainan penuh konspirasi dalam penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Atau dari kedua-duanya?”.

MASIH pantaskah untuk optimis tentang pemberantasan korupsi di Indonesia dengan segala apa yang terjadi belakangan ini dalam hiruk pikuk terbentur-benturnya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum? Pada dataran idealistik, tentu saja optimisme harus dipelihara. Sementara bagi kaum pragmatis dalam kehidupan politik dan kekuasaan, semangat penegakan hukum dan khususnya pemberantasan korupsi menurut ‘dogma’ retorika politik pun harus tetap dikobarkan. Bukankah menurut slogan muluk yang selama ini di’kunyah-kunyah’ para praktisi hukum, “hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh”?

Namun, pada dunia nyata sehari-hari yang penuh pragmatisme terkait kepentingan sendiri-sendiri, sejumlah peristiwa kasat mata dalam penegakan hukum dan atau pemberantasan korupsi, justru ‘berhasil’ menggoyahkan optimisme lalu menumbuhkan sikap pesimistik dan skeptik. Kita bisa melihat betapa setiap pihak –entah institusi entah kelompok atau perorangan– yang menjalankan aktivitas pemberantasan korupsi dan pembasmian kejahatan sejenis, secara sistematis akan berhadapan dengan berbagai bentuk ‘perlawanan’ yang sangat taktis untuk akhirnya mewujud sebagai ‘gempuran’ yang mematikan. Ini telah terjadi dari dulu sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga detik ini. Belum lagi bahwa memang beberapa institusi dibentuk oleh kalangan penguasa, tidak untuk betul-betul berhasil, melainkan sekedar etalase untuk menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan.

OPERASI Budi yang dilancarkan Jenderal AH Nasution setelah pertengahan tahun 1950an, untuk mengikis korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan tentara, terhenti begitu saja meskipun sempat berkali-kali menunjukkan hasil. Padahal kala itu gejala korupsi menguat di kalangan perwira-perwira tentara sejak mereka terjun ke sektor ekonomi dan keuangan. Pada akhir tahun 1957 terjadi pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang kemudian dinasionalisir menjadi badan-badan usaha milik negara. Karena dianggap memiliki sumberdaya manusia yang lebih siap, perwira-perwira tentara masuk mengambil peran dan posisi-posisi penting dalam pengelolaan badan-badan ekonomi eks Belanda itu.

Peran dadakan yang membawa para perwira itu ke dalam dunia kelimpahan uang dan bisnis itu menciptakan berbagai ekses di kalangan perwira tentara, dan momen itu menjadi awal keterlibatan mereka dalam medan korupsi. Ekses lain, terjadi saling intrik dan jegal di antara para perwira itu, karena memperebutkan posisi. Meskipun para perwira ini ternyata gagal menjalankan institusi-institusi ekonomi tersebut dengan baik diukur berdasarkan skala kepentingan umum, tetapi pada sisi lain akhirnya tumbuh satu ikatan kepentingan bersama yang ‘perlu’ dipertahankan. Harus diakui bahwa dengan posisi-posisi di institusi ekonomi itu, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktivitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira. Salah satu institusi yang paling strategis adalah sektor perminyakan. Dalam situasi seperti itu, mungkinkah Operasi Budi terus dilanjutkan tanpa membentur kepentingan bersama?

DI MASA kekuasaan Soeharto, tak sedikit lembaga anti korupsi yang dibentuk. Ada misalnya TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto. Tapi sampai badan ini bubar, tak pernah ada hasil signifikan yang bisa dicatat. TPK lebih galak dalam statemen daripada aksi di lapangan. Komisi-4 yang dipimpin Wilopo dan diisi berbagai tokoh tua, hanyalah sebuah badan ad-hoc, yang ternyata tak bisa berdaya apapun di dunia praktis, sehingga disebutkan sebagai barisan macan ompong. Tetapi pembentukan Komisi-4 oleh Presiden Soeharto itu memang tidak dimaksudkan sebagai macan pemberantasan korupsi di medan sebenarnya, melainkan sekedar menjawab dan meredam keresahan dan kritik mahasiswa dan generasi muda lainnya mengenai korupsi di tahun 1970.

Presiden Soeharto juga sempat memberikan semacam obat placebo melalui Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo, dengan mengintrodusir Opstib (Operasi Tertib). Operasi ini cukup gencar dan gebrakan-gebrakannya selalu mengisi kolom pemberitaan kora-koran dan layarkaca TVRI untuk seberapa lama. Tetapi operasi yang seakan melembaga ini, secara kritis dinilai hanya menyentuh praktek pungutan liar kelas teri: pungli kelas jigo yang dilakukan polisi-polisi lalu lintas di jalanan, pungli di pos jembatan timbang DLLAJR di lintas antar kota, atau pungutan liar lainnya yang masih tetap tergolong teri di pelabuhan-pelabuhan, kantor pembuatan paspor di imigrasi dan sebagainya. Padahal, dalam asumsi publik kala itu –yang sebenarnya tidak terlalu meleset– berlangsung permainan-permainan besar di kalangan atas, namun tak tersentuh oleh Opstib. Masyarakat hanya bisa menduga-duga secara diam-diam di bawah permukaan seraya bertanya-tanya, kenapa menteri anu dan anu bisa kaya-kaya, kenapa dirjen anu rumahnya sekian-sekian, kenapa semua yang jadi dirjen pajak, dirjen bea-cukai dan dirjen tertentu lainnya serta jajarannya yang membidangi tempat ‘basah’ bisa serba gemerlap hidupnya? Karena pada masa kekuasaan Soeharto sangat langka adanya kasus korupsi besar-besaran masuk ke Kejaksaan dan Pengadilan, maka pengacara-pengacara pun tidak terlalu super kaya seperti yang kita saksikan di pasca Soeharto hingga saat ini. Barangkali hanya kasus korupsi Kepala Dolog (aparat BULOG di daerah) Kalimantan Timur Budiadji yang berskala milyaran, yang menonjol kala itu.dan sudah dianggap spektakuler, padahal, kalau meminjam istilah masa kini dari Komjen Susno Duadji, “itu, keciiil”. Bagaimana dengan kasus Edy Tanzil yang mencuat pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto? Itu lain lagi. Penuh lika-liku, yang sampai kini masih merupakan misteri, tak terungkap libatannya ke kalangan kekuasaan. Rahasianya hilang bersama ‘keberhasilan’ Edy Tanzil kabur dari LP Cipinang.

Dengan berlalunya waktu, satu persatu korupsi masa lampau dipastikan akan tetap terkubur tanpa terungkap lagi. Kalaupun ada yang akan terbuka ke khazanah publik, secara hukum sudah akan kadaluarsa termakan waktu.

DAN bagaimana dengan kasus-kasus korupsi serta kejahatan keuangan lainnya yang terjadi di masa reformasi pasca lengsernya Soeharto? Di bawah tiga Jaksa Agung berturut-turut –Andi Muhammad Ghalib, Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa– terlepas dari ‘kekurangan’ masing-masing, Kejaksaaan Agung sejenak menjadi bintang pengharapan di atas segala pengharapan. Sejumlah pelaku kejahatan atas keuangan negara dalam jumlah yang cukup signifikan diseret satu persatu ke sel tahanan dan kemudian diajukan ke meja hijau. Tapi tragis bahwa badan-badan peradilan pada masa yang sama lebih banyak berfungsi sebagai badan pemakaman atas berbagai kasus korupsi. Menarik untuk mencatat nasib ketiga Jaksa Agung itu. Andi Muhammad Ghalib tergelincir karena adanya transfer ke rekening atas namanya, padahal rekening itu adalah rekening sebuah organisasi olahraga yang dipimpinnya. Dan tak pernah dituntaskan bahwa transfer tersebut sebenarnya adalah untuk dana organisasi. Marzuki Darusman dihentikan di tengah jalan karena banyaknya bisikan kepada Presiden bahwa sang jaksa agung itu tak disukai ‘rakyat’. Memang pastilah seorang jaksa agung takkan disukai, terutama oleh mereka yang terkena penanganan kasus. Baharuddin Lopa, lain lagi. Menjadi Jaksa Agung dalam tempo kurang dari seumur jagung. Meninggal dunia di tanah suci. Versi resmi karena serangan jantung dan kelelahan. Versi desas-desus, sama dengan nasib Munir beberapa tahun kemudian. Hal menarik lainnya, ketiga Jaksa Agung itu bagaimanapun telah memicu meningkatnya fee sebarisan pengacara tertentu, sehingga beberapa di antaranya kini menjadi golongan super kaya.

NASIB baik memang enggan mendekati mereka yang memangku tugas penegakan hukum dan mencoba sedikit saja bersungguh-sungguh menjalankan tugas itu dengan cukup baik. Perhatikan nasib lembaga sebelum lahirnya KPK, yakni KPKPN (Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara). Begitu lembaga adhoc itu meningkat kegalakannya mengungkap daftar kekayaan sejumlah pejabat negara dan lembaga legislatif –yang beberapa di antaranya menampilkan angka-angka yang menimbulkan tanda tanya– maka ia segera di’eliminasi’ melalui prosedur yang ‘baik’, dilebur ke dalam lembaga baru bernama KPK. Sepanjang yang bisa dianalisis, masih bisa dipertanyakan, apakah saat dilahirkan KPK memang betul-betul diharapkan jadi macan pemberantasan korupsi? Di masa awal, khususnya pada periode kerja pertama, tanpa bermaksud mengecilkan para tokoh yang duduk di dalam komisi adhoc tersebut, kinerja KPK memang terlihat tidak cukup mengesankan. Namun sungguh mencengangkan –dan barangkali mengejutkan sejumlah anggota DPR yang membidani ‘kelahiran’ lapisan kepemimpinan kedua dari KPK– bahwa sepak terjang KPK di bawah Antasari Azhar dengan cepat menarik perhatian dan menimbulkan harapan baru di masyarakat. Sejumlah kasus populer ditangani dengan gesit, termasuk sejumlah skandal suap dan gratifikasi yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Dan dengan segera pula, KPK yang telah menjadi kekasih publik namun pada saat yang sama ia menjadi musuh nomor satu bagi sejumlah kalangan kekuasaan.

Dalam posisi khas seperti itu, jangan pernah salah langkah sedikitpun. Di negara di mana para pelanggar hukum kuat dan bersekutu dengan sejumlah kalangan penegak hukum yang lemah iman dan korup, setiap pengganggu kepentingan akan dieliminasi tanpa ampun, paling tidak akan dikerjai begitu ada sedikit saja alasan. Begitu pula yang akan terjadi kepada kaum kritis yang vokal.

Aktivis HAM bernama Munir, terlalu ‘banyak bicara dan mengungkit kejahatan HAM masa lampau’. Ia mati diracun tanpa ada pelaku yang bisa dihukum, kecuali seorang pilot naas yang pastilah hanya berkategori alat belaka. Antasari Azhar? Kita sudah tahu apa yang menimpanya, dan masih akan kita tunggu kisah lanjut kebenaran sejatinya. Itupun kalau bisa terungkap. Sembilan dari sepuluh peluang, ia akan tetap mendekam dalam penjara. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, sedang dalam proses ditimbul-tenggelamkan. Tidak hanya oleh kalangan kekuasaan, tetapi juga oleh sejumlah kalangan pengacara papan atas, yang tampaknya sangat memusuhi KPK. Apakah betul mereka menerima suap dari Anggodo-Anggoro bersaudara atau tidak, yang jelas KPK kemungkinan besar akan ikut rubuh, entah untuk seberapa lama atau entah untuk seterusnya. Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji yang menjadi peniup peluit dalam pengungkapan adanya makelar kasus di tubuh Polri dengan segera menjadi ‘musuh’ insititusinya sendiri. Terbukti betapa ia telah dijadikan sasaran bulan-bulanan sejumlah petinggi formal dari kepolisian selama beberapa waktu terakhir ini. Masih perlu ditunggu apa akhir dari drama Susno ini setelah ia kini masuk ke dalam proses pemeriksaan ‘tim independen’ Polri yang hingga kini belum bisa diraba publik mengenai objektivitas dan kenetralannya dalam ‘perang bintang’. Susno sementara itu, kini tak ‘bersuara’ lagi, setelah ada dalam proses pemeriksaan di Polri tersebut. Apakah ia sudah akan bungkam seterusnya? Kasus Bank Century? Saat di atas kertas bola kini ada di tangan KPK, sejauh ini seakan tak ada kemajuan dalam penanganan kasus yang dicurigai berlatarbelakang dana politik kekuasaan ini. Terakhir memang Dr Boediono sudah dipanggil sebagai saksi, tapi terus terang publik mulai sangsi kepada ‘ketajaman’ KPK. Apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, ketika dua dari empat unsur pimpinannya yang tersisa sedang diayun-ayun nasibnya pasca keputusan Pra Peradilan yang membuyarkan SKPP Kejaksaan Agung. Sementara itu penanganan kasus Anggodo yang ditangani KPK telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Masih harus ditunggu hasilnya.

JADI apakah kita masih harus optimis terhadap gerak pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya di Indonesia, sementara di tengah masyarakat terjadi krisis kepercayaan luar biasa terhadap para penegak hukum: Mulai dari para hakim dan institusi pengadilan, para jaksa dan institusinya, para polisi dan institusinya, hingga kepada para pengacara, yang telah bertindak dan berbicara jauh di luar batas harapan rakyat? Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum selama ini bagaikan game elektronik, begitu terjadi salah langkah, permainan akan re-start, segalanya harus diulang lagi dari titik mula.

NAMUN keajaiban selalu bisa terjadi. Mungkin datang dari Dia yang di atas yang sudah begitu belas kasihan melihat nasib rakyat Indonesia yang seumur-umur terbelit ketidakbenaran. Mungkin juga datang dari kekuatan opini publik sendiri yang kini sudah berada pada titik kulminasi kekecewaannya terhadap segala permainan penuh konspirasi dalam penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Atau dari kedua-duanya?

‘Pelajaran Hukum’ Terbaru: Lapor dan Ungkap Kasus, Anda yang ‘Babak Belur’

“Ternyata, tindak lanjut laporan pencemaran nama baik berjalan lebih kencang. Kini Susno Duadji sudah dinyatakan sebagai tersangka pencemaran nama baik”.  “Pengungkapan Jenderal Susno Duadji tentang praktek makelar kasus di Mabes Polri dianggap mencemarkan nama institusi. Esensi permasalahannya sendiri, yaitu ada atau tidak praktek makelar kasus dan mafia hukum, yang dianggap oleh publik lebih penting dan harus segera dituntaskan, tampaknya akan terbentur-bentur. Mungkin saja, takkan sampai di tujuan. Dan Susno Duadji akan babak belur”.

ANDA seorang idealis? Anda ingin korupsi diberantas, anda ingin mafia hukum dan makelar kasus dibasmi, tegasnya, anda ingin ikut menegakkan kebenaran dan keadilan? Anda ingin jadi Ketua KPK atau Komisioner KPK? Berkaca pada pengalaman Antasari Azhar, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, yang terbentur ketika KPK sangat aktif dan galak, atau yang terbaru, pengalaman Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji, hendaknya anda berpikir dulu seribu kali, kalau perlu sejuta kali. Kalau toh anda bersikeras, yang barangkali karena anda adalah seorang idealis atau kritis atau setidaknya gregetan melihat berbagai praktek busuk dalam penegakan hukum dan kehidupan politik di Indonesia, silahkan. Tapi siap-siap untuk duluan babak belur. Beberapa catatan pengalaman berikut ini cukup untuk membuat anda ‘takut’ dan sepakat untuk memilih ‘takut’ ikut-ikutan melaporkan atau membongkar kasus suap atau korupsi dan yang sejenisnya.

SEORANG whistle blower bernama Endin Wahyudin suatu ketika melaporkan kasus suap yang diterima dua hakim agung untuk perkara perdata tahun 1997. Tak kurang dari Jaksa Agung Marzuki Darusman (2000-2001) dan mantan Wakil Ketua MA Adi Andojo selaku Ketua TGPK (Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi) mencoba menjamin dan melindungi keselamatan sang peniup peluit itu, namun tak terelakkan bahwa pada akhirnya Endin lah yang dijebloskan ke dalam penjara. Sementara itu, dua hakim agung yang dilaporkan dibebaskan pengadilan tahun 2001, karena dakwaan jaksa dianggap cacat, dan karenanya menurut putusan hakim, terdakwa “tidak dapat diperiksa dan diadili berdasarkan dakwaan yang batal demi hukum tersebut”. Pengalaman pahit juga dialami seorang whistle blower dari BPK. Meskipun tak perlu terjeblos masuk penjara, bukannya mendapat apresiasi, pimpinannya di BPK, Dr Anwar Nasution malah sempat mencercanya habis-habisan.

MEYAKINI adanya praktek berbau politik uang yang dilakukan Baskoro Yudhoyono dalam kampanye Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009 yang lalu, seorang caleg yang menjadi kontestan di daerah pemilihan yang sama, melaporkan kasus itu melalui jalur hukum. Tak kurang dari Kapolri Bambang Hendarso Danuri yang turun tangan dan angkat bicara. Polisi menyatakan tak ada bukti yang cukup bahwa putera Presiden incumbent itu melakukan politik uang. Justru sang pelapor yang kemudian diadili dan dihukum telah mencemarkan nama baik.

SEWAKTU suatu lembaga swadaya masyarakat, Bendera, melontarkan ke publik tentang adanya aliran dana ex Bank Century kepada Partai Demokrat dan sejumlah perorangan tokoh partai maupun pendukung SBY lainnya, polisi maupun lembaga penegak hukum lainnya, bukannya menunjukkan kepekaan ‘sedikit’pun untuk menelusuri kemungkinan apakah laporan itu mengandung kebenaran. Secara moral dan menurut logika, laporan-laporan semacam itu layak mendapat tindak lanjut. Tetapi ternyata, kepolisian lebih gesit menangani dan menindaklanjuti laporan pencemaran nama baik dan fitnah yang diajukan ramai-ramai oleh para tokoh yang disebut berada dalam daftar penerima dana politik, terhadap Bendera. Tetapi menarik, hingga kini tak ada lagi kabar berita tentang nasib Bendera maupun jawaban mengenai kebenaran atau ketidakbenaran laporan aliran dana itu. Padahal, publik menanti berita kepastian atas kebenaran maupun ketidakbenaran aliran dana tersebut.

NASIB serupa dialami penulis buku ‘Membongkar Gurita Cikeas’, George Junus Aditjondro. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang beralamat di Puri Cikeas Kabupaten Bogor, memang membantah dan menganggap isi buku itu hanya fitnah. Namun Presiden tidak merasa perlu menyampaikan pengaduan melalui jalur hukum. Adalah seorang pengusaha perusahaan pers yang kebetulan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, yang lebih super aktif melakukan aksi counter. Ia ‘menguber’ George Junus Aditjondro sampai ke acara peluncuran buku tersebut di salah tempat di Jakarta. Di situ ia terlibat adu mulut dengan Junus Aditjondro, dan sempat di’tampar’ dengan buku. Ramadhan Pohan melaporkan Junus Aditjondro melakukan penganiayaan, sementara Junus tampaknya merasa hanya membela diri karena lebih dulu diserang dengan penistaan. Namun terlepas dari peristiwa hukum sampingan itu, publik tak akan mendapat jawaban mengenai kebenaran atau ketidakbenaran dari isi buku tersebut.

PELAJARAN terbaru tentang seluk beluk penegakan hukum yang mengherankan adalah peristiwa pengungkapan Komisari Jenderal Polisi Susno Duadji, tentang praktek makelar kasus dalam jalinan mafia hukum, di tubuh Kepolisian RI.

Ada seorang staf golongan III di Direktorat Jenderal Pajak, bernama Gayus Tambunan, yang dilaporkan rekeningnya oleh PPATK. Seorang pegawai golongan III dianggap PPATK janggal memiliki aliran dana sampai 25 milyar rupiah di sejumlah rekeningnya di Bank Panin maupun BCA, maka itu dilaporkan ke Bareskrim di masa Susno Duadji. Dalam penanganan lanjut sekitar 400 juta rupiah terbukti memang punya kaitan pelanggaran lainnya. Sisanya masih diblokkir menanti penyidikan lanjut. Dalam kaitan kasus Cicak-Buaya, Susno dicopot dari jabatan selaku Kabareskrim melalui SK tertanggal 24 November 2009 dan akan melakukan serah terima dengan penggantinya pada 30 November. Dalam masa transisi dan stagnan, salah seorang direktur Bareskrim, Komisaris Besar Polisi Radja Erizman –kini berpangkat Brigadir Jenderal Polisi– menerbitkan surat yang ditandatanganinya sendiri, tanpa tembusan kepada atasan, untuk pencairan pemblokkiran. Seorang bernama Andi Kosasih –yang belum jelas keberadaannya– mengaku uang sekitar 24 milyar itu sebagai miliknya yang dititipkan kepada Gayus Tambunan.

Susno Duadji yang belakangan mengetahui bahwa dana yang diblokkir itu sudah dicairkan, mengungkapkannya sebagai praktek mafia hukum dan atau makelar kasus sambil menyebutkan keterlibatan beberapa nama jenderal dalam peristiwa tersebut. Para jenderal yang disebutkan namanya membantah tudingan tersebut dan melaporkan Susno Duadji melakukan fitnah dan pencemaran nama baik.

Ternyata, tindak lanjut laporan pencemaran nama baik berjalan lebih kencang. Kini Susno Duadji sudah dinyatakan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Ketidakteraturan kehadiran Susno Duadji –yang diterlantarkan sebagai Pati non job– di Mabes Polri selama dua bulan lebih juga ikut dipermasalahkan. Pengungkapan Jenderal Susno Duadji tentang praktek makelar kasus di Mabes Polri dianggap mencemarkan nama institusi. Esensi permasalahannya sendiri, yaitu ada atau tidak praktek makelar kasus dan mafia hukum, yang dianggap oleh publik lebih penting dan harus segera dituntaskan, tampaknya akan terbentur-bentur. Mungkin saja, takkan sampai di tujuan. Dan Susno Duadji akan babak belur. Apalagi Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri sudah menyatakan akan menindak Susno karena tindakan indisipliner. Entah kalau Satgas Anti Mafia Hukum bisa melibatkan KPK sebagai pihak independen untuk menangani kasus yang mulai menjadi aneh ini. Atau bila tekanan publik menuntut kebenaran menjadi lebih kuat.

MEMANG hingga sejauh ini, merupakan pola dalam konteks penegakan hukum, bahwa pokok persoalan kebenaran tak pernah tersentuh, karena pinggiran persoalanlah yang akan selelu mengemuka. Semua selalu terkatung-katung antara bumi dan langit. Dalam kasus sesederhana Prita Mulyasari misalnya, kebenaran persoalan tentang pelayanan buruk yang dialami Prita Mulyasari tak pernah disentuh proses hukum, karena yang malah dipersoalkan adalah pengungkapan Prita ke publik karena dianggap mencemarkan nama baik RS Omni. Padahal bukankah korban sebenarnya adalah Prita?

PERTANYAAN untuk anda semua: Sudahkah anda sepakat untuk takut ikut-ikutan menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran? Anda belum juga takut? Kalau begitu mari kita semua bersama-sama mengawasi dengan kritis apa yang akan terjadi selanjutnya. (RA)

Jenderal Polisi Susno Duadji, Episode ‘The Ghost Buster’

SEKALI lagi Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji muncul menjadi pusat perhatian publik. Ketika dulu melontarkan penggunaan istilah Cicak vs Buaya untuk perseteruan KPK dengan Polri –yang sempat menyebabkan dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah mendekam di sel tahanan polisi– Susno Duadji dan institusi Polri masuk ke dalam pusaran hujatan mayoritas publik dan terpojok ke posisi zero. Dalam posisi zero, jabatan Kabareskrim lepas dari tangannya. Namun setidaknya dua peristiwa membawanya dari titik zero ke posisi hero di mata publik, yakni ketika muncul memberikan kesaksian terbuka mengenai skandal Bank Century di Pansus DPR dan tak selang berapa lama memberikan kesaksian yang mengejutkan dalam persidangan kasus Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kini, 17-18 Maret 2010, dia melontarkan ungkapan adanya makelar kasus gentayangan di Mabes Polri, yang berhasil mempengaruhi setidaknya tiga jenderal polisi dan seorang komisaris besar, untuk menutupi kasus GT seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dan mencairkan dana hampir 25 milyar rupiah dari rekening tersangka yang dibekukan di masa Susno menjadi Kabareskrim.

Saat rating Jenderal Susno Duadji naik, citra Polri di mata publik ternyata tetap terpuruk. Menurut salah satu jajak pendapat tentang penegakan hukum, citra Polri adalah terburuk kedua setelah badan Peradilan. Kejaksaan ada di urutan ketiga. Menjelang Susno mengungkap soal makelar kasus yang beroperasi di lingkungan Polri, sejumlah lembaga swadaya masyarakat sedang menyoroti adanya kebiasaan rekayasa kasus pidana oleh kepolisian. Artinya, sejumlah perkara pidana diada-adakan untuk menjebloskan orang, yang motifnya masih perlu ditelusuri lebih lanjut. Entah untuk suatu tujuan komersial, entah untuk tujuan lebih serius semisal motif politik atau apa, entah sekedar untuk menambah catatan prestasi pemecahan kasus demi kenaikan pangkat. Jika kebiasaan rekayasa kasus yang disorot publik ini bisa terungkap lebih banyak, ini akan menambah keyakinan yang luas pada publik, bahwa pada kasus Antasari Azhar misalnya, memang ada rekayasa.

Selain rekayasa kasus dan berbagai kasus salah tangkap atau salah tembak, sejak berapa lama kesangsian publik terhadap kepolisian memang terakumulasi dari waktu ke waktu sehingga lama-lama bisa membukit juga. Tak terkecuali berbagai kasus tindakan kekerasan yang brutal dari polisi dalam penanganan berbagai unjuk rasa mahasiswa maupun kelompok-kelompok masyarakat. Sementara pada sisi lain kerapkali terkesan membiarkan kekerasan oleh kelompok massa tertentu kepada kelompok masyarakat lainnya.

Selama ini beredar cerita di tengah khalayak, bahwa untuk masuk menjadi anggota kepolisian atau sekolah-sekolah pendidikan kepolisian dari yang terendah hingga sekolah staf, ada tarif yang harus dibayar. Untuk naik pangkat, ada bayarannya. Untuk jabatan-jabatan strategis pun ada harganya, orang menyebut angka ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini secara internal. Nah, kalau memang benar polisi sendiri harus melewati fase investasi internal semacam itu terlebih dulu, bisa dianalisis apa yang kemudian akan dilakukannya saat ia telah duduk di suatu posisi. Maka muncul apa yang kemudian bisa disebutkan sebagai dampak eksternal.

Pada sisi eksternal, beredar cerita tentang adanya harga yang bisa dibayar untuk tidak ditangkap atau ditahan bagi yang terlibat kasus pidana, atau bahkan ada tarif untuk menyuruh tangkap/tahan orang lain. Besarannya puluhan hingga ratusan juta. Sedang yang nominalnya kecil-kecilan, tak terkatakan lagi. Dalam situasi seperti inilah tampil peranan ‘dukun perkara’ yang oleh publik kini dinamai makelar kasus atau Markus. Tentu saja pihak kepolisian secara resmi dari waktu ke waktu selalu membantah, tetapi dalam pada itu pengalaman sehari-hari dari orang-orang yang pernah berurusan dengan instansi itu mencium aroma yang lain. Setiap kali ada yang mengadukan ketidakberesan penanganan polisi yang dialaminya, cenderung untuk kalah bahkan sangat terpojokkan. Karena risikonya berat, banyak yang memilih untuk menerima nasib saja. Dengan demikian, untuk sementara nasib kisah-kisah itu hanya bagaikan cerita hantu: Bau kemenyan dukunnya ada, bau amis darah campur harum bunga kemboja tercium, sebaran horrornya terasa, bahkan kerapkali penggambaran ciri sosok hantunya pun ada. Tetapi setiap kali itu diceritakan terbuka, meski yang mendengarnya bisa juga tertular rasa takut, namun selanjutnya apa yang bisa dilakukan karena sulit untuk memvisualisasikannya ke dalam kenyataan? Akan tetap demikian, menjadi sekedar urban legend, sampai ada yang bisa mengungkap misteri itu dari dalam dunia ‘magic’ itu sendiri.

Dengan analogi dunia magic seperti itu, peranan orang dalam untuk mengungkap seluk beluk misteri, menjadi penting. Apa yang telah dilakukan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji dalam beberapa ‘magic and horrible accident’ –maaf, penggunaan kosa kata asing di sini sekedar dimaksudkan untuk memperlembut pemaparan– dalam berbagai kesempatan akhir-akhir ini, membuatnya sebagai tokoh alternatif untuk bisa berperan sebagai ‘ghost buster’ atau dalam khazanah ‘budaya’ Indonesia bisa disebut ‘dukun pembasmi hantu’. Susno sudah puluhan tahun hidup di alam penuh ‘magic’ itu. Ibaratnya, sudah cukup mengenali bermacam hantu, kuntilanak atau gendruwo maupun jadi-jadian semacam leak, poppo, parakang dan palasik. Selain itu, tampaknya ia juga seorang pemberani. Menurutnya, sewaktu kecil di desanya di Sumatera Selatan ia tak pernah takut melewati persilangan jalan harimau siang maupun malam, atau menyeberangi sungai berbuaya.

Bagaimana dengan integritas pribadinya sendiri? Cukup banyak cerita baik tentang dirinya di masa lampau, kecuali ketika ia terpojok dalam kasus cicak-buaya dan tuduhan menerima suap 10 milyar rupiah dalam kasus Bank Century. Sewaktu jadi Kapolda Jawa Barat, ia memproklamirkan tidak akan menerima suap, dan akan menangkap yang coba melakukannya. Ia membersihkan jalan raya sepanjang Pantura Jawa Barat dari pungutan-pungutan liar yang dilakukan orang-orang beruniform hijau, coklat, loreng atau putih. Memang salah seorang yang ia sebut inisialnya sebagai RE –yang ternyata adalah Brigjen Polisi Raja Erizman– dalam kaitan kasus Markus, sempat menyebutnya sebagai “maling teriak maling”, tetapi itu takkan mengurangi nilai pragmatis dalam peluangnya untuk berperan sebagai ‘ghost buster’. Tapi bukankah, katanya, salah satu metode dalam kepolisian adalah menangkap maling dengan maling juga? Itu kalau, bisa dibuktikan bahwa Susno Duadji juga adalah seorang maling. Tapi dengan yakin Susno mengatakan di layar televisi bahwa karirnya di kepolisian telah dijalaninya tanpa cela.

Namun, terlepas dari dia bersih atau kurang bersih, sepanjang ia tak mundur dari niatnya untuk membersihkan institusi kepolisian dari apa yang disebutnya sebagai ‘pengkhianat’ terhadap tugas kepolisian dalam menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran, publik perlu mendukungnya. Dan tampaknya memang publik akan mendukungnya, karena lebih percaya kepada dirinya daripada institusi kepolisian yang tak kurang oleh Kapolri Bambang Hendarso Danuri sendiri pernah diakui mengalami distrust. Bila ada apa-apa yang menimpa dirinya, katakanlah diperangkap dalam satu rekayasa, publik pasti akan bangkit membelanya. Tak ada jalan lain bagi Polri kecuali betul-betul mereformasi dan membersihkan diri seperti yang dijanjikan oleh Kapolri dan para petinggi Polri dalam berbagai retorika belakangan ini. (RA).

Antasari Azhar: From Hero to Zero

“Dengan adanya kesangsian yang masuk akal, maka, para penegak hukum, sesungguhnya layak untuk mencari kebenaran sedekat-dekatnya untuk kasus ini. Tentu, juga untuk kasus-kasus serupa seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang hingga kini belum terungkapkan secara tuntas, tetapi penyelidikan dan penyidikannya telah dihentikan oleh pihak kepolisian. Kita sudah memiliki begitu banyak X-File dalam sejarah kegelapan penegakan hukum kita. Tak perlu ditambah lagi”.

PERJALANAN karir dalam penegakan hukum –di Departemen Kehakiman sejak 1981 dan lingkungan Kejaksaan sejak 1985– yang dititi Antasari Azhar hampir 30 tahun lamanya setelah tamat dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, ambruk begitu saja semudah robohnya rumah kartu. Dan itu terjadi justru ketika ia berada dalam puncak kecemerlangan sebagai Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Begitu berada dalam posisi Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sejak 18 Desember 2007, dalam beberapa gebrakan, Antasari Azhar menjadi semacam hero di mata publik dalam pemberantasan korupsi. Ia berangsur ‘tercipta’ sebagai pahlawan di mata publik dalam suatu situasi ketika satu langkah lagi masyarakat tiba pada titik terendah kepercayaan mereka kepada kesungguhan pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Akan tetapi ketika namanya dikaitkan dalam pembunuhan berencana terhadap Nasruddin Zulkarnain, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, lalu ditahan sebagai tersangka oleh kepolisian dan karenanya diberhentikan sementara dengan SK Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 4 Mei 2009, Antasari yang pada 18 Maret 2010 akan berusia 57 tahun, seakan menggelincir turun dari atas perbukitan. Dan mulai menjalani proses from hero to zero dalam karir dan kehidupannya. Keputusan Majelis Hakim pimpinan Herri Swantoro di Pengadilan Jakarta Selatan, Kamis sore 11 Februari 2009 melengkapkan perjalanan Antasari menuju titik zero dalam karirnya selaku penegak hukum. Mungkin kini ia belum betul-betul berada di titik zero, karena vonis hakim yang menghukumnya 18 tahun penjara itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena, Antasari dan para pengacaranya langsung menyatakan akan naik banding, menjelang penutupan sidang.

Meskipun seakan menanti ‘keajaiban’ saja, teristimewa dalam situasi penegakan hukum yang parah seperti sekarang ini, masih ada peluang harapan di tengah kesangsian publik terhadap proses perkara ini sejak awal penanganannya oleh kepolisian maupun kejaksaan. Selain itu, tak kalah pentingnya, kasus Antasari ini terjadi bersamaan dengan terbacanya oleh publik suatu keadaan yang bisa disebut ‘anti KPK’ di kalangan penegak hukum lainnya, di kalangan kekuasaan politik dan pemerintahan berbagai tingkat, serta kalangan legislatif. Cukup meluas keyakinan di tengah publik adanya konspirasi tingkat tinggi untuk melemahkan, atau mungkin bahkan mengeliminasi KPK. Apalagi tak lama sesudah kasus Antasari, mencuat pula tuduhan suap terhadap dua pimpinan KPK yang lain, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, dalam kaitan penanganan direktur PT Masaro, Anggoro Wijoyo yang adalah kakak Anggodo Wijoyo. Polisi yang bertindak atas laporan Anggodo, bahkan sempat menangkap dan menahan kedua pimpinan KPK tersebut. Keduanya kemudian dilepaskan dari tahanan dan dilepaskan dari proses penyidikan setelah ada rekomendasi Tim 8 Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

MEMINJAM teori motif yang dibangun jaksa Cyrus Sinaga dan kawan-kawan yang menjadi penuntut umum dalam perkara Antasari, bisa pula dikatakan bahwa ada begitu banyak orang atau pihak yang punya motif kuat untuk menghancurkan KPK. Pertama, tentu para ‘korban’ penanganan KPK. Kedua, kalangan aparat hukum sendiri, terutama mereka yang terkait dengan apa yang dikenal sebagai mafia peradilan, atau mafia hukum seperti istilah yang digunakan Presiden SBY. Ketiga, tentu saja, barisan koruptor yang saat ini belum tertangkap namun merasa perlu melakukan ‘tindakan preventif’ untuk mencegah berlanjutnya gerakan pemberantasan korupsi dengan baik dan benar. Termasuk di sini, adalah kalangan kekuasaan dan kalangan politik lainnya yang ketika menghadapi pemilihan-pemilihan umum legislatif maupun pemilihan presiden-wakil presiden yang lalu, telah melakukan mobilisasi dana dengan cara yang tidak benar untuk membiayai pencapaian tujuan politiknya.

Jadi, memang banyak yang punya alasan untuk marah kepada KPK, dan karenanya punya motif untuk melakukan ‘pembunuhan berencana’ terhadap KPK. Meminjam uraian dan sistimatika yang lazim digunakan dalam KUHP, pelaku yang terlibat ‘pembunuhan berencana’ terhadap KPK, adalah: Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan; Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Dari mana para tersangka ‘pembunuhan berencana’ terhadap KPK bisa ‘dipungut’ sekedar dengan teori motif? Banyak. Kalangan penguasa marah, kalau merasa diusili atau dikotak-katik sumber dana politiknya. Partai-partai politik pun diam-diam marah saat anggota-anggota mereka di DPR disapu, karena banyak dari para anggota lembaga terhormat itu juga berfungsi sebagai mesin pencari uang untuk biaya operasional mesin politik. Para konglomerat marah bila sahabat-sahabat mereka dalam birokrasi pemerintahan diganggu KPK, padahal para sahabat itu adalah kawan sinergis dalam menambah akumulasi keuntungan ekonomi mereka. Para pelaku korupsi masa lampau, namun karena menurut skala waktu perbuatannya belum masuk kategori kadaluwarsa, was-was sewaktu-waktu diungkit. Keluarga besar atau kelompok kepentingan besar lainnya, punya motif memusuhi KPK, bilamana tokoh andalan keuangan mereka dalam keluarga besar itu mulai disebut-sebut atau dijaring KPK. Begitu pula keluarga besar mafia hukum dan atau mafia peradilan.

TAK sampai sebulan ada dalam posisi sebagai Ketua KPK, Antasari sudah membawa mantan Kepala Polri Jenderal Rusdihardjo pada 16 Januari 2008 ke dalam tahanan karena dugaan korupsi saat menjabat Duta Besar RI di Kuala Lumpur Malaysia. Dan sejak bulan Februari hingga November 2008 KPK di bawah Antasari menggiring satu persatu petinggi Bank Indonesia ke tahanan dan pengadilan Tipikor dalam kasus korupsi dana 100 milyar rupiah milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. Mulai dari Direktur Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong, Kepala Biro BI Surabaya Rusli Simanjuntak, serta petinggi BI lainnya seperti Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin, sampai Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan petinggi BI lainnya yakni Aulia Pohan yang adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejumlah pejabat pemerintahan daerah dan pejabat Departemen Dalam Negeri juga bergiliran mendapat penanganan KPK yang dipimpin lima serangkai Antasari Azhar, Bibit Samad Riyanto, Chandra M. Hamzah, Haryono Umar dan M. Jasin. Pada 20 Maret 2008, KPK menahan Gubernur Riau 1998-2004 Saleh Djasit dalam kaitan korupsi pengadaan 20 unit pemadam kebakaran, kemudian diajukan ke Pengadilan Tipikor dan mendapat hukuman 4 tahun penjara. Kasus serupa, pengadaan mobil pemadam kebakaran juga menyebabkan diseretnya mantan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dan Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi oleh KPK ke Pengadilan Tipikor. Pada sekitar waktu yang sama KPK juga menangkap sejumlah pelaku korupsi lainnya di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, seperti bekas Kepala Biro Pengendalian, bekas Kepala Dinas Pariwisata dan Kepala Bidang Perlengkapan. Hal yang sama terjadi kepada beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Bupati Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat dan lain sebagainya

Beberapa nama dalam kasus terkenal lainnya yang ditangani KPK, berturut-turut adalah anggota DPR Al Amin Nasution dan Hamka Yamdhu, mantan anggota DPR yang juga adalah Wakil Gubernur Jambi Anthony Zeidra Abidin, Sjahrial Oesman mantan Gubernur Sumatera Selatan dan Sekda Kabupaten Bintan Azirwan. Masih ada pula sejumlah direktur badan usaha milik negara, serta beberapa pejabat di Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Kesehatan. Tak ketinggalan sejumlah pengusaha swasta yang turut serta membantu perbuatan korupsi di lingkungan pejabat negara.

Berita lain yang cukup menyita perhatian publik adalah ketika KPK menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dari Tim Penyelidik Kasus BLBI II tak lama setelah menerima uang suap dari Arthalita Suryani sebesar US$ 660,000 terkait perkara penyimpangan BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia. Beberapa nama Jaksa Agung Muda, antara lain Kemas Yahya Rahman, Untung Uji Santoso dan Wisnu Subroto, disebutkan terlibat dalam perkara ini. Meskipun mereka tidak mengalami proses hukum lanjut, tetapi terjadi beberapa pencopotan jabatan. Hanya Urip dan Arthalita yang diajukan ke Pengadilan Tipikor dan mendapat hukuman penjara.

Terkesan bahwa setelah Antasari mulai menyentuh institusi dari mana ia berasal, tiba-tiba saja ia menjadi ‘musuh keluarga’. Saat soal keterlibatan Antasari dalam pembunuhan berencana Nasruddin Zulkarnain masih pada awal penanganan oleh kepolisian, Kejaksaan Agung lebih gesit menyampaikan secara terbuka ke publik tentang status tersangka sang Ketua KPK yang masih berstatus jaksa itu. Kalau biasanya, sedikit banyaknya pihak kejaksaan masih selalu memperlihatkan sikap yang mengisyaratkan solidaritas korps bila ada anggotanya yang terkena masalah hukum, termasuk terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan, maka khusus untuk Antasari Azhar tanda-tanda itu tak nampak sedikitpun, untuk tidak mengatakan telah terjadi hal sebaliknya.

SEJAK awal penanganan perkara pembunuhan ini, Polri dianggap kurang ‘cerdas’. Atau lebih tepatnya, memang kurang diinginkan adanya suatu penanganan terbaik untuk tidak mengatakan yang sebaliknya? Padahal banyak yang yakin bahwa polisi sebenarnya mampu dan bisa lebih cermat menangani kasus ini, bisa mencoba melakukan analisis lebih mendalam dan luas atas berbagai kemungkinan dari kasus ini, dan tidak terpaku hanya kepada satu asumsi. Sehingga kala itu, timbul pertanyaan, apakah kasus Antasari ini sesederhana yang digambarkan polisi selama ini? Suatu perkara dengan motif sederhana, cinta segitiga dari dua pria dengan posisi baik dalam masyarakat dengan seorang perempuan muda Rani Juliani yang berprofesi caddy di sebuah lapangan golf. Apakah Antasari begitu bodoh untuk melapor dulu ke Kapolri mengenai adanya ancaman yang dihadapinya, lalu kemudian memerintahkan pembunuhan atas diri Nasruddin. Atau begitu pintarnya dengan melapor ke Kapolri Bambang Hendarso Danuri, sehingga tercipta alibi, baru kemudian diam-diam memerintahkan pembunuhan?

Apakah tidak sebaiknya polisi berusaha juga menggali kemungkinan adanya latarbelakang yang lebih serius yang mendalam di balik kasus ini, semisal latar belakang adanya jaringan mafia perkara. Lalu mencoba menelusuri, apakah justru Antasari terlibat dalam jaringan itu bersama Sigid, Wiliardi dan Nasruddin. Ataukah Antasari berdiri di luar itu semua, sehingga sebenarnya yang terjadi adalah pertarungan internal di antara pelaku mafia perkara, yang karena adanya ketidakpuasan ‘pembagian’ lalu saling eliminasi? Bila penyelidikan cermat dilakukan, kasus ini bisa menjadi momentum untuk membongkar lebih jauh mafia perkara dan peradilan pada umumnya, meskipun pada akhirnya menempatkan Antasari sebagai tumbal.

Namun polisi tidak melakukan itu semua, dan meneruskan kasus dalam bentuk yang paling sederhana kepada kejaksaan untuk ditangani lanjut. Memang mungkin saja kasus tersebut memang sesederhana itu adanya, tapi karena terkesan bagi publik bahwa polisi memang seakan tidak all out menggali segala kemungkinan, seakan-akan tidak mau bersusah-susah, maka timbul opini publik bahwa ada sesuatu jalinan besar yang berbau konspirasi di balik peristiwa ini. Penanganan oleh jaksa juga dianggap lebih banyak dipengaruhi aroma ‘balas dendam’ terhadap si Malin Kundang. Dan ketika perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, banyak pengungkapan baru dari para saksi –dari para saksi ahli hingga Jenderal Polisi Susno Duadji dan Wiliardi Wizard yang disidangkan secara terpisah dalam kasus yang sama– yang berakumulasi membentuk kesangsian-kesangsian terhadap kebenaran versi polisi dan jaksa. Kesangsian itu pada esensinya juga memunculkan suatu kemungkinan adanya peranan pihak ketiga dalam kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain.

Pemisahan empat terdakwa dalam kasus ini ke dalam empat berkas dan empat persidangan, juga mendapat kritik, antara lain dari Prof Andi Hamzah. Kenapa tidak disatukan? Mungkin tak etis untuk terlalu jauh untuk membahas aspek hukum dari perkara yang masih berlanjut ini ke tahap-tahap berikut, tetapi terlihat bahwa pada hakekatnya empat majelis yang menangani empat terdakwa memberi empat vonis yang konsisten dalam satu pola, seakan-akan merupakan keputusan satu majelis saja. Sesuai peran para terdakwa, sebagaimana yang dituduhkan, lamanya hukuman kepada empat terdakwa sangat konsisten dan teratur: Antasari Azhar sebagai otak perencana utama dihukum 18 tahun, Sigid Haryo Wibisono yang mendanai pelaksanaan eksekusi dihukum 15 tahun, dan Kolonel Polisi Williardi Wizard sebagai pengatur pelaksanaan eksekusi diganjar 12 tahun. Sementara itu, Jerry Hermawan Lo yang menjadi perantara yang memperkenalkan Williardi dengan para pelaksana eksekusi di lapangan dihukum hanya 5 tahun. Pertemuan logika hukum yang baik dari empat majelis yang independen? Atau by design? Hal lain yang menarik, adalah keempat putusan itu tidak lebih tidak kurang, terkesan hanya meneruskan alur logika yang sebenarnya tak cukup logis yang ada dalam BAP dan kemudian dalam dakwaan jaksa penuntut hukum. Seperti dalam proses-proses sebelumnya, agaknya para hakim juga tidak mau bersusah payah menggali lebih jauh dari ‘pakem’ yang ada, betapapun dalam persidangan, khususnya dalam persidangan Antasari Ahzar banyak muncul fakta persidangan dengan kandungan unsur ‘baru’ yang bisa membuka cakrawala baru dalam memandang perkara ini.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa, kebenaran sejati dalam perkara pembunuhan ini masih memerlukan penelusuran lanjut. Kebenaran harus selalu didekati sedekat-dekatnya. Bila ternyata memang bukan Antasari yang menjadi otak dari pembunuhan ini, padahal dia lah yang dihukum untuk itu –dan dengan demikian perkara ini ditutup– bukankah itu berarti ada penjahat sebenarnya dan penjahat itu bebas. Dan bagaimana kalau penjahat sebenarnya ada terselip dalam tubuh kekuasaan? Pola korban seperti ini akan bisa terulang terus, entah berapa kali. Sebaliknya, bila memang benar Antasari dan kawan-kawanlah yang melakukan pembunuhan berencana ini, yang bisa ditunjukkan dengan fakta dan bukti meyakinkan dan didukung argumentasi yang masuk nalar, publik akan terpuaskan dan sedikit banyak bisa membangun kembali kepercayaan publik. Nyatanya, putusan hakim sekali ini, pun tak mampu menimbulkan kepercayaan kualitatif di tengah publik.

Terlepas dari itu semua, pada hakekatnya catatan ini dibuat bukan untuk kepentingan Antasari Azhar, tetapi terutama merujuk kepada logika yang juga dianut para penegak hukum bahwa lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada keliru menghukum seorang yang tidak bersalah, bila terdapat hal-hal yang meragukan. Dengan adanya kesangsian yang masuk akal, maka, para penegak hukum, sesungguhnya layak untuk mencari kebenaran sedekat-dekatnya bagi kasus ini. Tentu, juga untuk kasus-kasus serupa seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang hingga kini belum terungkapkan secara tuntas, tetapi penyelidikan dan penyidikannya telah dihentikan oleh pihak kepolisian. Kita sudah memiliki begitu banyak X-File dalam sejarah kegelapan penegakan hukum kita. Tak perlu ditambah lagi. (Rum Aly).

Jenderal Polisi Susno Duadji ‘From Zero to Hero’

“…..Kalau sesuatu direkayasa, maka memang akan selalu sulit bagi pihak perekayasa untuk menemukan argumentasi yang tepat karena di bawah sadar bagaimanapun hati nurani tetap bekerja dengan arah berlawanan”.

SAAT kasus cicak-buaya merebak di bulan-bulan terakhir tahun 2009, dalam opini publik sosok Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji, tepat berada di tengah jalur kebathilan. Ia dianggap tokoh antagonis pelaku utama, kalau bukan otak, proses kriminalisasi dan eliminasi KPK. Analogi ‘cicak-buaya’ untuk menamai perseteruan Polri-KPK, tersumber dari ucapannya. Iapun dianggap bertanggungjawab penuh –lebih dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri sendiri– untuk tindakan penangkapan dan penahanan dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. Sebagaimana ia sebagai Kabareskrim Polri juga dipersepsi sebagai pemeran utama di kepolisian untuk membawa Ketua KPK Antasari Azhar menjadi tersangka pembunuhan berencana atas diri Drs Nasrudin Zulkarnaen. Pada saat yang sama ia dituding menjadi pemain utama yang memanfaatkan penanganan aspek kriminal kasus Bank Century dan mengail sepuluh miliar rupiah di pusaran air keruh persoalan.

Publik –yang aspirasinya dicerminkan dan ditampilkan dengan baik melalui dukungan sejuta lebih facebooker dalam kasus cicak-buaya– pada hakekatnya telah menempatkan Jenderal Susno Duadji bersama institusi Kepolisian Republik Indonesia sebagai semacam ‘public enemy’ dalam konteks lakon kebathilan kisah kegelapan penegakan hukum Indonesia. Suatu posisi zero sepanjang alur persepsi masyarakat yang mendambakan kebenaran dan keadilan yang ternyata selalu dan tetap merupakan barang langka sepanjang masa Indonesia merdeka.

Dengan campur tangan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono melalui pembentukan Tim 8, dan tentu saja memiliki hubungan sebab-akibat dengan reaksi masyarakat, kasus cicak-buaya mendapat ‘penyelesaian’. Bibit dan Chandra dilepaskan dari tahanan setelah kejaksaan mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara. Namun penghentian perkara itu disertai embel-embel formulasi yang sebenarnya kurang nyaman bagi kedua pimpinan KPK itu, yang bila diterjemahkan secara awam sebenarnya diyakini bersalah –berkasnya sudah P21– namun karena faktor pengaruh Presiden dan rekomendasi Tim 8, keduanya dilepaskan dari perkara itu.

Setelah Bibit dan Chandra kembali ke posisi formalnya seperti sediakala di KPK, giliran Jenderal Susno Duadji seakan-akan dilanda arus balik. Ia diberhentikan dari jabatan sebagai Kabareskrim Polri dan ditempatkan untuk sementara sebagai perwira tinggi tanpa jabatan di Markas Besar Kepolisian RI. Semula apa yang menimpa Susno Duadji disambut baik oleh berbagai kalangan sebagai tanda adanya niat kepolisian untuk membenahi diri. Akan tetapi ketika ‘pembenahan diri’ itu terhenti hanya sampai Susno Duadji, padahal menurut opini publik yang mengemuka bahwa Susno Duadji tak mungkin berdiri sendiri dalam segala tindakannya, mulai timbul kesangsian, jangan-jangan Susno hanyalah satu batu alas altar pengurbanan? Apalagi berturut-turut dalam suatu koinsidensi terjadi beberapa peristiwa yang menampilkan Jenderal Susno Duadji dalam pusat perhatian.

PERISTIWA pertama, ia hadir sebagai saksi a de charge bagi terdakwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar dalam persidangan kasus pembunuhan Drs Nasrudin Zulkarnaen Direktur PT Putra Rajawali Banjaran di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 7 Januari 2010. Diawali dengan protes Jaksa Penuntut Umum Cyrus Sinaga yang mempersoalkan kehadiran Susno dengan berseragam namun tanpa bekal izin atasan, Susno memberikan kesaksian-kesaksian yang mengungkap beberapa hal menarik yang terjadi di tubuh institusinya dalam kaitan penanganan perkara tersebut. Salah satunya adalah pemaparan betapa secara internal selaku Kabareskrim dia ‘dilewati’ begitu saja. Kapolri memberi penugasan langsung kepada Wakil Kabareskrim, Inspektur Jenderal Hadiatmoko, untuk mengawasi pelaksanaan penanganan penyidikan kasus pembunuhan Nasrudin itu oleh Polda Metro Jaya. Susno tak pernah diberitahu oleh atasannya maupun bawahannya itu mengenai penugasan tersebut. Wakil Kabareskrim dalam kaitan itu juga tidak pernah melapor pada dirinya, dan hanya melapor langsung kepada Kapolri.

Keterangan tentang penugasan kepada Inspektur Jenderal Hadiatmoko ini menjadi menarik, karena ketika beberapa waktu sebelumnya dalam kesaksian Komisaris Besar Polisi Wiliardi Wizard –terdakwa dalam kasus yang sama tapi disidangkan terpisah– disebutkan bahwa Hadiatmoko telah melakukan penekanan agar Wiliardi memberi kesaksian memberatkan Antasari Azhar. Atas keterangan Wiliardi ketika itu, Hadiatmoko membantah dan menyatakan tidak tahu menahu tentang kasus Antasari dan tidak punya kepentingan terhadap kasus tersebut. Ternyata, sepanjang yang diterangkan Susno, Hadiatmoko bukan hanya tahu melainkan malahan adalah orang yang ditugaskan melakukan pengawasan atas penyidikan kasus tersebut oleh Polda Metro Jaya. Dalam persidangan, ketika diminta memberi penilaian, Komisaris Jenderal Susno Duadji berdasarkan pengalaman sehari-hari di institusi Polri, mengatakan “seseorang yang ditugaskan atasan, pasti mempunyai kepentingan agar tugas tersebut berhasil”. Salah seorang pengacara Antasari segera memberikan kesimpulan bahwa itu berarti “Hadiatmoko punya kepentingan”.

Kehadiran Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji sebagai saksi tanpa izin institusinya dalam persidangan dengan terdakwa Antasari Azhar ini, memicu kontroversi, terutama di tubuh Polri sendiri. Sejumlah perwira tinggi kepolisian mengecam perilaku sang perwira dan mempersalahkan Susno dengan menyebutkannya indisipliner dan tidak etis. Tetapi dengan tenang Susno Duadji menjawab bahwa ia hanya mematuhi undang-undang, dan bila ia tak memenuhi surat panggilan Pengadilan untuk bersaksi berarti ia melanggar undang-undang. Secara tersirat, di sini muncul pencerminan sikap dan pemahaman bahwa perintah undang-undang, bagaimanapun lebih tinggi daripada perintah atasan. Suatu preseden yang bersifat terobosan dalam konteks ketaatan hukum di lingkungan institusi hirarkis semacam Polri. Untuk menangani ‘insiden’ Susno Duadji ini sampai-sampai ada dua tim untuk melakukan pemeriksaan dan klarifikasi, namun pada akhirnya muncul kesimpulan bahwa tindakan Susno tidak melanggar ketentuan internal kepolisian.

Terlepas dari itu, kehadiran Susno dalam persidangan Antasari, dengan kesaksiannya yang mengungkapkan adanya kejanggalan tertentu dalam penanganan Polri atas kasus ini ternyata menimbulkan simpati yang luas di masyarakat. Nama Susno sudah mengarah menjadi hilang dari daftar public enemy dalam konteks kegelapan penegakan hukum. Apalagi bersamaan dengan itu terhadap kasus Antasari Azhar sendiri memang telah mulai muncul kesangsian publik yang dari waktu ke waktu makin meluas. Masyarakat misalnya mempunyai penilaian tersendiri pada rekaman percakapan Rani dengan Antasari di kamar 803 Hotel Gran Mahakam. Banyak yang berkesan bahwa Rani justru tampil dalam nuansa peran seducer dan seakan punya tujuan tertentu mengikuti arahan dari almarhum suami ‘sirih’nya. Digunakannya cara merekam melalui telpon genggam yang sengaja on, menimbulkan kesan adanya upaya penjebakan. Sementara itu banyak  yang cenderung percaya kepada pengakuan Kombes Wiliardi bahwa dirinya ditekan untuk memberi kesaksian memberatkan Antasari. Fakta-fakta di persidangan, termasuk kesaksian para ahli IT, dalam penilaian awam dari banyak anggota masyarakat, sepertinya satu persatu makin menunjukkan kejanggalan dalam penanganan kasus ini sejak di tangan kepolisian hingga kejaksaan. Aroma rekayasa terasa menjadi lebih kuat. Tuntutan hukuman mati yang diajukan Cyrus Sinaga dan kawan-kawan dianggap dipaksakan dan banyak mengabaikan fakta-fakta di persidangan. Jaksa-jaksa pun, tanpa bermaksud mengecilkan kualitas pribadi mereka masing-masing, umumnya tampil sebagai pihak yang kalah debat karena lemah dalam argumentasi di dalam maupun di luar persidangan. Lalu ada yang mengatakan: Kalau sesuatu direkayasa, maka memang akan selalu sulit bagi pihak perekayasa untuk menemukan argumentasi yang tepat karena di bawah sadar bagaimanapun hati nurani tetap bekerja dengan arah berlawanan.

SETELAH tampil sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus Antasari Azhar –yang sedang mengalami degradasi nasib from hero to zero– Komisaris Jenderal Susno Duadji, tampil lagi dalam suatu peristiwa lain, peristiwa kedua. Kali ini di pentas politik, menjadi saksi dalam sidang penyelidikan oleh Pansus DPR-RI mengenai Bank Century di Gedung DPR-RI, Rabu 20 Januari 2010. Beberapa penjelasan Jenderal Susno Duadji di depan anggota Pansus, tampaknya memenuhi keingintahuan mayoritas publik yang menyaksikan lewat siaran langsung dua televisi swasta, mengenai apa yang dianggap sebagai penyimpangan-penyimpangan dalam kasus Bank Century itu.

Dalam forum tersebut Susno Duadji mampu menginformasikan dengan gaya komunikasi yang baik bahwa penangkapan Robert Tantular yang dianggap telah ‘merampok’ banknya sendiri, memang terakselerasi oleh perintah Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang kala itu menjadi pemangku tugas Presiden, kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Setelah menerima perintah itu pada tanggal 25 Nopember 2008 sore, Kapolri mendiskusikan dengan Susno apakah penangkapan bisa dilakukan dengan dasar atau alasan hukum yang cukup. Susno menyatakan, bisa, karena sudah punya petunjuk awal yang cukup. Sementara tim pelaksana penangkapan pergi menjalankan tugasnya, dan menangkap Robert Tantular sekitar maghrib, Susno ke Bank Indonesia dan bertemu Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah dan menyampaikan akan menangkap Robert Tantular. Petinggi BI ini sempat mengatakan “Pak Susno, apa cukup buktinya? Kalau menurut kami, belum”. Sikap ini sama dengan sikap Gubernur BI waktu itu, Budiono, yang pada 25 Nopember mengatakan kepada Jusuf Kalla, bahwa penangkapan terhadap Robert Tantular tidak dilakukan karena belum cukup bukti dan alasan hukumnya. Keterangan Susno ini memperjelas peranan Jusuf Kalla, yang oleh sebagian anggota Pansus dari kelompok pendukung pemerintah coba disanggah dan dinyatakan merupakan intervensi terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Dalam forum itu Susno juga berkesempatan menepis isu yang beredar sebelumnya bahwa ia pernah menerima sepuluh miliar rupiah dari salah satu nasabah besar Bank Century yang minta tolong depositonya dicairkan. Susno juga memaparkan apa yang pernah dilakukannya dalam menjalankan tugas selama ini sehingga seorang anggota Pansus mengapresiasinya sebagai seorang abdi hukum yang berprestasi namun justru tersingkir di dalam institusinya. Bahkan muncul gagasan untuk mengupayakan Susno Duadji mendapat peran dalam penuntasan pengusutan perbuatan kriminal dalam kasus Bank Century.

Kecuali bahwa ia diserang habis-habisan dan coba dipojokkan oleh anggota-anggota Pansus yang berasal dari Partai Demokrat –seperti Benny K. Harman dan Ruhut Poltak Sitompul yang dalam sidang-sidang Pansus menjadi terkenal karena berbagai ulahnya yang membuat banyak orang geleng-geleng kepala– pada umumnya Susno mampu tampil cukup memikat dan mendapat simpati mayoritas anggota Pansus. Ia tampil cukup sabar, ramah, dengan sikap santai yang berkali-kali mampu mencairkan suasana termasuk ketika menangkis serbuan-serbuan Ruhut Sitompul yang katanya di’nobat’kan Harian Kompas sebagai pengacara paling terkenal ketiga.

BILA beberapa bulan yang lalu sang jenderal menjadi tokoh kontroversial di mata publik, melalui dua penampilan, di persidangan kasus Antasari Azhar dan dalam rapat Pansus DPR, Susno secara agak mendadak sepertinya meraih simpati yang luas, beralih kedudukan from zero to hero. Timbul kesangsian. Apakah betul selama ini ia polisi buruk dalam suatu situasi yang juga buruk. Ataukah the bad cop yang tercerahkan dan memilih untuk kini berada pada jalur yang benar. Atau mungkin, ternyata polisi yang sebenarnya baik namun berada dalam situasi yang buruk? Kalau ia termasuk pada salah satu dari dua kategori disebutkan terakhir, sebenarnya tak keliru untuk mengharapkan bahwa bila diberi penugasan pada jalan penegakan hukum yang benar, ia bisa menghasilkan sesuatu yang berharga dalam mengakhiri kesesatan dan kegelapan penegakan hukum. Biasanya yang pernah terantuk, akan berjalan lebih baik setelah itu (Rum Aly).