Tag Archives: perang bintang

Friday The Sixteenth: Antara Presiden Jokowi dan Para Jenderal Polisi

KURVA menanjak temperatur sosial-politik akibat situasi pro-kontra setelah DPR tetap menyetujui pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan –padahal KPK telah memberi status tersangka– mendadak mendatar sejenak saat Presiden Jokowi mengumumkan jalan tengah di Jumat malam 16 Januari 2015. Pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri ditunda. “Bukan dibatalkan,” Presiden menegaskan. Selain belum menuntaskan persoalan, ada bagian tak nyaman dalam solusi ini. Kapolri Jenderal Sutarman telah diberhentikan ‘mendadak’ –bahkan jauh lebih cepat dari yang mampu diduga siapa pun– demi solusi jalan tengah itu. Lalu Wakapolri Komjen Badrodin Haiti ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, dan tentu saja tanpa kejelasan batas waktu. Bahwa Presiden memiliki hak prerogatif, itu betul, tetapi dalam konteks negara demokratis pasti lebih baik bila hak itu digunakan dengan elegan dan tidak sampai menimbulkan kesan dilakukan sekehendak hati saja.

JENDERAL POLISI SUTARMAN. "Namun ada bagian tak nyaman dalam solusi ini. Kapolri Jenderal Sutarman telah diberhentikan ‘mendadak’ –bahkan jauh lebih cepat dari yang mampu diduga siapa pun– demi solusi jalan tengah itu." (download, editing)
JENDERAL POLISI SUTARMAN. “Namun ada bagian tak nyaman dalam solusi ini. Kapolri Jenderal Sutarman telah diberhentikan ‘mendadak’ –bahkan jauh lebih cepat dari yang mampu diduga siapa pun– demi solusi jalan tengah itu.” (download, editing)

Agaknya, saat bertemu Presiden pada Jumat pagi, Jenderal Sutarman juga telah diminta untuk memberhentikan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Suhardi Alius, yang dilaksanakan per hari itu juga.

Pengkhianatan dan ‘Perang Bintang’. Bersamaan dengan itu pada Jumat siang merebak pula hembusan berita tak sedap, Suhardi Alius adalah seorang pengkhianat. Pengkhianatan terhadap apa dan siapa? Kedekatannya dengan KPK dan PPATK –yang banyak terkait karena masalah tugas– rupanya menjadi semacam dasar sebuah tuduhan seolah-olah Suhardi Alius lah yang memberi masukan kepada  KPK yang menyebabkan Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Isu pengkhianatan ini seakan melengkapi berita adanya ‘perang bintang’ di kalangan perwira tinggi Polri dalam kaitan memperebutkan kursi nomor satu di institusi tersebut. Sejumlah pers cetak maupun media online memberitakan ungkapan Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch, tentang adanya ‘perang bintang’ di tubuh institusi kepolisian. Neta menyebut ada tiga perwira tinggi Polri yang tidak senang kepada Komjen Budi Gunawan dan sengaja menciptakan situasi gonjang-ganjing dalam konteks rivalitas memperebutkan posisi Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Tujuannya, salah satu dari mereka bertiga yang menjadi Kapolri. Sepanjang yang bisa dicatat, bersama Budi Gunawan, Kompolnas sebelumnya mengajukan empat nama jenderal bintang tiga lainnya sebagai calon Kapolri. Mereka adalah Badrodin Haiti (Wakapolri), Dwi Priyatno (Inspektur Pengawasan Umum Polri), Putut Eko Bayuseno (Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri) dan Suhardi Alius (Kepala badan Reserse dan Kriminal Polri). Tampaknya nama Wakapolri Badrodin Haiti, tidak termasuk dalam deretan tiga perwira tinggi yang disebut Neta.

Terhadap isu ‘perang bintang’ di tubuh Polri, tak ada pilihan lain bagi Polri dalam menjawab. “Tidak ada itu,” ujar Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Agus Rianto, juga di hari Jumat 16 Januari. “Tidak ada konflik internal, semua tetap solid.”

BUDI GUNAWAN, JOKOWI DAN MEGAWATI DALAM GRAFIS 'TEMPO'. Sebenarnya, di luar dari apa yang dinarasikan komisioner Kompolnas itu, adalah dianggap jamak bahwa setiap Presiden berkecenderungan untuk ‘memiliki’ Kapolri yang di’pilih’nya sendiri –atau setidaknya yang dipilihkan oleh lingkaran dalamnya. Semacam kebutuhan psikologis, sebenarnya. Kecenderungan ini tidak boleh tidak adalah indikator betapa institusi Polri masih lebih dipandang sebagai alat kelengkapan politik daripada alat penegakan hukum dan ketertiban masyarakat yang profesional."
BUDI GUNAWAN, JOKOWI DAN MEGAWATI DALAM GRAFIS ‘TEMPO’. Sebenarnya, di luar dari apa yang dinarasikan komisioner Kompolnas itu, adalah dianggap jamak bahwa setiap Presiden berkecenderungan untuk ‘memiliki’ Kapolri yang di’pilih’nya sendiri –atau setidaknya yang dipilihkan oleh lingkaran dalamnya. Semacam kebutuhan psikologis, sebenarnya. Kecenderungan ini tidak boleh tidak adalah indikator betapa institusi Polri masih lebih dipandang sebagai alat kelengkapan politik daripada alat penegakan hukum dan ketertiban masyarakat yang profesional.”

Namun, terlepas dari isu ‘perang bintang’ versi Neta, kalau lah memang benar Suhardi memberi masukan kepada KPK dan yang disampaikannya itu ada dasar pembuktiannya kelak, bukan fitnah, apakah itu pengkhianatan? Justru bila jenderal bintang tiga ini menutup-nutupi suatu kesalahan atas dasar kesetiaan korps belaka, ia bukan hanya mengkhianati institusi Kepolisian RI, tetapi juga penegakan hukum dan mengkhianati rakyat seluruhnya.

Merupakan hal yang menarik bahwa sinyalemen adanya pengkhianatan, dikonfirmasi pertama kali oleh Inspektur Jenderal Budi Waseso yang ternyata pada hari yang sama, Jumat 16 Januari, ditetapkan menjadi pengganti Suhardi Alius sebagai Kabareskrim. Kepada berbagai media ia membenarkan adanya pengkhianatan dan pembusukan di internal Polri. Ia dikutip pers mengatakan, “Pengkhianat tidak boleh ada di lingkungan Polri. Kalaupun dia tidak berkhianat minimal dia tidak cakap dan profesional.” Walau tak menyebut nama, khalayak politik dan para pengamat bisa membaca bahwa yang dikonfirmasi sebagai pengkhianat tak lain adalah Komjen Suhardi Alius. Irjen Budi Waseso sendiri pada hari-hari terakhir dalam proses pencalonan Kapolri pengganti Jenderal Sutarman, dalam berbagai kesempatan banyak terlihat mendampingi Komjen Budi Gunawan.

Terhadap tudingan pengkhianatan yang tertuju pada dirinya, Komjen Suhardi Alius, memberi bantahan bahwa ia bukanlah sosok penyebab Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK. “Saya dekat dengan KPK dan PPATK karena fungsi dan tugas saya sebagai Kabareskrim. Saya tidak pernah melakukan hal yang diisukan itu.” Mantan Wakil Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Oegroseno –meskipun tak lagi terkait secara struktural dengan Polri, tetap merasa masih punya kedekatan moral dengan institusi– menyatakan tak bisa memahami pernyataan Irjen Budi Waseso yang menyebut adanya pengkhianat di tubuh Polri. “Justru pernyataan tersebut akan membuat kegaduhan baru di tubuh Polri,” ujarnya. Menurut Oegroseno yang menjadi Wakapolri sebelum Komjen Badrodin Haiti, Propam Polri mestinya menelusuri kebenaran di seputar isu itu untuk mencegah institusi gampang digoyang isu sumir –yang memecah belah– di masa mendatang.

Narasi. Bagaimana halnya dengan Jenderal Sutarman sendiri, khususnya dalam konteks hubungannya dengan Presiden Jokowi? Kali ini seorang komisioner Kompolnas, Edi Hasibuan, mengambil peran sebagai pembawa narasi. Menurut Edi Hasibuan dalam percakapan dengan detik.com, juga pada hari Jumat 16 Januari, dalam pertemuan antara Kompolnas dan Presiden diketahui bahwa Jokowi ingin melakukan reformasi total terhadap Polri. Jokowi, kata Edi, butuh figur yang sejalan dengan programnya. Tokoh untuk menghentikan pencurian ikan dan melakukan revolusi mental terhadap internal Polri. Lalu kenapa dengan Sutarman dalam konteks tersebut? “Mungkin pak Presiden melihat kinerja Kapolri belum maksimal. Masih sering terjadi konflik antar instansi, dan kepercayaan masyarakat terhadap Polri juga masih belum sepenuhnya bagus. Saya kira masalah pergantian itu kewenangan bapak Presiden.”

Sebenarnya, di luar dari apa yang dinarasikan komisioner Kompolnas itu, adalah dianggap jamak bahwa setiap Presiden berkecenderungan untuk ‘memiliki’ Kapolri yang di’pilih’nya sendiri –atau setidaknya yang dipilihkan oleh lingkaran dalamnya. Semacam kebutuhan psikologis, sebenarnya. Kecenderungan ini tidak boleh tidak adalah indikator betapa institusi Polri masih lebih dipandang sebagai alat kelengkapan politik daripada alat penegakan hukum dan ketertiban masyarakat yang profesional. Dalam hal ini, bagi Presiden Jokowi, bagaimanapun Jenderal Sutarman adalah Kapolri ‘warisan’ presiden terdahulu. Padahal, sebenarnya Pasal 8 Undang-undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memberi jaminan objektif bahwa Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena semua anggota kepolisian adalah pegawai negeri sesuai ketentuan dalam Pasal 1, maka dengan sendirinya anggota kepolisian bukan produk rekrutmen politik yang bisa mengatur-atur sendiri ketaatan dan loyalitasnya, dan pada sisi lain dalam hirarki bisa mengatur-atur sendiri kepada figur mana ketaatan dan loyalitas ingin diberikannya.

X-Files. DI ATAS segalanya, dalam masalah pengangkatan Kepala Polri ini, harus dicatat bahwa jalan tengah yang telah diambil Presiden Jokowi, tak lebih dari penyelesaian sementara. Presiden jangan membiarkan diri tergelincir bersama arus politik yang untuk kepentingan politis subjektif ingin mematahkan  proses hukum yang sedang dijalankan KPK terhadap Budi Gunawan. Sejauh catatan pencapaiannya selama ini, KPK selalu bisa membuktikan diri lebih cermat dan karenanya lebih patut untuk dipercaya dalam proses pemberantasan korupsi.

Lebih pantas untuk diyakini, kelak akan terbukti bahwa KPK justru menyelamatkan Presiden Jokowi dari suatu kekeliruan moral hukum dan moral politik. Namun, bagaimana nantinya persoalan yang bagian-bagian pentingnya terjadi Jumat 16 Januari ini –Friday The Sixteenth– akan diakhiri, itu sebuah pertanyaan besar. Apakah nanti akan terselesaikan dengan baik atau akan tercatat sebagai X-Files –kasus yang tak terselesaikan sesuai kebenaran– masih merupakan tanda tanya yang akan terjawab dengan berjalannya waktu. (socio-politica.com)

Pemberantasan Korupsi: Kembali ke Titik Mula?

“NAMUN keajaiban selalu bisa terjadi. Mungkin datang dari Dia yang di atas yang sudah begitu belas kasihan melihat nasib rakyat Indonesia yang seumur-umur terbelit ketidakbenaran. Mungkin juga datang dari kekuatan opini publik sendiri yang kini sudah berada pada titik kulminasi kekecewaannya terhadap segala permainan penuh konspirasi dalam penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Atau dari kedua-duanya?”.

MASIH pantaskah untuk optimis tentang pemberantasan korupsi di Indonesia dengan segala apa yang terjadi belakangan ini dalam hiruk pikuk terbentur-benturnya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum? Pada dataran idealistik, tentu saja optimisme harus dipelihara. Sementara bagi kaum pragmatis dalam kehidupan politik dan kekuasaan, semangat penegakan hukum dan khususnya pemberantasan korupsi menurut ‘dogma’ retorika politik pun harus tetap dikobarkan. Bukankah menurut slogan muluk yang selama ini di’kunyah-kunyah’ para praktisi hukum, “hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh”?

Namun, pada dunia nyata sehari-hari yang penuh pragmatisme terkait kepentingan sendiri-sendiri, sejumlah peristiwa kasat mata dalam penegakan hukum dan atau pemberantasan korupsi, justru ‘berhasil’ menggoyahkan optimisme lalu menumbuhkan sikap pesimistik dan skeptik. Kita bisa melihat betapa setiap pihak –entah institusi entah kelompok atau perorangan– yang menjalankan aktivitas pemberantasan korupsi dan pembasmian kejahatan sejenis, secara sistematis akan berhadapan dengan berbagai bentuk ‘perlawanan’ yang sangat taktis untuk akhirnya mewujud sebagai ‘gempuran’ yang mematikan. Ini telah terjadi dari dulu sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga detik ini. Belum lagi bahwa memang beberapa institusi dibentuk oleh kalangan penguasa, tidak untuk betul-betul berhasil, melainkan sekedar etalase untuk menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan.

OPERASI Budi yang dilancarkan Jenderal AH Nasution setelah pertengahan tahun 1950an, untuk mengikis korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan tentara, terhenti begitu saja meskipun sempat berkali-kali menunjukkan hasil. Padahal kala itu gejala korupsi menguat di kalangan perwira-perwira tentara sejak mereka terjun ke sektor ekonomi dan keuangan. Pada akhir tahun 1957 terjadi pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang kemudian dinasionalisir menjadi badan-badan usaha milik negara. Karena dianggap memiliki sumberdaya manusia yang lebih siap, perwira-perwira tentara masuk mengambil peran dan posisi-posisi penting dalam pengelolaan badan-badan ekonomi eks Belanda itu.

Peran dadakan yang membawa para perwira itu ke dalam dunia kelimpahan uang dan bisnis itu menciptakan berbagai ekses di kalangan perwira tentara, dan momen itu menjadi awal keterlibatan mereka dalam medan korupsi. Ekses lain, terjadi saling intrik dan jegal di antara para perwira itu, karena memperebutkan posisi. Meskipun para perwira ini ternyata gagal menjalankan institusi-institusi ekonomi tersebut dengan baik diukur berdasarkan skala kepentingan umum, tetapi pada sisi lain akhirnya tumbuh satu ikatan kepentingan bersama yang ‘perlu’ dipertahankan. Harus diakui bahwa dengan posisi-posisi di institusi ekonomi itu, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktivitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira. Salah satu institusi yang paling strategis adalah sektor perminyakan. Dalam situasi seperti itu, mungkinkah Operasi Budi terus dilanjutkan tanpa membentur kepentingan bersama?

DI MASA kekuasaan Soeharto, tak sedikit lembaga anti korupsi yang dibentuk. Ada misalnya TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto. Tapi sampai badan ini bubar, tak pernah ada hasil signifikan yang bisa dicatat. TPK lebih galak dalam statemen daripada aksi di lapangan. Komisi-4 yang dipimpin Wilopo dan diisi berbagai tokoh tua, hanyalah sebuah badan ad-hoc, yang ternyata tak bisa berdaya apapun di dunia praktis, sehingga disebutkan sebagai barisan macan ompong. Tetapi pembentukan Komisi-4 oleh Presiden Soeharto itu memang tidak dimaksudkan sebagai macan pemberantasan korupsi di medan sebenarnya, melainkan sekedar menjawab dan meredam keresahan dan kritik mahasiswa dan generasi muda lainnya mengenai korupsi di tahun 1970.

Presiden Soeharto juga sempat memberikan semacam obat placebo melalui Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo, dengan mengintrodusir Opstib (Operasi Tertib). Operasi ini cukup gencar dan gebrakan-gebrakannya selalu mengisi kolom pemberitaan kora-koran dan layarkaca TVRI untuk seberapa lama. Tetapi operasi yang seakan melembaga ini, secara kritis dinilai hanya menyentuh praktek pungutan liar kelas teri: pungli kelas jigo yang dilakukan polisi-polisi lalu lintas di jalanan, pungli di pos jembatan timbang DLLAJR di lintas antar kota, atau pungutan liar lainnya yang masih tetap tergolong teri di pelabuhan-pelabuhan, kantor pembuatan paspor di imigrasi dan sebagainya. Padahal, dalam asumsi publik kala itu –yang sebenarnya tidak terlalu meleset– berlangsung permainan-permainan besar di kalangan atas, namun tak tersentuh oleh Opstib. Masyarakat hanya bisa menduga-duga secara diam-diam di bawah permukaan seraya bertanya-tanya, kenapa menteri anu dan anu bisa kaya-kaya, kenapa dirjen anu rumahnya sekian-sekian, kenapa semua yang jadi dirjen pajak, dirjen bea-cukai dan dirjen tertentu lainnya serta jajarannya yang membidangi tempat ‘basah’ bisa serba gemerlap hidupnya? Karena pada masa kekuasaan Soeharto sangat langka adanya kasus korupsi besar-besaran masuk ke Kejaksaan dan Pengadilan, maka pengacara-pengacara pun tidak terlalu super kaya seperti yang kita saksikan di pasca Soeharto hingga saat ini. Barangkali hanya kasus korupsi Kepala Dolog (aparat BULOG di daerah) Kalimantan Timur Budiadji yang berskala milyaran, yang menonjol kala itu.dan sudah dianggap spektakuler, padahal, kalau meminjam istilah masa kini dari Komjen Susno Duadji, “itu, keciiil”. Bagaimana dengan kasus Edy Tanzil yang mencuat pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto? Itu lain lagi. Penuh lika-liku, yang sampai kini masih merupakan misteri, tak terungkap libatannya ke kalangan kekuasaan. Rahasianya hilang bersama ‘keberhasilan’ Edy Tanzil kabur dari LP Cipinang.

Dengan berlalunya waktu, satu persatu korupsi masa lampau dipastikan akan tetap terkubur tanpa terungkap lagi. Kalaupun ada yang akan terbuka ke khazanah publik, secara hukum sudah akan kadaluarsa termakan waktu.

DAN bagaimana dengan kasus-kasus korupsi serta kejahatan keuangan lainnya yang terjadi di masa reformasi pasca lengsernya Soeharto? Di bawah tiga Jaksa Agung berturut-turut –Andi Muhammad Ghalib, Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa– terlepas dari ‘kekurangan’ masing-masing, Kejaksaaan Agung sejenak menjadi bintang pengharapan di atas segala pengharapan. Sejumlah pelaku kejahatan atas keuangan negara dalam jumlah yang cukup signifikan diseret satu persatu ke sel tahanan dan kemudian diajukan ke meja hijau. Tapi tragis bahwa badan-badan peradilan pada masa yang sama lebih banyak berfungsi sebagai badan pemakaman atas berbagai kasus korupsi. Menarik untuk mencatat nasib ketiga Jaksa Agung itu. Andi Muhammad Ghalib tergelincir karena adanya transfer ke rekening atas namanya, padahal rekening itu adalah rekening sebuah organisasi olahraga yang dipimpinnya. Dan tak pernah dituntaskan bahwa transfer tersebut sebenarnya adalah untuk dana organisasi. Marzuki Darusman dihentikan di tengah jalan karena banyaknya bisikan kepada Presiden bahwa sang jaksa agung itu tak disukai ‘rakyat’. Memang pastilah seorang jaksa agung takkan disukai, terutama oleh mereka yang terkena penanganan kasus. Baharuddin Lopa, lain lagi. Menjadi Jaksa Agung dalam tempo kurang dari seumur jagung. Meninggal dunia di tanah suci. Versi resmi karena serangan jantung dan kelelahan. Versi desas-desus, sama dengan nasib Munir beberapa tahun kemudian. Hal menarik lainnya, ketiga Jaksa Agung itu bagaimanapun telah memicu meningkatnya fee sebarisan pengacara tertentu, sehingga beberapa di antaranya kini menjadi golongan super kaya.

NASIB baik memang enggan mendekati mereka yang memangku tugas penegakan hukum dan mencoba sedikit saja bersungguh-sungguh menjalankan tugas itu dengan cukup baik. Perhatikan nasib lembaga sebelum lahirnya KPK, yakni KPKPN (Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara). Begitu lembaga adhoc itu meningkat kegalakannya mengungkap daftar kekayaan sejumlah pejabat negara dan lembaga legislatif –yang beberapa di antaranya menampilkan angka-angka yang menimbulkan tanda tanya– maka ia segera di’eliminasi’ melalui prosedur yang ‘baik’, dilebur ke dalam lembaga baru bernama KPK. Sepanjang yang bisa dianalisis, masih bisa dipertanyakan, apakah saat dilahirkan KPK memang betul-betul diharapkan jadi macan pemberantasan korupsi? Di masa awal, khususnya pada periode kerja pertama, tanpa bermaksud mengecilkan para tokoh yang duduk di dalam komisi adhoc tersebut, kinerja KPK memang terlihat tidak cukup mengesankan. Namun sungguh mencengangkan –dan barangkali mengejutkan sejumlah anggota DPR yang membidani ‘kelahiran’ lapisan kepemimpinan kedua dari KPK– bahwa sepak terjang KPK di bawah Antasari Azhar dengan cepat menarik perhatian dan menimbulkan harapan baru di masyarakat. Sejumlah kasus populer ditangani dengan gesit, termasuk sejumlah skandal suap dan gratifikasi yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Dan dengan segera pula, KPK yang telah menjadi kekasih publik namun pada saat yang sama ia menjadi musuh nomor satu bagi sejumlah kalangan kekuasaan.

Dalam posisi khas seperti itu, jangan pernah salah langkah sedikitpun. Di negara di mana para pelanggar hukum kuat dan bersekutu dengan sejumlah kalangan penegak hukum yang lemah iman dan korup, setiap pengganggu kepentingan akan dieliminasi tanpa ampun, paling tidak akan dikerjai begitu ada sedikit saja alasan. Begitu pula yang akan terjadi kepada kaum kritis yang vokal.

Aktivis HAM bernama Munir, terlalu ‘banyak bicara dan mengungkit kejahatan HAM masa lampau’. Ia mati diracun tanpa ada pelaku yang bisa dihukum, kecuali seorang pilot naas yang pastilah hanya berkategori alat belaka. Antasari Azhar? Kita sudah tahu apa yang menimpanya, dan masih akan kita tunggu kisah lanjut kebenaran sejatinya. Itupun kalau bisa terungkap. Sembilan dari sepuluh peluang, ia akan tetap mendekam dalam penjara. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, sedang dalam proses ditimbul-tenggelamkan. Tidak hanya oleh kalangan kekuasaan, tetapi juga oleh sejumlah kalangan pengacara papan atas, yang tampaknya sangat memusuhi KPK. Apakah betul mereka menerima suap dari Anggodo-Anggoro bersaudara atau tidak, yang jelas KPK kemungkinan besar akan ikut rubuh, entah untuk seberapa lama atau entah untuk seterusnya. Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji yang menjadi peniup peluit dalam pengungkapan adanya makelar kasus di tubuh Polri dengan segera menjadi ‘musuh’ insititusinya sendiri. Terbukti betapa ia telah dijadikan sasaran bulan-bulanan sejumlah petinggi formal dari kepolisian selama beberapa waktu terakhir ini. Masih perlu ditunggu apa akhir dari drama Susno ini setelah ia kini masuk ke dalam proses pemeriksaan ‘tim independen’ Polri yang hingga kini belum bisa diraba publik mengenai objektivitas dan kenetralannya dalam ‘perang bintang’. Susno sementara itu, kini tak ‘bersuara’ lagi, setelah ada dalam proses pemeriksaan di Polri tersebut. Apakah ia sudah akan bungkam seterusnya? Kasus Bank Century? Saat di atas kertas bola kini ada di tangan KPK, sejauh ini seakan tak ada kemajuan dalam penanganan kasus yang dicurigai berlatarbelakang dana politik kekuasaan ini. Terakhir memang Dr Boediono sudah dipanggil sebagai saksi, tapi terus terang publik mulai sangsi kepada ‘ketajaman’ KPK. Apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, ketika dua dari empat unsur pimpinannya yang tersisa sedang diayun-ayun nasibnya pasca keputusan Pra Peradilan yang membuyarkan SKPP Kejaksaan Agung. Sementara itu penanganan kasus Anggodo yang ditangani KPK telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Masih harus ditunggu hasilnya.

JADI apakah kita masih harus optimis terhadap gerak pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya di Indonesia, sementara di tengah masyarakat terjadi krisis kepercayaan luar biasa terhadap para penegak hukum: Mulai dari para hakim dan institusi pengadilan, para jaksa dan institusinya, para polisi dan institusinya, hingga kepada para pengacara, yang telah bertindak dan berbicara jauh di luar batas harapan rakyat? Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum selama ini bagaikan game elektronik, begitu terjadi salah langkah, permainan akan re-start, segalanya harus diulang lagi dari titik mula.

NAMUN keajaiban selalu bisa terjadi. Mungkin datang dari Dia yang di atas yang sudah begitu belas kasihan melihat nasib rakyat Indonesia yang seumur-umur terbelit ketidakbenaran. Mungkin juga datang dari kekuatan opini publik sendiri yang kini sudah berada pada titik kulminasi kekecewaannya terhadap segala permainan penuh konspirasi dalam penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Atau dari kedua-duanya?