Tag Archives: Andi Muhammad Ghalib

Pemberantasan Korupsi: Kembali ke Titik Mula?

“NAMUN keajaiban selalu bisa terjadi. Mungkin datang dari Dia yang di atas yang sudah begitu belas kasihan melihat nasib rakyat Indonesia yang seumur-umur terbelit ketidakbenaran. Mungkin juga datang dari kekuatan opini publik sendiri yang kini sudah berada pada titik kulminasi kekecewaannya terhadap segala permainan penuh konspirasi dalam penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Atau dari kedua-duanya?”.

MASIH pantaskah untuk optimis tentang pemberantasan korupsi di Indonesia dengan segala apa yang terjadi belakangan ini dalam hiruk pikuk terbentur-benturnya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum? Pada dataran idealistik, tentu saja optimisme harus dipelihara. Sementara bagi kaum pragmatis dalam kehidupan politik dan kekuasaan, semangat penegakan hukum dan khususnya pemberantasan korupsi menurut ‘dogma’ retorika politik pun harus tetap dikobarkan. Bukankah menurut slogan muluk yang selama ini di’kunyah-kunyah’ para praktisi hukum, “hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh”?

Namun, pada dunia nyata sehari-hari yang penuh pragmatisme terkait kepentingan sendiri-sendiri, sejumlah peristiwa kasat mata dalam penegakan hukum dan atau pemberantasan korupsi, justru ‘berhasil’ menggoyahkan optimisme lalu menumbuhkan sikap pesimistik dan skeptik. Kita bisa melihat betapa setiap pihak –entah institusi entah kelompok atau perorangan– yang menjalankan aktivitas pemberantasan korupsi dan pembasmian kejahatan sejenis, secara sistematis akan berhadapan dengan berbagai bentuk ‘perlawanan’ yang sangat taktis untuk akhirnya mewujud sebagai ‘gempuran’ yang mematikan. Ini telah terjadi dari dulu sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga detik ini. Belum lagi bahwa memang beberapa institusi dibentuk oleh kalangan penguasa, tidak untuk betul-betul berhasil, melainkan sekedar etalase untuk menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan.

OPERASI Budi yang dilancarkan Jenderal AH Nasution setelah pertengahan tahun 1950an, untuk mengikis korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di kalangan tentara, terhenti begitu saja meskipun sempat berkali-kali menunjukkan hasil. Padahal kala itu gejala korupsi menguat di kalangan perwira-perwira tentara sejak mereka terjun ke sektor ekonomi dan keuangan. Pada akhir tahun 1957 terjadi pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang kemudian dinasionalisir menjadi badan-badan usaha milik negara. Karena dianggap memiliki sumberdaya manusia yang lebih siap, perwira-perwira tentara masuk mengambil peran dan posisi-posisi penting dalam pengelolaan badan-badan ekonomi eks Belanda itu.

Peran dadakan yang membawa para perwira itu ke dalam dunia kelimpahan uang dan bisnis itu menciptakan berbagai ekses di kalangan perwira tentara, dan momen itu menjadi awal keterlibatan mereka dalam medan korupsi. Ekses lain, terjadi saling intrik dan jegal di antara para perwira itu, karena memperebutkan posisi. Meskipun para perwira ini ternyata gagal menjalankan institusi-institusi ekonomi tersebut dengan baik diukur berdasarkan skala kepentingan umum, tetapi pada sisi lain akhirnya tumbuh satu ikatan kepentingan bersama yang ‘perlu’ dipertahankan. Harus diakui bahwa dengan posisi-posisi di institusi ekonomi itu, tentara berhasil menghimpun dana-dana yang kemudian difaedahkan dalam berbagai aktivitas yang sesungguhnya tak lain adalah kegiatan politik praktis dan tak terlepas dari skenario kekuasaan, selain untuk ‘kenyamanan’ hidup bagi sejumlah perwira. Salah satu institusi yang paling strategis adalah sektor perminyakan. Dalam situasi seperti itu, mungkinkah Operasi Budi terus dilanjutkan tanpa membentur kepentingan bersama?

DI MASA kekuasaan Soeharto, tak sedikit lembaga anti korupsi yang dibentuk. Ada misalnya TPK (Tim Pemberantasan Korupsi) yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto. Tapi sampai badan ini bubar, tak pernah ada hasil signifikan yang bisa dicatat. TPK lebih galak dalam statemen daripada aksi di lapangan. Komisi-4 yang dipimpin Wilopo dan diisi berbagai tokoh tua, hanyalah sebuah badan ad-hoc, yang ternyata tak bisa berdaya apapun di dunia praktis, sehingga disebutkan sebagai barisan macan ompong. Tetapi pembentukan Komisi-4 oleh Presiden Soeharto itu memang tidak dimaksudkan sebagai macan pemberantasan korupsi di medan sebenarnya, melainkan sekedar menjawab dan meredam keresahan dan kritik mahasiswa dan generasi muda lainnya mengenai korupsi di tahun 1970.

Presiden Soeharto juga sempat memberikan semacam obat placebo melalui Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo, dengan mengintrodusir Opstib (Operasi Tertib). Operasi ini cukup gencar dan gebrakan-gebrakannya selalu mengisi kolom pemberitaan kora-koran dan layarkaca TVRI untuk seberapa lama. Tetapi operasi yang seakan melembaga ini, secara kritis dinilai hanya menyentuh praktek pungutan liar kelas teri: pungli kelas jigo yang dilakukan polisi-polisi lalu lintas di jalanan, pungli di pos jembatan timbang DLLAJR di lintas antar kota, atau pungutan liar lainnya yang masih tetap tergolong teri di pelabuhan-pelabuhan, kantor pembuatan paspor di imigrasi dan sebagainya. Padahal, dalam asumsi publik kala itu –yang sebenarnya tidak terlalu meleset– berlangsung permainan-permainan besar di kalangan atas, namun tak tersentuh oleh Opstib. Masyarakat hanya bisa menduga-duga secara diam-diam di bawah permukaan seraya bertanya-tanya, kenapa menteri anu dan anu bisa kaya-kaya, kenapa dirjen anu rumahnya sekian-sekian, kenapa semua yang jadi dirjen pajak, dirjen bea-cukai dan dirjen tertentu lainnya serta jajarannya yang membidangi tempat ‘basah’ bisa serba gemerlap hidupnya? Karena pada masa kekuasaan Soeharto sangat langka adanya kasus korupsi besar-besaran masuk ke Kejaksaan dan Pengadilan, maka pengacara-pengacara pun tidak terlalu super kaya seperti yang kita saksikan di pasca Soeharto hingga saat ini. Barangkali hanya kasus korupsi Kepala Dolog (aparat BULOG di daerah) Kalimantan Timur Budiadji yang berskala milyaran, yang menonjol kala itu.dan sudah dianggap spektakuler, padahal, kalau meminjam istilah masa kini dari Komjen Susno Duadji, “itu, keciiil”. Bagaimana dengan kasus Edy Tanzil yang mencuat pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto? Itu lain lagi. Penuh lika-liku, yang sampai kini masih merupakan misteri, tak terungkap libatannya ke kalangan kekuasaan. Rahasianya hilang bersama ‘keberhasilan’ Edy Tanzil kabur dari LP Cipinang.

Dengan berlalunya waktu, satu persatu korupsi masa lampau dipastikan akan tetap terkubur tanpa terungkap lagi. Kalaupun ada yang akan terbuka ke khazanah publik, secara hukum sudah akan kadaluarsa termakan waktu.

DAN bagaimana dengan kasus-kasus korupsi serta kejahatan keuangan lainnya yang terjadi di masa reformasi pasca lengsernya Soeharto? Di bawah tiga Jaksa Agung berturut-turut –Andi Muhammad Ghalib, Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa– terlepas dari ‘kekurangan’ masing-masing, Kejaksaaan Agung sejenak menjadi bintang pengharapan di atas segala pengharapan. Sejumlah pelaku kejahatan atas keuangan negara dalam jumlah yang cukup signifikan diseret satu persatu ke sel tahanan dan kemudian diajukan ke meja hijau. Tapi tragis bahwa badan-badan peradilan pada masa yang sama lebih banyak berfungsi sebagai badan pemakaman atas berbagai kasus korupsi. Menarik untuk mencatat nasib ketiga Jaksa Agung itu. Andi Muhammad Ghalib tergelincir karena adanya transfer ke rekening atas namanya, padahal rekening itu adalah rekening sebuah organisasi olahraga yang dipimpinnya. Dan tak pernah dituntaskan bahwa transfer tersebut sebenarnya adalah untuk dana organisasi. Marzuki Darusman dihentikan di tengah jalan karena banyaknya bisikan kepada Presiden bahwa sang jaksa agung itu tak disukai ‘rakyat’. Memang pastilah seorang jaksa agung takkan disukai, terutama oleh mereka yang terkena penanganan kasus. Baharuddin Lopa, lain lagi. Menjadi Jaksa Agung dalam tempo kurang dari seumur jagung. Meninggal dunia di tanah suci. Versi resmi karena serangan jantung dan kelelahan. Versi desas-desus, sama dengan nasib Munir beberapa tahun kemudian. Hal menarik lainnya, ketiga Jaksa Agung itu bagaimanapun telah memicu meningkatnya fee sebarisan pengacara tertentu, sehingga beberapa di antaranya kini menjadi golongan super kaya.

NASIB baik memang enggan mendekati mereka yang memangku tugas penegakan hukum dan mencoba sedikit saja bersungguh-sungguh menjalankan tugas itu dengan cukup baik. Perhatikan nasib lembaga sebelum lahirnya KPK, yakni KPKPN (Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara). Begitu lembaga adhoc itu meningkat kegalakannya mengungkap daftar kekayaan sejumlah pejabat negara dan lembaga legislatif –yang beberapa di antaranya menampilkan angka-angka yang menimbulkan tanda tanya– maka ia segera di’eliminasi’ melalui prosedur yang ‘baik’, dilebur ke dalam lembaga baru bernama KPK. Sepanjang yang bisa dianalisis, masih bisa dipertanyakan, apakah saat dilahirkan KPK memang betul-betul diharapkan jadi macan pemberantasan korupsi? Di masa awal, khususnya pada periode kerja pertama, tanpa bermaksud mengecilkan para tokoh yang duduk di dalam komisi adhoc tersebut, kinerja KPK memang terlihat tidak cukup mengesankan. Namun sungguh mencengangkan –dan barangkali mengejutkan sejumlah anggota DPR yang membidani ‘kelahiran’ lapisan kepemimpinan kedua dari KPK– bahwa sepak terjang KPK di bawah Antasari Azhar dengan cepat menarik perhatian dan menimbulkan harapan baru di masyarakat. Sejumlah kasus populer ditangani dengan gesit, termasuk sejumlah skandal suap dan gratifikasi yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Dan dengan segera pula, KPK yang telah menjadi kekasih publik namun pada saat yang sama ia menjadi musuh nomor satu bagi sejumlah kalangan kekuasaan.

Dalam posisi khas seperti itu, jangan pernah salah langkah sedikitpun. Di negara di mana para pelanggar hukum kuat dan bersekutu dengan sejumlah kalangan penegak hukum yang lemah iman dan korup, setiap pengganggu kepentingan akan dieliminasi tanpa ampun, paling tidak akan dikerjai begitu ada sedikit saja alasan. Begitu pula yang akan terjadi kepada kaum kritis yang vokal.

Aktivis HAM bernama Munir, terlalu ‘banyak bicara dan mengungkit kejahatan HAM masa lampau’. Ia mati diracun tanpa ada pelaku yang bisa dihukum, kecuali seorang pilot naas yang pastilah hanya berkategori alat belaka. Antasari Azhar? Kita sudah tahu apa yang menimpanya, dan masih akan kita tunggu kisah lanjut kebenaran sejatinya. Itupun kalau bisa terungkap. Sembilan dari sepuluh peluang, ia akan tetap mendekam dalam penjara. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, sedang dalam proses ditimbul-tenggelamkan. Tidak hanya oleh kalangan kekuasaan, tetapi juga oleh sejumlah kalangan pengacara papan atas, yang tampaknya sangat memusuhi KPK. Apakah betul mereka menerima suap dari Anggodo-Anggoro bersaudara atau tidak, yang jelas KPK kemungkinan besar akan ikut rubuh, entah untuk seberapa lama atau entah untuk seterusnya. Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji yang menjadi peniup peluit dalam pengungkapan adanya makelar kasus di tubuh Polri dengan segera menjadi ‘musuh’ insititusinya sendiri. Terbukti betapa ia telah dijadikan sasaran bulan-bulanan sejumlah petinggi formal dari kepolisian selama beberapa waktu terakhir ini. Masih perlu ditunggu apa akhir dari drama Susno ini setelah ia kini masuk ke dalam proses pemeriksaan ‘tim independen’ Polri yang hingga kini belum bisa diraba publik mengenai objektivitas dan kenetralannya dalam ‘perang bintang’. Susno sementara itu, kini tak ‘bersuara’ lagi, setelah ada dalam proses pemeriksaan di Polri tersebut. Apakah ia sudah akan bungkam seterusnya? Kasus Bank Century? Saat di atas kertas bola kini ada di tangan KPK, sejauh ini seakan tak ada kemajuan dalam penanganan kasus yang dicurigai berlatarbelakang dana politik kekuasaan ini. Terakhir memang Dr Boediono sudah dipanggil sebagai saksi, tapi terus terang publik mulai sangsi kepada ‘ketajaman’ KPK. Apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, ketika dua dari empat unsur pimpinannya yang tersisa sedang diayun-ayun nasibnya pasca keputusan Pra Peradilan yang membuyarkan SKPP Kejaksaan Agung. Sementara itu penanganan kasus Anggodo yang ditangani KPK telah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Masih harus ditunggu hasilnya.

JADI apakah kita masih harus optimis terhadap gerak pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya di Indonesia, sementara di tengah masyarakat terjadi krisis kepercayaan luar biasa terhadap para penegak hukum: Mulai dari para hakim dan institusi pengadilan, para jaksa dan institusinya, para polisi dan institusinya, hingga kepada para pengacara, yang telah bertindak dan berbicara jauh di luar batas harapan rakyat? Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum selama ini bagaikan game elektronik, begitu terjadi salah langkah, permainan akan re-start, segalanya harus diulang lagi dari titik mula.

NAMUN keajaiban selalu bisa terjadi. Mungkin datang dari Dia yang di atas yang sudah begitu belas kasihan melihat nasib rakyat Indonesia yang seumur-umur terbelit ketidakbenaran. Mungkin juga datang dari kekuatan opini publik sendiri yang kini sudah berada pada titik kulminasi kekecewaannya terhadap segala permainan penuh konspirasi dalam penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Atau dari kedua-duanya?

Kisah Seorang Kepala Polisi dan Dua Jaksa Agung di ‘Negeri Para Maling’ (1)

– Rum Aly

Apapun penyebabnya, ketiga tokoh itu, Hoegeng Iman Santoso-Marzuki Darusman-Baharuddin Lopa, memiliki kesamaan nasib, ‘patah’ –dan atau ‘dipatahkan’– dalam tugas. Apakah KPK pun akan mengikut jejak nasib mereka bertiga, ‘patah’ atau ‘dipatahkan’?

TATKALA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di hari-hari belakangan ini seakan masuk ke ‘ladang pembantaian’ –diterpa badai dari luar sekaligus ‘badai dalam gelas’– pikiran terasosiasi kepada dua institusi penegak hukum lainnya yang juga punya wewenang penanganan pemberantasan korupsi. Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Tak lain karena saat ini, kedua institusi ini sedang dan akan menangani tokoh-tokoh teras KPK dalam satu jalinan peristiwa rumit yang sengaja atau tidak berpotensi untuk meredupkan, bahkan memadamkan, nyala bintang masa kini  di panggung pemberantasan korupsi.

Antasari Azhar Ketua KPK non-aktif –seorang yang berlatar belakang karir jaksa– yang sedang diperiksa Polri sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen, bagai ‘meniupkan’ badai dalam gelas. Entah tersudut karena data yang ada dalam laptop-nya, entah karena alasan yang lebih complicated, Antasari membuat testimoni yang membuka kisah suap setidaknya atas dua orang pimpinan KPK lainnya oleh Anggoro Widjojo pimpinan PT Masaro dalam penanganan kasus SRKT (Sistem Komunikasi Radio Terpadu) Departemen Kehutanan. Testimoni ini akan menjadi dasar suatu gebrakan lanjut pihak Polri untuk ‘membersihkan’ KPK. Dengan segera dua –M. Jasin dan Bibit Samad Rianto– dari empat pimpinan KPK yang ‘tersisa’ menjawab dengan sengit bahwa testimoni Antasari itu mengandung fitnah.  Apa yang bergejolak di seputar KPK ini lalu memperkuat keyakinan sejumlah aktivis anti korupsi, bahwa KPK memang sedang dalam proses penghancuran.

Kelahiran KPK itu sendiri, terjadi karena kuatnya kesangsian banyak pihak, bahwa baik Polri maupun Kejaksaan Agung selama ini tidak mampu menunjukkan diri sebagai alat efektif untuk memberantas perilaku korupsi yang sudah seumur republik ini. Karena itu, dibutuhkan sapu baru. Itulah KPK. Dan publik tampaknya sangat menaruh harapan terhadap KPK. Tapi bagaimana bila testimoni Antasari itu ternyata mengandung kebenaran?

Menoleh sejenak ke masa lalu, Polri pun pernah menjadi bintang pengharapan dalam penegakan hukum, terutama dalam penanganan kriminal ‘tingkat atas’ (korupsi dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan lainnya), tatkala institusi itu dipimpin oleh Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. Sementara itu, harapan yang sama pernah tercurah penuh kepada Kejaksaan Agung di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, baik ketika institusi itu dipimpin Marzuki Darusman SH maupun kemudian oleh Baharuddin Lopa SH yang menggantikannya. Apa pun penyebabnya, ketiga tokoh itu, Hoegeng Iman Santoso-Marzuki Darusman-Baharuddin Lopa, memiliki kesamaan nasib, ‘patah’ –dan atau ‘dipatahkan’– dalam tugas.

Kekuasaan otoriter dan ‘kesaktian’ uang. Kapolri Hoegeng Iman Santoso pernah menangkapi para pelaku penyelundupan mobil,  Robby Tjahjadi dan kawan-kawan, yang di belakangnya melibatkan sejumlah orang kuat di republik ini. Anak buah Hoegeng menghadang dan menahan mobil-mobil mewah yang baru keluar dari perut pesawat Hercules, di mulut jalan keluar PAU Halim Perdanakususumah. Penyelundupan itu tidak berdiri sendiri, karena nama sejumlah perwira ABRI terlibat dan bahkan pucuk jalinannya ‘disebutkan’ berada di Cendana. Sebagai akhir cerita, Hoegeng ‘dipatahkan’, dicopot dan diganti. Hoegeng pun sebenarnya berkali-kali berada dalam posisi tak berdaya di hadapan kekuasaan rezim, sehingga tak berhasil menangani dengan baik dan benar beberapa kasus yang menarik perhatian publik kala itu, seperti kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning yang berusia 16 tahun di Yogya, kasus Gadis Ismarjati mahasiswa IKIP di Bandung, serta terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Coenrad di depan kampusnya dalam suatu insiden dengan para Taruna Angkatan 1970 Akabri Kepolisian. Dalam insiden yang disebut terakhir ini, kala itu pers kritis dan kalangan mahasiswa (begitu pula dalam opini publik) sesuai fakta jalannya peristiwa, kuat meyakini bahwa pembunuh Rene Coenrad adalah dari kalangan calon perwira yang segera dilantik itu. Tetapi, adalah kenyataan pahit, bahwa seorang bintara, Djani Maman Surjaman, dikorbankan sebagai kambing hitam dan dihukum dalam suatu peradilan yang diragukan kejujurannya. Lebih jauh tentang semua peristiwa ini, bisa dibaca dalam sebuah tulisan pada halaman lain blog ini, Kisah ‘Polisi Baik’ dalam Kekuasaan Otoriter (Juni 27, 2009).

TAK LAMA setelah masuk dalam kabinet/pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang diumumkan 26 Oktober 1999, sebagai Jaksa Agung RI, Marzuki Darusman, menggebrak dengan mencabut SP3 atas diri mantan Presiden Soeharto, yang sebelumnya dikeluarkan oleh pejabat Jaksa Agung Ismujoko SH. Dengan demikian, perkara KKN mantan penguasa Indonesia selama 32 tahun itu, kembali dibuka. Sebenarnya banyak yang kala itu menilai tindakan Marzuki Darusman tersebut kurang taktis. Semestinya ia terlebih dulu ‘mengambil’ satu persatu orang-orang di lingkaran luar lalu bergerak lebih ke dalam sampai ke pusatnya. Kalau terbalik, lingkaran luar akan sempat membentuk front yang akan mati-matian membentengi nucleus, agar tak sampai terseret ke depan pengadilan dan dijatuhi hukuman. Karena, bila ini terjadi, akan melanjut sebagai efek domino, barisan KKN rezim akan ‘tumbang’ seluruhnya. Selain membuka kembali penyidikan atas diri Soeharto, dalam tempo yang sebenarnya cukup cepat, aparat Kejaksaan Agung menyeret satu persatu pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme dari masa rezim lama, seperti kasus BLBI, sekaligus kemudian berturut-turut menangani kasus-kasus baru (yang sebagian sudah dimulai oleh Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib) seperti kasus Bank Bali yang melibatkan Gubernur BI Syahril Sabirin, kasus Bahana yang mengaitkan antara lain nama Arifin Panigoro dan sebagainya. Kasus Bank Bali menyebabkan ia dimusuhi di lingkungan partainya sendiri, Golkar, karena ada keterlibatan masalah dana untuk Golkar dalam kasus tersebut. Tapi pada sisi lain ia juga dicurigai para aktivis anti korupsi takkan mungkin bersungguh-sungguh dalam penanganan perkara tersebut.

Dalam kasus BLBI sejumlah pengusaha dan bankir besar diseret masuk tahanan Kejaksaan Agung, sekalian pengusutan terhadap beberapa pejabat BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) yang seharusnya membenahi piring kotor akibat skandal BLBI. Sadar atau tidak, dengan menangani orang BI dan bankir serta pengusaha besar seperti itu, Marzuki Darusman berhadapan dengan para pemilik ‘kesaktian’ kekuatan uang, yang lama-lama menjadi tergorganisir dan melibatkan banyak kekuatan sosial-politik melalui perorangan-perorangan yang ternyata bisa dibeli meskipun setiap hari juga meneriakkan reformasi dan pemberantasan KKN. Situasi menjadi aneh, karena justru Kejaksaan Agung yang menjadi sasaran demonstrasi setiap hari. Garis tempur makin melebar ketika ia kemudian juga menangani sejumlah kasus di Pertamina dan menahan sejumlah mantan petinggi perusahaan minyak nasional tersebut, termasuk mantan Dirut Faisal Abda’u. Apalagi ketika ia kemudian juga merambah menangani kasus TAC yang melibatkan nama Ginandjar Kartasasmita mantan menteri terkemuka rezim Soeharto dan saat itu di masa reformasi setelah 1998 adalah salah seorang Wakil Ketua MPR.

Marzuki Darusman, pernah menulis dalam referensi tema untuk buku Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter mengenai rangkaian demonstrasi ini. “Merupakan fenomena kala itu, setiap kali ada calon tersangka baru diperiksa di Kejaksaan Agung, serangkaian demonstrasi dengan sasaran Kejaksaan Agung terjadi. Memang, tema-tema yang ditampilkan dalam aksi unjuk rasa itu umumnya sepertinya idealistis dan ‘mulia’ mengenai penegakan hukum, namun senantiasa pula dibarengi dengan kecaman yang menyudutkan dan tuduhan-tuduhan tentang latar belakang politis. Kepada saya pernah disajikan –oleh saudara Rum Aly, penulis buku ini– sejumlah data yang menunjukkan adanya korelasi antara frekuensi pengajuan calon tersangka dengan frekuensi unjuk rasa ke Kejaksaan Agung pada kurun waktu yang bersamaan. Menurut ‘penelitian’ dan informasi yang diperoleh oleh yang bersangkutan, sebagian terbesar –untuk tidak menyebut hampir seluruh– unjuk rasa itu dibiayai oleh orang-orang yang sedang dalam ‘kasus’, tanpa disadari oleh massa atau anggota masyarakat yang dikerahkan”. Menurut logika dan data empiris, mereka yang menyandang ‘kasus’ pada umumnya pernah berhasil mengambil dan menguasai kekayaan negara dalam jumlah puluhan dan ratusan miliar, bahkan hingga triliunan rupiah, sehingga secara finansial memang mempunyai kemampuan membiayai apa saja.

‘Perlawanan’ paling sengit diperlihatkan oleh Ginandjar, yang menyatakan dirinya yakin tak bersalah dan apa yang menimpanya adalah berlatarbelakang politis. Ketika akan ditahan, Ginandjar berhasil ‘diloloskan’ oleh para pengacara dan barisan pengawal pribadinya, dan bisa sampai ke RS Pertamina yang tak jauh letaknya dari Gedung Kejaksaan Agung. Alasan yang digunakan, adalah bahwa ia memang akan berobat. Petugas Kejaksaan Agung tak berhasil membawa Ginandjar kembali ke Kejaksaan Agung. Ia bisa bertahan di tempat tidur kamar perawatannya, menggunakan alat penyangga di leher yang secara dramatis ‘menunjukkan’ bahwa ia betul-betul sakit. Mantan Wakil Presiden Sudharmono yang juga sedang dirawat di RS yang sama karena gangguan prostat, sebelum pulang ke rumah, bahkan sempat menjenguk Ginandjar di kamarnya, dan agaknya cukup ‘terkesan’ dengan penyangga yang melingkar di leher sang Wakil Ketua MPR itu.

Meskipun sebenarnya sedang agak marah kepada Ginandjar sebagai salah satu golden boy Soeharto dan juga Sudharmono sendiri, tetapi tega ‘mengkhianat’i Soeharto, dengan balik badan pada bulan Mei 1998 –justru pada saat secara batiniah Soeharto sedang ada pada satu titik nadir– Sudharmono tetap menunjukkan sikap ‘membela’. “Kok, sampai hati Marzuki mau menangkap Ginandjar”, ujar Sudharmono kepada Rum Aly (penulis catatan ini). “Katanya bertiga, Akbar, Ginandjar, Marzuki triumvirat penyelamat Golkar……”. Ketika dijawab, “Kan ini masalah hukum pak, dan Marzuki yakin pada bukti-bukti hukum yang ada”, Sudharmono lalu melanjutkan, “Tapi ya, tidak bisa begitu…”. Sewaktu diteruskan lagi dengan suatu pernyataan yang sebenarnya tidak relevan, “Hitung-hitung saja, pak Dhar, ini adalah ganjaran terhadap apa yang dilakukan Ginandjar kepada pak Harto”, Sudharmono SH tidak menjawab lagi. Terlepas dari adanya suatu situasi bahwa Sudharmono SH pernah dikecewakan Soeharto ketika ‘tidak’ diperkenankan merangkap jabatan Wakil Presiden dengan jabatan Ketua Umum Golkar pada Munas Golkar setelah Pemilihan Umum 1987, Sudharmono tetap bersikap loyal kepada Soeharto. Tidak berkenannya Soeharto itu, menempatkan Sudharmono dalam posisi ‘lebih’ lemah kendati ia adalah Wapres. Dan ini secara tidak langsung berpengaruh juga kepada nasibnya di belakang hari dalam Sidang Umum MPR 1993. Tidak bisa menduduki posisi Wapres untuk kedua kali, walau Presiden Soeharto masih menginginkannya. Sebelum pemilihan umum 1987, tak lama setelah kejatuhan Presiden Marcos di Filipina, pernah ada skenario berdasar keinginan Soeharto: Bahwa setelah pemilu 1987, Sudharmono akan menjadi Wakil Presiden mendampingi Soeharto. Ini terjadi. Sesudah pemilu 1992, Soeharto takkan mau melanjutkan lagi dan Sudharmono naik ke posisi teratas didampingi Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Separuh dari rencana tahap dua ini tidak terjadi. Soeharto ternyata mengikuti anjuran “lanjutkan” dari inner circle-nya untuk menjadi Presiden kembali, Try Sutrisno menjadi Wakil Presiden melalui suatu proses cukup dramatis di SU MPR 1993.

MESKIPUN melakukan perlawanan yang cukup keras, pada akhirnya Ginandjar berhasil juga dijemput oleh petugas Kejaksaan Agung dan dimasukkan ke dalam rumah tahanan Kejaksaan Agung. Beberapa pengacaranya ‘setia’ ikut mendampingi menginap bersesak-sesak di sel tahanan. Namun kemudian Ginandjar Kartasasmita berhasil memenangkan proses pra peradilan di Jakarta Selatan. Kejaksaan Agung dianggap tak berhak menangani kasus Ginandjar dan menahannya, karena sewaktu melakukan perbuatan yang disangkakan, Ginandjar masih seorang perwira tinggi ABRI (Angkatan Udara) yang aktif. Dengan demikian, Kejaksaan Agung harus memproses sebagai perkara koneksitas. Ketika akhirnya tim koneksitas dibentuk dengan susah payah, Kejaksaan Agung sudah kehilangan kendali. Sampai saat itu, tak ada sejarahnya ABRI menghukum para perwiranya, kecuali bila sang perwira ‘mencuri’ uang di tubuh organisasinya sendiri.

Kuburan’ dan Nusakambangan. Sebenarnya, sebelum dan sesudah ‘terkuburnya’ kasus Ginandjar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jaksa Agung Marzuki Darusman beberapa kali bertemu dan atau berkomunikasi telepon dengan Baharuddin Lopa yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM (menggantikan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan) sejak 9 Februari 2001. Intinya adalah Marzuki Darusman minta bantuan Baharuddin Lopa agar berbuat sesuatu sesuai kewenangan dan wibawa yang dimilikinya, memberi arah positif untuk terciptanya sikap yang membantu pemberantasan korupsi di kalangan para hakim. Ini menyusul sejumlah fakta empiris betapa pengadilan tertentu di Jakarta telah menjadi kuburan beberapa kasus pidana korupsi setidaknya selama satu tahun terakhir. Meski Lopa menyatakan akan membantu, tetapi dalam kenyataan tak ada perubahan yang signifikan terjadi. Tampaknya, salah satu penyebabnya adalah bahwa berbeda dengan masa lampau, ‘kewenangan’ Menteri Hukum (dahulu Menteri Kehakiman) masa reformasi terhadap para hakim jauh menyurut. Wewenang aspek juridis lebih banyak berada di tangan Mahkamah Agung. Kebebasan hakim lebih dikedepankan terlepas dari esensi pemahaman yang sebenarnya mengenai aspek kebenaran dan keadilan dalam hukum.

Baharuddin Lopa punya reputasi luarbiasa sebagai jaksa yang handal, namun agaknya tidak sebagai menteri hukum atau posisi non-jaksa lainnya. Dua ahli hukum yang terkemuka, Loebby Luqman SH dan Luhut Pangaribuan SH, sempat menyatakan kesangsian mengenai kemampuan Lopa menuntaskan berbagai pekerjaan hukum dan HAM dalam kedudukannya selaku Menteri Hukum dan HAM. “The right man on the wrong place”, demikian dikatakan. Tetapi di luar badan peradilan, Lopa toh sempat unjuk gigi. Ia intensif melakukan inspeksi mendadak di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Beberapa tindakan penertiban yang keras dilakukannya untuk memperbaiki pemenuhan kewajiban petugas-petugas imigrasi dan perlakuan petugas di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Salah satu tindakannya yang disambut publik adalah keputusannya untuk mengirimkan sejumlah terpidana kasus korupsi ke Nusakambangan. Salah satu di antaranya adalah Bob Hasan, pengusaha besar yang dekat Soeharto dan pernah sejenak menjadi Menteri Perdagangan di kabinet terakhir Soeharto sebelum lengser.

Di masa Soeharto, Baharuddin Lopa memang pernah menjadi Dirjen Pemasyarakatan. Dalam suatu percakapan –disela-sela suatu wawancara khusus– di satu ruang kecil yang menjadi kantornya saat ia masih menjadi Dirjen Pemasyarakatan, Baharuddin Lopa mengatakan LP kita penuh dengan maling-maling kecil saja. Maling-maling besarnya berkeliaran dengan bebas di dalam pemerintahan dan di lingkungan pengusaha yang dekat kekuasaan. Itu, pejabat-pejabat koruptor dan para konglomerat. Negeri ini sudah jadi negerinya para maling, ujarnya. “Tapi saya sekarang sudah tidak bisa berbuat banyak”. Ketika itu ia barangkali belum membayangkan bahwa suatu waktu ia akan menjadi Jaksa Agung, namun memang jelas tersirat bahwa ia lebih happy bila bertugas sebagai jaksa kembali. Sebagai orang yang sejak muda berkecimpung sebagi jaksa, bagaimanapun ia memiliki obsesi untuk menjadi Jaksa Agung, setidaknya menjadi Jaksa Agung Muda sebagai penutup karirnya. Tapi ia menyadari bahwa saat itu ia ‘dipagari’ agar tidak menjadi jaksa lagi dan tidak ‘mengacau’ permainan di pentas kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2.