Tag Archives: Hidayat Nur Wahid

Saat Hoax Menjadi ‘Kebenaran’ dan Kebenaran Menjadi ‘Hoax’

PERBUATAN dusta atau bohong, adalah sebuah perilaku khas yang telah mengiringi manusia menempuh peradaban dalam berbagai episode sejarah. Kitab suci beberapa agama besar, menuturkan adanya perilaku bohong dan agama pun melarang kebohongan. Sementara itu dalam berbagai tingkat sejarah evolusi manusia, perbuatan menyangkal menjadi salah satu bagian penting dari mekanisme defensif seseorang saat menjadi tertuduh oleh manusia lainnya. Mekanisme defensif itu sendiri kemudian telah berkembang menjadi tak sekedar menyangkal, namun menuduh balik sang ‘seteru’ sebagai pembohong dan telah melakukan fitnah.

Selama 350 tahun bangsa ini dibohongi kaum kolonial dan penguasa feodal, sehingga terpuruk seraya dibiarkan bodoh tak terorganisir agar mudah dikuasai. Dan selama 7 dekade lebih Indonesia merdeka, kalangan akar rumput jatuh bangun sebagai korban dari satu kebohongan ke kebohongan lain oleh berbagai partai politik dan kalangan kekuasaan bangsa sendiri.

Senjata kebohongan dalam suasana pembelahan

Dan, sungguh luar biasa, 4 atau 5 tahun terakhir ini kehidupan politik Indonesia seakan tiba di suatu titik nadir dalam iklim pembelahan masyarakat yang berkepanjangan. Bermula dari peseteruan dalam Pemilihan Presiden 2014 yang siap berlanjut menuju Pemilihan Presiden 2019. Secara terbuka dan kasat mata berlangsung persaingan perebutan hegemoni negara yang bergelimang penggunaan senjata kebohongan berkadar tinggi. Continue reading Saat Hoax Menjadi ‘Kebenaran’ dan Kebenaran Menjadi ‘Hoax’

Matematika Manusia ‘Number One’ Tiga Triliun Rupiah

BERAPA biaya yang harus disiapkan seorang calon untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia? Dari sebuah diskusi politik di Jakarta, Sabtu 25 Januari 2014, muncul angka 3 triliun rupiah. Kita cukup percaya terhadap hitungan itu. Angka biaya sebesar itu setidaknya diperbincangkan oleh tiga orang pengamat ataupun mantan pengamat, Indria J Piliang, Hamdi Muluk dan Arya Fernandes. Disebutkan biaya itu meliputi ongkos sosialisasi, ongkos para ‘relawan’, pertemuan dengan ormas, survei dan iklan. Tak terkecuali biaya logistik partai pendukung calon itu sendiri. Bisa ditambahkan, bila sang ‘tokoh’ berasal dari eksternal partai, akan ada ‘mas kawin’ –bisa dibayar oleh sang calon atau bisa juga sebaliknya, tergantung siapa yang lebih berkepentingan. Pun masih ada kemungkinan biaya bagi partai-partai pengiring pencalonan.

PENDATANG BARU VERSI MAJALAH 'INDONESIA 2014'. Antara lain Chairul Tandjung selain Pramono Edhie Wibowo dan Hatta Rajasa.
PENDATANG BARU VERSI MAJALAH ‘INDONESIA 2014’. Antara lain Chairul Tandjung selain Pramono Edhie Wibowo dan Hatta Rajasa.

Untuk dunia bisnis, angka 3 triliun rupiah, bisa termasuk dalam skala seujung kuku saja, khususnya dalam konteks bisnis para konglomerat besar. Jangan salah, puluhan orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan dalam skala triliun, hingga puluhan dan ratusan triliun, baik menurut angka ‘resmi’ maupun angka ‘dugaan’. Menjadi semacam ‘rahasia’ umum pula adanya tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok ‘mafia’ bisnis dan kolusi yang dengan mudah menyediakan dana triliunan. Kelompok ini siap menerima kesepakatan ijon para tokoh yang berhasrat jadi number one, sebagaimana juga menerima ‘gadai diri’ dari tokoh berbagai kalangan dan pangkat yang berhasrat pada posisi-posisi kekuasaan negara dan pemerintahan.

Sebaliknya, dalam konteks ukuran kegiatan berpolitik yang ‘normal’ atau wajar, angka 3 triliun rupiah adalah biaya yang besar, sungguh sulit diperoleh untuk tidak mengatakannya musykil bisa diorganisir penghimpunannya. Iuran partai? Tak ada sejarahnya. Sumbangan sukarela dari para simpatisan dan relawan? Tak pernah ada kejadiannya. Untuk menghimpun 3 triliun rupiah, diperlukan 3 juta orang yang menyumbang masing-masing 1 juta rupiah. Atau, 30 juta orang yang menyumbang seratus ribu rupiah per orang. Apa ini mungkin? Sekarang ini, kecenderungan terbesar justru adalah orang berduyun-duyun memberikan dukungan dengan harapan mendapat imbal balik. Itulah sindrom money politic, sebagai bagian ‘penyakit jiwa’ kecil-kecilan –yang sedang berproses menjadi makin besar-besaran– yang sedang melanda di tengah masyarakat. Untuk mengerahkan unjuk rasa saja –dalam kaitan kepentingan apa saja– diperlukan pembagian nasi bungkus dan 30-50 ribu rupiah sebagai pengganti transport bagi massa yang dikerahkan.

LALU pilihan apa yang tersedia bagi mereka yang bersikeras menjadi number one (dan number two) dalam kekuasaan negara di Indonesia? Pilihan pertama, adalah sebuah pilihan klasik dan ‘keras’, yang punya kaitan erat dengan perilaku animal politic yang merupakan derivat dari perilaku animal economic. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009 misalnya, sedang berada dalam sorotan, terkait kecurigaan penggunaan dana triliunan dalam konteks pilihan klasik, yang sedang menunggu jawaban benar atau tidaknya dari hasil pemeriksaan KPK atas kasus Bank Century.

4 CAPRES LAIN DALAM COVER 'INDONESIA 2014'. "Di saat kepala manusia Indonesia cenderung melulu terisi pikiran pragmatis dengan orientasi benefit yang kuat, 9 dari 10 kemungkinan dana politik akan diorganisir melalui cara-cara persekongkolan busuk."
4 CAPRES LAIN DALAM COVER ‘INDONESIA 2014’. “Di saat kepala manusia Indonesia cenderung melulu terisi pikiran pragmatis dengan orientasi benefit yang kuat, 9 dari 10 kemungkinan dana politik akan diorganisir melalui cara-cara persekongkolan busuk.”

Pilihan kedua, adalah kelompok pilihan yang relatif lebih ‘lunak’. Cara yang sedikit mudah dan bermodal awal murah, adalah mendeklarasikan diri sebagai calon. Entah dengan cara pura-pura menjawab desakan sejumlah masyarakat, entah dengan mengorganisir isu dengan bantuan pers atas dasar perkawanan ataukah biaya kecil-kecilan. Bisa juga dengan mendaftarkan diri bila ada kontes-kontes capres atau yang sedikit lebih serius yakni konvensi partai.

Kebetulan, Partai Demokrat –yang sebenarnya sedang merosot elektabilitasnya– membuka kesempatan. Tapi kita belum tahu, apakah biaya untuk menjadi peserta konvensi cukup ringan atau sebaliknya. Tampaknya tak mungkin tanpa ongkos samasekali. Ini bisa ditanyakan misalnya kepada Anis Baswedan yang seorang akademisi dan bukan konglomerat. Atau kepada Marzuki Alie yang Ketua DPR, Dino Patti Djalal Dubes RI di AS, atau Mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto dan Mantan KSAD Jenderal Purnawirawan Pramono Edhie Wibowo. Tak usah ditanya tentu adalah Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang dikenal punya banyak perusahaan. Begitu pula Ketua DPD Irman Gusman yang tampaknya cukup punya uang untuk terus menerus beriklan diri. Menteri Perdagangan Gita Wiryawan tak usah diragukan, meskipun belum banyak yang tahu sejarahnya, jelas ia dikenal punya dana besar. Iklannya muncul tiap hari lewat layar televisi. Tapi untuk mereka yang disebut terakhir ini, tetap ada pertanyaan apakah mudah untuk menyisihkan 3 triliun? Dan apakah secara batiniah mereka siap menggunakan 3 triliun itu demi menegakkan suatu sikap altruisme, sikap cinta bangsa dan tanah air melebihi kecintaan kepada diri sendiri dengan segala kepentingannya?

Pertanyaan yang sama berlaku untuk semua tokoh yang beberapa waktu belakangan ini telah disebut-sebut namanya dalam pencalonan presiden 2014: Untuk Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, atau Hatta Rajasa.

Namun, berdasarkan pengamatan empiris terhadap kehidupan politik, setidaknya selama beberapa tahun belakangan, bisa dianalisis bahwa perilaku animal politic dan animal economic akan lebih dominan sebagai pilihan dalam penyediaan 3 triliun rupiah itu. Di saat kepala manusia Indonesia cenderung melulu terisi pikiran pragmatis dengan orientasi benefit yang kuat, 9 dari 10 kemungkinan dana politik akan diorganisir melalui cara-cara persekongkolan busuk. Para calon yang sempat memanfaatkan kekuasaannya, entah di eksekutif, entah di legislatif, entah di partai, akan menggunakan hasil kejahatan keuangannya. Para politisi pendukung akan mencari tambahan dan meminta bantuan para pemilik akumulasi dana yang besar, tanpa memandang lagi apakah dana itu halal atau hasil korupsi dan manipulasi. Pun tak peduli apakah sumber dana itu seorang bandit atau bukan. Tokoh yang berhasil naik ke puncak kekuasaan, pada gilirannya harus ‘membayar’ seluruh hutang dan jasa politik tersebut, moril dan materil, dengan segala cara yang memanfaatkan akses kekuasaan negara.

MAKA, kepada para tokoh yang telah disebutkan namanya di atas, dan kepada tokoh lainnya yang juga disebut-sebut namanya dalam kaitan pencalonan sebagai presiden –entah serius entah guyon atau bohongan– seperti Muhammad Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputeri, Sri Mulyani, Marsekal Djoko Suyanto, Jenderal Purnawirawan Wiranto dan Harry Tanoesoedibjo, Rhoma Irama, Surya Paloh, Jenderal Purnawirawan Sutiyoso, Hidayat Nur Wahid atau Ahmad Heryawan maupun yang lainnya, perlu diajukan pertanyaan: Apakah anda akan menjadi 9 dari 10 kemungkinan, atau menjadi 1 dari 10 kemungkinan? Pertanyaan serupa bagi Jokowi bila ia pada akhirnya juga tampil sebagai salah satu calon presiden.

Terlepas dari itu, terhadap para warga negara yang berkepentingan dengan masa depan Indonesia, dianjurkan jangan mematikan harapan akan kemungkinan munculnya tokoh dengan kategori 1 dari 10 kemungkinan. Namun, tetap saja harus siap secara bathiniah dengan lahirnya seorang pemimpin baru yang telah dan siap melanjutkan perampokan uang negara. Secara empiris, merupakan adagium bahwa di “belakang angka-angka dana yang besar terdapat kecenderungan adanya kejahatan”. Khususnya dalam konteks pengalaman Indonesia…. (socio-politica.com)

Kisah Baju Kotak-kotak, Jakarta 20 September 2012

MESKIPUN penghitungan resmi belum dilakukan, tetapi quick count yang dilakukan beberapa lembaga survey bersama sejumlah stasiun televisi, telah mengindikasikan bahwa pasangan baju kotak-kotak Jokowi-Basuki (Ahok) memenangkan pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta kali ini. Keunggulan perolehan suara Jokowi-Ahok berkisar 5 sampai 8 persen di atas perolehan pasangan Fauzi-Nachrowi yang lebih dikenal sebagai pasangan Foke-Nara. Keunggulan ini seakan melanjutkan keunggulan pasangan baju kotak-kotak itu pada putaran pertama.

JOKOWI-AHOK MASA KECIL. Foto plesetan di BBM. “Salah satu ‘azimat’ keberhasilan pasangan Jokowi-Ahok adalah penggunaan baju kotak-kotak dengan warna yang kontras, sedikit jreng dan oleh banyak orang pada mulanya dianggap sedikit norak”.

Hasil putaran pertama maupun putaran kedua ini telah menjungkir-balikkan sederetan ‘dalil matematika’ –katakanlah demikian– dan atau perhitungan-perhitungan konvensional tradisional dalam praktek pemilihan umum kepala daerah selama ini. Misalnya, perhitungan faktor kekuatan partai pendukung calon yang tampil. Dalam pilkada kali ini, Foke-Nara didukung secara keroyokan oleh partai-partai berkonstituen besar untuk Jakarta, yakni Partai Demokrat dan koalisinya. Sementara itu Jokowi-Ahok didukung oleh hanya satu partai tergolong besar yakni PDIP dan sebuah partai yang lebih kecil yakni Gerindra Prabowo Subianto, plus sempalan-sempalan. Tidak mengherankan bila menjelang putaran pertama, boleh dikatakan seluruh lembaga survey menyimpulkan bahwa pasangan Foke-Nara paling unggul.

Pada putaran kedua, pasangan Foke-Nara mendapat tambahan dukungan resmi dari PKS setelah kandidat mereka Hidayat Nur Wahid dan Didiek J. Rachbini tersisih. PKS dikenal sebagai partai yang tradisional memiliki konstituen yang cukup kuat di Jakarta. Dengan sendirinya, juga mendapat dukungan dari partai-partai se-koalisi seperti Golkar, PPP, PKB dan juga PAN (meskipun sedikit terbelah). Bila semata-mata menghitung faktor kekuatan partai pendukung, di atas kertas, secara matematis, Foke-Nara bisa memenangkan putaran kedua ini. Tapi dukungan politik bukan soal matematis. Ada begitu banyak faktor yang bekerja, termasuk ketidakefektifan organisasi partai. Bisa saja para pimpinan partai melakukan negosiasi macam-macam, entah dalam konteks politik uang atau politik dagang sapi posisi dalam kekuasaan, tapi belum tentu seluruh massa pendukung bisa dituntun seperti sapi yang dicocok hidungnya. Pada sisi lain, yang sering diabaikan, adalah taktik dan strategi yang jitu, yang dalam hal tertentu Continue reading Kisah Baju Kotak-kotak, Jakarta 20 September 2012

Sikap Mendua PKS: Cepat Membesar Cepat Membusuk? (2)

Oleh Syamsir Alam*

SOERIPTO, yang adalah sarjana hukum lulusan Unpad itu, tidak bersedia menjawab soal hubungan dan kedekatannya dengan Danu Muhammad Hasan di awal Orde Baru. Begitu pula tentang hubungan dekatnya dengan Helmi Aminuddin yang disebutnya sebagai ustadz muda (mursyid Ikhwanul Muslimin Asia Tenggara) yang dimulai tahun 1984, hingga akhirnya berubah menjadi Partai Keadilan di tahun 1999, dan pada tahun 2003 menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Komunitas Ikhwanul Muslimin Indonesia bahkan sangat yakin, bahwa Soeripto sebagai mantan orang Bakin telah bersih, berhasil dibina, dan dimanfaatkan oleh elite Ikhwan. Padahal, siapa yang dimanfaatkan dan siapa yang memanfaatkan menjadi tidak jelas. (http://nukhittah26. wordpress.com)/ 2009/05/22/ pks-antara-agenda-nii-dan-binaan-intel/).

Pada bulan April 2009 yang lalu, sebuah buku kontroversial bertajuk Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia diterbitkan oleh The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall Foundation, yang melukiskan PKS sebagai agen kelompok garis keras Islam transnasional. Dalam buku ini, PKS dilukiskan melakukan infiltrasi ke sekolah dan perguruan tinggi negeri dan berbagai institusi yang mencakup pemerintahan dan ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

MENTERI PKS, TIFFATUL SEMBIRING, DALAM PLESETAN KARIKATURAL ‘UNCLE SAM’ (lifeschool.wordpress.com).”Kubu Anis Matta dan Fachri Hamzah yang menginginkan PKS keluar dari koalisi, memakai alasan bahwa hilangnya satu kursi menteri yang dijabat oleh kader PKS merupakan pelanggaran kesepakatan koalisi. Di lain pihak kubu Tifatul Sembiring memilih bertahan di koalisi karena menganggap kondisi PKS lebih realistis untuk terus berada di kabinet”.

Sekarang ini, tidak menarik lagi mempersoalkan apakah PKS ada hubungannya dengan NII, atau agen kelompok garis keras Islam transnasional, karena isu lebih menarik adalah dalam Mukernas di Bali tahun 2008 yang lalu PKS melepas jubahnya dari partai tarbiyah menjadi partai terbuka bagi non Muslim. Konon, PKS sebagai partai Islam memiliki beberapa anggota parlemen di kawasan Indonesia Timur beragama non Islam. PKS mengadakan Munas II di Hotel Ritz-Carlton, dan mengundang beberapa Dubes termasuk Dubes Amerika Serikat untuk berdialog tentang Islam. Menurut Yusuf Supendi Lc,  salah seorang pendiri Partai Keadilan (PK) dan mantan Anggota Majelis Syuro PK/PKS, penggagas PKS menjadi partai terbuka adalah Helmi Aminuddin (Republika, 8 Februari 2008).

Bahkan, yang lebih hebat lagi, untuk menjadi calon kepala daerah dalam Pilkada Kota Sukabumi 2013 mendatang, PKS mengaku tengah mendekati dua artis asal Sukabumi, Syahrini dan Desi Ratnasari (AntaraNews, Sukabumi,  Selasa, 1 November 2011 18:20 WIB). Inna lillaahi… apakah si Neng berdua itu mau di-jilbab-i? Setelah banyak pendirinya tersingkir oleh kader-kader yang muda-muda, PKS memang sudah berubah. Lebih penting sekarang sejahtera, sikap idealis sebagai partai dakwah sudah dilupakan.

Cepat membesar, cepat membusuk

Sebagai ‘the new comer’ di dalam  dunia politik, PKS yang didukung oleh kader-kader mudanya tampil dengan meyakinkan, mampu bertahan, dan perlahan-lahan terus berusaha tumbuh menjadi partai besar. Namun, sekarang sudah mulai ada tanda-tanda mandek yang terlihat sejak pemilu 2009 yang lalu. Anis Matta yang menjadi Ketua Bapilu PKS dalam 2009 yang lalu tersebut, awalnya dengan sangat optimis berani mematok target dengan 20 persen perolehan suara secara nasional. Hasilnya, suara PKS di Pemilu tahun 2009 hanya meningkat tipis dari 7,34 persen menjadi 7,89 persen. Walaupun dari segi persentase naik, namun dari jumlah perolehan suara nampak penurunan dari 8,3 juta pada Pemilu 2004 menjadi 8,2 juta pada pemilu 2009.

Dalam koalisi dengan Partai Demokrat, posisi PKS masih di bawah Golkar dan PAN yang dapat meyakinkan SBY. Selain itu, tingkah laku PKS yang terbiasa dengan pola ancam, agaknya tidak cocok dengan selera SBY yang tidak ingin gaduh. Selain itu, berbagai isu miring mengenai kader PKS pun bermunculan.

Karena itu, tidak heran bila merosotnya popularitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seperti ditunjukkan hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI), dinilai sebagai bentuk kegagalan mempertahankan citra partai.

“Sejak  berada di koalisi terjadi pergeseran citra, PKS tidak bisa lagi mempertahankan citra sebagai partai bersih, peduli dan termasuk antikorupsi,” kata analis politik dari Charta Politika Arya Fernandes kepada sebuah media online di Jakarta, Minggu (23/10/2011) malam. (Okezone, Jakarta, Senin, 24 Oktober 2011 08:53 wib)

Hasil survei JSI menempatkan tingkat keterpilihan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merosot ke urutan tujuh dengan angka 3,9 persen. Partai Demokrat berada di urutan teratas dengan tingkat elektabilitas 18,2 persen disusul Golkar  (15,1 persen) dan PDIP (12,6 persen), ditanggapi dengan marah oleh kader PKS yang menyebutkan hasil survei tersebut tidak benar.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi di tubuh PKS ini? Pasca reshuffle KIB II, ada kabar kalau PKS pecah menjadi dua kubu. Kubu yang satu menginginkan PKS tetap di koalisi dan kubu yang lain menginginkan keluar dari koalisi. Berita tersebut langsung dibantah oleh salah satu politisi pentolan PKS, Hidayat Nur Wahid dengan mengatakan bahwa berita itu merupakan kompor dari kader partai lain. (Kompasiana.com, Jakarta, 31 October 2011 | 15:38)

Menurut kabar yang tersiar Anis Matta dan Fachri Hamzah yang posisinya ada di DPR, mewakili kader PKS yang ingin keluar dari koalisi. Sedangkan Tifatul Sembiring yang saat ini menjabat Menkominfo mewakili kader PKS yang ingin tetap di koalisi. Kubu Anis Matta dan Fachri Hamzah yang menginginkan PKS keluar dari koalisi, memakai alasan bahwa  hilangnya satu kursi menteri yang dijabat oleh kader PKS merupakan pelanggaran kesepakatan koalisi. Di lain pihak kubu Tifatul Sembiring memilih bertahan di koalisi karena menganggap kondisi PKS lebih realistis untuk terus berada di kabinet.

Tentunya gejala perpecahan ini hanya bisa diatasi jika majelis syuro turun tangan. Tetapi, para pentolan majelis syuro pun dikabarkan terpecah menjadi dua kubu. Ada beberapa anggota majelis syuro yang sudah merapat ke kubu Anis. Sementara itu, Ketua Majelis Syuro Helmi Aminuddin yang paling menentukan arah politik PKS, tulis pers, belum terbaca sikapnya.

Tetapi, yang paling penting untuk dicatat, partai yang awalnya menjadi  perwujudan dari  gerakan dakwah itu, sekarang telah mengalami transformasi yang sangat radikal. Perlahan-lahan dengan sangat jelas telah bergeser dari partai kanan, dan sekarang menjadi partai tengah. Bahkan, Van Jorge seorang peneliti berkebangsaan AS, di Jakarta, dulu pada awalnya  memposisikan PKS sebagai partai yang berada di ujung paling kanan, karena ketika dideklarasikan partai ini menegaskan jati dirinya sebagai partai dakwah.

Dengan santernya isu perpecahan di kalangan PKS yang mungkin berujung munculnya PKS-Perjuangan (atau entah apa namanya) dari mereka yang tersingkir, PKS yang sudah pecah-belah itu berkemungkinan besar untuk tersingkir dari percaturan politik Indonesia.

*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Susilo Bambang Yudhoyono Pada Titik Patah di Garis Menanjak (4)

“Pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto”. “Suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang cukup fantastis”. “Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune”.

SEMESTINYA, dengan memiliki angka kemenangan mutlak satu putaran sebesar 60,8 persen –berdasarkan perolehan 73.874.105 suara pemilih– Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kepresidenannya yang kedua tak perlu lagi memelihara sikap serba ragu menjalankan kebijakan-kebijakannya selaku Presiden dalam suatu sistem presidensial penuh. Kenyataannya, sejak awal SBY seakan lebih larut dalam pola permainan politik parlementer yang berhasil diciptakan partai-partai di parlemen. Apakah karena partai pendukung utamanya, Partai Demokrat, yang kendati melonjak tiga kali perolehan suaranya dalam pemilihan umum legislatif 2009, dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen, tetap saja tidak bisa membentuk mayoritas kerja di DPR? Apalagi sebelum memasuki Pilpres 2009, SBY sudah melakukan kompromi-kompromi dengan sejumlah partai politik Islam demi mewujudkan obsesi menang satu putaran.

Mungkin juga, obsesi itu tercampur aduk dengan rasa takut kalah bila ‘koalisi’ yang terbentuk memusat di sekitar Megawati/PDIP atau Jusuf Kalla/Partai Golkar, ditambah kehadiran dua tokoh yang juga berlatarbelakang militer, Prabowo Subianto dan Wiranto. Tetapi SBY diuntungkan oleh situasi, seperti kuatnya subjektivitas 4 tokoh pesaing, khususnya Megawati Soekarnoputeri dan Muhammad Jusuf Kalla. Bagaimana kalau dua tokoh itu tampil sebagai pasangan Capres-Cawapres dan bersamaan dengan itu kedua tokoh berlatar belakang militer tersebut bergabung dengan membuang sementara keinginan menjadi tokoh nomor dua apalagi tokoh nomor satu, mengingat rekam jejak masa lampau mereka yang bermasalah, dan mencukupkan diri dengan menduduki posisi penting di kabinet?  Selain itu bukankah mereka semua pada hakekatnya banyak memiliki dasar-dasar tujuan dan ‘ideologi’ yang hampir serupa?

Di atas kertas, bila semua partai politik dengan pengatasnamaan Islam, memiliki karakter yang kuat sepadan dengan ideal-ideal yang mereka canangkan selama ini, ‘koalisi’ yang tercipta dengan Partai Demokrat, sebenarnya jauh lebih musykil. Tetapi, sekali lagi SBY diuntungkan, karena pragmatisme demi porsi kekuasaan sedang kuat-kuatnya melanda elite partai-partai tersebut. Bagaimana kita bisa membayangkan sebelumnya, PKS yang tadinya dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid dengan satu citra keteguhan yang spesifik, bisa tiba-tiba berubah sedemikian lentur di bawah Tiffatul Sembiring. Bagaimana bisa membayangkan elite baru PKB Muhaimin Iskandar cs harus menyingkirkan Abdurrahman Wahid dan tokoh-tokoh senior lainnya sebelum bisa leluasa menjadi sangat pragmatis demi sejumlah positioning pribadi. Dan bagaimana pula bisa membayangkan PAN yang identik dengan citra playmaker ala Amien Rais, kini sekedar menjadi salah satu tulang punggung pelayanan politik penguasa baru?

Apa yang sesungguhnya dikuatirkan? Namun, terlepas dari semua yang dipaparkan di atas, tetap menjadi tanda tanya besar, kenapa sebagai pemegang mandat dari 60 persen lebih suara rakyat, SBY senantiasa memperlihatkan sejumlah perilaku terkesan gentar terhadap berbagai hal dan berbagai pihak. SBY tak hanya lemah terhadap partai-partai ‘koalisi’ pendukungnya –termasuk Partai Golkar yang menjadi anggota setelah Pemilu Pilpres– tetapi juga kepada pimpinan-pimpinan sejumlah institusi yang bekerja di bawah kewenangannya. Bisa disebut dua contoh, seperti yang terkesan kuat di mata publik, yakni terhadap Jaksa Agung dan terutama Kepala Polri.

Ketika kedua tokoh penegakan hukum itu dan institusinya ramai dikecam karena dianggap melakukan penyimpangan tugas, SBY cenderung tak berbuat satu apapun, menindaki atau setidaknya menegur, melainkan beberapa kali justru ikut ‘mengeluh’ seperti layaknya anggota masyarakat biasa. Pengungkapan tentang adanya mafia hukum di tubuh Polri –dan demikian pula di Kejaksaan Agung– melalui cetusan whistle blower Susno Duadji dibiarkan ‘berjalan’ sendiri sebagai masalah internal Polri dan tidak dicermati kemungkinan bahwa cetusan itu mengandung kebenaran tentang kebobrokan di tubuh Polri. Bahwa mungkin saja Susno benar adalah ‘maling teriak maling’, tetapi yang diteriaki sebagai maling kan perlu juga ditelusuri? Karena yang berteriak adalah seorang jenderal polisi mengenai sejumlah jenderal polisi lainnya, jangan dibiarkan polisi juga yang memeriksanya. Mana mungkin ada hasilnya selain pengaburan masalah? Dan mana dorongan dari Presiden sebagai atasan para jenderal itu, agar ada pengusutan tuntas dan cepat sebelum terjadi hapus-menghapus jejak? Tidak ada. Satu lagi momentum untuk membersihkan Polri yang sudah tidak dipercayai mayoritas masyarakat, dengan demikian terlewatkan.

Soal rekening ‘gendut’ perwira Polri, juga terlewatkan begitu saja melalui suatu proses internal. Tidak mengherankan bahwa pada akhirnya muncul kesimpulan-kesimpulan yang sukses menunjukkan bahwa tak ada yang tidak beres dalam persoalan rekening para perwira itu. Ini juga mengingatkan kita kembali pada kasus beberapa tahun lalu tentang rekening fantastis seorang jenderal polisi yang nilainya satu triliun rupiah lebih, yang pada akhirnya juga tenggelam begitu saja. Persoalan yang sama, juga terjadi di lingkungan Kejaksaan Agung. Betul dan mungkinkah dalam kasus Arthalita Suryani dan jaksa Urip, permainan hanya melibatkan kedua orang itu sebagai duet? Mana orkestra lengkapnya dan mana dirigennya? Apakah begitu cintanya Arthalita kepada Syamsu Nursalim sehingga menggunakan uangnya sendiri untuk menyuap dalam rangka penyelamatan sang konglomerat? Padahal dalam momen yang sama terjadi dua peristiwa: Ada yang menyuap seorang jaksa, dan ada satu tim jaksa yang memutuskan suatu keputusan yang seakan ‘menghapus’ dosa kejahatan keuangan Syamsu Nursalim.

Dalam kasus kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Samad Bibit Riyanto dan Chandra M. Hamzah, Presiden menggunakan Tim 8 untuk maju ke depan, lalu pada akhirnya sekedar ‘menghimbau’ agar Polri dan Kejaksaan Agung memperhatikan rekomendasi tim tersebut. Tidak mengherankan bila Tim 8 Adnan Buyung Nasution cs harus seakan melampaui panggilan tugasnya ‘bersitegang urat leher’ dengan Polri dan Kejagung, karena begitu samar-samarnya apa yang menjadi kehendak Presiden SBY yang sebenarnya dalam penyelesaian masalah. Hanya satu pesan yang bisa ditangkap, bahwa Presiden lebih suka bila kasus kriminalisasi KPK itu diselesaikan di luar jalur pengadilan, namun disertai embel-embel perangkai bahwa dengan itu bukan berarti Presiden ingin melakukan intervensi. Polri dan Kejagung menang dalam berpacu dengan waktu, sehingga kasus tersebut ‘berhasil’ di-P21-kan. Ibarat ikan yang sudah dicemplungkan ke panci penggorengan, pilihannya hanyalah digoreng cukup setengah matang seadanya atau digoreng garing sekalian sampai selesai. Kejaksaan Agung memilih jalan ‘setengah’, ikan yang sudah setengah garing diangkat dari panci dan dinyatakan penggorengan tidak dilanjutkan. Dikeluarkan SKPP dengan mencantum alasan tak lazim yaitu menambahkan alasan penghentian karena pertimbangan sosiologis, yang mudah untuk ditorpedo. Nyatanya, SKPP itu di pra-peradilankan dan ‘dikalahkan’ di Pengadilan. Ikannya dengan demikian, pindah ke panci penggorengan lain. Kini kasus itu baru mendekati tahap akhir dari suatu perjalanan hukum yang panjang, menanti hasil proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

Para jurubicara dan staf khusus Presiden berulang kali mencoba menjawab setiap ada tudingan, bahwa SBY bukannya lemah atau takut menegur Kapolri dan Jaksa Agung, melainkan karena tidak mau melakukan intervensi terhadap suatu proses hukum. Melakukan intervensi kekuasaan terhadap suatu proses hukum yang berjalan baik dan benar memang merupakan pelanggaran. Tetapi itu tidak berarti seorang Presiden tak boleh menegur bawahannya dan mengambil tindakan-tindakan bila melihat ada tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Setidaknya Presiden bisa bertanya mengapa ada kejanggalan dalam penanganan penegakan hukum, sehingga mendapat sorotan masyarakat misalnya, tanpa perlu mencampuri materi suatu perkara yang berada dalam wilayah posisi independen penyidik kepolisian dan jaksa penuntut. Polri dan Kejaksaan (Agung), adalah termasuk dalam lembaga eksekutif, berbeda dengan lembaga-lembaga peradilan yang merupakan lembaga judikatif. Tak mungkin Presiden dan para ahli hukum di sekitarnya tak memahami perbedaan intervensi terhadap aspek juridis dengan ‘intervensi’ atasan terhadap bawahan yang tak menjalankan kinerjanya dengan baik.

Lalu, pertanyaannya, kenapa Presiden begitu ‘lemah’ sehingga seringkali bahkan dianggap agak ‘gentar’, khususnya terhadap Polri/Kapolri. Apakah karena Presiden punya sejumlah titik lemah di hadapan Polri/Kapolri, yang tidak kita ketahui entah apa? Apakah titik lemah itu, misalnya, semacam jasa yang pernah diberikan Polri/Kapolri dalam kasus tuduhan money politics dan atau kecurangan perolehan suara salah satu putera Presiden, Baskoro, dalam Pemilu Legislatif yang lalu. Pertanyaan yang sama dengan sikap serba sungkan SBY terhadap partai-partai, padahal ia pemenang mutlak dengan angka 60,8 persen. Atau apakah sumber kegentaran itu adalah terkait keabsahan yang diragukan tentang kemenangan 60 persen dalam Pilpres yang menurut seorang mantan perwira intelejens militer seperti disebutkan dimuka, sebenarnya hanyalah 21-22 persen? Artinya, bila informasi itu terbukti benar, pemilihan umum presiden yang lalu, harus berlangsung dalam dua putaran, dan entah pasangan yang mana seharusnya tersingkir dari gelanggang. Kendati saat ini percakapan politik tentang permasalahan tersebut, belum mencuat ke tengah publik secara terbuka, ada baiknya bila ada klarifikasi lebih dini, untuk menjawab segala pertanyaan. Tak mungkin Presiden belum mengetahui informasi tentang hal itu. Tapi pastilah, pada dasarnya tidak seorangpun yang mengharap Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono telah mengulangi kesalahan-kesalahan Jenderal Soeharto.

Namun, terlepas dari adanya informasi tentang angka 60 persen yang diragukan itu, suatu angka kemenangan sebesar itu menurut logika dalam konteks terkait sifat dan situasi sosial politik Indonesia per tahun 2009 memang berkategori cukup fantastis, untuk seorang yang sepopuler SBY sekalipun. Kenaikan suara untuk Partai Demokrat dari sekitar 7 persen di tahun 2004 menjadi 20,85 persen di tahun 2009, suatu kenaikan dalam kelipatan tiga, pun cukup mencengangkan. Kita mengalami kenaikan-kenaikan angka pemilu yang menakjubkan hanya pada masa Soeharto. Waktu itu berlaku pemeo bahwa di belakang angka-angka tinggi bisa jadi ada muslihat, mengadaptasi ucapan Mario Puzo, there is a crime behind every great fortune. Dan, memang kini tak diragukan lagi bahwa sejumlah kemenangan dengan angka tinggi pada beberapa pemilihan umum masa lampau memang adalah hasil dari satu rekayasa ke rekayasa lainnya.