Tag Archives: Unpad

SOEKARNO DALAM RIAK PERISTIWA 19 AGUSTUS 1966 (1)

PERAYAAN 17 Agustus 1966 di Istana Merdeka, tercatat sebagai perayaan Agustusan terakhir bagi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Kemungkinan ke arah kejatuhannya dari kekuasaan, jelas terbaca sejak ia seakan-akan ter-faitaccompli untuk memberikan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Lalu dalam Paripurna hari kedua Sidang Umum IV MPRS Selasa 21 Juni 1966, SP 11 Maret itu disahkan sebagai sebuah Ketetapan MPRS. Dan sementara itu Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno, berjudul Nawa Aksara (Sembilan Pokok Tertulis) yang disampaikan Kamis 23 Juni, dinyatakan ditolak di akhir SU-IV 5 Juli 1966. Selain itu, SU-IV MPRS juga menanggalkan beberapa gelar dan wewenang Presiden Soekarno. Antara lain, penghapusan jabatan Presiden Seumur Hidup.

Walaupun Soekarno resmi tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak waktu-waktu itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto. Namun menjadi fenomena menarik bahwa saat langkah Soekarno semakin tertatih-tatih dalam menjalankan kekuasaannya, Jenderal Soeharto pun tak kalah lamban bagaikan keong dalam menyelesaikan proses peralihan kekuasaan guna mengakhiri apa yang disebut mahasiswa dan cendekiawan yang kritis kala itu sebagai langkah mengakhiri kekuasaan diktatorial Soekarno.

SOEKARNO DAN SOEHARTO. “Walaupun Soekarno resmi tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak waktu-waktu itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto.”

Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Soekarno antara bulan Juni usai SU-IV hingga pertengahan Agustus, menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan yang ke-21 itu, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung –KAMI maupun KASI– telah menduga bahwa Soekarno akan menyampaikan pidato bernada keras pada 17 Agustus 1966 di Istana.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno melontarkan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan. Lalu mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno mengatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa, bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Soekarno berkata Surat Perintah 11 Maret itu “bisa saya berikan kepada siapa saja”. Tapi tentu sudah terlambat, karena Surat Perintah 11 Maret itu sudah dikukuhkan melalui suatu Tap MPRS, yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno. Kecuali bila Soekarno bisa memulihkan kembali kekuatan pendukungnya.

Ternyata Pidato 17 Agustus Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, memang keras dan memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Namun bagian yang paling ‘kontroversial’ adalah tuduhan Soekarno bahwa gelombang penentangan terhadap dirinya dan Nasakom adalah sikap revolusioner yang palsu. Pasti yang dimaksudkannya adalah terutama kesatuan-kesatuan aksi. Soekarno menyerukan, “Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945”. Seruan itu ternyata kemudian dimaknakan sebagai komando oleh para pengikutnya yang masih setia, untuk menghadapi ‘kaum revolusioner palsu’.

Peristiwa 19 Agustus 1966. Dan memang, seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa dalam pawai alegoris mahasiswa Senin sore 15 Agustus, pendukung Soekarno bereaksi. Barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung. Rabu 17 Agustus pagi sekelompok orang yang berseragam hitam-hitam melakukan serangan bersenjata api dan tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung dan pada sore harinya melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17-an. Kampus ITB yang dijaga Batalion 1 Mahawarman dan kampus Universitas Padjadjaran yang dijaga Batalion 2 Mahawarman juga diserang, tapi bisa diatasi.

Serangan paling besar terjadi 19 Agustus 1966. Dilakukan kelompok hitam-hitam yang diidentifisir sebagai anggota PNI Asu. Sasarannya markas kesatuan aksi selain kampus beberapa perguruan tinggi. Serangan terjadi setelah massa pelajar dan mahasiswa Bandung melakukan aksi menyatakan  sikap dan penolakan mereka terhadap pidato Soekarno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, yang oleh para mahasiswa disingkat menjadi Jas Merah. Di Jakarta, kerap diringkas sebagai Jali-jali Merah. Merah waktu itu senantiasa dihubungkan dengan komunisme. Hari itu, setelah satu gerombolan liar menduduki markas KAPPI pada jam 08.00, dua jam kemudian giliran Markas KAMI dan KAPI di Jalan Lembong diserang tak kurang dari 200 orang yang bersenjata api dan tajam. Seraya meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno!”, “Ganyang KAMI/KAPI” dan “KAMI/KAPI pelacur” dan sebagainya, mereka merusak markas tersebut. Mereka juga menurunkan bendera-bendera dan papan nama KAMI/KAPI. Menyerang sejumlah anggota KAMI dan KAPI di tempat itu dengan senjata tajam, sehingga beberapa orang luka-luka.

Teror dan penyerangan berlangsung diiringi tembakan-tembakan senjata api, yang mengindikasikan terlibatnya sejumlah anggota kesatuan militer. Setelah penyerangan di Jalan Lembong itu, serangan berlanjut ke kampus Universitas Parahyangan di Jalan Merdeka yang merupakan siku Jalan Lembong. Sejumlah mahasiswa anggota KAMI dan Resimen Mahawarman di kampus itu mencoba mempertahankan kampus. Tembakan peringatan ke atas yang diberikan anggota-anggota Mahawarman, langsung dijawab dengan tembakan mendatar yang terarah sehingga melukai beberapa anggota Mahawarman. Salah seorang anggota Mahawarman, Julius Usman, tewas terkena tembakan.

Seorang reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyaksikan langsung peristiwa, melaporkan bahwa “suatu hal yang sangat menarik ialah sebagian di antara penyerang-penyerang itu adalah anak-anak tanggung dan pada umumnya terdiri dari para gelandangan”. Lebih jauh terungkap, sebagian massa yang dikerahkan adalah kalangan penjahat dan tukang-tukang pukul dari sekitar wilayah Stasiun Bandung, dan dari “daerah basis PKI dan ASU lainnya seperti Babakan Ciparay”. Istilah ASU di sini sudah berkembang dari akronim untuk Ali-Surachman menjadi ‘Aku anak Sukarno’. (socio-politica.com – Berlanjut ke Bagian 2)

Sikap Mendua PKS: Cepat Membesar Cepat Membusuk? (2)

Oleh Syamsir Alam*

SOERIPTO, yang adalah sarjana hukum lulusan Unpad itu, tidak bersedia menjawab soal hubungan dan kedekatannya dengan Danu Muhammad Hasan di awal Orde Baru. Begitu pula tentang hubungan dekatnya dengan Helmi Aminuddin yang disebutnya sebagai ustadz muda (mursyid Ikhwanul Muslimin Asia Tenggara) yang dimulai tahun 1984, hingga akhirnya berubah menjadi Partai Keadilan di tahun 1999, dan pada tahun 2003 menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Komunitas Ikhwanul Muslimin Indonesia bahkan sangat yakin, bahwa Soeripto sebagai mantan orang Bakin telah bersih, berhasil dibina, dan dimanfaatkan oleh elite Ikhwan. Padahal, siapa yang dimanfaatkan dan siapa yang memanfaatkan menjadi tidak jelas. (http://nukhittah26. wordpress.com)/ 2009/05/22/ pks-antara-agenda-nii-dan-binaan-intel/).

Pada bulan April 2009 yang lalu, sebuah buku kontroversial bertajuk Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia diterbitkan oleh The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall Foundation, yang melukiskan PKS sebagai agen kelompok garis keras Islam transnasional. Dalam buku ini, PKS dilukiskan melakukan infiltrasi ke sekolah dan perguruan tinggi negeri dan berbagai institusi yang mencakup pemerintahan dan ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

MENTERI PKS, TIFFATUL SEMBIRING, DALAM PLESETAN KARIKATURAL ‘UNCLE SAM’ (lifeschool.wordpress.com).”Kubu Anis Matta dan Fachri Hamzah yang menginginkan PKS keluar dari koalisi, memakai alasan bahwa hilangnya satu kursi menteri yang dijabat oleh kader PKS merupakan pelanggaran kesepakatan koalisi. Di lain pihak kubu Tifatul Sembiring memilih bertahan di koalisi karena menganggap kondisi PKS lebih realistis untuk terus berada di kabinet”.

Sekarang ini, tidak menarik lagi mempersoalkan apakah PKS ada hubungannya dengan NII, atau agen kelompok garis keras Islam transnasional, karena isu lebih menarik adalah dalam Mukernas di Bali tahun 2008 yang lalu PKS melepas jubahnya dari partai tarbiyah menjadi partai terbuka bagi non Muslim. Konon, PKS sebagai partai Islam memiliki beberapa anggota parlemen di kawasan Indonesia Timur beragama non Islam. PKS mengadakan Munas II di Hotel Ritz-Carlton, dan mengundang beberapa Dubes termasuk Dubes Amerika Serikat untuk berdialog tentang Islam. Menurut Yusuf Supendi Lc,  salah seorang pendiri Partai Keadilan (PK) dan mantan Anggota Majelis Syuro PK/PKS, penggagas PKS menjadi partai terbuka adalah Helmi Aminuddin (Republika, 8 Februari 2008).

Bahkan, yang lebih hebat lagi, untuk menjadi calon kepala daerah dalam Pilkada Kota Sukabumi 2013 mendatang, PKS mengaku tengah mendekati dua artis asal Sukabumi, Syahrini dan Desi Ratnasari (AntaraNews, Sukabumi,  Selasa, 1 November 2011 18:20 WIB). Inna lillaahi… apakah si Neng berdua itu mau di-jilbab-i? Setelah banyak pendirinya tersingkir oleh kader-kader yang muda-muda, PKS memang sudah berubah. Lebih penting sekarang sejahtera, sikap idealis sebagai partai dakwah sudah dilupakan.

Cepat membesar, cepat membusuk

Sebagai ‘the new comer’ di dalam  dunia politik, PKS yang didukung oleh kader-kader mudanya tampil dengan meyakinkan, mampu bertahan, dan perlahan-lahan terus berusaha tumbuh menjadi partai besar. Namun, sekarang sudah mulai ada tanda-tanda mandek yang terlihat sejak pemilu 2009 yang lalu. Anis Matta yang menjadi Ketua Bapilu PKS dalam 2009 yang lalu tersebut, awalnya dengan sangat optimis berani mematok target dengan 20 persen perolehan suara secara nasional. Hasilnya, suara PKS di Pemilu tahun 2009 hanya meningkat tipis dari 7,34 persen menjadi 7,89 persen. Walaupun dari segi persentase naik, namun dari jumlah perolehan suara nampak penurunan dari 8,3 juta pada Pemilu 2004 menjadi 8,2 juta pada pemilu 2009.

Dalam koalisi dengan Partai Demokrat, posisi PKS masih di bawah Golkar dan PAN yang dapat meyakinkan SBY. Selain itu, tingkah laku PKS yang terbiasa dengan pola ancam, agaknya tidak cocok dengan selera SBY yang tidak ingin gaduh. Selain itu, berbagai isu miring mengenai kader PKS pun bermunculan.

Karena itu, tidak heran bila merosotnya popularitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seperti ditunjukkan hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI), dinilai sebagai bentuk kegagalan mempertahankan citra partai.

“Sejak  berada di koalisi terjadi pergeseran citra, PKS tidak bisa lagi mempertahankan citra sebagai partai bersih, peduli dan termasuk antikorupsi,” kata analis politik dari Charta Politika Arya Fernandes kepada sebuah media online di Jakarta, Minggu (23/10/2011) malam. (Okezone, Jakarta, Senin, 24 Oktober 2011 08:53 wib)

Hasil survei JSI menempatkan tingkat keterpilihan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merosot ke urutan tujuh dengan angka 3,9 persen. Partai Demokrat berada di urutan teratas dengan tingkat elektabilitas 18,2 persen disusul Golkar  (15,1 persen) dan PDIP (12,6 persen), ditanggapi dengan marah oleh kader PKS yang menyebutkan hasil survei tersebut tidak benar.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi di tubuh PKS ini? Pasca reshuffle KIB II, ada kabar kalau PKS pecah menjadi dua kubu. Kubu yang satu menginginkan PKS tetap di koalisi dan kubu yang lain menginginkan keluar dari koalisi. Berita tersebut langsung dibantah oleh salah satu politisi pentolan PKS, Hidayat Nur Wahid dengan mengatakan bahwa berita itu merupakan kompor dari kader partai lain. (Kompasiana.com, Jakarta, 31 October 2011 | 15:38)

Menurut kabar yang tersiar Anis Matta dan Fachri Hamzah yang posisinya ada di DPR, mewakili kader PKS yang ingin keluar dari koalisi. Sedangkan Tifatul Sembiring yang saat ini menjabat Menkominfo mewakili kader PKS yang ingin tetap di koalisi. Kubu Anis Matta dan Fachri Hamzah yang menginginkan PKS keluar dari koalisi, memakai alasan bahwa  hilangnya satu kursi menteri yang dijabat oleh kader PKS merupakan pelanggaran kesepakatan koalisi. Di lain pihak kubu Tifatul Sembiring memilih bertahan di koalisi karena menganggap kondisi PKS lebih realistis untuk terus berada di kabinet.

Tentunya gejala perpecahan ini hanya bisa diatasi jika majelis syuro turun tangan. Tetapi, para pentolan majelis syuro pun dikabarkan terpecah menjadi dua kubu. Ada beberapa anggota majelis syuro yang sudah merapat ke kubu Anis. Sementara itu, Ketua Majelis Syuro Helmi Aminuddin yang paling menentukan arah politik PKS, tulis pers, belum terbaca sikapnya.

Tetapi, yang paling penting untuk dicatat, partai yang awalnya menjadi  perwujudan dari  gerakan dakwah itu, sekarang telah mengalami transformasi yang sangat radikal. Perlahan-lahan dengan sangat jelas telah bergeser dari partai kanan, dan sekarang menjadi partai tengah. Bahkan, Van Jorge seorang peneliti berkebangsaan AS, di Jakarta, dulu pada awalnya  memposisikan PKS sebagai partai yang berada di ujung paling kanan, karena ketika dideklarasikan partai ini menegaskan jati dirinya sebagai partai dakwah.

Dengan santernya isu perpecahan di kalangan PKS yang mungkin berujung munculnya PKS-Perjuangan (atau entah apa namanya) dari mereka yang tersingkir, PKS yang sudah pecah-belah itu berkemungkinan besar untuk tersingkir dari percaturan politik Indonesia.

*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.