Tag Archives: Peristiwa 19 Agustus 1966

SOEKARNO DALAM RIAK PERISTIWA 19 AGUSTUS 1966 (1)

PERAYAAN 17 Agustus 1966 di Istana Merdeka, tercatat sebagai perayaan Agustusan terakhir bagi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Kemungkinan ke arah kejatuhannya dari kekuasaan, jelas terbaca sejak ia seakan-akan ter-faitaccompli untuk memberikan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Lalu dalam Paripurna hari kedua Sidang Umum IV MPRS Selasa 21 Juni 1966, SP 11 Maret itu disahkan sebagai sebuah Ketetapan MPRS. Dan sementara itu Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno, berjudul Nawa Aksara (Sembilan Pokok Tertulis) yang disampaikan Kamis 23 Juni, dinyatakan ditolak di akhir SU-IV 5 Juli 1966. Selain itu, SU-IV MPRS juga menanggalkan beberapa gelar dan wewenang Presiden Soekarno. Antara lain, penghapusan jabatan Presiden Seumur Hidup.

Walaupun Soekarno resmi tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak waktu-waktu itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto. Namun menjadi fenomena menarik bahwa saat langkah Soekarno semakin tertatih-tatih dalam menjalankan kekuasaannya, Jenderal Soeharto pun tak kalah lamban bagaikan keong dalam menyelesaikan proses peralihan kekuasaan guna mengakhiri apa yang disebut mahasiswa dan cendekiawan yang kritis kala itu sebagai langkah mengakhiri kekuasaan diktatorial Soekarno.

SOEKARNO DAN SOEHARTO. “Walaupun Soekarno resmi tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak waktu-waktu itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto.”

Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Soekarno antara bulan Juni usai SU-IV hingga pertengahan Agustus, menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan yang ke-21 itu, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung –KAMI maupun KASI– telah menduga bahwa Soekarno akan menyampaikan pidato bernada keras pada 17 Agustus 1966 di Istana.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno melontarkan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan. Lalu mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno mengatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa, bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Soekarno berkata Surat Perintah 11 Maret itu “bisa saya berikan kepada siapa saja”. Tapi tentu sudah terlambat, karena Surat Perintah 11 Maret itu sudah dikukuhkan melalui suatu Tap MPRS, yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno. Kecuali bila Soekarno bisa memulihkan kembali kekuatan pendukungnya.

Ternyata Pidato 17 Agustus Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, memang keras dan memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Namun bagian yang paling ‘kontroversial’ adalah tuduhan Soekarno bahwa gelombang penentangan terhadap dirinya dan Nasakom adalah sikap revolusioner yang palsu. Pasti yang dimaksudkannya adalah terutama kesatuan-kesatuan aksi. Soekarno menyerukan, “Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945”. Seruan itu ternyata kemudian dimaknakan sebagai komando oleh para pengikutnya yang masih setia, untuk menghadapi ‘kaum revolusioner palsu’.

Peristiwa 19 Agustus 1966. Dan memang, seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa dalam pawai alegoris mahasiswa Senin sore 15 Agustus, pendukung Soekarno bereaksi. Barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung. Rabu 17 Agustus pagi sekelompok orang yang berseragam hitam-hitam melakukan serangan bersenjata api dan tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung dan pada sore harinya melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17-an. Kampus ITB yang dijaga Batalion 1 Mahawarman dan kampus Universitas Padjadjaran yang dijaga Batalion 2 Mahawarman juga diserang, tapi bisa diatasi.

Serangan paling besar terjadi 19 Agustus 1966. Dilakukan kelompok hitam-hitam yang diidentifisir sebagai anggota PNI Asu. Sasarannya markas kesatuan aksi selain kampus beberapa perguruan tinggi. Serangan terjadi setelah massa pelajar dan mahasiswa Bandung melakukan aksi menyatakan  sikap dan penolakan mereka terhadap pidato Soekarno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, yang oleh para mahasiswa disingkat menjadi Jas Merah. Di Jakarta, kerap diringkas sebagai Jali-jali Merah. Merah waktu itu senantiasa dihubungkan dengan komunisme. Hari itu, setelah satu gerombolan liar menduduki markas KAPPI pada jam 08.00, dua jam kemudian giliran Markas KAMI dan KAPI di Jalan Lembong diserang tak kurang dari 200 orang yang bersenjata api dan tajam. Seraya meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno!”, “Ganyang KAMI/KAPI” dan “KAMI/KAPI pelacur” dan sebagainya, mereka merusak markas tersebut. Mereka juga menurunkan bendera-bendera dan papan nama KAMI/KAPI. Menyerang sejumlah anggota KAMI dan KAPI di tempat itu dengan senjata tajam, sehingga beberapa orang luka-luka.

Teror dan penyerangan berlangsung diiringi tembakan-tembakan senjata api, yang mengindikasikan terlibatnya sejumlah anggota kesatuan militer. Setelah penyerangan di Jalan Lembong itu, serangan berlanjut ke kampus Universitas Parahyangan di Jalan Merdeka yang merupakan siku Jalan Lembong. Sejumlah mahasiswa anggota KAMI dan Resimen Mahawarman di kampus itu mencoba mempertahankan kampus. Tembakan peringatan ke atas yang diberikan anggota-anggota Mahawarman, langsung dijawab dengan tembakan mendatar yang terarah sehingga melukai beberapa anggota Mahawarman. Salah seorang anggota Mahawarman, Julius Usman, tewas terkena tembakan.

Seorang reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyaksikan langsung peristiwa, melaporkan bahwa “suatu hal yang sangat menarik ialah sebagian di antara penyerang-penyerang itu adalah anak-anak tanggung dan pada umumnya terdiri dari para gelandangan”. Lebih jauh terungkap, sebagian massa yang dikerahkan adalah kalangan penjahat dan tukang-tukang pukul dari sekitar wilayah Stasiun Bandung, dan dari “daerah basis PKI dan ASU lainnya seperti Babakan Ciparay”. Istilah ASU di sini sudah berkembang dari akronim untuk Ali-Surachman menjadi ‘Aku anak Sukarno’. (socio-politica.com – Berlanjut ke Bagian 2)

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (4)

MASIH pada tahun 1966, cendekiawan muda dari ITB, MT Zen, sudah menyinggung terjadinya kekerasan kemanusiaan 1965-1966 setelah Peristiwa 30 September 1965. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama bertahun-tahun yang mencapai puncaknya di Lubang Buaya, dinihari 1 Oktober 1965. Setelah terjadinya peristiwa, yang menjadi bukti nyata tentang kekerasan-kekerasan PKI pada beberapa tahun terakhir, Presiden Soekarno tidak mengambil solusi dengan menindaki PKI. “Sebagai akibat dari selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Tengah serta tempat-tempat lainnya di Indonesia”, tulis MT Zen di Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung.

JENDERAL SOEHARTO DAN JENDERAL HR DHARSONO. "Kepala Staf Kodam Siliwangi waktu itu adalah Brigadir Jenderal HR Dharsono, yang juga anti PKI, namun berbeda dengan Ibrahim Adjie, tidak memiliki kedekatan dan simpati terhadap Soekarno. Ketika HR Dharsono kemudian naik menggantikan Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi 20 Juli 1966, peta dukungan politik kepada Soekarno di Jawa Barat samasekali berubah. Ia sangat membantu gerakan anti Soekarno, khususnya dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan kesatuan aksi pada umumnya". (Foto dokumentasi MI)
JENDERAL SOEHARTO DAN JENDERAL HR DHARSONO. “Kepala Staf Kodam Siliwangi waktu itu adalah Brigadir Jenderal HR Dharsono, yang juga anti PKI, namun berbeda dengan Ibrahim Adjie, tidak memiliki kedekatan dan simpati terhadap Soekarno. Ketika HR Dharsono kemudian naik menggantikan Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi 20 Juli 1966, peta dukungan politik kepada Soekarno di Jawa Barat samasekali berubah. Ia sangat membantu gerakan anti Soekarno, khususnya dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan kesatuan aksi pada umumnya”. (Foto dokumentasi MI)

Dari stigmatisasi sampai misteri hilangnya catatan Sang Jenderal. Sebenarnya, pada tahun 1966 maupun pada tahun 1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia pada umumnya cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya MT Zen dan Soe-Hokgie –melalui tulisan-tulisannya, antara lain di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror dan tuduhan tertentu.

Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (4)

Kisah Presiden SBY dan Soegeng Sarjadi: Mempermainkan Tuhan, Mempermainkan Rakyat

PULANG dari Rio de Janeiro, Brasil, wartawan Kompas J. Osdar –yang ikut rombongan Presiden RI menghadiri KTT G-20 di Los Cabos, Mexico– membawa oleh-oleh berupa cerita tentang Soegeng Sarjadi dan Susilo Bambang Yudhoyono. Cukup menarik. Karena yang satu, Soegeng Sarjadi, punya pengalaman sebagai aktivis gerakan kritis mahasiswa terhadap establishment, tapi tanpa pengalaman sebagai presiden. Sementara yang satu lagi, Susilo Bambang Yudhoyono, punya pengalaman sebagai Presiden, tapi tanpa pengalaman sebagai aktivis. Soegeng dengan demikian cukup berpengalaman mengeritik (dan sebaliknya), sedangkan SBY sangat berpengalaman jadi sasaran kritik.

KARIKATUR PIDATO SOEKARNO “DJAS MERAH”. “Sebaliknya, mahasiswa dan kesatuan-kesatuan aksi anti Soekarno, menganggap pidato 17 Agustus Soekarno yang berjudul ‘Djangan sekali-kali meninggalkan sejarah’ yang disingkat sebagai ‘Djas Merah’ justru telah menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Isi pidatonya itu mengandung hasutan-hasutan bagi massa pendukungnya untuk melawan mereka yang dianggapnya mau menjatuhkan dirinya dari kekuasaan”. (Karikatur  T. Sutanto, MI 1966)

Ketika Presiden SBY menyelenggarakan konperensi pers di Rio dengan para wartawan Indonesia, Soegeng yang adalah pendiri (pemilik) Soegeng Sarjadi Syndicate, menjadi penanya kedua. Soegeng mengajukan pertanyaan yang lebih tepat disebut sebagai pernyataan yang nyaman. Kita kutip pemaparan Osdar mengenai kiprah Soegeng. Pemberitaan tentang SBY saat ini, menurut Soegeng masih banyak masuk dalam kolom passiva alias negatif, sedangkan di kolom aktiva masih kurang. Padahal dari pengalamannya mengikuti terbang selama 90 jam lebih bersama SBY, banyak hal yang harus diberitakan dalam kolom aktiva, alias banyak yang membanggakan. Setelah pulang ke Indonesia, ia berjanji “akan menulis tentang SBY lebih positif sehingga neraca lebih seimbang”. Kita terjemahkan secara ringkas: Panas 8 tahun hapus oleh hujan 90 jam.

Penyampaian Soegeng Sarjadi bisa bagaikan jembatan bagi SBY untuk menyeberangi sungai kecil komunikasi. Meskipun jembatan ‘dadakan’ itu ibaratnya masih terbuat dari bambu, tetapi dalam kadar tertentu per saat ini semestinya memadai, karena selama ini salah satu kesulitan SBY sebagai presiden adalah masalah komunikasi politik dengan publik. Maka Presiden pun menyatakan terima kasih. Andaikan, misalnya, Julian Aldrian Pasha, yang menyampaikan pernyataan seperti dilakukan Soegeng, nilai capaian komunikasinya akan lebih dekat ke nol. Soegeng sejauh ini masih dianggap luar Continue reading Kisah Presiden SBY dan Soegeng Sarjadi: Mempermainkan Tuhan, Mempermainkan Rakyat

Soekarno, Agustus 1966 (2)

“Hingga bulan Desember 1966, Soekarno bertahan dalam suatu keadaan dengan kesediaan melakukan sharing kekuasaan dengan Soeharto, asal tetap berada di posisi kekuasaan formal meskipun sebagian otoritas kekuasaan harus dilepaskannya ke tangan Soeharto”. “Pada saat sudah menjadi Pejabat Presiden berdasarkan keputusan Sidang Umum MPRS Maret 1967, Jenderal Soeharto pun bahkan masih sempat berkata kepada Soekarno –seperti yang pernah dituturkannya sendiri– bahwa mumpung dirinya masih menjadi Pejabat Presiden, ia mengharapkan Bung Karno masih akan bersedia memimpin negara ini dengan syarat seperti yang sudah dimaklumi Soekarno”.

Oleh Barisan Soekarno perobekan gambar itu dianggap penghinaan besar terhadap Soekarno. Dijadikan alasan pemicu kemarahan massa pendukung Soekarno sebagai kekuatan yang bertugas untuk ‘menagih’ keesokan harinya, yang harus dibayar mahal oleh pergerakan 1966 di Bandung, yakni dengan nyawa Julius Usman. Menurut Hasjroel, “di dalam tubuh KAMI sendiri timbul kontroversi” dan tindakan Soegeng itu telah dijadikan bahan kecaman, termasuk oleh “mereka yang tidak senang dengan popularitas Soegeng Sarjadi”. Tapi terlepas dari itu, bagaimanapun juga apa yang dilakukan Soegeng menjadi salah satu akselerator dalam proses kejatuhan Soekarno. Eksternal KAMI, terjadi pula polemik tentang ‘penyebab’ Peristiwa 19 Agustus 1966.

Front Pantjasila Jawa Barat menganggap pidato Jas Merah Soekarno telah menjadi pemicu benturan dalam masyarakat. Sebaliknya, DPP PNI Osa-Usep, melalui Ketuanya Osa Maliki, mempersalahkan aksi penurunan dan penyobekan gambar Bung Karno lah yang menjadi pemicu kemarahan massa pendukung Soekarno. PNI Osa-Usep ini sebenarnya pada mulanya cukup mendapat simpati di kalangan pergerakan 1966 karena sikapnya yang tegas menghadapi PNI Ali-Surachman (Asu) yang nyata-nyata punya garis politik sejajar dengan PKI. Tetapi, dalam hal Soekarno, agaknya PNI Osa-Usep sama saja dengan PNI Asu yang digantikannya dalam kancah politik kala itu.

Sebagai reaksi atas sikap DPP PNI ini tiga tokoh teras PNI Bandung, dari jajaran Ketua, Alex Prawiranata, Emon Suriaatmadja dan Mohammad A. Hawadi, menyatakan keluar dari PNI. Penilaian DPP terhadap peristiwa itu mereka anggap tidak objektif dan gegabah, yang dilakukan tanpa menanyakan duduk peristiwa sebenarnya terlebih dulu kepada DPD PNI Bandung. Mereka menyatakan pula kekecewaan mendalam terhadap sejumlah Ketua DPP PNI yang dalam berbagai kesempatan senantiasa masih saja menyatakan “Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan”, padahal harus ditarik garis yang jelas antara Marhaenisme dan Marxisme. Bersamaan dengan itu, PNI telah kembali kepada sikap pengkultusan individu dan sikap pembelaan terhadap Orde Lama.

Babak terakhir bersama mitos. Setelah benturan 19 Agustus 1966 di Bandung dan Insiden 3 Oktober 1966 di depan istana presiden, masih tercatat serangkaian benturan antara mahasiswa dan pelajar yang menghendaki diakhirinya kekuasaan Soekarno dengan para pendukung Soekarno. Seperti misalnya yang terjadi di Yogya 20 Nopember 1966, berupa penyerangan sejumlah anggota Pemuda Marhaenis terhadap beberapa mahasiswa anggota KAMI di Batjiro. Tanpa Soebandrio lagi di sampingnya, Soekarno akhirnya lebih banyak menoleh kepada PNI yang merupakan sumber dukungan tradisionalnya. Bila sebelum September 1965, Soekarno lebih sering berkonsultasi dengan tokoh-tokoh PKI dan sejumlah jenderal yang loyal kepadanya, kini ia lebih banyak bertemu dengan tokoh-tokoh PNI. Beberapa kali di tahun 1966, setelah SU IV MPRS, Soekarno mengundang Isnaeni untuk makan-makan di istana dan ngobrol berjam-jam lamanya. Tidak terlalu jelas apa yang dicapai Soekarno dengan Isnaeni, dan terbawa ke mana akhirnya PNI dengan pendekatan-pendekatan intensif yang dilakukan Soekarno. Selain itu, berkali-kali pada berbagai kesempatan, Soekarno mencoba menggembleng massa PNI.

Di depan anggota-anggota PNI/Front Marhaenis, 2 Desember 1966, Soekarno mengatakan “Kita hidup dalam revolusi dan revolusi tidak mengenal istirahat, ia hidup terus menerus… Kita harus berjuang terus dan mengorbankan segala apa pun untuk mengembalikan revolusi ini ke atas rel-nya yang sebenarnya”. Setelah pendekatan-pendekatan dilakukan Soekarno, beberapa kali sejumlah tokoh PNI menunjukkan sikap pembelaan terhadap Soekarno. Ketika Adam Malik melontarkan usul kepada Soekarno agar mengundurkan diri secara sukarela, tokoh PNI Jawa Tengah Hadisubeno serta merta menyatakan penolakan tegas. Hadisubeno ini pada tahun-tahun berikutnya menjadi salah satu tokoh PNI yang menonjol karena pernyataan-pernyataan kerasnya sebagai die hard Soekarno. Ia terkenal pula dengan serangan-serangannya terhadap Golongan Karya yang muncul sebagai the new emerging forces –meminjam istilah yang sering digunakan Soekarno– maupun partai-partai ideologi Islam. Pernyataannya kadang-kadang dianggap keterlaluan, tetapi bagaimana pun ia menciptakan kemeriahan politik.

Dalam ancang-ancang menuju Pemilihan Umum 1971 –yang diundurkan waktunya oleh Soeharto dari 1968– Hadisubeno terkenal dengan istilah ‘kaum sarungan’ yang ditujukan kepada kelompok politik Islam. Istilah ‘kaum sarungan’ ini mengingatkan orang kepada ucapan Aidit di depan massa CGMI di tahun 1965, yaitu sebaiknya anggota-anggota CGMI memakai sarung saja kalau tak bisa membubarkan HMI. Tapi Hadisubeno tak sempat berkiprah dalam Pemilihan Umum 1971, karena ia meninggal di tahun 1970 dan dimakamkan di Cilacap. Namun, selain sikap pembelaan seperti yang ditunjukkan Hadisubeno, berkali-kali pula sejumlah tokoh PNI ikut dalam arus sikap kritis dan keras terhadap Soekarno, terutama dari kalangan yang setelah peristiwa di bulan september 1965 memisahkan diri sebagai sayap Osa-Usep. Tetapi cukup menarik pula bahwa pada saat yang lain, sejumlah tokoh yang tadinya masuk sayap Osa-Usep, belakangan sempat bersuara keras untuk kepentingan Soekarno.

Sikap PNI melalui pernyataan silih berganti para tokohnya yang di mata umum terlihat mondar-mandir antara sikap pada satu saat ikut mengeritik Soekarno dan pada saat yang lain membela mati-matian Soekarno, bagaimanapun membingungkan sekaligus makin melekatkan gelar plinplan yang diberikan pada partai itu sejak pecahnya Peristiwa 30 September 1965. Istilah plinplan berasal dari istilah plintatplintut yang dipopulerkan Soekarno untuk mereka yang dianggapnya tak berpendirian tetap. Terakhir di awal tahun 1967, 21 Januari, Sekjen PNI Usep Ranawidjaja SH –yang berseberangan dengan kelompok Ali-Surachman– menegaskan tak ada hubungan antara PNI dan Presiden Soekarno, karena Soekarno berada di luar PNI.

Lantas apa sesungguhnya yang ada di balik persentuhan-persentuhan Soekarno dengan PNI ? Pertama-tama tentu saja dapat disimpulkan bahwa perbedaan internal masih cukup kuat di tubuh PNI yang telah ‘bersatu’ kembali sebagai PNI ‘baru’. Perubahan sikap yang silih berganti mungkin dapat diterangkan dalam kerangka upaya PNI menjaga eksistensi dirinya. Sewaktu Soekarno tampaknya punya peluang untuk memperbaiki kembali posisinya dalam kekuasaan melalui kompromi-kompromi dengan Jenderal Soeharto, PNI memberikan dukungan untuk memperkuat Soekarno dalam rangka tawar menawar posisi. Dengan sikap itu PNI berharap bisa merebut kembali massa pendukung Soekarno, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan tatkala kemudian pada awal 1967 tekanan terhadap Soekarno menguat dan memperlihatkan trend menaiknya keinginan mengakhiri Soekarno, menurut analisis Aswar Aly seorang aktivis 1966 yang berprofesi wartawan, DPP PNI yang praktis dikuasai oleh kelompok Osa-Usep mulai menyadari sudah tidak mungkin mengharapkan direbutnya kembali massa PNI Jawa Tengah dan Jawa Timur itu dengan menggandeng Soekarno. “Karena itu mulailah dipersiapkannya peralihan suara politik PNI, agar PNI masih bisa diselamatkan jikapun Soekarno telah jatuh”. Dengan kembali bersikap netral seperti pada awal 1967 itu, kelompok Osa-Usep itu berharap masih bisa bertahan dalam Orde Baru, sebagaimana mereka bisa diterima pada awalnya.

Selain pendekatan baru terhadap PNI, Soekarno juga mencoba memainkan perimbangan baru antara panglima angkatan yang baru dengan Soeharto yang telah menjadi Menteri Panglima AD, sepanjang bagian kedua tahun 1966, serta mencoba mengandalkan sejumlah Panglima Kodam meskipun tentunya ia mengetahui bahwa sejumlah Panglima Kodam –minus Mayjen HR Dharsono dari Siliwangi– berada di wilayah abu-abu antara dirinya dan Soeharto. Dalam Kabinet Ampera pun, sebenarnya masih terdapat sejumlah tokoh abu-abu, yakni tokoh-tokoh hasil kompromi antara Soeharto dan Soekarno.

Apapun yang terjadi di latar belakang hubungan Soekarno dengan para Panglima ABRI, Pernyataan Desember ABRI yang dikeluarkan pada tanggal 21, adalah ibarat titik patah dari suatu curve yang menggambarkan sikap tentara terhadap Soekarno. Dalam Seminar AD II muncul rumusan perlunya institusi-institusi dilepaskan dari ikatan pribadi, dan agar hukum-hukum yang demokratis dapat berjalan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, untuk mencegah kediktatoran dalam bentuk apapun. Tetapi dalam Pernyataan Desember ABRI yang muncul justru nada otoriter khas tentara. Para pimpinan ABRI memberi penegasan bahwa ABRI akan mengambil tindakan terhadap siapapun, pihak manapun, golongan manapun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 serta siapapun yang tidak melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum IV MPRS. Terjemahan politik dari peringatan itu adalah bahwa ABRI tak lagi mentolerir seluruh kegiatan ekstra parlementer, yang justru merupakan ciri seluruh gerakan anti Soekarno yang dilakukan oleh para mahasiswa, pelajar dan kaum cendekiawan serta kesatuan-kesatuan aksi. Terkandung pula sifat pembatasan dalam kehidupan demokrasi, seakan yang konstitusional hanyalah proses formal melalui MPRS serta keputusan-keputusan MPRS. Padahal, pandangan yang umum dari kelompok-kelompok generasi muda saat itu, keputusan-keputusan SU IV MPRS adalah tidak memuaskan karena terlalu kompromistis. Dalam pada itu, samasekali tidak terdapat rumusan tentang sikap para pimpinan ABRI terhadap Presiden Soekarno yang pada saat itu justru menjadi pokok perhatian utama kehidupan politik faktual dan paling aktual saat itu.

Mingguan Mahasiswa Indonesia, 25 Desember, menulis “justru di saat-saat kita sedang berada dalam tahap perjuangan yang sedang meningkat, lampu kuning tiba-tiba menyala lagi di hadapan kita. Sebuah lampu kuning yang datang dari pihak ABRI, partner terpercaya dari Kesatuan-kesatuan Aksi, yang pada tanggal 21 Desember mengeluarkan apa yang disebut ‘Pernyataan Desember ABRI’. Betapapun juga alasannya, dikeluarkannya pernyataan tersebut kurang dapat dipahami: Mengapa dan untuk apa pernyataan seperti itu dikeluarkan ? Secara implisit, ‘Pernyataan Desember ABRI’ itu telah mengalihkan perhatian kita dari sasaran pokok, kalau tidak memperkuat posisi sasaran pokok itu. Terutama sekali karena kalau dibanding-bandingkan dengan kesimpulan Seminar AD ke-II yang baru lalu, ternyata pernyataan tersebut mengandung kemunduran yang besar sekali”. Gambaran sederhana dari ini semua, adalah bahwa proses tawar menawar sedang terjadi.

Hingga bulan Desember 1966, Soekarno bertahan dalam suatu keadaan dengan kesediaan melakukan sharing kekuasaan dengan Soeharto, asal tetap berada di posisi kekuasaan formal meskipun sebagian otoritas kekuasaan harus dilepaskannya ke tangan Soeharto. Kesediaan untuk berbagi kekuasaan pada saat yang sama juga ada pada Soeharto, namun dengan porsi tuntutan yang meningkat dari waktu ke waktu. Pada saat sudah menjadi Pejabat Presiden berdasarkan keputusan Sidang Umum MPRS Maret 1967, Jenderal Soeharto pun bahkan masih sempat berkata kepada Soekarno –seperti yang pernah dituturkannya sendiri– bahwa mumpung dirinya masih menjadi Pejabat Presiden, ia mengharapkan Bung Karno masih akan bersedia memimpin negara ini dengan syarat seperti yang sudah dimaklumi Soekarno. Baginya ketergesa-gesaan bukan cara yang terbaik, bahkan kerapkali malah menghapus kesempatan sama sekali. Dalam realita, yang akan terbukti kemudian, ia memilih cara berjalan setapak demi setapak dalam proses mematikan langkah Soekarno, dengan hasil yang meyakinkan. Babak terakhir dalam mitos kekuasaan Soekarno, segera dimulai.

Soekarno, Agustus 1966 (1)

“Penurunan dan penyobekan gambar Soekarno tanggal 18 Agustus 1966 itu menjadi gerakan paling terbuka dan terang-terangan yang untuk pertama kali dilakukan di Indonesia dalam rangka penolakan terhadap Soekarno”.

PERAYAAN 17 Agustus 1966 di Istana Merdeka, adalah perayaan Agustusan terakhir bagi Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Kemungkinan ke arah kejatuhannya dari kekuasaan, makin jelas terbaca sejak ia seakan-akan ter-faitaccompli untuk memberikan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Meski Soekarno tetap sebagai Presiden RI, pada hakekatnya sejak saat itu separuh kekuasaan sudah berada di tangan Jenderal Soeharto. Namun menjadi fenomena menarik bahwa saat langkah Soekarno semakin tertatih-tatih dalam menjalankan kekuasaannya, Jenderal Soeharto pun tak kalah lamban bagaikan keong dalam menyelesaikan proses peralihan kekuasaan guna mengakhiri apa yang disebut mahasiswa dan cendekiawan yang kritis kala itu sebagai langkah mengakhiri kekuasaan diktatorial Soekarno.

Menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan yang ke-21 itu, sejumlah tokoh kesatuan aksi di Bandung –KAMI maupun KASI– telah menduga bahwa pidato yang akan disampaikan Soekarno dalam acara tersebut akan bernada keras. Ini terbaca melalui tanda-tanda ketidakpuasan yang diperlihatkan Soekarno setelah SU-IV MPRS, 20 Juni hingga 5 Juli 1966 yang menolak pidato pertanggungjawabannya dan menanggalkan beberapa gelar dan wewenangnya.

Pada pelantikan Kabinet Ampera sebelumnya, Soekarno pun telah melontarkan ucapan-ucapan ‘keras’. Ia misalnya menegaskan keinginannya agar konfrontasi terhadap Malaysia tetap dilanjutkan. Tentang Surat Perintah 11 Maret 1966, Soekarno menyatakan bahwa itu adalah surat perintah biasa dan bukan transfer of authority atau pemindahan kekuasaan. Ia menyatakan pula bahwa Surat Perintah 11 Maret itu “bisa saya berikan kepada siapa saja”. Tapi tentu saja, semua sudah terlambat bagi Soekarno, karena Surat Perintah 11 Maret itu sudah dikukuhkan melalui suatu Tap MPRS, yang tak bisa lagi dicabut oleh Soekarno, kecuali ia bisa memulihkan kekuatan pendukungnya.

Untuk menghadapi kemungkinan Soekarno mengulangi atau bahkan menyampaikan suatu pidato yang lebih keras keras pada 17 Agustus 1966, para aktivis kesatuan aksi saat itu telah mempersiapkan beberapa tindakan antisipatif. Sementara itu di berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung  berlangsung berbagai appel mahasiswa. Mahasiswa pun menyelenggarakan suatu pawai alegoris keliling kora Bandung, Senin sore 15 Agustus. Sikap anti Soekarno yang paling nyata, terekspresikan dalam pawai allegoris tersebut. Sebuah patung besar yang menyerupai Soekarno di atas sebuah kendaraan bak terbuka amat menarik perhatian jubelan puluhan ribu massa rakyat yang menonton di sepanjang jalan. Patung yang lengkap dengan berbagai bintang dan tanda jasa di dadanya itu disertai suatu tulisan yang seakan pertanyaan Soekarno, ‘Tjing kuring hayang nyaho, naon Hati Nurani Rakyat’, Hayo saya ingin tahu apa itu Hati Nurani Rakyat. Di sekeliling patung, duduk bersimpuh sejumlah wanita cantik –berkebaya atau berpakaian kimono Jepang, yang diperankan sejumlah mahasiswi– dan kendaraan pengangkutnya berjalan lambat-lambat ‘ditarik’ sejumlah manusia kurus kering, berbaju gembel berjalan tertatih-tatih tanda kelaparan.

Sejumlah patung atau boneka sindiran lainnya karya para mahasiswa juga meramaikan pawai. Ada pula dua poster yang menyolok, berbunyi “Kalau tidak tahu Hati Nurani Rakyat, jangan mengaku Pemimpin Besar Revolusi” dan “Kalau tidak tahu Hanura, minggir saja Bung!”. Sebuah ‘patung’ lain dalam arak-arakan itu tak hanya ‘menyinggung’ perasaan Soekarno, tapi juga aparat keamanan, sehingga dirampas oleh sejumlah petugas di depan Gedung MPRS yang lebih dikenal sebagai Gedung Merdeka. Patung bertuliskan ‘Kecap Nomor Satu’ di bagian badan dan ‘Batu’ di bagian kepala itu, dikehendaki mahasiswa untuk di bawa terus dalam pawai. Mahasiswa menolak dan mogok di jalan menuntut patung dikembalikan. Persoalan bisa diatasi ketika beberapa perwira Kodam Siliwangi datang setelah dihubungi para mahasiswa, dan turun tangan untuk mengembalikan patung itu.

Pidato 17 Agustus Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”, ternyata memang memancing kontroversi. Soekarno menyebut tahun 1966 sebagai tahun gawat, dan menunjuk adanya gerakan kaum revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Dalam pidato itu Presiden Soekarno tetap menyebut-nyebut Pantja Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan Nasakom. Tetapi bagian yang paling ‘kontroversial’ ialah ketika Soekarno melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan terhadap dirinya dan Nasakom sebagai sikap revolusioner yang palsu. Semua mengerti bahwa yang dimaksudkan terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi. Seraya itu, ia lalu menyerukan, “Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya, kita berjalan terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjuang terus, maju terus pada sasaran tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945”. Seruan itu bermakna komando bagi para pengikutnya yang masih setia, untuk membela dirinya menghadapi penentangan ‘kaum revolusioner palsu’.

Peristiwa 19 Agustus 1966. Seakan mengikuti seruan Soekarno dan sekaligus menjawab aksi-aksi anti Soekarno yang diperlihatkan pelajar dan mahasiswa dalam pawai alegoris mahasiswa, barisan pendukung Soekarno melakukan penyerangan-penyerangan terhadap para penentang Soekarno di berbagai penjuru tanah air. Salah satu rangkaian serangan yang paling menonjol adalah yang terjadi di Bandung. Rabu 17 Agustus pagi sekelompok orang yang berseragam hitam-hitam melakukan serangan bersenjata api dan tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung dan pada sore harinya melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17-an. Kampus ITB yang dijaga oleh Batalion 1 Mahawarman di bawah pimpinan wakil komandannya Tjipto Soekardono dan kampus Universitas Padjadjaran yang dijaga Batalion 2 Mahawarman di bawah komandannya Nugraha Besus juga diserang, tapi bisa diatasi.

Akan tetapi serangan yang paling besar terjadi pada tanggal 19 Agustus 1966. Serangan dilakukan oleh kelompok hitam-hitam yang diidentifisir sebagai anggota PNI Asu terhadap markas kesatuan aksi selain kampus beberapa perguruan tinggi. Serangan itu terjadi setelah massa pelajar dan mahasiswa Bandung melakukan aksi menyatakan  sikap dan penolakan mereka terhadap pidato Soekarno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, yang oleh para mahasiswa disingkat menjadi Jas Merah. Di Jakarta, kerap diringkas sebagai Jali-jali Merah. Merah waktu itu senantiasa dihubungkan dengan komunisme. Hari itu, setelah satu gerombolan liar menduduki markas KAPPI pada jam 08.00, dua jam kemudian giliran Markas KAMI dan KAPI di Jalan Lembong mengalami serangan oleh sekitar 200 orang yang juga bersenjata api dan tajam. Sambil meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno!”, “Ganyang KAMI/KAPI” dan “KAMI/KAPI pelacur” dan sebagainya, mereka merusak markas tersebut. Mereka juga menurunkan bendera-bendera dan papan nama KAMI/KAPI. Mereka menyerang sejumlah anggota KAMI dan KAPI yang berada di tempat itu dengan senjata tajam, sehingga beberapa orang luka-luka.

Teror dan penyerangan itu berlangsung diiringi oleh tembakan-tembakan senjata api, yang mengindikasikan kemungkinan terlibatnya sejumlah tentara. Setelah penyerangan di Jalan Lembong itu, serangan berlanjut ke kampus Universitas Parahyangan yang terletak di Jalan Merdeka yang merupakan siku Jalan Lembong. Sejumlah mahasiswa anggota KAMI dan Resimen Mahawarman yang ada di kampus mencoba mempertahankan kampus mereka. Tembakan peringatan ke atas yang diberikan oleh anggota-anggota Mahawarman, langsung dijawab dengan tembakan mendatar yang terarah sehingga melukai beberapa anggota Mahawarman. Salah seorang anggota Mahawarman, Julius Usman, tewas oleh tembakan itu. Seorang reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia yang menyaksikan langsung peristiwa, melaporkan bahwa “suatu hal yang sangat menarik ialah sebagian di antara penyerang-penyerang itu adalah anak-anak tanggung dan pada umumnya terdiri dari para gelandangan”. Sebagian massa yang dikerahkan adalah kalangan penjahat dan tukang-tukang pukul dari sekitar wilayah Stasiun Bandung, dan dari “daerah basis PKI dan ASU lainnya seperti Babakan Ciparay”. Istilah ASU di sini sudah berkembang dari akronim untuk Ali-Surachman menjadi ‘Aku anak Sukarno’. Dalam usaha memperbesar massanya, gerombolan itu “menyeret siapa saja yang berada di jalanan atau mereka yang sedang menonton peristiwa, setelah terlebih dahulu dipaksa untuk mengakui sebagai pengikut Soekarno”.

Dalam rangkaian Peristiwa 19 Agustus 1966 ini, nama aktivis GMNI yang Februari 1966 pernah memimpin pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno, Siswono Judohusodo, disebut-sebut. Tetapi di kemudian hari, tentang Barisan Soekarno yang terlibat dalam kekerasan 19 Agustus 1966 itu, Siswono mengatakan  “itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya pimpin”. Menurut pengakuannya, “saya sendiri tidak tahu dari mana orang-orang yang banyak itu”. Siswono adalah salah tokoh mahasiswa yang pernah diadili dan dihukum karena keterlibatan dalam Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung, sebuah peristiwa yang membuat Soekarno marah.

Sewaktu mendengar adanya serangan terhadap Konsulat KAMI, 19 Agustus 1966, sejumlah aktivis mahasiswa, Rahman Tolleng dan beberapa orang lainnya yang berada di kantor Mingguan Mahasiswa Indonesia di Jalan Tamblong Dalam yang jaraknya hanya tujuh menit berjalan kaki ke Jalan Lembong, mendatangi markas KAMI itu. Tetapi setiba di sana ia dan kawan-kawan malah dibawa untuk ‘diamankan’ oleh petugas Garnisun Bandung selama beberapa jam di kantor instansi militer itu. Selama di sana, Rahman mencium adanya ketidakberesan dan hal-hal yang mencurigakan dari perlakuan beberapa perwira di situ. Mereka ditanyai macam-macam. Seakan-akan para aktivis mahasiswa inilah para tersangka. Beruntung bahwa pada petang hari, Panglima Kodam Siliwangi HR Dharsono yang mencium gelagat tidak beres yang dilakukan sejumlah perwira bawahannya dalam peristiwa tersebut, bertindak tegas. Keadaan berbalik. Para aktivis kesatuan aksi dibebaskan. Sejumlah perwira di Garnisun balik ditangkap.

Dalam pressreleasenya kemudian, Kodam Siliwangi mengumumkan tentang penangkapan perwira-perwira garnisun Bandung tersebut, yakni Mayor A. Santoso, Wakil Komandan Kodim Bandung, Mayor Lili Buchori Komandan Likdam VI, Kapten Sunarto Kepala Seksi I Kodim Bandung dan Kapten Oking Kepala Seksi II Kodim Bandung. Mereka diketahui terlibat langsung dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 itu. Bersama para perwira itu, ditangkap ratusan orang lainnya, yang terlibat dalam peristiwa, termasuk beberapa pengurus PNI Cabang Bandung. Secara internal PNI Bandung sendiri melakukan pemecatan-pemecatan atas mereka yang terlibat, Nunung Satia yang adalah Ketua III, serta Sekertaris I Jatna Ibing dan Sekertaris II Atma Achmad, sekaligus membekukan Gerakan Pemuda Marhaenis Bandung.

Sebenarnya, seperti dituturkan Hasjroel Moechtar, pada tanggal 18 Agustus malam sejumlah anggota KAMI, Johny Pattipeluhu, Marzuki Darusman, Gani Subrata, Piet Tuanakotta dan Taripan Pakpahan memergoki dan ‘menangkap’ sejumlah oknum ASU yang baru saja mengikuti rapat di kantor Walikota Kotamadya Bandung. Namun para mahasiswa itu belum bisa dengan segera malam itu menemukan kaitan-kaitan yang cukup jelas antara tangkapan mereka dengan apa yang kemudian terjadi tepat sehari sesudahnya. Mereka yang ‘ditangkap’ hanya mengakui adanya rencana gerakan, yang melibatkan sejumlah perwira Kodim Bandung, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara dan Brimob Kepolisian RI, tanpa menyebut bahwa itu sudah akan dilaksanakan esok pagi. Walikota Bandung Kolonel Djukardi, yang menyediakan tempat rapat, di kemudian hari ditangkap oleh Kodam Siliwangi karena keterlibatannya dengan PKI.

Terungkap pula kemudian bahwa gerakan yang dilakukan KAMI dan KAPI tanggal 18 Agustus 1966 yang berupa penurunan dan penyobekan gambar-gambar Soekarno, telah dijadikan pemicu guna meledakkan kemarahan para pendukung Soekarno untuk melakukan pembalasan. Tetapi, gerakan itu sendiri sudah sejak lama direncanakan sebelum terjadinya aksi perobekan gambar Soekarno. Sebenarnya, adalah tokoh KAMI Bandung, Soegeng Sarjadi yang juga Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang memulai aksi penyobekan gambar Soekarno itu. Sewaktu berlangsung appel massa mahasiswa dan pelajar di markas KAMI Jalan Lembong, tanggal 18 Agustus pagi, tatkala tampil di panggung untuk berorasi di depan massa, Soegeng mengeluarkan gulungan kertas dari balik jaketnya. Sambil mengembangkan kertas itu ia bertanya kepada massa, “Saudara-saudara, ini gambar siapa ?”. Dijawab, “Gambar Soekarno!”. Mendapat sambutan yang luar biasa, Soegeng menambah dosis orasinya, “Inilah saudara-saudara, otak Lubang Buaya, arsitek Gestapu! Apakah saudara-saudara setuju kalau gambar orang yang sudah menyengsarakan rakyat ini kita turunkan dan kita hancurkan?!”. Begitu mendapat tempik sorak “Setuju!”, Soegeng segera menyobek-nyobek gambar Soekarno itu lalu mencampakkannya ke tanah. Soegeng yang kala itu dianggap salah satu orator ulung oleh para mahasiswa, menambah lagi suntikan terakhirnya, “Semua gambar Soekarno, di kantor-kantor, di rumah-rumah, di perusahaan-perusahaan negara atau swasta agar diturunkan!”.

Dampak ‘suntikan’ Soegeng itu luarbiasa dan berhasil menggerakkan massa menjelajahi Bandung memasuki kantor-kantor untuk menjalankan apa yang dianjurkannya. Maka ketika beberapa puluh tahun kemudian Soegeng masuk bergabung ke PDI yang untuk sebagian adalah turunan PNI sebagai ‘pemuja’ Soekarno, cukup banyak yang tercengang. Tentang asal usul gulungan gambar Soekarno itu, Hasjroel menceritakan, ternyata berasal dari Mansur Tuakia, anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiah yang waktu itu adalah Sekertaris I KAMI Bandung. Gambar itu berasal dari bingkai yang biasa digantung di salah satu ruang KAMI Konsulat Bandung, diturunkan dari tempatnya oleh seorang aktivis bernama Anis Afiff atas suruhan Mansur. Penurunan dan penyobekan gambar Soekarno tanggal 18 Agustus 1966 itu menjadi gerakan paling terbuka dan terang-terangan yang untuk pertama kali dilakukan di Indonesia dalam rangka penolakan terhadap Soekarno.

Berlanjut ke Bagian 2

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (4)

“Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno”.

Pintu menuju kekuasaan baru

BUTIR-BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada Jenderal Soeharto, untuk sebagian adalah butir-butir ‘karet’ yang bisa serba tafsir, baik bagi Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah tersebut, akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno. Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. Tetapi faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh penjuru Indonesia, setelah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman –membunuh enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di Yogyakarta– melalui Gerakan 30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu.

Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, setelah peristiwa ikut mengalami imbas karena dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan segera setelah Peristiwa 30 September, sayap ini ‘melepaskan’ diri sebagai PNI Osa-Usep. Pemisahan diri ini menyebabkan pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat organisasi sayap.

Meskipun sebagian pengikut PNI Osa-Usep masih mendukung Soekarno, tetapi tak kurang pula yang berangsur-angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri Suaidi misalnya, yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia adalah pemuja Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat rekan-rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang telah terlalu lama berkuasa dan pada masa-masa terakhir kekuasaannya kala itu telah tergelincir melakukan sejumlah kekeliruan politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.

Menurut Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun, pokoknya Bung Karno tak boleh diapa-apakan. Yang kedua, adalah sebaliknya, Soekarno memang harus mendapat pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat. Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, tetapi hendaknya dengan cara yang terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang telah merendahkan Soekarno. “Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang begitu saja?”. Karena mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti Soekarno, maka Siswono dianggap berada di ‘seberang’, meskipun ia pernah dalam kebersamaan pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi kemudian ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari sewaktu mahasiswa ITB baru saja memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal. Karena, ”long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa”. Ia kuatir mahasiswa-mahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung-pendukung Soekarno yang tidak ingin Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan kampus ITB, membuat Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai April. Tentang Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19 Agustus 1966, ia memberi penjelasan, “itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya pimpin”. Ia mengaku, “saya sendiri tidak tahu dari mana orang-orang yang banyak itu”.

Sementara itu adalah ironis pula bahwa tatkala di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI, justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur serta Bali, PNI mengalami benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan ‘lebih dulu membantai atau dibantai’. Dengan aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, serta aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI, sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk saat itu, dalam artian hanya cukup untuk keperluan defensif.

Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu adalah bahwa ia sebenarnya mulai ‘tersisih’ –setidaknya berkemungkinan untuk itu– dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang telah melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa-sisa penghormatan berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta –yang pada hakekatnya banyak menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern– misalnya, di bawah permukaan sejak lama telah merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film-film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngakngikngok –terutama The Beatles dari Inggeris dan Koes Bersaudara– padahal musik-musik dinamis itu memikat hati kaum muda terutama dari kalangan elite yang sebenarnya lebih nyaman dan terbiasa dengan hal-hal yang berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan intervensi untuk mengatur soal  pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus “sesuai dengan kepribadian nasional”.

Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada pemerintahan Soekarno kendati masih mendua karena masih terdapatnya sisa rasa ‘pemujaan’ mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti misalnya yang banyak terjadi di kalangan elite pengikut PNI. Tapi dalam banyak kasus, PNI sendiri justru juga mengalami bias kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno dalam realitanya hanya mampu menimbulkan riak-riak kecil perlawanan untuk pembelaan Soekarno, namun tak pernah mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi Soekarno yang melemah.

Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September, Soeharto telah tampil di mata mahasiswa, pelajar, pemuda dan rakyat pada umumnya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo yang cukup cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke depan ke dalam kekuasaan negara, dan mengawali kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang dengan kesaktian Pancasila telah menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir-butir Surat Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu, disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto melalui Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto.

Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno. Menurut penuturan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu adalah perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto telah melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman, “Presiden Soekarno tidak dapat menerima argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya”.

Digambarkan adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang Istana Presiden. “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya.

Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”. Soeharto sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu, “sudah ada yang berbisik-bisik pada saya, untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan. Tetapi tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya untuk melakukannya”.  Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno.

Berlanjut ke Bagian 5

Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (4)

“Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala….”. “Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta  turun ke jalan….. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian…”.

CATATAN Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno ini menarik untuk dipinjam di sini, terutama karena memiliki nuansa penilaian yang berbeda. Apakah tindakan Amirmahmud saat itu masih termasuk tindakan taktis, ataukah murni akrobatik politik? Kalau ternyata Amirmahmud melakukannya dengan kesepakatan para pimpinan Angkatan Darat, apakah itu sekaligus menunjukkan bahwa para jenderal memang telah melakukan akrobatik politik, mengutamakan ‘permainan’ dan tak segan menempatkan mahasiswa sekalipun dalam posisi pion yang sewaktu-waktu bisa saja dikorbankan untuk meraih kemenangan? Apalagi, dalam persepsi tokoh kesatuan aksi, RAF Mully, Angkatan Darat memang hanya menempatkan mahasiswa dalam posisi untuk dimanfaatkan. “Tidak sepenuhnya Angkatan Darat bisa diharapkan sebagai pelindung bagi mahasiswa”. Adalah suatu fakta di lapangan, bahwa pasukan-pasukan Kodam Jaya kala itu tak selalu menunjukkan sikap bersahabat dengan para mahasiswa. Adakalanya mereka begitu garang dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa. Ini berbeda dengan pasukan-pasukan yang ada di bawah garis komando Mayjen Kemal Idris yang menggantikan Soeharto sebagai Panglima Kostrad, atau pasukan-pasukan RPKAD, yang oleh para mahasiswa bisa dirasakan memiliki sikap melindungi, setidaknya tak bermusuhan.

Adanya dua jenis perilaku tentara ini sangat terasa oleh kelompok mahasiswa. Bila sikap tidak bersahabat itu ditunjukkan oleh kalangan militer yang dekat dengan Soekarno, tentu tidak mengherankan. Tetapi bagaimana kalau kasat mata ia memiliki kedekatan dengan Soeharto, tetapi ketika berhadapan dengan mahasiswa menunjukkan permusuhan ? Tak lain hal itu berarti, sejak mula Soeharto pun sudah mulai memelihara sejumlah perwira berperilaku otoriter di dekatnya. Dengan demikian, sikap berbeda-beda di kalangan tentara bukanlah semata-mata soal pro atau kontra Soekarno.

Jenderal Abdul Harris Nasution menggambarkan “Barisan Soekarno mulai menjadi kenyataan fisik. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke istana dan bekerja untuk itu”. Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan memimpin Barisan Soekarno menunjuk Kolonel Sjafei –yang dikenal sebagai ‘raja’ para copet Jakarta– sebagai Komandan. “Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai hangat demonstrasi kontra demonstrasi dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik”. Bahkan Soeharto, tutur Nasution, menampung persoalan gerakan baru ini berupa perlombaan atau jor-joran menyatakan setia kepada Presiden, dengan menginstruksikan “appel-appel kesetiaan”, melalui Pengumuman O1/Koti/1966.

“Panglima Kodam Jaya Jenderal Amirmahmud melakukannya secara besar-besaran, 120 utusan parpol dan ormas Jakarta bersama panglima menyampaikan kesetiaan kepada Presiden. Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie menyatakan bahwa Sam Karya yang diterima Siliwangi adalah identik dengan Soekarno dan dibela oleh Siliwangi. Bung Karno telah dimasukkan dalam catur laksana Korps Siliwangi”.

Tapi, fakta yang paling tak dapat diabaikan, seperti juga dikatakan Nasution, adalah bahwa para Panglima di Jawa dewasa itu, di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, meskipun dikenal sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga secara pribadi kuat mendukung Soekarno. Bagaimanapun, “isu pembentukan Barisan Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan, yang satu sama lain berbeda dan dapat membingungkan”. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, meskipun seorang pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah hukumnya. Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan instruksi yang mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya. Sementara itu, Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan tegas menyatakan Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.

Waperdam I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga ia menekankan aspek fisik. Dalam suasana yang menghangat, 15 Pebruari 1966, Presiden Soekarno didampingi Waperdam I Soebandrio mengadakan pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu, Germindo, Presidium MMI dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana Merdeka. Pada forum tersebut Dr Soebandrio kembali menyerukan pembentukan Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan berbentuk fisik, memenuhi seruan Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan penyusunan barisan pendukung yang berdiri di belakangnya. “Bentuklah Barisan Soekarno sekarang juga”, ujar Soebandrio. Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut membentuk Barisan Soekarno itu, “biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet”.

Barisan dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai dalam artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela Soekarno. Hingga beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung. Pada 19 Agustus 1966, ketika mahasiswa Bandung makin gencar melakukan gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno menyerbu Konsulat KAMI Bandung di Jalan Lembong. Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 tersebut jatuh korban jiwa, Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Ia tewas di depan kampusnya Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.

Setelah terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan massa Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Pebruari hingga awal Maret, Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‘jalan tengah’ Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia, 7 Maret. Gagasan ini sebenarnya berasal dari ide pembentukan National Union of Student (NUS) yang dilontarkan sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari setelah mendengarkan saran dan laporan Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam) bidang Sosial Politik, Ruslan Abdulgani. Ketika gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan oleh Soekarno dan Ruslan, muncul penolakan yang keras dari mahasiswa Bandung dalam sebuah pernyataan 2 Pebruari 1966. Mahasiswa Bandung mencurigai pembentukan NUS tersebut, yang dilontarkan justru bertepatan dengan saat PKI dan simpatisannya mulai dibersihkan dari kabinet dan berbagai lembaga negara. Mahasiswa Bandung curiga bahwa pembentukan NUS dimaksudkan untuk mendegradasi setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan unsur-unsur Front Marhaenis Ali Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang tentu saja berbahaya terhadap upaya pembubaran PKI. Front Marhaenis per saat itu dalam anggapan mahasiswa-mahasiswa Bandung tersebut adalah partner terdekat PKI di zaman pra G30S.

Dalam suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di Bogor, kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan “Gerwani Agung”. Julukan ‘Gerwani Agung’ yang ditujukan kepada Hartini ini membuat Soekarno amat marah. Di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan yang ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan “Soekarno, No” serta berbagai serangan lain yang menunjukkan bahwa mahasiswa tak lagi menginginkan Soekarno sebagai pemimpin negara. Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan “Gedung Komidi Stambul”. Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir “MPRS…. Yes, yes, yes” yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi ‘perwakilan rakyat’ itu berisi dengan orang-orang yang hanya bisa mengatakan “yes” kepada Soekarno. Soekarno yang marah, bersama Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh Nekolim. Tetapi berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan semacam itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mereka yang dituding.

Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala dan bukannya membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24 Pebruari ia memasukkan sejumlah tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI seperti Oei Tjoe Tat SH dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta  turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu lintas. Mobil-mobil dikempeskan bannya sehingga menteri-menteri  yang akan dilantik terhambat ke istana. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian dan jenazahnya dikirim kepada orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, telah pula jatuh korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat karena peluru pasukan Cakrabirawa.

Berlanjut ke Bagian 5

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (3)

“Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi”.

Kelompok Kaya Baru dan Para Cukong

KELOMPOK kaya baru ini mempunyai sejumlah simbol status. Salah satu simbol adalah rumah mentereng –kebanyakan dibuat bertingkat– yang dibangun di atas tanah yang luas di wilayah kota yang bergengsi seperti di Menteng, Kebayoran Baru dan Pondok Indah. Selain itu, tak henti-hentinya dibuka wilayah pemukiman baru yang elite dari waktu ke waktu. Setiap kota besar lainnya di luar Jakarta, juga senantiasa punya daerah-daerah pemukiman elite. Bertumbuhnya Jakarta menjadi metropolitan, yang segera ditiru gayanya oleh kota-kota besar lainnya, bagaimanapun telah memicu meningkatnya hasrat konsumerisme yang tidak produktif. Sikap konsumtif itu berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik dengan hasrat korupsi yang dilakukan sebagai jalan pintas untuk memperoleh kemewahan hidup melebihi lapisan masyarakat lain pada umumnya. Hasrat konsumtif memicu hasrat berkorupsi, lalu keberhasilan memperoleh tambahan kekayaan melalui korupsi itu bekerja kembali untuk makin meningkatkan konsumerisme.

Selain memiliki rumah mewah, simbol status lainnya adalah memiliki mobil-mobil mewah. Setiap keluarga sebaiknya memiliki lebih dari satu, biasanya 3 sampai 4 mobil sekaligus. Simbol lainnya adalah pesta-pesta perkawinan keluarga yang luar biasa semarak lengkap dengan upacara adat yang agung dan berbiaya mahal. Pastilah untuk melayani hasrat bermobil mewah, maka seorang cina muda bernama Robby Cahyadi –nama kelahirannya Sie Cia Ie–  muncul menjadi bintang penyelundup mobil mewah. Tidak tanggung-tanggung, mobil mewah ini diselundupkan melalui Halim Perdana Kusumah yang ada dalam kawasan Angkatan Udara Republik Indonesia. Desas-desus yang tercipta menyebutkan keterlibatan nama-nama yang dekat dengan Cendana. Desas-desus ini menjadi kuat dan diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat, karena Kapolri Hugeng Iman Santoso yang menindak tegas penyelundupan itu belakangan dicopot dari jabatannya, tapi resminya disebut akan memasuki masa persiapan pensiun. Ia diganti oleh Jenderal M. Hasan. Dalam proses peradilan atas diri Robby Cahyadi, nama-nama kalangan atas lenyap dan tinggallah Robby sendiri dan beberapa pejabat kelas menengah bawah seperti Abu Kiswo dan Heru dari Direktorat Bea Cukai yang akhirnya harus menerima hukuman dan meringkuk dalam penjara.

Bersamaan dengan meningkatnya konsumerisme dan korupsi, rasa keadilan masyarakat makin tersayat dan menimbulkan kerak luka dalam sanubari rakyat banyak. Timbun menimbun dari waktu ke waktu dan menciptakan apa yang disadari waktu itu sebagai jurang sosial yang makin menganga, menunggu waktu untuk meletup. Suatu keadaan yang masih berlanjut hingga kini tanpa adanya kemampuan dari mereka yang naik ke dalam kekuasaan untuk memperbaikinya.

Siapa-siapa saja yang berhasil menjadi anggota kelompok kaya baru di Indonesia ?

Pembangunan ekonomi yang selangkah demi selangkah mengalami kemajuan berarti, membuka banyak peluang. Mereka yang berhasil menangkap peluang, menjadi kelompok kaya baru. Banyak di antaranya yang berhasil memperolehnya dengan memeras keringat dan otak melalui jalan-jalan yang wajar. Namun masih lebih banyak lagi yang berhasil memperoleh peluang semata-mata karena kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan –dan atau memang ada di pusat kekuasaan itu sendiri. Mereka yang disebut terakhir ini, masih tetap merupakan pola hingga tahun 2009.

Pusat kemakmuran yang termasyhur, di awal masa kekuasaan Soeharto, jelas adalah Pertamina di urutan pertama. Di bawahnya barulah perusahaan-perusahaan milik negara lainnya. Keberadaan BUL (Badan Urusan Logistik) yang kemudian berubah jadi BULOG juga menonjol dan termasuk sebagai lembaga yang banyak memberi kesempatan dan rezeki kepada beberapa pihak. Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi. Di masa pasca Soeharto, jalan pintas untuk kemakmuran pribadi mendadak berwujud sebagai korupsi berjamaah di berbagai penjuru tanah air, selain melibatkan pelaku tradisional dari kalangan birokrasi, juga melibatkan kalangan legislatif di pusat maupun di daerah. Sejumlah anggota DPR-RI menjadi tersangka di KPK. Perilaku korupsi dan nepotisme pun merasuk ke dunia politik terutama di tubuh partai-partai politik, sementara praktek mafia hukum belum kunjung usai. Terkait perilaku kalangan kekuasaan,  apa yang terjadi dengan bailout Bank Century mengingatkan pada pola BLBI.

Di Pertamina pada masa-masa awal kekuasaan Soeharto, selain Ibnu Sutowo dan keluarganya, terdapat sederetan nama termasyhur yang kemudian tercatat sebagai elite keuangan Indonesia. Nama-nama itu antara lain, Haji Thaher, Kolonel Sjarnubi Said dan Brigjen Pattiasina, serta sederetan nama dalam jumlah besar namun tidak terlalu populer sehingga dapat disebut ‘beruntung’ karena tidak menjadi sorotan pers. Terselip pula nama seorang cina yang banyak berdomisili di Singapura, Tong Djoe, yang mewakili banyak kepentingan Ibnu Sutowo di luar negeri.

Bagaimana mudahnya pemegang otoritas di Pertamina memperoleh uang, bisa ditunjukkan dengan suatu ‘rahasia umum’ tentang betapa berharganya tanda tangan otoritas perusahaan minyak itu. Newsweek 16 Juni 1969 mengutip pengakuan seorang pejabat perusahaan minyak Amerika Serikat yang mengungkap berbagai pungutan dan suap yang harus dikeluarkan untuk mendapat persetujuan. “Kami tahu bahwa kami harus membayar dua kali lipat untuk segala sesuatu, tetapi potensi keuntungannya cukup memadai”, ujar sang pengusaha. Hanya untuk memperoleh ‘hak guna usaha’ sumber minyak lepas pantai (offshore lease), para pengusaha asing pada umumnya bersedia membayar ‘harga’ tanda tangan (bonus signature) yang berkisar antara US$ 100,000 sampai US$ 7,000,000. Perusahaan yang memperoleh hak guna usaha itu mendapat 40 persen dari hasil produksinya untuk menutupi ongkos-ongkos dan kemudian harus menyerahkan 2/3 dari 60 persen sisanya kepada Pertamina. Selanjutnya seluruh perlengkapan bergerak menjadi milik Pertamina dan disewakan kembali kepada produsen yang bersangkutan. Bersamaan dengan berita Newsweek itu, Harian Operasi yang terbit di Jakarta, pada penerbitan 14 Juni 1969, memberitakan satu contoh lain yang berlevel lebih bawah, berupa pembelian 21 kapal tanker oleh Pertamina senilai US$ 242,720,000. dengan pembayaran jangka 10 tahun yang memakai borg (jaminan) 6 tanker Pertamina. Harga itu menurut Harian Operasi tidak wajar dan di atas standar. “Kontrak pembelian semula akan disetujui oleh Menteri Perhubungan Drs Frans Seda sendiri. Tetapi entah karena apa, Frans Seda akhirnya menyerahkan pada bawahannya, tanpa meneliti tentang cocok tidaknya harga dan layak tidaknya borg yang diminta”.

Pertamina pun banyak mencetak ‘bintang’ baru, berhasil menciptakan sederetan pengusaha nasional baru. Kedekatan dengan pejabat-pejabat penentu di Pertamina merupakan berkah bagi banyak orang, termasuk dari kalangan kaum muda. Salah satu diantara bintang ‘succes story’ adalah Ir Siswono Judohusodo mantan aktivis GMNI Ali Surachman sewaktu masih kuliah di ITB –dan pernah berseberangan dengan Angkatan 1966 dalam Peristiwa Penyerbuan Gedung KAMI Konsulat Bandung dan Peristiwa 19 Agustus 1966 yang menewaskan mahasiswa Universitas Parahyangan Julius Usman. Siswono akhirnya menjadi satu konglomerat muda dengan kemampuannya menangkap dan memfaedahkan kesempatan-kesempatan yang diberikan Ibnu Sutowo untuk membangun kerajaan bisnisnya group Bangun Tjipta Sarana. Hanya saja, tatkala Ibnu Sutowo goncang dan Pertamina yang nyaris bangkrut ‘dibersihkan’ pada tahun 1975, sisa tagihan Siswono dalam jumlah besar yang belum terbayar Pertamina ikut mengalami pemangkasan. Waktu itu, ada asumsi bahwa seluruh harga-harga Pertamina di’mark-up’ dalam jumlah besar tertentu, maka wajar bila para penagih tidak akan dibayar penuh lagi.

Tokoh-tokoh muda lain yang sempat terbantu oleh Ibnu Sutowo adalah Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi dan kawan-kawan dari HMI. Proposal mereka disetujui, dan berdirilah industri kawat las di bawah nama group Kramayudha. Pada masa jaya Ibnu Sutowo memimpin Pertamina, memang ada begitu banyak orang yang kebagian rezeki, baik dari kalangan tentara maupun dari kalangan politik. Termasuk beberapa kalangan pers. Namun tercatat pula sejumlah pers yang gigih membongkar korupsi dan penyalahgunaan di Pertamina, di antaranya adalah Harian Indonesia Raya di Jakarta yang dipimpin oleh tokoh pers kawakan Mochtar Lubis dan Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung. Dan tentu saja, ada kritik gigih dari kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di berbagai kota, termasuk Bandung.

BUL atau BULOG yang dipimpin oleh Mayjen Achmad Tirtosudiro, juga menjadi salah satu pemberi berkah dan rezeki kepada berbagai pihak, kalangan tentara maupun pengusaha. Pengusaha paling termasyhur dalam hubungan BUL adalah seorang pengusaha keturunan cina Teguh Sutantyo Direktur Utama Mantrust di Bandung. PT Mantrust ini adalah produsen beras Tekad. Selain itu, group Mantrust bergerak di bidang pengolahan bahan makanan lainnya seperti ikan kaleng, corned beef, biskuit, pengolahan jamur dan nasi goreng kaleng, Perusahaan yang dipimpin Teguh Sutantyo ini pernah menghebohkan dengan skandal pengiriman makanan kaleng yang busuk isinya untuk Pasukan Perdamaian PBB dari Indonesia di Kongo, Afrika, yang dikenal sebagai Pasukan Garuda. Menurut Harian Indonesia Raya (3 September 1969) dan Mingguan Mahasiswa Indonesia (7 September 1969), kejadian ini hanyalah salah satu skandal yang pernah dilakukan oleh Teguh Sutantyo dengan oknum-oknum yang dikenal dekat dengan Istana. Skandal kedua yang menghebohkan, terkait dengan pengadaan beras sintetis Tekad. Beras Tekad ini, selain harganya ternyata lebih tinggi dari beras biasa, pembangunan pabriknya juga bermasalah, yakni dalam pengadaan mesin-mesinnya.

Pada bulan Agustus 1969, tersiar kabar dalam pers Jepang tentang ditangkapnya dua orang yang terlibat manipulasi ekspor. Kedua orang itu adalah Namio Kida –seorang Jepang kelahiran Indonesia– dan Santoso Sutantyo yang disebut pers Jepang sebagai ‘an Indonesian businessman of Chinese’, dari perusahaan Mexim, Tokyo. Koran Jepang terkemuka ‘Asahi Shimbun’ memberitakan bahwa Kida dan Sutantyo telah merencanakan mengeruk keuntungan dengan menggunakan transaksi-transaksi bantuan ekonomi Jepang kepada Indonesia. Pada bulan Mei 1967 mereka membentuk perusahaan Mexim Corporation Limited dan berkantor di Rosei Building, Nigashi Arabu, Miniati-Ku, Tokyo. Kemudian mereka menandatangani perjanjian dengan perusahaan Djaya di Jakarta yang presiden direkturnya bernama Dharma Surya, untuk mengekspor plant seharga 900 juta yen bagi pembangunan pabrik beras sintetis di Bandung. Tetapi sebetulnya yang diekspor hanyalah mesin-mesin penggiling tepung, mesin-mesin pengering dan mesin-mesin conveyor seharga 640 juta yen. Lalu mereka membuat laporan mengenai impor-ekspor tersebut kepada pemerintah Jepang dan Indonesia yang mencantumkan nilai 900 juta yen. Dan sesuai dengan peraturan bantuan ekonomi Jepang bahwa dalam hal pelaksanaan bantuannya Jepang akan membayar kepada pengusaha-pengusaha yang mengekspor barangnya ke Indonesia, maka Mexim menerima 900 juta yen. Dengan demikian menurut Asahi Shimbun, Kida dan Sutantyo telah memasukkan transaksi dan mengantongi keuntungan tidak sah sebesar 260 juta yen. Diungkap pula bahwa uang keuntungan itu ditukar dalam bentuk cek dengan pecahan nilai antara 200 ribu sampai 300 ribu yen di berbagai bank di Tokyo dan sebanyak sepuluh kali dibawa ke Hongkong untuk ditukar dalam bentuk US$ lalu dimasukkan ke Indonesia. Berita itu menyebut PT Mantrust di Bandung sebagai dalang di balik komplotan ini.

Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia permintaan penyelesaian perkara dan pembebasan sementara bagi para pelaku pernah diusahakan oleh Jenderal Soedjono Hoemardani kepada Menteri Keuangan Jepang Fukuda. Soedjono Hoemardani ini disebutkan sebagai sangat dekat dengan Istana, yang kemudian dikenal sebagai salah satu Aspri Presiden Soeharto. Soedjono Hoemardani ini kelak menjadi salah satu tokoh sasaran kritik para mahasiswa Jakarta maunpun Bandung dalam suatu gelombang anti Jepang di Indonesia dan mendapat julukan ‘dukun’ Jepang di Indonesia bersama Ali Moertopo.

Untuk pembuatan beras Tekad, PT Mantrust sebenarnya memperoleh alokasi devisa sebesar US$ 2,5 juta dari pemerintah melalui Bank Indonesia dan juga mendapat Rp 150 juta dari BUL yang dipimpin Mayjen Ahmad Tirtosudiro. “Ini semua bisa diperoleh berkat hubungannya yang mesra dengan sejumlah pejabat penting seperti Ketua BUL Mayjen Achmad Tirtosudiro dan Mayjen Surjo” tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia 14 September 1969. US$ 2,5 juta tersebut diambilkan dari kredit Jepang yang di-BE-kan. Sebagai ilustrasi berapa kira-kira nilai rupiah waktu itu dapat disebutkan bahwa harga sebuah mobil sedan Corolla adalah Rp 1,9 juta. Belakangan terungkap pula bahwa uang muka yang Rp 150 juta tersebut secara diam-diam telah bertambah mencapai jumlah Rp 1100 juta. Di luar itu PT Mantrust dalam rangka beras Tekad telah memperoleh pula bantuan BUL sebanyak 4800 ton terigu seharga Rp 97 juta. Walaupun, menurut rencana semula beras Tekad hanya terdiri dari bahan-bahan ketela, kacang dan jagung, tanpa terigu. PT Mantrust pada bulan September 1969 baru mampu memasok 7500 ton Tekad seharga Rp 180 juta. Dengan demikian Mantrust malah masih berhutang sebesar Rp 1.017 juta kepada BUL. Sungguh suatu fasilitas yang luar biasa, pembayaran jauh di depan, dalam jumlah yang besar lagi. Sungguh suatu usaha yang betul-betul nyaman. Namun nyatanya, pada akhirnya proyek beras Tekad itu gagal karena rasa dan kualitasnya yang rendah dan tidak diterima masyarakat.

Tentang hubungannya dengan PT Mantrust Mayjen Achmad Tirto dalam wawancara dengan Rum Aly dari Mingguan Mahasiswa Indonesia di bulan Februari 1970 menjelaskan beberapa hal. “Kalau nama saya dihubung-hubungkan dengan Mantrust, soalnya adalah memang dulu saya termasuk salah satu sponsor dari pemerintah untuk mendirikan pabrik beras Tekad. Kemudian pabrik itu didirikanlah. Lalu kemudian karena perkembangan harga beras, produksi beras meningkat sekarang. Beras Tekad produksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan” (Pada kesempatan lain ia pernah mengakui bahwa beras Tekad gagal karena kebetulan produksi beras meningkat kembali, dan beras Tekad itu sendiri memang tidak begitu diterima dan disukai masyarakat). Itu adalah suatu keadaan yang patut disayangkan, ujar Achmad Tirto dengan nada pembelaan, “Dan akan merugikan produsen yang memproduksi beras tersebut. Sekarang ia mempunyai kemampuan yang lebih kecil di dalam pengembalian kreditnya”. Jadi itulah sebabnya, “nama saya seringkali dihubung-hubungkan dengan Mantrust”. Yang mendirikan pabrik beras Tekad adalah Mantrust, “kami yang ditugaskan mengadakan pengontrakan pembelian beras Tekad dan yang mensponsori proyek beras Tekad”.

Tapi menurut Mahasiswa Indonesia sepanjang yang dapat diketahui, hubungan antara Mantrust dengan Achmad Tirto telah ada sejak Achmad Tirto masih bertugas di CIAD (Corps Intendant Angkatan Darat, semacam Dinas Perbekalan AD). Pada waktu itu Mantrust berhasil menjadi suplier berbagai jenis makanan kaleng, seperti nasi goreng, biskuit mari dan lain-lain. Seringkali makanan-makanan kaleng itu membusuk ketika tiba di tujuannya, karena kualitasnya yang rendah. Malahan pernah sejumlah besar makanan kaleng terpaksa dipulangkan. Selain itu, Mayjen Achmad Tirtosudiro sendiri pernah mengakui kepada delegasi KAMI Bandung di tahun 1967 bahwa ia memang mempunyai hubungan pribadi dengan Mantrust. Bahwa pihak Mantrust merasa rugi karena penghentian produksi Tekad, keterangannya harus diragukan karena Direktur Mantrust pada pidato upacara pembukaan pabrik Tekad di Bandung mengatakan sendiri bahwa sewaktu-waktu produksi bisa dialihkan untuk membuat bahan-bahan makanan lain seperti bakmi, makaroni dan spaghetti.

Terhadap pertanyaan kenapa dalam penetapan Mantrust itu tidak ada tender terbuka sebelumnya, Achmad Tirto menjawab “Begini,… jadi sewaktu didalam permulaan rencana pelaksanaan untuk mengisi kebutuhan pangan, dicari yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakannya”. Siapa saja yang waktu itu sanggup, ujar Tirto, itu bagi bank sebetulnya terbuka kesempatan untuk melakukannya juga (Maksudnya, siapa pun bisa juga mengajukan permohonan kredit ke bank). “Itulah sebabnya tidak diadakan tender karena kita dihadapkan kepada kecepatan mengatasi masalah pangan. Justru waktu itu yang sanggup adalah Mantrust. Dan sebetulnya, kalau soal pabriknya semuanya selesai hanya sekarang produksinya yang agak terhenti karena pemesanan dari pemerintah dibatasi. Menurut Mahasiswa Indonesia sama sekali tidak pernah diumumkan akan dibukanya suatu proyek beras sintetis. Tiba-tiba saja dilakukan penunjukan terhadap Mantrust, sehingga adalah tidak mungkin bagi perusahaan-perusahaan lain untuk ikut serta seperti yang digambarkan Achmad Tirto.

Sepanjang yang dapat dicatat, hingga tahun-tahun terakhir ini, berbagai skandal terkait dengan Bulog masih senantiasa terjadi.

Berlanjut ke Bagian 4

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (2)

“Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan”.

Namun yang paling ‘mengganggu’ ibarat duri dalam daging bagi Angkatan Darat, adalah penyusupan dalam bentuk ‘pembinaan’ terhadap sejumlah perwira oleh PKI sejak awal dari waktu ke waktu, dan makin meningkat setelah tugas itu diambilalih oleh Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman dan Pono. Dalam penanganan Biro Khusus, penggarapan menjadi lebih sistematis dan efektif karena menyangkut perwira-perwira yang menempati jabatan strategis atau perwira-perwira potensil yang kemudian berhasil menempati posisi-posisi strategis. Perwira-perwira yang kecewa karena rivalitas internal juga menjadi salah satu sasaran pembinaan. Beberapa perwira yang mempunyai kedekatan dengan PKI bisa dikenali dan senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh Angkatan Darat, tapi tentu saja tak bisa diapa-apakan, kecuali mereka melakukan pelanggaran. Akan tetapi yang tidak diketahui pimpinan Angkatan Darat adalah jauh lebih banyak lagi. Beberapa panglima daerah militer tercatat amat dekat dengan PKI, semisal Panglima Mulawarman Brigjen Suharyo dan Brigjen Soepardjo. Letnan Kolonel Untung yang kemudian ditempatkan sebagai salah satu komandan batalion Tjakrawibawa adalah contoh lainnya lagi.

Di wilayah Komando Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, sekitar 1964-1965 terpetakan pengaruh PKI yang begitu kuatnya, dari kurang lebih 40-an Komando Distrik Militer (Kodim) ada kurang lebih 30 di antaranya dipegang oleh perwira-perwira yang berhaluan komunis. Situasi seperti ini tentu saja amat ironis, karena pada masa SOB dengan kewenangan yang dimilikinya pimpinan Angkatan Darat memaksudkan Kodim-kodim ini serta satuan-satuan teritorial yang lebih kecil, yakni Komando Rayon Militer (Koramil) yang dibentuk di bawahnya, adalah justru antara lain untuk melakukan pengendalian dan pembatasan –dalam arti sebenarnya– gerak langkah PKI di daerah-daerah.

Penggarapan yang cukup fenomenal dan sempat mencengangkan kelak di kemudian hari adalah yang terjadi atas perwira-perwira Siliwangi, divisi yang di tahun 1948 bertugas memadamkan pemberontakan PKI di Madiun. Mulai dari Mayjen Rukman, Brigjen Somali sampai kepada Kolonel Djukardi yang menempati jabatan Walikota Bandung hingga tahun 1968, yang secara keseluruhan mencapai puluhan perwira dari berbagai tingkat, ternyata berhasil dirangkul dan masuk ke dalam wilayah pengaruh PKI. Setelah Peristiwa 19 Agustus 1966 –penyerbuan Konsulat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Jalan Lembong Bandung– misalnya, Siliwangi melakukan pembersihan sejumlah perwira yang terlibat pada peristiwa tersebut yang mengambil korban nyawa mahasiswa Universitas Parahyangan, Julius Usman. Perwira-perwira yang ada kaitan dengan PKI itu antara lain Wakil Komandan Kodim Bandung Mayor A. Santoso, Kepala Staf I/Intelejen Kodim Bandung Kapten Sunarto, Kepala Staf II Kapten Oking dan Komandan Likdam VI Siliwangi Mayor Lili Buchori. Sementara itu, di Kodam Brawijaya Jawa Timur, terdapat sejumlah batalion yang sepenuhnya dikuasai oleh perwira-perwira berhaluan komunis.

Secara nasional, pada periode 1960-an hingga 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lingkaran pimpinan Angkatan Darat yang ada di sekitarnya, sesungguhnya tak bisa lagi memetakan dengan jelas panglima-panglima daerah militer mana saja yang benar-benar ada dalam kendali komandonya, kalau bukan sudah dipengaruhi dan condong secara ‘politis’ kepada PKI, setidaknya jauh lebih patuh kepada Soekarno. Yani yang pada dasarnya adalah Soekarnois, sebenarnya tidaklah terlalu berkeberatan dengan orientasi sejumlah perwira kepada Soekarno. Akan tetapi, Yani tidak begitu menyenangi gaya akrobatik sejumlah ‘kolega’nya yang ‘tembak langsung’ ke Soekarno untuk masalah-masalah yang semestinya ditangani melalui Yani berdasarkan kewenangannya selaku Panglima Angkatan Darat. Terlebih bila itu semua mengandung unsur intrik dan konotasi saling menjegal. Fenomena adanya sejumlah perwira teras yang berada dalam wilayah abu-abu dan atau zona oportunistik seperti itu, sungguh tak menyenangkan Yani.

De beste zonen van Soekarno. Terdapat pula sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal sebagai de beste zonen van Soekarno, putera-putera kesayangan Soekarno, yang belum tentu komunis, bahkan ada diantaranya yang amat anti komunis, namun akan lebih patuh kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI daripada siapa pun dalam struktur kepemimpinan Angkatan Bersenjata. Tapi dalam batas tertentu ini dianggap ‘wajar’ saja, karena Soekarno memang adalah Pangti. Perwira-perwira tinggi yang masuk kategori de beste zonen ini, namun kemudian berperanan dalam proses perubahan kemudian hari pada masa pasca Soekarno, antara lain adalah Letnan Jenderal Muhammad Jusuf, Letnan Jenderal Basuki Rahmat, Mayor Jenderal Amirmahmud, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Mashudi.

Jenderal Jusuf dikenal sebagai salah satu tokoh Peristiwa Tiga Selatan. Ketika masih menjadi Panglima Daerah Militer di Sulawesi Selatan di tahun 1960, berpangkat Kolonel, ia dengan wewenang SOB-nya melakukan pelarangan kegiatan PKI di wilayah komandonya. Dua komando wilayah militer Selatan lainnya, yakni Kalimantan Selatan di bawah Kolonel Jusi dan Sumatera Selatan di bawah Kolonel Harun Sohar melakukan tindakan serupa. Dalam suatu momentum peristiwa lainnya, tahun 1965, Soekarno pernah akan menjadikan Brigjen M. Jusuf sebagai Waperdam IV bidang ekonomi. Letnan Jenderal Yani menyatakan ketidaksetujuannya kepada Soekarno, dengan alasan yang bersangkutan masih muda dan tak cukup punya pengalaman politik. Jusuf sendiri, digambarkan cukup kaget, namun tak diketahui bagaimana apresiasinya terhadap ketidaksetujuan Yani itu. Sikap keras militer terhadap PKI itu masih serentetan dengan penangkapan tokoh tingkat pusat dari PKI, Ir Sakirman, sebulan sebelumnya oleh Garnisun Ibukota, justru karena suatu kritik terhadap Demokrasi Terpimpin. Bersama Sakirman, sejumlah tokoh CC PKI lainnya juga diperiksa, sementara Harian Rakjat milik PKI diberangus penguasa militer. Salah satu tindakan keras militer yang lebih mutakhir, di bulan Mei tahun 1965, dilakukan oleh Panglima Daerah Militer Mulawarman di Kalimantan Timur, Brigadir Jenderal Soemitro, berupa penangkapan terhadap sejumlah tokoh organisasi Komunis dari Pemuda Rakyat maupun Gerwani, karena ucapan-ucapan provokatifnya terhadap Angkatan Darat. Pada waktu bersamaan Soemitro juga memecat seorang Komandan Kodim dan Komandan Batalion serta beberapa perwira staf yang dianggapnya punya hubungan dengan PKI. Di luar Angkatan Darat, tercatat pula beberapa nama, antara lain Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Letnan Jenderal Hartono dari Korps Komando AL (KKO) sebagai de beste zonen van Soekarno yang umumnya lebih toleran untuk tidak menyebutnya dekat dengan golongan politik komunis.

Dari sisi sebaliknya, bukannya tak ada upaya penyusupan militer ke dalam tubuh PKI dan organisasi mantelnya. Jenderal Nasution misalnya, pernah menugaskan beberapa perwira melakukan tugas ‘pendekatan’ agar ‘masuk’ lingkaran kepercayaan PKI. Pimpinan Angkatan Darat juga melakukan hal serupa. Umumnya, penugasan dilakukan secara lisan tanpa dokumen tertulis demi kerahasiaan. Sungguh malang, bahwa di kemudian hari setelah angin kekuasaan berubah, perwira-perwira penyusup ini ikut ditangkap karena ‘kasat mata’ memiliki jalinan kedekatan dengan PKI. Hanya sedikit di antara mereka, yaitu mereka yang ditugaskan Nasution, dapat diselamatkan dari pembersihan. Tidak demikian halnya dengan yang kebetulan mendapat penugasan menyusup dari pimpinan Angkatan Darat yang kemudian tewas dalam Peristiwa 30 September 1965.

Kemampuan PKI menginfiltrasi militer, teristimewa Angkatan Darat, memang terlihat masih sejak awal kemerdekaan. Tatkala melakukan pemberontakan di tahun 1948, PKI di bawah Muso bisa mengerahkan dukungan kuat pasukan bersenjata dari kalangan Angkatan Darat melalui perwira-perwira yang bisa dipengaruhi mereka, seperti Kolonel Sungkono yang diangkat PKI sebagai Gubernur Militer, Letnan Kolonel Dahlan dan Mayor Sudigdo. Perwira-perwira ini mengerahkan sebagian batalion-batalion dari Resimen Panembahan Senopati. Mayor Slamet Riyadi –yang kemudian hari gugur dalam operasi penumpasan RMS di Ambon– adalah salah satu komandan batalion di Panembahan Senopati ini, namun tak ikut serta dalam peristiwa. Komandan resimen ini sendiri, Kolonel Suadi, tampil dengan suatu peran abu-abu dalam rangkaian Peristiwa Madiun ini. Bahkan Letnan Kolonel Soeharto yang kala itu bertugas di Yogyakarta sempat dipertanyakan ‘peranan’nya karena diketahui, dengan diantar Kolonel Suadi, pernah menemui Muso menjelang peristiwa. Soal ini kemudian diklarifikasi, bahwa Soeharto menemui Kolonel Suadi untuk menyampaikan pesan Panglima Soedirman agar pasukan Panembahan Senopati tidak terpengaruh oleh PKI/FDR (Front Demokrasi Rakyat), dan Suadi lah yang membawanya kepada Muso supaya bisa tahu duduk perkara lebih jauh. Kepada Soeharto, Muso menyatakan kekecewaannya terhadap Soekarno dan Hatta yang mau berunding dengan Belanda. “Ada perbedaan cara dalam perjuangan”, ujar Muso,“ pokoknya, saya tidak percaya Belanda dan akan terus melawan Belanda”. Tapi karena perbedaan itu, “Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan Muso menegaskan, “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan” Dengan ini, Muso mencoba menerangkan bahwa perlawanannya bukanlah semata-mata karena masalah ideologi.

Muso ini mengalami akhir yang tragis setelah Peristiwa Madiun. Ia dikejar-kejar oleh massa rakyat, terutama yang diorganisir oleh Masjumi, tertangkap dan kemudian dibunuh begitu saja oleh massa yang marah. Beberapa tokoh pemberontakan lainnya, tertangkap oleh pasukan militer dan kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi secara resmi oleh pihak militer.

Jakarta-Kuala Lumpur: Operasi Bawah Tanah. SETELAH perjuangan Trikora membebaskan Irian Barat, setidaknya ada dua ‘peristiwa politik’ yang cukup memojokkan Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan Angkatan Darat maupun Jenderal AH Nasution yang memimpin berbagai versi Departemen Pertahanan Keamanan pada 5 kabinet Soekarno antara Juli 1959 hingga 1966, yakni Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang dicanangkan Soekarno 3 Mei 1964 dan manuver PKI yang melontarkan gagasan Angkatan Kelima Januari 1965.

Operasi Dwikora adalah operasi yang dimaksudkan sebagai konfrontasi terhadap Malaysia, sebuah negara federasi yang didirikan 16 September 1963, mencakup Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang terletak di Semenanjung dan Singapura yang adalah sebuah pulau di sebelah Selatannya serta Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan Bagian Utara. Semula, Brunai juga akan bergabung, namun batal dan kemudian hari menjadi Kesultanan Brunai Darussalam yang merdeka dan berdiri sendiri. Pada waktu itu, Sabah, Serawak dan Brunai masih merupakan koloni Inggeris. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggeris memenuhi permintaan memerdekakan ketiga wilayah yang terletak di bagian Utara Kalimantan tersebut. Namun Inggeris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam Federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggeris. Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana Perang Dingin antara blok Barat dengan blok Timur kala itu. Soekarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggeris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme). Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia, massa yang dipelopori kelompok politik kiri –namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan opportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya– melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggeris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggeris dirusak dan dibakar. Bersamaan dengan itu, Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr Soebandrio mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan ‘bawah tanah’ yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil ‘damai’ jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei – 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian ‘damai’ karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan.

Ketika manuver-manuver Soebandrio tetap melanjut selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tunku Abdur Rahman ‘membalas’ dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggeris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksana 31 Agustus 1963. Tindakan Tunku ini memicu kemarahan Soekarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu, “Saya telah dikentuti”, ujar Soekarno ketus tanpa menggunakan lagi istilah yang lebih ‘halus’. Tetapi rencana KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) tiga negara di Manila tetap dilangsungkan pada bulan Juli-Agustus dan berhasil menetapkan sejumlah kesepakatan serta berhasil mengajak Sekertaris Jenderal PBB U-Thant menjadi penengah dan membentuk tim pengumpul pendapat mengenai aspirasi rakyat wilayah itu mengenai gagasan Federasi Malaysia. Tim ini dipimpin oleh seorang diplomat Amerika Serikat yang belum berhasil merampungkan tugasnya tatkala pembentukan Federasi Malaysia diumumkan pertengahan September 1963. Bahkan pada tahun 1964 setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, perundingan tingkat tinggi tiga negara tetap dicoba dilaksanakan namun tanpa hasil.

Cukup menarik untuk mengetahui bahwa bahkan Soebandrio pun pada mulanya sebenarnya tidak bersikap memusuhi tatkala gagasan pembentukan Federasi Malaysia dicetuskan. Pemimpin-pemimpin Malaya dan Inggeris menyampaikan proposal mengenai Malaysia itu 27 Mei 1961. Baik Soekarno maupun Soebandrio masih menunjukkan sikap tidak keberatan terhadap konsep Federasi Malaysia, dan jelas jauh lebih memperhatikan masalah Irian Barat yang masih sedang dihadapi. Sikap ‘baik’ ini bertahan hingga setahun lebih. Dalam suatu pernyataannya di Jakarta, Oktober 1962, Soebandrio malah mengatakan bahwa Indonesia samasekali tidak punya masalah dan klaim terhadap wilayah-wilayah di Utara Kalimantan itu. Sabah dan Serawak memiliki garis perbatasan dengan wilayah Kalimantan Indonesia yang membentang berlekak-liku dari Timur Laut menuju Barat Daya, sepanjang kurang lebih 1780 kilometer dan memiliki ‘bersama’ Pegunungan Iban dan Pegunungan Kapuas. Akan tetapi semua ini berubah dalam sekejap dua bulan kemudian.

Menjelang akhir 1962, seorang tokoh politik beraliran kiri dari Brunai, AM Azahari Bin Sjech Mahmud –yang pernah menjadi Kapten Angkatan Darat Indonesia di masa lampau dan pernah ikut dalam revolusi kemerdekaan– mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Inggeris, namun dipatahkan. Tadinya, Partai Rakyat Brunai pimpinan Azahari berhasil memenangkan pemilihan umum pertama tahun 1962 di Kesultanan Brunai ini dengan merebut 16 kursi perwakilan, dan sudah bersiap-siap menyusun pemerintahan baru. Akan tetapi Sultan Brunai Sir Omar Ali Syaifuddin menolak meresmikan parlemen lalu membatalkan hasil pemilihan umum, karena mendengar bahwa sang pemenang pemilihan umum merencanakan akan menghapuskan kesultanan. Terjadilah pemberontakan yang berhasil dipadamkan dengan bantuan militer Inggeris. PKI yang mempunyai solidaritas kuat terhadap gerakan kiri itu, berhasil menjalin suatu ‘persamaan’ bawah permukaan dengan Soebandrio untuk mengorganisir dukungan bagi Azahari dan kawan-kawan. Sebenarnya, Azahari pun sempat meminta dukungan Jenderal Nasution, namun supportasi yang bisa diberikan Nasution agak terbatas. Salah satu dukungan Nasution adalah berupa pengiriman tiga instruktur, perwira muda dari RPKAD, untuk melatih pasukan Azahari di perbatasan.

Belakangan terlihat bahwa Soebandrio lah yang lebih antusias dan memberikan dukungan yang lebih besar. Awal 1963, mendadak Soebandrio gencar memberi masukan dan dorongan kepada Soekarno untuk menjalankan politik konfrontasi terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia tersebut. Menurut beberapa analisis, terdapat sejumlah alasan mengapa suatu politik konfrontasi ‘perlu’ dijalankan terhadap Malaysia. Bagi PKI, tentunya gerakan kiri Azahari itu memang merupakan ‘keharusan’ untuk didukung, namun yang lebih penting lagi perlu pengalihan perhatian terhadap keberhasilan militer –khususnya Angkatan Darat dan para jenderal– menjalankan fungsi tekanan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Soebandrio mempunyai kepentingan yang sama, selain ia banyak bersilang jalan dan kepentingan dengan para jenderal AD selama operasi Trikora berlangsung, juga karena upayanya untuk membentuk opini bahwa penyelesaian Irian Barat adalah terutama hasil diplomasi luar negeri telah gagal. Bila tergalang solidaritas dan terjadi konfrontasi terbuka terhadap rencana Federasi Malaysia, akan tercipta momentum politik bagi PKI, sekaligus terciptanya situasi fait accompli bagi militer, khususnya Angkatan Darat yang melihat tak adanya alasan spesifik –seperti halnya dengan masalah Irian Barat– dan masuk akal untuk suatu konfrontasi dengan tetangga serumpun itu dan Inggeris.

Berlanjut ke Bagian 3