“Siapa penembak para mahasiswa itu? Kepala Polri Jenderal Polisi Dibyo Widodo, merasa para polisi anak buahnya hanyalah dikambinghitamkan. Ini terkait dengan adanya data dan informasi tentang kehadiran pasukan bukan polisi yang berseragam mirip polisi. Seorang perwira polisi mengaku bertemu dan bertatap mata dengan seorang berseragam polisi di antara kerumunan petugas yang seingatnya adalah dari kesatuan bersenjata lainnya dan pernah bersama dirinya mengikuti suatu latihan tembak beberapa waktu sebelumnya. Dengan cepat sang ‘penyusup’ menghindar”.
MUNCULNYA nama Inspektur Jenderal Polisi Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian RI pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditentukan Senin malam 4 Oktober 2010, dianggap cukup mengejutkan karena sebelum ini dua perwira dengan kepangkatan lebih senior telah disebutkan sebagai calon Kapolri yang diusulkan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Isyarat paling jelas tentang kemunculan Timur Pradopo terlihat pada Senin siang, saat Jenderal Bambang Hendarso terburu-buru meninggalkan rapat kabinet di Istana kembali ke Mabes Polri dan melantik Timur Pradopo sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri (Kabaharkam) yang disertai kenaikan pangkat menjadi Komisaris Jenderal. Dengan demikian, pangkat Timur Pradopo sudah menyamai dua ‘calon’ Kapolri yang sempat disebut-sebut yakni Komisaris Jenderal Nanan Sukarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo. Dan sebentar lagi melampaui mereka dengan pangkat Jenderal bintang empat.
Tak menunggu waktu lama, fokus sorotan beralih ke Timur Pradopo. Selain proses ‘penentuan’ namanya dianggap kurang lazim dengan konotasi ada ‘loncatan’, masa lampaunya mulai dipersoalkan, terutama rekam jejaknya sebagai Kapolres Jakarta Barat di sekitar terjadinya Insiden Trisakti yang memicu Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, hingga Peristiwa Semanggi yang terjadi saat Timur menjadi Kapolres Jakarta Pusat. Kedua-duanya adalah peristiwa berdarah yang merenggut nyawa mahasiswa sebagai tumbal dalam konteks ‘pertarungan’ kekuasaan. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 sementara itu adalah rangkaian kejahatan kemanusiaan yang sarat pelanggaran HAM berupa, perkosaan perempuan etnis Cina/Tionghoa, penjarahan, pembakaran, penganiayaan/pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya, yang hingga kini dianalisis sebagai suatu rangkaian peristiwa by design dengan tujuan perebutan kekuasaan.
Seberapa pentingkah posisi dan peran seorang Letnan Kolonel Polisi bernama Timur Pradopo dalam konteks rangkaian peristiwa sebesar itu yang memberi hasil akhir berupa jatuhnya Presiden Soeharto ‘Penguasa 32 Tahun’ Indonesia? Tentu, kalau ada ratingnya, masih jauh di bawah posisi dan peran tokoh-tokoh peristiwa kala itu seperti Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto atau Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin. Tetapi Timur Pradopo dalam satu hal sama istimewanya dengan misalnya Jenderal Wiranto, yakni setidaknya dua kali menolak memenuhi panggilan Komnas HAM untuk memberi klarifikasi terhadap kedua peristiwa. Ia hadir bersama sejumlah perwira polisi lainnya, hanya sekali, tatkala mendampingi Mayor Jenderal Polisi Hamami Nata memberi testimoni kepada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Peristiwa Mei 1998 yang diketuai Marzuki Darusman SH dari Komnas HAM.
Mestinya, rating Timur Pradopo juga masih di bawah Kapolri Jenderal Dibyo Widodo atau Kapolda Metro Mayjen Polisi Hamami Nata yang menjadi atasannya di tahun 1998. Kecuali, bila ternyata kala itu ia memang punya ‘tugas’ tertentu terkait suatu jaringan dalam konteks teori dan analisa konspirasi, sesuatu yang sejauh ini masih mustahil untuk terungkap karena semua yang terlibat mampu menutup upaya mencari kebenaran. Semua pihak –dari kutub kepentingan manapun dirinya berada– merasa dan mencukupkan diri dengan hasil akhir Soeharto mengundurkan diri, tujuan utama dari power and political game ini. Dengan demikian, kita melihat, hanya Kapolri Jenderal Dibyo Widodo yang harus terlempar dari gelanggang karena terlalu bersikeras melawan pengkambinghitaman terhadap polisi dalam rangkaian peristiwa.
Bintang liputan berita CNN. KETIKA di tahun 1998 terjadi insiden Trisakti 12 Mei –dengan tumbal 4 mahasiswa tewas serta sejumlah lainnya luka-luka– yang disusul kerusuhan 13-15 Mei 1998 di beberapa penjuru Jakarta, Timur Pradopo adalah seorang perwira polisi berpangkat Letnan Kolonel. Kala itu, kepolisian yang masih merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata, memang memiliki tata organisasi militeristik, lengkap dengan kepangkatan ala tentara. Sebagai Kepala Polisi Resort Jakarta Barat, dan karena kampus Universitas Trisakti terletak dalam wilayah pengamanannya, mau tak mau Letnan Kolonel Timur Pradopo terbawa ke wilayah perhatian publik meski tidak tepat di titik fokus, seperti misalnya dengan atasannya, Kepala Polisi Daerah Metro Jakarta Raya, Mayor Jenderal Polisi Hamami Nata, ataupun Panglima Kodam Jaya/Ketua Bakortanasda Mayor Jenderal TNI-AD Sjafrie Sjamsuddin.
Namun, Timur Pradopo, tak ‘kalah’ dengan para atasan. Wajah dan tindakan-tindakannya tatkala memimpin pasukan yang menghadapi barisan mahasiswa, ditonton dunia, melalui siaran-siaran jaringan televisi internasional CNN. ‘Kebetulan’ sekali, dalam siaran-siaran yang mendunia itu, kekekerasan dan kebrutalan polisi, secara visual tampil begitu kentara. Bagi para penonton CNN maupun siaran jaringan televisi lainnya, dalam maupun luar negeri, sewaktu kemudian terberitakan bahwa setidaknya empat mahasiswa tewas dalam insiden tersebut, dengan sendirinya per saat itu polisi lah yang dianggap pelaku penembakan. Layar pemberitaan televisi memperlihatkan betapa sepanjang peristiwa, didominasi oleh tampilan manusia-manusia berseragam khas polisi dan atau Brimob. Baru belakangan ada informasi tentang munculnya pasukan lain yang bukan polisi, tetapi berseragam mirip polisi.
Letnan Kolonel Timur Pradopo baru turun ke lapangan pada sekitar pukul 15.30 dan mengambil alih komando lapangan yang sejak pagi hari ada di tangan Mayor Polisi Herman Hamid, Wakapolres Jakarta Barat. Saat itu juga Letnan Kolonel Timur Pradopo melakukan perundingan dengan Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo SH. Tapi perundingan pertama ini tidak memberikan hasil, para mahasiswa tidak bersedia mundur kembali ke kampus meski suhu situasi sempat reda sejenak. Menjelang pukul 17.00 mahasiswa melempar batu dan botol ke arah peleton Letnan Dua Pariyo yang merupakan bagian dari Kompi II Yon B Brimob yang dipimpin Letnan Satu Agus Tri Heryanto, saat kesatuan polisi berkekuatan 90 orang ini –yang berada di posisi depan dibanding berbagai satuan lainnya– bergerak maju. Padahal pada saat yang sama sedang terjadi perundingan ulang antara Timur Pradopo dengan Kepala Keamanan dan Ketertiban Kampus Trisakti Ir Arie Gunarsa. Sebaliknya, pihak polisi menyatakan mereka bergerak maju karena emosi setelah dilempari botol dan batu oleh para mahasiswa.
Terjadi perundingan lanjut antara Letnan Kolonel Timur Pradopo dengan Dekan Fakultas Hukum Adi Andojo SH pada pukul 17.20. Tercapai kesepakatan bahwa kedua belah pihak mundur. Ketika pasukan mundur dan berjarak 100 meter dari mahasiswa, menurut Timur Pradopo seperti yang ditulis Sinansari Ecip dalam buku Prabowo, Siapa “Dalang” (Mizan, 1999), ada seorang laki-laki berlari ke arah pasukannya, dikejar-kejar mahasiswa. Dia ini mengaku mahasiswa Trisakti tapi dicurigai sebagai intel oleh mahasiswa. Situasi menjadi agak kacau. Timur Pradopo lalu berunding lagi dengan Ir Arie Gunarsa. Dikatakannya, pemuda yang lari tadi bukanlah intel. Suasana menjadi agak tegang, mahasiswa menurut Timur Pradopo, melempari pasukan dengan batu, botol, dan benda-benda yang lain.
Pasukan Agus dan Pariyo menurut hasil pemeriksaan untuk kepentingan peradilan militer Juni 1998 atas keduanya, sebenarnya tak berhadapan langsung dengan mahasiswa. Pasukan polisi berada di depan Kantor Walikota Jakarta Barat sedang mahasiswa beberapa meter arah Barat sebelum persimpangan Grogol. Tetapi karena emosi setelah dilempari, kedua perwira pertama itu berinisiatif mendorong mundur barisan mahasiswa dengan melemparkan granat gas air mata. Letnan Kolonel Timur Pradopo yang berupaya mencegah, tak berhasil karena tak dihiraukan lagi oleh para anak buah. Bersamaan dengan itu terdengar tembakan-tembakan gencar yang berasal dari pasukan-pasukan lain, termasuk pasukan-pasukan yang berposisi di atas jalan layang. Para mahasiswa berlarian mundur.
Terlihat dalam tayangan televisi maupun menurut para saksi mata, para mahasiswa justru mengalami tembakan gencar justru di saat sudah berada di depan atau di halaman kampus. Sumber tembakan berasal dari arah mendatar maupun dari arah jembatan layang di atasnya. Visum dan penyelidikan forensik yang kemudian dilakukan terhadap para mahasiswa korban –Elang Mulia, Hafidin Royan, Hendrawan Lesmana dan Heri Hertanto– umumnya menunjukkan arah peluru yang menewaskan mereka adalah yang berasal dari atas. Selain itu, merupakan fakta menarik bahwa para mahasiswa itu selalu terkena peluru tepat di bagian-bagian vital seperti kepala, leher atau dada, yang menunjukkan bahwa mereka telah menjadi korban sasaran penembak jitu. Analisa forensik menunjukkan para mahasiswa itu ditembak dengan senapan Steyr yang secara resmi dikatakan hanya digunakan oleh satuan khusus tertentu di kepolisian, tapi tak tertutup kemungkinan dimiliki juga oleh pihak lain.
Para korban yang jatuh karena tertembak dibawa ke rumah sakit yang tak jauh dari kampus Trisakti. Menarik bahwa sejumlah tim penyelidik dari berbagai instansi seakan berlomba menangani kasus ini, termasuk dalam penanganan jenazah. Menurut dr Arendt Ponggawa yang ikut dalam penanganan pertama jenazah, kepala peluru-peluru yang berhasil dikeluarkan dari tubuh para korban dibawa oleh ‘tim’ dokter dari salah satu instansi, dan ternyata kemudian tak diketahui lagi di mana keberadaannya. Namun saat ia memeriksa kembali luka salah satu korban –karena penasaran setelah menghitung jumlah lubang di tubuh korban lebih banyak dari butir peluru yang ditemukan– ia berhasil mengorek satu butir peluru lagi. Peluru itu diserahkannya kepada tim penyidik yang lebih dipercayainya dengan menggunakan tanda terima resmi.
Siapa penembak para mahasiswa itu? Kepala Polri Jenderal Polisi Dibyo Widodo, merasa para polisi anak buahnya hanyalah dikambinghitamkan. Ini terkait dengan adanya data dan informasi tentang kehadiran pasukan bukan polisi yang berseragam mirip polisi. Seorang perwira polisi mengaku bertemu dan bertatap mata dengan seorang berseragam polisi di antara kerumunan petugas yang seingatnya adalah dari kesatuan bersenjata lainnya dan pernah bersama dirinya mengikuti suatu latihan tembak beberapa waktu sebelumnya. Dengan cepat sang ‘penyusup’ menghindar. Beberapa minggu kemudian, sebuah laporan internal polisi mengklaim terjadinya pencurian atas sejumlah seragam Brimob.
Berlanjut ke Bagian 2.