MASIH pada tahun 1966, cendekiawan muda dari ITB, MT Zen, sudah menyinggung terjadinya kekerasan kemanusiaan 1965-1966 setelah Peristiwa 30 September 1965. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama bertahun-tahun yang mencapai puncaknya di Lubang Buaya, dinihari 1 Oktober 1965. Setelah terjadinya peristiwa, yang menjadi bukti nyata tentang kekerasan-kekerasan PKI pada beberapa tahun terakhir, Presiden Soekarno tidak mengambil solusi dengan menindaki PKI. “Sebagai akibat dari selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Tengah serta tempat-tempat lainnya di Indonesia”, tulis MT Zen di Mingguan Mahasiswa Indonesia Bandung.

Dari stigmatisasi sampai misteri hilangnya catatan Sang Jenderal. Sebenarnya, pada tahun 1966 maupun pada tahun 1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia pada umumnya cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya MT Zen dan Soe-Hokgie –melalui tulisan-tulisannya, antara lain di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror dan tuduhan tertentu.
Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri, kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu memisahkan masalah kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak azasi dari dimensi subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh akademisi Australia, Dr Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI dari sisi kemanusiaan. Begitu juga tulisan-tulisan yang mengkritisi berbagai stigmatisasi oleh kalangan penguasa militer terhadap mereka yang dituduh terlibat G30S dan PKI, antara lain melalui diberlakukannya Surat Bebas G30S/PKI untuk berbagai keperluan: melamar kerja dan masuk sekolah. Serta mengenai diskriminasi sosial yang juga dikenakan terhadap keturunan anggota-anggota PKI, padahal mereka tak ikut terlibat masalah politik yang dihadapi orangtua mereka. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya, juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi pada tahun-tahun tersebut yang dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu. Media terkemuka seperti Harian Kompas sementara itu cenderung bersikap sangat moderat untuk kasus-kasus serupa.
Apa yang dilakukan MT Zen, Soe-Hokgie, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Raya dan Sinar Harapan, langka dilakukan pada masa-masa itu, bahkan tetap langka pada hampir sepanjang masa kekuasaan rezim militer Jenderal Soeharto. Barulah setelah Kopkamtib bubar dan terutama setelah Soeharto lengser dari kekuasaannya, begitu banyak orang yang akhirnya tampil berani. Namun pendulum narasi berayun terlalu jauh ke kiri, yang tak kalah manipulatifnya dari apa yang telah dilakukan ‘sejarawan-sejarawan’ kelompok militer masa Soeharto.
Berapa sebenarnya korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca Peristiwa 30 September 1965, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka yang disebutkannya itu.
Menurut buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, sebenarnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo memiliki catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dan uraian runtut jalannya berbagai peristiwa pada catatan tersebut. Dan barangkali pula, bila catatan itu berhasil dibukukan dan diterbitkan, setidaknya ada pemaparan tertulis tentang peranan Jenderal Sarwo Edhie dalam rangkaian peristiwa, dari tangan pertama. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, sekitar waktu sang jenderal meninggal. Nyonya Herawaty Sarwo Edhie Wibowo bahkan menyebutkan kepada dua Manggala BP-7, Hatta Albanik dan Seto Harianto, nama mantan wartawan yang dititipi naskah tersebut. Suatu ketika, untuk kepentingan sebuah rencana penulisan tentang Jenderal Sarwo Edhie, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman dititipi permintaan tolong untuk meminta catatan tersebut kepada sang mantan wartawan yang kala itu bertugas sebagai diplomat di luar negeri. Permintaan Marzuki Darusman itu pada mulanya disanggupi. Namun, belakangan dikatakan catatan itu tak pernah diberikan Sarwo Edhie pada dirinya. Keberadaan catatan tersebut akhirnya menjadi sebuah misteri.
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Jenderal Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Apakah justru catatan itu ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut –yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI– sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada, apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa, tak terkecuali korban salah tangkap. Pelabelan PKI kerapkali disalahgunakan untuk maksud-maksud pribadi oleh sejumlah perwira militer. Seorang jenderal terkemuka bidang keamanan dan ketertiban, pernah menangkap seorang Jaksa Tinggi dengan tuduhan PKI, sebagai siasat merebut isteri rupawan dan muda usia dari sang jaksa tinggi.
Kisah Jawa Barat 1965 yang tak berdarah-darah. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah-darah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan oleh organisasi-organisasi massa tertentu pula.
Setidaknya ada tiga latar belakang penting, mengapa pemberantasan PKI di Jawa Barat setelah Peristiwa 30 September 1965 tidak begitu berdarah-darah.
Latar belakang pertama, adalah faktor keberadaan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dalam posisi sebagai Panglima Kodam VI (kala itu) Siliwangi. Sebagai salah satu dari de beste zonen van Soekarno, meskipun anti PKI, seperti halnya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat di Jawa Timur, Ibrahim Adjie memiliki kepatuhan yang tinggi kepada Presiden Soekarno. Dan Soekarno, seperti diketahui sama sekali tak ingin PKI diganggu gugat meskipun terbukti keterlibatannya dalam Peristiwa 30 September 1965 tersebut. Kepala Staf Kodam Siliwangi waktu itu adalah Brigadir Jenderal HR Dharsono, yang juga anti PKI, namun berbeda dengan Ibrahim Adjie, tidak memiliki kedekatan dan simpati terhadap Soekarno. Ketika HR Dharsono kemudian naik menggantikan Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi 20 Juli 1966, peta dukungan politik kepada Soekarno di Jawa Barat samasekali berubah. Ia sangat membantu gerakan anti Soekarno, khususnya di kalangan mahasiswa, cendekiawan dan kesatuan aksi pada umumnya.
Latar belakang kedua, tak lain adalah kenyataan bahwa di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, tak pernah ada pembersihan internal Divisi Siliwangi terhadap perwira-perwira yang ada dalam pengaruh PKI. Beberapa di antara perwira ini justru memegang sejumlah posisi teritorial yang penting di beberapa daerah Jawa Barat, dan berperan mencegah terjadinya gerakan pembalasan kepada massa PKI seperti yang terjadi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lagipula, memang tak ada tekanan dari Ibrahim Adjie untuk melakukan pembersihan PKI di wilayah Jawa Barat. Kelak akan terbukti, betapa Kodam Siliwangi itu sesungguhnya tersusup oleh sejumlah besar perwira PKI, dari level Jenderal hingga level perwira pertama. Nanti setelah jabatan Panglima ada di tangan Mayor Jenderal HR Dharsono, barulah Siliwangi melakukan pembersihan besar-besaran. Antara lain di lingkungan Staf Komando Garnisun Bandung-Cimahi setelah Peristiwa 19 Agustus 1966 yang mengambil korban jiwa mahasiswa Universitas Parahyangan Julius Usman. Berikutnya, terjadi penangkapan besar-besaran dan mengagetkan terhadap sejumlah perwira karena keterlibatan dengan PKI, antara lain Kolonel Djukardi yang menjabat sebagai Walikota Bandung, Mayjen Rukman, Brigjen Soemali dan lain-lain. Di antara yang ditangkap, terdapat beberapa Komandan Kodim dan perwira intelijen.
Latar belakang ketiga bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya. Menurut buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, berdasarkan pemaparan Dr A. Aminullah Adiwilaga, orang-orang komunis di Jawa Barat, telah lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sebelum tahun 1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata memang telah terlihat di antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi menurut Clifford Geertz. Kehadiran DI/TII merubah perimbangan.
Sejak 1950-1951 terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur. Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan-pasukan DI/TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah satu panglima perang DI/TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal Abidin. Tetapi selain oleh DI/TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.
Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara akumulatif. Kuantitas pembasmian tinggi itu, terutama karena berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana pengaruh DI/TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan korban-korban DI/TII pada kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI/TII dan pasukan Siliwangi.
Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 5
Intinya penggulingan soekarno, mslh PKI sbg dalang G30S/65 MASIH SANGAT PERLU UNTUK DI BUKTIKAN.meski secara oknum tidak menampik sinyalemen keterlibatan mereka. Tokh berbicara oknum ada saja tokh dari unsur Partai Sosialis Indonesia, atau lawan-lawan politik PKI juga mereka yg sesungguhnya berseberangan politik dg Bung Karno.
pki gk bertuhan. kalau org islam, kristen dll bertuhan tp kelakuan nya spt gk bertuhan. apa beda nya dg pki yg gk bertuhan.
menurut saya, yg membunuh 7jendral adalah TNI AD anak buah soeharto. tujuan nya utk mengkambing hitamkan pki. supaya soeharto punya alasan memberantas pki. krn pki penghalang utama soeharto utk merebut kekuasaan soekarno. krn pki pendukung soekarno. spt kasus pesawat menabrak menara kembar. bsa saja itu pemerintah amerika yg melakukan nya. iraq sbg kambing hitam. supaya amerika punya alasan menyerang iraq.
Ada banyak versi teori maupun asumsi mengenai pokok soal yang anda sebutkan. Buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka 2006) bisa menjadi salah satu referensi. Narasumber buku itu terdiri dari para pihak yang untuk sebagian merupakan pelaku sejarah, dari semua kutub yang terlibat dalam peristiwa.
Saya pikir Hasta Mitra. Banyak sekali istilah tandingan seperti kontra SOKSI vis-a-vis SOBSI a la Suhardiman. Bukankah Rum Aly itu anda sendiri, yang notabene menjalankan Socio Politica dan MI (media yang berkantor di belakang Museum Mandala SIliwangi)? Dimana saya bisa mendapatkan buku tersebut? Salam.
Betul, Rum Aly. MI dulu, sebelum dibreidel tahun 1974, berkantor di Tamblong Dalam Bandung.Penerbit Kata Hasta, didirikan oleh beberapa teman ex Harian Sinar Harapan. Buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’ tidak tersedia lagi di toko-toko buku dan belum cetak ulang. Tapi yang membutuhkan sebagai referensi masih bisa memesan melalui sdr Razhar NJ, HP 0818 174658. Setahu saya masih ada persediaan sekitar 15 eksemplar. Bisa diperoleh dengan sekedar penggantian biaya cetak dan biaya kirim. SMS saja ke nomor tersebut.
Bedakan “Penyebab masalah” dan “Pemicu masalah”. Penyebab masalh adalah perebutan pengaruh politik global di mana Rusia/China menggunakan PKI menanamkan pengaruhnya di Indonesia dan berhasil menunggangi Bung Karno. Dan Pengaruh Kapitalis Barat meski yang ini tidak ada bukti pengaruh langsung , tapi sudah barang tentu menginginkan pihak anti komunis ( TNI AD yg anti politik kiri Bung Karno) yg memenangkannya.
Sedangkan Pemicu masalah adalah penentangan “dewan jendral” terhadap usulan pki dan Bung Karno tentang pembentukan angkatan ke 5 di mana buruh tani dipersenjatai dngan komitmen bantuan100ribu bedil gratis dr tiongkook , di mana kemudian Bung Karno menginginkan dewan jendral “ditertibkan” yg diartikan biro chusus/rahasia dengan G30S PKI-nya untuk dihabisi.
Kenyataan bahwa dewan jendral dibunuh bukannya di hadapkan utk dipecat Bung Karno, menjadi blunder bagi Bung karno hingga akhirnya perlahanan tapi pasti terdongkel dari kekuasaan, di mana beliau tidak berani melawan AD karena dari banyak saksi memang G30S adalah sepengatahuan beliau meski di luar expectasi kebablasan terbunuh bukannya dihadapkan untuk dipecat.
Sepertinya, komentar anda perlu diperhatikan.
Komentar Ardi yang berbunyi “menurut saya, yg membunuh 7jendral adalah TNI AD anak buah soeharto. tujuan nya utk mengkambing hitamkan pki. supaya soeharto punya alasan memberantas pki. krn pki penghalang utama soeharto utk merebut kekuasaan soekarno. krn pki pendukung soekarno. spt kasus pesawat menabrak menara kembar. bsa saja itu pemerintah amerika yg melakukan nya. iraq sbg kambing hitam. supaya amerika punya alasan menyerang iraq.”, bukannya basi, tetapi pendapat subjektif tanpa argumen dan data objektif.
pelurusan sejarah basi
PKI, militer, ormas agama kejam semua kalau pngn berkuasa dlm politik.
dalam politik apapun cara dilakukan utk mencapai tujuan,,apa itu partai berbasis komunis,agama,suku Semuanya sama yaitu MENGHALALKAN SEMUA CARA!!
menurut gw bnyk lawan politik pki yg menyusup ke tubuh pki atau jadi kader pki, tujuan nya utk menghancurkan pki dari dalam. contoh nya.. membunuh para ulama, menyerang pesantren dll. atas nama pki. supaya pki nama nya tercemar dan dibenci masyarakat. shg pki mudah ditumpas krn didukung masyarakat yg dendam kpd pki. G30S juga sama. yaitu dilakukan pki gadungan, tujuan nya utk menghancurkan pki itu sendiri.
Susup menyusupi menjadi bagian dari pertarungan politik kala itu. Makanya, perlu penelusuran objektif untuk menemukan kebenaran sejarah.
menelisik peristiwa yang lalu butuh kecermatan dan objektif, tidak perlu menghakimi kelompok/oknum tertentu, hal tersebut dapat memicu sentimen massa, tp jadikan ini untuk mengungkap peristiwa secara ilmiah yg dpt dipertanggung jawabkan. Segala hal yang baik dan buruk atas Kehendak ALLOH SWT jua dalam Maha Keadilan-Nya, sebagai makhluk kita petik hikmah tersebut tuk menatap masa depan NKRI yang lebih baik