“Setelah Peristiwa 15 Januari 1974 sangat kentara Jenderal Soeharto kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan untuk kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis”.
MEMANG ada bermacam-macam pendapat yang muncul dalam simposium pembaharuan di Bumi Sangkuriang Bandung itu. Namun setidaknya ada satu benang merah pemikiran yang jelas dalam konteks pembaharuan politik, yakni tentang harus adanya perubahan struktural. Sebagai pimpinan sidang Dr Midian Sirait melontarkan bagaimana caranya supaya ada perubahan struktural dalam rangka pembaharuan politik Indonesia. “Saya sendiri lebih condong kepada suatu pemerintahan teknokratis yang dijalankan bersama militer. Biarkan saja 25 tahun ini pemerintahan yang teknokratis, sambil kita robah struktur masing-masing”. Yang paling pokok adalah –seperti juga pendapat Rahman Tolleng seorang tokoh pembaharu kala itu– ada proses institusionalisasi dari gerakan, semisal masuk ke dalam parlemen untuk membangun parlemen yang lebih baik. Katakanlah, memperjuangkan gagasan dari dalam institusi formal.
Pada Sidang Umum MPRS 1968, sejumlah partai tertentu menyatakan keinginan agar segera dilaksanakan pemilihan umum. Pada sisi lain sejumlah tokoh yang lebih independen menegaskan, jangan tergesa-gesa melaksanakan pemilihan umum. Karena pemilihan umum merupakan alat demokrasi bagi seluruh bangsa Indonesia, maka pemilihan umum itu harus diselenggarakan sesuai dengan kesiapan bangsa.
Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) secara keseluruhan kala itu menginginkan mempunyai program. Rahman Tolleng yang waktu itu ada di Fraksi Karya banyak memberikan pandangan-pandangan politik mengenai perombakan struktur politik. Antara lain bahwa organisasi-organisasi massa onderbouw agar dilepaskan dari partai induknya untuk berdiri sendiri. Dasar pemikirannya, janganlah bangsa ini dikompartementasi dan diregimentasi seperti yang berlaku selama ini. Ada misalnya partai dengan kelengkapan organisasi seperti wanita partai, pemuda partai, mahasiswa partai, cendekiawan, buruh, tani sampai siswa partai. Barangkali hanya bayi yang tidak dimasukkan dalam satu kelompok organisasi onderbouw.
Sewaktu Sidang Umum MPRS Maret 1968 itu pula muncul nama dan peran belakang layar seorang jenderal Angkatan Darat bernama Ali Moertopo. Dalam rangka perubahan Sekber Golkar menjadi Golkar, agaknya Ali Moertopo ikut berperan. Dia lah yang pertama kali memberitahu kepada beberapa orang di Fraksi Karya nama 7 organisasi pendukung utama Golkar –yang disebut Kino atau Kelompok Induk Organisasi– yakni Kino Kosgoro, Soksi, MKGR, Kino Profesi, Ormas Hankam, Gakari dan Kino Gerakan Karya Pembangunan. Sejumlah tokoh muda yang berasal dari kesatuan aksi pergerakan 1966, dimasukkan ke dalam Kino Gerakan Karya Pembangunan, dan yang menjadi ketua adalah Drs Sumiskum. Dr Midian Sirait menjadi wakil ketua. Pastilah pula peranan Ali Murtopo besar dalam memasukkan nama-nama dari unsur kesatuan aksi dalam Golkar.
DPP Golkar yang kemudian tersusun 1970, dipimpin oleh Ketua Umum Sokowati dengan Sekjen Sapardjo. Para Ketua diangkat dari 7 Kino tersebut. Di bawah Ketua Umum, Sekjen dan para Ketua, terdapat sekertaris bidang yang operate. Dr Midian Sirait menjadi sekertaris bidang papermacenta –pemuda, pelajar, mahasiswa, cendekiawan dan wanita– dan Rahman Tolleng sebagai sekertaris bidang tani dan nelayan. Waktu itu, belum segera ada Dewan Pembina. Lembaga ini menjadi bagian struktur justru setelah terbentuknya DPP, hasil Kongres 1973 di Surabaya.
Perombakan struktur politik
Dalam suatu kurun waktu di tahun 1969-1972, Golkar dan ABRI mengadakan sesi yang berlangsung terus menerus untuk merumuskan mengenai akselerasi dan modernisasi 25 tahun. Topik dan terminologi akselerasi dan modernisasi ini, di belakang hari selalu disebut dan dipopulerkan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo sehingga banyak yang menganggapnya sebagai gagasan Aspri Presiden tersebut. Rantai awal menuju lahirnya gagasan percepatan modernisasi dalam jangka 25 tahun tersebut sebenarnya adalah simposium pembaharuan tahun 1968 di Bumi Sangkuriang itu.
Masukan dalam simposium itu disimpulkan dan diteruskan Seskoad ke Presiden Soeharto. Cara penyampaian gagasan dan pemikiran seperti ini telah dilakukan berkali-kali. Bila kalangan gerakan pembaharuan perlu menyampaikan pemikiran kepada Soeharto, maka itu dilakukan lewat Mayor Jenderal Soewarto sampai 1967 maupun melalui Tjakradipura, Komandan Seskoad berikutnya. Termasuk misalnya pemikiran Soemitro Djojohadikoesoemo yang kala itu masih berada di Eropa –tentang pembangunan ekonomi– yang dikirim lewat seorang pilot sampai Hongkong, diterima Tombokan dan disampaikan ke Dr Midian Sirait lalu diteruskan ke Soeharto lewat Soewarto.
Demikianlah di tahun 1969-1972 lima orang sipil –Rahman Tolleng, Sumiskum, Moerdopo, Oetojo Oesman dan Midian Sirait– mewakili Golkar dalam rangkaian sesi dengan tim ABRI, yang diketuai oleh Amir Moertono yang ketika itu menjabat Asisten Sosial Politik ABRI. Amir bekerja di bawah Kepala Staf Kekaryaan ABRI Jenderal Darjatmo. Karena Oetojo Oesman kerap kali tidak muncul, sementara Moerdopo sibuk untuk berbagai urusan lain, maka praktis Rahman Tolleng, Midian Sirait dan Sumiskum saja yang selalu muncul dalam rangkaian sesi marathon tersebut.
Cukup banyak perbedaan yang muncul kala itu dengan pihak ABRI. Kelompok sipil itu, menurut catatan Dr Midian Sirait, menyebut jangka waktu akselerasi-modernisasi selama 25 tahun –mengacu pada simposium 1968– sedang ABRI menginginkan jangka 30 tahun. Bagaimana dengan struktur politik di masa datang? Rahman Tolleng tampil dengan teori missile: Pendorong utama adalah ABRI, pendorong kedua pegawai negeri dari kalangan birokrasi pemerintahan, lalu pendorong ketiga adalah partai politik dan organisasi massa. ABRI protes: “Jadi kita ini pendorong saja? Setelah lepas landas, kita ditinggal?”. Teori yang diprotes ini hampir sama dengan ide Adam Malik, setelah tugas selesai, agar tidak berdosa, sang malaikat kembali ke langit.
Berikutnya, Sumiskum memaparkan pentahapan 5 tahunan dalam 25 tahun. Pada 5 tahun pertama ABRI berkuasa, 5 tahun kedua ABRI memimpin, dan makin berkurang peranannya dalam tahapan-tahapan berikut, untuk pada akhirnya ABRI pun berlalu. Meredakan kegusaran ABRI, akhirnya Dr Midoan Sirait menyampaikan agar dalam menjalani 25 tahun itu, ABRI lah sendiri yang menentukan kapan mengakhiri tugas dan meninggalkan politik. Tapi apakah mereka sudi berhenti sukarela begitu? Takkan berhenti mereka, demikian Rahman memprotes. Namun Midian Sirait mengatakan, itu hanya penyampaian taktis belaka sebagai bagian dari persuasi. “Tetapi Rahman memang punya karakter khas. Prinsipnya, kalau mempertahankan gagasan, dalam adu argumentasi segerobak pun akan ia lawan”, catat Dr Midian lebih lanjut. “Begitulah, berhadapan dengan ABRI dalam forum ini, ABRI pun dilawan Rahman tanpa takut. Sifat bugis-nya ‘tampil’ di sini”.
Di tahun 1969-1972 itu, di medan lainnya dalam kehidupan politik, gerakan pembaharuan politik dengan pendekatan perombakan struktur politik, mencuat makin jelas. Dari KASI Bandung, sebelumnya muncul gagasan dwi partai. Gagasan ini disampaikan dr Rien Muliono kepada Panglima Siliwangi, Mayor Jenderal HR Dharsono, dan disambut dengan baik. Sedikit banyaknya gagasan ini berasal mula dari Rahman Tolleng juga. Gagasan Dwi Partai pertama kali menjadi topik dalam suatu pembicaraan antara seorang tokoh yang sering disebut sebagai ex PSI bernama Soemarno, dengan Rahman Tolleng. Pembicaraan tentang gagasan yang sama tampaknya dilakukan pula kemudian oleh Soemarno dengan dr Rien Muliono. Hanya saja ketika gagasan tersebut sampai ke publik ia cenderung difahami sebagai sistem dua partai secara fisik. Padahal yang dimaksudkan Rahman dan juga HR Dharsono, itu adalah pengelompokan antara partai-partai dalam posisi dan partai-partai oposisi, yang berbeda bukan atas dasar ideologi melainkan berdasarkan perbedaan program. Gagasan dwi partai inilah yang antara lain membuat Rahman bertambah banyak lawannya, sama dengan HR Dharsono. Itulah juga sebabnya, Soeharto tidak menerima gagasan HR Dharsono.
Jenderal HR Dharsono suatu ketika dipanggil Presiden Soeharto untuk memberi penjelasan apa yang dimaksudnya dengan dwi partai. Soeharto meminta HR Dharsono memetakan di mana posisi dwi partai dalam kerangka Undang-undang Dasar 1945. Soeharto menolak, mungkin terutama karena gaya penyampaian HR Dharsono yang bertemperamen, tegas dan kurang diplomatis, tak cocok untuk Soeharto. “Semestinya, Rahman Tolleng dan Rien Muliono juga dipanggil untuk membantu menjelaskan agar Soeharto bisa memahami gagasan tersebut”, kata Midian Sirait. “Sejarah politik kita mungkin sedikit lain jalannya bila setidaknya Rahman Tolleng hadir untuk menjelaskan dengan bahasa politik yang gamblang”.
Seperti diketahui, sebelumnya ada gagasan tiga partai yang dilontarkan oleh Sjafruddin Prawiranegara. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai, bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Sebenarnya, sebelumnya sekitar waktu itu Dr Midian Sirait pernah mengajukan gagasan 5 partai, yakni 2 partai Islam, 1 partai nasional, 1 partai Kristen-Katolik serta 1 Golongan Karya. Namun terhadap gagasan ini, Ali Moertopo mengatakan, “Sudahlah, pak Harto telah memutuskan 3 partai”.
Pertemuan-pertemuan dengan ABRI tahun 1970, terus membuat Rahman Tolleng berada dalam satu alur, yang meskipun terkesan melawan arus, tidak pernah berobah. Benang merahnya, perombakan struktur politik, melaksanakan dwi partai, dan tentara tidak lagi masuk dunia politik, barulah tercipta kehidupan politik baru dalam sistem politik dengan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Itulah pokok pikiran Rahman. Dr Midian dan beberapa lainnya berpikiran sama. Tapi itu semua bukan sesuatu yang mudah dikerjakan.
Pengalaman terbenturnya gagasan dwi partai, antara lain menunjukkan banyaknya hambatan bahkan kemusykilan yang harus dihadapi. Tapi terlepas dari itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa sedikit banyak Golkar dalam kadar tertentu sempat menjadi wahana bagi kaum pembaharu untuk memperjuangkan gagasannya. Masuknya beberapa aktivis gerakan kritis dan pembaharuan ke dalam Golkar seringkali disebutkan dalam rangka struggle from within. Tetapi terhadap cita-cita untuk melakukan perbaikan dari dalam, kemudian timbul pertanyaan dan kesangsian: Apakah mereka yang mengubah atau justru mereka yang diubah oleh Golkar dan kekuasaan? Di kemudian hari, Rahman Tolleng, seorang tokoh pergerakan mahasiswa yang pernah masuk untuk mencoba merubah Golkar dari dalam mengakui bahwa “asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi”. Semua boleh bercita-cita, tetapi Soeharto juga yang menentukan cerita.
Meski terdapat sejumlah perspektif keberhasilan, halangan bagi pembaharuan politik masih jauh lebih banyak lagi, yang terkait dengan hasrat kekuasaan. Hambatan bagi gagasan pembaharuan politik di Indonesia, sesungguhnya juga datang dari Soeharto sendiri dengan segala perkembangan dan perobahan yang terjadi pada dirinya dan di lingkungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Soeharto berobah. Dirobah oleh kekuasaan. Keluarganya pun berobah. Anak-anaknya makin dewasa dan mulai terjun dalam dunia bisnis dan keuangan. Ada pembelaan tentang kehadiran anak-anak ini dalam bisnis, yang antara lain dihubungkan dengan hak sebagai warganegara yang bebas memilih lapangan rezekinya. Bagaimanapun juga, kekuasaan Soeharto makin dipengaruhi kehadiran anak-anaknya yang bertambah usia dewasa. Anak-anaknya membuat Soeharto lemah.
Soeharto sendiri berangsur berobah sikap. Pada awalnya beberapa kalangan terbatas mengetahui ini dari cerita-cerita Ali Moertopo. Kalau Ali baru kembali dari bertemu dengan Soeharto sejumlah orang tertentu diajak berkumpul dan diinformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi raja, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota. Kehadiran anak-anaknya di berbagai bidang kehidupan, mulai dipandang menganggu oleh banyak orang. Ada koreksi, misalnya dari Jenderal Benny Murdani, tapi semuanya nyaris tak diindahkan. Kejengkelan-kejengkelan makin terakumulasi dari hari ke hari. Tahun 1967-1969 bahkan hingga 1970, Soeharto terlihat masih bisa demokratis. Bersedia datang ke parlemen dan sebagainya. Tetapi terutama setelah Peristiwa 15 Januari 1974 sangat kentara Jenderal Soeharto kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan untuk kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis.
Berlanjut ke Bagian 3