BERDASARKAN ukuran kualitas keburukan peristiwanya, Peristiwa 30 September 1965, merupakan salah satu lembaran paling hitam dalam sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia. Sepanjang lima tahun sebelum peristiwa puncak itu terjadi, kehidupan politik Indonesia ditandai pelibatan massa dalam aksi-aksi sepihak dan penggunaan kekerasan secara intensif dengan kadar yang luar biasa tinggi. Saat peristiwa terjadi enam jenderal, dua perwira menengah dan satu perwira pertama dibunuh. Dan setelah puncak peristiwa, berbulan-bulan lamanya terjadi malapetaka sosiologis dalam bentuk saling bantai yang menurut perkiraan moderat menelan 1 juta korban jiwa. Bahkan bila mengikuti angka yang pernah disebut Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, mungkin saja peristiwa itu menelan korban 3 juta orang.

Peristiwa 1965 itu didahului oleh suatu masa selama 5 tahun yang merupakan masa penumpukan dendam sosial dan politik. Pada masa itu, bahkan sejak sebelumnya, PKI telah menunjukkan diri kepada rakyat Indonesia sebagai satu partai yang menggunakan kekerasan dalam kadar tinggi. Serangan-serangan politik dan agitasinya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan dalam. Masih menurut buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’, kala itu kekejaman kemanusiaan yang dilakukan kaum komunis dalam Peristiwa Madiun 1948, belum terlupakan. “Aksi-aksi sepihak yang dijalankan PKI di berbagai daerah, yang mengalirkan darah dan merenggut nyawa manusia, tahun 1960-1965, menjadi catatan ingatan tak terlupakan, mengakumulasi kebencian dan dendam, ibarat api dalam sekam yang tinggal menunggu angin untuk berkobar menjadi api besar”. Situasi akumulasi dendam itu, juga bisa diibaratkan dengan meminjam judul buku Surgiarso Surojo, ‘Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai’.
Release para perwira penerangan AD yang melakukan tambahan dramatisasi atas kekejaman yang dilakukan pelaku Gerakan 30 September 1965 di Lubang Buaya, menjadi tiupan terakhir yang mengobarkan api dari sekam yang membara. Masa menuai badai pun terjadi dalam tiga bulan terakhir tahun 1965 yang berlanjut ke tahun 1966, terutama di luar wilayah perkotaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, maupun peristiwa-peristiwa susulan di berbagai propinsi lainnya. (Baca tulisan-tulisan sebelumnya di sociopolitica).
Dalam percakapan dengan Rum Aly –penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’– Brigadir Jenderal Sunardi DM (seorang perwira penerangan AD, kini almarhum) mengakui adanya kampanye tentang kekejaman PKI, terutama kekejaman di Lubang Buaya, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI. Penggambaran-penggambaran tentang kekejaman PKI itu betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal dan massive di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyatnya. Kadar kemarahan itu menjadi berlipat ganda di daerah tertentu. Terutama bila sebelumnya di daerah tersebut terdapat banyak korban yang pernah mengalami secara nyata kekerasan PKI, yang paling banyak berupa perampasan tanah milik oleh BTI dan Pemuda Rakyat. Antara lain, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bali.
Terminologi membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat yang digunakan Jenderal Sunardi DM, amat menarik. Apakah rakyat melakukan ‘perlawanan’ atau ikut melakukan ‘pembasmian’ PKI? Pada waktunya, kedua terminologi ini memiliki masing-masing kebenarannya sendiri. Ini penting dalam konteks menemukan peranan sesungguhnya yang dijalankan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD yang dipimpinnya, saat berada dan bertugas di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun kemudian di Bali. Apakah sesuai dengan tuduhan yang belakangan ini dilontarkan terhadap dirinya atau sebaliknya? Khusus tentang Jawa Tengah, Letnan Jenderal Sintong Pandjaitan yang pernah ikut sebagian operasi RPKAD di sana, menegaskan bahwa RPKAD tak membunuh, melainkan malah menghentikan setiap kali ada aksi brutal massa. Nama soal melatih massa agar mampu membela diri, diakui oleh Kolonel Sarwo Edhie, yang tujuannya tak lain agar massa yang ketakutan mampu melakukan perlawanan bila diserang PKI, sebagaimana yang terjadi sebelum RPKAD datang ke Jawa Tengah.
Sejumlah tanda tanya mengenai Divisi Diponegoro. Pada 1 Oktober 1965, di ibukota provinsi Jawa Tengah, Asisten Intelijen Kodam VII (waktu itu) Diponegoro, Kolonel Sahirman, bersama Kolonel Marjono dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto yang berhaluan komunis, mengambil alih komando dari tangan Panglima Diponegoro, Mayor Jenderal Surjosumpeno. Sang jenderal pada mulanya sempat ditangkap, namun berhasil melarikan diri ke arah Salatiga. Pada saat yang sama di DI Yogyakarta, kepemimpinan Korem 72 diambilalih Mayor Muljono –sesuai arahan Ketua Biro Chusus PKI-DIY Wirjomartono– dengan menangkap Komandan Korem Kolonel Katamso dan wakilnya Letnan Kolonel Sugiono. Belakangan jenazah keduanya diketemukan 20 Oktober 1965 di Kentungan.
Kolonel Sahirman dan kawan-kawan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi Jawa Tengah. Sebagai Ketua Dewan Revolusi Jawa Tengah diangkat Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto –mengikuti pola di Jakarta, Dewan Revolusi dipimpin oleh yang berpangkat Letnan Kolonel, yakni Letnan Kolonel Untung. Sejak mula memang diketahui bahwa hampir seluruh batalion di Kodam Diponegoro ini dikuasai oleh perwira-perwira komunis.
Dalam masa transisi tersebut, yakni saat para perwira kiri menguasai keadaan, terjadi sejumlah penangkapan terhadap orang-orang yang dikenal sebagai anti-komunis. Banyak di antara mereka yang ditangkap itu, tak pernah kembali lagi atau tak bisa ditemukan keluarganya. Agaknya mereka ini dibunuh. Kejadian ini, boleh dikatakan tak pernah dicatat atau diperiksa lanjut, sehingga tak pernah diungkapkan dan terabaikan dalam rangkaian cerita tentang pembunuhan massal di Jawa Tengah tahun 1965-1966. Sebenarnya, kasus awal ini juga memerlukan pencarian fakta demi kelengkapan catatan mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Tengah pada masa-masa epilog Peristiwa 30 September 1965.
Hanya dalam dua hari, Mayor Jenderal Surjosumpeno berhasil menguasai kembali rentang komando Diponegoro. Ia berhasil ‘menarik’ kembali komandan-komandan batalion, namun praktis tidak sempat dilakukan ‘screening’ sehingga tetap tak jelas siapa ‘kawan’ siapa ‘lawan’ pada internal divisi. Menjadi menarik, bahwa pada waktu-waktu berikutnya beberapa perwira yang pernah ikut membelot bersama Kolonel Sahirman, ikut aktif dalam pembersihan anggota-anggota PKI di beberapa daerah dengan meminjam eksekutor-eksekutor dari kalangan ormas non-PKI. Beberapa di antaranya, bahkan tak hanya ikut berperan, melainkan berkategori sangat antusias menjalankan peran tersebut. Itu sebabnya, dalam menelisik kembali kejahatan kemanusiaan di Jawa Tengah pada masa epilog Peristiwa 30 September 1965, sangat diperlukan kecermatan. Menurut Sintong Pandjaitan, setelah kedatangan RPKAD sempat diadakan ‘pembersihan’ sekitar 4 Kodim dari unsur komunis. Artinya, sisanya tetap belum jelas.
Dalam keadaan seperti itu, terkait kadar ‘kebersihan’ Kodam Diponegoro, timbul sejumlah tanda tanya. Apakah seluruh korban pembasmian adalah betul-betul seluruhnya anggota PKI dan ormasnya? Dari sayap manakah anggota-anggota PKI yang ditangkap itu? Perlu diteliti, tak lain karena di tubuh PKI setidaknya ada dua sayap yang satu sama lain juga tidak selalu sejalan, yakni sayap Moskow yang moderat dan sayap Peking yang radikal. Selain itu, perlu diteliti beberapa banyak korban dari kalangan yang sebenarnya tak tahu menahu dan atau tak terkait dengan pertarungan politik yang terjadi. Salah satu contoh adalah banyaknya guru anggota PGRI yang ikut dibantai padahal di PGRI ada dua sayap: Mereka yang berafiliasi pada PKI yakni PGRI non-vaksentral serta yang tidak berafiliasi dan menentang pengaruh PKI yakni PGRI vaksentral. Ternyata di beberapa daerah, bukan hanya di Jawa Tengah tetapi Juga di Jawa Timur dan daerah lainnya, banyak anggota PGRI vaksentral ikut menjadi korban.
Sebelum kedatangan pasukan RPKAD yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo ke Jawa Tengah pada pertengahan Oktober, tepatnya sejak 18-19 Oktober 1965, di daerah-daerah kantong massa PKI, anggota-anggota BTI dan Pemuda Rakyat juga melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota masyarakat yang diketahui bergabung di organisasi-organisasi non-PKI. Pembersihan ini menyebabkan banyak orang lari mengungsi ke daerah-daerah lain. Ada yang selamat, ada yang tertangkap pengikut PKI dan ada juga betul-betul naas diberantas oleh massa non PKI, korban salah-paham karena datang dari daerah yang dikenal sebagai basis PKI. Peristiwa semacam ini terjadi antara lain di daerah-daerah seperti Boyolali, sekitar Solo, sampai Salatiga dan daerah-daerah sebelah selatan Semarang lainnya, serta Pemalang di sebelah barat.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.