PERLUKAH seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mendapat pelajaran tambahan tentang cara bersikap dan berpendapat yang baik, adil, tidak apriori serta tidak berpandangan stereotype? Semestinya tidak. Namun, karena tergelincir menjadi apriori dan mengajukan pandangan stereotype tentang kasus perkosaan seorang pelajar perempuan berusia 14 tahun, siswi sebuah SMP swasta di Depok, selain menuai banyak kecaman ia mendapat pelajaran tambahan terkait pandangan stereotypenya yang dianggap sebuah asumsi maskulin.

Ketika menanggapi pertanyaan tentang sikap pimpinan sebuah SMP swasta yang tak memperkenankan seorang siswinya –SA yang disebutkan menjadi korban sebuah pidana perkosaan– kembali ke bangku sekolahnya, sang Menteri, Muhammad Nuh, dinilai memberi jawaban tak pada tempatnya.
Media mengutip ia menyebutkan kemungkinan SA adalah siswi nakal dan hanya mengaku diperkosa. Dengan nada pembenaran terhadap kebijakan sekolah, Muhammad Nuh (11/10) mengatakan, “dalam kondisi tertentu, bisa saja karena kenakalannya maka sekolah mengembalikannya ke orangtuanya. Soalnya ada yang sengaja, kadang-kadang ada yang sama-sama senang, ngakunya diperkosa”. Lebih jauh ia dikutip mengatakan sulit membuktikan apakah benar SA merupakan korban pemerkosaan atau bukan. Kalaupun sang Menteri kemudian menambahkan bahwa bila memang SA menjadi korban maka harus dilindungi dan traumatiknya harus dipulihkan, pernyataan itu akhirnya terasa tak lebih tak kurang dari sekedar basa-basi. Menjadi pertanyaan, apakah sang Menteri paham dan mengerti bahwa secara hukum, bila terjadi hubungan seks –apakah perkosaan atau karena bujuk rayu ataupun diberi label ‘suka sama suka’ sekalipun– dengan seorang perempuan di bawah umur, maka sang anak bagaimanapun tetap ada dalam posisi korban.
Selain itu sang Menteri pun agaknya lupa, bahwa bila berbicara dengan pers, sama artinya dengan berbicara di depan umum, di depan semua orang, termasuk di ‘depan’ sang korban. Ketika kecaman merebak, dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia maupun dari kalangan pendidik sendiri –yang disertai tuntutan mundur– sang Menteri lalu mencoba meluruskan. Ia mengatakan apa yang disampaikannya sewaktu menjawab pertanyaan wartawan, konteksnya bukan menanggapi kasus Depok, tetapi dalam konteks yang umum dan lebih luas. “Saya menyampaikan maaf atas pernyataan saya yang dipahami keliru karena konteksnya tidak sebagaimana yang dimaksud dan tidak utuh disampaikan, sehinga dipersepsi negatif oleh publik”. Artinya, wartawan lah yang dianggap salah.
Nasehat untuk seorang menteri. Seakan memberi sebuah pelajaran tambahan, seorang pembaca suratkabar bernama Nurul Agustina, dari Kompleks UIN Ciputat, berkirim surat menasehati sang Menteri (Kompas, 18 Oktober 2012). Ia menulis, “saya terhenyak mengikuti media yang memberitakan sikap anda terhadap SA (14) siswi SMP di Depok yang menjadi korban pemerkosaan”. “Anda mengaku belum tahu kasus tersebut secara detail, tetapi mengatakan bahwa kemungkinan SA adalah siswi nakal dan hanya mengaku diperkosa. Anda menambahkan, sulit membuktikan apakah benar SA korban pemerkosaan. Sadarkah anda, pernyataan itu mengandung asumsi bahwa si korban itulah yang salah dan nakal hingga ia pantas diperkosa. Asumsi maskulin ini menempatkan korban pada posisi keliru dan membebaskan pelaku”.
“Sebagai orang yang berkuasa menentukan merah-hitamnya kualitas pendidikan di negeri ini, seharusnya anda berhati-hati mengeluarkan pendapat. Pendapat anda mengenai kasus SA tak hanya menyakiti SA dan keluarganya, tetapi ratusan atau ribuan keluarga lain yang anak, saudara, atau bahkan ibunya juga menjadi korban”.
APA yang menimpa SA di Depok, bukan peristiwa satu-satunya. Tahun 2011 terjadi hal serupa di Bengkulu dan bulan September tahun ini juga terjadi di Jawa Timur. Kedua peristiwa, bersama peristiwa terbaru yang menimpa SA di Depok 8 Oktober, diungkapkan dalam sebuah petisi yang diprakarsai Nur Hidayati Handayani dengan sekitar 500 penandatangan. Terhadap tiga peristiwa tersebut –yang sebenarnya mewakili sejumlah peristiwa serupa sebelumnya– mereka menyerukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama menghentikan kriminalisasi korban perkosaan di sekolah.
“Tahun lalu di Bengkulu terjadi perkosaan pada seorang siswi yang akan menghadapi ujian akhir, namun pihak sekolah mengeluarkannya karena telah dianggap melakukan tindakan asusila dan membuat citra sekolah buruk. Proses mediasi telah diupayakan dan mendapatkan dukungan dari beberapa lembaga pemerintah seperti KPAI, Kementerian PP & PA, Kepala Badan PP & PA, namun tak digubris sekolah. Alasannya adalah sekolah memiliki otonomi untuk mengambil keputusan terkait dengan peraturan di sekolahnya”.
Kemudian, “Sabtu, tanggal 8 September 2012, sekolah di Jawa Timur mengeluarkan seorang siswi yang menjadi korban perkosaan selama 3 tahun oleh kakeknya sendiri. Terjadi beberapa protes yang ditujukan ke sekolah karena berita ini diketahui oleh media dan tersebar di masyarakat”. Disusul oleh peristiwa di Depok. Pimpinan dua sekolah yang disebut terakhir ini merubah keputusan, setelah adanya desakan publik.
Kejahatan spesifik hegemonic masculinity. SIKAP yang sempat ditunjukkan Menteri Muhammad Nuh ini mengingatkan kepada reaksi Gubernur DKI (kini mantan gubernur) Fauzi Bowo tatkala menanggapi berbagai peristiwa perkosaan di wilayah Jakarta. Sang Gubernur seakan mempersalahkan cara perempuan berbusana sebagai pemicu tindakan perkosaan. Pada saat yang sama sementara itu, sejumlah pemuka agama menyorot perilaku kaum perempuan sendiri sebagai penyebab yang menggoda. Pada tahun 2011 itu, berturut-turut terjadi beberapa perkosaan dan percobaan perkosaan di angkot (angkutan kota), dengan korban dari kalangan mahasiswa, foto model/peragawati sampai perempuan pedagang sayur. Selain rasa simpati dan keprihatinan terhadap korban, senantiasa mencuat pula nada menyesalkan bahkan mempersalahkan ketidakhati-hatian maupun perilaku ceroboh korban sendiri –mulai dari cara berpakaian, sampai sikap serta tampilan yang mengundang dan sebagainya. Sebagian pers, yang menjadikan kasus perkosaan sebagai ladang mengolah berita secara berlebih-lebihan untuk mengejar rating, juga perlu dikritik. Dengan ini semua, perempuan lalu menjadi korban ganda.
Dari peristiwa-peristiwa ini, terlihat secara nyata betapa perempuan dan anak sekaligus ditempatkan dalam posisi terlemah dalam mata rantai relasi masyarakat. Apalagi bila terkait dengan faktor posisi ekonomi yang lemah. Mungkin saja kejahatan pemerkosaan bukanlah bagian terbesar dari lautan kejahatan manusia atas manusia. Tetapi pemerkosaan, yang boleh dikatakan kejahatan spesifik hegemonic masculinity, adalah suatu kejahatan keji yang paling melukai hati nurani dan memberi trauma yang paling panjang jangka waktunya –bisa berlangsung seumur hidup– bagi para korban maupun keluarganya. Terlebih lagi, dalam pengalaman empiris, selain cedera oleh perkosaan itu sendiri, terjadi pula sejumlah perlukaan berikutnya, berupa sinisme dan alienasi masyarakat, dan seringkali juga sikap acuh tak acuh dan tak bersungguh-sungguh aparat negara yang menangani. Terutama bila pelaku mendapat hukum yang ringan saja dan bahkan berhasil lolos dari jeratan hukum baik karena kekuatan uang maupun karena kekuasaan.
Peristiwa pemerkosaan gadis penjual telur Sum Kuning di Yogyakarta tahun 1970 adalah contoh lolosnya pelaku karena faktor kekuasaan. Pelecehan seksual oleh seorang jenderal yang dekat pusat kekuasaan terhadap puteri seorang jenderal purnawirawan, yang tak bisa tersentuh hukum adalah contoh tahun 1980-an. Sementara itu perkosaan massal tahun 1998 adalah contoh dari gagalnya penanganan hukum karena pertimbangan politik. Bagaimanapun peristiwanya, siapapun korbannya dan siapapun pelakunya, kejahatan yang satu ini merupakan kejahatan yang paling merendahkan serendah-rendahnya harkat dan martabat manusia.
Kekuasaan patriarkis sejati. Penggunaan terminologi “asumsi maskulin” oleh Nurul Agustina terhadap cara bersikap stereotype yang ditunjukkan kalangan kekuasaan dan pemuka masyarakat dan agama, khususnya dalam kasus-kasus pemerkosaan, dengan demikian merupakan suatu hal yang serius. Asumsi maskulin itu sendiri merepresentasikan kerapuhan pemahaman kesetaraan gender di kalangan penentu kekuasaan di tubuh negara dan masyarakat. Kerapuhan itu sendiri bersumber pada fakta masih kuatnya nilai patriarki yang direpresentasikan dengan kuat oleh perilaku maskulinitas hegemonik.
Alumnus Sosiologi UGM, Rhea Febriani Tritami dalam skripsinya (Februari 2012), menyimpulkan adanya kegagalan laten para pelaksana kekuasaan dan negara –eksekutif, legislatif dan judikatif– dalam pencapaian yang bermakna bagi kesetaraan gender. “Terpenting dan masih menjadi masalah pokok terbesar yang kita hadapi saat ini dalam konteks pencapaian kesetaraan gender, adalah realitas bahwa para pelaku dalam kekuasaan agama dan kekuasaan negara kita saat ini, sebagai suatu kesatuan pada dasarnya masih merupakan patriarkis sejati. Mereka berkuasa karena patriarki, maka untuk jangka waktu tertentu mereka belum akan membiarkan patriarki diruntuhkan demi demokrasi sekalipun”.
Apakah, kejahatan patriarki dan maskulinitas hegemonik, hanya menimpa kalangan bawah pada umumnya dalam bentuk pemerkosaan seksual? Ternyata tidak. Banyak kejahatan seksual terhadap perempuan dengan berbagai pengatasnamaan. Atas nama agama, atas nama negara maupun atas nama devisa. Atau, ketidakmampuan melindungi perempuan terhadap trafficking dan pelacuran. Ada pula bentuk ‘kejahatan’ lain yang pernah terjadi: Penggunaan dalih agama untuk menolak kaum perempuan menjadi pemimpin, dan, keengganan sampai saat ini untuk memenuhi quota 30 persen bagi keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat. Padahal, perempuan adalah separuh dari manusia penghuni muka bumi ini dan penghuni negara ini.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
One thought on “Ekspresi Patriarki dan Maskulinitas Hegemonik Di Kalangan Kekuasaan Negara”