MENJELANG kedatangan pasukan RPKAD –yang kekuatannya hanya dalam hitungan kompi– di beberapa kota Jawa Tengah, sejumlah tokoh CC PKI yang sudah berada di propinsi itu mengorganisir massa bersenjata. Penuh percaya diri PKI memasang spanduk di beberapa kota, di Solo misalnya, yang berbunyi “Jadikan Solo kuburan bagi RPKAD”. PKI memang memiliki keyakinan bahwa Jawa Tengah, dengan dukungan satuan-satuan Diponegoro yang ada di bawah pengaruhnya, akan bisa dipertahankan.

Sejumlah tanda tanya mengenai Divisi Brawijaya. SITUASI penuh tanda tanya tentang ‘kebersihan’ Kodam Brawijaya di Jawa Timur, tahun 1965, sementara itu, tidak berbeda jauh dengan Kodam Diponegoro. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat yang memimpin divisi Brawijaya kala itu, termasuk satu di antara sejumlah jenderal yang dianggap sebagai de beste zonen van Soekarno, bersama antara lain Jenderal Muhammad Jusuf, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Amirmahmud. Namun, meski dekat dengan Soekarno yang banyak memberi angin kepada PKI, Basoeki Rachmat tetap dikategorikan sebagai seorang jenderal anti komunis. Presiden Soekarno menganggap sikap anti komunis itu adalah akibat pengaruh Jenderal Nasution. Itu sebabnya, Soekarno merasa kurang gembira setiap kali mengetahui Basoeki Rachmat ‘terlalu’ banyak bertemu dengan AH Nasution. Bila Jenderal AH Nasution berkunjung ke Jawa Timur, selaku Menko/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, tentu saja sebagai Panglima Daerah Jenderal Basoeki Rachmat harus mendampingi.
Akan tetapi, meskipun anti komunis, sebagai Panglima Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat kurang berhasil membendung pengaruh PKI di kalangan perwira-perwira bawahannya. Walau tak pernah dipetakan dengan baik, diketahui setidaknya lebih dari separuh komandan-komandan batalion di Divisi Brawijaya berada dalam pengaruh PKI. Salah satu di antaranya, yakni Batalion 530, tercatat sebagai pasukan yang datang ke Jakarta dan terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
Karena meyakini kuatnya pengaruh mereka di Divisi Brawijaya, anggota-anggota PKI di Jawa Timur pada 1 Oktober 1965, berani bersikap agresif mendukung Dewan Revolusi Letnan Kolonel Untung. Masih pada 1 Oktober siang, tokoh-tokoh PKI Jawa Timur dengan dukungan beberapa satuan Brawijaya, sudah mengumumkan Dewan Revolusi daerah Jawa Timur. Pembentukan Dewan Revolusi Jawa Timur diumumkan melalui RRI Surabaya yang yang berhasil diduduki pasukan-pasukan pendukung. Sampai 3 Oktober 1965, para pimpinan PKI Jawa Timur tetap berada di Surabaya, bertahan di kantor CDB PKI Jawa Timur. Dari kantor ini, pimpinan PKI Jawa Timur, terutama melalui Ketua Biro Chususnya, Rustomo, menyebarkan instruksi-instruksi ke seluruh jajaran PKI di provinsi itu untuk memulai gerakan bersenjata. Selama masa itulah kelompok-kelompok massa PKI melakukan serangan-serangan kepada organisasi-organisasi non-PKI di Jawa Timur. Mirip dengan apa yang mulanya dilakukan PKI di Jawa Tengah pada awal hingga pertengahan Oktober. Hanya saja, setelah mendengar berita dipatahkannya Gerakan 30 September 1965, para pimpinan PKI Jawa Timur mulai meninggalkan Surabaya, dan mengatur gerakan di luar kota.
Seakan mendapat angin, mendengar berita dari Jakarta tentang kegagalan ‘Gerakan 30 September’, organisasi-organisasi non-PKI Jawa Timur, terutama organisasi-organisasi di bawah NU berbalik melakukan pembalasan. Gelombang pembalasan yang berlangsung, harus diakui, tak kalah kejinya. Selain keji, seperti halnya yang terjadi di Jawa Tengah, tak mudah untuk memetakan siapa-siapa saja korban pembasmian. Apakah hanya anggota PKI, dan dari sayap mana, ataukah juga yang berasal dari masyarakat bukan pengikut PKI. Beberapa satuan di lingkungan Divisi Brawijaya yang tadinya diketahui berada di bawah pengaruh PKI, ikut melakukan pembasmian dan atau mendorong pembasmian oleh Banser, Pemuda Marhaenis dan organisasi-organisasi onderbouw partai-partai Islam. Selain adanya dorongan dari aparat teritorial militer, berperan pula faktor kebencian yang selama ini diciptakan PKI sendiri melalui cara-cara kekerasan. Ibarat memasukkan bara dalam sekam, tinggal menunggu angin untuk berkobar.
Dalam situasi kalut di wilayah waktu abu-abu setelah pecahnya Peristiwa 30 September 1965 di Jakarta, seseorang dengan mudah diambil dari rumahnya, cukup bila ada yang main tunjuk. Cenderung tak sempat lagi dilakukan penelitian yang cermat dalam menentukan sasaran. Ada pula ‘penjemputan’ untuk eksekusi berdasar daftar yang diberikan oleh perwira militer dari kesatuan yang tadinya diketahui pendukung PKI. Bahkan terjadi pula, anggota PKI menunjuk anggota PKI lainnya, demi menyelamatkan diri. Menarik, bahwa ada juga sejumlah pengikut NU justru ikut ditunjuk dan digiring ke tempat eksekusi. Dendam-dendam pribadi juga mendapat kesempatan untuk dilampiaskan di masa kalut sampai akhir 1965 dan bulan-bulan pertama 1966.
Secara ‘resmi’ tak ada pengiriman satuan-satuan RPKAD ke Jawa Timur. Tetapi ada beberapa perwira muda, seperti misalnya Faisal Tandjung, yang diperbantukan ke Jawa Timur. Namun di Jawa Timur, mereka tidak mengenakan seragam RPKAD melainkan seragam satuan-satuan Brawijaya. Ini ada kaitannya dengan ketegangan antara RPKAD kala itu dengan satuan-satuan Korps Komando (KKO) AL. Satuan elite ini memang dominan di Jawa Timur. Banyak kelompok anggota KKO turun ke desa-desa Jawa Timur, bahkan sampai Jawa Tengah, untuk melakukan pembalasan atas kematian keluarga mereka yang ikut menjadi korban pembantaian. Anggota KKO ini menganggap satuan-satuan RPKAD berada di belakang gerakan massa yang melakukan pembantaian.
Sepanjang yang bisa dicatat, peranan RPKAD di Jawa Timur sebenarnya tidak menonjol. Kesatuan ini muncul di Jawa Timur untuk ikut dalam Operasi Trisula, saat di wilayah tersebut terjadi gerakan-gerakan bersenjata PKI yang berskala lebih besar, terutama di wilayah Blitar Selatan (1966-1968). Di Jawa Tengah pun, meminjam paparan Ken Conboy mengenai peranan RPKAD di Jawa Tengah 1965-1966, peran itu lebih banyak sebagai katalis. RPKAD di bawah Sarwo Edhie Wibowo, memandang gerakan-gerakan bersenjata PKI bersama satuan-satuan militer pendukungnya adalah bagian dari suatu pemberontakan. Kedatangan RPKAD pada bagian awal diisi dengan upaya-upaya membangkitkan perlawanan rakyat yang tadinya merasa tak berdaya dalam cengkeraman ketakutan. Tak ada catatan kuat yang menunjukkan bahwa RPKAD secara teknis telah melakukan pembantaian. Pemaparan tentang adanya pembantaian oleh RPKAD, lebih banyak muncul sebagai kesimpulan berdasarkan kesan dari para penyampai narasi. Dan berlalunya waktu yang demikian panjang, telah menyebabkan berbagai distorsi tentang kebenaran, akibat berbagai kepentingan yang berbeda-beda. Itu sebabnya penting anjuran untuk menggali kebenaran sepenuhnya dengan keadilan sebanyak-banyaknya. Tidak boleh pilih-pilih tebu: Di masa Soeharto narasi peristiwa terlalu ke kanan, sementara di masa sesudahnya narasi peristiwa terlalu ke kiri. Dua-duanya sama buruknya. Bila kebenaran tak berhasil tergali sepenuhnya, maka keadilan juga takkan pernah terpenuhi sedekat-dekatnya.
Padang alang-alang di musim kemarau. Ketakutan rakyat di bagian akhir 1965 itu merupakan bagian yang tak terlepaskan dari cekaman ketakutan traumatis yang sudah mereka alami jauh sebelumnya. Suatu keadaan yang bermula sejak PKI dan organisasi-organisasi mantelnya intensif melakukan aksi-aksi sepihak, 1960-1965, mulai dari kampanye mengganggu kehidupan beragama masyarakat sampai kepada perampasan tanah-tanah milik orang lain. Situasi ini –sekali lagi dengan menggunakan sebuah metafora– adalah bagaikan padang alang-alang di musim kemarau, yang hanya membutuhkan sedikit percikan api, bisa segera menjelma sebagai padang kobaran api. Saat angin bertiup lebih kencang, kobaran api tak terkendalikan lagi membakar segala yang ada. Pohon jambu dan pohon mangga yang ada di tengah padang alang-alang itu, pun ikut terbakar.
Pola reaksi masyarakat yang menumpuk dendam berkepanjangan akibat kekerasan dan ketidakadilan, tak mudah diperkirakan seberapa besar skalanya. Tapi tak mungkin takkan meledak pada suatu waktu bila kesempatannya tiba. Sejarah telah mengajarkan hal itu. Pembalasan dalam konteks dendam sosial, tak sekedar mengikuti ‘mata dibayar mata’ dalam pola deret tambah, tetapi bisa lebih ekstrim dalam bentuk deret kali. Itu yang kita lihat telah terjadi setelah Peristiwa 30 September, pembalasan terhadap kekerasan PKI di masa sebelumnya telah diganjar dengan pembalasan dalam skala deret kali. Tetapi, sebaliknya, jangan kita lupakan, bahwa di sisi korban pada masa pembalasan itu –baik yang adalah anggota PKI maupun yang adalah korban akibat salah tunjuk– telah terakumulasi pula dendam baru sebagai dendam jilid dua. Dan dendam jilid dua itu belum terkanalisir dari periode pemerintahan yang satu ke periode pemerintahan yang lain selama puluhan tahun hingga kini. Dendam jilid dua ini takkan bisa diselesaikan dengan sekedar pernyataan maaf oleh pemerintah. Tetapi lebih dahulu harus dilakukan penggalian kebenaran sepenuhnya mengenai peristiwa. Dan untuk itu sudah terlalu banyak waktu yang disia-siakan. Ketidakcermatan memberi judgement sebelum ada penyelidikan kebenaran sesungguhnya, hanya akan menghasilkan lagi dendam jilid tiga.
Dendam jilid satu meledak sebagai suatu malapetaka sosial, yang antara lain diakibatkan oleh kegagalan Presiden Soekarno dalam memberikan solusi –misalnya, dengan segera membubarkan PKI. Dendam jilid dua diberi jalan untuk tercipta oleh pilihan Jenderal Soeharto melakukan penanganan security approach yang terlalu militeristik, secara berkepanjangan. Pola stigmatisasi yang dijalankan Presiden Soeharto kemudian sebagai lanjutan penanganan terhadap bekas-bekas anggota PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya yang juga tak kalah berkepanjangan di luar esensi persoalan, lebih memperpanjang lagi daftar kesalahan kekuasaan. Padahal, pers dan kalangan cendekiawan serta berbagai gerakan kritis telah memperingatkan rezim agar tak terlalu jauh bergelimang kesalahan penanganan, dan terjerumus melakukan pelanggaran hak azasi manusia, sepanjang itu semua masih menyangkut sesama bangsa sendiri.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 4.