Tag Archives: CC PKI

Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (3)

MENJELANG kedatangan pasukan RPKAD –yang kekuatannya hanya dalam hitungan kompi– di beberapa kota Jawa Tengah, sejumlah tokoh CC PKI yang sudah berada di propinsi itu mengorganisir massa bersenjata. Penuh percaya diri PKI memasang spanduk di beberapa kota, di Solo misalnya, yang berbunyi “Jadikan Solo kuburan bagi RPKAD”. PKI memang memiliki keyakinan bahwa Jawa Tengah, dengan dukungan satuan-satuan Diponegoro yang ada di bawah pengaruhnya, akan bisa dipertahankan.

RPKAD DALAM PROFIL BARU SEBAGAI KOPASSUS. “Sepanjang yang bisa dicatat, peranan RPKAD di Jawa Timur tidak menonjol. Kesatuan ini muncul di Jawa Timur untuk ikut dalam Operasi Trisula, saat di wilayah tersebut terjadi gerakan-gerakan bersenjata PKI yang berskala lebih besar, terutama di wilayah Blitar Selatan (1966-1968). Di Jawa Tengah pun, meminjam paparan Ken Conboy mengenai peranan RPKAD di Jawa Tengah 1965-1966, peran itu lebih banyak sebagai katalis”. (download flickr)

            Sejumlah tanda tanya mengenai Divisi Brawijaya. SITUASI penuh tanda tanya tentang ‘kebersihan’ Kodam Brawijaya di Jawa Timur, tahun 1965, sementara itu, tidak berbeda jauh dengan Kodam Diponegoro. Mayor Jenderal Basoeki Rachmat yang memimpin divisi Brawijaya kala itu, termasuk satu di antara sejumlah jenderal yang dianggap sebagai de beste zonen van Soekarno, bersama antara lain Jenderal Muhammad Jusuf, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Amirmahmud. Namun, meski dekat dengan Soekarno yang banyak memberi angin kepada PKI, Basoeki Rachmat tetap dikategorikan sebagai seorang jenderal anti komunis. Presiden Soekarno menganggap sikap anti komunis itu adalah akibat pengaruh Jenderal Nasution. Itu sebabnya, Soekarno merasa kurang gembira setiap kali mengetahui Basoeki Rachmat ‘terlalu’ banyak bertemu dengan AH Nasution. Bila Jenderal AH Nasution berkunjung ke Jawa Timur, selaku Menko/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, tentu saja sebagai Panglima Daerah Jenderal Basoeki Rachmat harus mendampingi.

Akan tetapi, meskipun anti komunis, sebagai Panglima Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rachmat kurang berhasil membendung pengaruh PKI di kalangan perwira-perwira bawahannya. Walau tak pernah dipetakan dengan baik, diketahui setidaknya lebih dari separuh komandan-komandan batalion di Divisi Brawijaya berada dalam pengaruh Continue reading Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966 (3)

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (1)

TUJUH hari terakhir bulan September 1965 –46 tahun yang silam– sebenarnya terisi dengan hal-hal tak menyenangkan. Seakan ada ‘awan panas’ menggantung di langit Jakarta. Banyak tokoh dalam kekuasaan negara dan politik, merasakan suasana tak enak itu. Mereka mengetahui banyak hal yang berbahaya, berdasarkan sejumlah informasi yang sebenarnya sudah mereka terima jauh hari sebelumnya. Dan dalam keadaan demikian semestinya banyak hal baik yang bisa dan perlu dilakukan bila mengetahui sesuatu, untuk keselamatan negara, namun justru tidak dilakukan. Untuk sebagian, seakan naluri dan kemampuan analisa sedang tumpul, sedang untuk sebagian lainnya yang tumpul adalah hati nurani dan lebih suka ‘menunggu’ demi kepentingan tertentu. Atau, di satu pihak memang terlibat dalam perencanaan tertentu, dan pada pihak lainnya menanti namun mempersiapkan gerak antisipasi, dalam satu bingkai pertarungan kekuasaan.

Sebagian terbesar rakyat yang kala itu telah sangat menderita dalam himpitan ekonomi, oleh kenaikan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang meluncur ke atas karena inflasi yang tak terkendali, takkan mungkin punya waktu untuk memahami situasi. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, sebagian rakyat lainnya pada satu sisi termobilisasi oleh para pemimpinnya dalam gerakan-gerakan ‘revolusioner’ untuk menekan ‘lawan’, sedang pada sisi lain adalah mereka yang ada dalam tekanan kuat penganiayaan politik tersebut. Agaknya, sejarah sedang mencari dan menemukan jalannya sendiri saat itu menuju pintu malapetaka.

Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, hari Selasa 28 September 1965, menyempatkan diri memberikan ceramah –sebenarnya lebih menyerupai suatu briefing – di hadapan ibu-ibu anggota Persit (Persatuan Isteri Tentara). Tidak seperti pada ceramah-ceramah sebelumnya, kali ini Jenderal Yani, memberikan informasi yang lebih mendalam tentang perkembangan kehidupan politik dan kenegaraan saat itu. Dengan ceramah itu, para isteri perwira tinggi dan perwira teras lainnya, dapat mengetahui tentang meningkatnya suhu ketegangan politik “akhir-akhir ini” terkait dengan tuduhan-tuduhan kelompok politik kiri terhadap Angkatan Darat yang dituding “bersikap melawan” terhadap Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Bahkan, lebih dari sekedar melawan, para jenderal dituduh mempersiapkan suatu pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Bersamaan dengan itu, kaum kiri melontarkan pernyataan-pernyataan provokatif dengan suatu pengibaratan tentang Ibu Pertiwi yang sedang hamil tua. Pengibaratan hamil tua itu sendiri bisa menimbulkan tafsiran berbeda, bayi apa yang akan dilahirkan nanti? Tersirat pula kekuatiran tentang lebih percayanya Presiden kepada partai-partai kiri daripada ke Angkatan Darat. Siti Suhartinah Soeharto –isteri Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)– mengaku bahwa sebelumnya ia tidak begitu mengerti mengenai keadaan negara waktu itu. “Saya baru mengerti setelah pak Yani memberikan ceramah. Pak Yani menceritakan berbagai hal tentang keadaan negara kita. Jadi, saya merasa terkejut waktu itu. Sebagai isteri tentara, saya belum pernah dibriefing mengenai politik yang bergejolak di negara kita. Dan suami saya pun tidak pernah memberi penjelasan seperti itu” tuturnya kepada Sarwono Kusumaatmadja dan Rum Aly 10 Maret 1986 di Cendana.

Ceramah Letnan Jenderal Ahmad Yani yang sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan di kalangan keluarga tentara, secara umum ternyata juga menimbulkan kecemasan tertentu di kalangan para isteri perwira. Apalagi pada waktu itu beberapa isteri perwira sedikit banyaknya sudah mendengar dari para suami maupun dalam percakapan sesama mereka, suatu desas-desus tentang adanya rencana penculikan atas diri sejumlah perwira tinggi. Kekuatiran para isteri ini, diperkuat oleh adanya penawaran dari Markas Besar Angkatan Darat untuk menambah pengawalan di rumah kediaman para perwira tinggi yang sudah ada pengawalannya, dan memberi pengawalan bagi mereka yang selama ini belum dikawal. Sebagian perwira menerima tawaran ini, tetapi sebagian lainnya lagi merasa tidak memerlukannya. Letnan Jenderal Yani, termasuk yang menolak penambahan pengawalan. Sementara itu, perwira teras lainnya yang menolak tawaran pengawalan di rumahnya, di antaranya adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Mayjen Soewondo Parman, Brigjen Donald Izacus Pandjaitan dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.

Di meja Jenderal Ahmad Yani pada sekitar hari-hari itu telah bertumpuk sejumlah laporan intelijen, baik mengenai ucapan-ucapan yang bernada ofensif dan insinuatif dari sejumlah tokoh PKI maupun mengenai adanya rencana-rencana gerakan tertentu, berjalan dua arah, yang menghendaki perubahan kekuasaan. Secara khusus, ada gerakan-gerakan yang ditujukan kepada para pimpinan Angkatan Darat, bersamaan dengan tuduhan bahwa para jenderal ingin mengambilalih kekuasaan negara dari Soekarno. Ahmad Yani sudah tahu gambaran situasi setidaknya pada dua bulan terakhir, yang bermula dengan kabar terjadinya gangguan serius kesehatan Bung Karno sejak Agustus. Kabar tentang kesehatan Soekarno yang memburuk ini, sebenarnya agak di blow up, tetapi cukup menarik bahwa justru gambaran buruk tentang kesehatan Soekarno itu dibiarkan beredar oleh semua pihak tanpa penjelasan apa pun dari pihak mana pun tentang keadaan sesungguhnya. Bahkan, terkesan silang informasi tentang memburuknya kesehatan Bung Karno itu ‘dipelihara’ oleh lebih dari satu pihak untuk kepentingannya masing-masing.

Terlepas dari isu soal kesehatan Soekarno, Letnan Jenderal Ahmad Yani yang memperkirakan bahwa Soekarno belakangan boleh jadi kurang menyenangi dirinya karena penolakannya terhadap ide Angkatan Kelima –yang dikonotasikan sebagai mempersenjatai kaum buruh dan tani– merasa masih akan bisa meyakinkan Soekarno bahwa ia tetap loyal kepada sang pemimpin besar. Ini terbukti kemudian, ketika Kamis malam 30 September 1965, saat Brigadir Jenderal RH Sugandhi menelepon menyampaikan suatu laporan ‘unik’ kepada dirinya. Sugandhi adalah bekas pengawal Presiden Soekarno sejak masih perwira muda berusia 23 tahun dan kemudian diangkat sebagai ajudan Presiden hingga tahun 1960. Seluruhnya ia mendampingi Soekarno hampir lima belas tahun lamanya, sehingga kedekatannya dengan sang pemimpin tak diragukan lagi. Pada tahun 1965 itu Sugandhi ‘bertugas’ sebagai anggota DPRGR/MPRS, sejak pengangkatannya di tahun 1963. Selain itu ia memimpin sebuah koran milik Angkatan Bersenjata dengan nama serupa, disamping sebagai Kepala Pusat Penerangan Angkatan Bersenjata.

Di kamar tidur Soekarno. Sebelum melapor kepada Jenderal Yani, pagi hari 30 September itu Sugandhi telah bertemu dengan Soekarno dan diterima di ruang duduk kamar tidur sang Presiden. Masuk ke ruang tidur Soekarno sekalipun bukan lagi hal yang luar biasa bagi Sugandhi, karena sebagai mantan pengawal dan ajudan selama belasan tahun, telah terjalin keakraban, dan ia kerap pula menjalankan tugas-tugas tertentu dalam kehidupan pribadi yang khusus dari sang Presiden –di luar urusan kenegaraan– termasuk di malam hari. Karena tugas-tugas pribadi yang khusus seperti itu pulalah Sugandhi, seperti halnya kemudian Brigjen Sabur dan yang lain-lain, memiliki keakraban dan keleluasaan khusus pula dengan sang Presiden. Apalagi sang Presiden bukanlah seorang yang terlalu menutupi hal-hal pribadinya yang semestinya amat khusus itu. Kendati tidak lagi bertugas sebagai ajudan, Sugandhi tetap cukup sering bertemu dengan Soekarno, baik karena ia memang memelihara hubungan itu, maupun karena ia pun kerap dipanggil Soekarno untuk berbagai keperluan yang kebanyakan berkategori ‘tetek bengek’ di luar urusan kenegaraan.

Sebelumnya lagi, Senin 27 September 1965, Brigjen Sugandhi berpapasan di Istana dengan Ir Sudisman Sekertaris Jenderal CC PKI. Dengan sedikit sengaja –ini suatu hal yang menarik dan bagi banyak orang bisa menimbulkan tanda tanya– menjawab pertanyaan Sugandhi tentang peningkatan gerak offensif revolusioner PKI, Sudisman menyampaikan kepada Sugandhi bahwa dalam waktu dekat PKI akan memberikan ‘pukulan’ sebagai pelajaran terhadap para pimpinan Angkatan Darat. Sudisman sekaligus mengajak Sugandhi untuk ikut saja dalam gerakan memberi pelajaran itu, karena ia adalah orang yang tergolong dekat Presiden dan Soekarno sendiri telah menyetujui Angkatan Darat diberi pelajaran. Dipa Nusantara Aidit Ketua Umum PKI yang beberapa saat kemudian juga muncul di tempat itu, memperkuat dan mengulangi penyampaian Sudisman. Ketika Sugandhi menggunakan istilah coup menanggapi rencana ‘pemberian pelajaran’ itu, Aidit menyergah, agar Sugandhi jangan mengunakan istilah ‘jahat’ seperti itu. Sugandhi memerlukan sekitar 72 jam lamanya untuk memikirkan, mencerna dan menafsirkan penyampaian by accident Sudisman dan Aidit ini. Sebenarnya, bagi Sugandhi bukan hal yang terlalu luar biasa bila tokoh-tokoh puncak PKI itu melontarkan ucapan-ucapan provokatif seperti itu, khususnya mengenai Angkatan Darat, kepada dirinya. Lebih dari sekali, bila bertemu dengan dirinya di istana, mereka melakukan hal serupa mengenai apa saja yang bernada mengejek mengenai Angkatan Darat, termasuk mengenai gaya hidup ‘burjuis’ para jenderal Angkatan Darat. Pernah pula para tokoh PKI itu menyindir perilaku asmara beberapa jenderal pimpinan AD itu di depan Sugandhi. Namun, ketika Sugandhi mengingatkan jangan bicara soal asmara seperti itu di Istana, nanti ‘Bapak’ –maksudnya, Presiden Soekarno– ikut tersinggung kalau mendengar, para tokoh PKI itu segera diam. Tapi asmara rupanya tidak kenal ideologi, karena tokoh PKI Nyoto pun saat itu sedang dilanda asmara, punya hubungan khusus dengan seorang wanita Rusia yang bekerja di Kedutaan Besar RI di Moskow, sehingga Aidit merasa perlu menegurnya. Jadi, ‘bercanda’ seperti yang terjadi di istana Senin 27 September itu, atau apapun namanya, termasuk biasa bagi Sugandhi dan para tokoh pengunjung Istana tersebut. Terlebih-lebih bila itu menyangkut Sudisman yang memang agak ‘akrab’ –karena sering bertemu dengan Sugandhi di Istana atau berbagai acara lainnya– dan dianggap Sugandhi mulutnya ‘gatelan’. Sebenarnya, Laksamana Madya Udara Omar Dhani, Menteri Panglima Angkatan Udara, pun tak luput menjadi sasaran Sudisman. Omar Dhani yang ganteng itu dianggapnya lebih cocok jadi bintang film saja daripada jadi Panglima, “untungnya, masih berjiwa progresif revolusioner”. Karena seringnya mendengar ‘ejekan’ Sudisman, Sugandhi pun tak segan-segan ‘menyerang’ balik, seperti pada 27 September itu. “Kalian akan digulung dan ditumpas Angkatan Darat, kalau berani”. Sugandhi dalam batas tertentu sebenarnya masih menganggap ‘ejek-mengejek’ itu cukup biasa, setengah bercanda setengah serius dalam lingkup batas di antara dua orang yang sudah lama saling kenal –karena sama-sama ada di sekitar Soekarno– yang ‘serupa’ tapi tak sama posisi pijaknya.

Meskipun demikian, setelah kurang lebih 72 jam, Sugandhi merasa perlu juga menyampaikan ucapan Sudisman dan Aidit itu kepada Bung Karno, di kamar tidur sang Presiden pada pagi hari 30 September 1965 itu. Soekarno dengan nada yang dianggap ‘sok marah’ oleh Sugandhi, menegurnya untuk tidak usah mencampuri urusan tingkat tinggi seperti itu, apalagi ketika Sugandhi menyampaikan bahwa Yani itu loyal kepada Panglima Tertinggi. Soekarno menyatakan, hanya mau memberi sedikit pelajaran kepada Yani yang belakangan suka membandel terhadap dirinya. Soekarno juga mengatakan, besok akan ‘menegur’ Yani. PKI itu, kata Soekarno, bisa diaturnya. Tapi lama-lama, bapak yang diatur mereka, jawab Sugandhi yang membuat Soekarno menghardiknya untuk diam dan segera pergi kalau tak mau ditempeleng sampai pingsan. Ucapan seperti ‘ta tempeleng kowe’ dari Soekarno merupakan ucapan yang sudah akrab bagi telinga Sugandhi.

Berlanjut ke Bagian 2

Negara Islam Indonesia: Dari Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar Hingga Abu Bakar Ba’asyir (2)

PENGARUH Abdullah Sungkar dan Abu Bakar B’asyir yang besar dalam gerakan NII, menjadi faktor mengapa rezim Soeharto memburu mereka. Menyusul penangkapan mereka pada pada tahun 1978, seperti dipaparkan Dr Noorhaidi Hasan, beberapa aksi kekerasan  yang dilakukan unsur-unsur NII meletus, di antaranya yang dikenal sebagai Teror Warman. Apakah kini, saat Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dan diadili, NII juga bisa dihubungkan dengan meningkatnya pelbagai aksi teror bom belakangan ini? Di dalam persidangan pekan ini, Ba’asyir menampik hubungan dirinya dengan aksi-aksi teror itu. Ia juga sempat mengomentari bahwa bom diri di Masjid Kompleks Mapolresta Cirebon sebagai perbuatan orang gila.

Pada penghujung 1970-an dan awal 1980-an, menurut catatan Dr Petrus R. Golose, terjadi sejumlah aksi terorisme, dikaitkan dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai Komando Jihad. Dua pimpinan Komando Jihad berhasil ditangkap, yakni Haji Ismail Pranoto alias Hispran dan Haji Danu Mohammad Hasan. Keduanya adalah orang dekat SM Kartosoewirjo. Pada tahun 1983, Haji Danu mengungkapkan pengakuan di depan pengadilan bahwa ia direkrut oleh Bakin (Badan Koordinasi Intelejen). Sementara Jaksa mengemukakan bahwa antara 1970 dan 1977, Haji Danu beserta tujuh orang lainnya telah membentuk struktur administratif yang paralel dengan Darul Islam. Haji Danu akhirnya dijatuhi hukuman penjara. Dalam pada itu, Haji Ismail, yang adalah salah seorang Komandan Tentara Islam Indonesia (TII) di masa Kartosoewirjo, lebih dulu ditangkap pada 8 Januari 1977 dan diadili September 1978 dengan tuduhan berupaya membentuk kembali Darul Islam sejak tahun 1970 untuk menggulingkan pemerintah. Hispran dihukum penjara seumur hidup dan meninggal dalam penjara 1995.

SM KARTOSOEWIRJO. “Sungguh ironis, bahwa sepanjang sejarahnya, upaya mendirikan Negara Islam Indonesia, senantiasa penuh kekerasan tak manusiawi dalam gelimangan darah dengan pengatasnamaan diriNya”.

Komando Jihad di bawah pimpinan Warman melakukan aksi pertamanya di bulan Januari 1979 dengan membunuh Parmanto MA, Rektor Universitas Sebelas Maret, Solo. Menurut dokumen pengadilan, korban dibunuh lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiyah kepada kalangan penguasa, dan karena itu bertanggungjawab atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Komando Jihad juga melakukan berbagai aksi terorisme antara lain peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla di tahun 1981 dan Bom Borobudur di tahun 1985. Peristiwa Woyla menarik perhatian khusus, karena ia sempat dikaitkan dengan suatu rekayasa intelejen.

Menurut kisah belakang layar, para Komando Jihad itu disusupi operasi intelejen di bawah arahan Letnan Jenderal Benny Moerdani untuk suatu penciptaan situasi politik untuk kepentingan tertentu, lalu dibasmi tatkala mendarat di Bandara Don Muang Bangkok. Komandan suatu satuan Pasukan Khusus Anti Teror yang menyerbu, Letnan Kolonel Sintong Pandjaitan, pun agaknya tidak mengetahui adanya operasi intelejen di balik peristiwa itu. Dalam operasi pembebasan Woyla, ia kehilangan seorang anak buah, Peltu Ahmad Kirang. Bersama perwira itu, juga tewas Captain Pilot Garuda, Herman Rante. Sementara itu lima pembajak, Mahrizal, Abu Sofyan, Abdullah Mulyono, Wendi Mohammad Zein dan Zulfikar, tewas seluruhnya.

Salah satu daerah yang turut serta dalam upaya itu, adalah Sulawesi Selatan, yang dulu merupakan salah satu daerah basis DI/TII di bawah Kahar Muzakkar. Adalah menarik bahwa salah satu putera Kahar Muzakkar menjadi pendukung gerakan perjuangan syariat Islam di Sulawesi Selatan ini. Keikutsertaan Kahar Muzakkar sendiri dalam DI/TII pada awalnya tidaklah bertitiktolak pada suatu cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia. Bahkan pada awal perlawanannya terhadap pemerintah pusat, karena suatu kekecewaan pribadi akibat janji yang tidak ditepati, Kahar sempat menghadapi pilihan ideologis bagi perjuangannya, apakah memakai komunisme sebagai pilihan pertama atau ideologi Islam sebagai pilihan kedua. Kahar adalah tokoh yang semasa perjuangan gerilya melawan tentara pendudukan Belanda 1945-1949 di pulau Jawa, mempunyai kedekatan dengan beberapa perwira yang ‘berhaluan’ komunis. Bagi teman-teman perwiranya itu, Kahar potensil untuk diajak ‘berjuang’ karena memiliki dan meyakini tema keadilan sosial sebagai dasar perjuangan yang kuat. Selain itu, Kahar Muzakkar pernah bertugas di bawah komando dua perwira yang dikenal berideologi komunis.

Untuk beberapa lama, sebelum pada akhirnya menyatakan diri bergabung dengan DI/TII dan menjadikan Sulawesi Selatan sebagai bagian NII-nya SM Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar tergambarkan memiliki ketertarikan kepada komunisme sebagai dasar perjuangan. Bahkan, menurut Barbara Sillars Harvey –dalam bukunya “Pemberontakan Kahar Muzakkar”– ada kecenderungan kuat Kahar menggunakan komunisme sebagai ideologi perjuangannya. Seorang mantan perwira TNI yang terlibat dalam Pemberontakan Madiun 1948, ex Mayor Kadarisman dengan nama samaran Pitojo datang dari Jawa bersama kurir Kahar Muzakkar dan beberapa lama bergerak di Sulawesi Selatan untuk kepentingan Kahar. Bersamaan dengan itu didatangkan pula seorang kader komunis lainnya bernama Jusuf Karnain untuk tugas ganda, membantu Kahar sekaligus untuk kepentingan CC (Comite Central) PKI. Akan tetapi, sejumlah rekan bersenjatanya yang menjadi pengikutnya, terutama Bahar Mattalioe, dengan tegas mengingatkan bahwa Kahar akan kehilangan dukungan di Sulawesi Selatan bilamana memilih komunisme sebagai dasar perjuangan. Kahar juga memperhitungkan faktor bangsawan Sulawesi Selatan yang kendati cukup setuju dengan tema keadilan sosial, dan tidak selalu menjalankan syariat Islam dengan cara yang sempurna –mirip gaya kaum Islam abangan di pulau Jawa– namun tidak menyukai komunisme.

Kahar Muzakkar akhirnya memilih bergabung dengan NII-nya Kartosoewirjo. Tatkala pada akhirnya ideologi Islam itu menjadi pilihan Kahar Muzakkar, dua kader PKI dari pulau Jawa, Kadarisman alias Pitojo dan Jusuf Karnain, diam-diam dieksekusi mati. Sebaliknya, dua perwira TKR yang menjadi pengikutnya, Osman Balo dan Usman Hamid, tak menyetujui pilihan pada ideologi Islam, meskipun juga tak tertarik pada ideologi komunis. Bersama pasukannya, keduanya meninggalkan Kahar dan bergerak terpisah. Selama beberapa tahun mereka berdua dan pasukannya menjadi satu di antara banyak beban keamanan yang harus dipikul rakyat Sulawesi Selatan. Pasukan Osman Balo adalah teror yang sungguh mencekam rakyat di wilayah gerakannya. Merampas nyawa, merampas harta benda dan menjadi sumber ketakutan mental tiada tara bagi mereka yang punya anak gadis atau isteri yang rupawan. Meskipun sama kejamnya, pasukan Kahar Muzakkar, masih bisa menahan diri karena menyandang nama Islam. Anggota DI/TII misalnya tak pernah melakukan perkosaan brutal terhadap perempuan, karena merupakan perbuatan zina. Mereka membatasi diri, dengan hanya ‘membawa’ perempuan-perempuan itu ke dalam hutan untuk dinikahi secara Islam, maksimal 4 orang. Tak pernah ada yang menolak, selalu setuju. Karena takut dan tak berdaya, tentu saja. Jadi, esensinya sama saja.

SUNGGUH ironis, bahwa sepanjang sejarahnya, upaya mendirikan Negara Islam Indonesia, senantiasa penuh kekerasan tak manusiawi dalam gelimangan darah dengan pengatasnamaan diriNya yang sesungguhnya pengasih lagi penyayang.

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (1)

“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”. Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”.

LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern. Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini.

Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan ‘kekuatan politik’ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.

Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka berkesempatan mendapat dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam karena pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian darah dan pertalian kepentingan yang diwariskan.

Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah pembunuhan keji itu terjadi,  menyusul pula rentetan pembunuhan massal –siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun– terhadap sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.

Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?

Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”. Sebuah peristiwa yang merupakan resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam masyarakat kala itu, yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga tersembuhkan.

Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke kota-kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama kantor-kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‘meringkus’ untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.

Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun 1960-an, “Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh”. Kebetulan politbiro PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah menegur.

Fase berdarah babak kedua

RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat tugas lanjutan untuk melakukan penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama  di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah. Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.

Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang pembalasan yang paling parah di Pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi-organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis adalah massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.

Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya adalah pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‘majikan’ yang umumnya adalah warga PNI.

Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu langsung tentang sikap provokatif dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan serangan-serangan politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik yang menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun telah mengakumulasi kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi mantelnya seperti BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa lama.

Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata-kata “Teruslah kalian mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka”. Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah menjalani latihan militer.

Berlanjut ke Bagian 2

Dipa Nusantara Aidit: Mengibarkan Bendera Merah (2)

Menurut Barbara Sillars Harvey, pernah ada kecenderungan kuat Kahar Muzakkar menggunakan komunisme sebagai ideologi perjuangannya. “Akan tetapi sejumlah rekan bersenjatanya yang menjadi pengikutnya, terutama Bahar Mattalioe, dengan tegas menyatakan bahwa Kahar akan kehilangan dukungan di Sulawesi Selatan bilamana memilih komunisme sebagai dasar perjuangan”.

DENGAN ‘penyelamatan’ Amir Sjarifuddin oleh Soekarno, Gerindo yang menjadi mata rantai ‘sejarah’ penyambung antara PKI masa kolonial dengan PKI setelah proklamasi, luput dari ‘malapetaka’ menjadi ‘hantu tak berkepala’ yang membawa rasa penasaran politik.

PKI sendiri lahir dari dua ‘cikal bakal’ dalam khazanah sejarah politik Indonesia, dari dua kutub ideologi yang dianggap bertolakbelakang, yakni ideologi komunis dan ideologi Islam. Marxisme yang menjadi landasan utama ideologi komunis, masuk pertama kali secara formal dalam kehidupan politik Indonesia di bulan Mei 1914 yakni tahun awal berkecamuknya Perang Dunia I di Eropah. Pada bulan Mei itu tiga orang keturunan Belanda bernama Sneeveliet bersama Bransteder dan Bergsma mendirikan di Semarang suatu organisasi yang bernama ISDV (Indische Sociale Demokratische Vereniging).

Organisasi ini secara resmi menyebutkan Marxisme sebagai landasan politiknya. Kendati komunisme adalah suatu ideologi internasional yang kala itu mulai dan telah menghadirkan banyak gejala serta fakta pertikaian politik di berbagai belahan dunia, Pemerintah kolonial Belanda masih lebih bisa menerima kehadiran ISDV yang Marxist ini dibandingkan dengan Indische Partij yang didirikan hampir dua tahun sebelumnya, 25 Desember 1912, oleh Douwes Dekker, yang juga keturunan Belanda. Masalahnya, dibandingkan dengan ISDV, Indische Partij dianggap akan lebih menimbulkan gangguan bagi ketertiban umum dan keamanan Hindia Belanda, karena sifat radikalnya menunjukkan perpihakan yang dalam terhadap nasib rakyat tanah jajahan. Bagi Belanda, kehadiran Sarekat Islam setahun sebelumnya, sudah lebih dari cukup untuk dicemaskan, apalagi dengan kemunculan Indische Partij yang menekankan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia yang terjajah.

Pendiri Sarekat Islam adalah Haji Samanhudi, namun barulah pada masa kepemimpinan HOS (Hadji Oemar Said) Tjokroaminoto organisasi ini lebih menarik perhatian. Adalah pada masa HOS Tjokroaminoto, Sarekat Islam menampakkan ciri yang jelas sebagai satu partai politik. Bukan sekedar suatu sarekat masyarakat dan kaum dagang yang ingin mengatasi dominasi keturunan Cina dalam ekonomi, melainkan lebih luas sebagai kekuatan politik untuk melawan arogansi rasial Belanda (dan juga Vreemde Oosterlingen, keturunan Cina dan Arab, yang ditempatkan sebagai bumper oleh pemerintah kolonial) serta kecurangan dan penindasan penguasa.

Sarekat Islam maupun Indische Partij senasib, sama-sama ditolak oleh penguasa kolonial untuk disahkan sebagai suatu badan hukum. Namun, Sarekat Islam memiliki nasib dan catatan sejarah yang berbeda dan amat khas. Di dalam tubuhnya, setidaknya terdapat  tiga pengelompokan utama, yang akan sangat mewarnai corak kehidupan politik Indonesia kelak. Kelompok pertama, adalah kelompok nasional yang berwawasan luas dan umum. Dua kelompok lainnya, berbeda. Sebagai kelompok kedua, adalah mereka yang memiliki sikap dan haluan Islam radikal dan sekaligus fanatik. Mereka yang berkecenderungan berhaluan komunis, menjadi kelompok ketiga. Dari induk yang bernama Sarekat Islam ini kemudian lahir kekuatan-kekuatan politik baru melalui pemisahan diri. Dan, dari kelompok Islam radikal dan fanatik, muncul seorang tokoh bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang memisahkan diri pada tahun 1938 –pemisahan keempat atau yang terakhir– dengan membentuk Komite Pembela Kebenaran Sarekat Islam.

Di kemudian hari, SM Kartosoewirjo melangkah lebih jauh dan pada akhirnya melahirkan DI-TII dan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Pemisahan pertama berlangsung tahun 1923, yaitu oleh Sarekat Islam Merah dengan tokoh utama Semaun dan Darsono.  Di antara kedua pemisahan, terjadi pemisahan kedua dan ketiga, yang menghasilkan Partai Politik Islam Indonesia (Parli) dan Penyedar yang moderat dan kooperatif (dengan tokoh Hadji Agoes Salim).

Pemisahan diri Sarekat Islam Merah, tak terjadi begitu saja. Sejak tahun 1917, Semaun dan Darsono didekati oleh Partai Marxist ISDV, dan mulai saat itu terjalin kontak-kontak yang intensif. Suatu proses ketertarikan terjadi atas diri dua tokoh yang ‘awal’nya Islami ini, demikian pula sejumlah tokoh lain yang dekat dengan keduanya, dan sekaligus menandai awal pengaruh komunisme dalam tubuh Sarekat Islam yang kemudian mendapat penamaan Sarekat Islam Merah. Setelah hampir tiga tahun dalam proses close encounter, Sarekat Islam Merah bergabung dengan ISDV dan menghasilkan Partai Komunis Indonesia yang resmi berdiri 23 Mei 1920, dengan Semaun sebagai Ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua. PKI, dengan demikian lebih tua setahun dari Partai Komunis Cina, yang didirikan pada tahun 1921 oleh kelompok petani dan pekerja militan bersama sejumlah sarjana yang beraliran kiri –salah satu diantara pendiri adalah Mao Zedong (Mao Tsetung) yang berpendidikan campuran barat dan Cina klasik, dan pernah menjadi guru serta editor suratkabar.

Selama tiga tahun, Semaun dan Darsono, menjalani kehidupan politik ganda, dengan sebelah kaki di PKI dan sebelah kaki lainnya masih di Sarekat Islam. Namun kehidupan ganda itu berakhir setelah adanya semacam ‘penegakan disiplin’ dalam tubuh Sarekat Islam, sehingga Semaun dan Darsono keluar dari Sarekat Islam. Rusli Karim dalam bukunya mengenai sejarah kepartaian, menggambarkan “Pertentangan antara dua kubu utama Sarekat Islam, yakni Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah, yang selama ini dapat ditutupi, akhirnya tak terbendung lagi setelah diadakannya Kongres PKI pertama di Semarang pada tanggal 24-25 Desember 1921. Ini dapat dimaklumi, mengingat sejak 24 Desember 1920 PKI berafiliasi dengan Komunis Internasional yang anti Pan-Islamisme”.

Terhadap penegakan ‘disiplin partai’ dalam tubuh Sarekat Islam, Tan Malaka sempat menghimbau Sarekat Islam untuk tidak usah mengenakannya atas diri Semaun-Darsono dan kawan-kawan, mengingat bahwa unsur merah dalam Sarekat Islam (serta PKI) sejak semula dapat berjalan bersama dengan perjuangan Islam. Sebaliknya ke dalam tubuh partai, Tan Malaka, mengeritik sikap anti Sarekat Islam yang berlebih-lebihan. Lebih dari itu, pada suatu pertemuan Komintern, Tan Malaka dengan tajam mengeritik kekeliruan Komintern yang bersikap anti kepada PanIslamic sebagai kegagalan membaca situasi global.

Adalah menarik untuk telaah lanjut, apakah semacam kebersamaan dalam perjuangan seperti yang digambarkan Tan Malaka itu memang cukup kuat keberadaannya, setidaknya dalam konteks hubungan manusiawi antar tokoh dalam Sarekat Islam ? Nyatanya di kemudian hari, tatkala SM Kartosoewirjo telah membentuk DI-TII, ada saat di mana ia bisa bersentuhan dengan baik dan melakukan kerjasama tertentu dengan tokoh-tokoh PKI.

Hal serupa, suatu kontak dan persentuhan yang nyaman, pernah terjadi antara Kahar Muzakkar, tokoh DI-TII Sulawesi Selatan dengan tokoh-tokoh komunis. Bahkan, pada awal perlawanannya terhadap pemerintah pusat, Kahar sempat menghadapi pilihan ‘ideologis’ bagi perjuangannya, apakah memakai komunisme atau ideologi Islam. Kahar ini adalah tokoh yang semasa perjuangannya di pulau Jawa mempunyai kedekatan dengan beberapa perwira yang ‘berhaluan’ komunis, dan bagi teman-temannya itu Kahar potensil untuk diajak ‘berjuang’ karena memiliki dan meyakini tema keadilan sosial sebagai dasar perjuangan yang kuat. Selain itu, ia pernah bertugas di bawah komando dua perwira yang dikenal berideologi komunis. Untuk beberapa lama, sebelum pada akhirnya menyatakan diri bergabung dengan DI-TII dan menjadikan Sulawesi Selatan sebagai bagian NII-nya Kartosoewirjo, Kahar tergambarkan memiliki ketertarikan kepada komunisme sebagai dasar perjuangan.

Bahkan, menurut Barbara Sillars Harvey –dalam bukunya ‘Pemberontakan Kahar Muzakkar’– pernah ada kecenderungan kuat Kahar menggunakan komunisme sebagai ideologi perjuangannya. Seorang mantan perwira TNI yang terlibat Peristiwa Madiun 1948, eks Mayor Kadarisman dengan nama samaran Pitojo datang dari Jawa bersama kurir Kahar dan untuk seberapa lama bergerak di Sulawesi Selatan untuk kepentingan Kahar. Bersamaan dengan itu didatangkan pula seorang kader komunis lainnya bernama Jusuf Karnain untuk tugas ganda, membantu Kahar sekaligus untuk kepentingan CC (Comite Central) PKI. Akan tetapi sejumlah rekan bersenjatanya yang menjadi pengikutnya, terutama Bahar Mattalioe, dengan tegas menyatakan bahwa Kahar akan kehilangan dukungan di Sulawesi Selatan bilamana memilih komunisme sebagai dasar perjuangan.

Kahar juga memperhitungkan faktor bangsawan Sulawesi Selatan yang kendati setuju dengan tema keadilan sosial, dan tidak selalu menjalankan syariah Islam dengan cara yang sempurna (mirip gaya kaum Islam abangan di pulau Jawa), namun tidak menyukai komunisme. Para bangsawan Sulawesi Selatan, jauh lebih menyukai menjadi anggota PNI daripada menjadi PKI, sehingga PNI merupakan salah satu partai yang kuat di daerah ini. Kahar akhirnya memilih ideologi Islam sebagai dasar perjuangannya. Tetapi selain oleh tokoh-tokoh PKI –disebutkan antara lain nama Salawati Daud, seorang tokoh wanita beraliran kiri yang di belakang hari dicalonkan PKI dalam Pemilihan Umum 1955– Kahar juga memang didekati dan coba dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Masjumi, namun bukan karena pengaruh yang disebut terakhir inilah Kahar akhirnya memilih bergabung dengan NII-nya Kartosoewirjo dan mengibarkan ideologi Islam dalam perlawanannya terhadap pemerintah pusat.

Tatkala pada akhirnya ideologi Islam itu menjadi pilihan Kahar Muzakkar, dua kader PKI dari pulau Jawa, Kadarisman alias Pitojo dan Jusuf Kurnain, diam-diam dieksekusi mati. Pada sisi lain, pilihan Kahar Muzakkar atas ideologi Islam tak disetujui oleh dua perwira TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pengikutnya, Osman Balo dan Hamid Ali. Tapi mereka pun tak tertarik kepada ideologi komunis. Mereka ini kemudian bergerak terpisah dari Kahar, dan selama beberapa tahun lamanya pasukan bersenjata mereka menjadi pula beban keamanan yang berat yang harus dipikul rakyat di Sulawesi Selatan. Osman Balo dan pasukannya adalah teror yang sungguh mencekam rakyat di wilayah gerakannya. Merampas nyawa, merampas harta benda dan sumber ketakutan mental tiada tara bagi mereka yang punya anak gadis. Ia seorang pria yang tampan sebenarnya, tapi pada waktu bersamaan menjadi sumber malapetaka yang kadangkala lebih ditakuti dari pasukan DI-TII yang dalam hal tertentu dianggap masih lebih bisa membatasi diri dengan norma agama. Kata balo yang ditambahkan di belakang namanya adalah sebuah julukan, karena konon separuh belah lidahnya belang –dalam bahasa daerah, belang disebut balo.

LUPUT dari kemungkinan ‘kehilangan kepala’ di masa pendudukan tentara ‘Matahari Terbit’, PKI ‘bawah tanah’ melalui tokoh-tokohnya berkiprah dalam perjuangan menjelang proklamasi, kendati tidak dalam posisi-posisi yang vital dan signifikan, dengan Tan Malaka sebagai pengecualian.

Dipa Nusantara Aidit sementara itu, meskipun memang sebagai pemuda telah aktif di lingkungan kaum pergerakan untuk kemerdekaan menjelang proklamasi tidak lah menjalankan suatu peran penting. Namun ia berhasil menciptakan kedekatan pribadi dengan Soekarno dalam kasus dokumen testamen Soekarno-Hatta, yakni testamen yang disebut-sebut untuk mewariskan kendali kekuasaan negara kepada Tan Malaka bila ada sesuatu terjadi pada diri Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Dokumen testamen yang asli berjudul ‘Amanat Kami’,  ditandatangani Soekarno-Hatta, bertanggal 1 Oktober 1945, sebenarnya mencantumkan ‘pewaris’ kolektif yang terdiri dari Tan Malaka, Iwa Koesuma Soemantri, Sutan Sjahrir dan Wongsonegoro. Tapi kemudian beredar versi pewaris tunggal Tan Malaka, yang menimbulkan kontroversi. Mohammad Hatta, menyebutkan adanya keterlibatan tokoh pemuda Chaerul Saleh pada kelahiran Testamen versi pewaris tunggal itu. Aidit berhasil memperoleh dokumen ‘asli’ dari versi pewaris tunggal dan membawanya kepada Soekarno yang langsung merobeknya.

Menurut Sajoeti Melik, Aidit pun pernah beberapa lama mengambil dari tangannya naskah ketikan asli teks proklamasi lalu menyimpannya untuk beberapa lama. Tetapi Sajoeti Melik yang menduga bahwa Aidit punya tujuan tidak baik dengan menyimpan teks proklamasi itu, bersusah payah meminta lagi dokumen itu dan berhasil mendapatnya kembali melalui cara yang tidak mudah.

Berlanjut ke Bagian 3