Tag Archives: Jawa Timur

‘Lapisan Akar Rumput’: Pemerintah Tak Selalu ‘Hadir’ Untuk Mereka (2)

“Akan tetapi bukankah para pemimpin negara seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan Pemimpin-pemimpin Partai terlihat berkali-kali menghampiri mereka para akar rumput ini? Ya, betul. Bahkan para ‘wakil’ akar rumput ini bisa berdialog langsung dengan Presiden atau Wakil Presiden. Bisa pula sama-sama menonton sepakbola”. “Sekali dalam lima tahun, menjelang Pemilihan Umum, akar rumput bertubi-tubi disapa oleh para pemimpin, dibuat kenyang dengan berbagai janji. Tapi, jarang-jarang ada pemenuhan janji oleh mereka yang menang pemilihan umum, apalagi oleh mereka yang kalah dalam pemilihan umum itu! Itulah nasib kalangan akar rumput”.

KEMUNGKINAN apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat ? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya.  Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib apalagi yang lebih ‘baik’ nasibnya, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.

Gejala-gejala seperti itulah semua yang terlihat waktu itu. Petani-petani nrimo meskipun beras mereka dibeli paksa. Dan dari antara mereka inilah yang setelah merasa kehidupannya makin terjepit di desa lalu lari ke kota-kota dan menjadi penganggur, gelandangan dan sebagainya. Kecuali satu kasus agresif berupa pengeroyokan seorang pamong desa di Jawa Timur oleh sejumlah petani, pada umumnya rakyat ‘memilih’ bersikap apatis dan atau sikap pelampiasan horizontal.

Kisah kesewenang-wenangan aparat dan para petugas pemerintah di daerah, bisa diwakili dengan satu contoh dari Nganjuk. Sebuah laporan pers di bulan Agustus 1970 memaparkan bahwa di sekitar lereng dan kaki Gunung Wilis, kecamatan Brebeg dan Sawahan yang termasuk kawasan kabupaten Nganjuk program Keluarga Berencana (KB) telah dijalankan secara tidak terpuji dan menakutkan rakyat. Para petugas KB mendatangi rumah-rumah penduduk dengan kawalan petugas-petugas berbaju hijau. Lalu mereka memaksa rakyat tani di sana untuk menjalankan Keluarga Berencana, baik dengan spiral maupun alat KB lainnya.

Untuk melengkapi penderitaan dan penindasan, dengan pola yang serupa, petugas-petugas BUUD (Badan Usaha Unit Desa) yang dibentuk untuk membantu petani telah berubah juga menjadi monster baru di pedesaan. Petugas-petugas BUUD melakukan praktek beli paksa terhadap padi rakyat. Petugas Koramil, Polisi, Camat, Lurah dan Hansip bersama petugas BUUD datang beramai-ramai menggeledah rumah-rumah petani, memeriksa lumbung-lumbung. Bila mereka menemukan padi di dalam lumbung, dengan paksa mereka membelinya dengan harga di bawah pasaran. Jika pada waktu itu harga pasaran adalah Rp.32,50 per kilogram maka BUUD membeli hanya dengan harga Rp.26 per kilogram. Itu pun pembayarannya dilakukan dalam bentuk nota bon yang baru 15 hari kemudian bisa dicairkan. Para petugas itu menciptakan pula suatu peraturan baru. Bahwa barangsiapa memiliki padi lebih dari 1000 kilogram harus lapor ke kecamatan setiap minggu. Pemilik padi harus mempertanggungjawabkan jika jumlah padi mereka ternyata berkurang. Yang lebih parah ialah apa yang terjadi di sebelah utara kota Nganjuk yang tandus. Di sana petugas tidak mempedulikan apakah 1000 kilogram atau lebih atau kurang, pokoknya ada padi di lumbung petani diharuskan menjualnya ke BUUD. Petani-petani yang gemetaran melihat petugas pembeli datang dengan kawalan baju hijau dan camat yang galak, tak berdaya lagi. Padi mereka serahkan tanpa syarat lagi. Bisa diperkirakan bahwa pada akhitnya terjadi keengganan petani untuk menanam padi lagi karena menghasilkan lebih banyak padi hanya akan mengundang celaka. Dan memang para petani kemudian memproduksi pada secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari.

Tukang-tukang becak yang merasa tersudutkan di wilayah perkotaan, mulanya memilih sekedar menggerutu pada mulanya, namun pada waktu berikutnya mulai bersikap asosial kepada para penumpangnya atau melanggar peraturan setiap ada kesempatan. Sekali-sekali bahkan sempat melakukan kerusuhan. Pedagang-pedagang kaki lima yang main kucing-kucingan dengan petugas, bahkan menempuh jalan ‘suap’ kecil-kecilan agar tak dilabrak. Dan sebagainya yang mustahil untuk dihadapi dengan cara tambal sulam. Lalu media generasi muda tersebut mengingatkan “Sebenarnya pada hakekatnya manusia itu punya pula reaksi-reaksi positif disamping yang negatif”. Reaksi positif itu mampu menghilangkan ketegangan, yang bisa terjadi bila masyarakat bisa dibimbing untuk rela menunggu sebelum keinginannya dipenuhi, dapat dibuat mengerti dan memahami sebab-sebab objektif yang menghalangi pencapaian suatu tujuan. Sedang sebaliknya, reaksi-reaksi negatif tidak mampu menyalurkan ketegangan. “Di sinilah peranan sikap terbuka pemerintah dalam berkomunikasi, jujur mengakui kekeliruan-kekeliruan, bersedia membersihkan unsur-unsur tidak beres dalam dirinya, seperti korupsi atau pejabat-pejabat yang tidak kapabel dan lain-lain”. Namun media generasi muda itu menunjuk bahwa di situlah justru kelemahan pemerintah selama ini. Hanya sehari setelah edisi tersebut beredar, pada hari Minggu 5 Agustus 1973, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi dalam bentuk huru-hara besar di Bandung yang oleh banyak pihak juga dianggap berbau rasial karena korban-korban dan sasaran utamanya adalah harta dan juga beberapa nyawa warga keturunan cina. Peristiwa itu dikenal sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973.

SELAIN dalam kehidupan sosial-ekonomi, lapisan akar rumput juga merasa ditinggalkan, dalam kaitan hak-hak dan keadilan hukum. Penegak hukum menghampiri mereka tatkala akan menindaki dengan tegas perbuatan kriminal ‘kecil-kecilan’ yang mereka lakukan, seperti mencuri tiga butir biji kakao, beberapa kilogram kapuk, mencuri semangka, mengutil kacang ijo di mini market, dan sebagainya. Sebaliknya, para penegak hukum enggan mengurusi mereka dari kalangan akar rumput tatkala menjadi korban premanisme, pemerasan terorganisasi, penganiayaan dari tukang pukul para cukong atau yang semacamnya. Malah menjadi korban pungli atau pungutan liar.

Akan tetapi bukankah para pemimpin negara seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan Pemimpin-pemimpin Partai terlihat berkali-kali menghampiri mereka para akar rumput ini? Ya, betul. Bahkan para ‘wakil’ akar rumput ini bisa berdialog langsung dengan Presiden atau Wakil Presiden. Bisa pula sama-sama menonton sepakbola. Namun itu semua lebih bersifat seremonial, karena kenyataan empiris menunjukkan bahwa keluhan akar rumput dalam berbagai dialog itu cenderung hanya ditampung dan takkan pernah jelas bagaimana lanjutannya. Bantuan Langsung Tunai (BLT) mengalir hanya sekitar masa kampanye pemilihan umum. Sekali dalam lima tahun, menjelang Pemilihan Umum, akar rumput bertubi-tubi disapa oleh para pemimpin, dibuat kenyang dengan berbagai janji. Tapi, jarang-jarang ada pemenuhan janji oleh mereka yang menang pemilihan umum, apalagi oleh mereka yang kalah dalam pemilihan umum itu! Itulah nasib kalangan akar rumput.

Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11 Maret 1966 (4)

“Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno”.

Pintu menuju kekuasaan baru

BUTIR-BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada Jenderal Soeharto, untuk sebagian adalah butir-butir ‘karet’ yang bisa serba tafsir, baik bagi Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto sebagai pemegang Surat Perintah tersebut, akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno. Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. Tetapi faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh penjuru Indonesia, setelah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman –membunuh enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di Yogyakarta– melalui Gerakan 30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu.

Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, setelah peristiwa ikut mengalami imbas karena dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan segera setelah Peristiwa 30 September, sayap ini ‘melepaskan’ diri sebagai PNI Osa-Usep. Pemisahan diri ini menyebabkan pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat organisasi sayap.

Meskipun sebagian pengikut PNI Osa-Usep masih mendukung Soekarno, tetapi tak kurang pula yang berangsur-angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri Suaidi misalnya, yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia adalah pemuja Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat rekan-rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang telah terlalu lama berkuasa dan pada masa-masa terakhir kekuasaannya kala itu telah tergelincir melakukan sejumlah kekeliruan politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.

Menurut Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun, pokoknya Bung Karno tak boleh diapa-apakan. Yang kedua, adalah sebaliknya, Soekarno memang harus mendapat pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat. Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, tetapi hendaknya dengan cara yang terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang telah merendahkan Soekarno. “Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang begitu saja?”. Karena mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti Soekarno, maka Siswono dianggap berada di ‘seberang’, meskipun ia pernah dalam kebersamaan pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi kemudian ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari sewaktu mahasiswa ITB baru saja memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal. Karena, ”long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa”. Ia kuatir mahasiswa-mahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung-pendukung Soekarno yang tidak ingin Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan kampus ITB, membuat Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai April. Tentang Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19 Agustus 1966, ia memberi penjelasan, “itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya pimpin”. Ia mengaku, “saya sendiri tidak tahu dari mana orang-orang yang banyak itu”.

Sementara itu adalah ironis pula bahwa tatkala di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI, justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur serta Bali, PNI mengalami benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan ‘lebih dulu membantai atau dibantai’. Dengan aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, serta aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI, sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk saat itu, dalam artian hanya cukup untuk keperluan defensif.

Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu adalah bahwa ia sebenarnya mulai ‘tersisih’ –setidaknya berkemungkinan untuk itu– dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang telah melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa-sisa penghormatan berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta –yang pada hakekatnya banyak menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern– misalnya, di bawah permukaan sejak lama telah merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film-film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngakngikngok –terutama The Beatles dari Inggeris dan Koes Bersaudara– padahal musik-musik dinamis itu memikat hati kaum muda terutama dari kalangan elite yang sebenarnya lebih nyaman dan terbiasa dengan hal-hal yang berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan intervensi untuk mengatur soal  pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus “sesuai dengan kepribadian nasional”.

Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada pemerintahan Soekarno kendati masih mendua karena masih terdapatnya sisa rasa ‘pemujaan’ mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti misalnya yang banyak terjadi di kalangan elite pengikut PNI. Tapi dalam banyak kasus, PNI sendiri justru juga mengalami bias kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno dalam realitanya hanya mampu menimbulkan riak-riak kecil perlawanan untuk pembelaan Soekarno, namun tak pernah mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi Soekarno yang melemah.

Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September, Soeharto telah tampil di mata mahasiswa, pelajar, pemuda dan rakyat pada umumnya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo yang cukup cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke depan ke dalam kekuasaan negara, dan mengawali kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang dengan kesaktian Pancasila telah menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir-butir Surat Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu, disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto melalui Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto.

Cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno. Menurut penuturan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu adalah perwira staf di Markas Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto telah melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman, “Presiden Soekarno tidak dapat menerima argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya”.

Digambarkan adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan menyerang Istana Presiden. “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya.

Setelah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”. Soeharto sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu, “sudah ada yang berbisik-bisik pada saya, untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan. Tetapi tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya untuk melakukannya”.  Tetapi di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan upaya menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras. Timbul spekulasi bahwa ia sebenarnya telah mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan adalah Soeharto yang melakukan hal itu 12 Maret setelah melalui suatu lekuk-liku proses kekuasaan yang khas Jawa –bagaikan dalam dunia pewayangan– antara dirinya dengan Soekarno.

Berlanjut ke Bagian 5

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (3)

“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”.

Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan mempunyai kedekatan dengan PKI– sesuai ‘perintah’ Soekarno, PKI mendapat keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.

PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.

Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan  bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe Hok-gie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria dan wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda untuk spontanitas– melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI.

Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru muncul setelah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.

Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah, terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara. Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.

Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi penggambaran bahwa pada masa-masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat nasional berasal dari daerah ini.

Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini adalah Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, karena organisasi kepemudaan ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu ‘kemarahan’ mereka, karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi. Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.

PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi Selatan amat menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‘moderat’. Aksi-aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan misalnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII di wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan sebenarnya terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah menarik bahwa bila kemudian terjadi tindakan ‘balas dendam’ yang cukup kejam di daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf.

Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa, yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.

Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan-kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu digiring ke tempat lain. Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer). Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja, tidak karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‘ganas’ sebagai anggota HSI yang partainya sedang naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi ‘kesempatan’ untuk meninggalkan Makassar. Putera-puterinya –hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus pula ‘meninggalkan’ kota Makassar entah ke mana.

Berlanjut ke Bagian 4

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (1)

“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”. Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”.

LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern. Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini.

Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan ‘kekuatan politik’ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh momentum untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.

Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka berkesempatan mendapat dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam karena pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian darah dan pertalian kepentingan yang diwariskan.

Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah pembunuhan keji itu terjadi,  menyusul pula rentetan pembunuhan massal –siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun– terhadap sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.

Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?

Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia. Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”. Sebuah peristiwa yang merupakan resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam masyarakat kala itu, yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga tersembuhkan.

Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke kota-kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama kantor-kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‘meringkus’ untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.

Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun 1960-an, “Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh”. Kebetulan politbiro PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah menegur.

Fase berdarah babak kedua

RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat tugas lanjutan untuk melakukan penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama  di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah. Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.

Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang pembalasan yang paling parah di Pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi-organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis adalah massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.

Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya adalah pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‘majikan’ yang umumnya adalah warga PNI.

Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu langsung tentang sikap provokatif dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan serangan-serangan politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik yang menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun telah mengakumulasi kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi mantelnya seperti BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira berhaluan komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa lama.

Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata-kata “Teruslah kalian mengerjakan sawah. Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka”. Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah menjalani latihan militer.

Berlanjut ke Bagian 2

The Invisible Hand: Terstruktur, Sistimatis dan Massive (2)

“Tangan sebelah kanan tak mengetahui apa yang dikerjakan tangan sebelah kiri”.

Kemenangan Golkar tahun 1971 ini berada dalam dua sisi, hitam dan putih. Pada sisi putih, kemenangan Golkar merupakan puncak dari terakumulasinya kekecewaan rakyat terhadap perilaku partai yang selama ini cenderung opportunistik. Golkar yang mengajukan gagasan pembaharuan, menarik kaum intelektual dan generasi muda yang menginginkan perubahan dan harapan baru. Sejumlah tokoh yang dihormati, termasuk dari kalangan cendekiawan dan generasi muda yang relatif masih bersih jejak rekamnya, tampil sebagai calon dan umumnya yang ditempatkan pada urutan atas daftar calon di daerah pemilihan kota/kabupaten, berhasil masuk ke DPR melalui pemilihan umum yang semi distrik ini. Tapi pada sisi yang lain terdapat catatan tentang peranan para buldozer, baik itu seorang menteri dalam negeri dan jajarannya, ataukah para Komandan Koramil yang dikerahkan pimpinan ABRI untuk mengarahkan rakyat pedesaan untuk memilih Golkar, maupun organisasi-organisasi massa kepemudaan yang menjalankan kekerasan untuk tujuan yang sama. Seakan-akan Golkar adalah sebuah tubuh dengan sepasang tangan: Tangan sebelah kanan tak tahu apa yang dikerjakan oleh tangan sebelah kiri, dan sebaliknya. Intimidasi untuk memenangkan Golkar tercatat terjadi di beberapa daerah strategis, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seorang jurnalis muda, aktivis pergerakan 1966, Hasyrul Moechtar, misalnya melaporkan peranan para buldozer itu di Jawa Barat. Salah satunya adalah organisasi kepemudaan AMS (Angkatan Muda Siliwangi) yang menjadi ujung tombak Golkar di medan laga. Dilaporkan betapa pemuda-pemuda dari Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang merupakan organisasi pemuda di bawah naungan NU menjadi sasaran tindakan kekerasan dari AMS sehingga betul-betul babak belur dan ‘bertekuk lutut’. Protes keras tokoh muda NU Subchan ZE yang vokal, bagai angin lalu. Padahal dalam rangkaian pembasmian massal terhadap pengikut PKI tak lebih dari 6 tahun sebelumnya, pasca Peristiwa 30 September 1965, Banser adalah barisan pemuda yang paling ditakuti.

Pola pemenangan Golkar di balik layar dengan menggunakan buldozer dari kalangan birokrasi, tentara dan organisasi kepemudaan yang agresif, dipraktekkan terus dalam sejumlah pemilihan umum berikutnya di masa Orde Baru. Konotasi buldozer itu sendiri amat lekat kepada pribadi Amirmahmud yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri selama beberapa periode. Di atas kertas, tanpa menggunakan pola buldozer atau ‘kecurangan’ yang terstruktur, sistimatis dan massive seperti itu, Golkar sebenarnya tetap akan memenangkan pemilu demi pemilu. Namun, karena dalam lingkungan Golkar yang tersusun atas tiga jalur (ABG atau Abri-Birokrasi-Golkar) terjadi semacam rivalitas untuk tercatat sebagai yang paling berjasa, terutama di mata Soeharto, maka tak bisa terhindarkan terjadinya tindakan-tindakan over-acting. Selama rivalitas itu tetap berjalan, maka susu sebelanga dari Golkar akan tetap rusak ternoda oleh nila, yang bukan lagi hanya setitik tetapi bergumpal-gumpal. Proses seperti ini berlangsung terus secara eskalatif dari periode ke periode.

Pada periode Golkar dipimpin Sudharmono SH dan Ir Sarwono Kusumaatmadja (1983-1988) terjadi beberapa situasi khas. Kala itu, hubungan Sudharmono SH selaku Ketua Umum dengan pimpinan jalur A, Pangab Jenderal LB Murdani, ada dalam keadaan kurang nyaman. Jalur A cenderung tak melakukan supportasi kepada Golkar, bahkan berkali-kali LB Murdani yang lebih dikenal sebagai Benny Murdani melontarkan pernyataan yang tidak menguntungkan Golkar. Situasi ini amat berbeda dengan masa sebelumnya di mana ABRI menjadi salah satu penopang utama eksistensi Golkar. Golkar periode 1983-1988 lebih mengandalkan jalur keanggotaan dengan pendaftaran dan pemberian Kartu Anggota Golkar yang di dalamnya tercantum NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Bersamaan dengan itu diintrodusir karakterdes yang merupakan program pembentukan kader penggerak teritorial tingkat desa yang dengan giat dijalankan sekitar tiga tahun lamanya menjelang Pemilihan Umum 1987. Sudharmono SH juga intensif berkunjung ke seluruh propinsi yang ada (waktu itu ada 27, termasuk Timor Timur) dan hampir ke seluruh kabupaten dan kota yang jumlahnya 299 saat itu. Kunjungan dilakukan setidaknya dua hari setiap pekan sepanjang hampir lima tahun. Belum terhitung kunjungan yang dilakukan setiap unsur pimpinan DPP Golkar lainnya, yang boleh dikatakan tak membiarkan ada satu pun daerah yang tak terkunjungi dalam rangka penggalangan.

Saat berlangsungnya kampanye untuk Pemilihan Umum 1987, di beberapa daerah Golkar malahan mendapat banyak hambatan dan kesulitan dari pihak ABRI, mulai dari masalah perizinan sampai dengan pelarangan pawai kampanye maupun beberapa penindakan lainnya. Suatu keadaan yang justru tidak dialami oleh dua partai kontestan lainnya. Tak heran bila ada anggapan bahwa Benny Murdani banyak menyengsarakan Golkar. Artinya, Golkar ditinggalkan salah satu buldozer kemenangan, dan sementara itu Mendagri tidak lagi dijabat oleh Amirmahmud sang buldozer ‘legendaris’. Walau, tanpa kehadiran dua ‘mesin-kemenangan’ itu, tidak juga serta merta bisa dikatakan bahwa pemilihan umum tahun 1987 sepenuhnya bersih. Tetapi sungguh menarik bahwa justru dalam pemilihan umum kala itu Golkar memperoleh angka tertinggi di antara pencapaian sejak tahun 1971, yakni sebesar 73,17%. Analisanya formalnya menjadi, kemenangan tercetak karena ketangguham kader (sipil) Golkar menjalankan tugas 1 kader mencari 7 pemilih yang dikombinasikan dengan faktor blessing indisguise karena ‘ditinggalkan’ ABRI yang waktu itu terkenal sangat represif. Hanya saja, menjadi satu tanda tanya yang terselip, kenapa PDI yang saat itu mendapat lebih banyak dukungan dari pers karena mulai hadirnya Megawati Soekarnoputeri –sebagai trend di kalangan wartawan muda– hanya berada di urutan ketiga dengan perolehan 10,87% di bawah PPP yang memperoleh 15,97%?

Kemenangan terlalu besar, bisa menjadi pintu proses pembusukan. Kemenangan yang terlalu tinggi, sampai 70% lebih, pada sisi lain juga menimbulkan kekuatiran tertentu, tak terkecuali di kalangan pendukung Golkar sendiri yang di antaranya masih memiliki pikiran sehat dan idealistik tentang tercapainya demokrasi yang sejati ‘kelak’ di suatu waktu. Kemenangan yang terlalu besar bisa membawa masuk banyak pertarungan kepentingan ke dalam tubuh Golkar yang akan berujung pada menguatnya pola klik di dalam tubuh organisasi, dan merupakan pintu masuk bagi suatu proses pembusukan. Dalam kenyataan kemudian, memang itulah yang terjadi. Pada masa-masa berikutnya makin mengarus deras masuknya pengelompokan kepentingan ke dalam tubuh Golkar, termasuk mengarusnya anak-anak pejabat dan atau putera-puteri tokoh-tokoh teras pendukung Golkar untuk mengambil posisi kursi DPR dan lain sebagainya. Membuat tersisih begitu banyak kader yang berkualitas dan atau telah menunjukkan kerja keras untuk partai. Sehingga, menciptakankan situasi yang terasa tidak adil. Kalau anda anak atau kerabat seorang pejabat, tokoh teras partai, dan seterusnya, anda berhak menjadi anggota MPR atau DPR? Pada masa-masa berikutnya, merupakan hal yang makin biasa bila misalnya ayah, ibu, anak, menantu, kakak-beradik, ipar dan sebagainya bisa sama-sama duduk di MPR atau DPR dalam suatu pola dinasti yang feodalistik. Sebuah pertanyaan: Adakah kemiripannya dengan yang tampaknya akan terjadi usai Pemilihan Umum 2009 ini? Ada. DPR periode mendatang, sehari-hari akan menjadi ajang reuni keluarga, tempat bertemunya ayah-anak, suami-isteri dan para ipar, menantu, kakak, adik, paman, ponakan, besan. Pokoknya segala bentuk hubungan keluarga.

Pemikiran-pemikiran tentang bahayanya suatu posisi mayoritas yang overdosis inilah yang mungkin mempengaruhi beberapa pimpinan DPP Golkar berikutnya, di era Ketua Umum Wahono dan Sekjen Rachmat Witoelar (1988-1993). Tak ada sikap ngotot untuk mencapai kemenangan terlalu tinggi dalam Pemilihan Umum 1992. Tapi tak urung muncul juga kecaman terhadap apa yang dianggap ketidakmampuan DPP saat Golkar pada tahun 1992 ‘hanya’ memperoleh 68,10% suara, walau itupun masih lebih tinggi dari hasil Pemilihan Umum 1977  (62,11%) dan 1982 (64,34%). Golkar lalu kembali tancap gas pada era Harmoko, dengan berbagai risiko ekses, sehingga mencapai perolehan 74,51% dalam Pemilihan Umum 1997, lebih tinggi lagi dari era Sudharmono sepuluh tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan, pencapaian-pencapaian Golkar sejak tahun 1971 hingga 1997, berada pada kisaran 60-74%. Kenaikan perolehan suara dari yang terrendah di tahun 1977 (62,11%) ke yang tertinggi di tahun 1997 (74,51%), hanya naik sekitar 19%. Masih kalah jauh oleh prosentase pencapaian spektakuler Partai Demokrat yang naik hampir tiga kali lipat. Tentu tak kalah spektakuler adalah pencapaian SBY yang dengan modal dasar partai peraih 20,80%, berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan angka pencapaian 60,80% dalam satu putaran yang sesuai prosentasenya dengan apa yang telah ditetapkan semula. Seakan the invisible hand bekerja di sini, sebagaimana kemenangan-kemenangan Golkar di masa lampau senantiasa dikaitkan dengan bekerjanya tangan-tangan yang tersembunyi. Tapi, katakanlah di sini pada tahap ini, terkait kemenangan Partai Demokrat dan SBY tersebut, the invisible hand itu adalah the hand of God yang mengatur hati rakyat pemilih. Atau ada kesimpulan lain?

Golkar masa Harmoko dinilai paling akrobatik penuh penggembira. Kepengurusannya penuh dengan anak, mantu, ponakan dan isteri tokoh penguasa sipil maupun militer dari yang puncak hingga tingkat kedua dan ketiga. Hantaman kritik dan tuduhan kecurangan, juga membesar. Tetapi seperti biasanya, tuduhan kecurangan tak pernah berhasil ‘dibuktikan’. Karena, yang menuduh pun ada dalam situasi underquality, underdo dalam posisi underdog, undercourage et cetera. Bila di kemudian hari, setelah Soeharto tak lagi berkuasa, ada yang menggambarkan perlawanannya yang hebat terhadap rezim kekuasaan Soeharto, bisa dikatakan 9 dari 10, itu adalah cerita yang dilebih-lebihkan.

The invisible hand? BAGAIMANA dengan pemilihan umum masa reformasi? Seperti halnya dengan Pemilihan Umum 1955, maka Pemilihan Umum 1999 sebagai pemilu pertama pasca Soeharto, banyak dipuji sebagai pemilu paling demokratis dan bersih. Tetapi di balik itu ada laporan yang tak pernah ditindaklanjuti, tentang adanya ‘pengambilan’ suara partai-partai kecil di banyak TPS oleh partai-partai besar secara bersama-sama untuk diakumulasikan ke perolehan mereka. Partai-partai kecil ketika itu tak mampu menempatkan saksi-saksi di seluruh TPS yang tersebar di berbagai penjuru tanah air, sehingga tak mampu menjaga perolehan suara mereka masing-masing. Pemilihan umum 2004 sebenarnya juga tak sepi dari laporan kecurangan, tetapi perhatian lebih banyak tercurah kepada tanda-tanda kecurangan keuangan oleh beberapa komisioner KPU. Selain itu, dalam setiap kasus kecurangan pemilu dari masa ke masa, seakan-akan memang ada tangan-tangan rahasia yang selalu mampu mengelolanya menjadi tidak dipersoalkan lanjut. Entah siapa. Tetapi terlepas dari itu, apakah mungkin mengungkapkan suatu kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan massive dalam suatu jangka waktu yang ringkas saja, dalam hitungan hari atau hitungan minggu? (Selesai, Rum Aly)