“Akan tetapi bukankah para pemimpin negara seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan Pemimpin-pemimpin Partai terlihat berkali-kali menghampiri mereka para akar rumput ini? Ya, betul. Bahkan para ‘wakil’ akar rumput ini bisa berdialog langsung dengan Presiden atau Wakil Presiden. Bisa pula sama-sama menonton sepakbola”. “Sekali dalam lima tahun, menjelang Pemilihan Umum, akar rumput bertubi-tubi disapa oleh para pemimpin, dibuat kenyang dengan berbagai janji. Tapi, jarang-jarang ada pemenuhan janji oleh mereka yang menang pemilihan umum, apalagi oleh mereka yang kalah dalam pemilihan umum itu! Itulah nasib kalangan akar rumput”.
KEMUNGKINAN apa yang bisa lahir dari penderitaan atau frustrasi yang timbul di dalam masyarakat ? Ada beberapa reaksi negatif yang dapat muncul. Misalnya agresi, yaitu menyerang terhadap yang menghalangi atau dianggap menyebabkan penderitaan mereka, seperti petugas-petugas yang terlalu keras dan menindas, pihak-pihak yang dianggap menyukarkan keadaan pangan, dan sebagainya. Atau, mencari ‘kambing hitam’ bilamana mereka tak tahu siapa yang sebenarnya bersalah, berupa rasialisme, huru hara sosial dan sebagainya. Atau reaksi ‘pengunduran diri’, seakan-akan nrimo, namun akan menggunakan peluang yang muncul dalam keterjepitan mereka, seperti mencuri dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Atau ‘rasionalisasi’ yaitu berpura-pura tak mengharapkan sesuatu lagi namun dalam hati kecil tetap menginginkan, suatu sikap yang tak menguntungkan bagi satu bangsa yang tetap ingin memajukan diri. Atau regresi, yaitu sikap-sikap destruktif terhadap dirinya sendiri, atau marah terhadap sesamanya yang senasib apalagi yang lebih ‘baik’ nasibnya, menjadi asosial terhadap lingkungan, yang jelas merupakan kemunduran sebagai manusia.
Gejala-gejala seperti itulah semua yang terlihat waktu itu. Petani-petani nrimo meskipun beras mereka dibeli paksa. Dan dari antara mereka inilah yang setelah merasa kehidupannya makin terjepit di desa lalu lari ke kota-kota dan menjadi penganggur, gelandangan dan sebagainya. Kecuali satu kasus agresif berupa pengeroyokan seorang pamong desa di Jawa Timur oleh sejumlah petani, pada umumnya rakyat ‘memilih’ bersikap apatis dan atau sikap pelampiasan horizontal.
Kisah kesewenang-wenangan aparat dan para petugas pemerintah di daerah, bisa diwakili dengan satu contoh dari Nganjuk. Sebuah laporan pers di bulan Agustus 1970 memaparkan bahwa di sekitar lereng dan kaki Gunung Wilis, kecamatan Brebeg dan Sawahan yang termasuk kawasan kabupaten Nganjuk program Keluarga Berencana (KB) telah dijalankan secara tidak terpuji dan menakutkan rakyat. Para petugas KB mendatangi rumah-rumah penduduk dengan kawalan petugas-petugas berbaju hijau. Lalu mereka memaksa rakyat tani di sana untuk menjalankan Keluarga Berencana, baik dengan spiral maupun alat KB lainnya.
Untuk melengkapi penderitaan dan penindasan, dengan pola yang serupa, petugas-petugas BUUD (Badan Usaha Unit Desa) yang dibentuk untuk membantu petani telah berubah juga menjadi monster baru di pedesaan. Petugas-petugas BUUD melakukan praktek beli paksa terhadap padi rakyat. Petugas Koramil, Polisi, Camat, Lurah dan Hansip bersama petugas BUUD datang beramai-ramai menggeledah rumah-rumah petani, memeriksa lumbung-lumbung. Bila mereka menemukan padi di dalam lumbung, dengan paksa mereka membelinya dengan harga di bawah pasaran. Jika pada waktu itu harga pasaran adalah Rp.32,50 per kilogram maka BUUD membeli hanya dengan harga Rp.26 per kilogram. Itu pun pembayarannya dilakukan dalam bentuk nota bon yang baru 15 hari kemudian bisa dicairkan. Para petugas itu menciptakan pula suatu peraturan baru. Bahwa barangsiapa memiliki padi lebih dari 1000 kilogram harus lapor ke kecamatan setiap minggu. Pemilik padi harus mempertanggungjawabkan jika jumlah padi mereka ternyata berkurang. Yang lebih parah ialah apa yang terjadi di sebelah utara kota Nganjuk yang tandus. Di sana petugas tidak mempedulikan apakah 1000 kilogram atau lebih atau kurang, pokoknya ada padi di lumbung petani diharuskan menjualnya ke BUUD. Petani-petani yang gemetaran melihat petugas pembeli datang dengan kawalan baju hijau dan camat yang galak, tak berdaya lagi. Padi mereka serahkan tanpa syarat lagi. Bisa diperkirakan bahwa pada akhitnya terjadi keengganan petani untuk menanam padi lagi karena menghasilkan lebih banyak padi hanya akan mengundang celaka. Dan memang para petani kemudian memproduksi pada secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari.
Tukang-tukang becak yang merasa tersudutkan di wilayah perkotaan, mulanya memilih sekedar menggerutu pada mulanya, namun pada waktu berikutnya mulai bersikap asosial kepada para penumpangnya atau melanggar peraturan setiap ada kesempatan. Sekali-sekali bahkan sempat melakukan kerusuhan. Pedagang-pedagang kaki lima yang main kucing-kucingan dengan petugas, bahkan menempuh jalan ‘suap’ kecil-kecilan agar tak dilabrak. Dan sebagainya yang mustahil untuk dihadapi dengan cara tambal sulam. Lalu media generasi muda tersebut mengingatkan “Sebenarnya pada hakekatnya manusia itu punya pula reaksi-reaksi positif disamping yang negatif”. Reaksi positif itu mampu menghilangkan ketegangan, yang bisa terjadi bila masyarakat bisa dibimbing untuk rela menunggu sebelum keinginannya dipenuhi, dapat dibuat mengerti dan memahami sebab-sebab objektif yang menghalangi pencapaian suatu tujuan. Sedang sebaliknya, reaksi-reaksi negatif tidak mampu menyalurkan ketegangan. “Di sinilah peranan sikap terbuka pemerintah dalam berkomunikasi, jujur mengakui kekeliruan-kekeliruan, bersedia membersihkan unsur-unsur tidak beres dalam dirinya, seperti korupsi atau pejabat-pejabat yang tidak kapabel dan lain-lain”. Namun media generasi muda itu menunjuk bahwa di situlah justru kelemahan pemerintah selama ini. Hanya sehari setelah edisi tersebut beredar, pada hari Minggu 5 Agustus 1973, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi dalam bentuk huru-hara besar di Bandung yang oleh banyak pihak juga dianggap berbau rasial karena korban-korban dan sasaran utamanya adalah harta dan juga beberapa nyawa warga keturunan cina. Peristiwa itu dikenal sebagai Peristiwa 5 Agustus 1973.
SELAIN dalam kehidupan sosial-ekonomi, lapisan akar rumput juga merasa ditinggalkan, dalam kaitan hak-hak dan keadilan hukum. Penegak hukum menghampiri mereka tatkala akan menindaki dengan tegas perbuatan kriminal ‘kecil-kecilan’ yang mereka lakukan, seperti mencuri tiga butir biji kakao, beberapa kilogram kapuk, mencuri semangka, mengutil kacang ijo di mini market, dan sebagainya. Sebaliknya, para penegak hukum enggan mengurusi mereka dari kalangan akar rumput tatkala menjadi korban premanisme, pemerasan terorganisasi, penganiayaan dari tukang pukul para cukong atau yang semacamnya. Malah menjadi korban pungli atau pungutan liar.
Akan tetapi bukankah para pemimpin negara seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan Pemimpin-pemimpin Partai terlihat berkali-kali menghampiri mereka para akar rumput ini? Ya, betul. Bahkan para ‘wakil’ akar rumput ini bisa berdialog langsung dengan Presiden atau Wakil Presiden. Bisa pula sama-sama menonton sepakbola. Namun itu semua lebih bersifat seremonial, karena kenyataan empiris menunjukkan bahwa keluhan akar rumput dalam berbagai dialog itu cenderung hanya ditampung dan takkan pernah jelas bagaimana lanjutannya. Bantuan Langsung Tunai (BLT) mengalir hanya sekitar masa kampanye pemilihan umum. Sekali dalam lima tahun, menjelang Pemilihan Umum, akar rumput bertubi-tubi disapa oleh para pemimpin, dibuat kenyang dengan berbagai janji. Tapi, jarang-jarang ada pemenuhan janji oleh mereka yang menang pemilihan umum, apalagi oleh mereka yang kalah dalam pemilihan umum itu! Itulah nasib kalangan akar rumput.