Tag Archives: Panembahan Senopati

Awal Dari Sebuah Akhir Bagi Joko Widodo “Man of Contradictions”?

BERBAGAI berita mengenai pembusukan kekuasaan di masa Joko Widodo telah begitu  merasuk ke tengah publik. Bagaikan garam meresap di ikan asin. Seruan mundur dan gagasan pemakzulan pun sudah berulang-ulang disuarakan dari berbagai arah. Tetapi, tak ada tanda-tanda terdapatnya satu langkah awal menuju pemakzulan itu.

Keberanian para penentang masih maju mundur di depan pagar represif yang memagari kekuasaan sang presiden. Namun perlu juga dicatat bahwa bertahannya suatu kekuasaan terjadi tak selalu karena sang penguasa atau seorang presiden begitu kuatnya, melainkan karena adanya perimbangan kekuatan di sekitarnya yang saling menghitung satu sama lain.

Sedang dalam dunia mitos, ada faktor-faktor masa laku wahyu dan kesaktian. Tentu ini boleh saja sekedar diketahui, namun pasti tak perlu diperhitungkan, kecuali bila suatu mitos telah tertanam jauh di dalam kepala mayoritas rakyat.

Para pembisik dan intrik istana Babad Tanah Jawi

Dalam Babad Tanah Jawi –yang separuh sejarah dan separuh legenda– tak ada raja tanpa kesaktian. Raja Pajang, Sultan Adiwijaya misalnya, yang dikenal juga sebagai Joko Tingkir, adalah seorang sakti mandraguna. Mampu menaklukkan siluman buaya dengan tangan kosong. Pemilik keris Kyai Sengkelat dan punya kekuatan batin untuk menghalau seluruh ilmu sihir lawan. Adiwijaya memiliki anak angkat yang menjadi raja bawahan di Mataram, bernama Panembahan Senopati. Sang anak angkat juga sakti dan memiliki sejumlah benda pusaka. Punya tombak Kyai Plered, memiliki mestika wesi kuning yang selalu ada di sakunya dan sejumlah jimat penguat lain tersemat di baju yang menutupi sekujur tubuhnya. Ada pula pusaka Bende Mataram yang bila dibunyikan akan menaikkan moral pasukan dalam pertempuran dan meruntuhkan semangat lawan. Continue reading Awal Dari Sebuah Akhir Bagi Joko Widodo “Man of Contradictions”?

Dalam Kancah Politik Kekerasan (2)

“Muncul sejumlah ‘pembisik’ yang berebut pengaruh di istana…. Paling ‘berkuasa’ di antara mereka adalah seorang tokoh yang menampilkan diri seakan ‘ulama’ suci namun bergelimang perbuatan ‘kotor’ dan kecabulan, dalam kemewahan istana”. “Jenazah para korban ditemukan dalam keadaan tangan terikat ke belakang, dan terlihat tanda-tanda penganiayaan pada tubuh para korban”.

Revolusi 1905 dimulai dengan berkumpulnya ratusan ribu rakyat di depan Istana Musim Dingin St Petersburg pada hari Minggu 22 Januari 1905, dengan tuntutan agar Tzar Nicholas II membentuk dewan perwakilan rakyat untuk mendampingi kekuasaannya dan memberi pertolongan membebaskan mereka dari kemiskinan. Tapi Tzar tidak ada di sana untuk ‘mendengarkan’ keluh kesah rakyat. Ketika massa di bawah pimpinan pendeta Gapon, seraya membawa gambar-gambar Tzar, makin maju mendekati gerbang Istana, para pengawal Tzar mulai menembaki mereka. Lalu pasukan berkuda Kozak yang garang menyerbu ke tengah massa dengan cemeti dan ayunan pedang, menjatuhkan korban, disusul dengan penembakan-penembakan. Tak kurang dari 1000 orang menjadi korban dalam peristiwa itu, dan darah mereka dilukiskan sebagai “sungai merah yang mengalir dan membeku di atas dataran salju”. Pembantaian yang kemudian dikenal sebagai ‘Minggu yang Berdarah’ itu lalu menjadi awal dari suatu revolusi.

Lenin, pemimpin sayap Bolshevijk yang militan dari kelompok Marxist Rusia yakni Partai Sosial Demokrat, yang tidak turut serta sebagai perencana Revolusi 1905, memanfaatkan peluang. Sayap lain yang lebih lunak dan minoritas adalah kelompok Menshevijk. Lenin menganjurkan para pekerja mempersenjatai diri dengan senapan dan pedang, bahkan bom, untuk melakukan perlawanan. Akhirnya tuntutan rakyat dipenuhi dengan pembentukan Duma, yaitu dewan perwakilan rakyat, di bulan Oktober 1905, setelah begitu banyak darah mengalir. Pencapaian ini memuaskan kaum moderat, namun tidak untuk mereka kaum revolusioner. Bagi Lenin dan kaum Marxist, Revolusi 1905 menjadi semacam general rehearsal saja menuju suatu revolusi lain di kemudian hari.

Revolusi lain itu, adalah  Revolusi Bolshevijk 1917 yang berlangsung tatkala kekaisaran Rusia sedang terlibat dalam kancah Perang Dunia I (1914-1918). Perang ini terpicu oleh penembakan Pangeran Frans Ferdinand pewaris tahta Habsburg dari Austria 28 Juni 1914 dalam suatu kunjungan kenegaraan di Sarajevo Bosnia oleh radikal Slavia dari Serbia, Garvil Princip yang baru berusia 19 tahun. Ketika Austria menunjukkan kemarahan dengan menyerbu ke Serbia untuk menggulung komplotan pelaku, Rusia membela Serbia. Perancis mendukung Rusia, sementara Kekaisaran Jerman tak membiarkan tetangganya, Austria, dikeroyok. Semula Inggeris mencoba bersikap netral, namun ketika Jerman menduduki Belgia dalam gerakannya menyerbu Perancis, Inggeris menyatakan perang terhadap Jerman. Pada akhirnya, perang antara negara Eropah ini melibatkan dunia.

Terlibatnya Tzar Nicholas II dalam Perang Dunia I ini menjerumuskan Rusia ke dalam berbagai kesulitan di dalam negeri. Perang membutuhkan biaya yang besar dan korban jiwa manusia dalam skala besar. Militer Kekaisaran Rusia kekurangan senjata, sehingga banyak prajurit dan wajib militer maju ke medan perang tanpa senjata dan harus memunguti senjata teman-temannya yang tewas. Kegagalan di garis depan membuat Nicholas II maju sendiri sebagai panglima di medan pertempuran. Pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Tzarina, dan memunculkan sejumlah ‘pembisik’ yang berebut pengaruh di istana. Paling ‘berkuasa’ di antara mereka adalah Gregori Rasputin –yang menampilkan diri seakan ‘ulama’ suci namun bergelimang perbuatan ‘kotor’ dan kecabulan, dalam kemewahan istana.

Perilaku korupsi dan aneka penyimpangan di kalangan kekuasaan dan pimpinan militer, justru pada saat negara sedang berperang, menimbulkan ketidakpuasan dan sekaligus kemelaratan bagi rakyat. Sekelompok bangsawan yang tidak puas, membunuh Rasputin. Sementara itu bahan makanan menjadi sulit. Terjadi kerusuhan dalam pembagian roti yang berlangsung kacau di Petrograd. Tentara yang dikerahkan untuk membendung demonstrasi anti pemerintah, tak bersedia menembak rakyat yang dihadapinya. Pada akhirnya situasi yang tak terkendali memaksa Tzar Nicholas II mengundurkan diri Desember 1916, dan sebagai pengganti dibentuk pemerintahan sementara yang terdiri dari kaum liberal dan demokrat, namun tidak mengajak kaum sosialis militan yang Marxist. Pemerintahan baru berjanji meneruskan perang, sehingga luput mengatasi kemunduran ekonomi dan sosial di dalam negeri. Pemerintahan baru pun tak mampu membaca kejenuhan rakyat, dan bahkan tentara, terhadap peperangan. Banyak tentara yang meninggalkan medan perang dan berbaris kembali ke kampung halaman mereka sebagai tanda protes. Muncul kekuatan tandingan terhadap pemerintahan sementara berupa dewan-dewan di berbagai kota yang disebut soviet, terdiri dari wakil-wakil kaum pekerja dan unsur tentara yang tidak puas. Kaum Marxist militan yang dikenal sebagai kaum Bolshevijk sangat berperan dalam soviet di berbagai kota, terutama di Petrograd.

Tokoh Marxist Rusia, Vladimir Ilyich Lenin, yang sejak sebelum perang mengasingkan diri ke Swiss, karena tidak puas terhadap perubahan setelah 1905 yang menurutnya hanya menguntungkan kaum borjuis, melihat peluang yang muncul di Rusia untuk mengobarkan suatu revolusi. Hanya revolusi, kata Lenin, yang bisa membuka jalan bagi persamaan bagi kaum pekerja dan perdamaian, kendati revolusi itu harus berarti sebagai perang saudara Rusia melawan Rusia. Dalam memandang revolusi, Lenin memang berbeda dengan Marx. Bila Marx mengenal dua tahapan revolusi, maka Lenin hanya mengenal satu tahapan. Tahapan revolusi menurut Marx adalah tahap pertama yang berupa revolusi kaum borjuasi untuk menjatuhkan kekuasaan kaum feodal –yang secara taktis perlu dibantu oleh kelas pekerja– dan tahap kedua berupa revolusi penghancuran kekuasaan kaum borjuasi oleh kelas pekerja. Sementara itu, Lenin menganggap hanya ada satu tahap, yakni revolusi kelas pekerja untuk menghancurkan kekuasaan feodal sekaligus kekuasaan kaum borjuasi.

Akhirnya Lenin, yang nama aslinya adalah Vladimir Ilyich Ulyanov, berhasil kembali ke Rusia dengan bantuan belakang layar penguasa Jerman. Kekaisaran Jerman berkepentingan untuk melemahkan kekuasaan Tzar. Di Rusia Lenin tampil dengan semboyan yang mampu memikat rakyat, yakni ‘perdamaian, tanah dan roti untuk rakyat’. Bersama militan Bolshevijk, Lenin menggerakkan sovietsoviet dan rakyat Rusia untuk pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemerintahan sementara. Gerakan ini mendapat dukungan yang luas, kendati hanya digerakkan oleh segelintir militan Bolshevijk yang berhasil mengatasnamakan 145 juta rakyat Rusia yang memang sedang mendambakan perubahan dan kedamaian. Pada 7 November 1917 Lenin mengumumkan dan melakukan penangkapan terhadap seluruh anggota pemerintahan sementara dan kemudian memproklamirkan berdirinya suatu republik sosialis. Seluruh partai yang ada dan mendukung pemerintahan sementara dibubarkan. Rusia sejak itu lalu menjadi pusat kekuasaan komunis sekaligus pusat komunisme dunia. Lenin merubah Partai Sosial Demokrat menjadi Partai Komunis.

Dari sejarah kelahiran dan perkembangannya, baik di Rusia –yang kemudian hari membentuk dan menjadi pemimpin Uni Soviet– maupun di daratan Cina, terlihat bahwa komunisme memang adalah suatu ideologi otoriter yang ekspansif dan tidak kenal kompromi karena pretensinya untuk menjadikan dirinya sebagai ideologi dunia.

Politik Kekerasan ‘Kaum Revolusioner’

Ketika komunisme pertama kali masuk ke Indonesia melalui Sneevliet di tahun 1922, ia datang dengan segala pretensinya sebagai suatu ideologi dunia dengan revolusi sebagai senjata utamanya. Tentang revolusi itu, Friedrich Engels dalam ‘On Authority’ memaknakan bahwa kaum revolusioner boleh melakukan apa saja bila tidak menginginkan perjuangan mereka gagal dan harus mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk jalan teror dan menghadapkan senjata kepada kaum reaksioner serta kaum kontra revolusioner. Partai Komunis Indonesia, menerima hibah ideologi ‘internasional’ itu baik yang telah dikembangkan di Rusia maupun yang lebih dipertajam di Cina. Bahkan, lengkap dengan cara dan metode-metode kekerasannya.

Debut gerakan revolusioner bersenjata kaum komunis Indonesia yang pertama adalah pemberontakan 1926-1927, melawan kolonial Belanda. Gerakan pemberontakan pertama kali pecah pada 13 Nopember 1926 di Jakarta, untuk kemudian merambat dalam bentuk kekerasan di sejumlah daerah di Banten Jawa Barat, Jawa Tengah dan awal Januari 1927 di Sumatera Barat. Pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Kendati untuk sebagian pemberontakan komunis tersebut masih dikategorikan sebagai gerakan perlawanan terhadap kaum kolonial, sejumlah kalangan perjuangan lainnya menganggap apa yang dikobarkan kaum komunis itu hanya akan merugikan perjuangan menyeluruh gerakan kebangsaan Indonesia, karena gerakan seperti itu belum waktunya untuk dilakukan dan pasti akan mengundang penindasan yang lebih keras dari penguasa kolonial Belanda.

Bahkan di kalangan komunis Indonesia sendiri, pemberontakan itu dikecam, apalagi memang dalam kenyataan kemudian, partai komunis dilarang di seluruh Hindia Belanda, dan puluhan ribu orang komunis ditangkap lalu dibuang ke Boven Digoel di Papua. Sebenarnya memang banyak tokoh komunis Indonesia sejak awal menolak rancangan pemberontakan tersebut –yang disusun oleh Sardjono, Soegono dan Boedi Soetjitro dalam arahan Alimin– dan beberapa cabang partai pun tidak menyetujuinya. Tan Malaka sebelumnya secara langsung menyampaikan kepada Alimin dan kawan-kawan agar mengurungkan niatnya dengan anggapan Partai belum siap untuk melaksana pemberontakan seperti itu, karena “saatnya belum tiba”. Menurutnya, komunis Indonesia belum siap untuk rencana sebesar itu. Pengaruh partai pun belum meresap secara mendalam di tengah rakyat. Partai masih kecil dan tak ‘berkuku’, sehingga “mana mungkin kita mampu menggerakkan massa rakyat secara besar-besaran”. Kritik-kritik ini, dan begitu pula kritik-kritik yang dilancarkannya secara internal pada waktu-waktu berikutnya, membuat Tan Malaka perlahan namun pasti tersisih dan dianggap seperti Trotsky yang bagi kaum Bolshevijk dianggap reaksioner pengkhianat yang menyeleweng dari ideologi. Tan Malaka bahkan dipersalahkan sebagai penyebab kegagalan ‘revolusi’ di tahun 1926-1927 itu.

Pemberontakan kedua PKI, terjadi setelah proklamasi, melawan pemerintah justru ketika bangsa Indonesia sedang menghadapi rangkaian agresi militer Belanda, yaitu melalui Peristiwa Madiun September 1948. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, pada dasarnya ada dua hal yang mempengaruhi sehingga PKI melancarkan upaya mengambilalih kekuasaan di tahun 1948 itu. Pertama karena pengaruh dan dorongan ‘perang dingin’ yang berlangsung secara global. Dan yang kedua, adanya rivalitas internal dalam tubuh partai komunis, yakni antara kelompok tua Musso dan kawan-kawan di satu pihak dan kelompok muda Aidit dan kawan-kawan di pihak lain.

Upaya pengambilalihan kekuasaan negara, tercermin dengan jelas tatkala Musso atau Muso memproklamirkan berdirinya Soviet Republik Indonesia –model yang diadopsi dari Rusia yang kemudian dikenal sebagai Republik Sosialis Uni Soviet, USSR– di Madiun dan mengibarkan bendera merah sebagai ganti merah putih. Muso adalah tokoh komunis Indonesia yang bermukim di Moskow sejak sebelum Perang Dunia II. Muso lah yang berhasil melebur Front Demokrasi Rakyat pimpinan Amir Sjarifuddin ke dalam PKI, sepulangnya dari Moskow. Front Demokrasi rakyat itu sendiri semula adalah Front Sosialis Sayap Kiri semasa Sutan Sjahrir masih bergabung di dalamnya. Ketika pecah, Front Sosialis Sayap Kiri diambilalih kepemimpinannya oleh Amir Sjarifuddin dan dirubah menjadi Front Demokrasi Rakyat.

Muso lah yang membawa PKI melakukan pemberontakan 1948 di Madiun. Ia merasa berbeda cara perjuangan dengan Soekarno dan Hatta yang dinilainya kompromistis dengan Belanda, sehingga akan menganggu jalannya revolusi, sedangkan dirinya tidak menyetujui cara-cara perundingan karena tidak percaya kepada Belanda. Ia menuduh Soekarno-Hatta akan menghancurkannya karena perbedaan pandangan itu. Sehingga, ia harus mendahului daripada didahului untuk dihancurkan. Tetapi apapun terminologi yang digunakan Muso, nyatanya pemberontakan di tahun 1948 itu dimulai dengan penculikan-penculikan dan pembunuhan atas sejumlah tokoh non komunis. Jenazah para korban ditemukan dalam keadaan tangan terikat ke belakang, dan terlihat tanda-tanda penganiayaan pada tubuh para korban. Kota Madiun diduduki 18 September dengan mengerahkan sejumlah pasukan bersenjata –yang untuk sebagian terdiri dari satuan-satuan resimen Panembahan Senopati– dan gerakan massa. Keesokan harinya, Muso memproklamirkan Soviet Republik Indonesia.

Berlanjut ke Bagian 3

Jenderal Ahmad Yani: Dilema ‘Politician in Uniform’ (2)

“Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan”.

Namun yang paling ‘mengganggu’ ibarat duri dalam daging bagi Angkatan Darat, adalah penyusupan dalam bentuk ‘pembinaan’ terhadap sejumlah perwira oleh PKI sejak awal dari waktu ke waktu, dan makin meningkat setelah tugas itu diambilalih oleh Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman dan Pono. Dalam penanganan Biro Khusus, penggarapan menjadi lebih sistematis dan efektif karena menyangkut perwira-perwira yang menempati jabatan strategis atau perwira-perwira potensil yang kemudian berhasil menempati posisi-posisi strategis. Perwira-perwira yang kecewa karena rivalitas internal juga menjadi salah satu sasaran pembinaan. Beberapa perwira yang mempunyai kedekatan dengan PKI bisa dikenali dan senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh Angkatan Darat, tapi tentu saja tak bisa diapa-apakan, kecuali mereka melakukan pelanggaran. Akan tetapi yang tidak diketahui pimpinan Angkatan Darat adalah jauh lebih banyak lagi. Beberapa panglima daerah militer tercatat amat dekat dengan PKI, semisal Panglima Mulawarman Brigjen Suharyo dan Brigjen Soepardjo. Letnan Kolonel Untung yang kemudian ditempatkan sebagai salah satu komandan batalion Tjakrawibawa adalah contoh lainnya lagi.

Di wilayah Komando Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, sekitar 1964-1965 terpetakan pengaruh PKI yang begitu kuatnya, dari kurang lebih 40-an Komando Distrik Militer (Kodim) ada kurang lebih 30 di antaranya dipegang oleh perwira-perwira yang berhaluan komunis. Situasi seperti ini tentu saja amat ironis, karena pada masa SOB dengan kewenangan yang dimilikinya pimpinan Angkatan Darat memaksudkan Kodim-kodim ini serta satuan-satuan teritorial yang lebih kecil, yakni Komando Rayon Militer (Koramil) yang dibentuk di bawahnya, adalah justru antara lain untuk melakukan pengendalian dan pembatasan –dalam arti sebenarnya– gerak langkah PKI di daerah-daerah.

Penggarapan yang cukup fenomenal dan sempat mencengangkan kelak di kemudian hari adalah yang terjadi atas perwira-perwira Siliwangi, divisi yang di tahun 1948 bertugas memadamkan pemberontakan PKI di Madiun. Mulai dari Mayjen Rukman, Brigjen Somali sampai kepada Kolonel Djukardi yang menempati jabatan Walikota Bandung hingga tahun 1968, yang secara keseluruhan mencapai puluhan perwira dari berbagai tingkat, ternyata berhasil dirangkul dan masuk ke dalam wilayah pengaruh PKI. Setelah Peristiwa 19 Agustus 1966 –penyerbuan Konsulat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Jalan Lembong Bandung– misalnya, Siliwangi melakukan pembersihan sejumlah perwira yang terlibat pada peristiwa tersebut yang mengambil korban nyawa mahasiswa Universitas Parahyangan, Julius Usman. Perwira-perwira yang ada kaitan dengan PKI itu antara lain Wakil Komandan Kodim Bandung Mayor A. Santoso, Kepala Staf I/Intelejen Kodim Bandung Kapten Sunarto, Kepala Staf II Kapten Oking dan Komandan Likdam VI Siliwangi Mayor Lili Buchori. Sementara itu, di Kodam Brawijaya Jawa Timur, terdapat sejumlah batalion yang sepenuhnya dikuasai oleh perwira-perwira berhaluan komunis.

Secara nasional, pada periode 1960-an hingga 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lingkaran pimpinan Angkatan Darat yang ada di sekitarnya, sesungguhnya tak bisa lagi memetakan dengan jelas panglima-panglima daerah militer mana saja yang benar-benar ada dalam kendali komandonya, kalau bukan sudah dipengaruhi dan condong secara ‘politis’ kepada PKI, setidaknya jauh lebih patuh kepada Soekarno. Yani yang pada dasarnya adalah Soekarnois, sebenarnya tidaklah terlalu berkeberatan dengan orientasi sejumlah perwira kepada Soekarno. Akan tetapi, Yani tidak begitu menyenangi gaya akrobatik sejumlah ‘kolega’nya yang ‘tembak langsung’ ke Soekarno untuk masalah-masalah yang semestinya ditangani melalui Yani berdasarkan kewenangannya selaku Panglima Angkatan Darat. Terlebih bila itu semua mengandung unsur intrik dan konotasi saling menjegal. Fenomena adanya sejumlah perwira teras yang berada dalam wilayah abu-abu dan atau zona oportunistik seperti itu, sungguh tak menyenangkan Yani.

De beste zonen van Soekarno. Terdapat pula sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal sebagai de beste zonen van Soekarno, putera-putera kesayangan Soekarno, yang belum tentu komunis, bahkan ada diantaranya yang amat anti komunis, namun akan lebih patuh kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI daripada siapa pun dalam struktur kepemimpinan Angkatan Bersenjata. Tapi dalam batas tertentu ini dianggap ‘wajar’ saja, karena Soekarno memang adalah Pangti. Perwira-perwira tinggi yang masuk kategori de beste zonen ini, namun kemudian berperanan dalam proses perubahan kemudian hari pada masa pasca Soekarno, antara lain adalah Letnan Jenderal Muhammad Jusuf, Letnan Jenderal Basuki Rahmat, Mayor Jenderal Amirmahmud, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan Mayor Jenderal Mashudi.

Jenderal Jusuf dikenal sebagai salah satu tokoh Peristiwa Tiga Selatan. Ketika masih menjadi Panglima Daerah Militer di Sulawesi Selatan di tahun 1960, berpangkat Kolonel, ia dengan wewenang SOB-nya melakukan pelarangan kegiatan PKI di wilayah komandonya. Dua komando wilayah militer Selatan lainnya, yakni Kalimantan Selatan di bawah Kolonel Jusi dan Sumatera Selatan di bawah Kolonel Harun Sohar melakukan tindakan serupa. Dalam suatu momentum peristiwa lainnya, tahun 1965, Soekarno pernah akan menjadikan Brigjen M. Jusuf sebagai Waperdam IV bidang ekonomi. Letnan Jenderal Yani menyatakan ketidaksetujuannya kepada Soekarno, dengan alasan yang bersangkutan masih muda dan tak cukup punya pengalaman politik. Jusuf sendiri, digambarkan cukup kaget, namun tak diketahui bagaimana apresiasinya terhadap ketidaksetujuan Yani itu. Sikap keras militer terhadap PKI itu masih serentetan dengan penangkapan tokoh tingkat pusat dari PKI, Ir Sakirman, sebulan sebelumnya oleh Garnisun Ibukota, justru karena suatu kritik terhadap Demokrasi Terpimpin. Bersama Sakirman, sejumlah tokoh CC PKI lainnya juga diperiksa, sementara Harian Rakjat milik PKI diberangus penguasa militer. Salah satu tindakan keras militer yang lebih mutakhir, di bulan Mei tahun 1965, dilakukan oleh Panglima Daerah Militer Mulawarman di Kalimantan Timur, Brigadir Jenderal Soemitro, berupa penangkapan terhadap sejumlah tokoh organisasi Komunis dari Pemuda Rakyat maupun Gerwani, karena ucapan-ucapan provokatifnya terhadap Angkatan Darat. Pada waktu bersamaan Soemitro juga memecat seorang Komandan Kodim dan Komandan Batalion serta beberapa perwira staf yang dianggapnya punya hubungan dengan PKI. Di luar Angkatan Darat, tercatat pula beberapa nama, antara lain Laksamana Madya Udara Omar Dhani dan Letnan Jenderal Hartono dari Korps Komando AL (KKO) sebagai de beste zonen van Soekarno yang umumnya lebih toleran untuk tidak menyebutnya dekat dengan golongan politik komunis.

Dari sisi sebaliknya, bukannya tak ada upaya penyusupan militer ke dalam tubuh PKI dan organisasi mantelnya. Jenderal Nasution misalnya, pernah menugaskan beberapa perwira melakukan tugas ‘pendekatan’ agar ‘masuk’ lingkaran kepercayaan PKI. Pimpinan Angkatan Darat juga melakukan hal serupa. Umumnya, penugasan dilakukan secara lisan tanpa dokumen tertulis demi kerahasiaan. Sungguh malang, bahwa di kemudian hari setelah angin kekuasaan berubah, perwira-perwira penyusup ini ikut ditangkap karena ‘kasat mata’ memiliki jalinan kedekatan dengan PKI. Hanya sedikit di antara mereka, yaitu mereka yang ditugaskan Nasution, dapat diselamatkan dari pembersihan. Tidak demikian halnya dengan yang kebetulan mendapat penugasan menyusup dari pimpinan Angkatan Darat yang kemudian tewas dalam Peristiwa 30 September 1965.

Kemampuan PKI menginfiltrasi militer, teristimewa Angkatan Darat, memang terlihat masih sejak awal kemerdekaan. Tatkala melakukan pemberontakan di tahun 1948, PKI di bawah Muso bisa mengerahkan dukungan kuat pasukan bersenjata dari kalangan Angkatan Darat melalui perwira-perwira yang bisa dipengaruhi mereka, seperti Kolonel Sungkono yang diangkat PKI sebagai Gubernur Militer, Letnan Kolonel Dahlan dan Mayor Sudigdo. Perwira-perwira ini mengerahkan sebagian batalion-batalion dari Resimen Panembahan Senopati. Mayor Slamet Riyadi –yang kemudian hari gugur dalam operasi penumpasan RMS di Ambon– adalah salah satu komandan batalion di Panembahan Senopati ini, namun tak ikut serta dalam peristiwa. Komandan resimen ini sendiri, Kolonel Suadi, tampil dengan suatu peran abu-abu dalam rangkaian Peristiwa Madiun ini. Bahkan Letnan Kolonel Soeharto yang kala itu bertugas di Yogyakarta sempat dipertanyakan ‘peranan’nya karena diketahui, dengan diantar Kolonel Suadi, pernah menemui Muso menjelang peristiwa. Soal ini kemudian diklarifikasi, bahwa Soeharto menemui Kolonel Suadi untuk menyampaikan pesan Panglima Soedirman agar pasukan Panembahan Senopati tidak terpengaruh oleh PKI/FDR (Front Demokrasi Rakyat), dan Suadi lah yang membawanya kepada Muso supaya bisa tahu duduk perkara lebih jauh. Kepada Soeharto, Muso menyatakan kekecewaannya terhadap Soekarno dan Hatta yang mau berunding dengan Belanda. “Ada perbedaan cara dalam perjuangan”, ujar Muso,“ pokoknya, saya tidak percaya Belanda dan akan terus melawan Belanda”. Tapi karena perbedaan itu, “Soekarno dan Hatta tidak senang dan mencurigai saya. Bahkan saya akan dihancurkan”. Dan Muso menegaskan, “kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan” Dengan ini, Muso mencoba menerangkan bahwa perlawanannya bukanlah semata-mata karena masalah ideologi.

Muso ini mengalami akhir yang tragis setelah Peristiwa Madiun. Ia dikejar-kejar oleh massa rakyat, terutama yang diorganisir oleh Masjumi, tertangkap dan kemudian dibunuh begitu saja oleh massa yang marah. Beberapa tokoh pemberontakan lainnya, tertangkap oleh pasukan militer dan kemudian dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi secara resmi oleh pihak militer.

Jakarta-Kuala Lumpur: Operasi Bawah Tanah. SETELAH perjuangan Trikora membebaskan Irian Barat, setidaknya ada dua ‘peristiwa politik’ yang cukup memojokkan Letnan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan Angkatan Darat maupun Jenderal AH Nasution yang memimpin berbagai versi Departemen Pertahanan Keamanan pada 5 kabinet Soekarno antara Juli 1959 hingga 1966, yakni Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang dicanangkan Soekarno 3 Mei 1964 dan manuver PKI yang melontarkan gagasan Angkatan Kelima Januari 1965.

Operasi Dwikora adalah operasi yang dimaksudkan sebagai konfrontasi terhadap Malaysia, sebuah negara federasi yang didirikan 16 September 1963, mencakup Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) yang terletak di Semenanjung dan Singapura yang adalah sebuah pulau di sebelah Selatannya serta Sabah dan Serawak yang terletak di Kalimantan Bagian Utara. Semula, Brunai juga akan bergabung, namun batal dan kemudian hari menjadi Kesultanan Brunai Darussalam yang merdeka dan berdiri sendiri. Pada waktu itu, Sabah, Serawak dan Brunai masih merupakan koloni Inggeris. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah bagian dari rencana Inggeris memenuhi permintaan memerdekakan ketiga wilayah yang terletak di bagian Utara Kalimantan tersebut. Namun Inggeris mensyaratkan agar bekas koloninya itu setelah bergabung dalam Federasi Malaysia tetap menjadi anggota Negara-negara Persemakmuran, dan dengan demikian berada dalam payung perlindungan ekonomi dan keamanan dari Inggeris. Satu dan lain hal, ini semua masih terkait dengan suasana Perang Dingin antara blok Barat dengan blok Timur kala itu. Soekarno melontarkan tuduhan bahwa federasi itu adalah bentukan Inggeris dan tak lain merupakan proyek Nekolim (Neo Kolonialisme). Hanya selang sehari setelah pengumuman pembentukan Federasi Malaysia, massa yang dipelopori kelompok politik kiri –namun diikuti pula oleh kelompok politik yang tak berpendirian jelas dan opportunistik, meskipun tidak merupakan barisan PKI dan onderbouwnya– melakukan demonstrasi besar-besaran ke Kedutaan Besar Inggeris dan Persekutuan Tanah Melayu. Kedutaan Besar Inggeris dirusak dan dibakar. Bersamaan dengan itu, Departemen Luar Negeri yang dipimpin Dr Soebandrio mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur (Persekutuan Tanah Melayu).

Soebandrio yang juga membawahi BPI (Badan Pusat Intelejen) adalah pendorong utama bagi Soekarno dalam konfrontasi terhadap Malaysia. Beberapa kegiatan ‘bawah tanah’ yang dijalankannya dengan kelompok politik kiri Indonesia dan kaum komunis di Malaya, Singapura, Brunai dan Serawak maupun Sabah, telah menutup peluang tercapainya suatu hasil ‘damai’ jangka panjang melalui diplomasi. Padahal suatu pembicaraan mengenai rencana Federasi Malaysia telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu (PTM) Tunku Abdul Rahman di Tokyo 31 Mei – 1Juni 1963 dan sebenarnya sempat menciptakan peredaan ketegangan. Pertemuan di Tokyo itu disusul pertemuan segitiga tingkat Menteri Luar Negeri antara Jakarta, Kuala Lumpur dan Manila (yang berkepentingan ada penyelesaian ‘damai’ karena mempunyai klaim terhadap Sabah) yang mencari solusi mengenai rencana Federasi Malaysia tersebut pada 7-11 Juni 1963 di Manila. Manuver Soebandrio, berupa operasi intelejen dan sejumlah operasi bawah tanah lainnya yang dijalankan sejak awal 1963, tinggal menunggu waktu untuk menjadi batu sandungan, begitu manuver-manuver dan operasi intelejen itu yang mengarah sebagai subversi menurut sudut pandang Malaya, terungkap ke permukaan.

Ketika manuver-manuver Soebandrio tetap melanjut selama sebulan berikutnya, dan tercium, Tunku Abdur Rahman ‘membalas’ dalam bentuk tindakan menandatangani perjanjian awal dengan Inggeris di London tentang pembentukan Federasi Malaysia yang akan dilaksana 31 Agustus 1963. Tindakan Tunku ini memicu kemarahan Soekarno yang baru saja di awal Juni berunding dengan pemimpin Malaya itu, “Saya telah dikentuti”, ujar Soekarno ketus tanpa menggunakan lagi istilah yang lebih ‘halus’. Tetapi rencana KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) tiga negara di Manila tetap dilangsungkan pada bulan Juli-Agustus dan berhasil menetapkan sejumlah kesepakatan serta berhasil mengajak Sekertaris Jenderal PBB U-Thant menjadi penengah dan membentuk tim pengumpul pendapat mengenai aspirasi rakyat wilayah itu mengenai gagasan Federasi Malaysia. Tim ini dipimpin oleh seorang diplomat Amerika Serikat yang belum berhasil merampungkan tugasnya tatkala pembentukan Federasi Malaysia diumumkan pertengahan September 1963. Bahkan pada tahun 1964 setelah Soekarno mencanangkan Dwikora, perundingan tingkat tinggi tiga negara tetap dicoba dilaksanakan namun tanpa hasil.

Cukup menarik untuk mengetahui bahwa bahkan Soebandrio pun pada mulanya sebenarnya tidak bersikap memusuhi tatkala gagasan pembentukan Federasi Malaysia dicetuskan. Pemimpin-pemimpin Malaya dan Inggeris menyampaikan proposal mengenai Malaysia itu 27 Mei 1961. Baik Soekarno maupun Soebandrio masih menunjukkan sikap tidak keberatan terhadap konsep Federasi Malaysia, dan jelas jauh lebih memperhatikan masalah Irian Barat yang masih sedang dihadapi. Sikap ‘baik’ ini bertahan hingga setahun lebih. Dalam suatu pernyataannya di Jakarta, Oktober 1962, Soebandrio malah mengatakan bahwa Indonesia samasekali tidak punya masalah dan klaim terhadap wilayah-wilayah di Utara Kalimantan itu. Sabah dan Serawak memiliki garis perbatasan dengan wilayah Kalimantan Indonesia yang membentang berlekak-liku dari Timur Laut menuju Barat Daya, sepanjang kurang lebih 1780 kilometer dan memiliki ‘bersama’ Pegunungan Iban dan Pegunungan Kapuas. Akan tetapi semua ini berubah dalam sekejap dua bulan kemudian.

Menjelang akhir 1962, seorang tokoh politik beraliran kiri dari Brunai, AM Azahari Bin Sjech Mahmud –yang pernah menjadi Kapten Angkatan Darat Indonesia di masa lampau dan pernah ikut dalam revolusi kemerdekaan– mencoba mengobarkan perlawanan terhadap Inggeris, namun dipatahkan. Tadinya, Partai Rakyat Brunai pimpinan Azahari berhasil memenangkan pemilihan umum pertama tahun 1962 di Kesultanan Brunai ini dengan merebut 16 kursi perwakilan, dan sudah bersiap-siap menyusun pemerintahan baru. Akan tetapi Sultan Brunai Sir Omar Ali Syaifuddin menolak meresmikan parlemen lalu membatalkan hasil pemilihan umum, karena mendengar bahwa sang pemenang pemilihan umum merencanakan akan menghapuskan kesultanan. Terjadilah pemberontakan yang berhasil dipadamkan dengan bantuan militer Inggeris. PKI yang mempunyai solidaritas kuat terhadap gerakan kiri itu, berhasil menjalin suatu ‘persamaan’ bawah permukaan dengan Soebandrio untuk mengorganisir dukungan bagi Azahari dan kawan-kawan. Sebenarnya, Azahari pun sempat meminta dukungan Jenderal Nasution, namun supportasi yang bisa diberikan Nasution agak terbatas. Salah satu dukungan Nasution adalah berupa pengiriman tiga instruktur, perwira muda dari RPKAD, untuk melatih pasukan Azahari di perbatasan.

Belakangan terlihat bahwa Soebandrio lah yang lebih antusias dan memberikan dukungan yang lebih besar. Awal 1963, mendadak Soebandrio gencar memberi masukan dan dorongan kepada Soekarno untuk menjalankan politik konfrontasi terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia tersebut. Menurut beberapa analisis, terdapat sejumlah alasan mengapa suatu politik konfrontasi ‘perlu’ dijalankan terhadap Malaysia. Bagi PKI, tentunya gerakan kiri Azahari itu memang merupakan ‘keharusan’ untuk didukung, namun yang lebih penting lagi perlu pengalihan perhatian terhadap keberhasilan militer –khususnya Angkatan Darat dan para jenderal– menjalankan fungsi tekanan kekuatan militer dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Soebandrio mempunyai kepentingan yang sama, selain ia banyak bersilang jalan dan kepentingan dengan para jenderal AD selama operasi Trikora berlangsung, juga karena upayanya untuk membentuk opini bahwa penyelesaian Irian Barat adalah terutama hasil diplomasi luar negeri telah gagal. Bila tergalang solidaritas dan terjadi konfrontasi terbuka terhadap rencana Federasi Malaysia, akan tercipta momentum politik bagi PKI, sekaligus terciptanya situasi fait accompli bagi militer, khususnya Angkatan Darat yang melihat tak adanya alasan spesifik –seperti halnya dengan masalah Irian Barat– dan masuk akal untuk suatu konfrontasi dengan tetangga serumpun itu dan Inggeris.

Berlanjut ke Bagian 3