Oleh Wiratmo Soekito*
LAWAN-LAWAN PKI yang memberikan jawaban mereka kepada PKI segera setelah PKI berusaha untuk mencoba merebut kekuasaan, adalah mereka yang dulu belajar kepada PKI. Akan tetapi belajar kepada PKI tidaklah selalu berarti tunduk kepada PKI. Pemimpin India, Mahatma Gandhi, pernah mengatakan bahwa hubungannya dengan Inggeris adalah seperti hubungan Arjuna dengan Durna. Di satu pihak Durna adalah gurunya yang harus ditaati, tetapi di lain pihak Durna adalah musuhnya yang harus dibinasakan. Dapatkah kita mengatakan, bahwa hubungan lawan-lawan PKI yang melawan PKI setelah PKI berusaha merebut kekuasaan pada tanggal 1 Oktober 1965 itu adalah seperti hubungan Arjuna dengan Durna? Untuk sementara waktu orang akan cenderung berpendapat demikian.
Tetapi kita harus mengakui bahwa di masa proloog Gestapu-PKI hampir seluruhnya dari unsur-unsur politik yang legal baru sadar bahwa PKI itu musuhnya setelah terisolir oleh PKI. Dalam arti tertentu benarlah pendapat orang yang menilai strategi PKI itu sebagai strategy of deception. Demikianlah, apabila kita teliti satu persatu, unsur-unsur politik yang mengadakan konfrontasi dengan PKI itu adalah unsur-unsur politik yang dulunya selalu mengatakan ‘tidak tepat’ apabila melihat seseorang atau sesuatu golongan yang mengadakan konfrontasi dengan PKI. Kesemuanya itu sudah tercakup dalam strategy of deception yang dikonstituir oleh PKI, dengan sadar dan rasional. Akan tetapi strategi PKI tersebut dalam pelaksanaannya akan dapat merupakan senjata makan tuan, karena proses perkembangan dari politik mengisolir golongan demi golongan itu dapat mengakibatkan isolasi diri sendiri. Hal ini dialami oleh PKI dan RRC sebagaimana terlihat dalam beberapa tahun.

Bukankah lawan-lawan PKI itu bertambah banyak oleh sebab ketika masih menjadi kawan-kawannya, PKI menilai mereka sebagai unsur-unsur yang ‘kurang revolusioner’ sehingga akhirnya mereka berubah menjadi lawan. Bukankah pula lawan-lawan dari RRC bertambah banyak, oleh sebab lawan-lawannya itu ketika masih menjadi kawan-kawannya, berubah menjadi lawan-lawannya setelah RRC menilai mereka itu sebagai negara-negara yang ‘kurang revolusioner’? Bukankah sesudah kegagalan-kegagalan PKI dan RRC itu, mereka pelajari kegagalan-kegagalan itu supaya darinya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang tepat?
Pokok soal inilah, yaitu belajar pada kegagalan-kegagalan PKI, yang menjadi tema dari tulisan ini. Harapan kita ialah bahwa bukan hanya PKI sajalah yang mempelajari kegagalan-kegagalan politiknya itu, tetapi juga kita. Di sinilah arti dari konfrontasi kita dengan Gestapu-PKI sebagai konfrontasi intelektual. Tentu saja konfrontasi kita dengan Gestapu-PKI itu bukan hanya suatu konfrontasi intelektual, tetapi juga konfrontasi politik, konfontasi ekonomi, konfrontasi militer dan sebagainya, hanya saja dalam tulisan ini dibatasi pada satu aspek saja. Hal ini perlu kita kemukakan, karena dalam banyak hal kita melihat adanya kecenderungan-kecenderungan yang menunjukkan persamaan-persamaan dengan kecenderungan-kecenderungan yang di masa proloog Gestapu-PKI dilakukan oleh PKI, yang menyebabkan terperosoknya PKI ke dalam jurang kegagalannya.
Apabila PKI (katakanlah, bekas partai terlarang PKI) sendiri telah belajar kepada kegagalan-kegagalannya, apakah sebabnya kita –yang merupakan lawan PKI– tidak belajar kepada kegagalan-kegagalan PKI itu? Apabila kita tidak mau belajar kepada kegagalan-kegagalan PKI itu, sedang PKI sendiri belajar baik-baik, maka setidak-tidaknya kita telah ketinggalan dalam konfrontasi di bidang intelektual. Oleh sebab itu, perlu ditekankan, kegagalan-kegagalan PKI itu harus kita pelajari dengan sebaik-baiknya, agar supaya keadaan tidak berbalik. Sebab apabila PKI telah sadar dari kekeliruan-kekeliruannya, sedang kita sendiri justru yang menjalankan kekeliruan-kekeliruan PKI itu, maka kitalah yang akan menjadi PKI, sedang PKI-lah yang akan menjadi kita.
Kesalahan pokok PKI, sebagai yang telah diuraikan dalam tulisan ini, adalah bahwa PKI telah menjalankan politik sektarisme, suatu politik yang oleh Lenin sendiri telah dikecam sebagai penyakit kanak-kanak, sehingga politik PKI telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Lenin. Itulah sebabnya dalam hari-hari pertama setelah terjadinya Gestapu-PKI seringkali kita mendenar ucapan sementara pemimpin kita bahwa “kita tidak menentang komunisme, tetapi kita menentang PKI, karena PKI telah menyalahgunakan komunisme, sebagaimana DI-TII telah menyalahgunakan Islam”.
Ucapan itu bersumber dalam pidato Resopim (1961) Presiden Soekarno, tetapi kita belum pernah mendengar pendapat orang PKI sendiri mengenai dalil itu, apakah memang diterima baik oleh PKI. Hanya, dalam Tesis 45 Tahun PKI yang diumumkan pertengahan tahun 1965 yang lalu, kita membaca bahwa PKI menghargai koreksi Bung Karno dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (1926) atas PKI –yang tahun 1926 melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, tetapi tanpa mengajak unsur-unsur Nasionalisme dan Islamisme. Apabila kesalahan yang secara implisit diakui oleh PKI dalam usahanya merebut kekuasaan dalam tahun 1926 (dan dalam tahun 1948) itu dibandingkan dengan kesalahannya dalam usaha merebut kekuasaan dalam tahun 1965, maka apakah kesalahan yang belakangan itu, tetap berupa kesalahan yang sama, yaitu tidak mengajak comrade in arms di luar PKI? Jika demikian halnya, maka PKI adalah sungguh-sungguh berkepala batu, dan pernyataannya “menerima baik koreksi Bung Karno” hanyalah suatu layanan di bibir belaka. Akan tetapi kalau kita melihat misalnya komposisi Dewan Revolusi Indonesia yang resminya disusun oleh bekas Letnan Kolonel Untung, maka kita tergoda sekali untuk menarik kesimpulan, bahwa dalam usahanya untuk merebut kekuasaan itu PKI telah berikhtiar untuk “mengajak comrade in arms di luar PKI”.
Namun sesudah dilakukannya koreksi itu PKI masih juga menderita kegagalan, di manakah gerangan letak sebabnya? Sesudah mengadakan diagnosa, tentulah PKI akan mengambil kesimpulan-kesimpulan mengenai sebab-sebab kegagalannya. Apakah kesimpulan-kesimpulan itu, kita tidak mengetahuinya, karena PKI tidak mengumumkannya. Kita hanya mengetahui, bahwa kemajuan pikiran yang telah dicapai oleh PKI di bidang teori selama 45 tahun terakhir tidak juga berhasil menolong PKI dari bahaya kegagalan-kegagalannya, walaupun kawan-kawan PKI di luar negeri meramalkan, bahwa “di bawah pimpinan PKI pastilah rakyat Indonesia akan mencapai kemenangan-kemenangan terakhir”.
Setelah peristiwa segala jalan ditempuh PKI untuk mengoreksi kesalahan-kesalahannya dan untuk menebus kekalahan-kekalahannya. Untuk itulah PKI menjalankan gerilya politik dengan mengharapkan akan masih dapat menggunakan bantuan comrade in arms di dalam negeri, seperti Soebandrio dan kawan-kawan. Yakinkah PKI bahwa sisa-sisa Orde Lama yang di tahun 1966 ini mencoba melakukan de laatste reddingspoging itu masih dapat dipandang sebagai kekuatan untuk menyukseskan gerilya politiknya? Apabila kita memperhatikan laporan Leonid Brezhnev yang walaupun mengesankan simpatinya kepada PKI, namun laporannya itu mempunyai tendensi untuk menyalahkan RRC terkait dengan kegagalan PKI di Indonesia. Oleh sebab itu, masih menjadi tanda tanya, apakah PKI menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pemimpin Sovjet itu.
Permulaan dari drama yang dimainkan telah kita lihat, yaitu kegagalan PKI dalam percobaannya untuk merebut kekuasaan pada tanggal 1 Oktober 1965. Dari peristiwa itu kita telah mengetahui kegagalan-kegagalan PKI, tetapi kita mempunyai dugaan, bahwa PKI telah berusaha untuk mengoreksi kesalahan-kesalahannya. Syukurlah, apabila dugaan kita itu salah. Tetapi kita dengan pikiran yang nuchter, yang tenang, tanpa sesuatu emosi, wajib mempelajari gejala kegagalan PKI itu. Mengamati gelagat gerilya politik PKI yang dilakukan setelah peristiwa, sedikit banyak kita telah mengetahui strategi PKI yang secara diametral bertentangan dengan strategi baru kita. Apakah strategi baru itu, telah dengan jelas dan terbuka dibentangkan oleh Simposium Kebangkitan Semangat Angkatan ’66 (Mei 1966) untuk menjelajah tracee baru.
Dengan strategi baru, yang dimaksudkan ialah segala kondisi objektif dan subjektif untuk melaksanakan tri tuntutan rakyat yang terkenal. Memang tidaklah mudah untuk turut mengambil bagian dalam strategi baru itu apabila jiwanya memang sudah tidak cocok dengan semangat pembaharuan yang disodorkan oleh Angkatan ’66. Dan jiwa yang sudah tidak cocok itu adalah jiwa yes man, plin-plan, vested interest dan sebagainya yang pendeknya adalah jiwa yang mengabdi kepada filosofie van het zelf-behoud, yang memang subur dalam orde politik sebelum ini.
Berhubung dengan itu, jiwa yang cocok dalam kehidupan politik baru menolak sinkretisme antara jiwa dari kehidupan politik sebelumnya dengan kehidupan politik baru, menolak dualisme antara pro dan anti Gestapu-PKI, menolak split of personality, menolak schizophrenia. Adalah suatu schizophrenia apabila kita mengganyang Gestapu-PKI, tetapi masih mempunyai phobie terhadap Manifes (Kebudayaan) dan seterusnya. Kita harus mengetahui betul-betul untuk apakah dan mengapakah kita memerlukan strategi baru. Sebab kalau tidak, maka kita akan kembali terjerumus ke dalam orde lama, kehidupan politik lama, yang telah diciptakan dan dijiwai oleh PKI.
Pikiran-pikiran ini harus kita kemukakan sejak sekarang ini, karena kita telah melihat gejala-gejala dari schizophrenia itu terutama apabila kita bisa terpancing isu-isu kekuatan lama. Adalah kewajiban kaum intelektual kita untuk memberikan terapi-terapi yang tepat dalam usaha menyembuhkan tubuh rakyat kita dari penyakit yang berbahaya itu. Penyakit itu adalah tempat yang subur bagi gerilya politik PKI. Demikianlah kesimpulan kita, setelah memawas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh PKI di masa proloog Gestapu-PKI, dan kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan di masa epiloognya (socio-politica).