Tag Archives: Dr Anhar Gonggong

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (1)

PKI sebenarnya adalah masa lampau dalam kehidupan politik Indonesia. Bahkan komunisme yang dianut sebagai ideologi oleh partai tersebut pun sudah menjadi bagian dari masa lampau di dunia, sejak hancurnya Uni Soviet. Negara komunis tersisa hanyalah Kuba, dan di Republik Rakyat Cina yang makin moderat dalam kehidupan sosial-ekonominya. Tapi tentu saja, akan selalu terdapat kelompok-kelompok di bekas negara-negara bekas Soviet yang masih menyimpan obsesi reinkarnasi ideologi tersebut sebagai alternatif terhadap ideologi kapitalisme liberalisme yang dianut negara-negara barat. Sementara negara-negara barat sendiri justru makin banyak memasukkan nuansa sosialistis dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi mereka. Apakah obsesi reinkarnasi juga dimiliki oleh sejumlah generasi muda yang kebetulan orangtua mereka sampai 45 tahun yang lampau berkiprah dalam kehidupan politik Indonesia hingga tahun 1965 melalui PKI? Hari Minggu 23 Mei yang lalu, mereka mengadakan pertemuan untuk ‘memperingati’ 90 tahun PKI yang lahir tahun 1920. Sebagai referensi sejarah mengenai kiprah PKI di Indonesia, berikut ini adalah tulisan Dr Anhar Gonggong, yang pernah dimuat dalam buku Simptom Politik 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan, Jakarta 2008.

MEMASUKI awal abad ke-20, dalam setting waktu historis Indonesia, perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda berubah bersama waktu. Kalau sepanjang awal kedatangannya sampai pada akhir abad 19, dan awal abad ke 17 dengan pembentukan organisasi dagang (VOC) yang mempunyai kekuatan militer untuk penaklukan, yang kemudian dilanjutkan pada abad 18, 19 dan awal ke-20, Belanda menghadapi perlawanan yang dilakukan dengan fisik atau strategi otot, maka pada awal abad ke-20, bentuk dan cara perlawanan yang dihadapi itu berubah. Perlawanan bentuk baru menggunakan cara-cara yang dilandasi pemikiran-pemikiran rasional (strategi otak). Kalau perlawanan strategi otot menggunakan kekuatan-kekuatan fisik –dari Perang Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin, kemudian Perang Pattimura, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro, Perang Batak pimpinan Sisingamangaraja dan Perang Aceh dan Perang Sawitto pimpinan Lasinrang yang dikalahkan pada 1912– maka ketika memasuki abad ke-20, cara perlawanan tidak lagi menggunakan senjata fisik semata, melainkan dengan senjata yang dilandasi oleh rasio atau otak.

Dalam perlawanan abad ke-20 itu, 1908-1942, senjata-senjata yang digunakan adalah senjata yang bertumpu pada kemampuan-kekuatan rasio, otak, yaitu organisasi, media massa, ideologi dan dialog. Perubahan cara perlawanan terhadap pemerintahan kolonial itu dilakukan oleh “kelompok-kelompok” warga anak-anak negeri jajahan Nederlandsch-Indie yang telah menikmati pendidikan yang diadakan oleh pemerintah kolonial. Warga terdidik tetapi tidak sekedar terdidik, melainkan terutama juga karena mereka tercerahkan. Mereka terdiri dari pelbagai asal tempat kelahiran dan suku bangsa dan menetap di kota-kota besar ketika itu, seperti  Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan lain-lain. Dari lingkungan warga terdidik-tercerahkan itulah awal terjadinya perubahan strategi perlawanan dalam bentuk strategi otak dengan senjata baru “tanpa kekerasan fisik bersenjata”.

Pemula ide dari perlunya perubahan di lingkungan anak-anak negeri jajahan NederlandschIndie ialah dr. Wahidin (Soedirohusodo), seorang dokter pensiunan yang menghendaki diadakannya fonds, dana pendidikan untuk “anak-anak bangsa Jawa”. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, dr. Wahidin berusaha melakukan pendekatan kepada sejumlah bupati dan bangsawan Jawa “yang berpengaruh” agar bersedia membantu menyediakan dana pendidikan yang diharapkannya itu. Untuk itu, terkadang ia berjalan kaki, naik andong untuk mengunjungi bupati atau tokoh yang diharapkannya. “Para bupati dan bangsawan yang dihubunginya” tampak tidak berminat atas idenya itu, bahkan menolak ide yang memang akan berdampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat Jawa di negeri jajahan NederlandschIndie.

“Senjata” organisasi untuk “pertama kalinya” diciptakan oleh sejumlah mahasiswa “sekolah kedokteran Jawa”, STOVIA, yang menerjemahkan ide dr. Wahidin menjadi sebuah organisasi “modern” yang berdasar pada etnis Jawa dengan “ideologi pendidikan dan kebudayaan”. Mereka melakukan rapat di Gedung STOVIA pada 20 Mei 1908 dan dari rapat itulah disepakati untuk membentuk sebuah organisasi dengan nama Boedi Oetomo dan dr. Soetomo sebagai ketua pertamanya. Setelah terbentuknya Boedi Oetomo itu, maka “secara berantai” sejumlah tokoh terdidik-tercerahkan mengambil insiatif untuk membentuk organisasi dengan nama dan landasan-anutan ideologi masing-masing. Terbentuklah Indische Partij pada 1911, kemudian Sarekat Islam (SI); Kalau Indische Partij dibentuk dengan ideologi nasionalisme Hindia, maka Sarekat Islam berideologi Islam. Dalam kaitannya dengan SI ini, ada hal yang perlu dicatat, yaitu SI dibentuk oleh sejumlah pedagang batik di Solo yang berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya karena adanya saingan yang datang dari para pedagang Cina.

Para pedagang batik itu memang pada umumnya beragama Islam, sehingga ketika membentuk organisasi, untuk menyatukan visi organisasinya, maka Haji Samanhudi mengajak rekan-rekannya untuk menjadikan agama Islam sebagai landasan sekaligus sebagai ideologi organisasi. Dalam kaitan dengan pertumbuhan SI di kemudian hari, seorang tokoh, yang juga pedagang di Surabaya, Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi anggota SI dan kemudian tampil menjadi pemimpin utama SI yang kemudian berkembang menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia atau PSII (AK Pringgodigdo, 1986).

Awal Kelahiran PKI dan Dampak Tragis Perlawanannya

Dalam perkembangan SI yang dibentuk pada tahun 1912 itu, tampil pula fakta-fakta peristiwa yang berkaitan dengan berkembang dan terbentuknya organisasi dari ideologi yang Marxis-Komunis atau yang lebih populer dikenal dengan istilah komunisme. Ia bermula dengan datangnya seorang aktivis Komintern, Sneevliet ke Indonesia, Surabaya. Tokoh berbangsa Belanda ini kemudian dapat berinteraksi dengan sejumlah tokoh Sarekat Islam di pelbagai kota, termasuk dengan Semaun yang menjadi ketua organisasi Buruh Kereta Api di Semarang, dan sekaligus juga Ketua dan tokoh SI di kota ini. Dari interaksi antar pimpinan SI yang memiliki visi dengan ideologi yang saling berbeda dan bertentangan, maka perkembangan SI mengalami arah yang “bersilangan cabang” dilihat dari ideologi; yaitu di satu sisi, sejak awal SI berideologi Islam dan memang dibentuk oleh pedagang-pedagang Islam di Solo untuk menghadapi pedagang Cina saingannya, di lain pihak, SI juga mempunyai tokoh-tokoh penting yang mulai menerima ideologi lain, yaitu ideologi Marxisme-Komunisme.

Tampak bahwa perkembangan kelompok Marxis-Komunis di dalam tubuh SI telah berkembang dengan cukup berarti dengan pengaruh yang mulai memberikan arti embriotik yang tidak dapat diabaikan. Berkembang “pesatnya” aliran Marxisme-Komunisme di dalam tubuh SI karena kemampuan mereka melakukan “penyebaran” ajarannya di dalam tubuh SI; Terjadi “penggerogotan” dari dalam dengan melakukan yang oleh seorang ahli sejarah tentang Indonesia, Ruth McVey, disebut Block Within; yaitu membentuk “blok-blok aliran Marxis-Komunis” di dalam tubuh SI itu sendiri.

Tentu saja adanya dua kekuatan ideologi di dalam satu organisasi, akan melahirkan pertentangan yang setiap saat berkembang menjadi makin tajam. Hal itu juga segera terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam. Apalagi Semaun dan kawan-kawan makin menunjukkan sikap agresivitasnya untuk melawan kaum kapitalisme, termasuk kapitalis yang ada di lingkungan warga pribumi NederlandschIndie ketika itu. Terjadinya pertentangan di antara kedua kekuatan ideologi di dalam tubuh SI digambarkan sebagai berikut:

“Telah dalam tahun 1916, Semaun sebagai wakil cabang Surabaya, menentang sikap Pengurus Besar SI di Kongres SI yang diadakan di Bandung. Dalam tahun 1917 sebagai pimpinan baru SI cabang Semarang, ia meneruskan perlawanannya itu di dalam kongres yang diadakan pada tahun 1917 itu. Pada tahun 1918 ia menjadi Komisaris Pengurus Besar SI untuk Semarang, maka dapatlah ia dengan lebih baik lagi mempergunakan pengaruhnya terhadap pemimpin-pemimpin yang tulen daripada SI itu. Karena takut akan adanya perpecahan dalam SI, maka pemimpin-pemimpin ini berlomba-lombalah mengatasi Semaun dalam hal sikap ‘kiri’! Oleh karena itulah, maka kelihatan di atas tadi dengan nyata aliran pelajaran marxis juga pada pemimpin-pemimpin SI yang lain-lain itu”.

Dalam pertentangan di antara kedua kekuatan ideologis itu, tampak adanya persaingan untuk memasukkan pikiran-pikiran ideologis mereka ke dalam rumusan hasil kongres, termasuk dalam Anggaran Dasar Organisasi. Tampaknya “kekuatan kiri” berhasil memasukkan dalam Anggaran Dasar Central Sarekat Islam (CSI) rumusan antara lain “…perjuangan menentang kapitalisme yang berdosa”. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, apalagi setelah kekuatan kiri itu mengorganisasikan diri dalam satu partai, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), maka pengurus SI “yang asli berideologi Islam” melakukan langkah-langkah tindak yang membatasi gerak kekuatan kiri-PKI di dalam tubuh organisasi mereka, antara lain dengan cara menerapkan Disiplin Partai yaitu tidak memperkenankan seseorang – termasuk anggota PKI – untuk menjadi anggota SI dan pada saat yang bersamaan juga menjadi anggota organisasi lain. Adanya disiplin partai yang dikeluarkan SI itu, tentu saja sangat merugikan posisi PKI dari segi penyebaran ideologi. Disiplin partai ini telah ditetapkan pada kongres tahun 1921 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada 1923.

Tetapi terlepas dari adanya disiplin partai SI yang dikenakan bagi warga PKI itu, pimpinan PKI –Semaun, Dharsono, Alimin, Tan Malaka dan lain-lain– tetap berusaha melanjutkan kegiatan-kegiatan mereka untuk memperluas pengaruh di tengah-tengah warga negeri jajahan NederlandschIndie dengan pelbagai kegiatan, termasuk mengorganisasi kekuatan-kekuatan buruh dan kekuatan lainnya. Bahkan juga melakukan propaganda ke lingkungan warga beragama Islam dengan “mensejajarkan” ajaran Islam dengan ajaran-ajaran Marxisme-Komunisme dengan mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad, yang antara lain dilakukan oleh Haji Misbach. Dengan menggunakan kekuatan massa yang mendukung organisasi mereka, para pemimpin PKI melakukan tindakan-tindakan yang “bersifat revolusioner” dalam bentuk pemogokan, demonstrasi dan lain-lain. Dengan tindakan-tindakan itu, PKI mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah kolonial.

Berlanjut ke Bagian 2

Indonesia Dalam Malapetaka Politik Ideologi dan Keruntuhan Ekonomi (3)

“Kini, tentara berkiprah dalam politik dan kekuasaan dengan melepaskan uniform, menggunakan idiom-idiom demokrasi dan idiom-idiom civil society lainnya, meskipun sesekali tetap terlihat ‘canggung’ dan seringkali ‘gregetan’ menghadapi berbagai ‘ulah’ kaum sipil yang representasinya saat ini ‘dipegang’ oleh para politisi partai”.

MEMASUKI abad ke-20, seperti dipaparkan sejarawan Dr Anhar Gonggong, selain senjata organisasi, media massa dan dialog, senjata ideologi merupakan salah satu senjata ampuh kaum terdidik Indonesia dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan. Namun dalam masa kemerdekaan, terjadi fenomena bahwa kehadiran dan penggunaan sejumlah ideologi sebagai senjata politik menjadi salah satu faktor dis-integrasi. Para pelaku dalam kehidupan politik terdorong ke dalam satu situasi hubungan yang menajam dalam perbedaan dan tak berhasil didamaikan dalam satu ideologi.

Eksplisitasi cita-cita penguasa?

Sebenarnya, menurut Dr Alfian –dalam ‘Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia’, LP3ES, 1983)– telah disepakati bersama Pancasila adalah dasar negara kita, Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Di samping itu Pancasila juga merupakan ideologi atau pandangan hidup bersama yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang beraneka ragam dalam kehidupan berbegara dan bermasyarakat. Di dalam pancasila sekaligus juga tercermin idealisme atau cita-cita yang menjadi tujuan bangsa Indonesia. Tetapi “kalau kita lihat sejarah perjalanan ideologi bangsa kita, Pancasila, semenjak proklamasi kemerdekaan tampak bagaimana sulit liku-liku jalan yang ditempuhnya. Sudah berapa kali mengalami godaan, cobaan dan bahkan ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Inilah salah satu permasalahan bangsa Indonesia sejak mula.

Pancasila menurut Rahman Tolleng, merupakan suatu kenyataan, yang sudah bergema sepanjang Indonesia merdeka, baik sebagai dasar negara maupun sebagai cita-cita way of life. Pancasila sebagai tujuan dan seharusnya sebagai cara untuk mencapai tujuan itu. Terlepas dari persoalan apakah Soekarno adalah konseptornya, pencipta atau penggali Pancasila, yang kemudian mencetuskannya pada tanggal 1 Juni 1945. Benar atau tidaknya, kemungkinan-kemungkinan masih perlu dibahas secara akademis. Tapi sudah pasti, bahwa Pancasila telah merupakan milik bangsa Indonesia, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

“Pancasila telah disemboyankan dari zaman ke zaman”. Di zaman lalu maupun sekarang. Hampir dalam setiap pidato, di dalam setiap tulisan yang membahas soal-soal kenegaraan, orang tidak lupa untuk menyebutkan Pancasila. Pancasila betul-betul sudah menjadi milik bangsa, dan agaknya tidak ada sesuatu kekuatan pun yang bisa merenggutkan daripadanya. Namun, sebegitu jauh Pancasila belum merupakan suatu objektivitas dalam kehidupan rakyat. Jangankan merupakan realitas dalam tujuan, sebagai pandangan hidup pun masih merupakan sekedar satu cita-cita. Dalam kehidupan sehari-hari “kita hanya mengenal Pancasila dalam slogan, maksimum sebagai mitos atau lambang persatuan”. Setiap pemimpin tentu pandai mengucapkannya, pandai melafalkan sila-silanya satu per satu. Sila demi sila yang tidak bisa dibantah mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya. Tetapi kalau berbicara tentang inter-relasi antara sila demi sila, maka kita akan sangat kecewa. Seolah-olah Pancasila hanyalah kumpulan ‘barang-barang’ indah yang di dalam keseluruhannya belum tentu tersusun rapih. Setiap orang cenderung menafsirkan semau-maunya, sehingga seakan-akan kita berhadapan dengan Pancasila yang berlain-lainan. Dan akhirnya tidak bisa dipisahkan lagi mana Pancasila dan bukan Pancasila. Lebih tragis lagi, bahwa ideologi rakyat Indonesia ini berobah menjadi ideologi atau eksplisitasi cita-cita mereka yang berkuasa.

Rezim Soeharto yang semestinya menjadikan Orde Baru sebagai sebuah orde yang demokratis, ternyata banyak menggunakan Pancasila sebagai senjata politik untuk membungkam lawan dengan tudingan ‘anti Pancasila’ dan ‘anti pembangunan’ di bawah suatu sistem yang disebutkan sebagai ‘demokrasi Pancasila’ yang dalam kenyataannya sebuah sistem yang sangat represif. Pada waktu yang bersamaan dengan penanganan dan perlakuan Pancasila secara keliru, situasi tak pernah tuntasnya penyelesaian berbagai benturan kebudayaan, menciptakan rangkaian konflik horizontal berkepanjangan dalam masyarakat yang kadangkala mencuat sebagai suatu malapetaka sosiologis yang berkepanjangan dengan segala akibatnya yang lebih mendekatkan Indonesia pada kemungkinan untuk menjadi satu bangsa yang gagal pada akhirnya.

Kini, setelah masa reformasi, walau tak sedang terancam, Pancasila sedang mengalami satu masa surut di tengah masyarakat. Tetapi masalah ideologi dan perubahan masyarakat, menurut almarhum Dr Alfian, bukan hanya merupakan persoalan bangsa Indonesia. Semua bangsa yang mempunyai ideologi atau pandangan hidup yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan-perubahan menghadapi masalah ini. Ada bangsa-bangsa yang berhasil mempertahankan ideologi dan pandangan hidupnya dalam mengarungi berbagai macam perubahan yang dilalui masyarakatnya. Pada sisi yang cemerlang, ideologi itu bahkan berhasil menjadi landasan sekaligus pendorong perubahan-perubahan yang memang dikehendaki bangsa itu. Ideologi adalah nafas bagi satu bangsa, kata Dr Midian Sirait. Dalam hal ini ideologi merupakan penggerak utama –prime movers– dari proses perubahan atau pembangunan masyarakat. Ideologi semacam itu bukan saja mampu bertahan menghadapi perubahan zaman, tetapi sekaligus telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dalam diri bangsa itu. Sudah membudaya dalam masyarakat. Untuk konteks Pancasila di Indonesia, apa yang digambarkan Alfian itu, belum terjadi.

Komunisme yang masuk ke Indonesia dengan muatan tujuan khas yang lebih memiliki tujuan dan kepentingan internasional –komunisme internasional– daripada konteks kepentingan nasional, hanya melahirkan pemberontakan 1926, 1948 dan 1965. Komunisme itu sendiri adalah pecahan dari ajaran Karl Marx dan Friederich Engels yang dikembangkan oleh Lenin dan dilanjutkan Stalin dan juga Mao Zedong sebagai satu ideologi yang otoriter. Aspek kemanusiaan yang masih memuliakan manusia dan keadilan yang masih terdapat dalam ajaran Karl Marx hilang dalam komunisme.

Islamisme yang untuk sebagian diartikan dengan makna sebagai suatu ideologi sempit melahirkan perdebatan panjang Piagam Jakarta dan sejumlah pemberontakan untuk mendirikan negara Islam yang masih hidup sebagai gagasan dan keinginan hingga saat ini. Berkali-kali masih muncul upaya menghidupkan dan memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam Undang-undang Dasar Negara. Setelah pemberontakan DI-TII (Darul Islam, Tentara Islam Indonesia) dipadamkan, dari waktu ke waktu terjadi usaha-usaha baru untuk menegakkan Negara Islam di Indonesia, melalui berbagai usaha dan gerakan radikal. Kini, jauh setelah pertengkaran tentang Piagam Jakarta di awal masa kemerdekaan, muncul sejumlah fenomena baru berupa perjuangan memasukkan berbagai ketentuan syariat agama dalam praktek pemerintahan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah melalui sejumlah peraturan daerah yang pada hakekatnya sudah merupakan penerapan hukum agama dengan ‘kekuatan hukum’ berdasarkan kewenangan pemerintah. Pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran syariat, seperti misalnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan, tidak memakai jilbab, tidak menunaikan shalat Jumat, bisa dihukum berdasarkan kekuasaan ‘negara’ di daerah. Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Nangro Aceh Darussalam yang sepenuhnya menjalankan ketentuan syariat agama melalui kekuasaan pemerintahan. Hukum cambuk dan rajam menjadi bagian dalam pelaksanaan hukum. Bersamaan dengan itu muncul pula kelompok-kelompok kekuatan radikal dan fanatis yang berpretensi menjadi polisi kebenaran moral dan hukum agama, yang tak segan-segan melakukan tindakan main hakim sendiri dengan cara paksa dan kekerasan terhadap segala perbuatan yang dianggap menyalahi hukum agama.

Nasionalisme sementara itu cenderung menyempit karena tidak berkembangnya nasionalisme itu menjadi gagasan yang lebih modern dan terbuka dan hanya terpaku kepada gagasan awal yang  yang merupakan cikal bakal yang diletakkan oleh Soekarno masih pada kwartal pertama abad 20, yakni marhaenisme yang penamaannya menurut Soekarno dipinjam dari nama seorang petani miskin, Marhaen. Petani bernama Marhaen, masih memiliki tanah tetapi kecil meskipun tidak memadai sebagai alat produksi. Bukan kaum proletar yang menurut Marx adalah kaum yang sama sekali tidak mempunyai alat produksi, kecuali tenaga. Adalah Soekarno sendiri dalam pergulatan kekuasaan dan dalam proses melanjutkan kekuasaan itu, senantiasa mengobarkan berbagai semboyan dan slogan yang mendorong proses menyempitnya nasionalisme –baik sebagai praktek hidup maupun sebagai pedoman sikap– dengan memunculkan ‘musuh’ retorik dari luar maupun dari dalam negeri yang untuk sebagian adalah imajiner atau setidaknya tidak sebesar yang digambarkannya. Sesuatu yang agaknya terpaksa dilakukannya untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kesulitan ekonomi akibat kegagalan pengelolaan kekayaan alam dan menjalankan pembangunan.

Kehadiran berbagai ideologi yang kemudian diperlakukan lebih banyak sebagai konsep dan dogma yang sekedar dijadikan alat menuju kekuasaan daripada sebagai suatu gagasan dinamis, mendorong terciptanya kehidupan politik dan kepartaian Indonesia yang sangat ideologistis, dengan tujuan-tujuan yang lebih pragmatis daripada idealistis. Padahal, seperti yang telah diutarakan, ideologi dalam pengertian dasarnya adalah ilmu pengetahuan tentang gagasan, yakni gagasan yang mengandung nilai-nilai luhur, azasi dan fundamental tentang hidup, manusia dan dunia, yang berguna untuk memecahkan masalah bersama yang mendasar.

Tampilnya kekuatan militer sebagai kekuatan politik berdasarkan peranan historis mereka semasa revolusi bersenjata, juga ikut mencipta jalinan yang lebih rumit lagi dalam proses kehidupan sosial, politik dan kekuasaan. Dalam kurun waktu dua puluh tahun awal kemerdekaan, sejumlah pemberontakan bersenjata terjadi dengan keikutsertaan kaum tentara sendiri di satu pihak sebagai bagian dari pemberontakan itu dan sebagian lainnya berperanan menjadi alat pemerintah untuk memadamkan pemberontakan itu. Berdasarkan pengalaman historisnya dalam revolusi bersenjata 1945-1949 dan pengalaman tugasnya selaku pemadam pemberontakan hingga 1965, dengan menyatakan bosan untuk senantiasa menjadi ‘pemadam kebakaran’ belaka, kaum tentara merasa perlu masuk lebih dalam lagi ke dalam medan preventif dengan terjun ke kancah sosial politik selaku suatu kekuatan sosial politik, untuk mencegah kebakaran secara dini. Itu telah dilakukan selama 32 tahun bersama Soeharto, sebelum kembali surut pasca Soeharto. Kini, tentara berkiprah dalam politik dan kekuasaan dengan melepaskan uniform, menggunakan idiom-idiom demokrasi dan idiom-idiom civil society lainnya, meskipun sesekali tetap terlihat ‘canggung’ dan seringkali ‘gregetan’ menghadapi berbagai ‘ulah’ kaum sipil yang representasinya saat ini ‘dipegang’ oleh para politisi partai.

DALAM kaitan ideologi, saat ini, setidaknya pada sepuluh tahun pertama tahun 2000-an, seperti digambarkan Marzuki Darusman, ada suatu suasana pencarian ideologi dengan makna dan orientasi teoritis baru sebagai alternatif terhadap marxisme dan liberalisme yang dilakukan oleh sejumlah kaum muda saat ini. Ideologi alternatif dengan makna dan orientasi teoritis baru itu adalah social democracy atau demokrasi sosial. Tapi pencarian ini tentunya tidak mengurangi arti Pancasila sebagai ideologi bangsa, karena di sini bukan ideologi yang dipersoalkan, melainkan membahas orientasi ideologinya. “Tidak mengherankan bila dalam proses pencarian yang dilakukan generasi muda dan masyarakat pada suatu orientasi  teoritis yang mempunyai sifat atau corak ideologis itu, lalu ada gerak pemikiran dan analisis yang mengungkit kembali soal-soal yang berhubungan dengan masalah demokrasi sosial”. Apa yang akan dicapai, masih perlu dilihat lebih lanjut pada masa mendatang ini.

Berlanjut ke Bagian 4