Tag Archives: Sultan Hasanuddin

PKI Sejak 23 Mei 1920: Dari Konflik ke Konflik (1)

PKI sebenarnya adalah masa lampau dalam kehidupan politik Indonesia. Bahkan komunisme yang dianut sebagai ideologi oleh partai tersebut pun sudah menjadi bagian dari masa lampau di dunia, sejak hancurnya Uni Soviet. Negara komunis tersisa hanyalah Kuba, dan di Republik Rakyat Cina yang makin moderat dalam kehidupan sosial-ekonominya. Tapi tentu saja, akan selalu terdapat kelompok-kelompok di bekas negara-negara bekas Soviet yang masih menyimpan obsesi reinkarnasi ideologi tersebut sebagai alternatif terhadap ideologi kapitalisme liberalisme yang dianut negara-negara barat. Sementara negara-negara barat sendiri justru makin banyak memasukkan nuansa sosialistis dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi mereka. Apakah obsesi reinkarnasi juga dimiliki oleh sejumlah generasi muda yang kebetulan orangtua mereka sampai 45 tahun yang lampau berkiprah dalam kehidupan politik Indonesia hingga tahun 1965 melalui PKI? Hari Minggu 23 Mei yang lalu, mereka mengadakan pertemuan untuk ‘memperingati’ 90 tahun PKI yang lahir tahun 1920. Sebagai referensi sejarah mengenai kiprah PKI di Indonesia, berikut ini adalah tulisan Dr Anhar Gonggong, yang pernah dimuat dalam buku Simptom Politik 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan, Jakarta 2008.

MEMASUKI awal abad ke-20, dalam setting waktu historis Indonesia, perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda berubah bersama waktu. Kalau sepanjang awal kedatangannya sampai pada akhir abad 19, dan awal abad ke 17 dengan pembentukan organisasi dagang (VOC) yang mempunyai kekuatan militer untuk penaklukan, yang kemudian dilanjutkan pada abad 18, 19 dan awal ke-20, Belanda menghadapi perlawanan yang dilakukan dengan fisik atau strategi otot, maka pada awal abad ke-20, bentuk dan cara perlawanan yang dihadapi itu berubah. Perlawanan bentuk baru menggunakan cara-cara yang dilandasi pemikiran-pemikiran rasional (strategi otak). Kalau perlawanan strategi otot menggunakan kekuatan-kekuatan fisik –dari Perang Gowa pimpinan Sultan Hasanuddin, kemudian Perang Pattimura, Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro, Perang Batak pimpinan Sisingamangaraja dan Perang Aceh dan Perang Sawitto pimpinan Lasinrang yang dikalahkan pada 1912– maka ketika memasuki abad ke-20, cara perlawanan tidak lagi menggunakan senjata fisik semata, melainkan dengan senjata yang dilandasi oleh rasio atau otak.

Dalam perlawanan abad ke-20 itu, 1908-1942, senjata-senjata yang digunakan adalah senjata yang bertumpu pada kemampuan-kekuatan rasio, otak, yaitu organisasi, media massa, ideologi dan dialog. Perubahan cara perlawanan terhadap pemerintahan kolonial itu dilakukan oleh “kelompok-kelompok” warga anak-anak negeri jajahan Nederlandsch-Indie yang telah menikmati pendidikan yang diadakan oleh pemerintah kolonial. Warga terdidik tetapi tidak sekedar terdidik, melainkan terutama juga karena mereka tercerahkan. Mereka terdiri dari pelbagai asal tempat kelahiran dan suku bangsa dan menetap di kota-kota besar ketika itu, seperti  Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan lain-lain. Dari lingkungan warga terdidik-tercerahkan itulah awal terjadinya perubahan strategi perlawanan dalam bentuk strategi otak dengan senjata baru “tanpa kekerasan fisik bersenjata”.

Pemula ide dari perlunya perubahan di lingkungan anak-anak negeri jajahan NederlandschIndie ialah dr. Wahidin (Soedirohusodo), seorang dokter pensiunan yang menghendaki diadakannya fonds, dana pendidikan untuk “anak-anak bangsa Jawa”. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, dr. Wahidin berusaha melakukan pendekatan kepada sejumlah bupati dan bangsawan Jawa “yang berpengaruh” agar bersedia membantu menyediakan dana pendidikan yang diharapkannya itu. Untuk itu, terkadang ia berjalan kaki, naik andong untuk mengunjungi bupati atau tokoh yang diharapkannya. “Para bupati dan bangsawan yang dihubunginya” tampak tidak berminat atas idenya itu, bahkan menolak ide yang memang akan berdampak besar bagi tatanan kehidupan masyarakat Jawa di negeri jajahan NederlandschIndie.

“Senjata” organisasi untuk “pertama kalinya” diciptakan oleh sejumlah mahasiswa “sekolah kedokteran Jawa”, STOVIA, yang menerjemahkan ide dr. Wahidin menjadi sebuah organisasi “modern” yang berdasar pada etnis Jawa dengan “ideologi pendidikan dan kebudayaan”. Mereka melakukan rapat di Gedung STOVIA pada 20 Mei 1908 dan dari rapat itulah disepakati untuk membentuk sebuah organisasi dengan nama Boedi Oetomo dan dr. Soetomo sebagai ketua pertamanya. Setelah terbentuknya Boedi Oetomo itu, maka “secara berantai” sejumlah tokoh terdidik-tercerahkan mengambil insiatif untuk membentuk organisasi dengan nama dan landasan-anutan ideologi masing-masing. Terbentuklah Indische Partij pada 1911, kemudian Sarekat Islam (SI); Kalau Indische Partij dibentuk dengan ideologi nasionalisme Hindia, maka Sarekat Islam berideologi Islam. Dalam kaitannya dengan SI ini, ada hal yang perlu dicatat, yaitu SI dibentuk oleh sejumlah pedagang batik di Solo yang berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya karena adanya saingan yang datang dari para pedagang Cina.

Para pedagang batik itu memang pada umumnya beragama Islam, sehingga ketika membentuk organisasi, untuk menyatukan visi organisasinya, maka Haji Samanhudi mengajak rekan-rekannya untuk menjadikan agama Islam sebagai landasan sekaligus sebagai ideologi organisasi. Dalam kaitan dengan pertumbuhan SI di kemudian hari, seorang tokoh, yang juga pedagang di Surabaya, Oemar Said Tjokroaminoto, menjadi anggota SI dan kemudian tampil menjadi pemimpin utama SI yang kemudian berkembang menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia atau PSII (AK Pringgodigdo, 1986).

Awal Kelahiran PKI dan Dampak Tragis Perlawanannya

Dalam perkembangan SI yang dibentuk pada tahun 1912 itu, tampil pula fakta-fakta peristiwa yang berkaitan dengan berkembang dan terbentuknya organisasi dari ideologi yang Marxis-Komunis atau yang lebih populer dikenal dengan istilah komunisme. Ia bermula dengan datangnya seorang aktivis Komintern, Sneevliet ke Indonesia, Surabaya. Tokoh berbangsa Belanda ini kemudian dapat berinteraksi dengan sejumlah tokoh Sarekat Islam di pelbagai kota, termasuk dengan Semaun yang menjadi ketua organisasi Buruh Kereta Api di Semarang, dan sekaligus juga Ketua dan tokoh SI di kota ini. Dari interaksi antar pimpinan SI yang memiliki visi dengan ideologi yang saling berbeda dan bertentangan, maka perkembangan SI mengalami arah yang “bersilangan cabang” dilihat dari ideologi; yaitu di satu sisi, sejak awal SI berideologi Islam dan memang dibentuk oleh pedagang-pedagang Islam di Solo untuk menghadapi pedagang Cina saingannya, di lain pihak, SI juga mempunyai tokoh-tokoh penting yang mulai menerima ideologi lain, yaitu ideologi Marxisme-Komunisme.

Tampak bahwa perkembangan kelompok Marxis-Komunis di dalam tubuh SI telah berkembang dengan cukup berarti dengan pengaruh yang mulai memberikan arti embriotik yang tidak dapat diabaikan. Berkembang “pesatnya” aliran Marxisme-Komunisme di dalam tubuh SI karena kemampuan mereka melakukan “penyebaran” ajarannya di dalam tubuh SI; Terjadi “penggerogotan” dari dalam dengan melakukan yang oleh seorang ahli sejarah tentang Indonesia, Ruth McVey, disebut Block Within; yaitu membentuk “blok-blok aliran Marxis-Komunis” di dalam tubuh SI itu sendiri.

Tentu saja adanya dua kekuatan ideologi di dalam satu organisasi, akan melahirkan pertentangan yang setiap saat berkembang menjadi makin tajam. Hal itu juga segera terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam. Apalagi Semaun dan kawan-kawan makin menunjukkan sikap agresivitasnya untuk melawan kaum kapitalisme, termasuk kapitalis yang ada di lingkungan warga pribumi NederlandschIndie ketika itu. Terjadinya pertentangan di antara kedua kekuatan ideologi di dalam tubuh SI digambarkan sebagai berikut:

“Telah dalam tahun 1916, Semaun sebagai wakil cabang Surabaya, menentang sikap Pengurus Besar SI di Kongres SI yang diadakan di Bandung. Dalam tahun 1917 sebagai pimpinan baru SI cabang Semarang, ia meneruskan perlawanannya itu di dalam kongres yang diadakan pada tahun 1917 itu. Pada tahun 1918 ia menjadi Komisaris Pengurus Besar SI untuk Semarang, maka dapatlah ia dengan lebih baik lagi mempergunakan pengaruhnya terhadap pemimpin-pemimpin yang tulen daripada SI itu. Karena takut akan adanya perpecahan dalam SI, maka pemimpin-pemimpin ini berlomba-lombalah mengatasi Semaun dalam hal sikap ‘kiri’! Oleh karena itulah, maka kelihatan di atas tadi dengan nyata aliran pelajaran marxis juga pada pemimpin-pemimpin SI yang lain-lain itu”.

Dalam pertentangan di antara kedua kekuatan ideologis itu, tampak adanya persaingan untuk memasukkan pikiran-pikiran ideologis mereka ke dalam rumusan hasil kongres, termasuk dalam Anggaran Dasar Organisasi. Tampaknya “kekuatan kiri” berhasil memasukkan dalam Anggaran Dasar Central Sarekat Islam (CSI) rumusan antara lain “…perjuangan menentang kapitalisme yang berdosa”. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, apalagi setelah kekuatan kiri itu mengorganisasikan diri dalam satu partai, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), maka pengurus SI “yang asli berideologi Islam” melakukan langkah-langkah tindak yang membatasi gerak kekuatan kiri-PKI di dalam tubuh organisasi mereka, antara lain dengan cara menerapkan Disiplin Partai yaitu tidak memperkenankan seseorang – termasuk anggota PKI – untuk menjadi anggota SI dan pada saat yang bersamaan juga menjadi anggota organisasi lain. Adanya disiplin partai yang dikeluarkan SI itu, tentu saja sangat merugikan posisi PKI dari segi penyebaran ideologi. Disiplin partai ini telah ditetapkan pada kongres tahun 1921 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada 1923.

Tetapi terlepas dari adanya disiplin partai SI yang dikenakan bagi warga PKI itu, pimpinan PKI –Semaun, Dharsono, Alimin, Tan Malaka dan lain-lain– tetap berusaha melanjutkan kegiatan-kegiatan mereka untuk memperluas pengaruh di tengah-tengah warga negeri jajahan NederlandschIndie dengan pelbagai kegiatan, termasuk mengorganisasi kekuatan-kekuatan buruh dan kekuatan lainnya. Bahkan juga melakukan propaganda ke lingkungan warga beragama Islam dengan “mensejajarkan” ajaran Islam dengan ajaran-ajaran Marxisme-Komunisme dengan mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad, yang antara lain dilakukan oleh Haji Misbach. Dengan menggunakan kekuatan massa yang mendukung organisasi mereka, para pemimpin PKI melakukan tindakan-tindakan yang “bersifat revolusioner” dalam bentuk pemogokan, demonstrasi dan lain-lain. Dengan tindakan-tindakan itu, PKI mendapat pengawasan yang sangat ketat dari pemerintah kolonial.

Berlanjut ke Bagian 2

Pers Indonesia: Senjata Perjuangan yang Beralih Menjadi Penanda Kegagalan Sosiologis (1)

Pers Indonesia telah menjalani satu perjalanan panjang yang lebih tua dari usia Indonesia Merdeka. Menjelang kemerdekaan, pers menjadi senjata perjuangan. Dalam masa kekuasaan otoriter bangsa sendiri, menjadi bagian dalam gerakan kritis mahasiswa. Dan pada tahun-tahun terakhir hingga 2010 ini, ketika mencapai kebebasan pers terbaik yang pernah dinikmati sepanjang sejarah Indonesia hingga sejauh ini, sebagian pelaku pers justru berubah wujud menjadi penikmat kebebasan yang kadangkala terjerumus dalam perilaku bebas tapi otoriter dan zalim. Sekaligus menjadi etalase penanda kegagalan sosiologis Indonesia. Untuk menyambut Hari Pers Nasional 9 Februari,  berikut ini adalah catatan Rum Aly, Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia 1971-1974. Mingguan generasi muda itu terbit pertama kali 19 Juni 1966 sebagai edisi Jawa Barat, didirikan oleh Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, Ryandi AS dan kawan-kawan aktivis pergerakan tahun 1966 dari Bandung.

PERJALANAN dan kehadiran pers di Indonesia adalah suatu sejarah yang telah melintasi lima abad berbeda, sejak pertengahan abad ke-17 hingga abad ke-21 saat ini. Seperti halnya perjalanan sejarah bangsa ini, pers –dalam pengertian media cetak yang dipublikasikan ke khalayak– di Indonesia juga melewati sejumlah babak pengalaman sejarah bangsa ini. Babak-babak itu adalah: masa panjang kolonialisme Belanda, masa bangkitnya paham kebangsaan, masa pendudukan balatentara Jepang, babak perang kemerdekaan, babak awal masa kemerdekaan dengan kehidupan politik yang liberalistik, masa otoriter Soekarno 1959-1965, masa otoriter Soeharto, dan masa pasca Soeharto yang lebih sering disebut masa reformasi..

Perlu untuk melihat apa yang terjadi pada abad-abad tersebut dalam konteks perjalanan sejarah manusia-manusia penghuni pulau-pulau Nusantara ini dalam usaha mewujudkan diri sebagai satu bangsa yang bersatu dan menuju kemerdekaan. Dan kemudian melihat titik singgungnya dengan peran atau pendayagunaan pers di dalam dinamika tersebut. Untuk itu kita akan meminjam sejumlah pemaparan sejarawan Anhar Gonggong (Referensi tema dalam buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006).

Menurut Anhar, sejak awal kedatangan dan penguasaan kolonial Belanda di Nusantara –yang kemudian mereka sebut Nederlandsch-indie– praktis VOC dan penguasa pemerintahan kolonial Belanda harus senantiasa menghadapi berbagai bentuk perlawanan para pemimpin dan rakyat Nusantara di pelbagai wilayah. Perlawanan yang disebut Belanda sebagai pemberontakan itu, berlangsung sepanjang abad 17, 18 dan 19, seperti misalnya Perang Gowa atau Perang Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, Perang Pattimura di Maluku, Perang Banjar, Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Diponegoro di bagian tengah Pulau Jawa dan berbagai perang lainnya. “Tentu saja perang itu terjadi karena pelbagai alasan yang melatarinya, yang berinti pada penentangan cara pemerintah kolonialis Belanda yang tidak adil, memiskinkan serta ‘merusak’ tatanan nilai-nilai kehidupan bersama mereka. Tetapi perlawanan-perlawanan itu –yang dilihat dari cara dan strategi perlawanannya tepat untuk disebutkan sebagai strategi otot– semuanya kalah dalam arti ditaklukkan secara fisik pula oleh kekuatan bersenjata pemerintah kolonial Belanda”. Meski mengalami kekalahan, para penentang dalam abad-abad yang lampau itu tetap dihargai. “Walaupun mereka belum berjuang untuk ‘perumusan diri sebagai satu bangsa’ yang juga tidak untuk merdeka, bagaimanapun juga perlawanan mereka adalah bagian sejarah anak negeri yang kini menjadi bangsa-negara Indonesia”.

Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan yang sangat penting artinya, yaitu tampilnya sejumlah warga terdidik dan tercerahkan ke gelanggang serangkaian perlawanan perjuangan menentang penjajahan. Mereka yang umumnya adalah kaum muda –lulusan pendidikan tinggi, mahasiswa dan kaum muda terpelajar lainnya– menetap di kota-kota dan telah mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang telah dibuka oleh pemerintah Belanda di Nederlandschindie. Kaum terdidik dan telah tercerahkan ini kemudian melakukan perubahan dalam cara, serta menjalankan strategi perlawanan yang berbeda dengan yang telah dilakukan para pendahulunya. “Warga terdidik-tercerahkan ini melakukan penentangan-perlawanan dengan menggunakan strategi rasional, strategi otak dengan senjata yang tentu saja bukan dengan kelewang dan bedil, melainkan senjata organisasi, ideologi, media massa dan dialog”. Di sini, kita melihat mulai masuknya pers sebagai alat pencapaian idealisme perjuangan.

Organisasi yang dianggap terbentuk paling awal ialah Boedi Oetomo yang dibentuk 20 Mei 1908. Terpicu oleh kelahiran Boedi Oetomo, secara berangsur lahirlah sejumlah organisasi dengan dasar dan tujuannya masing-masing.

Sejalan dengan pembentukan organisasi-organisasi itu, kaum pergerakan ini pun mengenal ideologi perjuangan mereka. Setiap organisasi mempunyai landasan-anutan ideologi tertentu seperti Nasionalisme, Islamisme, Marxis-Komunisme, Sosialis-Demokrat, Nasionalis-Marhaenis dan lain-lain. Organisasi-organisasi itu di antaranya adalah Indische Partij, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia Raya (Parindra) dan lain sebagainya.

Dengan terbentuknya organisasi-organisasi itu, perlawanan memasuki Periode Pergerakan Nasional 1908-1942. Pena dan media massa menjadi senjata perlawanan perjuangan dalam periode sejarah Indonesia modern tersebut. Gagasan tentang perumusan diri, persatuan dan ‘menjadi Indonesia’ disebarkan melalui tulisan di media-media massa. Kegiatan penulisan meluas dengan cepat dalam periode itu. Berdasarkan data dari M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia, pada tahun 1918 telah terbit kurang lebih 40 suratkabar, sebagian besar berbahasa Indonesia; Tahun 1925 terbit sekitar 200 suratkabar dan pada 1928 terbit kurang lebih 400 harian, mingguan dan bulanan. Dalam periode pergerakan nasional itu, para pemimpin tampil sebagai penulis untuk menyebarkan gagasan-gagasannya ke tengah-tengah masyarakat bangsanya melalui media massanya masing-masing. Salah seorang di antaranya, Soekarno, dalam zaman penuh gagasan itu, melontarkan ide menciptakan persatuan di antara kekuatan-kekuatan golongan nasionalis dengan kekuatan Islamis dan Marxis-Komunis. Gagasan itu dikemukakannya melalui artikel yang dituliskannya dalam majalah Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926 tatkala ia masih berusia 25 tahun. Di dalam perkembangannya kemudian setelah ia masuk ke dalam kekuasaan negara di masa Indonesia merdeka, khususnya dalam periode demokrasi terpimpin 1959-1965 gagasan itu kembali dirumuskan dan menjadi ‘ideologi’ utama dengan penamaan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis).

Selain dengan pena, dialog juga menjadi salah satu senjata perjuangan dalam pergerakan nasional. Banyak yang tercapai melalui dialog di antara para pemimpin bangsa dalam merumuskan diri sebagai satu bangsa yang bersatu dan akan berjuang menjadi satu bangsa merdeka. Namun sayangnya, selain keberhasilan perumusan untuk bersatu, dalam periode itu pula tercipta satu per satu titik-titik perbedaan yang tak sempat dituntaskan sehingga tak sedikit di antaranya yang kelak di kemudian hari menjadi batu sandung bagi proses mempertahankan persatuan bangsa justru setelah Indonesia merdeka.

Pertemuan kecerdasan dengan ilmu komunikasi, dan pertemuan fungsi pers dengan demokrasi. Tentu merupakan suatu hal yang menarik ditelaah, kenapa setelah hampir dua setengah abad ‘mengenal’ dunia pers untuk pertama kali, barulah manusia di Nusantara ini mampu menggunakannya sebagai senjata perjuangan menghadapi kaum penjajah.

Penerbitan pers pertama di Nusantara, di kota Batavia, adalah pada tahun 1676, berupa suatu berkala bernama Kort Bericht Europa (Warta Singkat Eropa). Pada masa-masa berikutnya menyusul berbagai jenis penerbitan berkala lainnya, majalah dan akhirnya koran pertama yang terbit di Batavia, Bataviasche Koloniale Courant pada tahun 1810. Karena penerbitan-penerbitan itu berbahasa Belanda, ia menjadi asing bagi mereka yang disebut kaum ‘pribumi’. Selain itu, isinya juga mengutamakan catatan-catatan situasi yang menjadi kebutuhan masyarakat Belanda sendiri, khususnya untuk kepentingan penguasa Belanda, apalagi memang media-media pers itu hingga seberapa lama hanya boleh diterbitkan oleh pemerintah. Sejak tahun 1836, swasta Belanda, atau partikulir, mulai diizinkan ikut mengelola penerbitan dengan berbagai persyaratan ketat. Sempat juga terjadi gejala yang membuat gerah pemerintah kolonial saat beberapa media mulai menurunkan tulisan yang bersifat kritik antar pejabat, tatkala berlaku semacam sistem ‘otonomi daerah’ dalam pemerintahan kolonial.

Sebuah koran dari pemerintah untuk ‘pribumi’ Indonesia muncul bulan Maret 1855 dengan menggunakan bahasa Jawa, Bromartani di Surakarta. Meskipun demikian, tetap saja tidak menjangkau kalangan akar rumput, melainkan hanya ditujukan kepada kaum priyayi Jawa yang mengabdi dalam tata kekuasaan kolonial. Kesempatan untuk terbitnya suatu media dari ‘pribumi’ untuk ‘pribumi’ akhirnya muncul di tahun 1903, bernama Medan Prijaji dengan Pemimpin Redaksi Raden Mas Tirto Adisoerjo. Mula-mula terbit di Bandung sebelum berpindah ke Jakarta. Koran pribumi ini mencantumkan semboyan “Orgaan bagi Bangsa jang terperintah di Hindia Olanda, tempat memboeka soearanja”. Koran ini lebih dulu terbit dari yang kemudian diterbitkan Boedi Oetomo. Dalam konteks idealisme dan kesadaran sebagai bangsa terjajah yang harus merubah nasib, Medan Prijaji, merupakan tonggak ancang-ancang bagi kelahiran pers perjuangan kebangsaan beberapa tahun kemudian.

Bahwa dibutuhkan dua abad lebih sebelum ‘pribumi’ terjun ke dunia pers, selain karena pemerintah kolonial Belanda memang tak membuka kesempatan untuk itu, juga tak lain terutama karena tak dimilikinya kesempatan untuk mencerdaskan diri di kalangan pribumi. Barulah setelah dijalankannya etische-politiek, yang membuka kesempatan terbatas bagi kalangan atas pribumi, secara berangsur-angsur muncul lapisan kaum terdidik dan tercerahkan. Produk-produk pertama hasil terbukanya kesempatan pendidikan itu mulai terasa kehadirannya pada awal abad 20, dan dengan segera menunjukkan dampak berupa bangkitnya kesadaran sebagai satu bangsa yang pada saatnya harus memerdekakan diri. Telah terjadi pertemuan antara kecerdasan dan ilmu komunikasi. Sekaligus, pers Indonesia menemukan satu identitas dari suatu latar belakang historis sebagai pers perjuangan. Dalam penamaan itu semestinya terkandung prinsip kebenaran sebagai sumber keadilan bagi rakyat banyak, dan penempatan diri sebagai kekuatan pembaharuan dan pencerahan.

Dalam perkembangannya kemudian dalam paruh pertama abad ke-20, tumbuh persepsi dan atau keyakinan pentingnya posisi pers dalam kehidupan demokrasi. Pers diyakini merupakan kekuatan keempat dalam demokrasi selain tiga kekuatan lain, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif. Sebagai pilar demokrasi, keempatnya bekerja dalam satu sistem yang memiliki hubungan saling mengawasi. Keempatnya secara normatif bekerja untuk kepentingan rakyat sebagai dasar dari eksistensi demokrasi.

Sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi itu, dengan sendirinya pers berkaitan dengan aspek kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri adalah alat terbaik dan paling efektif dalam mengatur kepentingan-kepentingan, yang bila digunakan dalam keteraturan dengan cara dan tujuan bersama yang baik, akan menghasilkan output yang terbaik pula untuk kepentingan bersama sebagaimana yang diinginkan dalam berdemokrasi. Namun sepanjang catatan pengalaman empiris, tanpa sistem kontrol yang baik segala yang bersifat dan berbentuk kekuasaan itu cenderung untuk korup. Makin besar kekuasaan makin besar kecenderungan koruptif itu. Ini menjadi pula pengalaman Indonesia, sejak awal masa kemerdekaan hingga kini, dan bahkan bila dirunut ke masa lampau, fenomena keburukan kekuasaan memiliki akar-akar yang kuat dalam tata feodalisme Nusantara yang kemudian lebih diperkuat dalam pertemuan dengan nilai yang bersumber pada praktek colonialism crime yang dijalankan oleh bangsa-bangsa kuat dari barat maupun timur.

Berlanjut ke Bagian 2

Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (4)

”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan”.

Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing-masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa serta cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana.

Keberanian massa melakukan ‘pengganyangan’ PKI masih sejak hari-hari pertama setelah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.

Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu, karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‘pengganyangan’. Rumah tokoh-tokoh PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan diporakporandakan oleh massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai Islam serta HMI dan PII. Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi dalam kasus penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan. Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman, yang ikut apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka banyak anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal.

Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh tentara yang menggunakan tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan yang putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina. Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu, harta benda mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.

Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya, dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua suratkabar terkemuka, dan salah satunya adalah Harian Marhaen, ‘milik’ PNI. Kehadiran media cetak ini membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak ‘dilihat’orang. Sementara itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih banyak dari GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘’di perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI”.

Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu sedang krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar.

Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan lain-lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan karena adanya DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone. Merupakan ‘kelebihan’ Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah, meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak wah.

Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses ‘pemiskinan’ pada masa itu, sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus-pengurus dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia, termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat mengibakan hati. “Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan”, ia menuturkan kemudian.

Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparan-pemaparan berikut ini.

PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk sekian tahun lamanya hingga menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa –di mana kaum bangsawan memiliki ‘kekuasaan’ yang jelas dengan memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan  Sulawesi Selatan memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan turun temurun –terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni– maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.

Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya –karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya– berupa perilaku-perilaku yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak. Para bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik, karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peran sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya dengan cara yang amat mengerikan.

Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah, tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan hormat dari lingkungannya.

Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.

Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini mengalami semacam koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah meninggalkan perspektif hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka mengalami perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga tewas. Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah, perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar, sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya, setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat peperangan melawan Belanda.

Adalah karena kepopuleran PNI dan organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka setelah terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‘perhatian’. Dan karena kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini, karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi saat itu menjadi momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI.

Berlanjut ke Bagian 5