“Selain itu, bila toh ingin melakukan pemakzulan, perlu menjawab pertanyaan tentang alternatif sesudah pemakzulan, jangan-jangan yang tersedia, sekali lagi, hanyalah ‘mahluk baru’ dengan rahang menganga yang siap melahap dalam satu lakon baru….. Atau tokoh lain yang akan sama mengecewakannya”.
Din dan Dipo yang ‘berani’. SEBELUM di Bandung, Sri Bintang Pamungkas telah berkali-kali berorasi menyerukan supaya SBY diturunkan dari kursi kepresidenan. Tetapi bukan dia yang menyerukan jalan melalui revolusi dalam pertemuan di Gedung Indonesia Menggugat Bandung yang luput dari peliputan pers itu. Sri Bintang Pamungkas (lahir tahun 1945) memang agaknya seorang spesialis untuk bidang yang satu ini. Meski belum diketahui persis sejauh mana pengaruh dan perannya dalam setiap ‘pemakzulan’ dan atau ‘pergantian’ presiden, ia tercatat selalu ikut menyuarakan perubahan kepemimpinan negara, mulai terhadap Presiden Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri hingga yang terbaru, Susilo Bambang Yudhoyono.
Mungkin Sri Bintang hanya ‘kalah’ satu langkah dari Arifin Panigoro yang juga selalu tercatat keikutsertaannya dalam setiap proses ‘penurunan’ seorang Presiden Indonesia, termasuk terhadap Soekarno. Arifin tercatat namanya turut serta dalam gerakan anti Soekarno di tahun 1966-1967 kala masih menjadi mahasiswa ITB di Bandung.
Di masa yang tak terlalu ‘berbahaya’ lagi bagi para penentang kekuasaan seperti sekarang ini, seruan pemakzulan bahkan seruan revolusi, bisa meluncur dari mulut banyak orang tanpa risiko terlalu tinggi. Jauh berbeda dengan zaman Soekarno (khususnya pada 1959-1965) atau zaman Soeharto (1967-1997 atau awal 1998), yang bisa berisiko pemenjaraan tanpa pernah diadili hingga penculikan dan atau bentuk eliminasi lainnya bagai para aktivis, serta pembreidelan bagi pers. Suara terbaru tentang pemakzulan, diluncurkan antara lain oleh Din Syamsuddin, salah satu tokoh lintas agama yang kerap berkiprah di dunia politik praktis.
Din Syamsuddin menyebutkan pemerintahan SBY telah menyimpang dari konstitusi atau UUD 1945. Pelanggaran konstitusi merupakan salah satu alasan yang bisa digunakan untuk pemakzulan. Maka, Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang dulu adalah aktivis yang kurang lebih satu zaman dengan Hariman Siregar di Universitas Indonesia, menyanggah dari New Delhi, “itu tidak betul”. Kepada wartawan Kompas, J. Osdar, Dipo mengatakan tidak gentar untuk mengeluarkan pernyataan ini. “Di masa pemerintahan Soeharto pun saya berani melawan sampai saya masuk penjara”. Tentu saja komentar ini menjadi tidak ada relevansinya dengan persoalan dan situasi saat ini. Melawan pemerintah saja sekarang orang tidak gentar –kecuali ada kepentingan khusus atau tersandera ‘dosa’ lama– apapula konon bila sedang berada dalam posisi kekuasaan. Siapa yang akan memenjarakan seorang Sekertaris Kabinet? Bukankah, terlibat korupsi pun, sekarang ini tidak gampang bisa dipenjarakan? Asal paham ilmu ‘bagi-bagi’, tidak hanya mahir ilmu perkalian.
BANGSA ini sudah berpengalaman dengan ‘menurunkan’ Presiden. Tetapi bangsa ini juga punya sejumlah pengalaman empiris yang kurang nyaman tentang ‘menurunkan’ dan ‘menaikkan’ pemimpin nasionalnya. Saat berhasil melepaskan diri dari mulut buaya, ternyata jatuh ke mulut harimau, paling tidak dari satu pemimpin keliru ke tangan pemimpin keliru lainnya. Pelajari saja pengalaman peristiwa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Dari Soeharto ke BJ Habibie, dari BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, dari Abdurrahman Wahid ke Megawati Soekarnoputeri. Terakhir, dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono.
Kita ‘menjatuhkan’ Soekarno saat ia bermutasi ke dalam dictatorialship untuk memperoleh kepemimpinan Soeharto yang kemudian berubah wujud menjadi otoriter. Saat ‘menurunkan’ Soeharto, yang naik adalah Wakil Presidennya, BJ Habibie, karena lengsernya Soeharto tidak satu paket dengan sang wakil. Saat BJ Habibie dalam waktu singkat tidak memuaskan lagi, pertanggungjawabannya di MPR-RI ditolak, yang membawa pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputeri ke atas. Di tengah jalan, Abdurrahman Wahid yang menderita gangguan fisik dan kesehatan, sehingga cenderung dianggap labil karena gampang kortsluit, di-impeach di tengah jalan sehingga giliran Mega naik berpasangan dengan Hamzah Haz. Pasangan itu yang disimpulkan ternyata tak dapat berbuat banyak memperbaiki Indonesia ini, akhirnya kalah suara dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden secara langsung tahun 2004. Dan sekarang melalui Pilpres 2009 tampil pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, yang kini mulai dihadapkan pada suara-suara pemakzulan.
‘Mahluk baru’ dengan rahang menganga. APAKAH revolusi merupakan suatu kebutuhan saat ini? Atau apakah setidaknya sekedar suatu pemakzulan untuk memperbahatui kepemimpinan negara?
Revolusi –dalam konteks politik dan kekuasaan– biasanya berada di antara zona angan-angan radikal dengan zona insidental accident yang merupakan derivat dari historical by accident. Revolusi bukanlah sesuatu yang pantas untuk diinginkan. Ia merupakan jalan perubahan yang paling mahal yang harus dibayar dengan risiko-risiko tak terduga berupa penderitaan kemanusiaan yang panjang, meskipun memang ia bisa saja merubah keadaan secara drastis seketika. Revolusi Perancis 1789 yang berdarah-darah melahirkan kekuasaan teror Robespierre dan kawan-kawan sebelum akhirnya memberi resultante berupa kediktatoran baru ala Napoleon Bonaparte sepuluh tahun sesudah revolusi. Revolusi 1905 di Rusia, diikuti 100 ribu rakyat yang berbaris bersama Pendeta Gapon, diawali dengan ‘Minggu Berdarah’ 22 Januari dengan tumbal lebih dari 1000 rakyat yang tewas dibantai pasukan berkuda Kozak. Begitu banyak darah yang mengalir sehingga di hamparan salju di depan Istana Musim Dingin St Petersburg seakan tercipta satu sungai darah. Revolusi 1905 itu menjadi semaacam gladi resik bagi Revolusi Bolshevijk 1917 yang kemudian melahirkan kekuasaan berideologi totaliter di Rusia dimulai dengan soft oleh Lenin untuk mengeras di bawah Stalin. Bahkan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 yang tak boleh tidak harus dilakukan untuk mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, pun tak terhindar dari ekses berupa kebiasaan menyelesaikan pertengkaran dengan angkat senjata selama beberapa lama di bagian awal Indonesia merdeka.
Pemakzulan di tengah jalan terhadap pemimpin negara yang sedang memerintah pun sebenarnya bukanlah sesuatu pilihan pantas dan terbaik dalam penyelesaian masalah. Kalau ia harus menjadi pilihan jalan keluar, ia haruslah menjadi pilihan yang betul-betul paling terakhir. Pemakzulan adalah cermin yang memperlihatkan betapa kita telah gagal dalam memilih pemimpin dan bahkan dalam membentuk sistem politik dan sistem bernegara. Kita bagaikan keledai yang telah terantuk berulang kali pada batu yang sama. Walau, pada sisi yang lain kita bisa memahami kekecewaan yang lahir dari kekesalan terhadap cara seseorang memimpin pemerintahan negara, dan kegagalan-kegagalannya menegakkan hukum serta mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya berkulminasi pada keinginan memakzulkan. Tapi kita juga pasti memilah-milah, bahwa tuntutan pemakzulan untuk sebagian bisa juga hanyalah bagian dari senjata politik untuk memaksa dibukanya suatu negosiasi politik dan kekuasaan. Kebetulan, konstitusi kita yang ada saat ini, tak menutup kemungkinan pemakzulan sepanjang syarat-syarat formal konstitusional untuk itu dan kondisi objektif yang ada, memungkinkan.
Selain itu, bila toh ingin melakukan pemakzulan, perlu menjawab pertanyaan tentang alternatif sesudah pemakzulan, jangan-jangan yang tersedia, sekali lagi, hanyalah ‘mahluk baru’ dengan rahang menganga yang siap melahap dalam satu lakon baru….. Atau tokoh lain yang akan sama mengecewakannya.