‘Campur Sari’ Arogansi, Despotisme dan Playgroup Politik (1)

BEBERAPA hari terakhir publik dibuat ‘kenyang’ dengan ‘campur sari’ arogansi dan sikap otoriter, praktek despotisme serta keriuhan playgroup politik yang merupakan sambungan episode sinetron penegakan hukum yang absurd serta lakon anarki di desa maupun di kota. Semua asli buatan Indonesia, sehingga tak perlu dikenakan kenaikan bea masuk impor.

Dipo Alam. Agak di luar dugaan, suatu serangan kepada pers nasional tiba-tiba datang dari Sekertaris Kabinet Dr Dipo Alam yang dikenal sebagai aktivis mahasiswa tahun 1970an dan pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI). Ia mengirim surat instruksi ke berbagai institusi pemerintah dan negara di tingkat pusat maupun di daerah, untuk memboikot dua stasiun TV dan sebuah media cetak yang dianggap selalu menjelek-jelekkan pemerintah. Salah satu bagian dari boikot adalah takkan diberi iklan-iklan pemerintah. Jangan salah, iklan-iklan pemerintah beberapa tahun belakangan ini memang cukup booming, saat hampir semua menteri, gubernur, bupati, walikota dan berbagai institusi pemerintah dan negara yang lain, seakan berlomba memasang iklan pencitraan secara intensif, pagi, siang atau malam. Tapi yang paling esensial adalah menutup pemberian informasi dari sumber pemerintah kepada ketiga media itu.

Entah siapa yang lebih rugi nanti dengan pemboikotan. Buktinya, baru saja menyampaikan aksi boikotnya itu, sang Sekertaris Kabinet sudah menuai kecaman sebagai pejabat arogan, otoriter, bergaya Orde Baru Soeharto, melanggar dua undang-undang tentang pers dan hak informasi publik, dan sebagainya. Ketua MK bahkan mengatakan takkan mengikuti ‘instruksi’ boikot itu. Bahkan, ada tokoh yang menyebutnya kekanak-kanakan, sedang tokoh lainnya mengatakannya justru ‘bodoh’. Tentu Dipo Alam yang doktor dan eks aktivis mahasiswa itu, tidak betul-betul bodoh, meskipun tindakannya yang satu ini memang bisa dikategorikan ‘bodoh’. Lagi pula masak sih, mantan aktivis mahasiswa yang konon pernah mengikuti gerakan-gerakan kritis bisa punya alam pikiran sebegitu naif, otoriter dan se-arogan itu dalam menanggapi pers?

Bagaimana kalau cetusan boikotnya itu adalah bagian dari upaya pengalihan isu dari isu-isu lebih penting yang arahnya bisa membahayakan kepentingan lebih besar dari kalangan kekuasaan saat ini? Kalau ini tujuannya, ia justru berhasil bertindak cerdik meskipun terkesan menempatkan diri sebagai bumper. Akan tetapi menjadi bumper bagi tokoh puncak kekuasaan dalam situasi seperti sekarang ini –yang kata orang juga sudah kembali full berbau ABS seperti di masa lampau akibat kuatnya persaingan pribadi di seputar sang pemimpin– justru bisa saja menjadi suatu prestasi tersendiri yang akan membuahkan berkah tersendiri pula, yang entah apa.

Angket Pajak. Karena publik sejak beberapa lama ini disuguhi kisah penanganan mafia pajak Gayus Tambunan dan kawan-kawan yang tak jelas hingga tak kunjung terselesaikan, maka ketika ada gagasan penggunaan hak angket DPR untuk masalah perpajakan, maka menurut logika awam di tengah publik, mayoritas anggota DPR akan menyambut dan mendukung. Ternyata, tidak. Dengan referensi pola saat menghadapi skandal Bank Century, saat Partai Demokrat dan kawan-kawan kalah suara, kaum awam menyambut dan merasa gagasan angket mafia perpajakan ini akan lolos di paripurna DPR. Apalagi, selama ini tak ada kekuatan politik yang tidak menggunakan retorika anti mafia pajak. Nyatanya, rencana penggunaan hak angket pajak itu tidak lolos, meskipun hanya kalah tipis, selisih 2 suara, di Paripurna DPR Selasa 22 Februari 2011.

Kunci ‘kekalahan’ penggunaan hak angket ada pada partainya Prabowo Subianto, Gerindra. Pimpinan partai dan fraksi Gerindra menggunakan alasan tidak mendukung usulan hak angket karena tidak ingin dijadikan alat tawar menawar kepentingan politik partai lain (Partai Golkar). “Usulan hak angket itu lebih merupakan manuver partai tertentu dan kami tidak ingin menari di atas kepentingan partai lain”, ujar Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Sikap Gerindra ini dibayangi oleh cerita belakang layar tentang adanya tawaran kursi kabinet dari SBY, serta analisa adanya ‘kecemasan’ beberapa pimpinan partai dan penyandang dana partai bahwa angket pajak ini bisa menggelinding sebagai bola liar yang akan menerpa seluruh pengemplang pajak dari waktu ke waktu.

Kata orang, tak ada pengusaha yang tak pernah terlibat permainan dan manipulasi pajak. Para pengusaha dan ‘mantan’ pelaku korupsi adalah dua di antara beberapa unsur pelaku money politics selama ini di Indonesia yang bekerjasama dengan sejumlah politisi yang hanya berorientasi kekuasaan. Mereka membentuk jaringan kekuatan yang akan saling melindungi dan saling memanfaatkan. Tak heran kalau 300 triliun rupiah per tahun lolos dan hanya 700 trilun rupiah yang masuk kas negara. Angka dosa bernilai 300 triliun itu sangat-sangat kuat untuk menggoyahkan iman, dan menjadi alasan yang luar biasa kuat untuk memacu gerakan penolakan sumber bola salju.

Menarik bahwa, ‘kemenangan’ anti penggunaan hak angket pajak itu disambut meriah dengan tepuk tangan dan jingkrak ala anak-anak Playgroup, lebih ‘lucu’ dari taman kanak-kanak. Sebelumnya, paripurna ini sempat dimeriahkan oleh Ruhut Sitompul dengan lakon ‘Poltak’ ber’orasi’ mengkili-kili lawan. ‘Poltak’ yang adalah maskot Partai Demokrat ini sempat menyebut-nyebut Akbar Tandjung sebagai guru politik semasa di Golkar sebelum menyeberang ke Partai Demokrat. Pimpinan sidang, Marzuki Alie yang tahun lalu termasyhur dengan logika tsunami Mentawai-nya, yang selalu mengingatkan batas waktu bicara pada anggota-anggota DPR yang tak separtai, kali ini memberi bonus waktu yang panjang bagi Ruhut ‘Poltak’ Sitompul menjalankan lakonnya.

Tak kalah seru adalah pertarungan perebutan posisi Ketua Umum PSSI yang penuh tipu daya kepentingan dan despotisme.

Berlanjut ke Bagian 2

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s