“Sidang MPR untuk memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid pada akhirnya memang terjadi. Adalah Abdurrahman Wahid sendiri yang menghidangkan alasan tepat untuk suatu pemakzulan, dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan membubarkan Partai Golkar. Abdurrahman Wahid akhirnya meninggalkan istana. Dalam perebutan posisi RI-2, Hamzah Haz berhasil menyisihkan Akbar Tandjung”.
SETELAH ‘pembersihan’ di Jakarta, pasca Peristiwa 30 September 1965, benturan berdarah terjadi secara berkelanjutan di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain, ‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian yang berdarah-darah mencapai angka korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak dalam pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal kemerdekaan –dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya– telah selesai.
Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama, menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misainya dijalankan oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil. Ambivalensi dan sikap opportunistik adalah sikap-sikap yang banyak tercermin dalam perilaku politik pada masa perubahan tahun 1965-1966 hingga tahun 1970. Semula ciri itu dikenali pada kelompok politisi sipil yang berasal dari dunia kepartaian Nasakom, tetapi pada akhirnya juga diperlihatkan oleh kalangan tentara dalam kancah politik kekuasaan. Tak kurang dari Soeharto sendiri, karena kepentingan taktisnya, kerapkali terkesan bersikap ambivalen.
Sikap ambivalen yang membingungkan memang berkali-kali ditunjukkan Soeharto. Di satu saat ia menekankan penyelesaian konstitusional terhadap Soekarno, sejalan dengan aspirasi yang ditunjukkan kesatuan aksi dan kelompok mahasiswa pada khususnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ia melakukan pula perundingan-perundingan untuk berkompromi dengan Soekarno, untuk segera memperoleh penyerahan kekuasaan secara penuh dari Soekarno. Setelah separuh kekuasaan telah diperolehnya melalui Surat Perintah 11 Maret, selanjutnya ia menginginkan seluruh kekuasaan. Gerakan-gerakan kesatuan aksi dan mahasiswa yang menentang Soekarno, terutama tuntutan agar Soekarno mundur dan kemudian diajukan ke persidangan Mahmillub untuk diperiksa dan memberi pertanggungjawaban secara hukum mengenai Peristiwa 30 September 1965, menjadi alat penekan yang ampuh dalam menghadapi Soekarno.
Soekarno memang terdorong mundur setapak demi setapak dan pada akhirnya menyerah di bulan Pebruari 1967. Dengan penyerahan kekuasaan oleh Soekarno sebelum Sidang Istimewa MPRS, membuat Soeharto ‘tak terlalu berhutang budi’ kepada MPRS yang pada bulan Maret berikut, mencabut seluruh mandat kekuasaan dari tangan Soekarno. Jenderal Soeharto naik mengganti posisi Soekarno dalam kepemimpinan nasional. Namun tak dibutuhkan waktu yang lama –hanya dalam bilangan tahun– bagi pemerintahan baru di bawah Soeharto untuk mengulangi kekeliruan-kekeliruan Soekarno. Pada akhirnya, pemerintahan Jenderal Soeharto menjadi tak kalah otoriternya dengan pemerintahan Soekarno. Bahkan, dalam hal tertentu, dianggap lebih korup dan itupun terjadi dalam jangka waktu yang lebih panjang. Dan apa yang disebutkan terakhir ini pula lah yang menimbulkan gerakan-gerakan kritis terhadap rezim yang berujung pada kejatuhan Soeharto, yang setelah terakumulasi bertahun-tahun lamanya menjadi kondisi objektif yang kuat untuk memaksa Soeharto mengundurkan diri Mei 1998.
Dalam pemahaman Soeharto, pengunduran diri harus dilakukan bersama-sama dengan Wakil Presiden yang saat itu dijabat oleh BJ Habibie. Tetapi BJ Habibie sementara itu menyimpulkan, bila Soeharto mengundurkan diri, dengan sendirinya Wakil Presiden naik menggantikan. Akhirnya memang Soeharto mengundurkan diri secara sepihak tanpa melalui suatu proses di MPR-RI. Perbedaan pandangan di saat-saat terakhir itu telah menimbulkan suasana dingin yang berkepanjangan dalam hubungan Soeharto dan Habibie pada masa-masa selanjutnya. Soeharto sejak itu tak pernah bersedia menemui lagi BJ Habibie. Hal yang sama terjadi dengan dua bekas menterinya, Ginandjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung, yang dianggap sebagai ‘pengkhianat’. Berkali-kali mantan Wakil Presiden Sudharmono mengupayakan membawa Ginandjar dan Akbar untuk mempertemukan mereka dengan Soeharto namun tak kunjung berhasil. Kedua menteri ini dianggap Soeharto yang mempelopori sejumlah menteri kabinet lainnya meninggalkan dirinya. Terutama Ginandjar, yang menyatakan mengundurkan diri dan tak bersedia lagi untuk duduk dalam Kabinet Reformasi yang dirancang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto sebagai upaya terakhir menyelamatkan kekuasaannya. Di kemudian hari hanya Akbar Tandjung, dengan diantar Sudharmono, yang akhirnya yang bisa diterima Soeharto di sekitar hari lebaran kurang lebih dua tahun sebelum Soeharto meninggal.
Ketika Soeharto terbaring sakit menjelang kematiannya, sepuluh tahun kemudian, BJ Habibie yang datang menjenguk di rumah sakit, tak mendapat izin keluarga Cendana untuk masuk menemui Soeharto. Bagi keluarga Cendana, ‘kesalahan’ BJ Habibie di tahun 1998 yang tak mau mundur bersama Soeharto dan mengusahakan mengambil kekuasaan bagi dirinya sendiri, adalah dosa tak berampun.
Masa kepresidenan BJ Habibie juga tidak panjang. Atas desakan kaum ‘reformasi’, BJ Habibie melaksanakan Pemilihan Umum ‘reformasi’ tahun 1999. BJ Habibie tidak berhasil melanjutkan masa kepresidenannya melalui SU MPR tahun 2000, selain pertanggungjawabannya ditolak, Golkar –yang menjadi pemenang kedua Pemilu 1999 di bawah PDI-P– pun tidak solid mendukungnya. BJ Habibie dan lingkaran dekatnya mempersalahkan dua tokoh utama Golkar, Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman, untuk kegagalan itu. Pada sisi lain, melalui peran cerdik Amien Rais, Megawati Soekarnoputeri yang adalah Ketua Umum partai pemenang urutan kesatu Pemilihan Umum 1999, tersisih menjadi hanya Wakil Presiden, dikalahkan KH Abdurrahman Wahid. ‘Kekalahan’ ini menyisakan kekecewaan berkepanjangan Megawati terhadap Abdurrahman Wahid yang semula pernah menyatakan mendukung Mega menuju kursi kepresidenan. Agaknya Mega merasa ‘diapusi’.
Lopa dan kompromi yang gagal. Hubungan Megawati dan Abdurrahman Wahid tidak pernah betul-betul membaik, meskipun mereka harus berpasangan memimpin negara. Terkesan, selama menjalankan pemerintahan Abdurrahman Wahid banyak ‘meninggalkan’ Megawati di belakang, karena agaknya sang Wakil Presiden ini dianggap Abdurrahman Wahid tak tahu apa-apa dan tak memiliki kemampuan yang cukup ikut memimpin negara. Kerapkali pandangan Abdurrahman Wahid yang menempatkan Mega pada posisi under tercermin cukup jelas dalam berbagai ucapan-ucapannya secara terbuka maupun secara terbatas. Terlihat pula betapa cukup banyak pihak yang berkepentingan untuk makin memperuncing miskomunikasi Abdurrahman Wahid vs Megawati Soekarnoputeri, dan nyatanya sudah mengarah kepada suatu konflik terbuka, setidaknya dalam perang kata-kata antara para pendukungnya. Bersamaan dengan itu, kecaman berbagai kekuatan politik lainnya terhadap Abdurrahman Wahid juga meningkat, sebagai reaksi atas berbagai tindakan dan ucapannya yang dianggap menyakitkan. Sejalan dengan ancaman-ancamannya untuk membubarkan partai tertentu bahkan DPR, manuver untuk memakzulkan dirinya juga mulai terbaca.
Ketika hubungan buruk Abdurrahman-Mega makin meruncing, ada inisiatif sejumlah anggota kabinet, antara lain Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar dan Alwi Shihab serta Jaksa Agung Marzuki Darusman, untuk mendamaikan. Suatu konsep jalan tengah yang disodorkan Marzuki Darusman, berupa pembagian ‘tugas’ yang memberikan konsesi bagi Mega untuk lebih ‘masuk’ dalam pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan, bahkan sempat ditandatangani oleh Abdurrahman Wahid. Namun ketika satu tim menteri berkumpul untuk membahas penyelasaian final yang antara lain dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono, Alwi Shihab, Agum Gumelar, Mahfud MD, Purnomo Yusgiantoro dan Marzuki Darusman serta Sekertaris Wapres Bambang Kesowo yang sengaja diminta hadir, terjadi semacam ‘kecelakaan’. Konsep yang sebenarnya sudah dituangkan dalam satu draft yang sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid, dan tampaknya dapat diterima oleh tim menteri yang hadir, buyar oleh Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa yang datang terlambat ke pertemuan sehingga ‘tak tahu soal’. Setelah sejenak membaca salinan draft –tanpa tanda tangan Abdurrahman Wahid– tersebut, Baharuddin Lopa yang tak tahu bahwa draft asli sudah ditandatangani Abdurrahman Wahid dan juga final disepakati segera disampaikan kepada Megawati, memberi satu komentar spontan. “Ini terlalu banyak untuk Mega”, demikian kurang lebih Lopa berkata, “Bukan begini maunya Gus Dur….”. Namun akhirnya Lopa bisa dibuat mengerti bahwa draft itu sudah disetujui Abdurrahman Wahid.
Akhirnya diputuskan bahwa draft itu segera dibawa saat itu juga ke Megawati oleh beberapa menteri, termasuk Lopa yang meminta untuk ikut. Sementara itu, begitu mendengar komentar Lopa, Bambang Kesowo segera meninggalkan pertemuan dan menghadap Mega. Entah apa dan bagaimana isi laporan Bambang Kesowo kepada Mega. Akan tetapi, nyatanya tatkala para menteri itu menghadap Mega, sambutan sang Wakil Presiden itu sudah sangat dingin terhadap jalan tengah yang bisa memecahkan kebuntuan. Terkesan dari ucapan-ucapan Mega bahwa usulan sharing kekuasaan pemerintahan itu dalam draft itu tak lain hanyalah bagian dari trick Gus Dur saja, dan tampaknya Mega lebih mempercayai cetusan spontan Lopa yang pasti sudah dilaporkan lengkap oleh Bambang Kesowo. Padahal, menurut penjajagan sebelumnya Mega sudah setuju pada formula yang intinya terkait pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintahan. Konsekuensi dari ketentuan-ketentuan dalam draft itu, Abdurrahman Wahid akan lebih banyak menjalankan fungsi kepala negara, sementara Mega lebih banyak menjalankan fungsi kepala pemerintahan.
Adalah menarik bahwa dua kekuatan politik signifikan lainnya yang kala itu diwakili oleh Hamzah Haz dan Akbar Tandjung, melalui komunikasi politik yang dilakukan, pada mulanya menunjukkan kecenderungan ‘mendukung’ solusi pembagian tugas dan wewenang tersebut. Akan tetapi setelah ‘bocor’ informasi bahwa ternyata Mega akhirnya menolak, kedua tokoh yang berposisi signifikan tersebut juga berbalik pikiran dan arah. Apalagi kemudian Abdurrahman Wahid berreaksi tak kalah keras, bahwa kalau memang Mega tak menyetujui apa yang disodorkan itu, ia pada akhirnya takkan mendapat apa-apa dari Abdurrahman Wahid. Arah yang terjadi kemudian, menguat kecenderungan bahwa segala sesuatunya akan diselesaikan melalui suatu sidang MPR saja. Ini berarti, akan ada yang dimintai pertanggungjawaban politik atas kemelut kepemimpinan negara saat itu dan kemungkinan besar akan terjadi pemakzulan. Tinggal menunggu satu titik picu dan alasan yang relevan dan bisa ‘dipertanggungjawab’kan. Di latar peristiwa, ada analisa yang spekulatif bahwa kedua tokoh tersebut, Hamzah Haz dan Akbar Tandjung, melihat bahwa bila Abdurrahman Wahid bisa dimundurkan, dan Megawari naik ke posisi RI-1, maka posisi RI-2 akan lowong. Itu berarti ada peluang untuk mengisi kekosongan.
Dan Sidang MPR untuk memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid pada akhirnya memang terjadi. Adalah Abdurrahman Wahid sendiri yang menghidangkan alasan tepat untuk suatu pemakzulan, dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan membubarkan Partai Golkar. Abdurrahman Wahid akhirnya meninggalkan istana. Dalam perebutan posisi RI-2, Hamzah Haz berhasil menyisihkan Akbar Tandjung. Adapun Bambang Kesowo, ia ini mendapat posisi lebih penting sebagai Menteri Sekertaris Negara, setelah Megawati menjadi Presiden.
Berlanjut ke Bagian 3