Indonesia, Fenomena ‘Piramida Kurban Manusia’

MENELADANI kisah simbolik kesetiaan Ibrahim AS kepada Tuhan junjungannya, yang ikhlas menuruti perintahNya mengurbankan Ismail puteranya, umat Islam sedunia melalui tradisi tahunan Idul Adha ‘mempersembahkan’ sejumlah besar khewan kurban. Tradisi menjadikan khewan-khewan ini sebagai kurban pengganti, bermula karena dulu kala ketika Ibrahim AS tanpa ragu menebaskan pedangnya ke leher puteranya, dengan kuasaNya, dalam satu detik Ismail tergantikan tempatnya oleh seekor domba. Ibrahim lulus ujian. Hingga kini, beribu-ribu ekor sapi, kerbau, domba atau kambing maupun unta, sekali dalam setahun, digiring ke tempat penyembelihan untuk kemudian dagingnya dibagikan kepada mereka kaum miskin. Dalam konteks ini, ada makna, demi Tuhan, mereka yang lebih kaya membantu yang miskin, memberi mereka makanan sekali dalam setahun saat hari raya kurban. Meski, cara ‘memberi’ makan kepada yang miskin itu, situasinya seringkali mengenaskan. Demi setengah atau satu kilo daging –yang di negeri ini sudah dianggap makanan sangat mewah dan ‘langka’ itu– kaum akar rumput bersedia berebutan dalam kerumunan kacau yang kadangkala mengambil kurban nyawa manusia, karena terinjak-injak oleh sesama. Daging kurban, makin tahun pun makin tak cukup. Meskipun ada sejumlah orang yang semakin kaya, tak berarti mereka dengan sendirinya menambah alokasi kontribusi khewan kurban dalam ‘ritual’ yang hanya sekali setahun itu.

Pertanyaan lain, kenapa hanya sekali dalam setahun? Ada yang mengatakan, bila memberi makan itu dilakukan setiap hari, akan tercipta begitu banyak manusia miskin yang pemalas dan hanya bisa menadahkan tangan menunggu belas kasihan. Tetapi manusia miskin terbentuk bukan hanya oleh kemalasan, melainkan karena terjadinya ketidakadilan di antara manusia itu sendiri, ketidakmerataan kesempatan, dan pembodohan oleh mereka yang berhasil menciptakan hegemoni dalam iklim survival of the fittest. Dalam satu negara, termasuk di Indonesia, setiap hari –bukan hanya sekali dalam setahun– manusia mengurbankan manusia lainnya, bukan sekedar sapi, kerbau, domba atau kambing. Setiap hari segelintir manusia yang lebih cerdik atau lebih kuat ‘menyembelih’ sejumlah manusia lainnya di ladang kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum maupun dalam berbagai sub-sistem kehidupan yang ada. Untuk ‘penyembelihan’ itu, di Indonesia digunakan berbagai pengatasnamaan, seperti demi bangsa dan demi negara, tak terkecuali pengatasnamaan agama.

Melalui ‘penyembelihan’ yang menciptakan tumpukan kurban (korban, victim) manusia –terutama dari kalangan akar rumput– itulah pada umumnya piramida kekuasaan manusia atas manusia dibangun. Sepertinya tepat untuk meminjam terminologi ‘Piramida Kurban Manusia’ yang digunakan Rahman Tolleng sebagai judul edisi Indonesia (LP3ES, 1982) bagi buku Peter L. Berger, Pyramids of Sacrifice, untuk menamai bangunan kekuasaan manusia atas manusia itu. Karena, kekuasaan selalu dibangun sebagai hasil pengorbanan banyak orang, dan pada pihak lain jumlah kurban manusia yang bertumpuk-tumpuk adalah bagaikan piramida. Dalam pengantar Dr Johannes Muller, dituliskan bahwa “kebudayaan dan peradaban umat manusia sepanjang sejarahnya dibayar sangat mahal dengan penderitaan manusia yang tak terbilang jumlahnya. Dan apa yang dibanggakan sebagai kemajuan dan pembangunan pada zaman sekarang juga tidak luput dari bahaya itu”.

MENURUT Rostow pada tahun 1950-an, 40 persen rakyat Indonesia dengan pendapatan terendah hanya menikmati 17 persen pendapatan nasional. Secara keseluruhan, pada masa berikutnya diperhitungkan bahwa 20 persen masyarakat berpendapatan tertinggi  berjaya menikmati 80 persen hasil pembangunan. Sisa hasil pembangunan yang 20 persen dengan demikian ramai-ramai ‘dinikmati’ oleh 80 persen rakyat. Para ekonom terkemuka di dunia saat ini, menyebutkan bahwa pada abad 21, kepincangan kesejahteraan makin ekstrim, karena praktis ekonomi dunia didominasi hanya oleh 1 persen manusia, yakni kaum kapitalis yang mengelola sekitar 90 persen aset ekonomi-keuangan dunia. Agaknya fenomena dominasi ini juga telah terjadi di Indonesia. Coba hitung, ada berapa banyak konglomerat Indonesia, yang sering dicatat dalam daftar seratus atau dua ratus terkaya, yang menikmati bagian terbesar hasil pembangunan ekonomi. Tambahkan dengan para ahli waris kaum koruptor pada rezim lampau dan kelompok kaya baru dengan akumulasi dana, yang meminjam istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan ‘merampok’ uang negara. Bandingkan dengan kurang lebih 60 juta manusia Indonesia (kata pemerintah, hanya 40 juta) yang berada di bawah garis kemiskinan, yang hidup dengan 2/3 dollar per hari, dan berapa puluh juta lainnya yang berada dalam quasi kemiskinan, mengambang terkatung-katung di antara kalangan menengah terbawah dan kelompok miskin permanen. Kalangan menengah terbawah pun setiap saat bisa bergeser ke bawah ke dalam quasi kemiskinan, sebagaimana yang sudah berada dalam quasi kemiskinan sewaktu-waktu merosot lebih ke bawah. Seseorang dinyatakan tak berada di bawah garis kemiskinan bila berpendapatan setara minimal USD 1. Tapi coba katakan, adakah perbedaan yang cukup signifikan antara mereka yang hidup dengan 2/3 USD per hari dengan mereka yang hidup dengan USD 1 per hari?  Kepincangan ‘dinamis’ ini tak boleh tidak berkaitan erat dengan sikap koruptif yang meluas dan makin agresif di kalangan penyelenggara berbagai institusi kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, judikatif dan partai-partai politik) yang tak pernah bersungguh-sungguh mendorongkan kebijakan pemerataan.

DI INDONESIA, semakin hari, semangat berkurban makin digantikan oleh semangat korban-mengorbankan. Daripada berkurban diri dan atau menjadi kurban orang lain, lebih baik mengurbankan orang lain. Puncak dari sikap ini adalah setiap saat mengurbankan orang lain untuk dionggokkan sebagai alas piramida ‘kekuasaan’ (sosial-politik-agama) agar selalu berada di bagian-bagian puncak piramida. Banyak pemimpin Indonesia, sebelum dan sesudah kemerdekaan, mengawali diri sebagai manusia yang siap berkurban untuk bangsa dan negara di atas prinsip kebenaran-keadilan, lalu berangsur-angsur berubah sebagai pemimpin yang mulai mengurbankan teman-teman perjuangan dan seterusnya mengurbankan seluruh bangsanya. Pada akhirnya mereka menjadi kurban kemarahan rakyat dan diturunkan dari kekuasaan. Masih cukup ‘baik’, rakyat di Indonesia, tidak seperti kaum revolusioner di Libya yang dalam puncak kemarahannya dengan ganas mengalirkan darah bekas pemimpinnya.

Setiap ada kesempatan, banyak pemimpin dan elite dalam berbagai institusi kekuasaan sosial-politik-agama menjalankan ‘ritual’ mengurbankan kalangan akar rumput yang semestinya berada dalam lingkup tanggungjawab perlindungannya. Untuk meningkatkan elektabilitasnya dalam berbagai ajang perebutan posisi kepemimpinan pada berbagai tingkat, para pemimpin menjalankan pencitraan penuh janji yang pada akhirnya menjelma sebagai kebohongan. Janji berubah menjadi kebohongan dan penipuan saat ia tak pernah ditunaikan. Sejumlah pemimpin partai, lebih pandai memperjual-belikan partai sebagai kendaraan menuju kekuasaan, untuk dirinya maupun untuk di’sewa’kan, bukannya memimpin gerakan pendidikan politik bagi massa pendukungnya dan rakyat secara keseluruhan agar sembuh dari ‘kesakitan’ sosiologis.

FATAMORGANA. “Seraya menunggu giliran sebagai kurban, dari waktu ke waktu dalam sirkus politik dan kekuasaan Indonesia, mereka dengan sistematis dihidangi janji dan cerita yang bersifat fatamorgana belaka tentang masa depan yang lebih baik….. “. Karikatur T Sutanto, MI.

Hampir semua orang yang berhasil masuk dalam posisi pada berbagai institusi pengelolaan kekuasaan politik (partai politik maupun berbagai institusi sosial) dan pengelolaan kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, judikatif) berkecenderungan tergelincir ke dalam perilaku mengurbankan orang lain, secara horizontal maupun secara vertikal ke bawah. Ada kata pemaafnya, karena sebelumnya mereka pun terlebih dulu menjadi kurban yang menyediakan uang untuk upeti guna mencapai posisinya sebagai pejabat birokrasi, anggota legislatif dan aparat penegakan hukum serta posisi-posisi lainnya. Bahkan saat mereka berposisi sebagai kelompok yang mengurbankan orang lain, mereka pun tetap menjadi kurban secara insidental saat berjuang untuk kenaikan pangkat atau posisi baru. Itulah piramida kekuasaan yang koruptif.

Sejumlah anggota DPR-RI yang tersesat mengurbankan integritasnya dan kepentingan publik saat dengan senang hati menerima cek perjalanan dalam kasus suap menyuap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, pun menjadi kurban penegakan hukum separuh jalan, karena tampaknya ada kekuatan dan kepentingan lebih besar untuk menyelamatkan Nunun Nurbaeti isteri seorang mantan Wakapolri maupun the untouchable Miranda Goeltom yang menjadi tokoh sentral dalam masalah ini. Bandingkan Nunun Nurbaeti dengan Muhammad Nazaruddin ex Bendahara Partai Demokrat yang bisa ditangkap lebih cepat. Ada kepentingan besar untuk segera menangkap dan ‘mengamankan’ Nazaruddin yang saat melarikan diri banyak menyebut nama-nama penting di tubuh partai maupun nama putera Presiden. Berangsur-angsur suara Nazaruddin berkurang kadar ‘keganasan’nya. Apakah karena situasi penahanan berhasil meluruhkan semangatnya atau karena telah mulai tercapai kesepakatan-kesepakatan di antara para pihak? Pengacara-pengacara Nazaruddin, terutama OC Kaligis, adalah seorang maestro yang sangat berpengalaman dan menguasai the art of negotiation. Sembilan dari sepuluh, OC Kaligis selalu berhasil.

Dan bagaimana dengan tudingan Mafia Anggaran yang pernah diarahkan ke arah Badan Anggaran DPR, dengan penyebutan beberapa nama lintas partai? Siapa yang akan dikurbankan untuk ‘penyelamatan’ yang lebih besar? Sepertinya, kecenderungannya adalah win-win solution. Dalam kasus korupsi dan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun Kementerian Pemuda dan Olahraga, sudah lebih jelas siapa saja yang akan dikurbankan, untuk ‘kepentingan’ yang lebih besar. Kasus-kasus mafia pajak, cenderung untuk berhenti pada kurban-kurban penegakan hukum yang dibuat terbatas saja, seperti kepada Gayus Tambunan dan Cirus Sinaga, dan tipis kemungkinannya melanjut ke arah pengusaha-pengusaha besar pelaku kejahatan pajak atau kepada jenderal-jenderal polisi yang pada awalnya sempat disebutkan namanya oleh Komjen Pol Susno Duadji. Lagipula, tampaknya dalam kasus Susno itu sendiri telah tercapai suatu ‘keseimbangan’. Artinya, kita semua pada akhirnya dipaksa dan terpaksa untuk menerima situasi APBN yang diposisikan sebagai khewan kurban tradisional. Banyak yang tak puas sekedar memerah susu dari sapi yang bernama APBN ini, tetapi sekalian menyembelihnya untuk kepentingan biaya memperebutkan kekuasaan, apalagi 2014 semakin mendekat. Soal akibat, itu urusan yang menjabat pada periode  lima tahun berikutnya.

DI ATAS segalanya, gerombolan ‘khewan’ persediaan ritual kurban lanjutan yang berlangsung terus menerus, banyak tersedia di kalangan akar rumput yang berkubang dalam lumpur kemiskinan permanen dengan segala risiko kekufuran di dalamnya. Seraya menunggu giliran sebagai kurban, dari waktu ke waktu dalam sirkus politik dan kekuasaan Indonesia, mereka dengan sistematis dihidangi janji dan cerita yang bersifat fatamorgana belaka tentang masa depan yang lebih baik….. Sesekali, dibagikan bantuan-bantuan kecil insidental semacam BLT untuk penurun temperatur sosial.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s