Tag Archives: Ikrar Nusa Bhakti

Rencana ‘Pembunuhan’ KPK: Et tu Jokowi?

PERSOALAN terbesar yang dihadapi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat ini, adalah indikasi terdapatnya rencana jangka pendek pembunuhan atas dirinya dalam jangka panjang –semula, disebutkan jangka waktu 12 tahun. Diduga kuat akan dilakukan melalui revisi UU KPK. Terminologi “pembunuhan KPK” dalam konteks ini, kita pinjam dari Ikrar Nusa Bhakti, professor riset di Pusat Penelitian Politik LIPI. Sejauh ini, ‘pembunuhan’ adalah terminologi paling keras, di saat yang lain masih menggunakan kata ‘pelemahan’ KPK terhadap upaya revisi UU No. 30/2002 mengenai KPK yang (kembali) diluncurkan 45 anggota DPR lintas fraksi partai KIH plus Golkar. Dan bisa dipastikan sikap 45 anggota itu merupakan pencerminan kehendak partai mereka masing-masing.

            Merupakan hal menarik, menurut Ikrar dalam tulisannya di Harian Kompas (13/10), “UU KPK lahir pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri, tetapi kini mengapa justru PDI-P yang menjadi motor pelemahan atau bahkan pembunuhan KPK? Apakah ini terkait dengan isu ketakutan PDI-P bahwa Megawati akan terkena kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada eranya dulu?” Kehadiran anggota DPR dari PDI-P, Masinton Pasaribu sebagai mesin utama memunculkan upaya revisi itu, tentu tak kalah menarik. Salah satu argumentasinya dinilai Ikrar amat absurd, ketika ia ini “secara menggebu-gebu mengatakan bahwa pembentukan KPK yang lahir atas dasar Tap MPR RI/VIII/2001 itu adalah produk situasi politik transisi dan kini MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara.” Atas dasar itu pula Masinton dan para pendukung pembunuhan KPK membatasi usia KPK hanya pada 25 tahun. Karena KPK saat ini sudah 13 tahun, sisa usia KPK adalah 12 tahun seperti yang dicanangkan RUU Revisi KPK itu. Sebelum dibunuh, KPK mulai dipreteli sejumlah otoritasnya.

JOKOWI DAN MEGA DI DEPAN PAPAN CATUR. “Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.” (Infografis Tempo)
JOKOWI DAN MEGA DI DEPAN PAPAN CATUR. “Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.” (Infografis Tempo)

             Lebih jauh, kita masih meminjam uraian Ikrar. “Sampai detik ini antara DPR dan pemerintah (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) masih saling mengelak bahwa bukan lembaga mereka yang mempersiapkan revisi UU KPK.” Jika benar Kementerian Hukum dan HAM yang mempersiapkan draft revisi tersebut, memang benar ada kepentingan politik PDI-P untuk melemahkan dan bahkan membunuh KPK. “Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.”

            Tak kalah menambah aroma misteri, adalah di mana posisi Presiden Joko Widodo dalam  kaitan rencana yang terkesan ingin mematikan KPK ini. Memang, pada Selasa (13/10) petang dalam konsultasi Pimpinan DPR dan Presiden, ada kesepakatan menunda pembahasan revisi UU KPK, sampai masa sidang berikut. Tetapi ini tidak mengurangi tanda tanya tentang sikap sebenarnya dari Presiden Jokowi dalam konteks tercerminnya kehendak pemerintahannya untuk mengakhiri KPK –entah sekarang, entah beberapa waktu ke depan. Kesepakatan DPR dan Pemerintah ini terasa sangat sarat dengan salah satu aspek dalam ‘filosofi’ kepemimpinan Jawa: Menyelesaikan persoalan bisa dengan menunda keputusan, to solve the problem by postponing the problem. Bila dalam filosofi Nusantara pada umumnya berlaku adagium “tempalah besi selagi panas”, maka Mpu pembuat keris di tanah Jawa mengembangkan ilmu “besi juga bisa ditempa dalam keadaan dingin.”

Per saat ini suhu pro-kontra eksistensi KPK melalui polemik tentang revisi UU KPK, dipastikan makin meninggi bila DPR memaksakan pembahasan revisi tersebut. Penundaan ke masa sidang berikut akan menurunkan temperatur. Namun, belum tentu akan menyelesaikan persoalan, karena siapa yang tahu apakah temperatur sudah reda pada waktu itu. Meski, sebenarnya ada celah kecil, yakni bila publik ternyata tidak puas dengan susunan komisioner KPK yang baru nanti sehingga surut semangatnya mendukung KPK, maka mereka yang menginginkan KPK mati bisa menyodok lagi.

Et tu Jokowi? TIDAK mudah mengukur sikap sesungguhnya Presiden Joko Widodo tentang eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Beliau sejauh  ini bukan tipe “the man who rules the waves”, tetapi “the man who ruled by the waves”. Dalam berbagai persoalan pemerintahan dan kekuasaan –termasuk dalam masalah pemberantasan korupsi– selama setahun ini beliau lebih sibuk dan repot melakukan konsolidasi menyiasati angin yang menjadi penguasa sesungguhnya terhadap gelombang di laut. Dalam keadaan demikian, kendati beliau dalam berbagai retorika dan kampanyenya senantiasa menegaskan sikap anti korupsi dan keinginan memberantas kejahatan terhadap keuangan negara itu, beliau akan lemah dalam realita.

Gelombang kekuatan kaum korup dan pemangku kepentingan khusus yang begitu kuat di seputar rezimnya, membuat Presiden Joko Widodo selalu terpaksa kompromistis. Wealth driven politic yang melingkupi di sekelilingnya tak bisa tidak memberi posisi kuat kepada kaum korup. Tak sedikit tudingan bahwa kabinetnya telah terisi dengan berbagai macam tokoh dengan hasrat dan kepentingan pribadi maupun kelompok sehingga rawan tergelincir korup. Tetapi kehidupan politik Indonesia sendiri saat ini memang takkan berjalan tanpa topangan dana operasional yang digali melalui korupsi. Biaya menjadikan seseorang sebagai bupati atau gubernur mahal, apalagi untuk menjadi presiden. Tak ada partai politik –selaku pelaku utama kehidupan politik Indonesia saat ini– yang tak punya persentuhan saling menguntungkan dengan pelaku korupsi untuk tidak mengatakan bahwa korupsi itu memang merupakan kiat penting untuk survival untuk kemudian berjaya pada langkah berikutnya. Korupsi sudah menjadi semacam gimnastik nasional untuk memelihara stamina. Terbaru, Partai Nasdem milik Surya Paloh –yang selalu menjanjikan pembaharuan dan restorasi– telah mulai ikut tercatat sebagai peserta gimnastik nasional itu.

Maka, dari situasi itu, pantas saja bila ada separuh tanda tanya terhadap diri Joko Widodo sendiri dalam konteks pemberantasan korupsi. Mereka yang menyodorkan rencana revisi UU KPK secara formal adalah salah satu menterinya, sementara beberapa anggota DPR dari partai pendukungnya selalu menyebut-nyebut keterkaitan sang presiden sebagai pihak yang menyetujui.  Memang, Presiden Joko Widodo tak bisa lagi dikatakan sepenuhnya selalu seia-sekata dengan PDI-P sebagai partai pendukung utamanya menuju kursi RI-1, tetapi belum tentu dalam hal eksistensi KPK mereka memiliki keinginan berbeda satu dengan yang lain. Kalau Presiden memang tak menginginkan pelemahan –atau bahkan pembunuhan– terhadap KPK, Presiden takkan hanya sepakat terhadap penundaan, melainkan memberi penegasan bahwa pemerintah menarik kembali usulan revisi UU KPK itu. Dan sikap itu ditempatkan sebagai bukti komitmen terhadap pemberantasan korupsi, setidaknya selama 4 tahun ke depan. Kalau tidak, ada pertanyaan: Et tu Jokowi?

Dua pilihan di depan liang kubur. SEBENARNYA menyangkut KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi ada dua pilihan tersedia.

Pertama, konsisten terhadap niat semula saat KPK didirikan, bahwa lembaga itu sebuah lembaga ad-hoc. Tugas pokoknya untuk mengatasi kian meluasnya korupsi sebagai perilaku berjamaah justru pada pasca Soeharto –yang dikecam sarat KKN– karena untuk sementara institusi penegak hukum yang ada dianggap tidak cukup berdaya mengatasinya. Sebagai konsekuensi logisnya, semestinya selama KPK bekerja dalam jangka waktu tertentu, selama itu pula harus ada upaya keras membenahi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI –dengan jajarannya masing-masing. Untuk mencapai kualitas terbaik dengan kemampuan kuantitatif dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Bahwa Kejaksaan Agung berpotensi berkembang secara kualitatif dan kuantitatif, terlihat pada dua masa Jaksa Agung, yaitu Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa. Sayang keduanya, khususnya Marzuki, kala itu dipatahkan di tengah jalan oleh intrik kekuatan politik korup yang masih eksis dan masyarakat yang bingung memberi dukungan penuh karena sikap apriori sisa masa lalu. Sementara Baharuddin Lopa sangat cepat terputus masa kerjanya oleh kematian di tanah suci. Dan tak kalah pentingnya, titik lemah di badan-badan peradilan tak pernah ditangani dan diatasi dengan bersungguh-sungguh. Setidaknya sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta bahkan sempat disebut sebagai kuburan bagi perkara-perkara korupsi.

Atau kedua, kenapa tidak sekalian saja menetapkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi secara permanen dan satu-satunya, lengkap dengan segala wewenang extra ordinary yang dibutuhkan? Persoalan pokoknya, saat ini KPK lah satu-satunya lembaga penegakan hukum yang masih cukup dipercayai dalam kadar tinggi oleh masyarakat dan memiliki efek penggentar terhadap kaum korup. Terhadap yang lain, masyarakat telah begitu putus asa dan bahkan patah arang. Akan memakan waktu lama sebelum kepercayaan itu bisa dipulihkan, untuk tidak mengatakan bahwa praktek kotor di pengadilan dalam konteks wealth driven law justru makin meningkat. Konsekuensi dari menempatkan KPK sebagai lembaga permanen adalah pengembangan pengorganisasian secara bersungguh-sungguh. Tidak gampang, tetapi kesulitan tak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan. Dibutuhkan political will yang kuat untuk menyelamatkan negara dari liang kubur ‘negara gagal’. (socio-politica.com)

Polisi: Antara Perwira Bersih dan Perwira Oportunis

BARANGKALI ini sebuah pertanyaan spekulatif. Apakah Presiden republik ini sedang dalam keadaan gugup menghadapi sikap bersikukuh para perwira pengendali Kepolisian RI terkait isu kriminalisasi terhadap KPK? Kalau bukan gugup, lalu kenapa Presiden Joko Widodo terkesan menghindar dan tak bereaksi apa pun, meskipun pers bertanya? Padahal, sementara itu, lebih dari sekedar menepis tudingan, para perwira pengendali kekuasaan di tubuh institusi penegakan hukum itu samasekali –meminjam formulasi berita utama Harian Kompas, Minggu 8 Maret 2015– “tidak menghentikan dugaan kriminalisasi terhadap sejumlah pihak yang selama ini mendukung pemberantasan korupsi.”

            Semacam kegugupan dalam bentuk lain diperlihatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mendapat pertanyaan dari wartawan tentang kriminalisasi terhadap para pendukung gerakan anti korupsi, Jusuf Kalla balik mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan kriminalisasi. Jusuf Kalla dikutip Kompas dan media lainnya mengatakan, “Kalau seorang punya fakta dia salah, kemudian diperiksa, apa itu kriminalisasi menurut anda?”. Menurut Jusuf Kalla lagi, “Kriminalisasi itu apabila sesuatu dibuat-buat. Namun kalau sesuatu fakta, kemudian orang diperiksa, itu bukan kriminalisasi.” Lalu mengecam, “teman-teman pegiat anti korupsi jangan tiba-tiba takut diperiksa”. Kalau orang lain, disuruh periksa, tapi bila menyangkut dirinya ‘jangan periksa saya’. Kan itu salah, ujarnya. Ia menasehati para pegiat anti korupsi itu agar bersikap sportif dan jantan.

COVER TEMPO YANG MENGUNDANG PEMIDANAAN. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.”
COVER TEMPO YANG MENGUNDANG PEMIDANAAN. Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.”

            Jusuf Kalla terkesan telah menghakimi bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada Komjen Budi Gunawan bukan fakta. Dan sebaliknya, apa yang dituduhkan polisi kepada Bambang Wijayanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, mantan Ketua PPATK Yunus Husein, para penyidik KPK serta berbagai pihak lainnya, adalah berdasarkan fakta. Jadi, bukan kriminalisasi. Cukup mencengangkan juga,  bagaimana bisa Jusuf Kalla sekaligus ‘melebihi’ jaksa dan hakim, untuk memastikan yang mana fakta dan yang mana bukan fakta lengkap dengan suatu judgement? Dan kebetulan judgement itu berbeda dengan arus utama opini publik pada umumnya.

Apakah pembelaan serta merta beliau terhadap polisi yang dituding melakukan kriminalisasi, adalah semacam mekanisme defensif yang kerap ditunjukkan oleh seorang tokoh kekuasaan? Ataukah, beliau telah menerima laporan sepihak yang tak menyeluruh, yang kemungkinan juga artifisial khas birokrasi –sebagaimana yang kerap dialami para petinggi negara– sehingga dengan sendirinya tak cermat membaca dan menganalisasi persoalan dengan utuh? Selain itu, sebagai seorang tokoh, tidakkah beliau pernah mempelajari sejarah penegakan hukum di negara ini yang penuh kisah hitam-putih dan jatuh-bangunnya kebenaran dan keadilan? Dan oleh karena itu, perlu perhatian khusus dan penanganan khusus pula. Lebih berhati-hati mencari kebenaran, lebih berusaha cermat menyelami aspirasi dan isi hati masyarakat, serta lebih bijak. Tapi baiklah, kita tunggu saja bagaimana kebenaran yang akan terbuka pada waktunya nanti.

            Pembangkang. KETUA Tim Sembilan bentukan Presiden Jokowi terkait konflik KPK-Polri, Dr Sjafii Ma’arif, mengatakan jika ada perwira polisi yang tidak mau menjalankan perintah Presiden, maka ia harus diberhentikan.  Kepolisian Republik Indonesia menurut perundang-undangan yang ada jelas-jelas berada pada posisi subordinasi terhadap Presiden. Memang Presiden tak bisa mencampuri aspek materil hukum saat kepolisian menjalankan fungsi sebagai penegak hukum, namun Presiden memiliki hak pengendalian untuk mencegah institusi itu menyimpang dari tugasnya sebagai aparat negara tersebut. Secara lebih spesifik, kepada pers Sjafii Ma’arif menyebutkan perwira tinggi yang bermasalah dan menjadi sumber kekacauan sebaiknya diganti. “Masih banyak perwira tinggi yang bagus.”

            Bahwa masih banyak perwira tinggi maupun perwira menengah Polri yang baik dan bersih, bisa disepakati. Namun, perlu diingatkan, khususnya kepada para jenderal polisi dan perwira-perwira bersih lainnya itu, bahwa bersama mereka terindikasi pula keberadaan unsur, yang kita sebut saja oknum perwira oportunis, yang bisa membawa Polri menjadi kekuatan destruktif. Buruk bagi institusi, buruk bagi masyarakat. Tak boleh menutup mata. Dan menjadi harapan, agar para perwira bersih di tubuh Polri mengambil inisiatif untuk membersihkan institusi yang mereka cintai itu. Perwira-perwira bersih diyakini mencintai institusi Polri lebih dari mencintai dirinya sendiri. Sementara itu, perwira-perwira ‘oportunis’ hanya mencintai kepentingan dirinya dan masuk Polri untuk memenuhi hasrat-hasrat kepentingan pribadinya. Mereka yang disebut terakhir inilah yang kadangkala menciptakan citra ‘bandits in uniform’ seperti yang suatu waktu pernah coba digambarkan seorang mantan Kapolri, Jenderal Mohammad Hasan, yang sungguh tepat mewakili kekecewaan publik. Dengan menjadi bersih kembali, rakyat pun sepenuhnya akan kembali mencintai Polri seperti pada masa-masa awal Indonesia merdeka. (Baca, https://socio-politica.com/2012/10/10/soal-isu-pengunduran-diri-para-jenderal-polisi/)

Dalam tulisan lainnya “Polri Dalam Peristiwa 5 Oktober 2012” ada ungkapan bahwa dari data pengalaman empiris selama ini, di tubuh Polri juga terdapat ‘bakat’ untuk melakukan pembangkangan. Terakhir, seperti yang terlihat dalam kaitan kasus korupsi Korlantas dengan ‘penyerbuan’ 5 Oktober 2012 ke Gedung KPK. Diingatkan, bahwa “Bilamana tak ada tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap peristiwa-peristiwa seperti ini dari yang menjadi atasan, atau atasan dari atasan –dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai atasan dari pimpinan Polri waktu itu– tindakan-tindakan agresif dan konfrontatif dengan kadar yang lebih tinggi akan terjadi di masa mendatang ini. Sejumlah pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa institusi penegakan hukum dan ketertiban masyarakat ini ‘berbakat’ untuk itu karena pembiaran yang laten”. (https://socio-politica.com/2012/10/08/polri-dalam-peristiwa-5-oktober-2012/)

Dituliskan lebih jauh, “Saat ini, sejumlah oknum membawa Polri melakukan ‘pembangkangan’ hukum terhadap proses pemberantasan korupsi, besok lusa mungkin sekalian membangkang kepada lembaga kepresidenan dan pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti lembaga perwakilan rakyat dan Mahkamah Agung. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengalami semacam ‘pembangkangan’ itu. Keputusannya untuk mengganti Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dengan Jenderal Chairuddin Ismail, ditolak dan tidak dilaksanakan Bimantoro sehingga menimbulkan ketegangan internal.” 

Sesat. DI LUAR aspek politik kekuasaan di atas, ada catatan penting lainnya mengenai kepolisian kita. Dan catatan itu, berguna sebagai bahan untuk menilai dan kemudian menjadi dorongan untuk memperbaiki institusi tersebut dengan model seideal mungkin sesuai cita-cita dasar kelahirannya. Jauh dari niat mengungkit kesalahan masa lampau. Sepanjang yang bisa ditelusuri dan dicatat dari waktu ke waktu, kasus salah tangkap, rekayasa penetapan tersangka, pengkambinghitaman, salah dakwa dan salah hukum dalam peradilan sesat, seakan melekat dalam sejarah penegakan hukum. Jika dideretkan, akan ada satu daftar panjang untuk peristiwa sejenis, yang untuk sebagian besar terkait dengan institusi kepolisian sebagai penegak hukum.

Ada kasus salah tangkap, rekayasa dan kemudian berujung pada keputusan hukum yang sesat, menyangkut dua petani, Sengkon dan Karta. Kedua petani ini dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan Haji Sulaiman dan isterinya Siti Haya –suami isteri kaya dari desa Bojongsari, Bekasi tahun 1977. Polisi yang sebenarnya tak memiliki petunjuk kuat, mengarahkan kecurigaan kepada Sengkon dan Karta yang pernah ada hubungan kerja dengan Haji Sulaiman. Polisi menangkap kedua petani itu. Merasa harus bisa menyelesaikan kasus, polisi menciptakan skenario rekayasa menjadikan Sengkon-Karta sebagai pelaku. Tak punya bukti, polisi ‘memeras’ pengakuan dengan kekerasan dan siksaan. Ini metode tergampang yang selama bertahun-tahun menjadi senjata klasik polisi dalam penyidikan para tersangka. Tak tahan siksaan fisik dan mental, Sengkon-Karta akhirnya mengaku sebagai perampok dan pembunuh suami-isteri itu.

Tatkala proses peradilan berlangsung, Sengkon dan Karta, dengan sisa-sia coba menyangkal tuduhan yang disampaikan jaksa. Para hakim lebih mempercayai BAP Polisi dan surat tuduhan Jaksa –mirip yang dialami mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh menyuruh lakukan pembunuhan. Dan akhirnya terjadilah tragedi salah hukum sebagai hasil dari penyelidikan polisi yang sesat dan diikuti oleh penuntutan jaksa dan vonnis hakim dalam suatu proses yang juga sesat. Bertahun-tahun kemudian setelah Sengkon-Karta menjalani hukum penjara, akhirnya terungkap bahwa pembunuh sebenarnya adalah Gunel.

Selain kasus Sengkon dan Karta, ada pula kasus pembunuhan peragawati Dietje di Kalibata Jakarta Selatan dengan latar belakang keterlibatan kalangan kekuasaan, namun direkayasa dengan menampilkan tersangka palsu, Pak De alias Siradjuddin. Sementara kebenaran perkara beredar sebatas sebagai desas-desus tingkat atas, Pak De menjalani hukuman bertahun-tahun untuk sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

            Dalam satu forum Jakarta Lawyers Club –kini, Indonesia Lawyers Club– dua tahun lalu muncul satu lagi catatan kasus peradilan sesat yang unik di Gorontalo. Pasangan suami-isteri Risman Lakoro dan Rustin Mahaji, suatu ketika kehilangan anak gadis mereka, Alta Lakoro. Bukannya bersusah payah mencari keberadaan sang anak gadis, polisi malahan mengembangkan dugaan bahwa Risman dan Rustin telah membunuh Alta dan menyeret keduanya sebagai tersangka pembunuh yang berlanjut ke proses peradilan sesat. Risman dan Rustin dijatuhi hukuman penjara 3 tahun 6 bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Gorontalo. Risman dan Rustin sempat mendekam dalam penjara selama beberapa bulan, sampai pada suatu hari sang anak gadis, Alta Lakoro, kembali ke kampung halamannya di Boleamo, Gorontalo, dalam keadaan hidup.

            Kasus kesesatan hukum yang agak baru, pada masa pasca Soeharto, terjadi kembali di lingkup wewenang Kepolisian Bekasi, yaitu kasus pembunuhan Ali Harta Winata. Pembunuhan terhadap pemilik toko bahan bangunan Trubus di Jatiwarna, Pondok Gede ini terjadi 17 Desember 2002. Setelah bertemu jalan buntu dalam pemecahan kasus, polisi tiba-tiba mengembangkan suatu teori tentang pembunuhan dalam keluarga dan membangun kisah rekayasa untuk itu. Polisi menuduh anak korban sendiri, Budi Harjono, yang membunuh sang ayah. Polisi merekayasa cerita, bahwa Budi kesal kepada ayahnya yang telah melakukan kekerasan kepada isterinya, ibu Budi Harjono, dengan cara memukul menggunakan kaso kayu. Budi membela sang ibu dan bertindak kalap dan membunuh sang ayah. Polisi mengabaikan keterangan Nyonya Eni, isteri Ali Harta, yang bersikeras mengatakan bahwa bukan anaknya yang membunuh sang ayah. Polisi melakukan serangkaian penyiksaan atas diri Nyonya Eni agar mau mengakui dan membenarkan cerita bahwa memang Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri.

Budi Harjono sendiri tak luput dari tekanan dan siksaan untuk memeras pengakuan agar sesuai dengan konstruksi peristiwa versi polisi. Budi sempat ditahan dalam sel polisi dan Lembaga Pemasyarakatan Bulak Kapal selama tak kurang dari enam bulan. Tak tahan dengan penyiksaan, Budi yang semula tegar akhirnya mengakui kepada polisi bahwa memang ia membunuh Ali Harta, ayahnya. Ia dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.  Budi sempat menjalani hukuman selama 4 tahun sebelum kasus ini dibuka kembali. Terungkap bahwa kesaksian dan pengakuan sepenuhnya hasil rekayasa polisi. Kasus ini menjadi sorotan publik, dan polisi yang ‘menyadari’ adanya error in persona, akhirnya menangkap pembunuh sesungguhnya.

Terbaru dari itu, pada tahun 2008 adalah kasus salah tangkap dan salah hukum, atas diri tiga pemuda dari Jombang, Kemat, David dan Sugik yang dituduh melakukan pembunuhan. Terungkap kemudian bahwa ketiganya tak pernah membunuh siapa-siapa.

Sesungguhnya, masih terdapat daftar panjang tentang berbagai kesesatan dalam penegakan hukum, yang bermula dari kekeliruan polisi, lalu jaksa dan berakhir sebagai kesesatan peradilan. Masyarakat yang sehari-hari berhadapan dengan para penegak hukum, bisa mengenali persoalan sesungguhnya dalam interaksinya dengan penegakan hukum, meskipun cenderung tak berdaya mengungkapkannya. Tak masuk akal sebenarnya bila para tokoh pemimpin negara yang justru punya daya besar untuk memperbaiki keadaan, malah jauh lebih tumpul ‘kepekaan’nya.

Semestinya, bersama-sama kita bisa belajar dari itu semua, dan harus jujur mengakui, bahwa aparat-aparat penegak hukum kita, meski juga menunjukkan sejumlah keberhasilan, pada sisi lain masih membutuhkan banyak pembenahan. Bahwa dalam situasi itu ketidakpercayaan masyarakat cukup tinggi, harus dimaknai dengan cara berpikir dan sikap positif. Dan menjadi tugas para pemimpin negara, termasuk Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, untuk lebih memahami persoalan dan jangan keliru menyimpulkan, agar bisa turut membenahi persoalan.

Untuk melengkapi referensi, kita mengutip pendapat tiga akademisi dan praktisi hukum sebagai bahan pemikiran bersama menuju koreksi dan perbaikan. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Saldi Isra, memberi catatan: “Pada awal reformasi, masyarakat sipil berdarah-darah mendorong polisi jadi bagian dari supremasi sipil. Jika polisi terus seperti ini, sampai pada titik tertentu, mereka akan menimbulkan rasa tidak aman kepada masyarakat sipil. Ini sesuatu yang kontra produktif.” Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI menganggap langkah polisi belakangan ini, termasuk somasi terhadap Komnas HAM, adalah bentuk praktik politik ketakutan. Dalam kaitan ini, perlu ditambahkan catatan bahwa selain Komnas HAM, Majalah Tempo yang ‘vokal’ juga tak luput dari ancaman pemidanaan. “Melalui praktik ini, rakyat dipaksa bungkam dan tak bisa berekspresi dalam mengungkap kebenaran.” Prof Jimmly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai penegakan hukum saat ini seperti dilakukan tanpa jiwa dan di dalam ruang yang kosong. “Kalau dibiarkan, kriminalisasi pasti terus berlanjut.”

Bukan model Tonton Macoute dari Haiti. MENJADI harapan, para perwira bersih yang masih banyak terdapat di tubuh kepolisian tergerak untuk turun tangan memperbaiki institusi yang mereka cintai agar kembali dicintai rakyat. Jangan kalah oleh ‘oknum’ yang sebenarnya sedang melakukan pembangkangan hukum dan pengingkaran nilai keluhuran institusi penegak hukum ini. Jangan biarkan ada ‘bandits in uniform.’

Pembiaran akan memberi hasil akhir berupa model polisi Haiti –Tonton Macoute– yang luar biasa keji di bawah rezim kediktatoran Papa Doc (1957-1971) yang diteruskan puteranya Baby Doc (1971-1986) – (socio-politica.com)

Presiden Jokowi Pada Wilayah Abu-abu

PADA hari ke-delapan-puluh-delapan berada dalam kekuasaan sebagai orang nomor satu dalam pemerintahan negara Republik Indonesia, Jokowi tepat berdiri pada suatu wilayah abu-abu. Solusi jalan tengah yang diambilnya dalam situasi pro-kontra rencana pengangkatan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI, pada Jumat malam 16 Januari 2015, telah memastikan bahwa ia memang berada dalam suatu wilayah abu-abu dalam percaturan politik kekuasaan saat ini. Jokowi telah membeli waktu. Ia menunda pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri baru, dan untuk sementara mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri. Dan sesuai apa yang agaknya telah menjadi satu bagian rencana sejak awal, Jenderal Sutarman diberhentikan –dan ini suatu soal tersendiri– meskipun baru beberapa bulan lagi akan memasuki masa pensiun.

Bola politik –terkait pencalonan tunggal Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kapolri– yang dilambungkan Presiden Jokowi ke DPR-RI, per 16 Januari kembali persis berada di depan kakinya. Bola politik itu telah berubah menjadi ‘bola panas’ karena hanya sehari sebelum Komisi III DPR-RI melakukan uji kelayakan dan kepatutan –fit and proper test– terhadap Budi Gunawan dan meluluskannya, KPK mengumumkan ‘calon’ Kapolri itu sebagai tersangka (12/1). Dan kendati KPK telah memberi status tersangka, melalui rapat pleno (14/1) toh DPR tetap bersikeras menyatakan persetujuan terhadap usulan Jokowi mengangkat sang komisaris jenderal sebagai Kepala Kepolisian RI menggantikan Jenderal Sutarman. Menggunakan bahasa ‘pasaran’, bisa dikatakan bahwa DPR telah berlagakpilon. Status tersangka yang ditetapkan KPK, diperlakukan DPR seakan-akan sesuatu yang tak berharga dalam konteks ‘tugas konstitusional’ yang mereka emban. Apakah memang aspek ikut menopang penegakan hukum tidak merupakan bagian dari tugas konstitusional?

JOKOWI DI WILAYAH ABU-ABU. "MENJELANG hari ke-sembilan-puluh sebagai number one, 18 Januari 2015, Presiden Jokowi memang berada di posisi abu-abu. Bila ke depan ia melakukan lagi beberapa kekeliruan bertindak, ia akan makin bergeser ke wilayah yang lebih pekat. Di ujung warna abu-abu, adalah warna hitam." (gambar diolah dari Jokomania)
JOKOWI DI WILAYAH ABU-ABU. “Menjelang hari ke-sembilan-puluh sebagai number one, 18 Januari 2015, Presiden Jokowi memang berada di posisi abu-abu. Bila ke depan ia melakukan lagi beberapa kekeliruan bertindak, ia akan makin bergeser ke wilayah yang lebih pekat. Di ujung warna abu-abu, adalah warna hitam.” (gambar diolah dari Jokomania)

            Opsi hitam-putih. Tercipta dua arus besar pendapat, sikap dan keinginan yang saling bertolak belakang dalam kasus ini. Opsi yang muncul, sangat hitam-putih.

            Bila Presiden Jokowi bersikeras untuk melantik Budi Gunawan sejalan dengan persetujuan DPR-RI, ia akan melanggar janji kampanyenya sebelum menjadi presiden  dan janji-janji berikutnya setelah menjadi presiden, menjelang pembentukan kabinetnya. Esensi janji Jokowi adalah bahwa ia tak akan memberi tempat kepada tokoh-tokoh yang tidak bersih dalam pemerintahannya. Salah satu kelompok relawan yang gigih mendukungnya menuju kursi nomor satu dalam kekuasaan negara, dikutip pers memberi pernyataan, “Jika Presiden akan berseberangan dengan KPK, kami ada di sisi KPK.” (Kompas, 16/1).

            Namun, pada sisi yang lain ada arus yang bersumber pada politisi partai, mendorong Presiden Jokowi untuk tetap melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Dan sungguh ‘luarbiasa’ dua koalisi politik kepentingan yang baru saja reda dari pertengkaran memperebutkan posisi-posisi alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat –dan akhirnya telah berhasil melakukan bagi-bagi– ternyata bersatu mendukung dan memberi jalan bagi Budi Gunawan menuju jabatan Kapolri. Nyaris seluruh wakil fraksi di Komisi III menyampaikan ‘orasi’ pujian untuk Budi Gunawan, sementara terhadap KPK bertebaran kecaman berbungkus kata-kata bersayap. Peluk cium pipi kanan pipi kiri dan jabatan tangan yang erat usai uji kepatutan, memberi nuansa keakraban yang mendalam di ruang DPR kala itu. Hal yang sama, juga terjadi di rapat paripurna pengesahan persetujuan pencalonan Kapolri. DPR sekali lagi telah mempertontonkan suatu lakon yang sebenarnya justru tak layak dan tak patut.

Adapun soal motif di balik itu semua, agaknya merupakan soal yang harus dianalisis tersendiri. Tidak mustahil, untuk sebagian dukungan tersebut bisa beraroma ‘teori pembusukan’ terhadap Presiden Jokowi. Sebagian lagi, adalah motif ‘kebencian’ yang sama terhadap KPK. Bisa juga merupakan kontes menanam jasa kepada calon Kapolri, atau sekedar suatu motif jangka pendek dan sangat pragmatis yang sudah lazim terjadi di DPR pada periode-periode lalu. Selebihnya, tak lebih tak kurang, hanya arogansi.

            Pangkal masalah, Jokowi. DI ATAS segalanya, yang paling harus disorot dalam kaitan peristiwa ini, tak lain adalah Presiden Jokowi sendiri. Menjelang penyusunan kabinet yang lalu, Presiden meminta masukan referensi KPK dan PPATK. Kedua lembaga ini lalu memberi masukan terhadap daftar nama yang disodorkan Presiden. Beberapa nama diberi tanda spidol merah dan beberapa lainnya diberi warna kuning. Nama dengan tanda merah tidak direkomendasi, karena dianggap akan segera bermasalah secara hukum dalam jangka tak terlalu lama, dan tanda kuning bagi yang jangka panjang diperkirakan juga akan bermasalah. Presiden Jokowi lalu mengenyampingkan mereka yang bertanda merah, namun ada di antara yang bertanda kuning tetap masuk kabinet. Salah satu nama yang mendapat tanda merah adalah Komjen Budi Gunawan. Nama Budi Gunawan memang sudah sejak lama selalu muncul dalam arus isu terkait kepemilikan rekening gendut dan kemudian menurut PPATK memiliki beberapa transaksi yang mencurigakan.

            Tapi toh, ‘mendadak’ nama Budi Gunawan muncul dalam deretan nama calon Kapolri yang diajukan Komisi Kepolisian Nasional. Dalam surat Presiden ke DPR, Jumat pekan lalu, ternyata tercantum nama Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri yang dimintakan persetujuan. Artinya, untuk urusan pencalonan Kapolri, Presiden Jokowi tidak merasa perlu untuk sekali lagi menggunakan referensi KPK maupun PPATK. Presiden tidak mengacuhkan fakta bahwa dalam referensi untuk penyusunan kabinet yang lalu, nama Budi Gunawan diberi tanda merah oleh KPK. Bila Presiden masih menggunakan referensi KPK dan PPATK, tak mungkin menjadikan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Saat menjawab pers di awal pencalonan Budi Gunawan, adalah Jokowi sendiri yang menegaskan “Kali ini, saya menggunakan hak prerogatif saya.” Dan tentang kedekatannya dengan Budi Gunawan, sang Presiden mengatakan, “masa’ saya pilih yang jauh?”

            Dengan demikian, harus diakui bahwa Presiden Jokowi sendiri yang menjadi pangkal masalah dalam kaitan ini. Perlu mengutip tulisan M. Subhan dalam Kolom Politik Harian Kompas (17/1) untuk soal yang satu ini. “Boleh jadi Presiden Jokowi menjadi pangkal kekisruhan. Namun, banyak analis politik percaya Presiden Jokowi berada dalam situasi serba salah. Presiden mungkin tertekan. Banyak pihak menduga calon Kapolri itu bukan pilihan Presiden. Menjadi rahasia umum Komjen Budi Gunawan dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputeri. Budi Gunawan adalah ajudan Presiden Megawati (2001-2004). Partai koalisi juga tampaknya sepakat. Jika memang demikian, Presiden harus bisa keluar dari bayang-bayang ‘Ibu Megawati’, partai koalisi, atau pihak berkuasa lainnya.”

            Terhadap pandangan para analis tersebut, perlu dipertanyakan bahwa apakah memang betul Jokowi adalah korban tekanan? Apakah tokoh ‘harapan sebagian rakyat’ ini ada dalam suatu tingkat kualitas yang begitu rapuh? Dan atau berada dalam suatu situasi under position dari para tokoh dan partai politik yang telah menjadikannya sebagai Presiden Republik Indonesia? Meskipun, di atas kertas dan menurut teori demokrasi, ia adalah pilihan rakyat? Kalau demikian, memang betul bahwa pada pemilihan presiden tahun lalu sebenarnya rakyat disuguhi hanya pilihan the bad among the worst atau mungkin saja bahkan pilihan lesser evil. Artinya, ketokohan Jokowi pada dasarnya sekedar terapung di atas buih pencitraan dan keberhasilan pengendalian opini yang cerdik?

            Di ujung warna abu-abu, adalah warna hitam. BILA cermat, sejak mula memang terdapat banyak hal yang kurang nyaman di seputar kepresidenan Jokowi, masih pada jam-jam pertama. Iring-iringan perjalanannya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan kereta kencana menuju Istana Merdeka usai dilantik di Gedung MPR, selain sedikit beraroma gaya feodalistik, juga diwarnai pengerahan massa yang untuk sebagian tidak spontan. Kerumunan massa yang mengelu-elukannya dalam perjalanan lamban berjam-jam di Jalan Sudirman-Thamrin, terasa artifisial. Apa tujuannya sebagai show of force, untuk menunjukkan betapa ia didukung rakyat? Padahal ia hanya menang tipis dari pesaingnya dalam perolehan suara. Itu pun kedua calon presiden kala itu masing-masing masih kalah banyak perolehan suaranya dari rakyat pemilik suara yang tidak datang untuk menggunakan hak pilihnya. (Baca juga, https://socio-politica.com/2014/10/21/dari-dua-semarak-pesta-angan-angan-akar-rumput-dan-kemakmuran-elite/)

            Janji Jokowi untuk membentuk suatu kabinet ramping dan terdiri dari mayoritas kaum profesional, tidak ditepati. Kabinet diisi dengan begitu banyak tokoh ‘kompromi’ dari kalangan partai pendukung. Ini sangat abu-abu. Ada kesan, Presiden Jokowi kurang terampil memilih orang dan sekaligus mungkin tak mempunyai referensi yang cukup tentang sumber daya tokoh yang dimiliki republik ini. Perkenalan para menteri itu oleh Presiden di halaman istana juga sesungguhnya terasa kurang nyaman ditonton. Presiden menyebut nama mereka satu persatu, lalu menyuruh mereka berlari-lari menuju barisan di hadapan pers. Mengingatkan suasana masa perpeloncoan sebagai mahasiswa baru tempo dulu. Kebetulan lagi, para tokoh yang diangkat jadi menteri itu patuh berlari-lari sesuai perintah. Hanya beberapa orang yang tetap tenang berjalan, seperti misalnya Menteri Pertahanan Ryamisard Ryacudu yang memang bermasalah di bagian kaki, dan Puan Maharani puteri pemimpin tertinggi PDI-P Megawati Soekarnoputeri.

Sebagian besar dari tokoh-tokoh yang dikesankan profesional ternyata belum terukur baik kualitas profesionalnya. Ada bekas direktur perusahaan swasta, ada bekas direksi BUMN, yang untuk sebagian belum teruji keberhasilan membesarkan perusahaannya dan atau prestasi lainnya. Belum lagi ketidaksesuaian disiplin ilmu pendidikan tinggi para menteri itu dengan bidang yang diserahkan padanya untuk ditangani. Maka terjadi antara lain, penetapan harga baru bagi BBM bersubsidi, di awalnya juga meleset, dan baru dikoreksi kemudian mengikuti tren menurunnya harga minyak dunia. Artinya, tak ada kemampuan prediksi yang memadai terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Tapi, di sisi lain harus diakui ada juga beberapa menteri yang berhasil membangun pencitraan, menarik perhatian, dengan beberapa gebrakan dan kemampuannya menggertak bawahannya atau pihak lainnya. Tapi ya, siapa tahu, pada waktunya kabinet ini akan berhasil mewujudkan rencana-rencana pembangunan bertarget tinggi yang kini gencar dicanangkan. Pemerintahan ini kan baru berusia 3 bulan dari 60 bulan yang harus dijalani, maka masih tersedia banyak kesempatan untuk membuktikan diri.

MENJELANG hari ke-sembilan-puluh sebagai number one, 18 Januari 2015, Presiden Jokowi memang berada di posisi abu-abu. Bila ke depan ia melakukan lagi beberapa kekeliruan bertindak, ia akan makin bergeser ke wilayah yang lebih pekat. Di ujung warna abu-abu, adalah warna hitam. Persoalan pencalonan Kapolri, belum final. Jokowi sendiri menekankan di akhir keterangan persnya Jumat malam bahwa pelantikan Budi Gunawan ditunda, bukan dibatalkan. Pers mengutip peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, “Pengangkatan tersangka korupsi sebagai Kepala Polri merupakan sebuah kesalahan…. Penetapan KPK tidak sembarangan. Mereka pasti memiliki bukti kuat dan Presiden harus menyadari itu.” Perlu menunggu apa kelanjutannya. (socio-politica.com)

Mengapa Banyak Eks Tokoh HMI Terlibat Korupsi?

Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat, seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia”, SeloSumardjan, dalam pengantar buku “Membasmi Korupsi” karya Robert Klitgaard.

Oleh Syamsir Alam*

            TERSANGKA kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang Muhammad Nazaruddin terus menuding Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, terlibat dan bertanggung jawab dalam kasus yang kini menimpanya. Bukan hanya itu, Anas pun disebut terkait dengan dugaan korupsi pembangunan stadion Hambalang di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Meskipun Anas belum menjadi tersangka, dan malah menyerang balik menjadikan Nazaruddin sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik, namun sebagai mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hal itu cukup memalukan.

Agar tidak terus memalukan organisasi, Ketua Umum Persaudaraan Alumni HMI Bursah Zarnubi –saat peluncuran Persaudaraan Alumni HMI dengan tujuan untuk mengisi kekosongan dari gerakan yang ada di Korps Alumni HMI (KAHMI), di Gedung SMESCO, Jalan Gatot Subroto, Jaksel– Jumat malam (14/10) yang lalu, menegaskan agar kader HMI yang muda tidak mengulangi kesalahan mantan kader-kader senior tersebut. Diharapkan kader HMI harus mampu menjadi motor penggerak perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. (RakyatMerdekaOnline, Jakarta,Jum’at, 14 Oktober 2011, 22:14:00 WIB). Memang, bukan hanya Anas saja kader HMI yang tersandung kasus korupsi. Sebelumnya mantan Ketua Umum HMI lainnya, Akbar Tanjung sempat menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana non-budgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. Hal itu terjadi tatkala ia menjadi Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Habibie.

Sebelumnya lagi, ada sejumlah nama eks tokoh organisasi itu pernah disorot atau diberitakan dalam kaitan masalah korupsi, Ahmad Tirtosudiro, Bustanul Arifin SH, Ir Beddu Amang dan ‘banyak’ nama lainnya, yang lebih muda, terkenal maupun tak terlalu terkenal, dari waktu ke waktu.

Setelah pintu kekuasaan terbuka

Ketua Umum HMI-MPO, Alto Makmuralto, dalam acara halal bi halal HMI di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Sabtu (24/9) menegaskan dalam pengkaderan HMI tidak pernah diajarkan untuk korupsi. (RakyatMerdekaOnline, Jakarta,Sabtu, 24 September 2011, 14:23:00). Kader HMI selalu ditekankan untuk beridealisme dari sejak mahasiswa, bahkan diharapkan sampai kader itu menjadi alumni.

Seperti diketahui, HMI adalah sebuah organisasi mahasiswa yang menjunjung teguh ideologi keagamaan Islam. Pada era Orde Baru yang represif, HMI dikenal dengan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Untuk mengontrol kekuatan kelompok Islam, melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 pemerintah menetapkan kebijakan azas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya azas ormas. Sejumlah ormas kelompok Islam yang menentang kebijakan itu pun segera dibubarkan.

Pada forum kongres HMI di Padang pada tanggal 24-31 Maret 1986, dengan pertimbangan-pertimbangan politis beserta tawaran-tawaran menarik lainnya HMI melepaskan azas Islam sebagai azas organisasinya. Saat itu terasa adanya intervensi pemerintah melalui Akbar Tanjung, Abdul Gafur dan Cosmas Batubara untuk menerima azas tunggal Pancasila tersebut dengan alasan penyelamatan organisasi dari pembekuan. Namun, sebagian kelompok pengurus HMI menolaknya, dan tetap mempertahankan azas Islam. Kelompok yang tetap bertahan itu kemudian dikenal dengan istilah HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), sedangkan HMI resmi yang bersekretariat di Jalan Pangeran Diponegoro Jakarta disebut sebagai HMI DIPO.

Walaupun pada Kongres Jambi 1999, HMI DIPO kembali ke kepada azas Islam, tetapi HMI DIPO dan HMI MPO tidak bisa disatukan lagi. Perbedaan karakter dan tradisi keorganisasian yang sangat besar di antara keduanya membuat kedua HMI ini sulit disatukan kembali. HMI DIPO nampak lebih berwatak akomodatif dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis sehingga rentan virus, sementara HMI MPO tetap mempertahankan sikap kritisnya terhadap pemerintah. Akbar Tanjung yang membawa HMI DIPO merapat ke pemerintah kemudian mendapatkan posisi yang baik di Golkar. Begitu pula aktivitis HMI lainnya yang pragmatis, banyak yang menyusul Akbar masuk Golkar atau partai lain setelah pintu kekuasaan dibuka untuk mereka.

Sedangkan HMI MPO yang tetap berada pada jalurnya semula bersikap kritis kepada pemerintah. Pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 18-23 Mei 1998, HMI-MPO adalah satu-satunya ormas yang berhasil menduduki gedung perwakilan rakyat tersebut di hari pertama. Bersama FKSMJ dan FORKOT, yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai universitas dan kota, bergerak terus hingga Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998.

Pasca jatuhnya Soeharto, HMI MPO pun masih terus melakukan demonstrasi mengusung gagasan perlu dibentuknya Dewan Presidium Nasional bersama FKSMJ. Namun, secara organisasi HMI yang resmi adalah HMI DIPO, sedangkan HMI MPO lebih bersifat gerakan bawah tanah melalui sayap-sayap aksinya yang ada di sejumlah provinsi, antara lain adalah FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta). Karena itu, banyak mantan aktivis HMI yang tidak mengizinkan sanak familinya untuk masuk ke dalam HMI DIPO (id.wikipedia.org/ wiki /Himpunan_Mahasiswa_Islam).

MASSA HMI vs POLISI DI DEPAN ISTANA 20 MEI 2011. Kisah dari Afrika, “Pada mulanya para aktivis itu berjanji akan memberantas korupsi ketika mereka masih dalam posisi sebagai oposisi dan belum punya jabatan. Namun, segera setelah menjabat dan berkuasa, semua janji dan idealisme itu mudah terlupakan”. (download foto: poskota)

Jebakan kekuasaan

Menarik untuk meminjam ilustrasi dari tulisan Djoko Susilo (Koran Tempo, 7 Oktober 2011), menceritakan pengalaman Michela Wrong, seorang wartawati koran Financial Times, yang menulis dalam bukunya “It’s Our Turn to Eat” bagaimana gerakan antikorupsi di sebuah negara Afrika mati suri. Pada mulanya para aktivis itu berjanji akan memberantas korupsi ketika mereka masih dalam posisi sebagai oposisi dan belum punya jabatan. Namun, segera setelah menjabat dan berkuasa, semua janji dan idealisme itu mudah terlupakan. Salah satu penyebabnya adalah ketika setelah berkuasa semuanya hanya berniat berbagi kue kekuasaan dan jabatan. Jadi, penguasa boleh berganti namun korupsi akan jalan terus. Siklus ini akan terus berjalan, tidak akan berhenti jika virusnya sejak awal tidak dihentikan dengan cepat.

Menurut Wrong, kesalahan utama para reformer dan aktivis antikorupsi tulen, mereka tidak cepat-cepat menumpas penyakit korupsi begitu kesempatan terbuka. Akibatnya, birokrasi korup, yang tadinya sudah takut akan gelombang antikorupsi, secara perlahan tetapi pasti mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru, dan malah mampu menjinakkan para penguasa baru tersebut. Masalahnya, para “pemimpin” yang menjadi penguasa baru itu selama ini hanya iri tidak mendapat giliran berkuasa, sehingga dengan cepat ia akan terperangkap dalam sistem korup yang sudah ada sebelumnya.

Karena itu, tidak heran bila Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengingatkan, bahwa para koruptor juga melakukan kaderisasi dan advance training, dengan instruktur-instruktur handal yang bisa mengasah kemampuan kader-kader koruptor muda, di hotel-hotel mewah atau hotel berbintang. “Pesertanya adalah kandidat koruptor muda. Nanti akan kita klasifikasi berdasarkan umurnya,” katanya (DetikNews.com, Jakarta, Minggu, 18 September 2011).

Sistem yang korup itu makin subur ketika sistem politik yang ada berdiri tanpa ideologi yang jelas. Pragmatisme partai politik tanpa ideologi itu mirip dengan bus kota yang siap mengangkut siapa saja calon penumpang yang bersedia membayar tiketnya. Perkembangan korupsi saat ini, kata Busyro dalam kuliah umum pemberantasan korupsi di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jumat (18/11), telah merambah seluruh jajaran birokrat. Pusarannya sudah menggerogoti hakim, jaksa, kepala lembaga, kementerian, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Sumber korupsi itu lembaga negara, lembaga pemerintah, swasta ketika  birokrasi tidak transparan”, katanya kepada pers. Bagi banyak orang, korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi  antar negara,  Indonesia selalu menempati posisi paling jelek.

Seperti dalam film “Resident Evil”

Dalam film “Resident Evil” yang dikembangkan dari games, diceritakan penduduk di sebuah kota yang tercemar virus ganas berusaha menginfeksi penduduk lainnya menjadi mutan, yang selanjutnya akan mencari mangsa baru, sampai kota itu terinfeksi seluruhnya. Itulah gambaran mengenai korupsi di Indonesia yang telah berkembang secara sistemik.

Bayangkan, seorang tokoh baru yang masuk ke lingkungan kekuasaan yang sudah tercemar virus korupsi, kalau ia tetap berada di lingkungan itu, lambat laun imannya (imunitas terhadap virus korupsi) akan terkikis sedikit demi sedikit, dan akhirnya menjadi mutan baru sebagai koruptor yang ganas. Kalau tidak berubah juga, ia akan dianggap sebagai alien bagi kelompok koruptor yang berkuasa, dan akan disingkirkan oleh mereka karena takut rahasia kelompok mutan tersebut akan terbongkar.

Menurut mantan dekan FISIP UI, Profesor Doktor Muhammad Budyatna, budaya korupsi di kalangan penjabat disuburkan oleh penguasa Orde Baru. “Demi melanggengkan kekuasaannya, Soeharto memang sengaja membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati kekayaan materi yang melimpah ruah sehingga nantinya tidak ada seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya”, kata Prof. Budyatna, mantan salah satu ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Umat Islam. Di samping itu, jika di kemudian hari Soeharto harus turun, tidak akan ada yang berani membawanya ke pengadilan, karena orang-orang itu bisa terbawa-bawa, dan adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut. “Bagi Soeharto semakin banyak orang yang korupsi maka semakin kuat pula posisinya sebagai seorang penguasa tunggal”, kata Prof Budyatna (Cakrawala.online, Jakarta, 15 Juli 2010).

Konstruksi kekuasaan yang bersifat koruptif itu diperkuat lagi oleh sikap pragmatis dunia internasional, terutama Amerika Serikat, dalam mengontrol negara-negara berkembang. Menurut Presiden Transparency International, Peter Eigen, kasus-kasus korupsi ini sebagian disembunyikan oleh konspirasi di negara-negara industri maju, karena seorang pimpinan negara sahabat yang korup dapat ditoleransi selama ia berada secara tegas di sisi kelompok kapitalis, atau negara blok Barat. Hal yang sama terjadi pada negara blok Timur.

Dalam diskusi “Indonesiaku Dibelenggu Koruptor” di Jakarta, Sabtu (4/6), pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, mengatakan pelaku korupsi di Indonesia sudah tidak malu dan tidak takut lagi melakukan korupsi. Pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi tidak ada yang mundur dari jabatannya. Menurut Ikrar, di Jepang pejabat dan politisi yang ketahuan korupsi langsung mundur dari jabatannya. Bahkan, ada pejabat di Jepang yang hanya menerima 50.000 yen atau sekitar Rp. 5 juta saat kampanye, kemudian dituduh korupsi, ia pun langsung mundur dari jabatannya.

“Di Indonesia untuk menjadi pejabat dan politisi biayanya sudah sangat mahal, sehingga mendorong pejabat dan politisi berperilaku korup,” katanya. Ikrar mengutip pernyataan politisi dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, yang pernah mengatakan, untuk menjadi anggota DPR RI biayanya bisa mencapai Rp. 5 miliar. (Antaranews, Jakarta, Minggu, 05 Juni 2011 12:07)

Solusinya, perlu pimpinan yang tegas untukmembasmi wabah korupsi

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, akar masalah korupsi di Indonesia adalah budaya feodalisme sisa dari zaman kerajaan, yang menyebabkan para pejabat yang berkuasa merasa berhak menguasai harta negara menjadi milik pribadi mereka. “Para pejabat merasa aset negara adalah milik pribadi, dan masyarakat memaklumi itu semua. Ditambah lagi dengan budaya memberikan upeti untuk mendapatkan posisi tertentu yang subur dilakukan pada zaman penjajahan Belanda. Ini masih merasuk dalam sistem budaya masyarakat,” ujar Thamrin (VHRmedia, Jakarta, 10 April 2010 – 14:44 WIB)

Karena itu, korupsi di Indonesia sekarang ini sulit dibasmi, selain dianggap sebagai suatu kewajaran, lingkungan kekuasaan mudah terjangkit wabah korupsi oleh virus-virus korupsi yang ganas dan kebal terhadap berbagai “obat pembasmi korupsi”. Selain mampu bermutasi dengan berbagai bentuk korupsi baru, undang-undang yang dibuat sebagai obat pembasmi korupsi itu pun sengaja dibuat oleh mereka yang telah terjangkit virus korupsi agar efeknya tidak begitu ampuh, dan mudah diselewengkan.  Bahkan,  undang-undang antikorupsi yang kuat pun dapat diakali oleh pejabat pengadilan  yang sudah ketularan virus korupsi. Hasilnya, banyak kasus pada sidang pengadilan korupsi yang terdakwanya dibebaskan dengan alasan tidak terbukti bersalah. Jadi, walaupun sudah dibuat undang-undang antikorupsi yang baik, namun manusia pelaksanalah yang memegang peranan utama, baik menyangkut sumberdaya fisik maupun non fisik, sebagaimana ungkapan the man behind the gun, maka manusialah sebagai penentu.

Kalau sudah begini situasinya, satu-satunya cara membasminya adalah format ulang sistem budaya masyarakat “malu korupsi” agar berani mengucilkan para koruptor dari pergaulan, sebagai hukuman setimpal bagi mereka. Diperlukan seorang pimpinan yang tegas, dengan imunitas tinggi terhadap godaan korupsi, mampu bertindak cepat menghentikan virus korupsi baru sebelum kena infeksi pula. Bila mengandalkan pada pendidikan, menurut pengamat diperlukan satu generasi baru yang bersih sejak lahir (lebih kurang selama 30 tahun) sebagai pengganti generasi lama yang sudah tercemar virus korupsi tersebut. Tidak heran jika Selo Sumardjan, saat ditanya oleh M. Yusuf A.S. dari MedTrans tentang bagaimana caranya memberantas korupsi di Indonesia, hanya menjawab pendek, “Ambil tindakan!!” (cakrawalainterprize.com/?p=41). Sekarang, atau terlambat, seluruh jajaran menjadi koruptor semuanya.

KEMBALI ke HMI, kenapa begitu banyak eks tokohnya yang terlibat korupsi? Coba dihitung dengan cermat. Mungkin karena eks tokoh organisasi mahasiswa ‘terbesar’ jumlah anggotanya itu paling gesit dalam pengambilan posisi dalam kekuasaan, tersebar di segala lini dan institusi kekuasaan legislatif, judikatif dan terutama eksekutif maupun partai politik. Padahal institusi-institusi itu sejak lama telah dirasuki virus korupsi.

*Syamsir Alam. Mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur ‘kapak perperangan’, namun tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

Republik Korupsi

RANGKAIAN fakta empiris kebuntuan penuntasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia, dari waktu ke waktu, sesungguhnya telah mengukuhkan negeri ini sebagai suatu Republik Korupsi yang dikuasai oleh kelompok-kelompok korupsi. Karena korupsi belakangan ini makin melibatkan begitu banyak orang, dilakukan secara berjamaah, dan pada umumnya sulit untuk diungkap tuntas karena begitu luasnya persekongkolan yang bisa saling menutupi, maka jaringan korupsi seringkali dianalogikan dengan khewan laut bernama gurita.

Media massa seringkali menggunakan istilah menggurita bagi korupsi yang makin meluas, merambah ke mana-mana secara sistemik dan seringkali terorganisir. Peristiwa terbaru yang kuat beraroma korupsi, menyangkut mantan bendahara Partai Demokrat, dilukiskan sebagai “kasus Nazaruddin makin menggurita”, ketika makin banyak nama yang disebut-sebut keterlibatannya dalam kasus itu. Dr George Junus Adicondro, telah dua kali meminjam nama mahluk laut bertangan (tentakel) banyak ini, untuk dipakai sebagai judul dua bukunya: Membongkar Gurita Cikeas (2010) dan Cikeas Makin Menggurita (2011). Bila berukuran kecil, mahluk laut bertangan banyak itu, dikenal sebagai cumi-cumi yang merupakan santapan yang lezat di restoran sea food. Junus Adicondro yang melalui masa SMA di kota pantai Makassar sampai menjelang pertengahan tahun 1960-an, kemungkinan besar juga senang menyantap cumi-cumi yang lezat.

GURITA RAKSASA. “Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya”. (Source: download).

Saat menyelamatkan diri dari lawan, cumi-cumi maupun gurita kecil akan menyemprotkan ‘tinta’ sebagai kamuflase. Tapi bila berukuran besar, ia berbalik ditakuti mahluk laut lainnya, bahkan dihindari oleh para nelayan, dan disebut sebagai gurita atau octopus. Ada beberapa jenis di antaranya yang ukurannya amat besar dengan kemampuan dahsyat meringkus mangsa dengan belitan tentakelnya yang terkoordinasi, sebelum dihisap sebagai santapan. Sama dengan gurita raksasa yang sesungguhnya, ‘gurita korupsi’ pun amat perkasa. Selain makin rakus menghisap di berbagai medan rezeki, dengan tentakelnya yang banyak dan terorganisir, ‘gurita korupsi’ bahkan bisa memangsa lembaga-lembaga pemberantas korupsi, setidaknya membuatnya lemas tak berdaya. Tak pernah ada whistle blower yang bisa selamat menunaikan niat membuka kasus atau pertobatan, melainkan sang pengganggu itulah yang lebih dulu dijerat dan dimasukkan kerangkeng. Para penegak hukum yang masih punya integritas, dibujuk untuk tutup mata, dan bila masih tak mempan rayuan, akan dikriminalisasi sampai tersudut.

Ada beberapa contoh bisa diberikan untuk memperlihatkan kekuatan persekongkolan pelaku korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Komjen Polisi Susno Duadji yang berani mengungkap borok di institusinya, lebih dulu masuk penjara melalui rekayasa dengan mengungkit dosa-dosa lamanya. Antasari Azhar, yang sebagai Ketua KPK diperkirakan mengetahui sejumlah dosa politik masa pemilu dan kejahatan keuangan kalangan kekuasaan, kini mendekam dalam penjara melalui tuduhan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang diskenariokan berlatar belakang cinta segitiga dengan perempuan muda bernama Rani. Ironisnya, itu justru terjadi setelah Antasari mengadukan nasibnya kepada Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Kalau begitu, ‘bodoh’ betul jaksa senior ini, setelah melaporkan kepada Kepala Polri tentang teror SMS Nasruddin, malah kemudian memerintahkan ‘pembunuhan’ Nasruddin. ‘Gugatan’ Jusuf Supendi dari PKS yang mengungkap cerita permainan dana politik para petinggi partainya yang muda-muda, terkait pencalonan Adang Daradjatun sebagai Gubernur DKI, tak terdengar kelanjutannya lagi. Bahkan kasus Gayus Tambunan tampaknya cenderung kembali ke posisi fenomena gunung es mafia perpajakan. Kasus rekening gendut perwira tinggi Polri ditamatkan melalui alasan akan terjadi pelanggaran undang-undang bila data rekening tersebut diungkap kepada publik.

ADAPUN Cikeas –yang disebut makin menggurita– sebenarnya hanyalah nama sebuah tempat di Kabupaten Bogor, terletak antara Jakarta dan kota Bogor, namun menjadi masyhur karena dipilih Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tempat membangun kediaman pribadinya yang luas di atas area yang juga luas. Seperti halnya almarhum Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono juga memilih untuk tidak berkediaman di Istana Merdeka. Setelah menjadi Presiden, Soeharto membeli sejumlah rumah di Jalan Cendana untuk diri maupun anak-anaknya. Menyusul, dibeli pula beberapa rumah di Jalan Jusuf Adiwinata persis di belakang jalan Cendana –antara lain rumah milik Siti Hardianti Rukmana dan Hutomo Mandala Putera– sehingga rumah-rumah itu saling memunggungi dan mudah untuk saling mengunjungi lewat jalan belakang. Dua di antara rumah-rumah di Jalan Cendana digabung menjadi satu untuk kediaman Soeharto dan Siti Suhartinah Soeharto, dan sering disebut sebagai Istana Cendana. Sementara itu, rumah SBY di Puri Cikeas, belum sampai disebut Istana Cikeas. Tapi nama Puri Cikeas itu sendiri, kebetulan mirip-mirip dengan penamaan bagi sebuah istana.

Nama dan terminologi Cikeas maupun Gurita, pada hakekatnya merupakan pengertian yang berdiri sendiri. Tetapi ketika kedua nama itu digabungkan dalam serangkaian tuduhan, tersirat pengertian baru yang terkait korupsi kalangan kekuasaan negara dan politik. Tuduhan adanya korupsi dan penyimpangan oleh kalangan kekuasaan, tercipta melalui terungkapnya sejumlah kasus, dan menciptakan kesimpulan tersendiri dalam opini publik. Ketika dua koran Australia, The Age dan Herald, menurunkan tulisan tentang korupsi rezim Susilo Bambang Yudhoyono, yang dijawab dengan bantahan yang tak meyakinkan, kesimpulan publik tentang kekuasaan yang korup, makin terkonfirmasi. Mencuatnya berbagai kasus belakangan ini, yang melibatkan mantan bendahara Partai Demokrat dan merembet sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan petinggi pemerintahan, disusul keterlibatan kader Partai Demokrat Andi Nurpati dalam dugaan serangkaian kecurangan Pemilu, menjadi konfirmasi terbaru tentang kotornya rezim kekuasaan saat ini. Bukan hanya korup, tapi kemungkinan besar memenangkan pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden melalui kecurangan.

Dengan kesimpulan seperti itu, banyak pihak yang sampai kepada kesimpulan, bahwa rezim ini harus dihentikan sebelum betul-betul membangkrutkan negara. SBY dan Budiono sekaligus. Kenapa Budiono juga? Karena menurut arah pengungkapan terbaru kasus Bank Century, Budiono yang kala itu menjadi Gubernur BI, beserta sejumlah petinggi BI, sangat kuat keterlibatannya dalam pemberian bailout bank tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani difaitaccompli dengan data artifisial sehingga menyetujui dana talangan yang kemudian dibengkakkan para petinggi BI, lalu di’pinjam’ sebagai dana politik. Tapi menurunkan paksa Presiden dan Wakil Presiden dengan cara inkonstitusional apalagi dengan anarki, hanya akan menciptakan masalah baru yang belum tentu mampu dipikul oleh bangsa ini. Tentara akan naik lagi mengulangi sejarah lampau, seperti dicemaskan Ikrar Nusa Bhakti dan sejumlah pengamat lainnya. Atau, bisa jadi kaum militan anarkis yang didukung oleh partai-partai politik oportunis yang akan naik. Sebaliknya, membiarkan rezim berlanjut hingga 2014, kemungkinan besar akan membuat bangsa dan negara ini betul-betul bangkrut seperti dikuatirkan Jenderal Purn. Sayidiman Suryohadiprojo. Beberapa unsur mahasiswa intra kampus yang tergabung dalam BEM –yang akan melakukan pertemuan nasional menjelang akhir Juli ini di Bandung– kelihatannya memiliki tawaran jalan tengah. Menganjurkan Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan pengunduran diri, agar bisa disusun pemerintahan baru sesuai mekanisme yang terdapat dalam konstitusi. Bila tidak, mahasiswa akan mengajukan tuntutan agar SBY diadili untuk kesalahan-kesalahan yang telah terjadi selama ini yang bisa berlanjut dengan impeachment atau pemakzulan.

Namun terlepas dari itu semua, cara-cara konstitusional saat ini memiliki titik yang sangat lemah, yakni sistem kepartaian yang begitu buruk. Tak satupun partai politik saat ini bisa dipercaya. Partai-partai yang ada adalah partai-partai dengan para pemimpin yang opportunis. Tak ada partai yang betul-betul bersih dari permainan dana politik dan taktik politik kotor. Semua partai telah mengkontribusikan politisi-politisi korup. Mereka adalah bagian dari pembentuk gurita korupsi di dalam tubuh Republik Korupsi ini. Tolong disebutkan partai mana yang tokoh-tokohnya tak pernah bermasalah –besar atau kecil– hukum: PKS, PPP, PKB, PAN, Partai Golkar, PDIP ataupun Gerindra dan Hanura selain Partai Demokrat sendiri? Apakah penyelesaian-penyelesaian konstitusional bisa dipercayakan di tangan partai-partai yang tidak bersih ini? Kalaupun penyelesaian konstitusional terjadi, bagaimanapun diperlukan pengawalan yang kuat terhadap tindak-tanduk politik partai.

TAPI apapun yang akan terjadi, sikap kenegarawanan semua pihak, akan sangat menentukan keselamatan bangsa dan negara ini.

‘Cerita Politik’ Kejatuhan SBY Sebelum 2014

TENTU tak mungkin tanpa ada angin tanpa sebab, persatuan para purnawirawan/warakawuri TNI dan Polri, tiba-tiba perlu menegaskan –seperti diungkapkan Ketua Umum Pepabri Agum Gumelar– untuk mempertahankan kepemimpinan nasional Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono sampai tahun 2014. Dengan perkataan lain, jangan menjatuhkan SBY di tengah jalan sebelum berakhirnya masa jabatan formalnya pada tahun 2014. Menurut Agum Gumelar yang adalah seorang jenderal purnawirawan lebih senior dari SBY, “jika suatu pemerintahan yang legitimate digulingkan, besok yang menggulingkan juga digulingkan lagi dan seterusnya”.

Pada waktu yang sama di tempat berbeda, menurut Harian Kompas (5/7), mantan Wakil KSAD Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri mengingatkan permasalahannya kini bukan pada bertahan atau tidaknya kepemimpinan nasional sampai tahun 2014. Kiki yang adalah Ketua Dewan Pengkajian PPAD (Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat) saat ini, mengatakan “Kita harus menyiapkan pemimpin sebelum atau untuk 2014”. Sementara itu, menurut Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, sehari setelahnya, pernyataan Agum Gumelar dengan mengatasnamakan Pepabri untuk ‘mempertahankan’ SBY, adalah pandangan pribadi yang berlebih-lebihan. Menyusul, dalam sebuah tulisannya, juga di Harian Kompas, Sayidiman menyatakan, “Anggota TNI umumnya, sesuai dengan esprit de corps, tentu ingin melihat Yudhoyono menjabat sebagai presiden RI sampai tahun 2014 ketika masa jabatannya berakhir”. Namun, jenderal intelektual itu mengingatkan pula, agar anggota TNI sesuai Saptamarga pun tak boleh melupakan kesetiaan dan rasa cintanya kepada tanah air dan bangsa Indonesia. Makna yang dapat ditangkap di sini, tak boleh ‘kesetiaan’ terhadap SBY melampaui kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa.

Kita kutip juga lebih lanjut penyampaian Kiki Syahnakri: Seandainya dinamika politik nasional, misalnya terkait dengan kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang diduga melibatkan kader Partai Demokrat, Andi Nurpati, mengundang reaksi keras rakyat, yang berujung pada penolakan kepemimpinan nasional saat ini, tentu tak bisa ditolak. Kiki mempertanyakan, “Bagaimana kalau keadaan itu dibuat beliau sendiri?”. Jika dipertajam, pertanyaan itu menjadi, bagaimana kalau semua itu bersumber pada perbuatan SBY sendiri? Lebih tegasnya lagi, bagaimana kalau SBY adalah aktor dan author intellectual dari semua peristiwa menyimpang itu?!

Lebih awal dari Agum Gumelar dan Kiki Syahnakri, Dr Ikrar Nusa Bhakti, dari LIPI, dalam suatu diskusi di televisi swasta pekan lalu, juga menyatakan ketaksetujuannya terhadap suatu penggulingan di tengah jalan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dilakukan melalui cara-cara inkonstitusional. Ikrar khawatir, seperti pengalaman traumatis masa lampau, itu hanya akan menaikkan dan menempatkan kembali militer ke dalam pengendalian kekuasaan negara dengan segala eksesnya. Tetapi sebenarnya, lebih dari yang dicemaskan Ikrar, tak hanya militer yang berpotensi naik mengambil alih kekuasaan secara inkonstitusional maupun proforma konstitusional. Kelompok radikal dan atau militan –seperti misalnya militan yang mengatasnamakan Islam– pun berpotensi untuk menjadi pengambil kesempatan melalui jalan anarkis. Dengan formulasi pengibaratan yang lebih ekstrim –tanpa menujukannya kepada orang per orang sebagai pribadi, tapi lebih kepada aspek situasional– jangan sampai terjadi menurunkan ‘bandit’ tetapi menaikkan ‘bandit’ lainnya lagi.

SEKALI lagi, tentu tak mungkin tanpa angin tanpa sebab, orang mendadak membicarakan kemungkinan kejatuhan SBY sebelum mencapai 2014. Perbincangan politik belakangan ini terisi dengan berbagai pikiran, analisa dan keinginan yang kuat untuk menghentikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Entah melalui jalan konstitusional maupun proforma konstitusional, entah melalui cara inkonstitusional. Kenapa orang menginginkan Susilo Bambang Yudhoyono diturunkan?

Terbalik dari ekspektasi yang begitu tinggi terhadap dirinya pada awal kemunculannya, Susilo Bambang Yudhoyono ternyata bukanlah satria piningit yang dinantikan selama ini. Bukan satria pamungkas yang mampu dan berhasil menyelamatkan bangsa dan negara dari keterpurukan yang dimulai sejak tahun-tahun terakhir masa kepresidenan Soeharto hingga masa ‘reformasi’, yang berlanjut sampai sekarang. Susilo Bambang Yudhoyono dianggap hanya melanjutkan ketidakberhasilan para presiden pasca Soeharto –dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid sampai Megawati Soekarnoputeri– untuk membangun suatu negara yang berhasil menciptakan kehidupan politik baru yang sehat. Gagal memberantas korupsi dan kejahatan keuangan lainnya, gagal menegakkan hukum dan keadilan, gagal membangun ekonomi yang mensejahterakan masyarakat. Tak mampu melaksanakan pembangunan sosiologis untuk menciptakan satu bangsa yang punya harkat dan martabat yang tinggi. Dalam hal tertentu, pencapaian-pencapaian SBY berdasarkan penilaian setelah lebih dari enam tahun berkuasa, bahkan dianggap tak lebih baik dari para presiden yang mendahuluinya. Rating popularitasnya yang tadinya begitu tinggi, merosot selangkah demi selangkah, dan menurut survey LSI terbaru beberapa waktu lalu, untuk pertama kali popularitas SBY berada di bawah 50 persen. Malah, menurut Kiki Syahnakri, hasil survey mutakhir yang diterimanya dari sebuah lembaga, angka popularitas itu tinggal 19 persen, sementara yang ingin mempertahankan SBY hanya 31 persen.

Isu-isu terakhir yang membuat popularitas SBY anjlok menurut para pengamat adalah peristiwa eksekusi hukuman pancung atas TKW Ruyati binti Satubi yang luput dari pengetahuan pejabat pemerintah, kasus Nazaruddin dan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi. Ketiga isu ini telah berakumulasi dengan berbagai isu sebelumnya, seperti isu Bank Century –yang kini tiba-tiba mendapat perhatian kembali– serta berbagai isu kebohongan terhadap publik maupun ungkapan-ungkapan tentang ketidakbersihan Cikeas ditambah kegagalan penanganan berbagai persoalan di lingkaran kekuasaan SBY.

NAZARUDDIN WANTED DALAM SITUS INTERPOL. “Kasus Nazaruddin, meski belum sampai kepada konfirmasi pembuktian, telah memberi citra betapa kotornya ternyata Partai Demokrat, yang menjadi partai tulang punggung kekuasaan Presiden SBY. Sekaligus, mempertunjukkan kerapuhan internal partai yang penuh dengan politisi akrobatik, opportunis dan hanya pandai bersilat lidah untuk menutupi kebobrokan partai yang kemudian berubah menjadi saling menelanjangi”.

Kasus Nazaruddin, meski belum sampai kepada konfirmasi pembuktian, telah memberi citra betapa kotornya ternyata Partai Demokrat, yang menjadi partai tulang punggung kekuasaan Presiden SBY. Sekaligus, mempertunjukkan kerapuhan internal partai yang penuh dengan politisi akrobatik, opportunis dan hanya pandai bersilat lidah untuk menutupi kebobrokan partai yang kemudian berubah menjadi saling menelanjangi. Semula ramai-ramai membela Nazaruddin, bahkan sampai berbohong sekalipun, untuk akhirnya berbalik 180 derajat menjadikan sang mantan bendahara partai itu – sekaligus pemegang kotak Pandora yang berisi catatan dosa sejumlah tokoh– sebagai musuh bersama. Sedang keterlibatan Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, Andi Nurpati yang mantan anggota KPU, dalam manipulasi hasil Pemilu, membuka perspektif baru tentang Pemilihan Umum 2009 yang penuh kecurangan. Dalam kasus ini pun, tersedia kotak Pandora lainnya yang menanti untuk dibuka. Perhatian utama akan tertuju kepada Partai Demokrat yang menjadi pemenang dan menjadi partai yang menampung ex anggota KPU yang bermasalah. Apalagi, publik pun masih teringat kepada peristiwa digugatnya angka perolehan suara putera SBY, Ibas, tetapi kemudian berakhir justru dengan penangkapan oleh polisi dan dihukumnya sang penggugat yang merasa dirugikan.

Pengungkapan-pengungkapan lanjut mungkin menjadi pintu masuk bagi pengungkapan lebih jauh tentang kecurangan lebih besar dalam pelaksanaan Pemilihan Umum maupun Pemilihan Presiden. Dan itu semua tak hanya melibatkan Partai Demokrat, melainkan merata menjadi dosa kolektif dan akumulatif sejumlah partai ‘besar’. Ada tanda-tanda kuat bahwa seluruh partai besar terlibat dalam kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum: manipulasi penghitungan suara, manipulasi dana pemilihan umum, manipulasi daftar pemilih tetap, janji palsu kampanye dan berbagai kepalsuan lainnya. Semua itu akan berujung pada delegitimasi hasil pemilihan umum secara menyeluruh, delegitimasi pemerintahan maupun lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang terbentuk sebagai hasil pemilihan umum itu. Dan menurut logika hukum dan ketatanegaraan, konsekuensi logisnya adalah bahwa seluruh produk dari lembaga-lembaga yang terdelegitimasi itu, juga batal demi hukum.

KALAU semua sudah serba palsu, serba tidak legitimate, apa yang harus dilakukan? Ini pertanyaan –tepatnya problematika besar– yang perlu kita jawab bersama, minus para ‘bandit’ dan kelompok-kelompok ‘sakit’ di tubuh bangsa ini. Dalam berbuat untuk mencari jawaban, jangan pernah lupa, bahwa sepanjang sejarah Indonesia merdeka tak selalu kebenaran menang, untuk tidak mengatakan bahwa yang terbanyak menang justru adalah ketidakbenaran.