Tag Archives: Surya Paloh

Konstitusi dan Praktek Politik-Kekuasaan Indonesia

DE FACTO seolah soal Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang baru lalu dianggap telah selesai. KPU –terlepas dari polemik tentang kecurangan dalam Pilpres– pun telah menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang (peraih suara terbanyak). Lalu dua gumpal gunung es dari dua kutub politik, tiba-tiba seakan cair dan belah tak keruan sebagai ‘pecahan’ baru yang mengapung ke arah berbeda-beda sesuai arus kepentingan.

Tokoh puncak Gerindra Prabowo Subianto pekan lalu mendadak saling merapat dengan tokoh puncak PDIP Megawati Soekarnoputeri, setelah sebelumnya merapat dengan Joko Widodo. Lalu pada saat hampir bersamaan para pimpinan partai ex Koalisi 01 –Nasdem, PPP, PKB, Golkar– atas inisiatif Surya Paloh bertemu tanpa ‘mengajak’ PDI-P. Sebelumnya, dalam ruang politik yang sama, terjadi pula manuver yang di sana-sini cukup ‘mencegangkan’ dari PAN dan Partai Demokrat. Tak ketinggalan, ada manuver sejumlah partai kecil lainnya bertamu kesana-kemari –yang untuk sebagian, meminjam metafora dalam puisi Chairil Anwar, bernasib seakan berkemungkinan terbuang dari kumpulannya. Perlu berharap, agar tak ada yang bermutasi menjadi ‘binatang politik yang jalang’.

Namun di luar hiruk pikuk baru itu, de jure, dalam kancah politik saat ini membayang sejumlah tanda tanya di tengah khalayak, yang berkaitan dengan polemik tentang apakah pasangan Jojkowi-Ma’ruf bisa atau tidak bisa dilantik MPR di bulan Oktober mendatang. Jokowi-Ma’ruf meraih suara pemilih lebih dari 50 persen, namun persebaran kemenangannya menurut sejumlah ahli tata negara dan ahli hukum, tak memenuhi Pasal 6A ayat (3) UUD. Continue reading Konstitusi dan Praktek Politik-Kekuasaan Indonesia

Rencana ‘Pembunuhan’ KPK: Et tu Jokowi?

PERSOALAN terbesar yang dihadapi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat ini, adalah indikasi terdapatnya rencana jangka pendek pembunuhan atas dirinya dalam jangka panjang –semula, disebutkan jangka waktu 12 tahun. Diduga kuat akan dilakukan melalui revisi UU KPK. Terminologi “pembunuhan KPK” dalam konteks ini, kita pinjam dari Ikrar Nusa Bhakti, professor riset di Pusat Penelitian Politik LIPI. Sejauh ini, ‘pembunuhan’ adalah terminologi paling keras, di saat yang lain masih menggunakan kata ‘pelemahan’ KPK terhadap upaya revisi UU No. 30/2002 mengenai KPK yang (kembali) diluncurkan 45 anggota DPR lintas fraksi partai KIH plus Golkar. Dan bisa dipastikan sikap 45 anggota itu merupakan pencerminan kehendak partai mereka masing-masing.

            Merupakan hal menarik, menurut Ikrar dalam tulisannya di Harian Kompas (13/10), “UU KPK lahir pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri, tetapi kini mengapa justru PDI-P yang menjadi motor pelemahan atau bahkan pembunuhan KPK? Apakah ini terkait dengan isu ketakutan PDI-P bahwa Megawati akan terkena kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada eranya dulu?” Kehadiran anggota DPR dari PDI-P, Masinton Pasaribu sebagai mesin utama memunculkan upaya revisi itu, tentu tak kalah menarik. Salah satu argumentasinya dinilai Ikrar amat absurd, ketika ia ini “secara menggebu-gebu mengatakan bahwa pembentukan KPK yang lahir atas dasar Tap MPR RI/VIII/2001 itu adalah produk situasi politik transisi dan kini MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara.” Atas dasar itu pula Masinton dan para pendukung pembunuhan KPK membatasi usia KPK hanya pada 25 tahun. Karena KPK saat ini sudah 13 tahun, sisa usia KPK adalah 12 tahun seperti yang dicanangkan RUU Revisi KPK itu. Sebelum dibunuh, KPK mulai dipreteli sejumlah otoritasnya.

JOKOWI DAN MEGA DI DEPAN PAPAN CATUR. “Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.” (Infografis Tempo)
JOKOWI DAN MEGA DI DEPAN PAPAN CATUR. “Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.” (Infografis Tempo)

             Lebih jauh, kita masih meminjam uraian Ikrar. “Sampai detik ini antara DPR dan pemerintah (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) masih saling mengelak bahwa bukan lembaga mereka yang mempersiapkan revisi UU KPK.” Jika benar Kementerian Hukum dan HAM yang mempersiapkan draft revisi tersebut, memang benar ada kepentingan politik PDI-P untuk melemahkan dan bahkan membunuh KPK. “Ini yang justru menambah misteri soal revisi UU KPK ini, mengapa pemerintah yang didukung PDI-P dulu melahirkan UU KPK, dan kini ketika PDI-P berkuasa kembali justru ingin mematikan KPK.”

            Tak kalah menambah aroma misteri, adalah di mana posisi Presiden Joko Widodo dalam  kaitan rencana yang terkesan ingin mematikan KPK ini. Memang, pada Selasa (13/10) petang dalam konsultasi Pimpinan DPR dan Presiden, ada kesepakatan menunda pembahasan revisi UU KPK, sampai masa sidang berikut. Tetapi ini tidak mengurangi tanda tanya tentang sikap sebenarnya dari Presiden Jokowi dalam konteks tercerminnya kehendak pemerintahannya untuk mengakhiri KPK –entah sekarang, entah beberapa waktu ke depan. Kesepakatan DPR dan Pemerintah ini terasa sangat sarat dengan salah satu aspek dalam ‘filosofi’ kepemimpinan Jawa: Menyelesaikan persoalan bisa dengan menunda keputusan, to solve the problem by postponing the problem. Bila dalam filosofi Nusantara pada umumnya berlaku adagium “tempalah besi selagi panas”, maka Mpu pembuat keris di tanah Jawa mengembangkan ilmu “besi juga bisa ditempa dalam keadaan dingin.”

Per saat ini suhu pro-kontra eksistensi KPK melalui polemik tentang revisi UU KPK, dipastikan makin meninggi bila DPR memaksakan pembahasan revisi tersebut. Penundaan ke masa sidang berikut akan menurunkan temperatur. Namun, belum tentu akan menyelesaikan persoalan, karena siapa yang tahu apakah temperatur sudah reda pada waktu itu. Meski, sebenarnya ada celah kecil, yakni bila publik ternyata tidak puas dengan susunan komisioner KPK yang baru nanti sehingga surut semangatnya mendukung KPK, maka mereka yang menginginkan KPK mati bisa menyodok lagi.

Et tu Jokowi? TIDAK mudah mengukur sikap sesungguhnya Presiden Joko Widodo tentang eksistensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Beliau sejauh  ini bukan tipe “the man who rules the waves”, tetapi “the man who ruled by the waves”. Dalam berbagai persoalan pemerintahan dan kekuasaan –termasuk dalam masalah pemberantasan korupsi– selama setahun ini beliau lebih sibuk dan repot melakukan konsolidasi menyiasati angin yang menjadi penguasa sesungguhnya terhadap gelombang di laut. Dalam keadaan demikian, kendati beliau dalam berbagai retorika dan kampanyenya senantiasa menegaskan sikap anti korupsi dan keinginan memberantas kejahatan terhadap keuangan negara itu, beliau akan lemah dalam realita.

Gelombang kekuatan kaum korup dan pemangku kepentingan khusus yang begitu kuat di seputar rezimnya, membuat Presiden Joko Widodo selalu terpaksa kompromistis. Wealth driven politic yang melingkupi di sekelilingnya tak bisa tidak memberi posisi kuat kepada kaum korup. Tak sedikit tudingan bahwa kabinetnya telah terisi dengan berbagai macam tokoh dengan hasrat dan kepentingan pribadi maupun kelompok sehingga rawan tergelincir korup. Tetapi kehidupan politik Indonesia sendiri saat ini memang takkan berjalan tanpa topangan dana operasional yang digali melalui korupsi. Biaya menjadikan seseorang sebagai bupati atau gubernur mahal, apalagi untuk menjadi presiden. Tak ada partai politik –selaku pelaku utama kehidupan politik Indonesia saat ini– yang tak punya persentuhan saling menguntungkan dengan pelaku korupsi untuk tidak mengatakan bahwa korupsi itu memang merupakan kiat penting untuk survival untuk kemudian berjaya pada langkah berikutnya. Korupsi sudah menjadi semacam gimnastik nasional untuk memelihara stamina. Terbaru, Partai Nasdem milik Surya Paloh –yang selalu menjanjikan pembaharuan dan restorasi– telah mulai ikut tercatat sebagai peserta gimnastik nasional itu.

Maka, dari situasi itu, pantas saja bila ada separuh tanda tanya terhadap diri Joko Widodo sendiri dalam konteks pemberantasan korupsi. Mereka yang menyodorkan rencana revisi UU KPK secara formal adalah salah satu menterinya, sementara beberapa anggota DPR dari partai pendukungnya selalu menyebut-nyebut keterkaitan sang presiden sebagai pihak yang menyetujui.  Memang, Presiden Joko Widodo tak bisa lagi dikatakan sepenuhnya selalu seia-sekata dengan PDI-P sebagai partai pendukung utamanya menuju kursi RI-1, tetapi belum tentu dalam hal eksistensi KPK mereka memiliki keinginan berbeda satu dengan yang lain. Kalau Presiden memang tak menginginkan pelemahan –atau bahkan pembunuhan– terhadap KPK, Presiden takkan hanya sepakat terhadap penundaan, melainkan memberi penegasan bahwa pemerintah menarik kembali usulan revisi UU KPK itu. Dan sikap itu ditempatkan sebagai bukti komitmen terhadap pemberantasan korupsi, setidaknya selama 4 tahun ke depan. Kalau tidak, ada pertanyaan: Et tu Jokowi?

Dua pilihan di depan liang kubur. SEBENARNYA menyangkut KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi ada dua pilihan tersedia.

Pertama, konsisten terhadap niat semula saat KPK didirikan, bahwa lembaga itu sebuah lembaga ad-hoc. Tugas pokoknya untuk mengatasi kian meluasnya korupsi sebagai perilaku berjamaah justru pada pasca Soeharto –yang dikecam sarat KKN– karena untuk sementara institusi penegak hukum yang ada dianggap tidak cukup berdaya mengatasinya. Sebagai konsekuensi logisnya, semestinya selama KPK bekerja dalam jangka waktu tertentu, selama itu pula harus ada upaya keras membenahi Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI –dengan jajarannya masing-masing. Untuk mencapai kualitas terbaik dengan kemampuan kuantitatif dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Bahwa Kejaksaan Agung berpotensi berkembang secara kualitatif dan kuantitatif, terlihat pada dua masa Jaksa Agung, yaitu Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa. Sayang keduanya, khususnya Marzuki, kala itu dipatahkan di tengah jalan oleh intrik kekuatan politik korup yang masih eksis dan masyarakat yang bingung memberi dukungan penuh karena sikap apriori sisa masa lalu. Sementara Baharuddin Lopa sangat cepat terputus masa kerjanya oleh kematian di tanah suci. Dan tak kalah pentingnya, titik lemah di badan-badan peradilan tak pernah ditangani dan diatasi dengan bersungguh-sungguh. Setidaknya sebuah Pengadilan Negeri di Jakarta bahkan sempat disebut sebagai kuburan bagi perkara-perkara korupsi.

Atau kedua, kenapa tidak sekalian saja menetapkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi secara permanen dan satu-satunya, lengkap dengan segala wewenang extra ordinary yang dibutuhkan? Persoalan pokoknya, saat ini KPK lah satu-satunya lembaga penegakan hukum yang masih cukup dipercayai dalam kadar tinggi oleh masyarakat dan memiliki efek penggentar terhadap kaum korup. Terhadap yang lain, masyarakat telah begitu putus asa dan bahkan patah arang. Akan memakan waktu lama sebelum kepercayaan itu bisa dipulihkan, untuk tidak mengatakan bahwa praktek kotor di pengadilan dalam konteks wealth driven law justru makin meningkat. Konsekuensi dari menempatkan KPK sebagai lembaga permanen adalah pengembangan pengorganisasian secara bersungguh-sungguh. Tidak gampang, tetapi kesulitan tak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan. Dibutuhkan political will yang kuat untuk menyelamatkan negara dari liang kubur ‘negara gagal’. (socio-politica.com)

Lima Menit dari Istana: Serikat Bunga dan Jan Darmadi

DI TENGAH sorotan yang tajam, sejak tahun 1967 hingga paruh pertama tahun 1970-an, Gubernur DKI yang fenomenal, Ali Sadikin, berhasil menerobos kelangkaan biaya melalui sumber dana dari perjudian dan berhasil menyajikan pembangunan kasat mata bagi Jakarta. Namun, di sebalik itu Ali tak pernah menghitung berapa biaya sosial dan biaya piskologis yang harus dibayar rakyat yang hendak disejahterakannya itu. Sebagai hasil sampingan, muncul kelompok ‘cukong’ baru yang berhasil menumpuk dana dari usaha judi dalam jumlah besar yang digunakan untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis baru. Salah satu diantaranya adalah Jan Darmadi (Jauw Fok Ju) kelahiran Jakarta tahun 1939 yang mewarisi kerajaan judi di Jakarta dari ayahnya, Jauw Fuk Sen –pemilik Kasino PIX, Petak Sembilan, Glodok dan Kasino di Jakarta Theatre Jalan MH Thamrin.

Kasino Petak Sembilan jaraknya kurang lebih 9 menit ke Istana Negara, sementara Kasino di Jakarta Theatre berjarak 5 menit dari Istana saat lalu lintas lancar. Kini, secara resmi Jan Darmadi, sudah ‘ada’ di Kompleks Istana, sejak dilantik menjadi salah satu dari sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo, Senin lalu. Jaraknya menjadi nol kilometer dari Istana di Jalan Merdeka Utara itu. Di atas kertas, secara resmi, Jan Darmadi bukanlah seorang ‘mantan’ kriminal, karena ketika menjadi ‘raja judi’ di masa kegubernuran Ali Sadikin, kasino-kasinonya adalah usaha legal.

EMPAT SERANGKAI MEGA, JOKOWI, KALLA DAN PALOH. "Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem." (Tribunnews, editing)
EMPAT SERANGKAI MEGA, JOKOWI, KALLA DAN PALOH. Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem. (Tribunnews, editing)

Tak urung, keputusan yang diambil Presiden Jokowi, untuk mengangkat mantan raja judi yang kini terbilang sebagai salah satu di antara manusia terkaya di Indonesia itu mengundang sorotan tajam. Dan sorotan moral ini menjadi sorotan kesekian di antara berbagai sorotan yang sedang terarah pada kepemimpinan Presiden RI yang seperti halnya Ali Sadikin, adalah juga mantan Gubernur DKI Jakarta. Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem.

Lima menit dari pusat pemerintahan republik. MERUNUT ke belakang, kita meminjam kembali sebuah paparan dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004). Setidaknya ada tiga kasino besar yang dibangun dan menjadi pencetak uang bagi para cukongnya dan sekaligus menjadi penyumbang besar bagi kas Pemerintah DKI Jakarta Raya di masa Gubernur Ali Sadikin. Satu kasino, Copacabana, terletak di pusat hiburan Taman Impian Jaya Ancol. Satu lainnya, yang dibuka lebih awal pada September 1967 adalah Kasino PIX (Petak Sembilan) di kawasan Glodok yang merupakan jantung Pecinan. Kasino ini menyediakan permainan roulette dan baccarat yang dikombinasi permainan judi China Cap Ji Kie. Dan satu lagi tepat di jantung Ibukota, bersisian dengan Djakarta Theatre di Jalan Muhammad Husni Thamrin, dalam radius tak jauh dari pusat pemerintahan Republik yakni Istana Negara dan gedung-gedung pemerintahan di seputar Monumen Nasional.

Untuk kalangan masyarakat menengah disediakan arena-arena permainan dan perjudian ringan seperti Hailai Ancol, Pacuan Anjing ‘Greyhound’ Senayan dan Pacuan Kuda Pulo Mas. Lalu ada judi mesin Jackpot, yang sering dijuluki ‘si perampok bertangan satu’, yang berhasil menyedot uang masyarakat kalangan menengah Jakarta. Secara keseluruhan itu semua kerap dianggap sebagai satu proses pemiskinan rakyat.

            Dalam berbagai penjelasannya, Ali Sadikin mengatakan pemerintah DKI (Daerah Khusus Ibukota) menggantungkan diri kepada sumber pendapatan dari judi hanya untuk sementara sampai pemerintah pusat bisa memberikan bantuan dana yang cukup, seimbang dengan nilai dan posisi Jakarta sebagai penghasil pendapatan nasional secara keseluruhan. Kasino-kasino katanya akan diawasi dengan ketat dan hanya diperuntukkan bagi keturunan Tionghwa. Dengan perjudian itu, pemerintah DKI akan memberikan keuntungan untuk kepentingan masyarakat, daripada apa yang terjadi selama ini, yakni keuntungan dari perjudian yang hanya dinikmati segelintir cukong judi. Dan hasil pajak perjudian itu akan dipakai untuk rehabilitasi Jakarta.

Dengan ‘pembatasan’ berupa larangan masuk kasino bagi yang bukan keturunan Tionghwa, dan tak terjangkaunya tempat permainan dan perjudian lainnya –karena tetap mahal bagi kalangan bawah– maka yang paling merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah adalah judi lotto dan kupon Hwa Hwee yang beredar ke seluruh pelosok Ibukota bahkan menembus wilayah-wilayah pinggirannya, merembes ke wilayah tetangga. Adalah Hwa Hwee yang diselenggarakan sejak 15 Januari 1968 yang kemudian betul-betul ‘memikat’ dan memabukkan rakyat hingga ke strata paling bawah. Tampilnya Hwa Hwee –sejenis permainan judi China yang terjemahannya berarti ‘Serikat Bunga’– bermula dari ketidakpuasan Ali Sadikin terhadap penghasilan dari lotto yang ‘hanya’ Rp. 600 juta pada tahun 1971 yang berarti hanya 5 persen dari anggaran metropolitan kala itu. Waktu itu kurs dollar Amerika hanya 400-an rupiah.

Retorika memabukkan ‘Serikat Bunga’. “Sadikin menyadari bahwa lotto itu tidak memberi penghasilan dalam jumlah yang besar. Tumpukan uang ada di Glodok, jantung keuangan Jakarta, dan orang-orang Tionghwa tidaklah tertarik pada permainan angka-angka yang langsung, tanpa bumbu daya tarik yang khas China. Apa yang dibutuhkan bukanlah sekedar permainan, tetapi suatu bentuk permainan yang menarik orang-orang Tionghwa”. Demikian dituliskan Donald K. Emerson dalam sebuah jurnal di tahun 1973. Setelah berhasilnya kasino di Glodok, ‘rumah’ bagi aneka ragam permainan yang betul-betul China, Gubernur Ali Sadikin lalu memutuskan untuk mencoba Hwa Hwee. Permainan ‘Serikat Bunga’ ini sempat merubah Jakarta menjadi ruang judi maha besar di waktu malam dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemain –dengan dampak sosial dan psikologis yang sulit untuk dihitung. Penuh keasyikan yang memabukkan oleh misteri terselubung pada matriks 6 kali 6 yang terdiri dari 36 kotak segi empat. Apalagi pada pagi harinya kode atau isyarat diberikan di depan kasino dalam gerakan-gerakan mirip jurus silat, lalu kode-kode tertulis berupa syair, teka teki dan gambar juga diedarkan, dibarengi kode desas-desus, menambah rasa sensasi. Tak kalah memikat dibandingkan janji dan retorika politik masa kini di tahun 2000-an. Tiap kotak mengandung tiga unsur yakni gambar tokoh dalam pakaian tradisional China, seekor khewan dan satu angka (1 sampai 36). Dalam satu atau dua kotak, gambar-gambar seperti kecapi atau peti mayat, menggantikan gambar khewan.

Seorang pemain yang bertaruh untuk kotak yang menang, memperoleh 25 kali lipat dari taruhannya. Taruhan terkecil adalah 50 rupiah –yang ketika itu lebih dari cukup untuk membeli seporsi nasi dan lauknya– dan tak ada batas terbesar untuk taruhan. Pemain dapat bertaruh berapa saja kelipatan dari 50 rupiah, pada kotak yang sama atau pada gabungan beberapa kotak. Sekali pun pada dasarnya permainan Hwa Hwee ini sejenis dengan roulette –tapi disederhanakan– ia merupakan pengalaman yang terasa lebih nyata dan memikat. Roulette pada dasarnya adalah permainan angka. Sedang Hwa Hwee adalah permainan gambar dan angka yang berakar pada tradisi yang kaya dengan arti-arti terselubung. Hwa Hwee berkembang di China Tenggara –Fukien dan Kwantung– lalu dari sana menyebar melalui masyarakat Tionghwa di Asia Tenggara. Tiga puluh enam tokoh dalam gambar itu menurut hikayatnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang mati sebagai martir pada abad 12 di daerah Kirin tatkala mempertahankan China dari serangan pasukan berkuda suku ‘pengembara’ Tartar. Menurut perkiraan, tokoh pahlawan inilah yang merupakan ‘Serikat Bunga’ yang asli, yang namanya dipakai untuk permainan tersebut. Penggunaan asosiatif khewan dengan masing-masing tokoh itu, lebih jauh kemungkinannya adalah merupakan hubungan-hubungan sejarah, mistik dan kesusasteraan yang ada untuk tiap-tiap gambar dalam kotak.

Tapi pengaruh judi ‘Serikat Bunga’ yang dahsyat akhirnya membuat pucuk kekuasaan dan para penentu kebijakan ‘takut’ sendiri. Hwa Hwee dilarang setelah berlangsung hanya 5 bulan. ‘Serikat Bunga’ gugur dini sebagai korban keberhasilannya sendiri. Tapi ‘serikat judi’ lainnya berjalan hingga tahun 1973 sampai adanya larangan judi secara menyeluruh oleh Pangkopkamtib.

            Sejumlah ulama dan kelompok politik berideologi agama menentang perjudian resmi tersebut untuk alasan moral. Terhadap serangan itu Ali Sadikin pernah berkata “Biarlah saya dikatakan gubernur judi, tetapi hasil yang saya dapatkan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak yang tidak mendapatkan sekolah”. Dituduh maksiat, ia mengatakan dalam satu wawancara “Coba saja saudara pikir, dari enam buah tempat perjudian kemudian saya lokalisir di suatu tempat, toh dosanya dari enam dikurangi lima menjadi satu. Dan pahalanya? Dari tidak ada menjadi lima”. Namun sebaliknya tak kurang banyaknya pula ulama yang bisa menyediakan argumentasi lengkap dengan ayat-ayat untuk membela kebijakan Ali Sadikin. Paling kurang, berhenti menghujat dirinya.

            Kasino-kasino di Jakarta, selain memberi dampak ‘keberhasilan’ penghimpunan dana untuk menunjang pembangunan Jakarta, juga menjadi tempat membuang duit –karena lebih banyak kalahnya daripada menangnya– bagi  sejumlah pengusaha swasta maupun pengusaha pelat merah. Beberapa pejabat BUMN maupun putera petinggi negara juga diketahui diam-diam menjadi pelanggan kasino-kasino di Jakarta. Salah seorang putera petinggi yang sangat berkuasa, selain di Jakarta bahkan kerap bermain judi di kasino-kasino Las Vegas Amerika dan menjadi pelanggan ‘kalah habis-habisan’. Meskipun ada larangan resmi bagi para pejabat (dan yang bukan keturunan Tionghwa) untuk masuk kasino, tak jarang beberapa pejabat bea cukai dan instansi-instansi ‘basah’ lainnya terlihat masuk ke gelanggang kasino, lewat jalan khusus.

            Vivere pericoloso. KEMBALI ke Istana, pusat kekuasaan pemerintahan negara di tahun 2015 ini. Mungkinkah, tokoh nomor satu Indonesia per saat ini, Ir Joko Widodo, adalah tokoh yang ‘senang’ ber-vivere-pericoloso – menyerempet-nyerempet bahaya? Atau, apakah model ‘serikat bunga’ politik yang ada disekitar kekuasaannya lah selalu mendorongnya menyerempet bahaya?

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga adalah tokoh yang berkecenderungan menyerempet-nyerempet bahaya, demi dan karena romantika perjuangan. “Karena romantik inilah, kita tidak remuk; karena romantik inilah, kita makin kuat; karena romantik inilah, kita malahan berderap terus..,” ucap Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964 di Lapangan Merdeka. Soekarno menamai pidatonya itu, “Tahun Vivere Pericoloso” diringkas Tavip. Kala itu, saat Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggeris, Soekarno menggambarkan bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan bahaya dan seakan terkepung oleh kekuatan neo kolonialisme dan imperialisme dari luar, maupun kaum kontra-revolusioner di dalam negeri. Setahun kemudian, terjadi Peristiwa 30 September 1965. Ia selalu bersikeras, bervivere-pericoloso membela PKI yang dalam anggapan kekuatan politik non-komunis adalah ‘tersangka’ makar di tahun 1965. Dan, Maret 1967, Soekarno jatuh dari kekuasaan. (socio-politica.com)

Partai Golkar, Kisah Intervensi Berbalut Kain Sutera

BULAN Desember menjelang tutup tahun 2014, kepada publik tersaji serial berita tentang dua versi kepengurusan tingkat pusat Partai Golkar, yakni hasil Munas IX di Bali dan hasil Munas tandingan di Ancol Jakarta. Dua-duanya menyatakan diri sesuai konstitusi partai. Tapi bagaimana pun, sepanjang ketentuan yang ada dalam konstitusi partai tersebut, mustahil terjadi dua kebenaran sekaligus. Karena, apakah mayoritas DPD Golkar yang tersebar di 34 provinsi, 412 kabupaten, 98 kota (dan kota administratif) sebagai pemilik suara terpenting dan menentukan, masing-masing telah menghadiri Munas Golkar IX di Bali lalu juga menghadiri Munas di Ancol Jakarta? Maka, pasti ada satu di antaranya yang palsu. Dan semestinya sama sekali tidak sulit memverifikasi kebenaran di antara kedua Musyawarah Nasional itu.

LAMBANG BERINGIN GOLKAR. "Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara."
LAMBANG BERINGIN GOLKAR. “Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara.”

Meski seringkali menjengkelkan untuk melihat perilaku akrobatik yang kerap beraroma otoriter dari sejumlah tokoh Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, tak boleh tidak harus diakui bahwa Munas Golkar di Bali yang harus dianggap sah karena praktis dihadiri oleh DPD-DPD yang sah dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, tidak sulit untuk melihat bahwa Munas di Ancol adalah artifisial, bersifat mengakali konstitusi partai. Tapi pemerintahan Jokowi yang diwakili dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM, mengambil sikap sangat abu-abu.

Pers mengutip Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly –seorang tokoh PDIP– yang mengatakan (16/12) “Setelah kami pertimbangkan, dari semua aspek, yuridis, fakta, dan dokumen, kami menyimpulkan bahwa masih ada perselisihan yang seharusnya Kementerian Hukum dan HAM tidak boleh mengintervensi….” Dan dengan anggapan adanya perselisihan, pemerintah lalu menyarankan penyelesaian internal melalui Mahkamah Partai. Tapi saran pemerintah ini pada hakekatnya hanya memperpanjang dan memperlama fase pertengkaran di tubuh partai papan atas ini. Sepintas sikap pemerintah adil dan bijaksana, tapi implikasinya sebenarnya adalah menciptakan nafas lanjutan dan kesempatan bagi kelompok ‘Munas Ancol’ Agung Laksono dan kawan-kawan untuk tetap menjadi faktor. Baik untuk membangun eksistensi mereka secara formal, maupun setidaknya untuk punya standing dalam suatu proses islah.

Intervensi terselubung. Menjadi pengetahuan publik, bahwa kekisruhan di tubuh Golkar secara pragmatis hanya akan menguntungkan koalisi partai-partai pendukung kekuasaan dan pemerintahan Jokowi-JK dalam konteks mematahkan supremasi KMP di lembaga legislatif. Makin panjang kisruh itu makin bagus bagi the ruling parties. Siapa tahu, hasil akhirnya nanti adalah sebuah Golkar yang pro kelompok berkuasa dalam kekuasaan pemerintahan negara saat ini. Dan cukup banyak kaum opportunis di tubuh partai itu siap ‘dimainkan’ sebagai pemegang peran antagonis.

KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. "Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera."
KARIKATUR INDOPOS, MENTERI POLHUKAM MEMPERSILAHKAN AGUNG LAKSONO MUNAS. “Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmusiy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera.”

Pola pengolahan konflik di tubuh Golkar ini, tidak berbeda jauh dengan apa yang menimpa sebuah partai lainnya, PPP, yang tadinya ada di barisan KMP. Perbedaannya hanya, ada intervensi langsung secara terang-terangan, dan ada yang dilakukan lebih terselubung. Bila terhadap PPP, Kementerian Hukum dan HAM bertindak cepat –untuk tidak menyebutnya tergesa-gesa– mengintervensi dengan mengakui sepihak kubu Romahurmuziy, maka intervensi di Golkar dilakukan lebih terselubung. Katakanlah, sebuah intervensi berbalut kain sutera. Kenapa intervensi di PPP dilakukan tanpa ragu, tak lain karena menganggap posisi kubu Suryadharma Ali sedang terpojok secara internal maupun eksternal. Tuduhan korupsi di Kementerian Agama yang sedang mengarah ke Suryadharma Ali melemahkan posisi dan penilaian integritasnya dalam opini publik. Sebaliknya, intervensi ke Partai Golkar dilakukan lebih berhati-hati, karena adalah fakta bahwa secara internal kubu Aburizal Bakrie memang cukup kokoh berkat dukungan seluruh DPD –terlepas dari soal bagaimana cara dukungan itu diperoleh– dan legal formal pasti lebih konstitusional. Maka Menteri Hukum dan HAM tak ‘berani’ untuk secara langsung memaksakan memberi pengakuan keabsahan kepada kubu Munas Ancol bila tidak ingin mengalami efek bumerang dalam opini publik. Namun, di sisi lain ada kepentingan khusus yang harus disandarkan kepada keberadaan kubu Munas Ancol itu. Maka pilihannya, adalah sikap abu-abu.

Secara khusus bagi Jusuf Kalla, bila Partai Golkar bisa dikuasai oleh unsur-unsur kelompok Ancol, itu akan mengamankan bargaining position dirinya dalam percaturan politik di tubuh kekuasaan dalam lima tahun ke depan. Diakui atau tidak, sebenarnya kebersamaan Jokowi dan Jusuf Kalla dalam satu perahu kekuasaan, lebih bersifat ‘perkawinan’ taktis dengan segala kepentingan politis demi kekuasaan daripada bersatu atas dasar kesamaan strategis demi idealisme untuk bangsa.

Involusi dan molekulisasi. PERTENGKARAN internal –yang sering diperhalus secara sesat dengan terminologi “dinamika partai”– pasca Soeharto, bukan sesuatu yang baru di tubuh organisasi politik dengan sejarah yang cukup panjang ini. Akan tetapi baru sekali ini Golkar mengalami suatu pertengkaran yang menciptakan situasi ‘seakan-akan’ terjadi kepengurusan ganda. Dan ini adalah kali pertama ada kelompok bertindak terlalu jauh, menyelenggarakan Munas tandingan dan melahirkan DPP tandingan. Menjelang Pemilu 2004 tokoh Golkar Marzuki Darusman-Fahmi Idris dan kawan-kawan sempat berbeda pendirian dengan Ketua Umum Akbar Tandjung yang berujung pemecatan. Hanya saja, Marzuki dan kawan-kawan tidak memilih jalan menyelenggarakan Munas dan DPP tandingan yang bisa menyebabkan kehancuran partai.

Namun setelah itu terjadi sejumlah fenomena baru. Dalam beberapa peristiwa, sejumlah tokoh yang kecewa terhadap Golkar –misalnya kalah dalam konvensi Golkar maupun pemilihan kepemimpinan organisasi tersebut atau gagal menjadi presiden dengan dukungan Golkar– meninggalkan Golkar untuk mendirikan partai baru. Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto mendirikan Partai Hanura dan belakangan Surya Paloh mendirikan organisasi kemasyarakatan Nasdem yang kemudian menjelma sebagai partai Nasdem. Sebelumnya, di awal pasca Soeharto Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjad mendirikan PKPI. Setiap tokoh partai-partai baru itu, menjalankan pola mirip transmigrasi bedol desa, membawa serta para pendukungnya meninggalkan Golkar. Partai Demokrat pun sebenarnya, untuk sebagian dibangun dan diisi oleh tokoh-tokoh yang tadinya adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar –misalnya dari jalur A, maupun tokoh-tokoh eks Golkar lainnya.

Fenomena baru pasca Soeharto ini, mungkin tepat disebut sebagai proses involusi, semacam degenerasi yang lebih jauh bisa saja suatu waktu menjadi molekulisasi Golkar. Ini semacam pembalikan terhadap apa yang terjadi di tahun 1964 saat tak kurang dari 291 organisasi bercorak kekaryaan berhimpun membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Dan menjelang Pemilihan Umum 1971, Sekber Golkar berhasil merampingkan pengorganisasiannya namun dengan kuantitas akar rumput yang lebih luas di masyarakat. Pada saat akan memasuki tahun Pemilu 1971 itu pula Golkar berhasil mengajak sejumlah kalangan generasi muda pergerakan tahun 1966 dan kelompok-kelompok cendekiawan independen untuk memperkuat Golkar secara kualitatif. Ketertarikan generasi muda dan kalangan cendekiawan itu, terutama karena pada pasca Soekarno itu Golkar lah satu-satunya alternatif kekuatan politik yang tidak ideologistis dan hanya bersandar pada ideologi Pancasila di antara kerumunan partai ideologis lama. Dan yang paling penting, Golkar mampu menyodorkan konsep yang menjanjikan pembaharuan sosial dan pembaharuan kehidupan politik. Bahwa di kemudian hari sebagian besar janji pembaharuan tak terwujud, itu suatu persoalan yang pada waktunya perlu dikupas tersendiri.

Tiga dimensi dan pergaulan politik klik. TIGABELAS tahun setelah 1971, saat Golkar berusia 20 tahun, ahli politik terkemuka Dr Alfian memberi penilaian bahwa hingga per waktu itu Golkar masih terpaku pada penekanan dimensi preventif dalam kehidupan perpolitikan. Trauma politik di masa lampau membuat langkah-langkah preventif seolah menjadi obsesi Golkar. Tragedi politik pra Orde Baru, menyebabkan Golkar khawatir terhadap segala bentuk ancaman. Golkar cemas kalau-kalau muncul ideologi baru di luar Pancasila. Padahal, selain dimensi preventif, ada dua dimensi lain yang harus juga diberlakukan bersamaan secara proporsional, yaitu dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan dan pengembangan. Jangan ada satu dari ketiga dimensi ini yang mendapat penekanan berlebihan (Media Karya, edisi 20 Tahun Golkar, Oktober 1984).

Tetapi sejarah menunjukkan, sengaja atau tidak, sepanjang masa kekuasaan Soeharto yang adalah Ketua Dewan Pembina Golkar, dimensi preventif selalu menjadi warna utama politik Golkar dan Soeharto sendiri. Dalam periode Ketua Umum Sudharmono SH dan Sekjen Sarwono Kusumaatmadja, cukup terlihat ada upaya untuk juga memperhatikan dimensi pemeliharaan serta dimensi pembaharuan tersebut di tubuh Golkar. Antara lain dengan gerak kaderisasi besar-besaran serta penerapan stelsel keanggotaan aktif –dimulai dengan pemberian KAG (Kartu Anggota Golkar) dan NPAG (Nomor Pokok Anggota Golkar). Terhadap kader diberlakukan saringan kualitatif melalui kriteria PDLT –prestasi, dedikasi, loyalitas, tidak tercela– dalam penempatan atau penugasan, misalnya saat akan mengisi posisi anggota legislatif atau posisi fungsionaris partai. Namun fakta empiris memperlihatkan, betapa perhatian terhadap dimensi pemeliharaan dan dimensi pembaharuan tak cukup berlanjut di masa-masa berikut, terutama di masa Harmoko memimpin partai. Harmoko lebih mengejar aspek kuantitatif berupa pencapaian prosentase tinggi kemenangan Golkar dalam pemilu.

Penerapan PDLT, terutama menjelang Pemilu 1987, sering harus berhadapan dengan perilaku nepotisme yang terjadi di tiga jalur Golkar –ABG yang terdiri dari jalur A (Abri), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar) sendiri. ‘Pertarungan’ sengit terjadi dalam tiga tahap penyusunan daftar calon tetap untuk pengisian posisi legislatif, khususnya di tahap akhir. Hingga sejauh yang bisa terlihat saat itu, kriteria PDLT cukup bisa membatasi keberhasilan nepotisme kendati di sana-sini tetap juga terjadi sejumlah kompromi. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, terutama menjelang Pemilu 1997, warna nepotisme menjadi corak yang menonjol. Lahir misalnya plesetan AMPI menjadi Anak-Mantu-Ponakan-Isteri atau yang semacamnya, yang pada intinya menyindir penempatan-penempatan berdasarkan hubungan kekerabatan dan atau klik. Kasat mata, satu keluarga bisa berkumpul di lembaga legislatif. Tetapi soal klik, lebih sulit diukur, walau sangat terasa. Ini menular hingga ke masa-masa berikutnya, bahkan hingga di masa reformasi dan sesudahnya. Maka Golkar ‘baru’ di bawah Akbar Tandjung dan Golkar berikutnya di bawah Muhammad Jusuf Kalla maupun Aburizal Bakrie, suka atau tidak, dengan sendirinya ‘harus’ terbiasa dengan ‘pergaulan politik klik-klikan’.

Melalui ‘pergaulan politik klik-klikan’, terbuka lebar pintu bagi para politisi akrobatik yang sangat pragmatis dan oportunistik dalam konteks perebutan kekuasaan, untuk masuk berperan bahkan hingga ke jantung organisasi. Dalam ‘pergaulan politik klik-klikan’ kepentingan sendiri bertengger jauh di atas kepentingan idealisme untuk partai, apalagi untuk bangsa dan negara. Di sini, partai hanyalah ibarat sebuah kendaraan tumpangan yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila menemukan kendaraan lain yang lebih sesuai dan nyaman untuk kebutuhan per suatu saat. Dan atau sebaliknya.

Akal sehat dan ‘Golkar Putih’. Dalam konteks pertengkaran internal –dengan jalinan faktor eksternal– yang melanda Partai Golkar saat ini di dua kubu, harus diakui terdapat peran politisi akrobatis dan oportunis. Peran mereka ternyata tidak kecil. Satu dan lain hal, inilah yang membuat situasinya berbau sangat tidak sedap. Politisi akrobatis dan oportunis ini di satu sisi bisa menjadi sumber keruntuhan partai, namun di sisi lain harus diakui bahwa pada saat yang sama mereka juga mempunyai kemampuan luar biasa dalam berkompromi. Maka, harus menanti sisi mana yang akan bekerja. Kelompok akal sehat yang dulu sering disebut sebagai ‘Golkar Putih’, mungkin lebih pantas diharapkan kehadirannya kembali untuk berperan. Tetapi kalaupun pada akhirnya kompromi tercapai, atau penyelesaian hukum yang baik dan benar tercapai, masa depan Golkar tetap terselaput tanda tanya selama Golkar tak berhasil mengatasi kehadiran dan peran para politisi akrobatis dan oportunis di tubuhnya. (socio-politica.com)

Di Balik Retorika Demokrasi Ada Oligarki

SEBUAH metafora lama yang termasuk paling banyak digunakan dalam pergaulan sosial manusia Indonesia, adalah “ada udang di balik batu.” Bahwa di balik suatu kata bujukan atau perbuatan ada maksud terselubung. Sebuah ungkapan yang besar atau kecil mengandung sikap waspada menghadapi suatu ‘keadaan’ yang terasa terlalu baik (dan muluk) untuk bisa menjadi kenyataan. Maka, ada ungkapan lain bertujuan mengingatkan “yang manis jangan cepat ditelan, yang pahit jangan cepat dimuntahkan.”

Di saat kehidupan politik –dan kekuasaan– Indonesia mengalami rangkaian cuaca buruk yang berlangsung nyaris terus menerus belakangan ini, makna dua metafora itu pasti juga pas untuk masuk dalam konteks. Dalam kaitan kehidupan kepartaian, ada dua peristiwa aktual menyangkut Partai Persatuan Pembangunan (PPP), disusul Partai Golongan Karya (Golkar). Terjadi pergolakan internal menyangkut hegemoni ‘kekuasaan’ di tubuh kedua partai ‘tua’ tersebut. Pergolakan tersebut pada hakekatnya adalah pertengkaran –yang selalu diperhalus dengan terminologi ‘dinamika demokrasi’ dalam partai– yang nyata-nyata semata untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan internal partai yang ada hubungannya dengan situasi kepentingan politik eksternal.

ABURIZAL BAKRIE DI 'MEDIA KARYA' GOLKAR 1985, PERSENTUHAN AWAL. "Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. .... Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai. "
ABURIZAL BAKRIE DI ‘MEDIA KARYA’ GOLKAR 1985, PERSENTUHAN AWAL. “Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. …. Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai. “

            Pertengkaran internal itu terjadi di antara kelompok-kelompok elite partai saja sebenarnya, yang sama-sama berkecenderungan menegakkan oligarki dalam partainya masing-masing. Bisa dikatakan ini masih mengikuti hukum besi oligarki yang ‘diperkenalkan’ 1911 oleh sosiolog muda Jerman Robert Michels, dalam bukunya ‘Political Parties’. Pengamatan empiris masa itu menunjukkan organisasi selalu melahirkan dominasi sang pemimpin terpilih atas pemilihnya, dominasi sang mandataris atas pemberi mandat, dan dari sang penerima kekuasaan atas para pemberi kekuasaan. Massa pendukung hanya dibutuhkan dalam konteks mengimbangi kekuatan lawan tapi tidak lagi diperlukan suaranya dalam pengambilan keputusan. Itulah oligarki. Seabad lebih telah berlalu, tetapi hukum besi oligarki tersebut ternyata tetap berlaku dalam organisasi-organisasi pada umumnya –termasuk dalam partai-partai politik modern masa kini, kendati mereka selalu menggunakan retorika demokrasi. Di sana-sini mungkin ada pengecualian, tetapi terbatas di negara-negara yang demokrasinya lebih mapan –dan itu pun tak terjamin sepenuhnya bersih dari aroma oligarki dan berbagai derivatnya. Dan, partai-partai politik Indonesia, tidak termasuk dalam deretan pengecualian itu.

            Dengan demikian, sebenarnya tak salah kalau kita meminjam metafora ada udang di balik batu, menjadi semacam kesimpulan bahwa di balik retorika demokrasi ada fakta oligarki di tubuh partai-partai politik Indonesia. Bahwa semua partai-partai politik Indonesia lahir dengan menunjukkan niat baik sebagai alat demokrasi, itu benar. Namun fakta menunjukkan, pengelolaan organisasi lebih lanjut pada akhirnya dilakukan di bawah model kepemimpinan oligarki. Lebih dari itu, nyaris seluruh partai berkecenderungan kuat bergantung kepada ketokohan dan pengaruh pemimpinnya daripada betul-betul bersandar pada konstitusi partai.

            Bilamana para pemimpin terancam dari arah internal partai –biasanya dari sesama kelompok elite partai– sang pemimpin dan elite pendukungnya tak akan segan-segan menabrak norma demokrasi dengan ‘otoritas’ pribadi dan senjata ‘prosedural’ untuk mematahkan lawan. Kenapa seorang pemimpin selalu bersikeras? Kehilangan kekuasaan memerintah partai bagi sang pemimpin sama artinya dengan kehilangan segala sesuatu yang telah membuatnya menjadi manusia penting. Maka kedudukan harus dipertahankan habis-habisan dan jika perlu dengan menggunakan ‘metode’ penindasan.

            Tangan besi berbalut beludru dan pengkhianatan. PEMIMPIN Partai Golkar Aburizal Bakrie kemarin ini banyak dikritik telah bersikap otoriter, tidak demokratis, menggunakan politik uang, menindas dan sebagainya demi melanjutkan hegemoninya di tubuh partai. Tapi toh sejauh ini ia berhasil memecahkan tradisi tak pernah ada Ketua Umum yang terpilih untuk kedua kali. Dulu, memang Amir Murtono pernah seakan menjadi Ketua Umum untuk ke dua kali, tetapi sebenarnya periode pertamanya hanyalah meneruskan jabatan Ketua Umum Sokowati yang meninggal dunia dalam masa kerjanya.

            Kecaman terhadap Aburizal Bakrie untuk sebagian besar mungkin saja benar, sehingga ia memang cukup pantas untuk dikecam. Barangkali benar ia kini tampil sebagai pemimpin dengan tangan besi berbalut beludru. Akan tetapi, pada sisi lain mungkin bisa coba dipahami dalam konteks fakta bahwa Golkar sebagaimana partai-partai lainnya pada hakekatnya dijalankan oleh suatu kepemimpinan oligarkis. Tak selalu sang pemimpin menghendaki demikian, namun situasi dan peluang selalu terlanjur tersedia dari waktu ke waktu. Pun, tak perlu terlalu marah kepada Aburizal saja seorang. Karena, tidak boleh dilupakan, bahwa sebagian dari kelompok-kelompok elite lainnya di tubuh Golkar yang ingin menjatuhkannya pun tidak lebih baik. Sebagian terbesar tak lebih dari sekedar ingin mengambil posisi kepemimpinan karena pragmatisme berlatar belakang hasrat kekuasaan belaka. Bukan karena suatu idealisme demi demokrasi dan demi kepentingan akar rumput Golkar, apapula konon kepentingan rakyat secara keseluruhan. Selama ini, sebagian besar dari para politisi penentang kepemimpinan Aburizal Bakrie di Golkar, juga dikenal sebagai bagian dari kelompok oligarki partai.

            Jika masih mampu menggunakan akal sehat, dan memiliki niat yang betul-betul ingin memperbaiki Golkar dari dalam, tentu tak perlu memelihara sikap bersikeras dengan menyerang terus dari luar, termasuk melontarkan gagasan menyelenggarakan Munas tandingan. Dan tentu tak perlu menggunakan massa untuk melakukan serangan dan kekerasan di markas partai. Kendati Aburizal dan kawan-kawan memang juga pantas dikecam. Dalam konteks akal sehat, sikap salah satu tokoh yang tadinya juga disebut sebagai kandidat Ketua Umum, MS Hidayat, yang memilih tetap memperbaiki dari dalam, mungkin lebih tepat.

Tapi akal sehat pasti sulit ditemukan dalam suasana tumbuhnya klik-klik di tubuh partai. Klik-klik kepentingan berkadar tinggi di tubuh partai, adalah dataran subur bagi pertikaian internal. Padahal, setiap sikap saling menentang hanyalah menguntungkan pesaing dari eksternal atau lawan politik. Dalam model oligarki, setiap serangan terhadap pemimpin akan dibahasakan sebagai pengkhianatan terhadap partai. Dan begitulah hukum besi oligarki.

Keberadaan ‘Ketua Presidium Tim Penyelamat Golkar’, Agung Laksono, yang berkali-kali menyatakan sikap akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK, menjadi indikasi terdapatnya juga kepentingan eksternal terhadap hegemoni dalam Golkar. Bukan rahasia bagi khalayak politik Indonesia, bahwa mantan Ketua Umum Golkar, Muhammad Jusuf Kalla, sangat berkepentingan untuk menempatkan orang-orangnya dalam kepemimpinan baru Golkar 2014-2019. Kalau tidak, ia takkan punya ‘kartu politik’ yang kuat untuk ikut berperan dalam pengendalian kekuasaan dan pemerintahan di samping Joko Widodo. Surya Paloh akan lebih punya harga politik. Apalagi, Megawati Soekarnoputeri, pemegang seluruh kartu As.

Dulu, saat berhasil menjadi Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono untuk periode 2004-2009, Jusuf Kalla mampu mengambilalih kepemimpinan Golkar melalui Munas Golkar 2004 –yang juga berlangsung di Nusa Dua Bali– dari ‘tangan’ Akbar Tandjung. Waktu itu, di tengah kecamuk isu politik uang, perjuangan Jusuf Kalla secara kuat disokong oleh Aburizal Bakrie. Kemenangan Jusuf Kalla kala itu terbantu oleh suasana psikologis masih gamangnya para elite Golkar di pusat maupun di daerah untuk menempuh hidup baru sebagai pelaku politik di luar lingkup kekuasaan (pemerintahan) negara.

Antara sandaran institusional dan sandaran ketokohan. POLA perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan, tak berbeda dengan yang kemudian terjadi di Golkar, juga ikut dipicu oleh kepentingan politik dalam kaitan eksternal. Suryadharma Ali diguncang oleh kelompok elite lainnya di internal partai karena dianggap mengambil keputusan-keputusan sepihak yang tidak demokratis dalam perpihakan politik semasa pemilihan calon presiden dan wakil presiden yang baru lalu. Ketika tokoh pilihan Suryadharma ternyata tidak berhasil memenangkan pilpres, sejumlah elite penentang melakukan coup dengan membentuk dewan pimpinan partai yang baru, yang kini sedang rebut-rebutan pengakuan dan kantor. Terlihat ada tali temali kepentingan politik yang kuat, ketika Menteri Hukum dan HAM dalam kabinet Jokowi tergopoh-gopoh melakukan pembenaran formal terhadap kubu Romahurmuziy dan Pangkapi. Tidak bisa ditutupi bahwa ‘Koalisi Indonesia Hebat’ yang mendukung Jokowi secara pragmatis memang membutuhkan PPP untuk menambal ‘kekurangan’ dalam membentuk mayoritas kerja di DPR sebagai benteng pemerintahan Jokowi-JK di kancah legislatif.

PPP sejauh ini secara formal menjadi partai ‘tertua’ di Indonesia. Hasil fusi partai-partai ‘ideologi’ Islam setelah Pemilihan Umum 1971, sebagaimana Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi partai-partai berideologi nasional dan ber’ideologi’ agama non Islam. Golkar ditempatkan sebagai kekuatan politik lainnya namun tanpa label partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah sempalan yang terbentuk akibat perpecahan di PDI pada tahun-tahun terakhir masa Soeharto. Sementara itu, Golkar berubah menjadi Partai Golongan Karya tahun 1998 di bawah Akbar Tandjung pada masa reformasi pasca Soeharto. Tapi bagaimana pun ketiganya memang tergolong partai ‘tua’.

Di antara partai politik yang ada, bisa dikatakan Partai Golkar lah yang memiliki tradisi institusional dan kolektivitas kepemimpinan yang kuat sehingga tidak seharusnya lebih mengandalkan ketokohan satu atau dua orang saja untuk mempertahankan eksistensinya. Tetapi dalam perjalanan waktu, hasrat akan sistem oligarki dalam kepemimpinan partai berangsur-angsur menguat. Sehingga nyaris tak terlalu berbeda lagi dengan partai-partai politik lainnya yang jelas oligarkis dan mengandalkan ketokohan –seringkali sudah menyerupai mitos– untuk eksistensi partai. PPP pernah sangat mengandalkan ketokohan Hamzah Haz yang sempat menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Megawati Soekarnoputeri. PDIP dalam pada itu betul-betul mengandalkan ketokohan Megawati Soekarnoputeri –dan secara tidak langsung bersandar pada ‘mitos’ Soekarno. Maka, sulit terbayangkan bagaimana PDIP kelak tanpa Megawati. Ketiadaan Hamzah Haz, boleh jadi merupakan salah satu sebab rapuhnya kepemimpinan di tubuh PPP pada tahun-tahun belakangan ini.

Partai-partai baru yang ada juga pada dasarnya masih menyandarkan eksistensinya pada ketokohan daripada kepada kekokohan institusi. Terlebih-lebih bila sang tokoh adalah pendiri partai dan kemudian dikonotasikan sebagai pemilik. Bagaimana misalnya nanti PAN tanpa Amien Rais (Hatta Rajasa)? PKB dengan Abdurrahman Wahid yang tidak lagi menjadi presiden sempat berantakan, tapi kini untuk sementara dalam batas tertentu masih bertahan dengan Muhaimin Iskandar. Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya, masih merupakan tanda tanya, saat Muhaimin kini tidak lagi punya posisi menteri. Bagaimana nasib Partai Demokrat seterusnya setelah SBY terlepas dari posisi Presiden Indonesia? Bagaimana nanti Gerindra tanpa Prabowo Subianto dan bagaimana pula Partai Hanura sepeninggal Wiranto kelak? Terakhir dan tak kalah pentingnya, bagaimana nasib Partai Nasdem bila nanti ditinggalkan Surya Paloh?

Jawabannya normatifnya tentu: kaderisasi kepemimpinan baru dengan penekanan kepada kekokohan institusional. Tapi apakah itu mungkin bilamana di balik retorika demokrasi di tubuh partai ada fakta oligarki yang selalu berpintu tertutup, dengan pengambilan keputusan tunggal, maksimal seperempat kamar? (socio-politica.com)

Mengejar ‘Mandat Langit’, Kisah Joko Widodo

ANALISA dan proyeksi tentang kursi kepresidenan 2014-2019, hingga awal Mei ini, masih berputar di sekitar ketokohan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai para pemilik peluang teratas. Siapa di antara mereka berdua yang akan mendapat ‘mandat langit’ melalui rakyat sesuai adagium ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ –Vox Populi Vox Dei– yang sangat retoris? Pada dasarnya, peluang mereka berdua ada dalam posisi 50-50, tetapi faktor dengan siapa mereka atau partai mereka pada akhirnya berkoalisi sangat menentukan siapa ‘pemenang’. Salah pilih pasangan, bisa berakibat fatal. Di sini, bekerja banyak faktor, selain elektabilitas para tokoh di tengah publik, juga ada faktor subjektivitas yang tidak lurus dari para pimpinan partai maupun faktor penguasaan akumulasi dana dalam hubungan praktek politik uang.

Posisi peluang Aburizal Bakrie sementara itu, sempat seakan menjadi mengecil, terutama dalam kaitan peta kemungkinan koalisi yang akan tercipta. Namun peluang menjadi pimpinan nasional itu bisa kembali menguat bila Aburizal Bakrie berani secara radikal merubah penawaran, dengan menempatkan diri sebagai calon Wakil Presiden, baik bagi Prabowo Subianto (atau sebaliknya) maupun bagi Joko Widodo. Perkembangan terbaru menunjukkan arah seperti itulah yang memang dituju oleh Aburizal Bakrie setelah dua kali pertemuan dengan Prabowo Subianto. Pada pertemuan kedua di rumah Prabowo, Senin 5 Mei 2014, keduanya diberitakan sepakat untuk berduet sebagai pimpinan nasional, meski belum menetapkan siapa menjadi wakil presiden bagi siapa. Tapi,di sisi Golkar, keputusan seharusnya tidak hanya di tangan Aburizal.

TUKANG MEBEL JADI PRESIDEN. "TERLIHAT betapa Jokowi dengan belitan kemiskinan dalam kehidupannya, lebih banyak bagaikan hidup dalam kisah 1001 malam. Cerita mirip dongeng seperti itu sungguh memukau bagi kalangan akar rumput di masyarakat. Pada sisi lain, ia berada dalam posisi ‘minim sejarah’. Namun berada dalam posisi minim ‘sejarah’ seperti itu, khususnya bila dibandingkan dengan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto yang memiliki begitu banyak ‘sejarah’, bukan berarti Joko Widodo samasekali lepas dari sejumlah ‘beban’ masa lampau."
TUKANG MEBEL JADI PRESIDEN. “Terlihat betapa Jokowi dengan belitan kemiskinan dalam kehidupannya, lebih banyak bagaikan hidup dalam kisah 1001 malam. Cerita mirip dongeng seperti itu sungguh memukau bagi kalangan akar rumput di masyarakat. Pada sisi lain, ia berada dalam posisi ‘minim sejarah’. Namun berada dalam posisi minim ‘sejarah’ seperti itu, khususnya bila dibandingkan dengan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto yang memiliki begitu banyak ‘sejarah’, bukan berarti Joko Widodo samasekali lepas dari sejumlah ‘beban’ masa lampau.”

Di arena persaingan orang nomor dua ini, dalam antrian –baik untuk Prabowo maupun Jokowi– sudah ada Muhammad Jusuf Kalla dan Mahfud MD selain sejumlah tokoh lainnya yang lebih minor elektabilitasnya, seperti antara lain Hatta Rajasa, Akbar Tanjung dan Luhut Pandjaitan. Jika Prabowo dan Aburizal jadi berduet, antrian nomor dua lainnya mau tidak mau akan terfokus ke sekitar Jokowi –tokoh 1001 malam di panggung politik Indonesia– dan PDIP yang sejak dini usai pemungutan suara sudah sepakat berkoalisi di DPR dengan Partai Nasdem Surya Paloh. Atau, tercipta alternatif lainnya di luar itu semua, katakanlah antara lain yang berkaitan dengan kelompok partai-partai berciri Islam, yang di masa awal masa reformasi pasca Soeharto pernah menampilkan poros tengah sebagai kekuatan. Segala sesuatu masih mungkin terjadi. Bukankah politik memang penuh keniscayaan dan ketidakniscayaan sekaligus? Apalagi, dengan karakter dan pola perilaku yang sangat pragmatis dari para pelaku politik saat ini, hal-hal yang tak masuk akal sekalipun bisa terjadi.

Kisah 1001 Malam. KEMUNCULAN Jokowi –yang nama aslinya adalah Mulyono– tergolong suatu fenomena yang cukup menakjubkan. Diri dan ketokohannya tergambarkan bagai kisah 1001 malam. Lihat dan baca saja sebuah komik buatan Gunawan (kelahiran 1985) yang diterbitkan Narasi, “Tukang Mebel Jadi Presiden” dengan sub-judul “Kisah Perjalanan Jokowi dari Dunia Bisnis ke Panggung Politik”. Dunia bisnis yang dimaksudkan di sini, yang digeluti Jokowi, tentu saja bukan bisnis kelas atas dan raksasa seperti yang digeluti Abrurizal Bakrie, atau Harry Tanoesoedibjo maupun adik Prabowo Subianto, Hasyim Djojohadikoesoemo. Tetapi sebaliknya, panggung politik yang tercipta untuk Jokowi, tidak tanggung-tanggung, adalah panggung menuju kursi RI-1.

Narasi dalam komik Gunawan, betul-betul mewakili sebuah dongeng 1001 malam yang tersaji sebagai hiburan bagi rakyat, terutama di lapisan terbawah dan menengah. Fenomena ini mungkin menggambarkan betapa rakyat di lapisan tertentu di bawah, telah begitu kecewanya terhadap kepemimpinan negara yang berlangsung di depan mata selama ini. Lalu, mencari sosok lain, yang terhadapnya mereka merasa dekat karena banyak kemiripan dengan diri dan mencerminkan nasib mereka sendiri. “Biarpun dia kurus dan gak ganteng, dia digadang-gadang rakyat agar kelak menjadi presiden,” demikian salah satu narasi. “Beliau pemimpin yang rendah hati dan sangat peduli kepada rakyat. Ketika masih menjadi Walikota Solo, ia hampir tidak pernah mengambil gajinya yang sebesar Rp. 7.250.500 serta tunjangan yang bernilai lebih dari Rp. 22 juta. Tetapi beliau mengonversi  gaji tersebut dengan uang pecahan 10.000 hingga 50.000 untuk dibagikan kepada warga yang benar-benar miskin.” Blusukan merupakan ciri khasnya. Ia kerap melakukannya ke daerah-daerah di Jakarta. “Ketika masih masih menjabat sebagai Walikota Solo pun ia sudah melakukan gaya blusukannya ini.”

Gambaran kehidupan dalam kemiskinan, by design atau tidak, memang sangat dilekatkan pada diri Jokowi. “Jokowi lahir di Solo 21 Juni 1961 sebagai anak sulung dari empat bersaudara.” Ketika masih di SD, Jokowi tumbuh menjadi anak yang terbiasa hidup sulit. “Karena tak memiliki biaya membeli rumah, ayah Jokowi terpaksa memboyong isteri dan anak-anaknya sebagai penghuni liar di pasar kayu dan bambu gilingan yang terletak di selatan bantaran Kali Anyar. Saat itu Jokowi baru berusia lima tahun. Dari sinilah orang tua Jokowi mulai usaha berjualan kayu gergajian untuk bahan baku perabot rumah tangga.” Tiga kali orangtuanya berpindah-pindah kontrakan karena tidak punya rumah. “Waktu di bantaran kali, rumahnya digusur pemerintah Solo tanpa ganti rugi.” Tempaan hidup seperti ini tidak membuat Jokowi muda mengeluh…. “Dia tumbuh dengan sikap sederhana. Ia anak mandiri dan tak mau menyusahkan orangtuanya. Ia berdagang apa saja untuk dikumpulkan sebagai biaya sekolah. Dari mengojek payung. Membantu ibu-ibu membawa belanjaan. Bahkan jadi kuli panggul pun pernah ia jalani.”

Tergambarkan juga, keberhasilan Jokowi melalui pendidikan dari SD sampai SMA, meski dalam keadaan serba sulit. Selalu mendapat angka peringkat atas di kelas. Lulus SMA dengan predikat juara umum dan menjadi pelajar dengan nilai terbaik. Ia masuk ke jurusan teknologi kayu di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.”Masa kuliah ia jalani dengan amat prihatin, karena tak ada biaya hidup yang cukup. Kuliahnya disambi dengan kerja sana-sini untuk biaya makan.” Ia sampai lima kali pindah indekos karena tak mampu membayar biaya kos dan selalu mencari yang lebih murah. Tapi ia termasuk mahasiswa yang rajin kuliah. “Indeks prestasinya terhitung lumayan tinggi.”Cerita lain, di luar komik, menyebutkan prestasi Jokowi di kampus sebenarnya standar saja. Usai kelulusan, dua kali ia tidak lulus test masuk Perhutani.

‘Beban Sejarah’ PDIP. TERLIHAT betapa Jokowi dengan belitan kemiskinan dalam kehidupannya, lebih banyak bagaikan hidup dalam kisah 1001 malam. Cerita mirip dongeng seperti itu sungguh memukau bagi kalangan akar rumput di masyarakat. Pada sisi lain, ia berada dalam posisi ‘minim sejarah’. Namun berada dalam posisi minim ‘sejarah’ seperti itu, khususnya bila dibandingkan dengan Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto yang memiliki begitu banyak ‘sejarah’, bukan berarti Joko Widodo samasekali lepas dari sejumlah ‘beban’ masa lampau. ‘Sejarah’ tentang dirinya sendiri boleh minim –sehingga juga minim beban dari rekam jejak pribadi– tetapi suka atau tidak ia harus ikut memikul ‘beban sejarah’ masa lampau terkait partai pendukungnya, PDIP.

Selain itu, juga ada beban lebih baru dalam konteks sejarah politik kontemporer. Apakah nanti setelah Jokowi –yang untuk sementara ini kita asumsikan masih bersih dari dosa kekuasaan– memenangkan kursi kepresidenan dengan dukungan PDIP akan bisa ‘tenang’ menjalankan tugasnya? Pertanyaan seperti ini perlu diajukan, karena tak berbeda dengan partai-partai ‘besar’ lainnya, PDIP bukanlah partai yang sepenuhnya bersih. Tidak beda dengan yang lain. Dalam skandal suap terkait kasus Miranda Goeltom, sekedar sebagai salah satu contoh, keterlibatan anggota-anggota DPR Panda Nababan cs asal PDIP sebagai penerima suap adalah yang tertinggi. Dalam berbagai kasus gratifikasi lainnya, ada saja nama anggota DPR asal PDIP yang terselip. Contoh lainnya, saat Megawati berkuasa, kader-kader PDIP dalam pemerintahan kala itu menjadi pelaku penjualan sejumlah aset strategis negara kepada pihak asing. Semisal penjualan Indosat –BUMN pengelola satelit komunikasi Indonesia– ataupun skandal penjualan tanker Pertamina dengan harga merugi. Terbaru, kasus suap perusahaan asing kepada Emir Moeis, salah satu anggota DPR terkemuka dari PDIP. Artinya, ada kumpulan ‘predator’ kekayaan negara yang bersarang di tubuh partai tersebut. Masih cukup jauh dari model partai ideal yang dibutuhkan Indonesia yang penuh persoalan kompleks dari waktu ke waktu.

Dalam konteks sejarah masa lampau, sebagai ‘pecahan’ dari PDI yang merupakan hasil fusi faitaccompli Jenderal Soeharto setelah Pemilihan Umum 1971, PDIP pada hakekatnya sekedar merupakan hasil pemugaran PNI dengan corak masa Nasakom Soekarno (1960-1965). Bersama Soekarno, PNI masa Nasakom tahun 1960-1965 –dengan penamaan PNI Ali-Surachman– adalah pelaku penyimpangan politik. Dalam pada itu, keturunan Soekarno yang lahir batin dominan dalam kepemimpinan PDIP, selalu menolak tesis tentang telah terjadinya kekeliruan dalam kepemimpinan dan kenegarawanan Soekarno pada tujuh tahun terakhir masa kekuasaannya. Sebaliknya, mereka pun masih selalu mendengungkan kebesaran masa lampau Soekarno tanpa cacat dan cela. Mereka senantiasa masih menyebut-nyebut Marhaenisme dan berbagai pandangan ideologis Soekarno dalam konsep pemahaman mereka mengenai Pancasila. Kenapa tidak memilih pengertian Pancasila menurut Mukadimah UUD 1945 saja?

            Keluarga, Ajaran dan Ideologi Soekarno. TERSURAT maupun tersirat, dalam berbagai kesempatan Megawati Soekarnoputeri memperlihatkan keinginan agar Jokowi yang dicalonkan sebagai Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014 mendatang, menjadi ‘anak ideologi’ Soekarno. Dalam Rapat Kerja Nasional PDIP 6 September 2013 di Ancol, Megawati memilih Joko Widodo membacakan kutipan yang pernah disampaikan Soekarno di tahun menjelang akhir kekuasaannya, Dedication of Life. Megawati meyakini Jokowi mendapat getaran makna dari kutipan yang pernah disampaikan ayahandanya itu. Saat Jokowi sudah dipastikan sebagai calon Presiden yang akan diajukan PDIP, seorang petinggi PDIP mengatakan bahwa saat menjadi presiden, Jokowi harus menjalankan konsep Trisakti yang pernah disampaikan Soekarno pada masa kekuasaannya.                                                                                                     

            Konsep Trisakti, disarikan dari Pidato 17 Agustus 1963 Presiden Soekarno. Terdiri dari 3 pokok pikiran: Kesatu, berdaulat secara politik; Kedua, mandiri secara ekonomi; dan Ketiga, berkepribadian secara sosial-budaya. Sepanjang logika umum mengenai cara dan tujuan bernegara, tak ada yang salah dari konsep tersebut. Namun, persoalannya menjadi lain sewaktu Konsep Trisakti itu kemudian digabungkan oleh Soekarno sendiri di tahun 1965 sebagai azimat keempat dalam Panca Azimat, bersama konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) sebagai azimat pertama. Begitu pula dengan penempatan Pancasila sebagai azimat kedua, bercampur dengan konsep Nasakom dan Manipol USDEK sebagai azimat ketiga. Azimat kelima adalah konsep Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri). Dalam praktek politik masa Soekarno, konsep Berdikari lebih berkonotasi anti asing –dengan negara-negara komunis sebagai pengecualian– daripada makna kemandirian yang sejalan dengan politik bebas aktif sesuai jiwa UUD 1945.

Manipol USDEK yang disebut sebagai azimat ketiga tercetus tahun 1959 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Manipol adalah akronim Manifesto Politik. Sementara USDEK adalah penyingkatan dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Soekarno memang gemar menciptakan berbagai akronim. Manipol USDEK menjadi materi utama indoktrinasi politik masa Soekarno, sepanjang tahun 1960 sampai 1965. Termasuk dalam Tubapin, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Mereka yang menolak Panca Azimat, dan ‘bebal’ terhadap Tubapin, apalagi anti Nasakom dan spesifik anti Komunis, dikategorikan sebagai musuh revolusi.

            Internal PDIP, tepatnya di internal keluarga Soekarno, terhadap Jokowi ada kutub pandang lain yang harus siap diterima Jokowi sebagai suatu realitas. Pada berbagai kesempatan, terbaca bahwa melalui beberapa ucapannya, salah satu putera Soekarno, Guruh Soekarnoputera, sebenarnya tak terlalu ‘bahagia’ dengan ditampilkannya Joko Widodo sebagai calon presiden melalui Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 dengan dukungan PDIP. Sikap ini agaknya mewakili sejumlah saudara Megawati yang lain. Menurut Guruh, belum saatnya Jokowi menjadi Presiden Indonesia, dan adalah lebih baik ia menyelesaikan dulu tugasnya membenahi Jakarta. Selain itu, ada kesangsian terhadap kadar pemahaman Jokowi mengenai pikiran-pikiran Soekarno.

Bisa saja, sikap ‘berbeda’ Guruh dengan kakak perempuannya, Megawati, adalah bagian dari suatu gimnastik politik belaka. Tapi bisa juga, suatu sikap yang serius di tengah dinamika beda pandangan internal yang serius, baik di keluarga Soekarno maupun internal partai. Guruh suatu ketika pernah menyatakan kesiapannya untuk menjadi Presiden Indonesia. Sementara itu, tampilnya Jokowi sebagai calon presiden, bagaimanapun tak bisa dilepaskan dari suatu dinamika ‘baru’ di internal PDIP yang menghendaki pembaharuan dalam tradisi dan trah ketokohan. 

Memang, kehidupan politik Indonesia saat ini, penuh keniscayaan sekaligus ketidakniscayaan. Kehidupan politik Indonesia dengan bentuknya sekarang ini, bisa dipastikan bukanlah tempat yang baik dan tepat untuk menaruh kepercayaan… (socio-politica.com)

Matematika Manusia ‘Number One’ Tiga Triliun Rupiah

BERAPA biaya yang harus disiapkan seorang calon untuk mengikuti pemilihan presiden di Indonesia? Dari sebuah diskusi politik di Jakarta, Sabtu 25 Januari 2014, muncul angka 3 triliun rupiah. Kita cukup percaya terhadap hitungan itu. Angka biaya sebesar itu setidaknya diperbincangkan oleh tiga orang pengamat ataupun mantan pengamat, Indria J Piliang, Hamdi Muluk dan Arya Fernandes. Disebutkan biaya itu meliputi ongkos sosialisasi, ongkos para ‘relawan’, pertemuan dengan ormas, survei dan iklan. Tak terkecuali biaya logistik partai pendukung calon itu sendiri. Bisa ditambahkan, bila sang ‘tokoh’ berasal dari eksternal partai, akan ada ‘mas kawin’ –bisa dibayar oleh sang calon atau bisa juga sebaliknya, tergantung siapa yang lebih berkepentingan. Pun masih ada kemungkinan biaya bagi partai-partai pengiring pencalonan.

PENDATANG BARU VERSI MAJALAH 'INDONESIA 2014'. Antara lain Chairul Tandjung selain Pramono Edhie Wibowo dan Hatta Rajasa.
PENDATANG BARU VERSI MAJALAH ‘INDONESIA 2014’. Antara lain Chairul Tandjung selain Pramono Edhie Wibowo dan Hatta Rajasa.

Untuk dunia bisnis, angka 3 triliun rupiah, bisa termasuk dalam skala seujung kuku saja, khususnya dalam konteks bisnis para konglomerat besar. Jangan salah, puluhan orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan dalam skala triliun, hingga puluhan dan ratusan triliun, baik menurut angka ‘resmi’ maupun angka ‘dugaan’. Menjadi semacam ‘rahasia’ umum pula adanya tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok ‘mafia’ bisnis dan kolusi yang dengan mudah menyediakan dana triliunan. Kelompok ini siap menerima kesepakatan ijon para tokoh yang berhasrat jadi number one, sebagaimana juga menerima ‘gadai diri’ dari tokoh berbagai kalangan dan pangkat yang berhasrat pada posisi-posisi kekuasaan negara dan pemerintahan.

Sebaliknya, dalam konteks ukuran kegiatan berpolitik yang ‘normal’ atau wajar, angka 3 triliun rupiah adalah biaya yang besar, sungguh sulit diperoleh untuk tidak mengatakannya musykil bisa diorganisir penghimpunannya. Iuran partai? Tak ada sejarahnya. Sumbangan sukarela dari para simpatisan dan relawan? Tak pernah ada kejadiannya. Untuk menghimpun 3 triliun rupiah, diperlukan 3 juta orang yang menyumbang masing-masing 1 juta rupiah. Atau, 30 juta orang yang menyumbang seratus ribu rupiah per orang. Apa ini mungkin? Sekarang ini, kecenderungan terbesar justru adalah orang berduyun-duyun memberikan dukungan dengan harapan mendapat imbal balik. Itulah sindrom money politic, sebagai bagian ‘penyakit jiwa’ kecil-kecilan –yang sedang berproses menjadi makin besar-besaran– yang sedang melanda di tengah masyarakat. Untuk mengerahkan unjuk rasa saja –dalam kaitan kepentingan apa saja– diperlukan pembagian nasi bungkus dan 30-50 ribu rupiah sebagai pengganti transport bagi massa yang dikerahkan.

LALU pilihan apa yang tersedia bagi mereka yang bersikeras menjadi number one (dan number two) dalam kekuasaan negara di Indonesia? Pilihan pertama, adalah sebuah pilihan klasik dan ‘keras’, yang punya kaitan erat dengan perilaku animal politic yang merupakan derivat dari perilaku animal economic. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009 misalnya, sedang berada dalam sorotan, terkait kecurigaan penggunaan dana triliunan dalam konteks pilihan klasik, yang sedang menunggu jawaban benar atau tidaknya dari hasil pemeriksaan KPK atas kasus Bank Century.

4 CAPRES LAIN DALAM COVER 'INDONESIA 2014'. "Di saat kepala manusia Indonesia cenderung melulu terisi pikiran pragmatis dengan orientasi benefit yang kuat, 9 dari 10 kemungkinan dana politik akan diorganisir melalui cara-cara persekongkolan busuk."
4 CAPRES LAIN DALAM COVER ‘INDONESIA 2014’. “Di saat kepala manusia Indonesia cenderung melulu terisi pikiran pragmatis dengan orientasi benefit yang kuat, 9 dari 10 kemungkinan dana politik akan diorganisir melalui cara-cara persekongkolan busuk.”

Pilihan kedua, adalah kelompok pilihan yang relatif lebih ‘lunak’. Cara yang sedikit mudah dan bermodal awal murah, adalah mendeklarasikan diri sebagai calon. Entah dengan cara pura-pura menjawab desakan sejumlah masyarakat, entah dengan mengorganisir isu dengan bantuan pers atas dasar perkawanan ataukah biaya kecil-kecilan. Bisa juga dengan mendaftarkan diri bila ada kontes-kontes capres atau yang sedikit lebih serius yakni konvensi partai.

Kebetulan, Partai Demokrat –yang sebenarnya sedang merosot elektabilitasnya– membuka kesempatan. Tapi kita belum tahu, apakah biaya untuk menjadi peserta konvensi cukup ringan atau sebaliknya. Tampaknya tak mungkin tanpa ongkos samasekali. Ini bisa ditanyakan misalnya kepada Anis Baswedan yang seorang akademisi dan bukan konglomerat. Atau kepada Marzuki Alie yang Ketua DPR, Dino Patti Djalal Dubes RI di AS, atau Mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto dan Mantan KSAD Jenderal Purnawirawan Pramono Edhie Wibowo. Tak usah ditanya tentu adalah Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang dikenal punya banyak perusahaan. Begitu pula Ketua DPD Irman Gusman yang tampaknya cukup punya uang untuk terus menerus beriklan diri. Menteri Perdagangan Gita Wiryawan tak usah diragukan, meskipun belum banyak yang tahu sejarahnya, jelas ia dikenal punya dana besar. Iklannya muncul tiap hari lewat layar televisi. Tapi untuk mereka yang disebut terakhir ini, tetap ada pertanyaan apakah mudah untuk menyisihkan 3 triliun? Dan apakah secara batiniah mereka siap menggunakan 3 triliun itu demi menegakkan suatu sikap altruisme, sikap cinta bangsa dan tanah air melebihi kecintaan kepada diri sendiri dengan segala kepentingannya?

Pertanyaan yang sama berlaku untuk semua tokoh yang beberapa waktu belakangan ini telah disebut-sebut namanya dalam pencalonan presiden 2014: Untuk Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, atau Hatta Rajasa.

Namun, berdasarkan pengamatan empiris terhadap kehidupan politik, setidaknya selama beberapa tahun belakangan, bisa dianalisis bahwa perilaku animal politic dan animal economic akan lebih dominan sebagai pilihan dalam penyediaan 3 triliun rupiah itu. Di saat kepala manusia Indonesia cenderung melulu terisi pikiran pragmatis dengan orientasi benefit yang kuat, 9 dari 10 kemungkinan dana politik akan diorganisir melalui cara-cara persekongkolan busuk. Para calon yang sempat memanfaatkan kekuasaannya, entah di eksekutif, entah di legislatif, entah di partai, akan menggunakan hasil kejahatan keuangannya. Para politisi pendukung akan mencari tambahan dan meminta bantuan para pemilik akumulasi dana yang besar, tanpa memandang lagi apakah dana itu halal atau hasil korupsi dan manipulasi. Pun tak peduli apakah sumber dana itu seorang bandit atau bukan. Tokoh yang berhasil naik ke puncak kekuasaan, pada gilirannya harus ‘membayar’ seluruh hutang dan jasa politik tersebut, moril dan materil, dengan segala cara yang memanfaatkan akses kekuasaan negara.

MAKA, kepada para tokoh yang telah disebutkan namanya di atas, dan kepada tokoh lainnya yang juga disebut-sebut namanya dalam kaitan pencalonan sebagai presiden –entah serius entah guyon atau bohongan– seperti Muhammad Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputeri, Sri Mulyani, Marsekal Djoko Suyanto, Jenderal Purnawirawan Wiranto dan Harry Tanoesoedibjo, Rhoma Irama, Surya Paloh, Jenderal Purnawirawan Sutiyoso, Hidayat Nur Wahid atau Ahmad Heryawan maupun yang lainnya, perlu diajukan pertanyaan: Apakah anda akan menjadi 9 dari 10 kemungkinan, atau menjadi 1 dari 10 kemungkinan? Pertanyaan serupa bagi Jokowi bila ia pada akhirnya juga tampil sebagai salah satu calon presiden.

Terlepas dari itu, terhadap para warga negara yang berkepentingan dengan masa depan Indonesia, dianjurkan jangan mematikan harapan akan kemungkinan munculnya tokoh dengan kategori 1 dari 10 kemungkinan. Namun, tetap saja harus siap secara bathiniah dengan lahirnya seorang pemimpin baru yang telah dan siap melanjutkan perampokan uang negara. Secara empiris, merupakan adagium bahwa di “belakang angka-angka dana yang besar terdapat kecenderungan adanya kejahatan”. Khususnya dalam konteks pengalaman Indonesia…. (socio-politica.com)

Tafsir Bencana Merapi dan Cara Berpikir Orang Jawa (1)

“Tak pernah ia menyatakan pikirannya secara samar-samar yang tak bisa diketahui esensinya, sehingga dengan demikian tidak menyebabkan para pendengarnya harus berteka-teki mengenai hakekat wejangan yang disampaikannya”. “Hingga kini ajaran-ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram yang praktis dan realistis masih saja dikenang dan dibicarakan lama sesudah sang penyampai meninggal dunia. Namun, sayang ajaran-ajarannya itu belum sempat merubah cukup banyak secara menyeluruh, belum sepenuhnya mampu menghilangkan irrasionalisme”.

TAK KURANG dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, telah menggunakan cara berfikir menurut kosmologi Jawa tatkala mencoba menafsir makna dan isyarat bencana Gunung Merapi. Sultan Yogya yang pada hakekatnya telah terjun ke dalam dunia ‘politik’ –terutama melalui gerakan Nasional Demokrat belakangan ini, bersama Surya Paloh, yang kadangkala dianggap sebagai sempalan Golkar– mengaitkan isyarat bencana Merapi dengan kepemimpinan negara (dan politik). Sultan Hamengku Buwono X, seperti dikutip Kompas (14/9), menafsirkan bencana Merapi sebagai peringatan dari Allah agar manusia mengukur diri serta memperbaiki budi ahlaknya. Sekaligus, merupakan peringatan bagi pemimpin untuk agar mereka juga tidak asal omong, tidak asal janji. “Kata dan perbuatan pemimpin hendaknya mensejahterakan rakyatnya”.

Dan adalah dalam ruang dan waktu yang hampir bersamaan, berbeda dengan apa yang dijanjikan oleh beberapa tokoh pemerintahan, tak sedikit realisasi pemberian bantuan untuk para pengungsi Merapi tidak terjadi sebagaimana mestinya. Bantuan bahan makanan, misalnya, bisa berlimpah –terutama karena banyaknya bantuan spontan masyarakat– tetapi karena kurangnya peralatan masak-memasak, waktu makan bisa tertunda berjam-jam lamanya. Pelaksanaan pemenuhan janji untuk membeli ternak penduduk Merapi sesuai janji dan perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak sepenuhnya mampu dilaksanakan dengan baik. Banyak peternak, yang sudah terdesak kebutuhan biaya hidup, sementara pembelian ternak oleh pemerintah tak kunjung terjadi karena berbagai kendala, pada akhirnya ‘menyerah’ juga kepada para pedagang ‘spekulan’ yang memanfaatkan situasi, lalu menjual ternaknya dengan harga murah jauh di bawah kewajaran. Intinya, kata dan perbuatan, entah apapun sebabnya, menjadi tak sama.

Namun pertanyaannya, apakah memang perilaku tak berbudi dan berahlak yang menjadi fenomena yang cukup menonjol di antara manusia Indonesia saat ini, serta fenomena para pemimpin yang asal omong dan janji, pada satu sisi, ada hubungan sebab dan akibat dengan sisi fakta kejadian bencana alam, termasuk Merapi, sebagai hukuman dari Sang Maha Kuasa di Atas? Kalau ya, kembali kita harus mengulangi pertanyaan, kenapa selalu rakyat biasa sebagai kalangan akar rumput yang harus menjadi terhukum dan bukannya para pemimpin yang ‘gagal’ menunaikan tugasnya? Apakah Dia telah buta dan menjadi tak Maha Adil lagi seperti yang diyakini dalam ajaran-ajaran moral dan agama selama ini?

TAK KALAH menarik adalah sebuah pendapat dari Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY, Djoko Dwiyanto, lulusan jurusan arkeologi Universitas Gajah Mada, yang dipersandingkan dengan penafsiran Sri Sultan. Entah semacam penyimpulan atas ‘keyakinan’ pribadi, entah sekedar menjajarkan data empiris, Djoko dikutip mengatakan, dalam kosmologi Jawa, konflik dan keresahan sosial yang terjadi di tataran pemimpin dan masyarakat, selalu diikuti bencana alam yang disebut fase memasuki masa pralaya. Sejumlah contoh empiris disajikan.

Letusan Gunung Merapi yang dianggap paling dahsyat –tahun 925-928M menurut prasasti Mpu Sendok, tahun 1006M menurut RW van Bemmelen– didahului oleh kekacauan sosial-politik dalam pranata kekuasaan Mataram Kuno (Dinasti Syailendra) berupa perebutan kekuasaan oleh orang di luar keturunan raja, yakni orang-orang yang tak diketahui asal-usulnya. Sebaliknya, Perang Diponegoro 1825-1830, justru didahului oleh letusan Merapi tiga tahun sebelumnya, tahun 1822. Letusan Gunung Kelud di Jawa Timur, dengan meminjam penggambaran Pramudya Ananta Toer dalam novel Arok Dedes, dikaitkan dengan krisis sosial dan jungkir baliknya nilai-nilai kemanusiaan masa itu. Masa itu kita ketahui penuh dengan intrik dan perebutan kekuasaan yang berdarah-darah serta perebutan harta dan perempuan (Ken Dedes) dengan cara brutal. Letusan Gunung Welirang tahun 1478 dihubungkan dengan peristiwa bertepatan waktu berupa perebutan tahta kerajaan Majapahit oleh keturunan Raja Girindra Wardana, antara Wirabuana dan Wirabumi yang berbeda ibu.

Jika semua itu dianalogikan dengan kondisi masyarakat (Indonesia) saat ini, menurut Djoko Dwiyanto, konflik politik, tak jelasnya penegakan hukum, semrawutnya relasi politik, dan praktik korupsi di negara ini, semuanya merupakan bagian dari keresahan sosial. “Selama kita percaya Tuhan, keresahan sosial itu menyebabkan ketidakseimbangan pada alam sehingga alam pun murka”.

BERBAGAI studi mengenai kultur Jawa, menyebutkan bahwa orang Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan gaib. Menurut Niels Mulder, cara berpikir orang Jawa menyatukan dan menyelaraskan semua gejala. Perbedaan yang prinsipil di antara macam-macam kelas gejala –objek-subjek, bentuk-isi, bentuk-waktu, simbol-benda, hidup-mati, kawula-gusti, ide-hal– tidak dipikirkan, dan semua disederhanakan (direduksikan) hingga menjadi satu bagan raksasa, dalam mana semua gejala saling berhubungan secara mitologis. Pikiran orang Jawa dipenjarakan dalam bagan demikian, baik bila hal itu bersifat pandangan hidup, pendapat tentang masyarakat, keyakinan agama, maupun bila hal itu bersifat politik dan rencana-rencana perkembangan.

Dalam konteks kemajuan zaman, ada kemungkinan sejumlah nilai-nilai kultural Jawa tak lagi dianggap sesuai dengan kehidupan modern sekarang. Tetapi untuk Indonesia, merupakan fakta bahwa penganut nilai-nilai kultural itu, secara kuantitatif adalah terbesar, sehingga tak bisa diabaikan. Maju atau mundurnya Indonesia tak boleh tidak, terkait dengan Jawa secara kultural. Ditambah lagi kenyataan bahwa secara umum berbagai kultur yang ada di Indonesia, tak sedikit yang juga tak sesuai dengan kehidupan modern. Maka kita harus bisa cerdas memilah-milah mana di antara nilai-nilai kultural itu yang berkategori local wisdom dan bisa sinergis dengan jalan pikiran rasional secara universal. Tentu, jangan sampai keliru ikut memasukkan kelompok nilai-nilai dan pikiran-pikiran irrasional ke dalam pengkategorian local wisdom. Ke dalam kategori mana pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang isyarat Merapi harus dimasukkan?

Tetapi terlepas dari pertanyaan itu, penyebutan nama Sultan Hamengku Buwono X, mengingatkan kepada Ki Ageng Suryo Mentaram. Ia adalah putera Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Jadi, paman dari Sultan Hamengku Buwono IX yang adalah ayahanda Sultan Hamengku Buwono X. Kita meminjam catatan Marbangun Hardjowirogo dalam buku Manusia Jawa (1984) yang menempatkan Ki Ageng Suryo Mentaram dalam jajaran guru falsafah dan ‘kebatinan’ yang besar pengaruhnya di kalangan masyarakat Jawa. Berbeda dengan guru falsafah Jawa yang lain, bangsawan Yogya ini, menurut Marbangun Hardjowirogo, dikarurniai dengan nalar dan logika yang kuat. Menyampaikan wejangan-wejangan secara masuk akal, tak pernah ngrambyang atau tak jelas menentu dan samar-samar. Jadi, tak seperti halnya dengan kebanyakan guru falsafah/kebatinan Jawa lainnya yang cenderung menyelimuti diri dengan misteri dan kata-kata penuh teka-teki yang harus ditafsirkan.

Penampilan Ki Ageng Suryo Mentaram bersahaja. Ia pernah bermukim di desa Bringin, Salatiga, sebagai petani sesudah melepaskan kedudukan kepangeranannya. Ki Ageng Suryo Mentaram “tak pernah berpakaian lengkap dan selalu berselempangkan kain selagi dada tetap telanjang”. Guru ini memiliki cara-cara pendekatan yang luar biasa terhadap persoalan-persoalan hidup. “Salah satu ajarannya ialah ngelmu begja yang antara lain mencakup dalil mulur-mungkret, meluas menyempit dalam hubungan kenyataan hidup sehari-hari”. Ki Ageng antara lain mengatakan, hanya selagi manusia bersarana cukup, keinginannya pun akan mulur atau meluas. Sebaliknya bila sarananya berkurang, keinginannya akan mungkret atau menyempit. Ajaran-ajaran itu bisa terbaca dalam buku Ki Ageng Suryo Mentaram, Wejangan Pokok Ilmu Bahagia.

“Kesederhanaan dalam berpakaian dan kesederhanaan dalam menyampaikan pikiran merupakan corak khas Ki Ageng Suryo Mentaram”. Tak pernah ia menyatakan pikirannya secara samar-samar yang tak bisa diketahui esensinya, sehingga dengan demikian tidak menyebabkan para pendengarnya harus berteka-teki mengenai hakekat wejangan yang disampaikannya. Sesuatu yang justru mungkin disengajakan oleh guru kebatinan lain, dengan maksud menimbulkan impressi, kesan misterius mengenai dirinya kepada para pengikutnya. Ki Ageng Suryo Mentaram tidak pula pernah melakukan pembakaran kemenyan guna menciptakan suasana seram atau nuansa magis pertemuan. Selalu tampak adanya keinginan Ki Ageng Suryo Mentaram untuk berdialog dengan khalayak dalam suasana yang biasa. Baginya, adalah lebih penting agar pernyataan-pernyataannya bisa merangsang suatu reaksi. “Cara berdialognya mengingatkan pada cara bertukar-pikiran yang dilakukan filsuf Yunani, Socrates, yang bersifat melatih ketangkasan bernalar para pengikutnya. Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram benar-benar memperkuat daya logika dan patut disebarluaskan  di dalam masyarakat Jawa umumnya, supaya mampu berpikir kongkret”.

Bagaimanapun, Ki Ageng Suryo Mentaram adalah seorang penghayat falsafah hidup praktis yang tanpa menggunakan kata-kata muluk berusaha melalui wejangan-wejangannya mencapai hati nurani pendengar-pendengarnya, agar mereka dapat mengerti makna dan tujuan hidup di dunia. Hingga kini ajaran-ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram yang praktis dan realistis masih saja dikenang dan dibicarakan lama sesudah sang penyampai meninggal dunia. Namun, sayang ajaran-ajarannya itu belum sempat merubah cukup banyak secara menyeluruh, belum sepenuhnya mampu menghilangkan irrasionalisme.

Berlanjut ke Bagian 2