DI TENGAH sorotan yang tajam, sejak tahun 1967 hingga paruh pertama tahun 1970-an, Gubernur DKI yang fenomenal, Ali Sadikin, berhasil menerobos kelangkaan biaya melalui sumber dana dari perjudian dan berhasil menyajikan pembangunan kasat mata bagi Jakarta. Namun, di sebalik itu Ali tak pernah menghitung berapa biaya sosial dan biaya piskologis yang harus dibayar rakyat yang hendak disejahterakannya itu. Sebagai hasil sampingan, muncul kelompok ‘cukong’ baru yang berhasil menumpuk dana dari usaha judi dalam jumlah besar yang digunakan untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis baru. Salah satu diantaranya adalah Jan Darmadi (Jauw Fok Ju) kelahiran Jakarta tahun 1939 yang mewarisi kerajaan judi di Jakarta dari ayahnya, Jauw Fuk Sen –pemilik Kasino PIX, Petak Sembilan, Glodok dan Kasino di Jakarta Theatre Jalan MH Thamrin.
Kasino Petak Sembilan jaraknya kurang lebih 9 menit ke Istana Negara, sementara Kasino di Jakarta Theatre berjarak 5 menit dari Istana saat lalu lintas lancar. Kini, secara resmi Jan Darmadi, sudah ‘ada’ di Kompleks Istana, sejak dilantik menjadi salah satu dari sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo, Senin lalu. Jaraknya menjadi nol kilometer dari Istana di Jalan Merdeka Utara itu. Di atas kertas, secara resmi, Jan Darmadi bukanlah seorang ‘mantan’ kriminal, karena ketika menjadi ‘raja judi’ di masa kegubernuran Ali Sadikin, kasino-kasinonya adalah usaha legal.

Tak urung, keputusan yang diambil Presiden Jokowi, untuk mengangkat mantan raja judi yang kini terbilang sebagai salah satu di antara manusia terkaya di Indonesia itu mengundang sorotan tajam. Dan sorotan moral ini menjadi sorotan kesekian di antara berbagai sorotan yang sedang terarah pada kepemimpinan Presiden RI yang seperti halnya Ali Sadikin, adalah juga mantan Gubernur DKI Jakarta. Lalu, mewakili keresahan publik yang meluas, sosiolog UI Thamrin Amal Tomagola, seakan ‘meratap’ melalui akun twitternya: “Oh Jokowi, Kalla, Mega dan Paloh, bencana apa lagi yang ingin kalian timpakan atas bangsa ini? Bos judi Penasehat Presiden?” Bahwa nama Surya Paloh terbawa-bawa dalam ‘ratapan’ itu, tak lain karena Jan Darmadi saat ini adalah Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem.
Lima menit dari pusat pemerintahan republik. MERUNUT ke belakang, kita meminjam kembali sebuah paparan dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004). Setidaknya ada tiga kasino besar yang dibangun dan menjadi pencetak uang bagi para cukongnya dan sekaligus menjadi penyumbang besar bagi kas Pemerintah DKI Jakarta Raya di masa Gubernur Ali Sadikin. Satu kasino, Copacabana, terletak di pusat hiburan Taman Impian Jaya Ancol. Satu lainnya, yang dibuka lebih awal pada September 1967 adalah Kasino PIX (Petak Sembilan) di kawasan Glodok yang merupakan jantung Pecinan. Kasino ini menyediakan permainan roulette dan baccarat yang dikombinasi permainan judi China Cap Ji Kie. Dan satu lagi tepat di jantung Ibukota, bersisian dengan Djakarta Theatre di Jalan Muhammad Husni Thamrin, dalam radius tak jauh dari pusat pemerintahan Republik yakni Istana Negara dan gedung-gedung pemerintahan di seputar Monumen Nasional.
Untuk kalangan masyarakat menengah disediakan arena-arena permainan dan perjudian ringan seperti Hailai Ancol, Pacuan Anjing ‘Greyhound’ Senayan dan Pacuan Kuda Pulo Mas. Lalu ada judi mesin Jackpot, yang sering dijuluki ‘si perampok bertangan satu’, yang berhasil menyedot uang masyarakat kalangan menengah Jakarta. Secara keseluruhan itu semua kerap dianggap sebagai satu proses pemiskinan rakyat.
Dalam berbagai penjelasannya, Ali Sadikin mengatakan pemerintah DKI (Daerah Khusus Ibukota) menggantungkan diri kepada sumber pendapatan dari judi hanya untuk sementara sampai pemerintah pusat bisa memberikan bantuan dana yang cukup, seimbang dengan nilai dan posisi Jakarta sebagai penghasil pendapatan nasional secara keseluruhan. Kasino-kasino katanya akan diawasi dengan ketat dan hanya diperuntukkan bagi keturunan Tionghwa. Dengan perjudian itu, pemerintah DKI akan memberikan keuntungan untuk kepentingan masyarakat, daripada apa yang terjadi selama ini, yakni keuntungan dari perjudian yang hanya dinikmati segelintir cukong judi. Dan hasil pajak perjudian itu akan dipakai untuk rehabilitasi Jakarta.
Dengan ‘pembatasan’ berupa larangan masuk kasino bagi yang bukan keturunan Tionghwa, dan tak terjangkaunya tempat permainan dan perjudian lainnya –karena tetap mahal bagi kalangan bawah– maka yang paling merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah adalah judi lotto dan kupon Hwa Hwee yang beredar ke seluruh pelosok Ibukota bahkan menembus wilayah-wilayah pinggirannya, merembes ke wilayah tetangga. Adalah Hwa Hwee yang diselenggarakan sejak 15 Januari 1968 yang kemudian betul-betul ‘memikat’ dan memabukkan rakyat hingga ke strata paling bawah. Tampilnya Hwa Hwee –sejenis permainan judi China yang terjemahannya berarti ‘Serikat Bunga’– bermula dari ketidakpuasan Ali Sadikin terhadap penghasilan dari lotto yang ‘hanya’ Rp. 600 juta pada tahun 1971 yang berarti hanya 5 persen dari anggaran metropolitan kala itu. Waktu itu kurs dollar Amerika hanya 400-an rupiah.
Retorika memabukkan ‘Serikat Bunga’. “Sadikin menyadari bahwa lotto itu tidak memberi penghasilan dalam jumlah yang besar. Tumpukan uang ada di Glodok, jantung keuangan Jakarta, dan orang-orang Tionghwa tidaklah tertarik pada permainan angka-angka yang langsung, tanpa bumbu daya tarik yang khas China. Apa yang dibutuhkan bukanlah sekedar permainan, tetapi suatu bentuk permainan yang menarik orang-orang Tionghwa”. Demikian dituliskan Donald K. Emerson dalam sebuah jurnal di tahun 1973. Setelah berhasilnya kasino di Glodok, ‘rumah’ bagi aneka ragam permainan yang betul-betul China, Gubernur Ali Sadikin lalu memutuskan untuk mencoba Hwa Hwee. Permainan ‘Serikat Bunga’ ini sempat merubah Jakarta menjadi ruang judi maha besar di waktu malam dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemain –dengan dampak sosial dan psikologis yang sulit untuk dihitung. Penuh keasyikan yang memabukkan oleh misteri terselubung pada matriks 6 kali 6 yang terdiri dari 36 kotak segi empat. Apalagi pada pagi harinya kode atau isyarat diberikan di depan kasino dalam gerakan-gerakan mirip jurus silat, lalu kode-kode tertulis berupa syair, teka teki dan gambar juga diedarkan, dibarengi kode desas-desus, menambah rasa sensasi. Tak kalah memikat dibandingkan janji dan retorika politik masa kini di tahun 2000-an. Tiap kotak mengandung tiga unsur yakni gambar tokoh dalam pakaian tradisional China, seekor khewan dan satu angka (1 sampai 36). Dalam satu atau dua kotak, gambar-gambar seperti kecapi atau peti mayat, menggantikan gambar khewan.
Seorang pemain yang bertaruh untuk kotak yang menang, memperoleh 25 kali lipat dari taruhannya. Taruhan terkecil adalah 50 rupiah –yang ketika itu lebih dari cukup untuk membeli seporsi nasi dan lauknya– dan tak ada batas terbesar untuk taruhan. Pemain dapat bertaruh berapa saja kelipatan dari 50 rupiah, pada kotak yang sama atau pada gabungan beberapa kotak. Sekali pun pada dasarnya permainan Hwa Hwee ini sejenis dengan roulette –tapi disederhanakan– ia merupakan pengalaman yang terasa lebih nyata dan memikat. Roulette pada dasarnya adalah permainan angka. Sedang Hwa Hwee adalah permainan gambar dan angka yang berakar pada tradisi yang kaya dengan arti-arti terselubung. Hwa Hwee berkembang di China Tenggara –Fukien dan Kwantung– lalu dari sana menyebar melalui masyarakat Tionghwa di Asia Tenggara. Tiga puluh enam tokoh dalam gambar itu menurut hikayatnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang mati sebagai martir pada abad 12 di daerah Kirin tatkala mempertahankan China dari serangan pasukan berkuda suku ‘pengembara’ Tartar. Menurut perkiraan, tokoh pahlawan inilah yang merupakan ‘Serikat Bunga’ yang asli, yang namanya dipakai untuk permainan tersebut. Penggunaan asosiatif khewan dengan masing-masing tokoh itu, lebih jauh kemungkinannya adalah merupakan hubungan-hubungan sejarah, mistik dan kesusasteraan yang ada untuk tiap-tiap gambar dalam kotak.
Tapi pengaruh judi ‘Serikat Bunga’ yang dahsyat akhirnya membuat pucuk kekuasaan dan para penentu kebijakan ‘takut’ sendiri. Hwa Hwee dilarang setelah berlangsung hanya 5 bulan. ‘Serikat Bunga’ gugur dini sebagai korban keberhasilannya sendiri. Tapi ‘serikat judi’ lainnya berjalan hingga tahun 1973 sampai adanya larangan judi secara menyeluruh oleh Pangkopkamtib.
Sejumlah ulama dan kelompok politik berideologi agama menentang perjudian resmi tersebut untuk alasan moral. Terhadap serangan itu Ali Sadikin pernah berkata “Biarlah saya dikatakan gubernur judi, tetapi hasil yang saya dapatkan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak yang tidak mendapatkan sekolah”. Dituduh maksiat, ia mengatakan dalam satu wawancara “Coba saja saudara pikir, dari enam buah tempat perjudian kemudian saya lokalisir di suatu tempat, toh dosanya dari enam dikurangi lima menjadi satu. Dan pahalanya? Dari tidak ada menjadi lima”. Namun sebaliknya tak kurang banyaknya pula ulama yang bisa menyediakan argumentasi lengkap dengan ayat-ayat untuk membela kebijakan Ali Sadikin. Paling kurang, berhenti menghujat dirinya.
Kasino-kasino di Jakarta, selain memberi dampak ‘keberhasilan’ penghimpunan dana untuk menunjang pembangunan Jakarta, juga menjadi tempat membuang duit –karena lebih banyak kalahnya daripada menangnya– bagi sejumlah pengusaha swasta maupun pengusaha pelat merah. Beberapa pejabat BUMN maupun putera petinggi negara juga diketahui diam-diam menjadi pelanggan kasino-kasino di Jakarta. Salah seorang putera petinggi yang sangat berkuasa, selain di Jakarta bahkan kerap bermain judi di kasino-kasino Las Vegas Amerika dan menjadi pelanggan ‘kalah habis-habisan’. Meskipun ada larangan resmi bagi para pejabat (dan yang bukan keturunan Tionghwa) untuk masuk kasino, tak jarang beberapa pejabat bea cukai dan instansi-instansi ‘basah’ lainnya terlihat masuk ke gelanggang kasino, lewat jalan khusus.
Vivere pericoloso. KEMBALI ke Istana, pusat kekuasaan pemerintahan negara di tahun 2015 ini. Mungkinkah, tokoh nomor satu Indonesia per saat ini, Ir Joko Widodo, adalah tokoh yang ‘senang’ ber-vivere-pericoloso – menyerempet-nyerempet bahaya? Atau, apakah model ‘serikat bunga’ politik yang ada disekitar kekuasaannya lah selalu mendorongnya menyerempet bahaya?
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga adalah tokoh yang berkecenderungan menyerempet-nyerempet bahaya, demi dan karena romantika perjuangan. “Karena romantik inilah, kita tidak remuk; karena romantik inilah, kita makin kuat; karena romantik inilah, kita malahan berderap terus..,” ucap Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964 di Lapangan Merdeka. Soekarno menamai pidatonya itu, “Tahun Vivere Pericoloso” diringkas Tavip. Kala itu, saat Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggeris, Soekarno menggambarkan bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan bahaya dan seakan terkepung oleh kekuatan neo kolonialisme dan imperialisme dari luar, maupun kaum kontra-revolusioner di dalam negeri. Setahun kemudian, terjadi Peristiwa 30 September 1965. Ia selalu bersikeras, bervivere-pericoloso membela PKI yang dalam anggapan kekuatan politik non-komunis adalah ‘tersangka’ makar di tahun 1965. Dan, Maret 1967, Soekarno jatuh dari kekuasaan. (socio-politica.com)