Tag Archives: Pangkopkamtib

Cerita Latar Peristiwa 15 Januari 1974

PERISTIWA 15 Januari 1974 oleh kalangan penguasa selalu disebut Malari –akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari– yang bertujuan untuk menekankan konotasi buruk dari peristiwa tersebut. Kata malapetaka yang bermakna sebagai suatu bencana, jauh dari pengertian perjuangan berdasarkan idealisme. Dengan demikian penggunaan kata malapetaka mematahkan citra idealis yang selalu dilekatkan kepada gerakan-gerakan mahasiswa, setidaknya sejak sekitar tahun 1966-1967 saat gerakan mahasiswa menjadi salah faktor penentu dalam menjatuhkan kekuasaan otoriter Soekarno. Sementara itu, Jopie Lasut, wartawan yang pernah bekerja untuk Harian Sinar Harapan dan berbagai media lainnya, menyebut bahwa akronim Malari itu diasosiasikan oleh penguasa dengan penyakit Malaria.

GUNTINGAN BERITA DEMONSTRASI MENGGELINDING KE SOEHARTO. "Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto". (repro MI, Desember 1973)
GUNTINGAN BERITA DEMONSTRASI MENGGELINDING KE SOEHARTO. “Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto”. (repro MI, Desember 1973)

Tetapi kenapa peristiwa di awal tahun 1974 itu masih lebih diingat daripada peristiwa pencetusan Tritura 10 Januari 1966? Selain karena ‘usia’ pencetusan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) lebih ‘tua’ 8 tahun, juga karena para pelaku Peristiwa 15 Januari 1974 –Hariman Siregar dan kawan-kawan– memang lebih rajin melakukan upacara peringatannya. Tak ada tahun yang lewat sejak Hariman cs keluar dari tempat penahanan, tanpa acara peringatan. Namun sesungguhnya yang tak kalah penting adalah sejak masa reformasi, Soeharto lebih banyak dihujat, sementara ‘kesalahan’ Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965 cenderung coba mulai dilupakan dan serenta dengan itu fokus sorotan beralih ke isu kejahatan kemanusiaan 1965-1966.

Buku ‘Hariman & Malari’ –dengan editor Amir Husin Daulay dan Imran Hasibuan–  yang menempatkan figur Hariman Siregar sebagai tokoh sentral dalam Peristiwa 15 Januari 1974, agaknya tak begitu mempersoalkan konotasi buruk akronim Malari, dan tetap memilihnya sebagai penyebutan bagi peristiwa tersebut. Mungkin di sini, Malari dianggap akronim bagi Lima Belas Januari. Peristiwa itu sendiri disebutkan sebagai “tonggak penting dalam gerakan perlawanan mahasiswa dan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan rezim Orde Baru dan belitan modal asing dalam strategi pembangunan”. Tema anti modal asing ini lalu ditonjolkan sebagai sub-judul “Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing”.

Titik pertemuan berbagai peristiwa politik. Sebenarnya, aksi-aksi mahasiswa yang berpuncak pada tanggal 15 Januari 1974 tersebut –setidaknya dalam versi mahasiswa Jakarta– diakui atau tidak, tujuan utamanya adalah menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Tema anti modal asing, khususnya anti modal Jepang, hanyalah jembatan isu dan kebetulan pula PM Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia pada 14 Januari 1974. Lebih dari itu, Peristiwa 15 Januari 1974, tidak sepenuhnya merupakan puncak dari sekedar suatu gerakan mahasiswa, melainkan pertemuan dari berbagai peristiwa politik pada satu titik. Mahasiswa ada dalam garis peran, mulai dari ‘penyambutan’ Tanaka pada 14 Januari sampai longmarch dari kampus Universitas Indonesia ke kampus Universitas Trisakti dan kembali lagi ke kampus UI. Peran dan keterlibatan mahasiswa sebagai satu kelompok berakhir sampai di situ. Saat kerusuhan dan aksi anarkis mulai berkobar di Pecenongan sampai Senen-Kramat Raya, sejak 15 Januari sore, peranan sepenuhnya beralih ke tangan massa bayaran dan massa marginal dalam suatu bingkai skenario penciptaan situasi. Rancangan peristiwanya melibatkan sejumlah jenderal maupun tokoh non-militer dengan kepentingan tertentu dalam konteks pertarungan kekuasaan.

SAAT kekuasaan rezim militer di bawah Jenderal Soeharto menjadi kokoh setelah kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, makin mengerucut pula ‘pembelahan’ berdasarkan kepentingan khas yang berwujud faksi-faksi di tubuh rezim. Mulanya, terciptanya faksi, terutama terkait pada soal porsi dalam posisi kekuasaan dan porsi benefit ekonomi. Pada tahun 1973, keberadaan faksi-faksi lalu juga terkait dengan soal siapa tokoh yang akan menjadi pengganti Soeharto di posisi nomor satu bila saatnya tiba.

Untuk soal yang disebut terakhir ini, setidaknya tercatat kelompok Jenderal Ali Moertopo di satu pihak dan kelompok Jenderal Soemitro pada pihak lain. Dalam kelompok Ali Moertopo bergabung para Aspri Presiden dan sejumlah jenderal non Mabes ABRI, selain sejumlah kaum sipil dengan kualitas analisa, taktik dan perencanaan yang handal (CSIS). Sementara dalam kelompok Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Wapangab/Pangkopkamtib bergabung jenderal-jenderal Mabes ABRI. Namun bisa dicatat bahwa dalam tubuh jenderal-jenderal Mabes ABRI sering pula terdapat perbedaan-perbedaan aroma kepentingan yang membuat kelompoktersebut kurang solid, misalnya antara Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean dengan Jenderal Soemitro. Masih pula bisa dicatat keberadaan Jenderal Soerono yang juga diketahui punya keinginan menjadi pengganti Jenderal Soeharto pada suatu waktu.

Di luar dua kelompok yang disebutkan di atas, tentu saja masih terdapat beberapa kelompok lain, seperti kelompok teknokrat maupun kelompok-kelompok yang mampu membangun kedekatan tersendiri secara langsung dengan Jenderal Soeharto. Pada saatnya, mereka ini bermanfaat ketika Soeharto harus ‘menghadapi’ resultante dari pertarungan antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro akhir 1973 dan awal 1974. (Lebih jauh tentang pertarungan antara Jenderal Ali Moertopo dengan Jenderal Soemitro sejak pertengahan 1973 sampai awal Januari 1974, baca, Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? /Bagian 2 dan 3, di socio-politica.com).

Melekatkan label anarki. Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto. Tuduhan terhadap Jenderal Soemitro ini menguat, karena salah satu topik kritik mahasiswa adalah dominasi modal asing di Indonesia, dengan menempatkan modal Jepang sebagai sasaran utama. Ini dianggap serangan langsung, karena selama ini salah satu Aspri Presiden yang merupakan anggota kelompok Ali Moertopo, yakni Jenderal Soedjono Hoemardani dikenal sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemodal Jepang di Indonesia.

Dengan tangkas dan cerdik, kelompok Ali Moertopo mengerahkan massa bayaran untuk meletuskan aksi anarkis pada sore hari 15 Januari 1974, saat barisan demonstran mahasiswa sedang berbaris kembali dari kampus Trisakti ke kampus Universitas Indonesia. Salah satu titik tempat meletupkan aksi anarkis adalah Jalan Pecenongan dan kemudian daerah sekitar Proyek Senen. Dengan cepat aksi anarkis ini menjalar ke berbagai penjuru ibukota, saat kelompok-kelompok masyarakat marginal ibukota turut serta melakukan aksi perusakan, terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Aksi penjarahan juga tak terhindarkan karena kala itu himpitan beban ekonomi sangat terasa bagi kalangan akar rumput di Jakarta. Bahkan sebagian mahasiswa malah ikut terpancing dan terlarut dalam aksi yang dianggap heroik padahal anarkis, misalnya di sekitar Jalan Thamrin-Sudirman.

Pada hari yang sama, sebenarnya kelompok Jenderal Soemitro juga mempersiapkan pengerahan massa. Massa ini direncanakan akan bergerak ‘membantu’, bila massa mahasiswa mendekati wilayah Istana di Jalan Merdeka Utara. Beberapa orang bukan mahasiswa –yang sebagian diidentifikasi sebagai orang-orang suruhan Jenderal Soemitro– diketahui mencoba mendorong mahasiswa maju hingga Jalan Merdeka Utara. Seandainya mahasiswa maju sampai ke depan Istana, kemungkinan besar takkan bisa dihindari terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan pengawal Presiden. Namun, para pimpinan mahasiswa pada momen itu memilih untuk berbelok dari Jalan Merdeka Barat ke Jalan Museum menuju Kampus Trisakti.

Ketika massa mahasiswa melewati Tanah Abang III, hampir saja kantor Golkar dan kantor-kantor kelompok Ali Moertopo yang ada di jalan tersebut diserbu mahasiswa. Bila ini dilakukan, maka tuduhan bahwa mahasiswa Jakarta ada dalam pengaruh Jenderal Soemitro untuk menjalankan makar, akan menguat dan seakan mendapat pembuktian.

Berhasilnya massa yang dikerahkan kelompok Ali Moertopo menciptakan gerakan anarki, menempatkan mahasiswa sebagai sasaran empuk untuk dituduh melakukan anarki dan gerakan makar. Dan karena berhasil disodorkan anggapan bahwa Jenderal Soemitro berada di belakang gerakan mahasiswa, maka ia pun dengan mudah dijadikan tertuduh. Dan akhirnya memang Jenderal Soemitro tak bisa ‘meloloskan’ diri, lalu memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan-jabatan militernya yang sangat strategis, terutama selaku Panglima Kopkamtib.

Tidak menjadi catatan sejarah. Banyak pihak yang menganalisis, seandainya Jenderal Soemitro lebih cerdik dan punya sedikit keberanian, selaku Panglima Kopkamtib ia bisa melakukan penangkapan terhadap Ali Moertopo dan kawan-kawan dengan tuduhan mengerahkan massa liar untuk menciptakan kekacauan. Tapi itu tidak dilakukan. Mungkin ia gamang. Ada anggapan, bahwa Jenderal Soemitro ragu karena memperhitungkan faktor Laksamana Soedomo selaku Kepala Staf Kopkamtib yang belum jelas perpihakannya. Nyatanya, Laksamana Soedomo adalah orang yang dikenal sangat patuh kepada Soeharto (Baca, Laksamana Soedomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto’, di socio-politica.com).

Namun, terlepas dari itu semua, ada satu analisa yang bersumber dari kalangan teknokrat, bahwa seandainya mahasiswa lebih hati-hati dalam menjalankan aksi-aksinya, dan lebih mampu mengamankan internal gerakan-gerakannya sehingga aksi mereka pada 15 Januari 1974 tak bisa diperosokkan sebagai peristiwa anarkis, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Per Desember 1973, Presiden Soeharto, sebenarnya secara signifikan telah kehilangan dukungan di kalangan ABRI maupun di kalangan teknokrat. Begitu pula, dukungan Golkar sudah jauh merosot saat itu. Tetapi analisa adalah analisa. Bila tak terjadi, ia hanyalah suatu pengandaian, tidak menjadi catatan sejarah. Faktanya, dengan Peristiwa 15 Januari 1974, Soeharto secara bertahap berhasil mengeliminasi satu per satu orang-orang yang ber’mimpi’ menjadi presiden di masanya.

(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).

Kisah Polisi: Intervensi di Lapangan Sepakbola, Kasus Tabrak Lari 17 Tahun, dan Tilang Fatwa Haram

“Kini ia mencoba menemui Presiden sebagai harapan terakhir. Dari zaman ke zaman rakyat memang masih selalu percaya bahwa raja akan selalu berbuat lebih baik dan adil daripada para pejabat jahat yang mengelilinginya. Padahal sejarah menunjukkan tak jarang, sumber segala ketidakbaikan justru bersumber pada sang raja. Adagiumnya, raja baik akan dikelilingi oleh banyak orang yang juga baik, sementara raja jahat akan menciptakan orang-orang yang juga tak kalah jahatnya di sekelilingnya”.

BELAKANGAN ini, polisi seringkali menjadi salah satu bahan pemberitaan pers pada posisi ranking teratas dalam kategori sangat menarik perhatian, untuk tidak menyebutnya ‘spektakuler’. Bukan hanya bertubi-tubi dituding dalam aneka rekayasa kasus menurut laporan masyarakat, bukan pula karena mirip pisau dapur dalam menegakkan hukum yang mengiris tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Melainkan juga mendapat tuduhan internal yang tak kalah beratnya, tentang keterlibatan sejumlah jenderal dan perwira menengahnya dalam kasus mafia hukum. Lalu mendapat sorotan terkait ditemukannya ‘rekening gendut’ perwira polisi. Polri dan para anggotanya juga menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan masyarakat dalam pengaduan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, melebihi institusi Peradilan dan Kejaksaan.

SAAT ini, setidaknya ada tiga berita terbaru, menyangkut tiga perwira polisi. Berita pertama, mengenai niat Inspektur Jenderal Polisi Herman Effendi untuk mundur dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden. Ada dua versi tentang alasan pengunduran diri itu. Pertama, karena adanya teguran kepada Kapolri oleh Presiden terkait laporan Satgas mengenai beberapa kasus. Versi yang cenderung berkategori rumor ini lalu memancing spekulasi, apakah karena teguran itu Polri menarik perwiranya dari Satgas, ataukah sang jenderal menarik diri atas inisiatif sendiri karena merasa tidak enak? Kedua, menurut Zaenal Arifin Mochtar dari UGM yang dekat dan se-almamater dengan Sekertaris Satgas Denny Indrayana, pengunduran diri Herman Effendi terpicu laporan Satgas kepada Presiden tentang rekening ‘gendut’ perwira Polri dan penganiayaan Aan alias Susandi Sukatna oleh anggota kepolisian.

BERITA kedua, menyangkut seorang jenderal polisi lainnya. Minggu malam, 1 Agustus 2010, Kapolda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Polisi Alex Bambang Riatmojo, membuat cerita di Stadion Manahan Solo tatkala berlangsung final sepakbola Piala Indonesia antara Arema Malang dengan Sriwijaya FC Palembang. Babak kedua pertandingan itu tertunda hingga 90 menit lamanya, akibat Jenderal Polisi itu meminta panitia pertandingan agar wasit Jimmy Napitupulu diganti dengan wasit lain. Bagi kalangan persepakbolaan permintaan ini tergolong aneh dan terkesan mengada-ada serta tidak pada tempatnya. Panitia Pelaksana menolak intervensi ini, karena bila permintaan itu dipenuhi, melanggar peraturan pertandingan yang merujuk ketentuan FIFA. Mungkin dengan latar belakang alasan ‘keamanan’, sang jenderal bersikeras agar Jimmy yang dianggapnya bertindak tidak adil di babak pertama, harus diganti. Akibatnya, terjadi perdebatan yang menyebabkan pertandingan tertunda hingga 90 menit, yang justru mulai membuat penonton kesal.

Wasit Jimmy, yang selama ini dikenal sebagai salah satu wasit terbaik di Indonesia, pada babak pertama memberi kartu merah kepada pemain Arema Malang, Noh Alamsyah asal Singapura, karena mengangkat kaki terlalu tinggi hingga mengenai pundak salah satu pemain Sriwijaya FC. Apakah ‘takut’ kalau sampai Aremania, yang terkenal sebagai barisan supporter fanatik dan galak dari Malang itu, akan mengamuk, maka Kapolda Jawa Tengah ‘berani’ mengintervensi panitia agar wasit diganti? Padahal, intervensi itu sendiri justru merupakan kekeliruan yang tak kalah mungkinnya menyebabkan kekisruhan, yakni apabila pertandingan tak dilanjutkan. Dalam tayangan langsung Televisi terlihat nyata betapa pro aktifnya sang jenderal mencampuri soal-soal yang sudah di luar wewenangnya di bidang pengamanan pertandingan. Dan konon, sebelumnya sudah dua kali sang Kapolda mengintervensi pertandingan sepakbola di wilayah hukumnya. Bayangkan bila nantinya menjadi kebiasaan di antara para Kapolda untuk mengintervensi turnamen-turnamen PSSI, akan tambah runyamlah persepakbolaan kita yang memang sudah runyam di tangan kepengurusan PSSI yang sama runyamnya.

Penonton yang makin panas karena pertandingan babak kedua tak kunjung dimulai, justru berhasil ditenangkan oleh pelatih Arema Roberth Alberts asal Belanda dan pelatih Sriwijaya FC Rachmad Darmawan, yang berinisiatif bergandengan tangan keliling lapangan sambil melambai kepada penonton di tribune stadion. Keadaan jadi terbalik, tindakan sang pengaman justru bisa menjadi pemicu keributan, sementara yang jadi objek pengamanan berfungsi sebagai rem pengaman.

Ketika pada akhirnya babak kedua akan dimulai, sang jenderal masih menyempatkan diri menasehati pelatih Arema Roberth yang asal Belanda dalam bahasa Inggeris, agar menginstruksikan para pemainnya –“please instruct your men….”– bermain dengan baik dan tertib. Makin terheran-heranlah sang pelatih yang barangkali untuk pertama kalinya mendapat pengalaman dicampuri urusannya oleh polisi.

Terlepas dari itu semua, menjadi pertanyaan, apakah Kapolda memiliki pola pikir seperti yang dimiliki militer –Pangkopkamtib maupun Pangkopkamtibda yang sekaligus adalah Panglima Kodam– di masa lampau bahwa sebagai pengendali keamanan dan ketertiban, dengan sendirinya bisa mencampuri segala sesuatu dan apa saja di wilayah kekuasaannya? Lebih jauh, apakah para pimpinan Polri merasa sebagai pengganti posisi penguasa keamanan dan ketertiban yang dijalankan Panglima-panglima militer pada masa dwifungsi ABRI?

MENDAMPINGI berita intervensi di lapangan sepakbola, sebuah berita lain yang berawal dari Malang juga menarik perhatian publik. Seorang ayah bernama Indra Azwan selama 22 hari menempuh jarak sekitar 1000 kilometer berjalan kaki ke Jakarta, mencoba bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jumat 30 Juli dan Senin 2 Agustus untuk mengadukan nasib. Dua kali datang, dua kali gagal. Indra Azwan yang merasa tak berhasil mendapatkan keadilan, menjadikan Presiden sebagai harapan terakhir. Sejauh ini belum berhasil. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti halnya dengan Presiden Soeharto yang sangat menjaga ‘kewibawaan’nya, adalah juga presiden yang tak mudah begitu saja menerima rakyat kecil yang datang menghadap padanya. Entah karena pertimbangan protokoler, entah karena hambatan birokrasi di sekitarnya.

Sebelum Indra Azwan, percobaan yang sama dilakukan ibu dari seorang anak korban ledakan tabung gas, dan sejumlah ibu-ibu dari sejumlah korban kerusuhan dan pelanggaran HAM di masa lampau, yang setiap minggu selama kurang lebih 3 tahun mencoba menghadap. Akan tetapi tak ada yang pernah berhasil tembus bertemu sang Presiden.

Indra Azwan adalah ayah dari seorang bocah bernama Rifky Andika yang 17 tahun lampau tewas sebagai korban tabrak lari dari seorang perwira Polri bernama Djoko yang bertugas di Polwil setempat. Upaya Azwan mencari keadilan kepada polisi dan berbagai pihak kalangan penegak hukum tak kunjung mendapat tindak lanjut. Perwira polisi yang menabrak tak pernah berhasil dimintai pertanggungjawaban hukum. Begitu ampuhkah mekanisme kesetiaan korps di kalangan kepolisian untuk saling melindungi, bahkan di atas ketidakbenaran sekalipun? Baru pada tahun ke-15 kasus tabrak lari itu bisa sampai ke pengadilan. Namun pengadilan membebaskan sang polisi karena kasusnya dianggap sudah kadaluarsa. Sepertinya di sini hukum berhasil disiasati. Dua tahun terakhir ini, Indra Azwan tetap berjuang mencari keadilan, namun tetap tak berhasil. Kini ia mencoba menemui Presiden sebagai harapan terakhir. Dari zaman ke zaman rakyat memang masih selalu percaya bahwa raja akan selalu berbuat lebih baik dan adil daripada para pejabat jahat yang mengelilinginya. Padahal sejarah menunjukkan tak jarang, sumber segala ketidakbaikan justru bersumber pada sang raja. Adagiumnya, raja baik akan dikelilingi oleh banyak orang yang juga baik, sementara raja jahat akan menciptakan orang-orang yang juga tak kalah jahatnya di sekelilingnya.

Akankah Indra Azwan berhasil pada akhirnya? Bertemu Presiden atau mendapat keadilan? Meragukan. Karena menjadi pertanyaan, apakah yang bisa dilakukan Presiden kita itu yang terkenal sangat normatif dan berhati-hati, untuk tidak menyebutnya seorang peragu seperti yang terkesan selama ini? Kalau pada akhirnya memang Azwan tak juga berhasil bertemu Presiden, bagaimana? Ke mana lagi saya harus mengadu, ujar Azwan yang telah melapor ke mana-mana (termasuk DPR) tanpa hasil, “apa harus mengadu ke kebun binatang?”. Syukur, sebelum sempat ke kebun bintang, Denny Indrayana sudah memberikan semacam ‘obat’ placebo, yaitu dengan menerima dan menampung keluhan sang pejalan kaki pencari keadilan itu.

BERITA paralel pada waktu yang sama adalah mengenai fatwa Majelis Ulama Indonesia di Kabupaten Lebak Banten yang mengharamkan lelaki dan perempuan yang bukan muhrim untuk berboncengan sepeda motor. ‘Kedekatan’ selama berkendara bersama dianggap bisa menjadi awal dari persentuhan yang bisa menuju perzinahan. Akankah nanti setelah ini, MUI akan menuntut diterbitkannya Perda untuk melarang pasangan bukan muhrim berboncengan sepeda motor? Dan sekedar bertanya, akankah nanti polisi bersedia bila diminta untuk menindaki pasangan para pelanggar yang berani berboncengan padahal bukan muhrim? Menilang atau bahkan menangkap? Siapa tahu bersedia, karena mencampuri pertandingan sepakbola pun mau…. tanpa perlu diminta lagi.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (5)

“Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. “Ada yang sekedar latah atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja”.

SUATU pertemuan orang-orang tak puas di kampus ITB di Bandung, menjadi lanjutan yang membuat temperatur politik tetap tinggi. Pertemuan Minggu pagi 9 Desember 1973 yang berlangsung hingga sore, menjadi forum dengan campuran hadirin yang menarik. Peserta datang dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan seniman, dan berasal dari lintas kota dan lintas generasi. Ada pengacara vokal dari Bandung ibu Amartiwi Saleh SH dan pengacara vokal lainnya dari Jakarta Adnan Buyung Nasution SH. Ada budayawan ‘tukang protes’ W.S. Rendra, ada deretan cendekiawan dari Jakarta maupun Bandung, seperti Drs Wildan Yatim yang menunjuk dwifungsi ABRI sebagai penyebab kaburnya hukum, Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang membahas penggunaan ‘akal sehat’, Professor Deliar Noor yang membicarakan tentang konflik dan penyelesaiannya, serta Dr Taufik Abdullah. Dan tentu saja sejumlah pimpinan berbagai Dewan Mahasiswa dari Bandung, Jakarta maupun Yogya. Pertemuan di ITB ini mengisyaratkan mengentalnya konsolidasi kaum kritis saat itu. Dan adalah memang setelah itu, suhu pergerakan menentang penguasa semakin meninggi hingga akhir Desember 1973.

Amat mencuat dari pertemuan itu penilaian bahwa keadaan negara saat itu telah tiba ke tingkat yang begitu buruk dan harus segera diakhiri, bila perlu dengan gerakan yang lebih berani dan tegas. “Kita ingin merdeka dengan tujuan mencerdaskan bangsa agar tidak bisa diinjak-injak. Setiap kungkungan kebodohan adalah lawan, tidak perduli siapa orangnya yang melakukan dan apa lembaganya” ujar Buyung Nasution dalam forum itu. “Memang tidak jelas siapa yang berkuasa di negara ini. Soeharto? Opsus? Atau Pangkopkamtib? Saya bukannya mengatakan tidak ada yang berkuasa, tetapi terlalu banyak, sehingga kacau !”. Kalau “keadaan begini terus, bagaimana? Kalau yang atur tidak beres, bagaimana dengan yang diatur?”. Lalu ia bertanya “Apakah keadaan ini kita terima atau bagaimana?!”. Hadirin menjawab “Lawan!”. Buyung melanjutkan “Tapi kita jangan naif, siapa yang jadi pemimpin tidak jadi soal. Tapi sebelumnya kita tanya dulu mau ke mana dia, jangan jadi memperkuda kita lagi. Jangan setelah diangkat jadi anggota DPR kemudian tenggelam, jadi menteri tenggelam. Ini orang-orang yang tidak berwatak! Momentum kita kembangkan terus, dari satu kita kembangkan terus. Mari kita bertarung secara jujur, bukan pat gulipat”.

Ketua DM Gajah Mada menyambut dengan ucapan, “Sekarang ini saya juga tidak tahu siapa sebetulnya yang berkuasa di negara kita ini, apakah Jenderal Soeharto, jenderal-jenderal, rektor atau yang lain-lain. Yang pasti hanya untuk menjumpai Jenderal Soemitro saja diperlukan prosedur yang berbelit-belit”. Kemudian ia menambahkan “Saya mau saja berdemonstrasi, tapi saya harus yakin lebih dulu, apakah kalau kita mau membuka front kita pasti menang?”. Untuk pertanyaan ini, datang jawaban dari Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik. Tokoh kampus yang sudah terjun melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer bersama sejumlah rekannya dari Bandung dan Jakarta ini, menyatakan “Banyak orang mengatakan apa yang dihasilkan generasi muda adalah sia-sia” –dan ini kerap dilontarkan kalangan penguasa yang menilai gerakan ekstra parlementer– “Mungkin ini benar. Tapi masalahnya, kita melihat kepincangan-kepincangan, ada hal-hal yang tidak beres ! Siapa yang mau bicara ? Mau tidak mau, harus kita lagi, generasi muda. Kita harus berkorban lagi ! Ini bukan sekedar pembelaan terhadap apa yang telah kita lakukan, tapi siapa yang berani menentang pemerintah ? Akhirnya kita juga para mahasiswa. Saya melihat semakin lama keadaan semakin buruk. Pemerintah terlalu economic oriented. Inilah yang membuat kita terhambat”. Menurut Hatta Albanik sudah terlalu banyak teori-teori yang dilontarkan. Mereka bukan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Mereka hanya ingin kekuasaan. Kita sok kerakyatan barangkali, tapi kita ingatkan agar yang berkuasa ingat akan rakyat. Percuma kita banyak ahli, tapi bungkam semuanya”.

Hariman Siregar dari UI mempertegas, “Kalau kita melihat ke atas, pilihan sangat sempit, yaitu apakah pimpinan yang ada dijatuhkan atau tidak ?”. Lalu dijawabnya sendiri, “Kultur orang-orang yang di atas jelas tidak memungkinkan adanya perubahan. Meskipun, mungkin saja tanpa orang-orang muda bergerak mereka akan jatuh”. Barangkali Hariman memaksudkan adanya pertarungan internal yang bisa menghasilkan pergeseran kekuasaan. “Tapi bagaimanapun kita harus mengikuti berjuang dan mengerti suasana, Konflik-konflik dan tantangan adalah risiko ! Lambat atau cepat kita akan ‘mendapat’ konflik”. Komaruddin dari DM-ITB memberikan jawaban atas segala kesangsian, “Kita harus berpikir bagaimana caranya membunuh benalu-benalu yang ada, apakah dengan sangkur atau alat yang lain”. Dengan nada yang memperingatkan untuk bertahan tanpa perpihakan kepada kelompok dalam rivalitas internal dalam kekuasaan, ia menegaskan “Dari pada kita merangkul Kopkamtib atau Aspri dan lain-lain…. lebih baik kita merangkul Miss University”. Sentilan Komaruddin ini menjadi bermakna, karena saat itu sangat kuat terasa adanya percobaan klik-klik kekuasaan yang sedang bersaing satu sama lain untuk menyusupkan pengaruh ke tengah generasi muda dan mahasiswa.

Tak kalah menarik, di tengah suhu tinggi semangat melawan, ada suara salah satu pembicara dari kalangan mahasiswa sendiri, Suroso, yang menyentil “Kita generasi muda terlalu galak kepada yang ada di luar, tetapi terlalu jinak pada kelemahan diri sendiri. Kalau kita inginkan agar pola konsumsi jangan terlalu berlebih-lebihan, janganlah kampus dibikin arena ratu-ratuan”. Salah seorang di antara pemenang kontes ratu-ratuan di tingkat Jawa Barat saat itu tercatat antara lain mahasiswi bernama Tinneke Pondaaga, yang kebetulan sekampus dengan Suroso di Universitas Parahyangan. Sedang Komaruddin yang tergolong radikal dan kampusnya langka akan pemenang kontes kecantikan, tapi pernah sekali melahirkan Miss Indonesia, yakni mahasiswi Seni Rupa ITB Irma Hadisurya, di tahun 1969, lebih senang merangkul Miss University daripada merangkul Kopkamtib dan Aspri. Itulah dinamika kehidupan, hasrat bisa berbeda-beda. Adalah pula Dr Taufik Abdullah yang juga mempunyai hasrat berbeda, ia berkata “Jangan termakan oleh pemuda-pemuda radikal, lalu ikut-ikutan radikal”.

Koreksi-koreksi dan peringatan-peringatan yang bersifat mawas diri, bukannya tak ada gunanya samasekali pada saat-saat terjadi eskalasi ketegangan seperti kala itu. Tokoh wanita pergerakan Amartiwi Saleh SH mengatakan “Saya setuju mahasiswa galak. Tapi yang saya lihat banyak mahasiswa galak, setelah jadi sarjana dan duduk di lembaga-lembaga pemerintah, jadi jinak. Paling sedih, mereka berkompromi dengan kejelekan”. Kritik Amartiwi Saleh ada dasarnya, karena saat itu banyak fakta empiris menunjukkan bahwa di antara kalangan perjuangan 1966 – yang merupakan senior para mahasiswa 1970-an itu– pun telah mencuat adanya perorangan yang terbawa arus kepentingan yang tak terpuji. Menurut Amartiwi, yang muda-muda harus jadi manusia merdeka, “yang harus mampu menciptakan suasana”. Dalam rumusan Syamsu dari Institut Pertanian Bogor, “Bagaimana kita merobah sistim, hingga sistim itu bisa berjalan”. WS Rendra yang baru saja usai selama dua hari berturut-turut mementaskan drama tentang perlawanan terhadap kekuasaan, ‘Mastodon dan Burung Kondor’, tampil berkata “Sudah saatnya orang-orang menyadari penting atau tidaknya radikalisme. Hendaknya radikalisme itu dengan tujuan untuk menciptakan suasana tertentu. Tapi juga diharapkan kesadaran mahasiswa agar rangsangan jangan terlalu banyak, jangan sampai kita muntah, hendaknya ada irama”. Ketika Benny dari Gajah Mada mengingatkan “jangan mau dibeli”, Rendra memberi jawaban, “Saya setuju jangan dibeli, tapi juga jangan diintimidasi”.

Forum menjelang terjadinya gerakan ekstra parlementer besar-besaran itu, juga digunakan oleh Badan Kerja Sama DM/SM se Jakarta –yang terdiri dari Universitas Atmajaya, Universitas Indonesia, Universitas Kristen Indonesia, IKIP Jakarta, Universitas Muhammadiyah, Universitas Pancasila dan Universitas Trisakti– untuk menyampaikan sebuah ikrar bersama yang bertanggal 7 Desember 1973. Mereka berikrar “Meningkatkan solidaritas di antara sesama generasi muda, sebagai konsekuensi rasa tanggung jawab kami, terhadap persoalan-persoalan masa kini”. Dan “Bertekad untuk mengambil langkah-langkah perubahan dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan”.

Di ambang demonstrasi besar-besaran

SETELAH pertemuan ‘orang-orang tak puas’ di Bandung itu, memasuki minggu ketiga Desember, sudah amat membayang akan segera terjadi demonstrasi besar-besaran. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang termasuk paling banyak memberi tempat kepada berita pergerakan mahasiswa dan generasi muda, menurunkan judul “Di Ambang Demonstrasi Besar-besaran ?” (23 Desember 1973). Judul ini menjadi semacam penafsiran berdasarkan pembacaan atas situasi dari waktu ke waktu. Menjelang Peristiwa 5 Agustus 1973, suatu penafsiran situasi tentang akan terjadi kerusuhan sosial, juga dilakukan oleh mingguan itu. Karena penafsiran-penafsiran seperti itu –yang kemudian terbukti menjadi kenyataan– mingguan itu mulai dicurigai keterlibatannya dalam perencanaan-perencanaan peristiwa. Suatu kecurigaan yang tidak beralasan samasekali, karena mingguan itu sebenarnya hanya menjalankan satu peranan jurnalistik yang sederhana, memberitakan dan menganalisa apa yang terjadi sebagaimana adanya. Tapi kecurigaan tidak harus memerlukan alasan.

Pada edisi yang terbit di akhir minggu ketiga Desember itu, Mingguan Mahasiswa Indonesia menulis “Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. Ada yang sekedar latah atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja.

Namun di antara bermacam-macam gerakan yang muncul, ada satu gerakan yang unik dan sangat menarik perhatian, pada pertengahan Desember. Gerakan itu dilakukan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sebagai suatu gerakan ekstra parlementer dengan tujuan Sekretariat Negara, Bappenas, Kopkamtib dan DPR-RI. Unik dan menarik, bukan karena KNPI-nya, melainkan karena tokoh-tokohnya. Ada sembilan tokoh yang turun pada hari pertama. Mereka adalah David Napitupulu anggota DPR/MPR yang juga adalah anggota DPP Golkar, Drs Surjadi anggota DPR Fraksi Demokrasi Pembangunan dan Drs Zamroni anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Bersama mereka turut pula Kapten TNI-AU dr Abdul Gafur anggota DPR dari Fraksi Karya serta Hatta Mustafa, Eko Cokroyogo, Hakim Simamora, Nazaruddin dan Letnan Kolonel S Utomo. Seperti David, beberapa lainnya adalah perorangan yang dikenal sebagai aktivis Golkar tingkat pusat yang diasosiasikan sebagai sayap Ali Moertopo. Sedang nama yang disebut terakhir, Utomo, menurut koran ibukota tak lain adalah ajudan Mayjen Ali Moertopo.

Di Bappenas delegasi para senior yang disindir karikatur ‘Sinar Harapan’ pahlawan kesiangan yang takut ketinggalan sepur, melalui David melontarkan tuduhan “kurang bersifat terbuka dalam pelaksanaan tugasnya selama ini dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”. Tuduhan David itu dijawab keesokan harinya oleh Sumarlin, Menteri PAN merangkap Deputi Bappenas. “Tidak benar kesan bahwa Bappenas menutup diri dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”, ujar Sumarlin, “Bappenas memperhatikan masalah-masalah maupun gejolak-gejolak yang timbul dalam masyarakat”. Delegasi KNPI sebenarnya tampil cukup vokal, yang terutama diwarnai oleh David Napitupulu tokoh perjuangan 1966 yang memang dikenal temperamental dan kritis. Kepada Sumarlin delegasi ini memberondongkan kecaman mengenai terdesaknya pribumi dan ekses-ekses modal asing. Usai pertemuan David mengatakan tidak puas terhadap jawaban-jawaban Sumarlin. Di DPR delegasi yang untuk sebagian besar terdiri dari anggota DPR, justru menyampaikan tuduhan di depan Wakil Ketua DPR Sumiskum – yang juga adalah petinggi Golkar– bahwa DPR tidak aktif menjalankan fungsinya. Sebagai bukti mereka menunjukkan terjadinya demonstrasi-demonstrasi belakangan itu. “Kalau DPR berfungsi semestinya, tak akan terjadi gejolak-gejolak seperti itu”. Ini ditolak oleh Sumiskum dengan memaparkan beberapa kegiatan yang telah dilakukan DPR, seperti misalnya beberapa kali menerima dan menampung aspirasi kalangan generasi muda.

Betapa pun berulang-ulangnya tokoh-tokoh KNPI itu menyebutkan bahwa aksi ekstra parlementer itu bukan gerakan politis, pers tetap saja menggambarkannya sebagai satu lakon politik yang konyol dan absurd. Bahkan gerakan mereka dicurigai sebagai gerakan silang untuk ‘memotong’ aksi-aksi mahasiswa yang sedang meningkat intensitasnya. Apalagi, nyatanya mereka adalah tokoh-tokoh yang sudah dengan jelas masuk dan berada dalam jalur kekuasaan melalui Golkar ataupun berada dalam partai-partai yang bagaimana pun mempunyai agenda serta kepentingan politik sendiri. Harian Kompas yang amat moderat pun tak tahan untuk tidak menggoda. “Semangat amat nih !” judul editorial yang diturunkannya untuk menanggapi gerakan itu. “Maka orang bertanya-tanya, ikut turunnya KNPI sekedar agar tidak dikatakan ketinggalan kereta atau memang mengajukan persoalan-persoalan baru yang perlu diperhatikan pemerintah?”. Memang ‘demonstrasi’ orang-orang muda yang sudah senior ini mendapat banyak sorotan dan komentar. Soalnya pesertanya dinilai janggal dan ganjil untuk ukuran demonstran. Akan hal ikutnya ajudan Ali Moertopo, penjaga pojok ‘Indonesia Raya’ Mas Kluyur sampai menyentil “Kok aneh, Jenderal Ali Moertopo kirim ajudan ikut demonstrasi ke Bappenas dan Kopkamtib. Kan bisa berdialog dengan angkat telepon saja?”.

Merasa tergugah oleh apa yang diperjuangkan rekan-rekannya di ibukota, sejumlah tokoh eks demonstran 1966 dari KAMI dan KAPPI di Ujung Pandang (Makassar) mencetuskan keresahan melalui Ikrar 17 Desember. Ikrar tersebut mereka keluarkan setelah melihat arah dan perkembangan pembangunan bangsa dan negara kala itu. Mereka menyatakan tekad menegakkan demokrasi, hukum dan konstitusi, serta mengisi kemerdekaan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat. Di Surabaya, Ronald dan kawan-kawan menyampaikan cetusan keresahan menjelang akhir tahun. Sedang di Medan, muncul ‘Gerakan Pemuda Menuntut Keadilan’.

Berlanjut ke Bagian 6

Keadilan Sosial nan Tak Kunjung Tiba (2)

“Keasyikan memecah isyarat dan syair dalam permainan ‘Serikat Bunga’ ini, mungkin menyamai kalau tak melebihi keasyikan tebak menebak bagaimana akhir dari kasus Bank Century di akhir tahun 2009 dan awal 2010 ini…”.

DENGAN ‘pembatasan’ berupa larangan masuk kasino bagi yang bukan keturunan cina, dan tak terjangkaunya tempat permainan dan perjudian lainnya –karena tetap mahal bagi kalangan bawah– maka yang paling merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah adalah judi lotto dan kupon Hwa Hwee yang beredar ke seluruh pelosok Ibukota bahkan menembus wilayah-wilayah pinggirannya, merembes ke wilayah tetangga. Adalah Hwa Hwee yang diselenggarakan sejak 15 Januari 1968 yang kemudian betul-betul ‘memikat’ dan memabukkan rakyat hingga ke strata paling bawah. Tampilnya Hwa Hwee –sejenis permainan judi cina yang terjemahannya berarti ‘Serikat Bunga’– bermula dari ketidakpuasan Ali Sadikin terhadap penghasilan dari lotto yang ‘hanya’ Rp. 600 juta pada tahun 1971 yang berarti hanya 5 persen dari anggaran metropolitan.

“Sadikin menyadari bahwa lotto itu tidak menarik penghasilan dalam jumlah yang besar. Tumpukan uang ada di Glodok, jantung keuangan Jakarta, dan orang-orang cina tidaklah tertarik oleh permainan angka-angka yang langsung, tanpa bumbu daya tarik yang khas ‘Tionghwa’. Apa yang dibutuhkan bukanlah sekedar permainan, tetapi suatu bentuk permainan yang menarik orang-orang cina”. Demikian dituliskan Donald K. Emerson dalam Jurnal Asia, Mei 1973. Setelah berhasilnya kasino di Glodok, di mana terdapat aneka ragam permainan yang betul-betul ‘Tionghwa’, Gubernur Ali Sadikin lalu memutuskan untuk mencoba Hwa Hwee.

Permainan ‘Serikat Bunga’ ini sempat merubah Jakarta menjadi ruang judi yang besar di waktu malam dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemain –dengan dampak sosial dan psikologis yang sulit untuk dihitung– penuh keasyikan yang memabukkan oleh misteri terselubung pada matriks 6 kali 6 yang terdiri dari 36 kotak segi empat. Apalagi pada pagi harinya kode atau isyarat diberikan di depan kasino dalam gerakan-gerakan mirip jurus silat, lalu kode-kode tertulis berupa syair, teka teki dan gambar juga diedarkan, dibarengi kode desas-desus, menambah rasa sensasi. Tiap kotak mengandung tiga unsur yakni gambar tokoh dalam pakaian tradisional cina, seekor khewan dan satu angka (1 sampai 36). Dalam satu atau dua kotak, gambar-gambar seperti kecapi atau peti mayat, menggantikan gambar orang atau khewan. Keasyikan memecah isyarat dan syair dalam permainan ‘Serikat Bunga’ ini, mungkin menyamai kalau tak melebihi keasyikan tebak menebak bagaimana akhir dari kasus Bank Century di akhir tahun 2009 dan awal 2010 ini: Siapa-siapa saja anggota ‘Serikat Bunga’ dalam kasus Bank Century ini. Siapa pemimpin serikat. Siapa pemetik kecapi yang memainkan irama permainan. ‘Khewan’ –yang sebenarnya adalah simbol tokoh– malang mana saja yang akan dikorbankan? Dan, siapa akhirnya yang akan masuk ‘peti mati’, entah sebagai ‘martir’ bagi sang pemimpin, entah sebagai yang kalah?

Seorang pemain yang bertaruh untuk kotak yang menang, memperoleh 25 kali lipat dari taruhannya. Taruhan terkecil adalah 50 rupiah –yang senilai kurang lebih 2500 rupiah sekarang–  dan tak ada batas terbesar untuk taruhan. Pemain dapat bertaruh berapa saja kelipatan dari 50 rupiah, pada kotak yang sama atau pada gabungan beberapa kotak. Sekali pun pada dasarnya permainan Hwa Hwee ini semacam dengan roulette –tapi disederhanakan– ia merupakan pengalaman yang terasa lebih sungguh-sungguh dan memikat. Roulette pada dasarnya adalah permainan angka. Sedang Hwa Hwee adalah permainan gambar dan angka yang berakar pada tradisi yang kaya dengan arti-arti terselubung. Meskipun asal usul Hwa Hwee tak terlalu jelas, dapat diketahui bahwa ia berkembang di Cina Tenggara –Fukien dan Kwantung– lalu dari sana menyebar melalui masyarakat cina di Asia Tenggara. Tiga puluh enam tokoh dalam gambar itu menurut hikayatnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang mati sebagai martir pada abad 12 di daerah Kirin tatkala mempertahankan Cina dari serangan pasukan berkuda suku ‘pengembara’, suku tartar. Menurut perkiraan yang spekulatif, bahwa kelompok tokoh pahlawan inilah yang merupakan ‘Serikat Bunga’ yang asli, yang namanya kini dipakai untuk permainan tersebut. Penyesuaian seekor khewan dengan masing-masing tokoh itu, lebih jauh kemungkinannya adalah merupakan hubungan-hubungan sejarah, mistik dan kesusasteraan yang ada untuk tiap-tiap gambar dalam kotak. Tapi pengaruh ‘Serikat Bunga’ yang dahsyat akhirnya membuat pucuk kekuasaan dan para penentu kebijakan takut sendiri. Hwa Hwee dilarang setelah berlangsung hanya 5 bulan. ‘Serikat Bunga’ gugur dini sebagai korban keberhasilannya sendiri. Tapi ‘serikat judi’ lainnya masih berjalan hingga tahun 1973 sampai adanya larangan judi secara menyeluruh oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).

Sejumlah ulama dan kelompok politik berideologi agama menentang perjudian resmi tersebut untuk alasan moral. Terhadap serangan itu Ali Sadikin pernah berkata “Biarlah saya dikatakan gubernur judi, tetapi hasil yang saya dapatkan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak yang tidak mendapatkan sekolah”. Dituduh maksiat, ia mengatakan dalam satu wawancara “Coba saja saudara pikir, dari enam buah tempat perjudian kemudian saya lokalisir di suatu tempat, toh dosanya dari enam dikurangi lima menjadi satu. Dan pahalanya ? Dari tidak ada menjadi lima”. Namun tak kurang banyaknya pula ulama yang bisa menyediakan argumentasi lengkap dengan ayat-ayat untuk membela kebijakan Ali Sadikin. Paling kurang, berhenti menghujat dirinya. Bahkan tokoh seperti AM Fatwa –yang waktu itu masih duduk sebagai seorang pejabat DKI di bidang kerohanian– pun tak bersuara untuk menunjukkan penolakan terhadap kebijakan judi Ali Sadikin, untuk tidak mengatakan ‘mendukung’ kebijakan judi Ali Sadikin. Tapi apapun, memang nyatanya Ali Sadikin berhasil menerobos kelangkaan biaya dan berhasil menyajikan pembangunan kasat mata bagi Jakarta, namun Ali tak pernah menghitung berapa social cost dan psychological cost yang harus dibayar oleh rakyat yang hendak disejahterakannya itu. Sebagai hasil sampingan, muncul kelompok ‘cukong’ baru yang berhasil menumpuk dana dalam jumlah besar yang digunakan untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis baru. Salah satu diantaranya adalah Jan Darmadi yang me’waris’i kerajaan judi di Jakarta dari ayahnya.

Kasino-kasino di Jakarta, selain memberi dampak ‘keberhasilan’ penghimpunan dana untuk menunjang pembangunan Jakarta oleh Ali Sadikin, juga menjadi tempat membuang duit – karena lebih banyak kalahnya daripada menangnya– bagi  sejumlah pengusaha swasta maupun pengusaha pelat merah. Salah satu nama tersohor sebagai pelanggan tetap kasino-kasino di Jakarta adalah Sjarnubi Said, seorang pejabat Pertamina di bawah Ibnu Sutowo, yang kemudian menjadi pengusaha perakitan mobil Mitsubishi Krama Yudha Tiga Berlian yang terkenal dengan Colt pickup buntungnya yang laris. Beberapa putera petinggi negara juga diketahui diam-diam menjadi pelanggan kasino-kasino di Jakarta. Salah seorang putera petinggi yang sangat berkuasa, selain di kasino-kasino Jakarta bahkan kerap bermain judi di kasino-kasino Las Vegas Amerika dan menjadi pelanggan ‘kalah habis-habisan’. Meskipun ada larangan resmi bagi para pejabat (dan yang bukan keturunan cina) untuk masuk kasino, tak jarang beberapa pejabat bea cukai dan instansi-instansi ‘basah’ lainnya terlihat masuk ke gelanggang kasino, lewat jalan khusus.

Mendampingi kasino, Ali Sadikin juga mengizinkan dibukanya berbagai tempat hiburan dan rekreasi, termasuk yang khusus dewasa seperti nightclub dan steambath. Di tempat-tempat seperti inilah banyak pejabat menengah dan yang lebih bawah mengisi waktu luangnya setelah pulang kantor. Pegawai-pegawai instansi ‘basah’ di lingkungan Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, menjadi pelanggan tetap di tempat-tempat mandi uap di Taman Impian Jaya Ancol yang dekat dari tempat kerja mereka. Pada tahun-tahun 70-an Pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi gerbang ekspor dan impor Indonesia terbesar, menjadi tempat memperoleh uang yang enak bagi para aparat yang mengawasi pintu ekonomi Indonesia itu. Uang-uang ekstra yang diperoleh dengan cara-cara inkonvensional untuk sebagian dihabiskan di tempat-tempat hiburan Ancol yang penuh gadis-gadis muda cantik. Taman Impian Jaya Ancol dibangun oleh PT Pembangunan Jaya yang merupakan perkongsian pengusaha keturunan cina asal Sulawesi Tengah Ir Ciputra dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota.

Penguasa pelabuhan kala itu adalah BPP (Badan Pelaksana Pelabuhan) Tanjung Priok. Dan di situ juga terdapat instansi-instansi seperti bea cukai, imigrasi, polisi pelabuhan. Pegawai-pegawai di sana termasuk makmur. Salah seorang Kepala BPP yang terkenal –bahkan nyaris legendaris–  dan sungguh dicintai anak buahnya adalah Fanny Habibie yang belakangan sempat menjadi Dirjen Perhubungan Laut. Kecintaan anak buah agaknya tak terlepas dari tingkat kemakmuran yang tercipta bagi para bawahan di masa tersebut. Betapa besar peredaran uang yang ada dan terjadi di gerbang ekonomi Indonesia itu, mungkin bisa tergambarkan oleh pengakuan pemerintah sendiri bahwa pada tahun 1971 hingga bulan September saja ada Rp.55 milyar –mungkin kini setara dengan 2,75 triliun rupiah– uang yang lolos dan gagal masuk kas negara akibat kolusi antara pejabat-pejabat bea cukai dengan pengusaha.

Pusat hiburan lainnya yang terdiri dari sejumlah kelab malam dan tempat pijat plus mandi uap antara lain adalah Taman Hiburan Lokasari (Princen Park) dan sekitarnya di Jalan Mangga Besar di jantung pecinan. Di sinilah anak-anak muda keturunan Cina yang sudah terjun ke dalam bisnis menghabiskan sebagian keuntungan bisnisnya untuk bersenang-senang.

‘Revolusi’ dunia hiburan  metropolitan ini, tak memakan waktu yang lama untuk menjalar ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, tak terkecuali di propinsi-propinsi yang kata orang ‘ketat agamanya’. Ibukota propinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang (Makassar) dianggap menjadi ‘peniru’ paling berhasil dari Jakarta di tangan seorang Wali Kota bergaya ‘urakan’ Kolonel AD Muhammad Daeng Patompo. Ia ‘mendobrak’ wilayah bertradisi ketat itu dengan membuka judi lotto dan berhasil memperoleh dana inkonvensional untuk pembangunan fisik kota pantai itu. Argumentasi-argumentasinya tak berbeda jauh dengan argumentasi Ali Sadikin. Maka ia dijuluki sebagai ‘Ali Sadikin’nya Ujung Pandang –suatu gelar yang ditolaknya mentah-mentah karena menurutnya Ali Sadikin lah yang harus disebut ‘Patompo’nya Jakarta.

Tapi diantara semua daerah, lagi-lagi Bandung dan Jawa Barat lah –sebagai hinterland Jakarta– yang betul-betul merasakan dampak-dampaknya hingga yang paling negatif. Selain menjalarnya perjudian ala kasino Jakarta ke Bandung –meskipun dengan skala lebih kecil– maka maraknya dunia hiburan di Jakarta memberi dampak tersendiri. Perempuan-perempuan yang dibutuhkan sebagai penghibur di tempat-tempat hiburan Jakarta, terbanyak direkrut dari wilayah-wilayah Jawa Barat, selain Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Pada mulanya, hanya berupa arus yang terdiri dari para perempuan yang memang sudah berprofesi penghibur, namun pada akhirnya meningkat dengan cara-cara rekrutmen melalui bujuk rayu dan tipu daya –pola trafficking– dengan korban perempuan-perempuan yang belum pernah berprofesi penghibur sebelumnya. Ketika tempat-tempat hiburan malam juga dibuka di Bandung dan beberapa kota lain di Jawa Barat, arus rekrutmen dengan cara serupa kembali lagi terjadi. Rekrutmen-rekrutmen untuk Jakarta dan Bandung serta beberapa kota lain kemudian, praktis terjadi terus menerus.

Elite-elite baru dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan bisnis lebih memilih menghibur diri di nightclub yang berkelas. Pengunjung kelab-kelab malam tak pandang bulu, mulai dari taipan kelas Liem Soei Liong hingga para eksekutif pemerintahan kelas direktur jenderal. Bahkan tokoh muda yang fenomenal dan modern dari NU, Subchan ZE, termasuk diantara pengunjung kelab-kelab malam, sehingga suatu waktu ia diskors oleh para Kyai NU karena pergaulannya ‘yang bebas’ dengan perempuan-perempuan yang ‘bukan muhrim’.  Subchan tidak melanggar hukum negara, tetapi ia terkena hukum berdasarkan konvensi lingkungannya dan cukup mengganggu perjalanan politiknya selama beberapa waktu. Namun di akhir hidupnya ‘kehormatan’nya dipulihkan. Pada peringatan hari ketujuh meninggalnya di pekan terakhir Januari 1973, dalam suatu acara doa yang dipimpin KH Masykur dari NU, dihadiri oleh tokoh-tokoh politik eks kawan maupun eks lawan politiknya, sang kyai mengajak para hadirin memberi kesaksian atas diri almarhum. Bertanya KH Masykur, apakah Subchan semasa hidupnya adalah orang yang baik? Bergemuruh jawaban “Baiiiiik!”.

Sejumlah wilayah pemukiman baru yang mewah dan eksklusif pun dibangun di beberapa penjuru Ibukota. Kembali, ini pun ditiru oleh beberapa kota lain. Pangsa pasarnya tercipta sejalan dengan bertumbuhnya kelompok kaya baru. Paling berprestise adalah perumahan mewah Pondok Indah di selatan Jakarta. Kini di tempat tersebut berderet-deret pemukiman bagi sejumlah orang kaya Jakarta, yang pada tahun 70-an itu masih dapat diibaratkan ‘The New Emerging Forces’ alias orang kaya baru. Segera terlupakan bahwa tanah-tanah tempat berdirinya rumah-rumah mewah itu dibebaskan melalui darah dan air mata penduduk asli wilayah itu, melalui proses pembebasan yang penuh penekanan dan paksaan. Rakyat hanya kebagian pembayaran harga rendah, sementara sejumlah aparat yang ikutan dalam penanganan pembebasan tanah bisa ikut kaya.

Munculnya keluarga-keluarga kaya baru merupakan fenomena yang mengiringi proses pembangunan fisik Indonesia waktu itu. Menjadi kaya, bukan hal yang terlarang di Indonesia. Malah tumbuhnya kelompok kaya baru, bilamana dibarengi penggunaan dana secara produktif bisa menopang pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau itu adalah hasil dari korupsi, masalahnya menjadi lain. Apalagi jika digunakan sekedar untuk tujuan semata-mata konsumtif dalam suatu pola konsumerisme. Fenomena munculnya kelompok kaya baru di Indonesia ini diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait erat dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu yang bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan –dan memang tidak pernah ada effort yang memadai ke arah itu. Meski seperti angin yang dapat dirasakan namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal,  bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno –yang masih penuh dengan retorika kemiskinan dan proletarisme perjuangan negeri tertindas.

Gejala-gejala korupsi yang menurut akal sehat mudah untuk disimpulkan kebenaran keberadaannya, menjadi hal yang musykil dijangkau oleh hukum karena memang belum memadainya perangkat undang-undang yang ada saat itu. Maka penyusunan perangkat undang-undang anti korupsi senantiasa diserukan namun dari waktu ke waktu untuk seberapa lama tetap tinggal sebagai wacana di kalangan kelompok kritis. Azas pembuktian terbalik apalagi, meskipun selalu diwacanakan, tampaknya sudah menjadi suatu kemustahilan permanen untuk bisa dimasukkan dalam perundang-undangan, termasuk dalam undang-undang anti korupsi yang sekarang berlaku. Dan pada kutub sebaliknya pemberantasan korupsi bahkan hanya menjadi retorika dalam bentuk janji kalangan penguasa sekedar untuk meredam kritik, namun tidak pernah bersungguh-sungguh mau diwujudkan hingga malahan menjadi pola korupsi sistemik. Situasi itu, berlaku hingga kini .

Berlanjut ke Bagian 3