Tag Archives: Liem Soei Liong

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (4)

Realistis dan tidak realistis. TATKALA isu percukongan menghangat, akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.

MENGIRINGI LIEM SOEI LIONG DI PERJALANAN AKHIR. “Apapun yang telah terjadi, Liem Soei Liong telah pergi meninggalkan Indonesia 1998, dan kini takkan mungkin kembali lagi. Tahun 2012, Giam Lo Ong (malaikat pencabut nyawa dalam kepercayaan China) telah menunaikan tugas penjemputan, dan kini ia sudah membumi dalam artian sesungguhnya. Namun Liem Soei Liong, bagaimanapun juga telah memberi pelajaran berharga bagi para penguasa Indonesia, tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan para konglomerat”. (foto download reuters)

Selama seperempat abad sesudah 1970, Soeharto ‘membuktikan’ bahwa mengandalkan potensi pribumi saja memang ‘tidak realistis’. Maka, sejak 1970 itu ia tetap meneruskan mengandalkan usahawan non-pribumi untuk ‘pertumbuhan’ ekonomi. Entah karena hasil persaingan alamiah, entah karena topangan kebijakan Soeharto, terbukti dalam realitas bahwa pada tahun 1996 dari 25 konglomerasi pemuncak di Indonesia, 20 di antaranya milik pengusaha non-pri. Dari 5 yang tersisa, 2 adalah kepemilikan campuran pri-non pri, dan 3 pri. Dua dari tiga yang disebut terakhir adalah Group Humpuss milik Hutomo Mandala Putera, dan Group Bimantara milik Bambang Trihatmodjo-Indra Rukmana, dan satunya lagi Group Bakrie sebagai pribumi satu-satunya yang non-cendana. Sedang kepemilikan campuran, adalah Group Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (4)

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (3)

PENEMPATAN Liem Soei Liong oleh Presiden Soeharto di tempat istimewa –bukan hanya meng-atas-i Pertamina seperti di Pakanbaru, tetapi juga dalam berbagai hal lainnya– dari hari ke hari menjadi sesuatu yang semakin lazim. Seringkali, secara diam-diam maupun terbuka, menjadi suatu kenyataan yang tidak mengenakkan hati orang-orang sekitar Soeharto sendiri. Liem Soei Liong lebih gampang bertemu Soeharto, setiap saat, dibanding misalnya dengan sejumlah menteri kabinet. Akses Liem ke istana jauh lebih istimewa. Letnan Jenderal Sarwo Edhie, saat menjadi Ketua BP7 Pusat, pernah menumpahkan kekesalannya kepada beberapa Manggala BP-7, usai suatu acara silaturahmi –open house– saat lebaran di Cendana. “Kita harus antri masuk Cendana untuk menyalami pak Harto”, ujarnya. “Tapi, Liem dan kawan-kawan diberi jalan masuk khusus tersendiri ke dalam…..”. Dengan demikian, Jenderal Sarwo Edhie menjadi jenderal ketiga yang nesu terhadap keistimewaan Liem Soei Liong di sisi kekuasaan Soeharto.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO, SANTAP SIANG. “Liem memang tak tertandingi siapa pun, bila itu menyangkut Jenderal Soeharto. Terutama dalam kaitan bisnis dengan fasilitas kekuasaan dan pemerintahan. Namun, pada sekitar pertengahan 1980-an, tatkala putera-puteri Soeharto makin dewasa dan mulai terjun ke dalam bisnis, toh Liem Soei Liong sedikit mulai terdorong ke posisi kedua dalam hal penanganan proyek-proyek pemerintah. Perusahaan-perusahaan putera-puteri Presiden lebih berjaya untuk soal yang satu ini”. (download tempo)

Kelompok nesu saat itu adalah langka. Dalam realita sehari-hari dalam jalannya kekuasaan Presiden Soeharto, pada umumnya para jenderal teras dalam kekuasaan Soeharto tak mungkin nesu kepada Liem Soei Liong. Sang taipan –pasti dengan sepengetahuan Soeharto– berfungsi menjadi pundi-pundi uang guna memenuhi kebutuhan tokoh-tokoh kunci dalam kekuasaan. Hampir semua jenderal penting –bukan rahasia lagi– pernah mendapat hadiah rumah nyaman lengkap dengan isinya dari Liem Soei Liong, serta berbagai kemudahan finansial lainnya. Kebiasaan memberi hadiah rumah ini dilanjutkan putera-putera Liem terhadap jenderal-jenderal penting baru berikutnya dalam rezim. Makanya, menjadi sesuatu yang menarik bila kelak di kemudian hari, dalam kerusuhan Mei 1998, rumah Liem Soei Liong di daerah Gunung Sahari Jakarta, bobol oleh pembakaran dan penjarahan. Di mana perlindungan fisik para jenderal? Peristiwa itu, setidaknya ikut menjadi indikasi betapa dukungan ABRI terhadap Soeharto memang Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (3)

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

BUKANNYA tak pernah muncul nama-nama sebagai calon ‘rival’ menuju kursi RI-1, namun semua selalu kandas dengan sendirinya melalui ‘ketegangan kreatif’ itu. Mulai dari Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Soemitro sampai Jenderal Muhammad Jusuf. Sebenarnya di luar mereka dan di luar Jenderal AH Nasution –yang menjadi rival pertama dalam persaingan menuju kursi RI-1 menggantikan Soekarno– masih cukup banyak tokoh, terutama para jenderal, yang memendam keinginan menjadi number one. Tetapi para jenderal yang disebutkan terakhir ini, terlalu besar ketergantungan mati-hidupnya dari Soeharto, sehingga tak lebih tak kurang mereka hanya berani berada dalam penantian mendadak ketiban ‘wasiat’ Soeharto untuk naik ke kursi nomor satu itu. Ketergantungan mereka pada umumnya menyangkut karir, fasilitas dan akses keuangan. Rata-rata, untuk akses keuangan, mereka berhubungan ‘baik’ dengan Liem Soei Liong sang penjaga ayam petelur dan telur-telur emasnya.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO. Siapa berani memerahi Liem Soei Liong? (foto download suara pengusaha)

Siapa berani memarahi Liem Soei Liong? Sejauh yang bisa diceritakan, di antara para jenderal, hanya dua di antaranya yang pernah menegur dan memarahi Liem Soei Liong, yaitu Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal HR Dharsono saat menjadi Dubes RI di Bangkok, memarahi Liem karena perilaku seenaknya ketika ia ini bertamu ke kedutaan untuk menemuinya. HR Dharsono tidak peduli Liem itu ‘sahabat’ Soeharto atau siapa. Jangankan Liem, Jenderal Alamsyah yang saat itu menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto pun pernah ditegur HR Dharsono, akibat perilaku anak-isteri sang menteri yang membuat masalah di Bangkok. Tetapi yang lebih seru adalah cerita mengenai teguran Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf kepada Liem yang datang ke kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya. Bahkan, diceritakan bahwa Jenderal Jusuf sampai melayangkan tamparan ke wajah taipan besar ‘sahabat’ Soeharto ini.
Mungkin Soeharto yang punya kebiasaan ‘ngopi’ bersama ‘sahabat’ lamanya itu di Cendana, hanya bisa diam dan kecut ketika Liem melaporkan insiden ini kepadanya. Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (2)

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (1)

MESKI Liem Soei Liong lahir hampir 5 tahun lebih awal dan meninggal lebih lambat 4 tahun dari Jenderal Soeharto, keduanya seakan ditakdirkan hampir seumur hidup –sejak mula pertama bertemu di pertengahan tahun 50-an– bersama dalam kekuasaan negara di Indonesia. Satu dalam kancah kekuasaan politik dan pemerintahan, sedang satu lainnya dalam kekuasaan ekonomi. Minggu, 10 Juni 2012, kemarin, Liem Soei Liong yang juga dikenal sebagai Sudono Salim, meninggal dunia di Singapura. Menyusul Jenderal Soeharto,yang meninggal dunia lebih dulu pada 27 Januari 2008.

LIEM SOEI LIONG, ‘TELUR EMAS’. “Jenderal Soeharto mampu membuat orang-orang di lingkaran kekuasaannya tidak bersatu dan saling berlomba satu sama lain”. “Dengan ketrampilan tinggi dalam memainkan seorang ‘pangeran’ melawan ‘pangeran’ lainnya dan percaya akan perlunya suatu ‘ketegangan kreatif’ di antara para pembantunya, Soeharto menerapkan gaya divide et impera, pecah belah dan kuasai”. (foto download; suara pengusaha).

Sejak pertengahan tahun 1940-an, Liem Soei Liong –yang baru datang ke Indonesia di tahun 1937, saat berusia 21 tahun– selain berdagang kelontong dan menjual secara kredit, membantu memasok kebutuhan tentara nasional Indonesia. Untuk tentara, Liem Soei Liong memasok pakaian, obat-obatan, sabun, makanan sampai peralatan militer. Ini kemudian berlanjut dengan kegiatan membekali Divisi Diponegoro di tahun 1950-an yang berkedudukan di Semarang. “Seorang Letnan Kolonel yang bernama Soeharto mempunyai tugas mengurus suplai divisi itu”, tulis Ahmad D. Habir dalam buku Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto (1999). “Dalam urusan awal ini, antara orang Tionghoa imigran dan perwira pribumi, terletaklah benih kerjasama seumur hidup”.

Selama masa kerjasama awal di Divisi Diponegoro, Liem Soei Liong, pernah ‘pasang badan’ untuk Soeharto dalam soal dump truk. Tapi dalam peristiwa barter gula dari Jawa Tengah dengan beras dari Singapura, Kolonel Soeharto yang sudah menjadi Panglima Diponegoro hampir tersandung. Kolonel Soeharto dituduh melakukan penyimpangan barter gula-beras itu dengan bantuan Bob Hasan (The Kian Seng) –‘anak’ angkat Jenderal Gatot Soebroto– dan Liem Soei Liong. Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter adalah untuk membiayai beberapa Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (1)

Dalam Persilangan dan Konspirasi Menuju 30 September 1965 (2)

KETIKA melapor kepada Ahmad Yani, beberapa jam kemudian pada hari Kamis petang 30 September 1965 itu, selain menyampaikan laoran pertemuannya dengan Sudisman dan Aidit tiga hari sebelumnya, Sugandhi juga menyampaikan pembicaraannya dengan Soekarno pagi itu. Siangnya Sugandhi sebenarnya berusaha bertemu langsung dengan Ahmad Yani, tapi tidak berhasil karena Yani ada acara di luar Markas Besar AD, sehingga malamnya barulah ia bisa melapor dan itu hanya per telepon. Itupun, pada mulanya telepon Sugandhi hanya ditampung oleh ajudan, karena Yani sedang menerima tamu, Mayjen Basoeki Rachmat. Di kalangan kolega dan atasan, Sugandhi dikenal sebagai seorang yang banyak humor. Kedekatannya secara pribadi dengan Soekarno diketahui dengan baik oleh para kolega dan atasan, termasuk Yani. Meskipun kerap ‘usilan’ dan ‘bandel’ ia termasuk disayangi oleh Soekarno. Apakah pengenalan Yani terhadap Sugandhi itu, mempengaruhi daya dan cara cerna Yani terhadap apa yang disampaikan Sugandhi ?

SOEKARNO-OMAR DHANI-AHMAD YANI. “..saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi mengenai dirinya, dan masih meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengenadlikan PKI” (Repro).

Menurut Sugandhi, saat itu Yani masih meyakini bahwa Bung Karno takkan sepenuhnya termakan insinuasi PKI mengenai dirinya, dan meyakini bahwa sang Presiden masih sanggup mengendalikan PKI. Bahwa Soekarno akan menegur atau mendamprat dirinya, Yani sudah tahu dan siap, karena ia sudah mendapat pemberitahuan dari istana untuk menghadap Panglima Tertinggi Jumat pagi 1 Oktober 1965. Pemberitahuan disampaikan oleh Komisaris Besar Polisi Sumirat, salah satu ajudan Presiden. Perlu dicatat bahwa secara samar-samar, sebenarnya Yani telah pula mendengar informasi bahwa ada kemungkinan Soekarno akan mencopotnya dari jabatan Menteri/Pangad. Dan sebuah informasi amat rahasia yang juga diterima Yani, bahwa setelah itu ia akan ‘dilempar’ ke atas, meskipun belum jelas ke sebelah mana. Apakah akan mengulangi pola mutasi sebelumnya, sekali lagi akan menggantikan posisi Abdul Harris Nasution, namun dalam kadar kewenangan lebih lemah ? Menurut Drs Achadi, salah seorang menteri dalam kabinet Soekarno, Yani akan diangkat menjadi Waperdam IV suatu posisi baru yang diciptakan Soekarno khusus untuk Achmad Yani.

Berdasarkan pembicaraan per telepon dengan Yani, saat itu Sugandhi mendapat kesan, rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Soekarno. Tentang ucapan-ucapan Sudisman dan Aidit yang katanya akan memukul dan memberi pelajaran pada para pimpinan Angkatan Darat, dinyatakan Yani sebagai provokasi dan pancingan. Untuk apa? Agar Angkatan Darat mengambil tindakan terhadap PKI untuk kemudian dimanfaatkan sebagai momentum mendiskreditkan Angkatan Darat dan dipersalahkan Soekarno. Meskipun pada mulanya Sugandhi pun tidak punya pikiran ‘berat’ mengenai ucapan Sudisman dan Aidit, tanggapan Yani mengenai hal itu, lagi-lagi dianggap Sugandhi sebagai tanda terlalu percaya diri. Tapi tentu saja tak ada lagi yang bisa lebih jauh dilakukannya atas sikap sang Panglima Angkatan Darat itu. Dengan Sugandhi petang itu, Yani tak menyinggung telah adanya laporan-laporan intelijen mengenai rencana-rencana gerakan dalam waktu dekat, dari pihak PKI misalnya, meskipun Yani dengan nada biasa saja sempat mengatakan “kita harus berhati-hati” terhadap PKI dan kawan-kawannya yang mengelilingi Pemimpin Besar Revolusi. Padahal, di antara laporan intelijen yang disampaikan Asisten I Intelijen Mayor Jenderal Soewondo Parman beberapa waktu sebelumnya, ada satu bagian yang semestinya berkategori sangat penting, yakni rencana suatu gerakan, yang DDaynya adalah tanggal 19 atau 20 September 1965, didorongkan oleh PKI untuk mengeliminasi sejumlah perwira teras Angkatan Darat. Adalah menarik, bahwa dalam daftar tersebut tercantum pula nama Mayjen Soeharto, Mayjen Mursjid dan Brigjen Sukendro –yang kemudian ternyata tak disentuh sama sekali.

Sebenarnya, bagi Yani laporan Sugandhi pada 30 September 1965 itu, adalah laporan yang sepenuhnya ‘basi’, karena bahkan laporan Suwondo Parman yang menyebutkan D-Day 18 atau 20 September telah berlalu sepuluh hari tanpa ada kejadian apa pun. Sedangkan laporan Sugandhi, secara objektif bisa saja dianggap kurang masuk akal, karena apakah Sudisman dan Aidit bisa begitu naif menyampaikan rencana gerakan mereka begitu saja? Lagipula, terminologi dalam ‘dua-tiga hari ini’ yang disampaikan Sugandhi itu, jauh lebih tidak definitif tentang timing dibandingkan laporan Asisten Intelijen, Mayor Jenderal Soewondo Parman. Asisten intelijen ini juga sempat melaporkan desas-desus tentang rencana penculikan sejumlah jenderal. Soewondo Parman menerima laporan ini antara lain dari Brigjen Yoga Soegama, perwira yang ditarik Pangkostrad Soeharto dari pos atase pertahanan Kedutaan Besar RI di Beograd Jugoslavia. Mayor Jenderal Soewondo Parman, yang meminta dukungan bukti dari laporan Yoga itu, menganjurkan Yoga untuk mencari bukti setelah Yoga menyatakan belum punya bukti. Yoga menjanjikan akan menyelidiki lebih jauh. Tapi sepanjang yang dapat dicatat, tidak lagi pernah kembali melapor kepada S. Parman membawa bukti-bukti, sampai penculikan ternyata betul-betul terjadi 1 Oktober 1965 dinihari.

Selain memberi informasi, justru menurut Soebandrio dalam memoarnya (‘Kesaksianku tentang G30S’, 2000) Yoga juga menyampaikan pesan Soeharto agar Soewondo Parman untuk berhati-hati sehubungan dengan isu penculikan. Terhadap penyampaian pesan ini, Soebandrio memberikan konotasi tertentu terkait dengan analisa pribadinya mengenai adanya peranan khusus Mayjen Soeharto dalam terjadinya Peristiwa 30 September 1965. Soebandrio menggambarkan adanya klik khusus yang terdiri dari tiga perwira eks Diponegoro, terdiri dari Mayjen Soeharto, Brigjen Yoga Soegama dan Kolonel Ali Moertopo. Mereka ini sejak awal telah ‘bergiat’ dalam pengaturan posisi dan kepentingan khusus dalam kekuasaan, yang bermula antara lain dalam soal jabatan Panglima Kodam Diponegoro, beberapa tahun yang lalu.

Beberapa waktu sebelumnya, dalam suatu pertemuan langsung dengan Sugandhi, Yani juga sempat menyampaikan dengan nada serius –lebih tepatnya menyampaikan kejengkelan– tentang adanya perwira-perwira Angkatan Darat yang mencantelkan diri ke mana-mana, termasuk ke partai-partai politik, seperti pada PKI misalnya, karena ambisi pribadi. Termasuk yang mengincar jabatan Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam bahasa Jawa, Yani menyampaikan juga agar Sugandhi jangan seperti beberapa perwira yang kebetulan bisa dekat ke Panglima Tertinggi, lalu menjelek-jelekkan pimpinan Angkatan Darat dengan harapan bisa mendapat tempat. Waktu itu, Yani sempat menyebut beberapa nama.

Posisi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam rangka pertarungan kekuasaan di seputar Soekarno kala itu, posisi pimpinan Angkatan Darat memang merupakan salah satu sasaran incaran, baik berdasarkan strategi politik, maupun perkawinan kepentingan politik dengan ambisi pribadi. Terkait nama Soeharto, menurut penuturan Siti Suhartinah Soeharto, pernah ada –lebih dari sekali, dengan cara yang berbeda-beda– yang menyampaikan semacam ‘pancingan’, “bagaimana kalau pak Harto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat?”. Itu, karena sebagai Panglima Kostrad, Jenderal Soeharto selalu mewakili Menteri Pangad dalam berbagai acara, bilamana Yani berhalangan. Pelantikan Brigjen Soemitro sebagai Panglima Mulawarman Februari tahun 1965 di Kalimantan Timur umpamanya, dilakukan Mayjen Soeharto mewakili Menteri Panglima Angkatan Darat. “Itu kami anggap tidak mungkin, pak Yani kan masih ada”, demikian ibu Tien, “dan apa dikira menjadi Pangad itu gampang ? Saya sendiri, sebagai isteri, terus terang merasa tidak sanggup. Saya sudah merasakan setiap kali pak Yani pergi, pak Harto itu mewakili, sehingga saya pun ikut menjalani sebagai pendamping wakil Pangad”. Sebenarnya, memang ada semacam tatacara yang merupakan kebiasaan dan disepakati, antara Letnan Jenderal Ahmad Yani dengan Mayor Jenderal Soeharto, bahwa dalam keadaan tertentu bila Menteri Pangad berhalangan maka Panglima Kostrad –dahulu Kostrad dikenal sebagai Tjaduad, Cadangan Umum AD– yang akan mewakili sebagai pimpinan Angkatan Darat. Suatu kebiasaan yang merupakan kelanjutan kebiasaan masa masih berlakunya SOB. Presiden Soekarno pun mengetahui hal ini. Bahwa kemudian, dalam konteks tersebut Soeharto kerap disebut-sebut sebagai pengganti Yani kelak, tentulah tidak mengherankan. Selain itu, beberapa jenderal AD lainnya merasa bisa membaca ‘bahasa tubuh’ Soeharto dan menyimpulkan bahwa keinginan seperti itu ada juga pada diri Soeharto betapa pun samarnya. Sebenarnya, Mayor Jenderal Soeharto adalah seorang yang tak mudah ‘dibaca’, apalagi dengan sekedar melihat ekspresi wajahnya dan atau sekedar berdasarkan ucapannya secara harfiah.

Namun, di samping nama Soeharto, sampai September 1965 itu, beredar pula sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai calon kuat untuk menjadi Menteri Panglima AD, terutama karena kedekatan secara pribadi dan langsung dengan Soekarno, ataupun karena ‘dukungan’ kekuatan politik aktual. Beberapa tokoh PKI berkali-kali menyampaikan nama Mayor Jenderal Pranoto sebagai kandidat. Sementara itu Soekarno sendiri pernah berbicara dengan nada menjanjikan jabatan Menteri Panglima AD itu kepada beberapa jenderal yang memegang komando, di antaranya yang paling menonjol adalah Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, salah satu divisi terkemuka dan paling diperhitungkan kala itu. Nama Gatot Soebroto, yang pernah jadi Wakil Kasad, yang punya kedekatan khusus dengan Soekarno, jauh hari sebelumnya juga pernah disebut-sebut. Hanya saja, Letnan Jenderal Gatot Soebroto meninggal tahun 1962. Tapi menjelang akhir September 1965, muncul nama ‘baru’, ketika beredar kuat berita bahwa Soekarno akan mengangkat Mayor Jenderal Mursjid sebagai Menteri Pangad yang baru dan hal itu akan disampaikan Soekarno kepada Yani yang menurut jadwal menghadap pada 1 Oktober pagi.

Nama-nama yang disebut sebagai calon pengganti Yani, pada umumnya diketahui tidak punya kedekatan dengan Yani, untuk tidak secara terbuka menyebutnya sebagai rival Yani selama beberapa tahun terakhir. Mayor Jenderal Soeharto misalnya, tak punya faktor kedekatan subjektif dengan Yani, kecuali kedekatan objektif yang semata-mata dalam kerangka masalah kedinasan. Bahkan diantara kedua jenderal itu ada ganjalan yang berasal dari masa lampau. Tatkala menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto terlibat kasus yang dinilai sebagai penyimpangan –barter gula dengan beras ke Singapura– yang dilakukan bersama pengusaha Liem Soei Liong dan Bob Hasan. Dalam pembelaan dirinya, Soeharto menyebutkan dana hasil barter adalah untuk membiayai beberapa kebutuhan Kodam, antara lain untuk kesejahteraan prajurit, tetapi laporan dari beberapa perwira bawahannya menyatakan tidak demikian. Yani yang waktu itu menjadi salah satu Asisten Kasad, amat marah dan mengusulkan kepada Kasad Nasution agar Soeharto dipecat. Bahkan Yani digambarkan sempat melakukan sentuhan fisik. Pemecatan urung, padahal naskah Surat Keputusan itu –yang diajukan Kasad Nasution– sudah di meja Presiden Soekarno, karena Wakil Kasad Mayjen Gatot Soebroto maju membela Soeharto dan menyatakan Soeharto masih bisa dibina. Nyonya Siti Suhartinah dikabarkan ikut ‘berjuang’, menemui Gatot Soebroto memohon bantuan untuk menyelamatkan karir suaminya, dan berhasil.  Soeharto hanya harus melepaskan jabatannya sebagai Panglima Diponegoro dan masuk pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) Bandung, yang kala itu dipimpin Brigjen (kemudian, Mayjen) Soewarto.

Pranoto dan Mursjid, yang juga disebutkan namanya untuk posisi Panglima AD, jelas ada pada posisi dan ‘aspirasi politik’ yang berseberangan dengan Yani. Sedangkan menyangkut Ibrahim Adjie, situasinya tak terlepas dari rivalitas yang cukup kuat di antara tiga divisi terkemuka di pulau Jawa –bahkan di seluruh Indonesia– yakni Siliwangi-Diponegoro-Brawidjaja, meskipun umumnya berlangsung di bawah permukaan. Tapi pada tahun 1963-1964 sampai pertengahan 1965, Siliwangi sedang di atas angin karena keberhasilannya dalam mengakhiri pemberontakan DI-TII berturut-turut di Jawa Barat dan kemudian Sulawesi Selatan. Di Jawa Barat Kartosoewirjo tertangkap dan di Sulawesi Selatan Kahar Muzakkar disergap dan tertembak mati 4 Pebruari 1965. Bahkan atas instruksi Soekarno kepada Yani, Divisi Siliwangi diberikan penghargaan Sam Karya Nugraha, yang penyerahannya dilakukan di Bandung 25 Agustus 1965.

Berlanjut ke Bagian 3

 

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (4)

“Di Indonesia, semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan cina. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. “Maka suatu pendekatan kepada penguasa yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan”. “….‘Persahabatan’ konglomerat dengan kekuasaan –meskipun tetap berlangsung di belakang layar– pada ahirnya makin baku dan tampaknya berlangsung hingga kini. Bahkan, banyak tokoh dari lingkaran konglomerasi kini berada dalam posisi-posisi kunci kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sedikit banyaknya ini terkait dengan pemilihan umum langsung, yang makin membutuhkan effort yang makin besar bila ingin meraih kemenangan. Dan hanya ada dua sumber dana yang paling mungkin yakni kalangan konglomerat dan melakukan korupsi atau bekerjasama dengan para pelaku korupsi masa lampau”.

TEGUH Sutantyo bukan satu-satunya nama yang dikaitkan dengan penguasa dalam mendulang keuntungan bisnis di masa-masa awal Orde Baru. Tercatat beberapa nama warga negara keturunan lainnya, seperti Nyoo Han Siang, Liem Soei Liong (belakangan memakai nama Indonesia, Sudono Salim), Yap Swie Kie yang bernama Indonesia Sutopo Yananto, Go Swie Kie dan Liem Haryanto. Go Swie Kie juga senantiasa dikaitkan namanya dengan Bulog. Pada bulan Desember 1972, dua perusahaan Go Swie Kie dicabut izin usahanya oleh Departemen Perdagangan, termasuk bersama dalam kelompok 31 perusahaan yang dicabut izinnya karena digolongkan sebagai perusahaan yang tidak beritikad baik. Tetapi Bulog mencoba mempertahankan kedua perusahaan yang bernama Fa Fardy dan CV Sumber Mas itu, dengan alasan “karena kedua perusahaan itu masih mempunyai perjanjian kontrak dengan Bulog”.

Pada bulan-bulan awal tahun 1971 di tengah-tengah kesibukan menjelang pemilihan umum, nama-nama itu mencuat sepak terjangnya melalui sebuah artikel di Bangkok Post yang terbit di ibukota Thailand, ditulis oleh Frank Hawkins wartawan Associated Press. Artikel itu mendapat sambutan oleh pers tanah air seperti Harian Nusantara, Harian Pedoman, Harian Kami, Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di ibukota serta Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung. Sorotan-sorotan yang dilancarkan media pers nasional itu, senantiasa mendapat jawaban dan reaksi para cukong tersebut yang disalurkan terutama melalui sebuah harian ibukota yang dipimpin oleh tokoh pers BM Diah, Harian Merdeka. Sehingga terjadilah apa yang diistilahkan sebagai ‘perang percukongan Indonesia’.

‘Perang percukongan’ ini pecah setelah kekecewaan menumpuk oleh kegagalan berbagai upaya pemberantasan korupsi pada tahun 1970. Sepanjang tahun 1970 yang mengecewakan itu, terlihat betapa Komisi IV Wilopo-Hatta yang dibentuk untuk memerangi korupsi, ternyata memang betul-betul hanyalah macan ompong. Terlihat pula bahwa kekuatan kelompok korupsi dan kekuasaan mematahkan –mungkin lebih tepatnya tidak mengacuhkan– kritik-kritik dan gerakan anti korupsi yang dilancarkan generasi muda, terutama mahasiswa, kala itu.

Rangsangan pertama masalah percukongan terjadi tatkala satu titik sensitif teraba oleh Frank Hawkins dengan menghubung-hubungkan dua unsur ‘tenar’ Indonesia, yakni pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sering dijuluki cukong dengan kalangan tertentu di tubuh militer yang ada pada deretan para jenderal. “Penguasa tertentu telah bersatu kepentingan dengan cina-cina tertentu yang selama ini kita sebut cukong-cukong cina”, tulis salah satu pers Indonesia itu. Nyoo Han Siang, satu diantara para cukong itu, yang oleh Frank Hawkins disebut sebagai ‘perwira’ yang memimpin logistik Opsus, mendapat sorotan lanjut pers Indonesia. Nyoo menurut pers adalah seorang pengusaha cina Indonesia yang terkemuka di Jakarta, yang dikenal orang sebagai seorang ahli potret muda untuk suratkabar komunis yang terlarang Harian Rakjat. “Nyoo dikenal sebagai seorang  yang dekat pada beberapa Jenderal Angkatan Darat dan begitu kuatnya ia sehingga tidak mau tunduk pada tekanan-tekanan supaya ia memakai nama Indonesia seperti telah dilakukan oleh kebanyakan keturunan cina lainnya”.

Opsus yang disebut-sebutkan di sini adalah singkatan dari Operasi Khusus. Nama ini dilekatkan kepada suatu kelompok kerja berjaringan luas yang dibentuk oleh Jenderal Ali Murtopo yang karena sepak terjangnya kemudian dianggap sebagai suatu jaringan intelejens. Pada awalnya Opsus ini dibentuk untuk kepentingan khusus menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya yang telah dibebaskan dari tangan Belanda. Setelah Pepera, jaringan ini ternyata tetap eksis dan diketahui merambah ke mana-mana dan ikut menangani berbagai persoalan politik.

Untuk pembelaan, Nyoo Han Siang diwawancarai oleh Harian Merdeka (12 Pebruari 1971), konon di Hongkong. Merdeka bertanya “Sejak kapan saudara diangkat menjadi perwira logistik Opsus ?”. Nyoo menjawab “Ah, itu berita Nusantara yang mengutip Bangkok Post”. Nyoo mengatakan akan bangga sekali dan merasa terhormat sekali “seandainya saya benar telah diangkat… Akan tetapi mustahillah pemerintah atau Jenderal Ali Murtopo akan mempercayakan jabatan yang begitu penting itu kepada saya”. Ditanya mengenai persobatannya dengan para Jenderal, Nyoo menjawab santai “Usaha memelihara hubungan ini termasuk sebagai unsur  penting bagi para pengusaha”. Tentang percukongan, dengan cerdik ia menjawab “Ah, terlalu dibesar-besarkan. Saya anggap isu-isu ini sangat memerosotkan martabat pejabat-pejabat Indonesia dan juga martabat pemerintah Indonesia di mata rakyat dan di mata luar negeri”. Sebelumnya ia pernah dikutip Majalah Ekspres berpendapat, “Di Indonesia, semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan cina. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. Maka suatu pendekatan kepada penguasa yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan. Ia beranggapan apa yang dikemukakannya itu sebagai suatu hal yang wajar. Sebaliknya ia menolak anggapan kedekatan dengan pejabat sama dengan perlindungan, apalagi suatu sharing kekuasaan. “Mustahil bisa terjadi”. ‘Persahabatan’ konglomerat dengan kekuasaan –meskipun tetap berlangsung di belakang layar– pada ahirnya makin baku dan tampaknya berlangsung hingga kini. Bahkan, banyak tokoh dari lingkaran konglomerasi kini berada dalam posisi-posisi kunci kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sedikit banyaknya ini terkait dengan pemilihan umum langsung, yang makin membutuhkan effort yang makin besar bila ingin meraih kemenangan. Dan hanya ada dua sumber dana besar yang paling mungkin yakni kalangan konglomerat dan melakukan korupsi atau bekerjasama dengan para pelaku korupsi masa lampau.

Nyoo merambah berbagai bidang usaha, tidak terkecuali dunia hiburan. Ia memiliki sebuah kelab malam di kawasan airport Kemayoran bernama ‘Golden Gate yang berarti ‘gerbang emas’. Memiliki kelab malam kala itu sangat berkegunaan ‘taktis’, karena kelab malam yang lengkap dengan wanita-wanita cantiknya biasanya sangat ampuh dalam upaya memikat dan pendekatan ke berbagai kalangan, termasuk ke kalangan pejabat atau keluarganya.

Masih dengan melibatkan nama Ali Murtopo, adalah mengenai Yap Swie Kie alias Sutopo Jananto pemilik perusahaan bernama CV Berkat. Perusahaan Sutopo itu, dikabarkan semula didirikan oleh salah satu Aspri Presiden, Jenderal Ali Murtopo, sewaktu memimpin Opsus. CV Berkat dilukiskan menguasai sebagian besar impor dan ekspor, ke dalam dan dari Irian Barat (kini disebut Papua). Suatu usaha yang setiap tahunnya mencakup jumlah bernilai US$ 20,000,000. Kembali Harian Merdeka tampil membela seraya meluncurkan tuduhan “koran-koran ekstrim kanan sunglap fakta”. Merdeka memuat bantahan Sutopo Jananto yang menyebutkan angka omzet lebih rendah. Hanya US$ 6,000,000. bukan US$ 20,000,000. Selain itu, jatah bisnis di Irian Barat, ditangani pula oleh 5 perusahaan Jakarta lainnya di tambah 15 perusahaan setempat. Sutopo Jananto menolak kalau dikatakan CV Berkat lah satu-satunya perusahaan yang beroperasi di Irian Barat.

Satu perusahaan yang paling disorot pers –dan juga kaum kritis lainnya– adalah pabrik tepung terigu Bogasari di  pantai utara Jakarta bersisian dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Letak yang dekat Tanjung Priok ini karena pabrik ini menggunakan bahan baku gandum curah yang didatangkan dari Australia. Kapal-kapal pembawa gandum ini langsung merapat ke dermaga milik pabrik dan mencurahkan langsung gandum-gandum itu ke mulut rangkaian awal produksi. Pers menggambarkan PT Bogasari Flour Mill “milik beberapa orang Indonesia-cina, termasuk putera Liem Soei Liong yang baru berusia 25 tahun”. Yang dimaksud agaknya adalah Anthony Salim. Anggaran dasar perusahaan menyatakan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh harus diserahkan kepada Yayasan Dharma Putra Kostrad, suatu yayasan yang bernaung di bawah Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat). PT Bogasari yang merupakan proyek Liem Soei Liong mendapat fasilitas dan pelayanan kredit sangat istimewa dari Bank Indonesia. Hampir 3 milyar rupiah –suatu angka cukup fantastis kala itu– padahal menurut penilaian Harian Nusantara saat itu PT Bogasari masih sangat sukar untuk dianggap serius bagi kualifikasi satu usaha yang bonafide.

Pers menggambarkan lebih jauh bahwa dalam akta pendirian Bogasari disebutkan 40 persen sisa keuntungan diperuntukkan bagi Yayasan Harapan Kita. Yayasan itu telah diketahui umum dikemudikan oleh kalangan-kalangan berpengaruh dalam pemerintahan dan pelindungnya adalah Nyonya Tien Suharto. Berita mengenai pembagian keuntungan 40 persen itu secara formal dibantah oleh pimpinan Yayasan Harapan Kita.

“Tidak benar isu-isu yang akhir-akhir ini dilancarkan seakan-akan dana kredit telah dibagikan secara sinterklas kepada apa yang dinamakan cukong-cukong”, kata Gubernur Bank Sentral Drs. Radius Prawiro dalam bantahan melalui TVRI. Sementara itu Ketua Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Prof. Widjojo Nitisastro menjelaskan bahwa suatu pengawasan yang ketat dalam penggunaan kredit luar negeri takkan memungkinkan lagi banyak pengusaha yang tak sehat, walaupun ia mempunyai banyak koneksi dengan pejabat-pejabat berwewenang. Jendral Alamsyah, Sekertaris Negara, ikut memberi komentar “Sistem katabellece untuk mendapatkan jatah-jatah sekarang ini tak berlaku lagi”. Terbukti kemudian bahwa sistem katabellece dan kolusi ternyata panjang umurnya.

Terhadap keterangan Radius, muncul tantangan dari komisi keuangan DPR-GR untuk membeberkan keterangan lengkap kepada siapa saja kredit-kredit diberikan. Mereka memberondongkan pertanyaan seperti “Dapatkah Gubernur Bank Sentral menyebutkan klasifikasi berapa persen dari perusahaan swasta itu adalah pribumi dan berapa persen cina?”. Dan “Dapatkah Gubernur Bank Sentral membantah pemberian kredit pada Liem Soei Liong dalam proyek PT Bogasari sebesar Rp 2,8 milyar?”. Bilangan milyar kala itu adalah bilangan yang fantastis bagi masyarakat, layaknya bilangan triliunan di masa kini.

Liem Soei Liong saat itu memang sedang menanjak sebagai bintang yang paling disorot. Meskipun sebenarnya, sepak terjangnya kala itu masih tergolong amat kecil dibandingkan masa-masa berikutnya, sejak 1975 selama lebih dari 20 tahun hingga saat kejatuhan Soeharto. Ia, pada awal 70-an itu terlibat dengan perdagangan tekstil 1 juta yard dengan pihak militer, serta berbagai bisnis fasilitas dari puluhan perusahaannya seperti PT Waringin dan lainnya. Profil Liem tak luput dibeberkan sampai detail-detail seperti tentang ibunya yang masih bermukim di Fukien daratan Cina RRC. Bahwa ia hingga tahun 1966 masih menolak kewarganegaraan RI dan mempertahankan kewarganegaraan RRC. Bahwa tahun 50-an ia termasuk tokoh terhormat (VIP) rezim Peking dan bahwa di Fukien ia mendirikan sekolah yang memakai namanya dan tetap dibiayainya selama bertahun-tahun. Kasus tekstil sejuta yard dikabarkan waktu itu akan dipersoalkan dalam salah satu rapat komisi Hankam/LN di DPR-GR. Liem Soei Liong dalam cerita percukongan tergambarkan sebagai orang hebat yang luas hubungannya dengan kalangan penguasa sampai level teratas, yakni Soeharto. Bangkok Post memberi contoh “Perusahaan penerbangan Seulawah, salah satu dari kedua perusahaan penerbangan yang dimiliki oleh Liem Soei Liong, dipimpin oleh Brigjen Sofjar”.

Panglima Daerah Militer Brawijaya Mayjen Wahono –yang belakangan setelah memasuki masa purnawirawan menjadi Ketua Umum Golkar 1988-1993 dengan Sekjen Rachmat Witoelar– pernah dikutip perkataannya “Siapa yang dapat menjamin bahwa cukong-isme bersih dari subversi? Tentara harus menjadi pelindung bagi pengusaha pribumi”. Pandangannya saat itu murni dari sudut pandang keamanan, sehingga berbeda dengan pandangan sejumlah rekan jenderalnya yang berbau komersial.

Masalah percukongan ini telah mengundang pula Kepala Bakin Mayjen Sutopo Juwono ikut berkomentar. Ia mengatakan percukongan punya dua aspek yakni ekonomi dan keamanan. Pemanfaatan secara maksimal modal domestik termasuk modal WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan cina “adalah suatu keharusan”. Usaha untuk mendorong kemampuan modal pribumi janganlah hendaknya dipertentangkan dengan kebijaksanaan pemanfaatan modal domestik semaksimal mungkin. Ia memperingatkan isu-isu percukongan yang akhir-akhir ini disebarkan oleh sementara surat kabar, dapat menggangu kemantapan ekonomi dan ketenangan masyarakat. “Jika saya membaca sementara surat kabar, saya diberi kesan seolah-olah aparat sekuriti kita sudah pada tidur semua. Dan yang bangun seakan-akan hanya beberapa orang penulis artikel maupun pojok-pojok harian-harian tersebut”, ucapnya dengan sinis kepada pers. “Saya pun tidak mengerti maksud sementara oknum yang menyatakan menunjang kepemimpinan nasional orde baru, tetapi dalam tulisan-tulisannya menimbulkan suasana yang bertentangan”.

Akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1972, di depan sidang pleno DPR, Soeharto menyebutkan “Jika golongan non pribumi sudah memilih Indonesia sebagai tanah air dan bangsanya, dan golongan pribumi telah menerima mereka sebagai bagian dari bangsanya, maka kerjasama antara kedua golongan ini merupakan suatu keharusan”. Seraya mengakui adanya ketidakselarasan dalam masyarakat sehingga ada kontradiksi golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah, Soeharto mengatakan sedang diteliti jalannya untuk mencapai keselarasan. Soeharto menganjurkan dalam rangka mencapai keselarasan itu hendaknya golongan non pribumi mau mengikutsertakan pengusaha pribumi sebagai co-partner. Dengan cara ini sekaligus proses asimilasi dapat diperlancar dan dipercepat. “Kiranya tidak ada golongan yang perlu merasa gelisah karena hal-hal yang saya kemukakan ini. Dan juga tidak perlu ada golongan lain mengharapkan yang bukan-bukan”.

Tanggapan Mingguan Mahasiswa Indonesia terhadap pidato kenegaraan Presiden Soeharto 16 Agustus 1972 ini cukup menarik untuk dikutip. Mesti diakui, tulis mingguan tersebut dalam editorialnya, bahwasanya setiap kali segi pribumi dan non pribumi dimunculkan sebagai topik perdebatan, bagaimana pun berhati-hatinya, akan memberikan semacam perasaan agak lain, yang tak enak. Tiada lain karena memang penggunaan istilah kontroversial pribumi dan non pribumi adalah mengandung kepekaan-kepekaan. “Presiden mengharapkan agar kita semua melihat masalah ini dalam duduk persoalan yang wajar, dengan membuang jauh-jauh prasangka buruk dari semua pihak dengan menyingkirkan sikap rasialistis”. Sesungguhnya memang bukan perbuatan yang layak untuk memperuncingnya karena ia mudah merembet-rembet menjadi suatu yang tak terkendalikan lagi, cukup dengan mengutik-ngutik salah satu mata rantainya. Bahayanya, bila hari ini membiarkan pengeksploatiran perbedaan ras misalnya maka besok akan menyusul lagi pengeksploatiran yang semacamnya. Apakah itu berdasarkan kesukuan, provinsialisme, perbedaan agama dan sebagainya yang selama ini senantiasa diusahakan untuk dikikis. “Ketegangan berdasar pembedaan semacam itu, patut diakui dijumpai dalam perekonomian atau dunia usaha. Suasana akan menjadi lebih tajam bila perbedaan itu dilembagakan sebagai pengelompokan sehingga nampak adanya dominasi sebagai kelompok”.

Berlanjut ke Bagian 5

Keadilan Sosial nan Tak Kunjung Tiba (2)

“Keasyikan memecah isyarat dan syair dalam permainan ‘Serikat Bunga’ ini, mungkin menyamai kalau tak melebihi keasyikan tebak menebak bagaimana akhir dari kasus Bank Century di akhir tahun 2009 dan awal 2010 ini…”.

DENGAN ‘pembatasan’ berupa larangan masuk kasino bagi yang bukan keturunan cina, dan tak terjangkaunya tempat permainan dan perjudian lainnya –karena tetap mahal bagi kalangan bawah– maka yang paling merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah adalah judi lotto dan kupon Hwa Hwee yang beredar ke seluruh pelosok Ibukota bahkan menembus wilayah-wilayah pinggirannya, merembes ke wilayah tetangga. Adalah Hwa Hwee yang diselenggarakan sejak 15 Januari 1968 yang kemudian betul-betul ‘memikat’ dan memabukkan rakyat hingga ke strata paling bawah. Tampilnya Hwa Hwee –sejenis permainan judi cina yang terjemahannya berarti ‘Serikat Bunga’– bermula dari ketidakpuasan Ali Sadikin terhadap penghasilan dari lotto yang ‘hanya’ Rp. 600 juta pada tahun 1971 yang berarti hanya 5 persen dari anggaran metropolitan.

“Sadikin menyadari bahwa lotto itu tidak menarik penghasilan dalam jumlah yang besar. Tumpukan uang ada di Glodok, jantung keuangan Jakarta, dan orang-orang cina tidaklah tertarik oleh permainan angka-angka yang langsung, tanpa bumbu daya tarik yang khas ‘Tionghwa’. Apa yang dibutuhkan bukanlah sekedar permainan, tetapi suatu bentuk permainan yang menarik orang-orang cina”. Demikian dituliskan Donald K. Emerson dalam Jurnal Asia, Mei 1973. Setelah berhasilnya kasino di Glodok, di mana terdapat aneka ragam permainan yang betul-betul ‘Tionghwa’, Gubernur Ali Sadikin lalu memutuskan untuk mencoba Hwa Hwee.

Permainan ‘Serikat Bunga’ ini sempat merubah Jakarta menjadi ruang judi yang besar di waktu malam dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemain –dengan dampak sosial dan psikologis yang sulit untuk dihitung– penuh keasyikan yang memabukkan oleh misteri terselubung pada matriks 6 kali 6 yang terdiri dari 36 kotak segi empat. Apalagi pada pagi harinya kode atau isyarat diberikan di depan kasino dalam gerakan-gerakan mirip jurus silat, lalu kode-kode tertulis berupa syair, teka teki dan gambar juga diedarkan, dibarengi kode desas-desus, menambah rasa sensasi. Tiap kotak mengandung tiga unsur yakni gambar tokoh dalam pakaian tradisional cina, seekor khewan dan satu angka (1 sampai 36). Dalam satu atau dua kotak, gambar-gambar seperti kecapi atau peti mayat, menggantikan gambar orang atau khewan. Keasyikan memecah isyarat dan syair dalam permainan ‘Serikat Bunga’ ini, mungkin menyamai kalau tak melebihi keasyikan tebak menebak bagaimana akhir dari kasus Bank Century di akhir tahun 2009 dan awal 2010 ini: Siapa-siapa saja anggota ‘Serikat Bunga’ dalam kasus Bank Century ini. Siapa pemimpin serikat. Siapa pemetik kecapi yang memainkan irama permainan. ‘Khewan’ –yang sebenarnya adalah simbol tokoh– malang mana saja yang akan dikorbankan? Dan, siapa akhirnya yang akan masuk ‘peti mati’, entah sebagai ‘martir’ bagi sang pemimpin, entah sebagai yang kalah?

Seorang pemain yang bertaruh untuk kotak yang menang, memperoleh 25 kali lipat dari taruhannya. Taruhan terkecil adalah 50 rupiah –yang senilai kurang lebih 2500 rupiah sekarang–  dan tak ada batas terbesar untuk taruhan. Pemain dapat bertaruh berapa saja kelipatan dari 50 rupiah, pada kotak yang sama atau pada gabungan beberapa kotak. Sekali pun pada dasarnya permainan Hwa Hwee ini semacam dengan roulette –tapi disederhanakan– ia merupakan pengalaman yang terasa lebih sungguh-sungguh dan memikat. Roulette pada dasarnya adalah permainan angka. Sedang Hwa Hwee adalah permainan gambar dan angka yang berakar pada tradisi yang kaya dengan arti-arti terselubung. Meskipun asal usul Hwa Hwee tak terlalu jelas, dapat diketahui bahwa ia berkembang di Cina Tenggara –Fukien dan Kwantung– lalu dari sana menyebar melalui masyarakat cina di Asia Tenggara. Tiga puluh enam tokoh dalam gambar itu menurut hikayatnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang mati sebagai martir pada abad 12 di daerah Kirin tatkala mempertahankan Cina dari serangan pasukan berkuda suku ‘pengembara’, suku tartar. Menurut perkiraan yang spekulatif, bahwa kelompok tokoh pahlawan inilah yang merupakan ‘Serikat Bunga’ yang asli, yang namanya kini dipakai untuk permainan tersebut. Penyesuaian seekor khewan dengan masing-masing tokoh itu, lebih jauh kemungkinannya adalah merupakan hubungan-hubungan sejarah, mistik dan kesusasteraan yang ada untuk tiap-tiap gambar dalam kotak. Tapi pengaruh ‘Serikat Bunga’ yang dahsyat akhirnya membuat pucuk kekuasaan dan para penentu kebijakan takut sendiri. Hwa Hwee dilarang setelah berlangsung hanya 5 bulan. ‘Serikat Bunga’ gugur dini sebagai korban keberhasilannya sendiri. Tapi ‘serikat judi’ lainnya masih berjalan hingga tahun 1973 sampai adanya larangan judi secara menyeluruh oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).

Sejumlah ulama dan kelompok politik berideologi agama menentang perjudian resmi tersebut untuk alasan moral. Terhadap serangan itu Ali Sadikin pernah berkata “Biarlah saya dikatakan gubernur judi, tetapi hasil yang saya dapatkan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak yang tidak mendapatkan sekolah”. Dituduh maksiat, ia mengatakan dalam satu wawancara “Coba saja saudara pikir, dari enam buah tempat perjudian kemudian saya lokalisir di suatu tempat, toh dosanya dari enam dikurangi lima menjadi satu. Dan pahalanya ? Dari tidak ada menjadi lima”. Namun tak kurang banyaknya pula ulama yang bisa menyediakan argumentasi lengkap dengan ayat-ayat untuk membela kebijakan Ali Sadikin. Paling kurang, berhenti menghujat dirinya. Bahkan tokoh seperti AM Fatwa –yang waktu itu masih duduk sebagai seorang pejabat DKI di bidang kerohanian– pun tak bersuara untuk menunjukkan penolakan terhadap kebijakan judi Ali Sadikin, untuk tidak mengatakan ‘mendukung’ kebijakan judi Ali Sadikin. Tapi apapun, memang nyatanya Ali Sadikin berhasil menerobos kelangkaan biaya dan berhasil menyajikan pembangunan kasat mata bagi Jakarta, namun Ali tak pernah menghitung berapa social cost dan psychological cost yang harus dibayar oleh rakyat yang hendak disejahterakannya itu. Sebagai hasil sampingan, muncul kelompok ‘cukong’ baru yang berhasil menumpuk dana dalam jumlah besar yang digunakan untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis baru. Salah satu diantaranya adalah Jan Darmadi yang me’waris’i kerajaan judi di Jakarta dari ayahnya.

Kasino-kasino di Jakarta, selain memberi dampak ‘keberhasilan’ penghimpunan dana untuk menunjang pembangunan Jakarta oleh Ali Sadikin, juga menjadi tempat membuang duit – karena lebih banyak kalahnya daripada menangnya– bagi  sejumlah pengusaha swasta maupun pengusaha pelat merah. Salah satu nama tersohor sebagai pelanggan tetap kasino-kasino di Jakarta adalah Sjarnubi Said, seorang pejabat Pertamina di bawah Ibnu Sutowo, yang kemudian menjadi pengusaha perakitan mobil Mitsubishi Krama Yudha Tiga Berlian yang terkenal dengan Colt pickup buntungnya yang laris. Beberapa putera petinggi negara juga diketahui diam-diam menjadi pelanggan kasino-kasino di Jakarta. Salah seorang putera petinggi yang sangat berkuasa, selain di kasino-kasino Jakarta bahkan kerap bermain judi di kasino-kasino Las Vegas Amerika dan menjadi pelanggan ‘kalah habis-habisan’. Meskipun ada larangan resmi bagi para pejabat (dan yang bukan keturunan cina) untuk masuk kasino, tak jarang beberapa pejabat bea cukai dan instansi-instansi ‘basah’ lainnya terlihat masuk ke gelanggang kasino, lewat jalan khusus.

Mendampingi kasino, Ali Sadikin juga mengizinkan dibukanya berbagai tempat hiburan dan rekreasi, termasuk yang khusus dewasa seperti nightclub dan steambath. Di tempat-tempat seperti inilah banyak pejabat menengah dan yang lebih bawah mengisi waktu luangnya setelah pulang kantor. Pegawai-pegawai instansi ‘basah’ di lingkungan Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, menjadi pelanggan tetap di tempat-tempat mandi uap di Taman Impian Jaya Ancol yang dekat dari tempat kerja mereka. Pada tahun-tahun 70-an Pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi gerbang ekspor dan impor Indonesia terbesar, menjadi tempat memperoleh uang yang enak bagi para aparat yang mengawasi pintu ekonomi Indonesia itu. Uang-uang ekstra yang diperoleh dengan cara-cara inkonvensional untuk sebagian dihabiskan di tempat-tempat hiburan Ancol yang penuh gadis-gadis muda cantik. Taman Impian Jaya Ancol dibangun oleh PT Pembangunan Jaya yang merupakan perkongsian pengusaha keturunan cina asal Sulawesi Tengah Ir Ciputra dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota.

Penguasa pelabuhan kala itu adalah BPP (Badan Pelaksana Pelabuhan) Tanjung Priok. Dan di situ juga terdapat instansi-instansi seperti bea cukai, imigrasi, polisi pelabuhan. Pegawai-pegawai di sana termasuk makmur. Salah seorang Kepala BPP yang terkenal –bahkan nyaris legendaris–  dan sungguh dicintai anak buahnya adalah Fanny Habibie yang belakangan sempat menjadi Dirjen Perhubungan Laut. Kecintaan anak buah agaknya tak terlepas dari tingkat kemakmuran yang tercipta bagi para bawahan di masa tersebut. Betapa besar peredaran uang yang ada dan terjadi di gerbang ekonomi Indonesia itu, mungkin bisa tergambarkan oleh pengakuan pemerintah sendiri bahwa pada tahun 1971 hingga bulan September saja ada Rp.55 milyar –mungkin kini setara dengan 2,75 triliun rupiah– uang yang lolos dan gagal masuk kas negara akibat kolusi antara pejabat-pejabat bea cukai dengan pengusaha.

Pusat hiburan lainnya yang terdiri dari sejumlah kelab malam dan tempat pijat plus mandi uap antara lain adalah Taman Hiburan Lokasari (Princen Park) dan sekitarnya di Jalan Mangga Besar di jantung pecinan. Di sinilah anak-anak muda keturunan Cina yang sudah terjun ke dalam bisnis menghabiskan sebagian keuntungan bisnisnya untuk bersenang-senang.

‘Revolusi’ dunia hiburan  metropolitan ini, tak memakan waktu yang lama untuk menjalar ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, tak terkecuali di propinsi-propinsi yang kata orang ‘ketat agamanya’. Ibukota propinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang (Makassar) dianggap menjadi ‘peniru’ paling berhasil dari Jakarta di tangan seorang Wali Kota bergaya ‘urakan’ Kolonel AD Muhammad Daeng Patompo. Ia ‘mendobrak’ wilayah bertradisi ketat itu dengan membuka judi lotto dan berhasil memperoleh dana inkonvensional untuk pembangunan fisik kota pantai itu. Argumentasi-argumentasinya tak berbeda jauh dengan argumentasi Ali Sadikin. Maka ia dijuluki sebagai ‘Ali Sadikin’nya Ujung Pandang –suatu gelar yang ditolaknya mentah-mentah karena menurutnya Ali Sadikin lah yang harus disebut ‘Patompo’nya Jakarta.

Tapi diantara semua daerah, lagi-lagi Bandung dan Jawa Barat lah –sebagai hinterland Jakarta– yang betul-betul merasakan dampak-dampaknya hingga yang paling negatif. Selain menjalarnya perjudian ala kasino Jakarta ke Bandung –meskipun dengan skala lebih kecil– maka maraknya dunia hiburan di Jakarta memberi dampak tersendiri. Perempuan-perempuan yang dibutuhkan sebagai penghibur di tempat-tempat hiburan Jakarta, terbanyak direkrut dari wilayah-wilayah Jawa Barat, selain Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Pada mulanya, hanya berupa arus yang terdiri dari para perempuan yang memang sudah berprofesi penghibur, namun pada akhirnya meningkat dengan cara-cara rekrutmen melalui bujuk rayu dan tipu daya –pola trafficking– dengan korban perempuan-perempuan yang belum pernah berprofesi penghibur sebelumnya. Ketika tempat-tempat hiburan malam juga dibuka di Bandung dan beberapa kota lain di Jawa Barat, arus rekrutmen dengan cara serupa kembali lagi terjadi. Rekrutmen-rekrutmen untuk Jakarta dan Bandung serta beberapa kota lain kemudian, praktis terjadi terus menerus.

Elite-elite baru dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan bisnis lebih memilih menghibur diri di nightclub yang berkelas. Pengunjung kelab-kelab malam tak pandang bulu, mulai dari taipan kelas Liem Soei Liong hingga para eksekutif pemerintahan kelas direktur jenderal. Bahkan tokoh muda yang fenomenal dan modern dari NU, Subchan ZE, termasuk diantara pengunjung kelab-kelab malam, sehingga suatu waktu ia diskors oleh para Kyai NU karena pergaulannya ‘yang bebas’ dengan perempuan-perempuan yang ‘bukan muhrim’.  Subchan tidak melanggar hukum negara, tetapi ia terkena hukum berdasarkan konvensi lingkungannya dan cukup mengganggu perjalanan politiknya selama beberapa waktu. Namun di akhir hidupnya ‘kehormatan’nya dipulihkan. Pada peringatan hari ketujuh meninggalnya di pekan terakhir Januari 1973, dalam suatu acara doa yang dipimpin KH Masykur dari NU, dihadiri oleh tokoh-tokoh politik eks kawan maupun eks lawan politiknya, sang kyai mengajak para hadirin memberi kesaksian atas diri almarhum. Bertanya KH Masykur, apakah Subchan semasa hidupnya adalah orang yang baik? Bergemuruh jawaban “Baiiiiik!”.

Sejumlah wilayah pemukiman baru yang mewah dan eksklusif pun dibangun di beberapa penjuru Ibukota. Kembali, ini pun ditiru oleh beberapa kota lain. Pangsa pasarnya tercipta sejalan dengan bertumbuhnya kelompok kaya baru. Paling berprestise adalah perumahan mewah Pondok Indah di selatan Jakarta. Kini di tempat tersebut berderet-deret pemukiman bagi sejumlah orang kaya Jakarta, yang pada tahun 70-an itu masih dapat diibaratkan ‘The New Emerging Forces’ alias orang kaya baru. Segera terlupakan bahwa tanah-tanah tempat berdirinya rumah-rumah mewah itu dibebaskan melalui darah dan air mata penduduk asli wilayah itu, melalui proses pembebasan yang penuh penekanan dan paksaan. Rakyat hanya kebagian pembayaran harga rendah, sementara sejumlah aparat yang ikutan dalam penanganan pembebasan tanah bisa ikut kaya.

Munculnya keluarga-keluarga kaya baru merupakan fenomena yang mengiringi proses pembangunan fisik Indonesia waktu itu. Menjadi kaya, bukan hal yang terlarang di Indonesia. Malah tumbuhnya kelompok kaya baru, bilamana dibarengi penggunaan dana secara produktif bisa menopang pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau itu adalah hasil dari korupsi, masalahnya menjadi lain. Apalagi jika digunakan sekedar untuk tujuan semata-mata konsumtif dalam suatu pola konsumerisme. Fenomena munculnya kelompok kaya baru di Indonesia ini diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait erat dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu yang bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan –dan memang tidak pernah ada effort yang memadai ke arah itu. Meski seperti angin yang dapat dirasakan namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal,  bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno –yang masih penuh dengan retorika kemiskinan dan proletarisme perjuangan negeri tertindas.

Gejala-gejala korupsi yang menurut akal sehat mudah untuk disimpulkan kebenaran keberadaannya, menjadi hal yang musykil dijangkau oleh hukum karena memang belum memadainya perangkat undang-undang yang ada saat itu. Maka penyusunan perangkat undang-undang anti korupsi senantiasa diserukan namun dari waktu ke waktu untuk seberapa lama tetap tinggal sebagai wacana di kalangan kelompok kritis. Azas pembuktian terbalik apalagi, meskipun selalu diwacanakan, tampaknya sudah menjadi suatu kemustahilan permanen untuk bisa dimasukkan dalam perundang-undangan, termasuk dalam undang-undang anti korupsi yang sekarang berlaku. Dan pada kutub sebaliknya pemberantasan korupsi bahkan hanya menjadi retorika dalam bentuk janji kalangan penguasa sekedar untuk meredam kritik, namun tidak pernah bersungguh-sungguh mau diwujudkan hingga malahan menjadi pola korupsi sistemik. Situasi itu, berlaku hingga kini .

Berlanjut ke Bagian 3