Tag Archives: Ir Ciputra

74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (2)

Di masa Presiden Soeharto, dengan sedikit sekali pengecualian, tak ada pejabat pemerintahan apalagi tokoh militer atau purnawirawan, berada di tubuh dua partai –PPP dan PDI– di luar Golkar. Hanya ada 1-2 menteri berasal dari partai, yang diangkat Presiden Soeharto, seperti misalnya Sunawar Sukawati dan KH Idham Khalid. Seluruh pegawai negeri harus menjadi anggota Korpri yang kiblat politiknya adalah Golkar.

Sementara di masa kekuasaan Presiden Soekarno, khususnya pada masa Nasakom 1959-1965, partai-partai unsur Nasakom mendapat tempat dalam kabinet. Ada menteri-menteri dari PKI dan yang se-aspirasi, seperti Nyoto, Jusuf Muda Dalam, Oei Tjoe Tat dan Soebandrio. Ada menteri-menteri dari partai-partai atau kelompok unsur Agama, seperti KH Idham Khalid, Wahib Wahab, A. Sjaichu, Leimena, Frans Seda, Tambunan. Ada pula menteri-menteri unsur Nasionalis, seperti Ali Sastroamidjojo, Chairul Saleh, Supeni, serta dari kalangan militer.

Wealth Driven Politic dan Wealth Driven Law

Presiden Soekarno memfaedahkan sejumlah pengusaha besar untuk membantu mengisi pundi-pundi Dana Revolusi. Dalam deretan pengusaha terkemuka itu terdapat antara lain, Markam, Hasjim Ning, Dasaad Musin dan Rahman Aslam. Tokoh-tokoh pengusaha yang menjadi besar karena kemudahan akses dengan kekuasaan ini, menjadi tamu tetap dalam pesta-pesta malam tari lenso di Istana Presiden yang juga disemarakkan oleh sejumlah artis. Continue reading 74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (2)

‘Kandas’ di Gerbang Poros Maritim Tanjung Priok

BERTABUR legenda, mitos dan cerita mistik dari masa ke masa, hingga kini Tanjung Priok masih selalu muncul sebagai bahan narasi tentang berbagai peristiwa miris. Sebagian besar terkait ‘kegagalan’ pengelolaan ekonomi di pelabuhan  yang merupakan gerbang utama ekonomi negara yang terletak di wilayah pantai utara Jakarta itu. Berturut-turut terjadi peristiwa, dimulai dengan ‘kemarahan’ Presiden Jokowi di bulan Juni terhadap dwelling time berkepanjangan di pelabuhan utama itu. Lalu, penggeledahan kantor Pelindo II (28/8) oleh Bareskrim Polri yang dipimpin langsung oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso. Dan terbaru, pendobrakan beton penghalang jalur kereta api ke area pelabuhan di bulan September oleh Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya Dr Rizal Ramli.

            Tetapi, penguasa pelabuhan Tanjung Priok, Direktur Utama Pelabuhan Indonesia II, Richard Joost Lino, sepertinya bukan orang sembarangan. Ia cukup berani membela diri dan menolak untuk dituding sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kelambanan penanganan bongkar muat di Tanjung Priok. Ia menunjuk delapan kementerian ‘pemberi izin’ sebagai penyebab kelambatan. “Saya sudah sampaikan kepada Presiden. Presiden sudah tahu,” demikian ia dikutip pers (22/6) di kompleks kantor kepresidenan.. “Kemarin itu kan sandiwara besar saja. Kasihan Presiden.”

PELABUHAN TANJUNG PRIOK DI IKLAN MANTEL KOMPAS. ". Beberapa tahun menduduki posisi pengendali pelabuhan terbesar dan terpenting, mungkin identik dengan penguasaan seluk beluk internal interest maupun tali temali dengan kalangan tinggi pengambil keputusan dalam negara. Niscaya, ini semacam kesaktian gaya baru."
PELABUHAN TANJUNG PRIOK DI IKLAN MANTEL KOMPAS. “. Beberapa tahun menduduki posisi pengendali pelabuhan terbesar dan terpenting, mungkin identik dengan penguasaan seluk beluk internal interest maupun tali temali dengan kalangan tinggi pengambil keputusan dalam negara. Niscaya, ini semacam kesaktian gaya baru.”

Paling menggemparkan tentu adalah, tatkala Bareskrim Polri melakukan penggeledahan di kantornya dan menyegel sejumlah crane, Lino segera angkat telpon di depan sejumlah wartawan, menghubungi Menteri/Ketua Bappenas Sofyan Djalil. Kepada sang menteri ia menyampaikan komplain terhadap cara-cara penanganan Bareskrim, disertai ultimatum bahwa kalau begini caranya ia “mengundurkan diri saja besok.” Menteri BUMN Rini Soemarno meneruskan komplain Lino ke Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Kata pers, Wakil Presiden Jusuf Kalla, selain Jenderal Luhut Pandjaitan yang baru saja masuk kabinet sebagai Menteri Koordinator, juga mengajukan ‘pembelaan’. Tidak mengherankan bila kemudian, saat Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso dilepas dari jabatannya dan dimutasi menjadi Kepala BNN, publik menghubungkannya dengan ‘kesaktian’ Lino. Padahal, selama beberapa bulan dalam posisinya sebagai Kepala Bareskrim, Budi Waseso dalam opini publik sempat menjelma sebagai Jenderal Polisi yang paling ‘ditakuti’. Bahkan ada yang sampai berlebihan menggambarkannya bagaikan Pangkopkamtib baru yang bisa menangkap siapa saja. Maka cukup menakjubkan juga bahwa Jenderal Budi Waseso bisa kandas di gerbang utama poros maritim Indonesia itu.

Namun terlepas dari kontroversi penilaian mengenai Budi Waseso, sebenarnya cukup menarik juga cara-cara ‘keras’ dan extra ordinary yang dijalankannya dalam menjalankan tugas ‘penegakan hukum’ beberapa bulan ini. Tapi ia memulai dengan satu momentum tidak pas bagi ‘ukuran’ dan norma publik tentang penegakan hukum, yaitu pilihan waktu dan cara menangani dua pimpinan KPK yang men-tersangka-kan Komjen Budi Gunawan. Dan satu lagi, kalangan atas kekuasaan negara saat ini, rupanya sangat tak berselera dengan cara ‘keras’ dan ‘menggemparkan’ ala Budi Waseso, sebagaimana kalangan atas itu juga tak menyukai cara keras dan tak kenal kompromi waktu penindakan yang kerap dilakukan KPK.

Kesaktian beraroma mitos. DALAM banyak narasi, Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Priok, memang kerap terkait tokoh-tokoh dengan ‘kesaktian’. Ada legenda mengenai tokoh La Goa yang kebal senjata. Tapi tewas dalam gempuran seorang ‘tokoh’ perempuan yang juga punya ‘kesaktian’, yang dikenal sebagai (maaf) Tetek Panjang. Lainnya adalah tokoh setengah sejarah setengah legenda, bernama Mbah Priok. Tokoh ini menurut ‘catatan’ yang ada bernama Muhammad Hasan bin Muhammad Al-Haddad yang lahir dan berkiprah untuk meluruskan cara dan keadaan beragama di kalangan pemeluk Islam dua ratus tahun setelah Islam berjaya di Jayakarta. Ketika ia meninggal, ia dimakamkan di Koja Tanjung Priok, dan pasti di ‘luar’ kemauannya sendiri, bila makamnya kemudian dikeramatkan.

Pada saat pelabuhan peti kemas akan diperluas –patungan perusahaan Korea dengan PT Pelindo– berhembus berita bahwa makam keramat itu akan ikut tergusur. Sehingga ketika petugas Satpol PP, 14 April 2010, turun membebaskan tanah di sekitar makam, terjadi bentrokan berdarah dengan massa di wilayah itu. Sejumlah korban jiwa jatuh dalam bentrokan brutal tersebut. (Baca, https://socio-politica.com/2010/04/18/mencari-tempat-mbah-priok-dalam-sejarah/). Nama dan peran Dirut Pelindo II, RJ Lino, kala itu banyak disebutkan dalam kaitan peristiwa dan penyelesaiannya. Di luar persoalan makam, sebenarnya para ahli waris makam juga memiliki lahan luas di sekitar makam yang ingin diambil dengan ‘harga’ murah dan dengan ‘paksaan’ kekuasaan oleh PT Pelindo. Sebaliknya, pada pihak lain, untuk menghadapi kekuasaan, para ahli waris dan para pengacaranya banyak menggunakan senjata retorika agama yang tak relevan dalam ‘pertempuran’ hukum sebelum dan sesudah peristiwa berdarah ini. Dua kutub sikap dan kepentingan ini telah memperuncing ketegangan.

Pelabuhan Tanjung Priok sendiri dengan posisinya sebagai gerbang utama perekonomian Indonesia, tak pelak memang banyak melahirkan berbagai ‘kesaktian’. Sepanjang sejarahnya, hampir semua pemegang otoritas di pelabuhan itu, cenderung memperoleh banyak ‘kesaktian’. Dari yang besar hingga ‘raja-raja’ kecil di bidangnya masing-masing, entah itu dari instansi pemerintahan dan keamanan, entah itu dari ‘kerajaan’ bawah tanah yang terdiri dari kalangan preman pelabuhan. Dari sebuah buku terbitan tahun 2004 (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas), bisa dipetik cerita bahwa pada tahun-tahun 1970-an misalnya, Pelabuhan Tanjung Priok menjadi tempat memperoleh uang yang enak bagi para aparat yang mengawasi pintu ekonomi terbesar Indonesia itu. Uang-uang ekstra yang diperoleh dengan cara-cara inkovensional untuk sebagian dihabiskan di tempat-tempat hiburan Taman Impian Jaya Ancol yang penuh gadis-gadis muda cantik. Tempat hiburan segala usia itu dibangun oleh PT Pembangunan Jaya yang merupakan perkongsian pengusaha Ir Ciputra dengan Pemerintah DKI Jakarta.

Penguasa pelabuhan ibukota kala itu disebut BPP (Badan Pelaksana pelabuhan) Tanjung Priok. Di situ terdapat pula instansi-instansi seperti bea cukai, imigrasi, kepolisian pelabuhan dan sebagainya, yang masing-masing menguasai loket-loket tanda tangan yang diperlukan untuk keluar-masuknya barang di sana. Pegawai-pegawai di wilayah pelabuhan itu termasuk makmur. Salah seorang Kepala BPP Tanjung Priok yang terkenal –bahkan nyaris legendaris– dan sungguh dicintai anak buahnya adalah Fanny Habibie, yang belakangan sempat menjadi Dirjen Perhubungan Laut. Fanny adalah adik Presiden Ketiga RI BJ Habibie. Kecintaan anak buah agaknya tak terlepas dari tingkat kemakmuran yang tercipta bagi para bawahan di masa tersebut. Betapa besar peredaran uang yang terjadi di gerbang ekonomi tersebut, mungkin bisa tergambarkan oleh pengakuan pemerintah sendiri bahwa pada tahun 1971 hingga bulan September saja, ada 55 miliar rupiah uang yang lolos dan gagal masuk kas negara akibat kolusi antara pejabat-pejabat bea cukai dengan pengusaha. Diperhitungkan dengan kurs dollar waktu itu, kurang lebih kebocoran tersebut setara dengan 2 triliun rupiah masa kini.

Ketika penyimpangan di kalangan bea cukai tak ‘tertahankan’ lagi oleh pemerintah sendiri, empat belas tahun kemudian pada tahun 1985 Menteri Keuangan Ali Wardhana bertindak drastis ‘memarkir’ Bea Cukai. Peran Bea Cukai untuk mengamankan pemasukan negara dari sektor ekspor-impor itu selama beberapa tahun diserahkan kepada SGS (Société Générale de Surveillance) sebuah lembaga pemeriksa dan pengawasan yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss. SGS dengan sub kontraktor Sucofindo menjalankan tugas pemeriksaan dan pengawasan dengan baik dan sekaligus juga menjalankan fungsi menekan ekonomi biaya tinggi di pelabuhan yang bila dibiarkan suatu waktu akan mengandaskan ekonomi Indonesia.

Kesaktian berwajah baru. Apakah Richard Joost Lino yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Pelindo II –penguasa Pelabuhan Tanjung Priok dan pelabuhan-pelabuhan di wilayah II– mewarisi tradisi ‘kesaktian’ para penguasa Tanjung Priok sebelumnya? Seakan menjawab dan menangkis semua sorotan yang sedang tertuju pada BUMN yang dipimpinnya, Richard Joost Lino memasang iklan mantel 4 halaman dari suratkabar paling terkemuka di Indonesia saat ini, Harian Kompas edisi Senin 14 September. Kemegahan Tanjung Priok sebagai proyek maritim tertampilkan dengan jelas melalui iklan full colour tersebut. “Terminal kontainer 1 pelabuhan New Priok akan menjadi catatan sejarah yang penting bagi dunia maritim Indonesia,” bunyi head iklan bertarif milyaran tersebut –dan membuat Rizal Ramli agak gondok. “Emang duit nenek moyangnya apa?”

Di masa Presiden Republik Indonesia sangat gandrung –untuk tidak menyebutnya terobsesi penuh– terhadap cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia, orang dengan posisi, peran dan jam terbang tinggi di dunia kepelabuhanan seperti Richard Joost Lino, semestinya menjadi penting. Beberapa tahun menduduki posisi pengendali pelabuhan terbesar dan terpenting, mungkin identik dengan penguasaan seluk beluk internal interest maupun tali temali dengan kalangan tinggi pengambil keputusan dalam negara. Niscaya, ini semacam kesaktian gaya baru. Meski, di Indonesia, kerap berlaku juga metafora panas setahun bisa hapus oleh hujan sehari. Salah menempuh alur, bisa kandas. Jenderal Ibnu Sutowo yang dulu kala sempat tak terbayangkan bisa dilepas dari jabatannya di Pertamina, toh suatu ketika terhenti dengan mendapat konsesi ‘status quo’. Untuk sementara, bila Lino betul adalah faktor lepasnya Budi Waseso dari Bareskrim, seperti yang tercetak kuat dalam opini publik, itu artinya ia kuat sebagai pemegang kunci emas.

Tapi siapalah yang tahu persis jalannya hidup ini? (socio-politica.com)

65 Tahun Dengan 6 Presiden Indonesia (1)

“Beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari rezim kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tidak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka berhasil memanipulasi ‘sejarah’ diri mereka dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tidak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi”. “Selain itu, bisa dicatat bahwa pada setiap masa kepresidenan, selalu muncul juga tokoh-tokoh kaya baru yang tak terlepas dari permainan kekuasaan”.

SELAMA 65 tahun Indonesia merdeka, sejak 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia ganti berganti hidup bersama 6 presiden. Ada yang memerintah selama 20 tahun dan 32 tahun, yakni Soekarno dan Soeharto, ada yang berada pada posisinya ibarat hanya seumur jagung, yakni BJ Habibie. Sedang Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri harus berbagi separuh-separuh periode 5 tahun. Dan ada pula yang akan menjalaninya selama 10 tahun –atau dua periode, batas maksimal yang diperbolehkan UUD hasil amandemen– yakni Soesilo Bambang Yudhoyono, bila selamat melampaui masa kedua kepresidenannya saat ini tanpa impeachment atau musibah lainnya. Mudah-mudahan pula, keluhan melankolis Presiden tentang adanya di antara ‘anak bangsa’ yang menjadikan dirinya sasaran, maaf, assassinasi, takkan pernah menjadi kenyataan.

Meski ada yang saling meniru satu sama lain, secara umum para presiden yang enam orang itu, memiliki gaya menjalankan kekuasaan yang masing-masing berbeda. Namun keenam presiden itu memiliki beberapa kesamaan ‘penting’: Sama-sama belum berhasil menegakkan keadilan sosial –keadilan ekonomi, keadilan politik maupun keadilan hukum– bagi seluruh rakyat dalam suatu negara Indonesia yang aman dan sejahtera. Sebagian memerintah dengan gaya otoriter, sebagian dengan gaya feodalistik yang bercampur gaya kolonialistik, sebagian lagi mencoba gaya bercitra demokratis, namun pada hakekatnya sama-sama lebih banyak sekedar mengatasnamakan demokrasi, karena belum berhasilnya bangsa ini menemukan format yang pas dalam praktek berdemokrasi.

Persamaan lain yang sangat menonjol, terlihat secara empiris dari masa ke masa hampir sepenuhnya selama 65 tahun Indonesia merdeka, ialah kegagalan membasmi ‘keong racun’ korupsi. Beberapa di antara mereka, sebaliknya justru berhasil ‘mengendalikan’ korupsi untuk ditarik manfaatnya dalam rangka memelihara kekuasaan, atau setidaknya mempertahankan eksistensinya dalam kekuasaan. Dengan penamaan yang berbeda-beda, selalu terjadi money politics dalam rangka pemeliharaan kekuasaan, yang dengan sendirinya tak bisa tidak mengharuskan adanya kompromi-kompromi dengan para pemilik akumulasi kekayaan yang memperolehnya melalui cara busuk dalam iklim koruptif.

Para pemegang akumulasi kekayaan ini, terbagi dalam dua kelompok besar. Pertama, para konglomerat maupun pengusaha semi konglomerat yang berhasil makin memperbesar akumulasi kekayaan mereka melalui kerjasama ‘ekonomi’ dengan kalangan kekuasaan yang memerlukan biaya sebanyak mungkin dana untuk memperoleh maupun memelihara kekuasaan. Kedua, tak lain adalah kelompok maupun perorangan yang pernah berada di dalam kekuasaan yang di masa lampau saat berkuasa bisa mengakumulasi kekayaan melalui manipulasi atau pemanfaatan kekuasaan mereka saat itu. Kelompok kedua ini membutuhkan kompromi tertentu dengan penguasa ‘baru’ terutama sebagai pengamanan diri mereka agar tak dikutak-katik dosanya di masa lampau, bahkan kadangkala dengan kompromi itu masih bisa turut serta menjalankan peran atau pengaruh tertentu di belakang layar kekuasaan. Makanya dari waktu ke waktu kita selalu bisa melihat kehadiran tokoh-tokoh kategori ‘the man for all seasons’ untuk menghindari penyebutan kasar sebagai tokoh bunglon.

Khusus mengenai manusia segala cuaca –dalam konotasi negatif– ini, menurut catatan,  selalu ada dalam setiap masa peralihan antara dua kurun waktu sejarah. Melimpah dari satu zaman ke zaman berikutnya. Mereka kaum oportunis yang pernah menjadi kaki tangan aktif dari kaum kolonial misalnya, bisa beralih dan mendapat peran di masa-masa awal kemerdekaan. Tapi tentu kita harus membedakannya dengan lapisan pamong praja dalam birokrasi masa kolonial yang kemudian berperan positif dalam birokrasi Indonesia merdeka pada masa awal. Dalam masa peralihan antara rezim Soekarno dengan rezim Soeharto, terdapat pula beberapa tokoh oportunis yang berhasil melanggengkan peranannya dengan nyaman di sisi Soeharto. Sebagaimana kita bisa melihat betapa sejumlah tokoh yang sangat berperan menjalankan politik kekuasaan Soeharto, kemudian mendapat tempat dan peran yang tak kalah signifikannya di masa yang disebut era reformasi. Menarik pula, bagaimana beberapa orang yang ‘dilempar’ keluar dari rezim kekuasaan Jenderal Soeharto, karena melakukan korupsi –atau di’parkir’ karena berbagai alasan tidak terhormat lainnya– berhasil tampil kembali di masa reformasi. Mereka berhasil memanipulasi ‘sejarah’ diri mereka dengan gambaran ‘retorik’ pernah melakukan perlawanan terhadap Soeharto. Menjadi mulia meski tidak mulia di masa kekuasaan lampau yang tak dimuliakan lagi.

SEPERTI halnya dengan elite yang sedang berada dalam kekuasaan dan pemerintahan negara, para elite partai-partai politik yang sangat kuat orientasinya dalam mengejar kekuasaan, juga sama membutuhkan para konglomerat dan kelompok kedua yang terdiri dari eks lingkaran kekuasaan masa lampau. Itu sebabnya, sekarang ini, kita juga bisa melihat keberadaan sejumlah tokoh ex menteri atau ex pejabat yang cukup berduit –dan diharapkan masih punya sisa pengaruh dan jaringan atau akses tertentu– di sejumlah partai politik.

Di masa Presiden Soeharto, dengan sedikit sekali pengecualian, tak ada pejabat pemerintahan apalagi tokoh militer atau purnawirawan, berada di tubuh dua partai –PPP dan PDI– di luar Golkar. Hanya ada 1-2 menteri yang 1-2 kali berasal dari partai, yang diangkat Presiden Soeharto, seperti misalnya Sunawar Sukawati dan KH Idham Khalid. Seluruh pegawai negeri harus menjadi anggota Korpri yang kiblat politiknya adalah Golkar. Sementara di masa kekuasaan Presiden Soekarno, khususnya pada masa Nasakom 1959-1965, partai-partai unsur Nasakom mendapat tempat dalam kabinet. Ada menteri-menteri dari PKI dan yang se-aspirasi, seperti Nyoto, Jusuf Muda Dalam, Oei Tjoe Tat dan Soebandrio. Ada menteri-menteri dari partai-partai atau kelompok unsur Agama, seperti KH Idham Chalid, Wahib Wahab, A. Sjaichu, Leimena, Frans Seda, Tambunan. Ada pula menteri-menteri unsur Nasionalis, seperti Ali Sastroamidjojo, Chairul Saleh, Supeni, serta dari kalangan militer.

Presiden Soekarno memfaedahkan sejumlah pengusaha besar untuk membantu mengisi pundi-pundi Dana Revolusi. Dalam deretan pengusaha terkemuka itu terdapat antara lain, Markam, Hasjim Ning, Dasaad Musin dan Rahman Aslam. Tokoh-tokoh pengusaha yang menjadi besar karena kemudahan akses dengan kekuasaan ini, menjadi tamu tetap dalam pesta-pesta malam tari lenso di Istana Presiden yang juga disemarakkan oleh sejumlah artis atau bintang film jelita seperti Titiek Puspa, Nurbani Jusuf, Baby Huwae dan kawan-kawan. Untuk kehadiran-kehadiran mereka dalam pesta selebriti negara itu, pada akhirnya sejumlah artis mendapat hadiah mobil Fiat 1300 yang dianggap salah satu model puncak di Indonesia.

Di masa kekuasaan Soeharto, terdapat nama-nama konglomerat yang namanya banyak dikaitkan dengan istana, terutama Lim Soei Liong atau Sudono Salim. Selain Lim masih terdapat nama-nama yang dekat dengan istana atau kekuasaan, seperti Sutopo Jananto, Nyo Han Siang, Bob Hasan hingga Prayogo Pangestu, serta nama-nama pengusaha yang sekaligus berkategori kerabat Presiden atau kerabat keluarga istana, yakni Sudwikatmono, Sukamdani Sahid hingga Probosutedjo. Dan pada akhirnya, konglomerasi puteri-puteri presiden sendiri. Di luar mereka terdapat juga sejumlah nama pengusaha yang melejit karena kedekatan dengan para jenderal di sekeliling Soeharto, seperti misalnya yang punya kedekatan dengan Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, maupun Jenderal Sofjar, Jenderal Ahmad Tirtosudiro dan Jenderal Ibnu Sutowo. Pengusaha properti Ir Ciputra sementara itu melambung dalam berbagai kerjasama menguntungkan bersama pemda di masa Gubernur DKI Ali Sadikin. Ada juga konglomerat yang mati ‘digebug’ oleh orang sekitar istana, yakni William Surjadjaja pemimpin kelompok Astra pra akuisisi yang bermula dari kecerobohan bisnis puteranya, Edward Surjadjaja.

Tentu bisa disebut juga beberapa nama pengusaha, yang untuk sebagian besar kini sudah berkategori konglomerat, yang muncul di masa Soeharto, entah murni karena kemampuan kewirasusahaan mereka sendiri, entah kombinasi dengan pemanfaatan akses kepada kalangan kekuasaan, entah sepenuhnya karena keberuntungan dalam jalinan kolusi dengan kekuasaan. Beberapa nama bisa disebut, mulai dari Mohammad Gobel, Achmad Bakrie, Sudarpo dan Haji Kalla, sampai kepada nama-nama seperti Eka Tjipta Widjaja, Djuhar Sutanto, Ibrahim Risjad, Syamsu Nursalim, Marimutu Sinivasan, Mochtar Riyadi dan puteranya, putera-puteri Ibnu Sutowo, Po dan isterinya Hartati Murdaya, Arifin Panigoro, Sukanto Tanoto, Sugianto Kusuma, Tommy Winata dan Chairul Tandjung. Sinivasan bersaudara rontok dan Prajogo Pangestu melorot di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa nama bisa berkibar terus di masa BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputeri, bahkan tembus hingga masa Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu yang tetap survive adalah Hartati Murdaya yang kini bergabung di Partai Demokrat. Selain itu, bisa dicatat bahwa pada setiap masa kepresidenan, selalu muncul juga tokoh-tokoh kaya baru yang menurut George Junus Aditjondro dalam bukunya mengenai korupsi kepresidenan, tak terlepas dari permainan kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2

Keadilan Sosial nan Tak Kunjung Tiba (2)

“Keasyikan memecah isyarat dan syair dalam permainan ‘Serikat Bunga’ ini, mungkin menyamai kalau tak melebihi keasyikan tebak menebak bagaimana akhir dari kasus Bank Century di akhir tahun 2009 dan awal 2010 ini…”.

DENGAN ‘pembatasan’ berupa larangan masuk kasino bagi yang bukan keturunan cina, dan tak terjangkaunya tempat permainan dan perjudian lainnya –karena tetap mahal bagi kalangan bawah– maka yang paling merasuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kalangan bawah adalah judi lotto dan kupon Hwa Hwee yang beredar ke seluruh pelosok Ibukota bahkan menembus wilayah-wilayah pinggirannya, merembes ke wilayah tetangga. Adalah Hwa Hwee yang diselenggarakan sejak 15 Januari 1968 yang kemudian betul-betul ‘memikat’ dan memabukkan rakyat hingga ke strata paling bawah. Tampilnya Hwa Hwee –sejenis permainan judi cina yang terjemahannya berarti ‘Serikat Bunga’– bermula dari ketidakpuasan Ali Sadikin terhadap penghasilan dari lotto yang ‘hanya’ Rp. 600 juta pada tahun 1971 yang berarti hanya 5 persen dari anggaran metropolitan.

“Sadikin menyadari bahwa lotto itu tidak menarik penghasilan dalam jumlah yang besar. Tumpukan uang ada di Glodok, jantung keuangan Jakarta, dan orang-orang cina tidaklah tertarik oleh permainan angka-angka yang langsung, tanpa bumbu daya tarik yang khas ‘Tionghwa’. Apa yang dibutuhkan bukanlah sekedar permainan, tetapi suatu bentuk permainan yang menarik orang-orang cina”. Demikian dituliskan Donald K. Emerson dalam Jurnal Asia, Mei 1973. Setelah berhasilnya kasino di Glodok, di mana terdapat aneka ragam permainan yang betul-betul ‘Tionghwa’, Gubernur Ali Sadikin lalu memutuskan untuk mencoba Hwa Hwee.

Permainan ‘Serikat Bunga’ ini sempat merubah Jakarta menjadi ruang judi yang besar di waktu malam dengan puluhan ribu bahkan ratusan ribu pemain –dengan dampak sosial dan psikologis yang sulit untuk dihitung– penuh keasyikan yang memabukkan oleh misteri terselubung pada matriks 6 kali 6 yang terdiri dari 36 kotak segi empat. Apalagi pada pagi harinya kode atau isyarat diberikan di depan kasino dalam gerakan-gerakan mirip jurus silat, lalu kode-kode tertulis berupa syair, teka teki dan gambar juga diedarkan, dibarengi kode desas-desus, menambah rasa sensasi. Tiap kotak mengandung tiga unsur yakni gambar tokoh dalam pakaian tradisional cina, seekor khewan dan satu angka (1 sampai 36). Dalam satu atau dua kotak, gambar-gambar seperti kecapi atau peti mayat, menggantikan gambar orang atau khewan. Keasyikan memecah isyarat dan syair dalam permainan ‘Serikat Bunga’ ini, mungkin menyamai kalau tak melebihi keasyikan tebak menebak bagaimana akhir dari kasus Bank Century di akhir tahun 2009 dan awal 2010 ini: Siapa-siapa saja anggota ‘Serikat Bunga’ dalam kasus Bank Century ini. Siapa pemimpin serikat. Siapa pemetik kecapi yang memainkan irama permainan. ‘Khewan’ –yang sebenarnya adalah simbol tokoh– malang mana saja yang akan dikorbankan? Dan, siapa akhirnya yang akan masuk ‘peti mati’, entah sebagai ‘martir’ bagi sang pemimpin, entah sebagai yang kalah?

Seorang pemain yang bertaruh untuk kotak yang menang, memperoleh 25 kali lipat dari taruhannya. Taruhan terkecil adalah 50 rupiah –yang senilai kurang lebih 2500 rupiah sekarang–  dan tak ada batas terbesar untuk taruhan. Pemain dapat bertaruh berapa saja kelipatan dari 50 rupiah, pada kotak yang sama atau pada gabungan beberapa kotak. Sekali pun pada dasarnya permainan Hwa Hwee ini semacam dengan roulette –tapi disederhanakan– ia merupakan pengalaman yang terasa lebih sungguh-sungguh dan memikat. Roulette pada dasarnya adalah permainan angka. Sedang Hwa Hwee adalah permainan gambar dan angka yang berakar pada tradisi yang kaya dengan arti-arti terselubung. Meskipun asal usul Hwa Hwee tak terlalu jelas, dapat diketahui bahwa ia berkembang di Cina Tenggara –Fukien dan Kwantung– lalu dari sana menyebar melalui masyarakat cina di Asia Tenggara. Tiga puluh enam tokoh dalam gambar itu menurut hikayatnya adalah tokoh-tokoh sejarah yang mati sebagai martir pada abad 12 di daerah Kirin tatkala mempertahankan Cina dari serangan pasukan berkuda suku ‘pengembara’, suku tartar. Menurut perkiraan yang spekulatif, bahwa kelompok tokoh pahlawan inilah yang merupakan ‘Serikat Bunga’ yang asli, yang namanya kini dipakai untuk permainan tersebut. Penyesuaian seekor khewan dengan masing-masing tokoh itu, lebih jauh kemungkinannya adalah merupakan hubungan-hubungan sejarah, mistik dan kesusasteraan yang ada untuk tiap-tiap gambar dalam kotak. Tapi pengaruh ‘Serikat Bunga’ yang dahsyat akhirnya membuat pucuk kekuasaan dan para penentu kebijakan takut sendiri. Hwa Hwee dilarang setelah berlangsung hanya 5 bulan. ‘Serikat Bunga’ gugur dini sebagai korban keberhasilannya sendiri. Tapi ‘serikat judi’ lainnya masih berjalan hingga tahun 1973 sampai adanya larangan judi secara menyeluruh oleh Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban).

Sejumlah ulama dan kelompok politik berideologi agama menentang perjudian resmi tersebut untuk alasan moral. Terhadap serangan itu Ali Sadikin pernah berkata “Biarlah saya dikatakan gubernur judi, tetapi hasil yang saya dapatkan itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak-anak yang tidak mendapatkan sekolah”. Dituduh maksiat, ia mengatakan dalam satu wawancara “Coba saja saudara pikir, dari enam buah tempat perjudian kemudian saya lokalisir di suatu tempat, toh dosanya dari enam dikurangi lima menjadi satu. Dan pahalanya ? Dari tidak ada menjadi lima”. Namun tak kurang banyaknya pula ulama yang bisa menyediakan argumentasi lengkap dengan ayat-ayat untuk membela kebijakan Ali Sadikin. Paling kurang, berhenti menghujat dirinya. Bahkan tokoh seperti AM Fatwa –yang waktu itu masih duduk sebagai seorang pejabat DKI di bidang kerohanian– pun tak bersuara untuk menunjukkan penolakan terhadap kebijakan judi Ali Sadikin, untuk tidak mengatakan ‘mendukung’ kebijakan judi Ali Sadikin. Tapi apapun, memang nyatanya Ali Sadikin berhasil menerobos kelangkaan biaya dan berhasil menyajikan pembangunan kasat mata bagi Jakarta, namun Ali tak pernah menghitung berapa social cost dan psychological cost yang harus dibayar oleh rakyat yang hendak disejahterakannya itu. Sebagai hasil sampingan, muncul kelompok ‘cukong’ baru yang berhasil menumpuk dana dalam jumlah besar yang digunakan untuk membangun kerajaan-kerajaan bisnis baru. Salah satu diantaranya adalah Jan Darmadi yang me’waris’i kerajaan judi di Jakarta dari ayahnya.

Kasino-kasino di Jakarta, selain memberi dampak ‘keberhasilan’ penghimpunan dana untuk menunjang pembangunan Jakarta oleh Ali Sadikin, juga menjadi tempat membuang duit – karena lebih banyak kalahnya daripada menangnya– bagi  sejumlah pengusaha swasta maupun pengusaha pelat merah. Salah satu nama tersohor sebagai pelanggan tetap kasino-kasino di Jakarta adalah Sjarnubi Said, seorang pejabat Pertamina di bawah Ibnu Sutowo, yang kemudian menjadi pengusaha perakitan mobil Mitsubishi Krama Yudha Tiga Berlian yang terkenal dengan Colt pickup buntungnya yang laris. Beberapa putera petinggi negara juga diketahui diam-diam menjadi pelanggan kasino-kasino di Jakarta. Salah seorang putera petinggi yang sangat berkuasa, selain di kasino-kasino Jakarta bahkan kerap bermain judi di kasino-kasino Las Vegas Amerika dan menjadi pelanggan ‘kalah habis-habisan’. Meskipun ada larangan resmi bagi para pejabat (dan yang bukan keturunan cina) untuk masuk kasino, tak jarang beberapa pejabat bea cukai dan instansi-instansi ‘basah’ lainnya terlihat masuk ke gelanggang kasino, lewat jalan khusus.

Mendampingi kasino, Ali Sadikin juga mengizinkan dibukanya berbagai tempat hiburan dan rekreasi, termasuk yang khusus dewasa seperti nightclub dan steambath. Di tempat-tempat seperti inilah banyak pejabat menengah dan yang lebih bawah mengisi waktu luangnya setelah pulang kantor. Pegawai-pegawai instansi ‘basah’ di lingkungan Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, menjadi pelanggan tetap di tempat-tempat mandi uap di Taman Impian Jaya Ancol yang dekat dari tempat kerja mereka. Pada tahun-tahun 70-an Pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi gerbang ekspor dan impor Indonesia terbesar, menjadi tempat memperoleh uang yang enak bagi para aparat yang mengawasi pintu ekonomi Indonesia itu. Uang-uang ekstra yang diperoleh dengan cara-cara inkonvensional untuk sebagian dihabiskan di tempat-tempat hiburan Ancol yang penuh gadis-gadis muda cantik. Taman Impian Jaya Ancol dibangun oleh PT Pembangunan Jaya yang merupakan perkongsian pengusaha keturunan cina asal Sulawesi Tengah Ir Ciputra dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota.

Penguasa pelabuhan kala itu adalah BPP (Badan Pelaksana Pelabuhan) Tanjung Priok. Dan di situ juga terdapat instansi-instansi seperti bea cukai, imigrasi, polisi pelabuhan. Pegawai-pegawai di sana termasuk makmur. Salah seorang Kepala BPP yang terkenal –bahkan nyaris legendaris–  dan sungguh dicintai anak buahnya adalah Fanny Habibie yang belakangan sempat menjadi Dirjen Perhubungan Laut. Kecintaan anak buah agaknya tak terlepas dari tingkat kemakmuran yang tercipta bagi para bawahan di masa tersebut. Betapa besar peredaran uang yang ada dan terjadi di gerbang ekonomi Indonesia itu, mungkin bisa tergambarkan oleh pengakuan pemerintah sendiri bahwa pada tahun 1971 hingga bulan September saja ada Rp.55 milyar –mungkin kini setara dengan 2,75 triliun rupiah– uang yang lolos dan gagal masuk kas negara akibat kolusi antara pejabat-pejabat bea cukai dengan pengusaha.

Pusat hiburan lainnya yang terdiri dari sejumlah kelab malam dan tempat pijat plus mandi uap antara lain adalah Taman Hiburan Lokasari (Princen Park) dan sekitarnya di Jalan Mangga Besar di jantung pecinan. Di sinilah anak-anak muda keturunan Cina yang sudah terjun ke dalam bisnis menghabiskan sebagian keuntungan bisnisnya untuk bersenang-senang.

‘Revolusi’ dunia hiburan  metropolitan ini, tak memakan waktu yang lama untuk menjalar ke kota-kota besar lainnya di Indonesia, tak terkecuali di propinsi-propinsi yang kata orang ‘ketat agamanya’. Ibukota propinsi Sulawesi Selatan, Ujung Pandang (Makassar) dianggap menjadi ‘peniru’ paling berhasil dari Jakarta di tangan seorang Wali Kota bergaya ‘urakan’ Kolonel AD Muhammad Daeng Patompo. Ia ‘mendobrak’ wilayah bertradisi ketat itu dengan membuka judi lotto dan berhasil memperoleh dana inkonvensional untuk pembangunan fisik kota pantai itu. Argumentasi-argumentasinya tak berbeda jauh dengan argumentasi Ali Sadikin. Maka ia dijuluki sebagai ‘Ali Sadikin’nya Ujung Pandang –suatu gelar yang ditolaknya mentah-mentah karena menurutnya Ali Sadikin lah yang harus disebut ‘Patompo’nya Jakarta.

Tapi diantara semua daerah, lagi-lagi Bandung dan Jawa Barat lah –sebagai hinterland Jakarta– yang betul-betul merasakan dampak-dampaknya hingga yang paling negatif. Selain menjalarnya perjudian ala kasino Jakarta ke Bandung –meskipun dengan skala lebih kecil– maka maraknya dunia hiburan di Jakarta memberi dampak tersendiri. Perempuan-perempuan yang dibutuhkan sebagai penghibur di tempat-tempat hiburan Jakarta, terbanyak direkrut dari wilayah-wilayah Jawa Barat, selain Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Pada mulanya, hanya berupa arus yang terdiri dari para perempuan yang memang sudah berprofesi penghibur, namun pada akhirnya meningkat dengan cara-cara rekrutmen melalui bujuk rayu dan tipu daya –pola trafficking– dengan korban perempuan-perempuan yang belum pernah berprofesi penghibur sebelumnya. Ketika tempat-tempat hiburan malam juga dibuka di Bandung dan beberapa kota lain di Jawa Barat, arus rekrutmen dengan cara serupa kembali lagi terjadi. Rekrutmen-rekrutmen untuk Jakarta dan Bandung serta beberapa kota lain kemudian, praktis terjadi terus menerus.

Elite-elite baru dalam kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan bisnis lebih memilih menghibur diri di nightclub yang berkelas. Pengunjung kelab-kelab malam tak pandang bulu, mulai dari taipan kelas Liem Soei Liong hingga para eksekutif pemerintahan kelas direktur jenderal. Bahkan tokoh muda yang fenomenal dan modern dari NU, Subchan ZE, termasuk diantara pengunjung kelab-kelab malam, sehingga suatu waktu ia diskors oleh para Kyai NU karena pergaulannya ‘yang bebas’ dengan perempuan-perempuan yang ‘bukan muhrim’.  Subchan tidak melanggar hukum negara, tetapi ia terkena hukum berdasarkan konvensi lingkungannya dan cukup mengganggu perjalanan politiknya selama beberapa waktu. Namun di akhir hidupnya ‘kehormatan’nya dipulihkan. Pada peringatan hari ketujuh meninggalnya di pekan terakhir Januari 1973, dalam suatu acara doa yang dipimpin KH Masykur dari NU, dihadiri oleh tokoh-tokoh politik eks kawan maupun eks lawan politiknya, sang kyai mengajak para hadirin memberi kesaksian atas diri almarhum. Bertanya KH Masykur, apakah Subchan semasa hidupnya adalah orang yang baik? Bergemuruh jawaban “Baiiiiik!”.

Sejumlah wilayah pemukiman baru yang mewah dan eksklusif pun dibangun di beberapa penjuru Ibukota. Kembali, ini pun ditiru oleh beberapa kota lain. Pangsa pasarnya tercipta sejalan dengan bertumbuhnya kelompok kaya baru. Paling berprestise adalah perumahan mewah Pondok Indah di selatan Jakarta. Kini di tempat tersebut berderet-deret pemukiman bagi sejumlah orang kaya Jakarta, yang pada tahun 70-an itu masih dapat diibaratkan ‘The New Emerging Forces’ alias orang kaya baru. Segera terlupakan bahwa tanah-tanah tempat berdirinya rumah-rumah mewah itu dibebaskan melalui darah dan air mata penduduk asli wilayah itu, melalui proses pembebasan yang penuh penekanan dan paksaan. Rakyat hanya kebagian pembayaran harga rendah, sementara sejumlah aparat yang ikutan dalam penanganan pembebasan tanah bisa ikut kaya.

Munculnya keluarga-keluarga kaya baru merupakan fenomena yang mengiringi proses pembangunan fisik Indonesia waktu itu. Menjadi kaya, bukan hal yang terlarang di Indonesia. Malah tumbuhnya kelompok kaya baru, bilamana dibarengi penggunaan dana secara produktif bisa menopang pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau itu adalah hasil dari korupsi, masalahnya menjadi lain. Apalagi jika digunakan sekedar untuk tujuan semata-mata konsumtif dalam suatu pola konsumerisme. Fenomena munculnya kelompok kaya baru di Indonesia ini diyakini untuk sebagian besar, tidak boleh tidak, pasti terkait erat dengan fenomena korupsi yang marak pada waktu yang bersamaan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masa itu tidak terbantahkan, meskipun juga tidak kunjung terbuktikan –dan memang tidak pernah ada effort yang memadai ke arah itu. Meski seperti angin yang dapat dirasakan namun tak dapat dipegang, korupsi itu jelas ada. Menurut logika bagaimana mungkin seorang pejabat tingkat biasa saja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup dengan standar kelayakan normal,  bisa memiliki rumah-rumah mewah beserta mobil-mobil mewah yang bila diperhitungkan takkan mungkin dibelinya dengan gaji yang diakumulasikan dalam lima puluh tahun sekalipun. Korupsi dan menjadi kaya karenanya, tidak perlu lagi membuat para pelakunya tampil malu-malu seperti di zaman Orde Lama Soekarno –yang masih penuh dengan retorika kemiskinan dan proletarisme perjuangan negeri tertindas.

Gejala-gejala korupsi yang menurut akal sehat mudah untuk disimpulkan kebenaran keberadaannya, menjadi hal yang musykil dijangkau oleh hukum karena memang belum memadainya perangkat undang-undang yang ada saat itu. Maka penyusunan perangkat undang-undang anti korupsi senantiasa diserukan namun dari waktu ke waktu untuk seberapa lama tetap tinggal sebagai wacana di kalangan kelompok kritis. Azas pembuktian terbalik apalagi, meskipun selalu diwacanakan, tampaknya sudah menjadi suatu kemustahilan permanen untuk bisa dimasukkan dalam perundang-undangan, termasuk dalam undang-undang anti korupsi yang sekarang berlaku. Dan pada kutub sebaliknya pemberantasan korupsi bahkan hanya menjadi retorika dalam bentuk janji kalangan penguasa sekedar untuk meredam kritik, namun tidak pernah bersungguh-sungguh mau diwujudkan hingga malahan menjadi pola korupsi sistemik. Situasi itu, berlaku hingga kini .

Berlanjut ke Bagian 3