“Masyarakat tak semestinya dibiarkan dicengkeram oleh mitos dan legenda maupun nilai-nilai sempit. Harus dicari cara untuk membuat masyarakat beragama dengan keimanan yang berlandaskan akal sehat, jauh dari mitos dan tahayul yang menurut ajaran Islam –dan agama-agama pada umumnya– sendiri adalah kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan karena dusta. Nabi Muhammad sendiri tak pernah mengajarkan mitos, sehingga tak mengizinkan dirinya divisualisasi melalui gambar lukisan diri ataupun patung untuk mencegah ‘pemberhalaan’ baru yang mengatasnamakan dirinya”.
PERISTIWA berdarah di Koja Tanjung Priok 14 April 2010, memiliki begitu banyak segi untuk dibahas. Mulai dari pola kekerasan yang belakangan tampaknya sudah sangat mendarah-daging di lingkungan Satpol PP –sebagai akibat misleading para gubernur dan walikota yang menjadi pengguna– sampai kepada hasil akhir berupa penderitaan yang ternyata ‘hanya’ dipikul oleh lapisan akar rumput. Para santri dan anggota masyarakat sekitar makam Mbah Priok maupun para anggota Satpol PP, yang meninggal, hilang atau terbaring luka di rumah-rumah sakit pasca bentrokan, nyatanya berasal dari lapisan yang sama di masyarakat, yakni kalangan akar rumput.
Kekuranghati-hatian para penentu kebijakan dan pemangku kepentingan perluasan terminal peti kemas Tanjung Priok dalam menghadapi kepekaan terkait kepercayaan lapisan tertentu di masyarakat terhadap suatu mitos bernuansa religius –yang telah diestafetkan puluhan atau bahkan ratusan tahun lamanya– menjadi pemicu ledakan sosiologis di Koja Tanjung Priok ini. Gubernur-Wakil Gubernur dan para bawahannya cenderung memakai kacamata kuda dalam kerangka law enforcement –kalaupun terminologi ini tepat digunakan di sini, dan bukannya sekedar politik kepentingan ataupun kepentingan bisnis– terkait perluasan terminal peti kemas di Koja ini. Karena mereka penguasa, maka tak boleh kalah terhadap rakyat, apalagi ketika menyandang tanggungjawab (retorika) demi kepentingan pembangunan dan negara.
Bahwa dalam jangka panjang gerbang perdagangan internasional ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak bisa dipungkiri, memang ya. Tapi, jangan katakan bahwa di dalamnya tak ada kepentingan bisnis kelompok-kelompok ekonomi, termasuk kelompok ekonomi bukan nasional. Perusahaan pengelola terminal ini kepemilikan sahamnya dikuasai perusahaan Korea sebesar 51 persen dan negara melalui Pelindo sebesar 49%. Sebagaimana juga tak boleh dikatakan bahwa sebelum Peristiwa Berdarah 14 April, bukannya tak ada sengketa yang menyangkut soal ganti rugi yang bisa bernilai belasan atau mungkin saja puluhan milyar rupiah. Di luar area makam, para ahli waris makam juga memiliki lahan luas yang ingin diambil dengan ‘harga’ murah dan dengan paksaan kekuasaan oleh PT Pelindo. Tentu saja para ahli waris memiliki hak-hak hukum. Namun, agak kurang nyaman juga ketika para ahli waris dan para pengacaranya terlalu banyak menggunakan retorika agama dalam ‘pertempuran’ hukum sebelum dan sesudah peristiwa berdarah ini. Keadaan menjadi tambah tak nyaman lagi manakala kita mengetahui betapa di latar belakang terjadi pula begitu banyak persilangan kepentingan sosial dan politis dari berbagai organisasi sosial-politik dan kemasyarakatan. Apa tidak bisa sedikit menahan diri dengan penggunaan idiom-idiom agama? Sebagaimana kita juga patut mengingatkan kalangan penguasa untuk tidak membiasakan diri meremehkan nilai-nilai religius yang hidup di masyarakat serta mengabaikan aspek hak azasi kalangan akar rumput.
MASYARAKAT memang tak selalu benar. Masyarakat juga terbiasa melakukan kekerasan selain menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia. Tapi suburnya ketidakbenaran maupun sikap irrasional ataupun kebodohan di tengah masyarakat, serta budaya kekerasan, juga adalah akibat dari kegagalan kepemimpinan dalam kekuasaan, percontohan buruk dari para pemimpin di dalam dan di luar pemerintah, serta berbagai sikap pembodohan akar rumput oleh kalangan kekuasaan negara dan kekuasaan politik. Mereka yang harus membawa masyarakat keluar dari sindrom ‘kesakitan’ secara sosiologis, justru menjadi lebih sakit dari yang mestinya mereka bimbing dan pimpin. Alih-alih mencerdaskan masyarakat, yang terjadi adalah eksploitasi ‘kebodohan’ dan berbagai sentimen sempit serta memanfaatkan rasa ketertindasan di masyarakat.
Ke depan, diperlukan keseriusan mencerdaskan bangsa. Masyarakat tak semestinya dibiarkan dicengkeram oleh mitos dan legenda maupun nilai-nilai sempit. Harus dicari cara untuk membuat masyarakat beragama dengan keimanan yang berlandaskan akal sehat, jauh dari mitos dan tahayul yang menurut ajaran Islam –dan agama-agama pada umumnya– sendiri adalah kemusyrikan, kekufuran dan kebodohan karena dusta. Nabi Muhammad sendiri tak pernah mengajarkan mitos, sehingga tak mengizinkan dirinya divisualisasi melalui gambar lukisan diri ataupun patung untuk mencegah ‘pemberhalaan’ baru yang mengatasnamakan dirinya. Tak ada makam keramat untuk disembah dengan ritual yang menyesatkan, melainkan makam untuk tafakkur mengenang dengan rasa hormat seseorang karena jasa dan amal ibadahnya untuk kepentingan agama dan umat. Diperlukan pencerahan-pencerahan, paling tidak berupa informasi tentang kebenaran, termasuk kebenaran berdasarkan hayat sejarah.
DI MANAKAH posisi Muhammad Hasan bin Muhammad Al Haddad –yang kemudian dikenal sebagai Mbah Priuk– dalam sejarah, khususnya dalam sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara ini? Muhammad Hasan Al Haddad adalah tokoh yang berusia ringkas, lahir tahun 1727 dan wafat 1756, jadi hanya kurang lebih 29 tahun. Ia turut serta dalam syiar Islam, meskipun bukan termasuk penyebar mula-mula Islam di Nusantara atau di Batavia dan sekitarnya, karena Islam sudah dianut di wilayah itu paling tidak sejak dua abad sebelumnya.
Agama Islam telah dianut secara luas oleh masyarakat Jayakarta dan sekitarnya sejak awal abad ke 15. Islam itu sendiri bahkan mulai dikenal secara berangsur-angsur di wilayah itu sejak abad-abad sebelumnya karena imbas pengaruh kerajaan Islam yang mula-mula, pada abad 13, yakni Samudera Pasai di Aceh, Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1297 dikenal raja Islam pertama, Al-Malik As Saleh. Salah satu puncak kejayaan Islam di Jayakarta adalah pada masa Fatahillah, yang oleh sesuai lidah orang Portugis disebut Tagaril yang berasal dari kata asli Fahrillah atau Fathullah yang bermakna ‘kemenangan Allah’. Pada tanggal 22 Juni 1527 Ahmad Fatahillah –yang asal-usulnya seorang muballigh yang berasal dari Samudera Pasai sebelum ke pulau Jawa– atau kemudian lebih dikenal sebagai Falatehan, merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis. Nama Sunda Kelapa dirubah menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan. Kemenangan ini dimaknai sebagai kemenangan berkat lindungan Allah. Tanggal 22 Juni hingga kini dianggap hari kelahiran Jakarta. Nama Sunda Kelapa sendiri kini digunakan untuk menamai pelabuhan utama di wilayah ini, sebelum beberapa abad kemudian dibangun pelabuhan baru yang dikenal sebagai Pelabuhan Tanjung Priok.
Sebenarnya, Ahmad Fatahillah ini tak lain adalah Sjarif Hidajatullah. Setelah kedatangannya ke pulau Jawa dari Samudera Pasai, sempat pula menjadi pemimpin pemerintahan kekuasaan Islam yang berpusat di sekitara Cirebon. Sjarif Hidajatullah adalah putera Maulana Ishak –adik Maulana Malik Ibrahim– yang beribukan seorang perempuan keturunan Arab dari keluarga Quraisyi, serta merupakan menantu Raden Patah. Adapun Raden Patah ini adalah keturunan Raja Majapahit terakhir, Sri Kertabumi, yang hanya sempat memerintah 4 tahun, 1474-1478. Penyerbuan Sjarif Hidajatullah atau Faletehan ke barat menaklukkan Portugis yang menguasai Sunda Kelapa dan sekitarnya lalu merubah namanya menjadi Jayakarta, juga sekaligus untuk sepenuhnya meng-Islam-kan wilayah itu.
Sjarif Hidajatullah mengundurkan diri dari dunia pemerintahan yang masih penuh urusan duniawi di usia 95 tahun dan kemudian lebih menekuni kehidupan keagamaan. Setelah wafat dalam usia yang amat lanjut, mungkin seratus tahun lebih, ia digelari sebagai Sunan Gunung Jati.
Muhammad Hasan bin Muhammad Al-Haddad, lahir dan berkiprah tak kurang dari dua ratus tahun setelah Islam berjaya di Jayakarta. Tentu penyampaian catatan ini tidak bertujuan untuk mengecilkan arti dari apa yang telah dilakukannya dalam syiar Islam lanjutan di Nusantara atau di Jayakarta atau Tanjung Priok dan sekitarnya. Mungkin kedatangannya ke wilayah ini tak lain untuk ikut meluruskan cara dan keadaan beragama masyarakat kala itu. Meskipun Islam sudah dianut lebih dari dua ratus tahun di wilayah itu, menurut beberapa catatan sejarah, di kalangan masyarakat masih cukup subur kehidupan beragama yang diwarnai kemusyrikan dan bi’dah di sana sini. Ini persoalan laten dalam kehidupan beragama di Nusantara ini. Tentu Muhammad Hassan Al-Haddad tak pernah mengharapkan bila makamnya dikeramatkan dalam artian untuk menjadi ajang ritual yang tak pada tempatnya, melainkan bahwa makamnya menjadi tempat untuk merenung bagi umat guna lebih mendekatkan diri kepadaNya dengan cara beragama yang baik dan benar.
Sayang sekali, bahwa tak cukup terdapat catatan sejarah mengenai peran dan sepak terjang Muhammad Hasan Al-Haddad. Nama dan perihal dirinya lebih banyak ada dalam wilayah mitos dan legenda. Mungkinkah namanya dicampurbaurkan dengan nama Alwi bin Tahir Al-Haddad seorang saudagar muslim pengembara dari Arab yang juga berperan dalam memperkenalkan Islam beberapa abad sebelumnya di Koromandel (Keling) hingga Nusantara? Nama Tanjung Priok pun agaknya bukan berasal dari dirinya, karena sejak zaman Jayakarta, nama Tanjung Priok sudah digunakan. Dalam peta-peta yang digunakan Belanda sebelum kelahiran Muhammad Hasan Al-Haddad, sudah tertera tempat bernama Priok. Peta-peta yang mencantumkan nama sebuah tempat bernama Priok di sekitar Jayakarta atau Batavia, misalnya, antara lain ditemukan (diselamatkan) dari sebuah kapal Belanda bernama Batavia yang karam di lepas pantai sebelah barat Australia di tahun 1648. Jadi kalaupun ada penamaan Mbah Priok bagi diri Muhammad Hasan Al-Hadad, pasti bukanlah berarti nama tempat itu terkait dengan sejarah kematiannya, melainkan barangkali karena ia wafat ketika akan melakukan syiar agama di wilayah yang bernama Priok ini.