Tag Archives: Frank Hawkins

Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (3)

PENEMPATAN Liem Soei Liong oleh Presiden Soeharto di tempat istimewa –bukan hanya meng-atas-i Pertamina seperti di Pakanbaru, tetapi juga dalam berbagai hal lainnya– dari hari ke hari menjadi sesuatu yang semakin lazim. Seringkali, secara diam-diam maupun terbuka, menjadi suatu kenyataan yang tidak mengenakkan hati orang-orang sekitar Soeharto sendiri. Liem Soei Liong lebih gampang bertemu Soeharto, setiap saat, dibanding misalnya dengan sejumlah menteri kabinet. Akses Liem ke istana jauh lebih istimewa. Letnan Jenderal Sarwo Edhie, saat menjadi Ketua BP7 Pusat, pernah menumpahkan kekesalannya kepada beberapa Manggala BP-7, usai suatu acara silaturahmi –open house– saat lebaran di Cendana. “Kita harus antri masuk Cendana untuk menyalami pak Harto”, ujarnya. “Tapi, Liem dan kawan-kawan diberi jalan masuk khusus tersendiri ke dalam…..”. Dengan demikian, Jenderal Sarwo Edhie menjadi jenderal ketiga yang nesu terhadap keistimewaan Liem Soei Liong di sisi kekuasaan Soeharto.

LIEM SOEI LIONG – SOEHARTO, SANTAP SIANG. “Liem memang tak tertandingi siapa pun, bila itu menyangkut Jenderal Soeharto. Terutama dalam kaitan bisnis dengan fasilitas kekuasaan dan pemerintahan. Namun, pada sekitar pertengahan 1980-an, tatkala putera-puteri Soeharto makin dewasa dan mulai terjun ke dalam bisnis, toh Liem Soei Liong sedikit mulai terdorong ke posisi kedua dalam hal penanganan proyek-proyek pemerintah. Perusahaan-perusahaan putera-puteri Presiden lebih berjaya untuk soal yang satu ini”. (download tempo)

Kelompok nesu saat itu adalah langka. Dalam realita sehari-hari dalam jalannya kekuasaan Presiden Soeharto, pada umumnya para jenderal teras dalam kekuasaan Soeharto tak mungkin nesu kepada Liem Soei Liong. Sang taipan –pasti dengan sepengetahuan Soeharto– berfungsi menjadi pundi-pundi uang guna memenuhi kebutuhan tokoh-tokoh kunci dalam kekuasaan. Hampir semua jenderal penting –bukan rahasia lagi– pernah mendapat hadiah rumah nyaman lengkap dengan isinya dari Liem Soei Liong, serta berbagai kemudahan finansial lainnya. Kebiasaan memberi hadiah rumah ini dilanjutkan putera-putera Liem terhadap jenderal-jenderal penting baru berikutnya dalam rezim. Makanya, menjadi sesuatu yang menarik bila kelak di kemudian hari, dalam kerusuhan Mei 1998, rumah Liem Soei Liong di daerah Gunung Sahari Jakarta, bobol oleh pembakaran dan penjarahan. Di mana perlindungan fisik para jenderal? Peristiwa itu, setidaknya ikut menjadi indikasi betapa dukungan ABRI terhadap Soeharto memang Continue reading Liem Soei Liong: ‘Penjaga Telur Emas’ Bagi Kekuasaan Jenderal Soeharto (3)

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (4)

“Di Indonesia, semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan cina. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. “Maka suatu pendekatan kepada penguasa yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan”. “….‘Persahabatan’ konglomerat dengan kekuasaan –meskipun tetap berlangsung di belakang layar– pada ahirnya makin baku dan tampaknya berlangsung hingga kini. Bahkan, banyak tokoh dari lingkaran konglomerasi kini berada dalam posisi-posisi kunci kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sedikit banyaknya ini terkait dengan pemilihan umum langsung, yang makin membutuhkan effort yang makin besar bila ingin meraih kemenangan. Dan hanya ada dua sumber dana yang paling mungkin yakni kalangan konglomerat dan melakukan korupsi atau bekerjasama dengan para pelaku korupsi masa lampau”.

TEGUH Sutantyo bukan satu-satunya nama yang dikaitkan dengan penguasa dalam mendulang keuntungan bisnis di masa-masa awal Orde Baru. Tercatat beberapa nama warga negara keturunan lainnya, seperti Nyoo Han Siang, Liem Soei Liong (belakangan memakai nama Indonesia, Sudono Salim), Yap Swie Kie yang bernama Indonesia Sutopo Yananto, Go Swie Kie dan Liem Haryanto. Go Swie Kie juga senantiasa dikaitkan namanya dengan Bulog. Pada bulan Desember 1972, dua perusahaan Go Swie Kie dicabut izin usahanya oleh Departemen Perdagangan, termasuk bersama dalam kelompok 31 perusahaan yang dicabut izinnya karena digolongkan sebagai perusahaan yang tidak beritikad baik. Tetapi Bulog mencoba mempertahankan kedua perusahaan yang bernama Fa Fardy dan CV Sumber Mas itu, dengan alasan “karena kedua perusahaan itu masih mempunyai perjanjian kontrak dengan Bulog”.

Pada bulan-bulan awal tahun 1971 di tengah-tengah kesibukan menjelang pemilihan umum, nama-nama itu mencuat sepak terjangnya melalui sebuah artikel di Bangkok Post yang terbit di ibukota Thailand, ditulis oleh Frank Hawkins wartawan Associated Press. Artikel itu mendapat sambutan oleh pers tanah air seperti Harian Nusantara, Harian Pedoman, Harian Kami, Harian Angkatan Bersenjata yang terbit di ibukota serta Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung. Sorotan-sorotan yang dilancarkan media pers nasional itu, senantiasa mendapat jawaban dan reaksi para cukong tersebut yang disalurkan terutama melalui sebuah harian ibukota yang dipimpin oleh tokoh pers BM Diah, Harian Merdeka. Sehingga terjadilah apa yang diistilahkan sebagai ‘perang percukongan Indonesia’.

‘Perang percukongan’ ini pecah setelah kekecewaan menumpuk oleh kegagalan berbagai upaya pemberantasan korupsi pada tahun 1970. Sepanjang tahun 1970 yang mengecewakan itu, terlihat betapa Komisi IV Wilopo-Hatta yang dibentuk untuk memerangi korupsi, ternyata memang betul-betul hanyalah macan ompong. Terlihat pula bahwa kekuatan kelompok korupsi dan kekuasaan mematahkan –mungkin lebih tepatnya tidak mengacuhkan– kritik-kritik dan gerakan anti korupsi yang dilancarkan generasi muda, terutama mahasiswa, kala itu.

Rangsangan pertama masalah percukongan terjadi tatkala satu titik sensitif teraba oleh Frank Hawkins dengan menghubung-hubungkan dua unsur ‘tenar’ Indonesia, yakni pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang sering dijuluki cukong dengan kalangan tertentu di tubuh militer yang ada pada deretan para jenderal. “Penguasa tertentu telah bersatu kepentingan dengan cina-cina tertentu yang selama ini kita sebut cukong-cukong cina”, tulis salah satu pers Indonesia itu. Nyoo Han Siang, satu diantara para cukong itu, yang oleh Frank Hawkins disebut sebagai ‘perwira’ yang memimpin logistik Opsus, mendapat sorotan lanjut pers Indonesia. Nyoo menurut pers adalah seorang pengusaha cina Indonesia yang terkemuka di Jakarta, yang dikenal orang sebagai seorang ahli potret muda untuk suratkabar komunis yang terlarang Harian Rakjat. “Nyoo dikenal sebagai seorang  yang dekat pada beberapa Jenderal Angkatan Darat dan begitu kuatnya ia sehingga tidak mau tunduk pada tekanan-tekanan supaya ia memakai nama Indonesia seperti telah dilakukan oleh kebanyakan keturunan cina lainnya”.

Opsus yang disebut-sebutkan di sini adalah singkatan dari Operasi Khusus. Nama ini dilekatkan kepada suatu kelompok kerja berjaringan luas yang dibentuk oleh Jenderal Ali Murtopo yang karena sepak terjangnya kemudian dianggap sebagai suatu jaringan intelejens. Pada awalnya Opsus ini dibentuk untuk kepentingan khusus menghadapi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Jaya yang telah dibebaskan dari tangan Belanda. Setelah Pepera, jaringan ini ternyata tetap eksis dan diketahui merambah ke mana-mana dan ikut menangani berbagai persoalan politik.

Untuk pembelaan, Nyoo Han Siang diwawancarai oleh Harian Merdeka (12 Pebruari 1971), konon di Hongkong. Merdeka bertanya “Sejak kapan saudara diangkat menjadi perwira logistik Opsus ?”. Nyoo menjawab “Ah, itu berita Nusantara yang mengutip Bangkok Post”. Nyoo mengatakan akan bangga sekali dan merasa terhormat sekali “seandainya saya benar telah diangkat… Akan tetapi mustahillah pemerintah atau Jenderal Ali Murtopo akan mempercayakan jabatan yang begitu penting itu kepada saya”. Ditanya mengenai persobatannya dengan para Jenderal, Nyoo menjawab santai “Usaha memelihara hubungan ini termasuk sebagai unsur  penting bagi para pengusaha”. Tentang percukongan, dengan cerdik ia menjawab “Ah, terlalu dibesar-besarkan. Saya anggap isu-isu ini sangat memerosotkan martabat pejabat-pejabat Indonesia dan juga martabat pemerintah Indonesia di mata rakyat dan di mata luar negeri”. Sebelumnya ia pernah dikutip Majalah Ekspres berpendapat, “Di Indonesia, semua orang terancam oleh birokrasi, tetapi yang terkena dan terbanyak jumlahnya adalah golongan cina. Sebabnya, memang mereka membutuhkan pelayanan birokrasi, sedangkan golongan asli jarang yang berdagang”. Maka suatu pendekatan kepada penguasa yang seoptimal mungkin, merupakan kebutuhan. Ia beranggapan apa yang dikemukakannya itu sebagai suatu hal yang wajar. Sebaliknya ia menolak anggapan kedekatan dengan pejabat sama dengan perlindungan, apalagi suatu sharing kekuasaan. “Mustahil bisa terjadi”. ‘Persahabatan’ konglomerat dengan kekuasaan –meskipun tetap berlangsung di belakang layar– pada ahirnya makin baku dan tampaknya berlangsung hingga kini. Bahkan, banyak tokoh dari lingkaran konglomerasi kini berada dalam posisi-posisi kunci kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sedikit banyaknya ini terkait dengan pemilihan umum langsung, yang makin membutuhkan effort yang makin besar bila ingin meraih kemenangan. Dan hanya ada dua sumber dana besar yang paling mungkin yakni kalangan konglomerat dan melakukan korupsi atau bekerjasama dengan para pelaku korupsi masa lampau.

Nyoo merambah berbagai bidang usaha, tidak terkecuali dunia hiburan. Ia memiliki sebuah kelab malam di kawasan airport Kemayoran bernama ‘Golden Gate yang berarti ‘gerbang emas’. Memiliki kelab malam kala itu sangat berkegunaan ‘taktis’, karena kelab malam yang lengkap dengan wanita-wanita cantiknya biasanya sangat ampuh dalam upaya memikat dan pendekatan ke berbagai kalangan, termasuk ke kalangan pejabat atau keluarganya.

Masih dengan melibatkan nama Ali Murtopo, adalah mengenai Yap Swie Kie alias Sutopo Jananto pemilik perusahaan bernama CV Berkat. Perusahaan Sutopo itu, dikabarkan semula didirikan oleh salah satu Aspri Presiden, Jenderal Ali Murtopo, sewaktu memimpin Opsus. CV Berkat dilukiskan menguasai sebagian besar impor dan ekspor, ke dalam dan dari Irian Barat (kini disebut Papua). Suatu usaha yang setiap tahunnya mencakup jumlah bernilai US$ 20,000,000. Kembali Harian Merdeka tampil membela seraya meluncurkan tuduhan “koran-koran ekstrim kanan sunglap fakta”. Merdeka memuat bantahan Sutopo Jananto yang menyebutkan angka omzet lebih rendah. Hanya US$ 6,000,000. bukan US$ 20,000,000. Selain itu, jatah bisnis di Irian Barat, ditangani pula oleh 5 perusahaan Jakarta lainnya di tambah 15 perusahaan setempat. Sutopo Jananto menolak kalau dikatakan CV Berkat lah satu-satunya perusahaan yang beroperasi di Irian Barat.

Satu perusahaan yang paling disorot pers –dan juga kaum kritis lainnya– adalah pabrik tepung terigu Bogasari di  pantai utara Jakarta bersisian dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Letak yang dekat Tanjung Priok ini karena pabrik ini menggunakan bahan baku gandum curah yang didatangkan dari Australia. Kapal-kapal pembawa gandum ini langsung merapat ke dermaga milik pabrik dan mencurahkan langsung gandum-gandum itu ke mulut rangkaian awal produksi. Pers menggambarkan PT Bogasari Flour Mill “milik beberapa orang Indonesia-cina, termasuk putera Liem Soei Liong yang baru berusia 25 tahun”. Yang dimaksud agaknya adalah Anthony Salim. Anggaran dasar perusahaan menyatakan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh harus diserahkan kepada Yayasan Dharma Putra Kostrad, suatu yayasan yang bernaung di bawah Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat). PT Bogasari yang merupakan proyek Liem Soei Liong mendapat fasilitas dan pelayanan kredit sangat istimewa dari Bank Indonesia. Hampir 3 milyar rupiah –suatu angka cukup fantastis kala itu– padahal menurut penilaian Harian Nusantara saat itu PT Bogasari masih sangat sukar untuk dianggap serius bagi kualifikasi satu usaha yang bonafide.

Pers menggambarkan lebih jauh bahwa dalam akta pendirian Bogasari disebutkan 40 persen sisa keuntungan diperuntukkan bagi Yayasan Harapan Kita. Yayasan itu telah diketahui umum dikemudikan oleh kalangan-kalangan berpengaruh dalam pemerintahan dan pelindungnya adalah Nyonya Tien Suharto. Berita mengenai pembagian keuntungan 40 persen itu secara formal dibantah oleh pimpinan Yayasan Harapan Kita.

“Tidak benar isu-isu yang akhir-akhir ini dilancarkan seakan-akan dana kredit telah dibagikan secara sinterklas kepada apa yang dinamakan cukong-cukong”, kata Gubernur Bank Sentral Drs. Radius Prawiro dalam bantahan melalui TVRI. Sementara itu Ketua Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Prof. Widjojo Nitisastro menjelaskan bahwa suatu pengawasan yang ketat dalam penggunaan kredit luar negeri takkan memungkinkan lagi banyak pengusaha yang tak sehat, walaupun ia mempunyai banyak koneksi dengan pejabat-pejabat berwewenang. Jendral Alamsyah, Sekertaris Negara, ikut memberi komentar “Sistem katabellece untuk mendapatkan jatah-jatah sekarang ini tak berlaku lagi”. Terbukti kemudian bahwa sistem katabellece dan kolusi ternyata panjang umurnya.

Terhadap keterangan Radius, muncul tantangan dari komisi keuangan DPR-GR untuk membeberkan keterangan lengkap kepada siapa saja kredit-kredit diberikan. Mereka memberondongkan pertanyaan seperti “Dapatkah Gubernur Bank Sentral menyebutkan klasifikasi berapa persen dari perusahaan swasta itu adalah pribumi dan berapa persen cina?”. Dan “Dapatkah Gubernur Bank Sentral membantah pemberian kredit pada Liem Soei Liong dalam proyek PT Bogasari sebesar Rp 2,8 milyar?”. Bilangan milyar kala itu adalah bilangan yang fantastis bagi masyarakat, layaknya bilangan triliunan di masa kini.

Liem Soei Liong saat itu memang sedang menanjak sebagai bintang yang paling disorot. Meskipun sebenarnya, sepak terjangnya kala itu masih tergolong amat kecil dibandingkan masa-masa berikutnya, sejak 1975 selama lebih dari 20 tahun hingga saat kejatuhan Soeharto. Ia, pada awal 70-an itu terlibat dengan perdagangan tekstil 1 juta yard dengan pihak militer, serta berbagai bisnis fasilitas dari puluhan perusahaannya seperti PT Waringin dan lainnya. Profil Liem tak luput dibeberkan sampai detail-detail seperti tentang ibunya yang masih bermukim di Fukien daratan Cina RRC. Bahwa ia hingga tahun 1966 masih menolak kewarganegaraan RI dan mempertahankan kewarganegaraan RRC. Bahwa tahun 50-an ia termasuk tokoh terhormat (VIP) rezim Peking dan bahwa di Fukien ia mendirikan sekolah yang memakai namanya dan tetap dibiayainya selama bertahun-tahun. Kasus tekstil sejuta yard dikabarkan waktu itu akan dipersoalkan dalam salah satu rapat komisi Hankam/LN di DPR-GR. Liem Soei Liong dalam cerita percukongan tergambarkan sebagai orang hebat yang luas hubungannya dengan kalangan penguasa sampai level teratas, yakni Soeharto. Bangkok Post memberi contoh “Perusahaan penerbangan Seulawah, salah satu dari kedua perusahaan penerbangan yang dimiliki oleh Liem Soei Liong, dipimpin oleh Brigjen Sofjar”.

Panglima Daerah Militer Brawijaya Mayjen Wahono –yang belakangan setelah memasuki masa purnawirawan menjadi Ketua Umum Golkar 1988-1993 dengan Sekjen Rachmat Witoelar– pernah dikutip perkataannya “Siapa yang dapat menjamin bahwa cukong-isme bersih dari subversi? Tentara harus menjadi pelindung bagi pengusaha pribumi”. Pandangannya saat itu murni dari sudut pandang keamanan, sehingga berbeda dengan pandangan sejumlah rekan jenderalnya yang berbau komersial.

Masalah percukongan ini telah mengundang pula Kepala Bakin Mayjen Sutopo Juwono ikut berkomentar. Ia mengatakan percukongan punya dua aspek yakni ekonomi dan keamanan. Pemanfaatan secara maksimal modal domestik termasuk modal WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan cina “adalah suatu keharusan”. Usaha untuk mendorong kemampuan modal pribumi janganlah hendaknya dipertentangkan dengan kebijaksanaan pemanfaatan modal domestik semaksimal mungkin. Ia memperingatkan isu-isu percukongan yang akhir-akhir ini disebarkan oleh sementara surat kabar, dapat menggangu kemantapan ekonomi dan ketenangan masyarakat. “Jika saya membaca sementara surat kabar, saya diberi kesan seolah-olah aparat sekuriti kita sudah pada tidur semua. Dan yang bangun seakan-akan hanya beberapa orang penulis artikel maupun pojok-pojok harian-harian tersebut”, ucapnya dengan sinis kepada pers. “Saya pun tidak mengerti maksud sementara oknum yang menyatakan menunjang kepemimpinan nasional orde baru, tetapi dalam tulisan-tulisannya menimbulkan suasana yang bertentangan”.

Akhirnya Presiden Soeharto pun ikut berbicara. Bagi Presiden Soeharto tak ada perbedaan pribumi dan non pribumi dalam pemanfaatan modal untuk pembangunan. “Tanpa pengerahan semua modal dan kekayaan yang ada dalam masyarakat, tidak mungkin kita melaksanakan pembangunan-pembangunan seperti yang kita lakukan dewasa ini”. Ia meneruskan “Kita tahu, bahwa kekayaan dan modal-modal yang ada dalam masyarakat sebagian besar tidak berada di tangan rakyat Indonesia asli atau pribumi. Bukannya pemerintah tidak tahu, tapi bahkan menyadari resiko dan bahaya penggunaan modal-modal non pribumi dan asing. Tetapi, keinginan membangun hanya dengan mengerahkan potensi-potensi nasional pribumi saja, yang kita ketahui keadaannya memang belum mampu, tidaklah mungkin dan tidak realistis”.

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1972, di depan sidang pleno DPR, Soeharto menyebutkan “Jika golongan non pribumi sudah memilih Indonesia sebagai tanah air dan bangsanya, dan golongan pribumi telah menerima mereka sebagai bagian dari bangsanya, maka kerjasama antara kedua golongan ini merupakan suatu keharusan”. Seraya mengakui adanya ketidakselarasan dalam masyarakat sehingga ada kontradiksi golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah, Soeharto mengatakan sedang diteliti jalannya untuk mencapai keselarasan. Soeharto menganjurkan dalam rangka mencapai keselarasan itu hendaknya golongan non pribumi mau mengikutsertakan pengusaha pribumi sebagai co-partner. Dengan cara ini sekaligus proses asimilasi dapat diperlancar dan dipercepat. “Kiranya tidak ada golongan yang perlu merasa gelisah karena hal-hal yang saya kemukakan ini. Dan juga tidak perlu ada golongan lain mengharapkan yang bukan-bukan”.

Tanggapan Mingguan Mahasiswa Indonesia terhadap pidato kenegaraan Presiden Soeharto 16 Agustus 1972 ini cukup menarik untuk dikutip. Mesti diakui, tulis mingguan tersebut dalam editorialnya, bahwasanya setiap kali segi pribumi dan non pribumi dimunculkan sebagai topik perdebatan, bagaimana pun berhati-hatinya, akan memberikan semacam perasaan agak lain, yang tak enak. Tiada lain karena memang penggunaan istilah kontroversial pribumi dan non pribumi adalah mengandung kepekaan-kepekaan. “Presiden mengharapkan agar kita semua melihat masalah ini dalam duduk persoalan yang wajar, dengan membuang jauh-jauh prasangka buruk dari semua pihak dengan menyingkirkan sikap rasialistis”. Sesungguhnya memang bukan perbuatan yang layak untuk memperuncingnya karena ia mudah merembet-rembet menjadi suatu yang tak terkendalikan lagi, cukup dengan mengutik-ngutik salah satu mata rantainya. Bahayanya, bila hari ini membiarkan pengeksploatiran perbedaan ras misalnya maka besok akan menyusul lagi pengeksploatiran yang semacamnya. Apakah itu berdasarkan kesukuan, provinsialisme, perbedaan agama dan sebagainya yang selama ini senantiasa diusahakan untuk dikikis. “Ketegangan berdasar pembedaan semacam itu, patut diakui dijumpai dalam perekonomian atau dunia usaha. Suasana akan menjadi lebih tajam bila perbedaan itu dilembagakan sebagai pengelompokan sehingga nampak adanya dominasi sebagai kelompok”.

Berlanjut ke Bagian 5