Tag Archives: UI

Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (1)

TELAH lebih dari sepuluh hari ini, berita kecurangan dan manipulasi suara untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden RI 2004 maupun 2009, kembali bergulir. Tetapi, hanya melalui media sosial di jaringan dunia maya, dan boleh dikatakan tak mendapat tempat di kolom-kolom pemberitaan media cetak maupun televisi. Sumber berita, adalah Ir Indro Tjahjono, seorang aktivis gerakan kritis mahasiswa tahun 1978, seangkatan antara lain dengan Dr Rizal Ramli dan Ir Heri Akhmadi.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DI FORUM PARTAI DEMOKRAT, DI MIMBAR GARUDA. Terdongkrak secara ajaib. (foto detik)

Berbicara di ‘Rumah Perubahan’, Jalan Gajah Mada Jakarta pekan lalu, Indro Tjahjono mengungkapkan bahwa KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah melakukan kecurangan untuk memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua Pemilihan Presiden, baik di tahun 2004 maupun tahun 2009, melalui manipulasi sistem Informasi Teknologi (IT).

Indro merinci, dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2004, semua PC (personal computer) di KPU yang digunakan untuk penghitungan suara, telah diset-up dengan program khusus di malam hari. “Ketika tidak ada orang di KPU, malam-malam ada yang datang. Semua PC diisi program untuk memenangkan SBY”, kata Indro. Dan, “yang terdongkrak secara ajaib adalah suara Partai Demokrat”.

Manipulasi dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009, lebih maju lagi selangkah. Semua unit PC yang akan dimasukkan ke KPU lebih dulu telah diset-up dengan program tertentu. Kecurangan IT pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2009 ini, menurut Indro, memang lebih complicated. “Pada 2009, tidak cukup dicurangi dari sisi IT, tetapi juga dilakukan rekaya manual. Salah satunya dari DPT (Daftar Pemilih Tetap). Rekayasa manual dicocokkan untuk pengontrolan suara dari sisi IT, agar jangan sampai hitungan IT melonjak, tetapi manualnya tidak cocok”. Rekayasa manual itu, demikian Indro lebih jauh, diback-up dengan manipulasi IT. “Ini untuk memberi patokan kepada publik bahwa kemenangan yang diraih SBY atau Partai Demokrat, cukup besar. IT yang sudah diset-up akan mendekati hitungan suara manual yang sudah direkayasa melalui DPT”. Continue reading Kisah SBY dan Indro Tjahjono: Kecurangan Dalam Dua Pemilihan Umum Presiden (1)

Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (7)

Hatta Albanik*

AKSI-AKSI mahasiswa intra kampus Bandung pada umumnya lebih terfokus pada issue-issue yang berkaitan dengan kepentingan makro, bangsa, negara dan sangat menghindari issue-issue praktis, tendensius, berbau pemerasan. Aksi-aksi mahasiswa intra kampus Bandung umumnya ditujukan pada perbaikan nasib rakyat, kritik terhadap penyimpangan kebijakan maupun pelaksanaannya dalam bidang politik, ekonomi, dwifungsi ABRI, korupsi, kolusi dan nepotisme yang mulai menggejala dan lain sebagainya.

DEMONSTRAN MAKASSAR BABAK BELUR DI TANGAN POLISI. “Sayang sekali bahwa perilaku pimpinan-pimpinan puncak TNI dan Polri di tingkat pusat maupun daerah lebih tampil sebagai pembawa kekuasaan yang memusuhi rakyat daripada pembela rakyat dan pelindung negara serta bangsa dari ancaman kekerasan”. (foto antara)

Leading issue yang dimunculkan misalnya adalah koreksi terhadap keberadaan lembaga-lembaga ekstra konstitusional seperti Aspri, Kopkamtib dan Laksus Kopkamtibda, dwifungsi ABRI, hak-hak warganegara, demokratisasi. Lalu, koreksi terhadap perilaku ‘economic animal’ dari penanam modal Jepang di Indonesia dan praktek-praktek antikulturalnya. Serta kritik terhadap strategi pembangunan ‘trickle down effect’ yang menguatkan kolusi orang-orang dekat di sekitar Soeharto dengan pengusaha-pengusaha non pri cina yang rasialis, kesan penyimpangan bantuan luar negeri melalui IGGI yang dikorupsi dan hanya bermanfaat bagi segelintir elite, RUU Perkawinan, skeptisisme terhadap kemampuan Soeharto dan lain sebagainya.

Dengan sendirinya misi gerakan mahasiswa intra kampus Bandung pada waktu itu tidak diarahkan sebagai suatu gerakan populis yang memprovokasi massa, tetapi lebih diarahkan sebagai advokasi terhadap kepentingan masyarakat luas dengan sedapat mungkin mengeliminasi unsur-unsur dalam kekuasaan pemerintahan Orde Soeharto yang menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang disebutkan dalam leading issue itu. Kalau kemudian mahasiswa intra kampus di Jakarta melepaskan diri dari aksi semacam ini, bergerak ke arah provokasi terhadap masyarakat luas serta merangkul gerakan-gerakan demonstran ekstra kampus, tak pelak lagi terciptalah jarak yang sama dengan persepsi gerakan mahasiswa intra kampus Bandung pada gerakan-gerakan ekstra kampus pada umumnya.

Ibarat air, aliran air bersih harus dijaga agar tidak tercampur dengan air kotor yang mengandung sampah. Sangat disayangkan Continue reading Gerakan Mahasiswa = Gerakan Hati Nurani Bangsa (7)

Soal “Perguruan Tinggi Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin-pemimpin Negara yang Korup”

JAUH sebelum Ketua DPR-RI Marzuki Alie melontarkan ucapannya (Senin, 7Mei 2012) tentang adanya alumni beberapa perguruan tinggi negeri ternama seperti UI dan UGM yang terlibat korupsi, seorang dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Drs Hatta Albanik MPsy telah menyampaikan kritik dan otokritik yang lebih tajam dari itu.

REKRUITMEN KEPEMIMPINAN, DARI POLITIK SENJATA DAN OTOT SAMPAI POLITIK KECAP. “Agaknya bangsa dan negara Indonesia perlu berusaha menciptakan suatu sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa dan negara yang memungkinkan munculnya pimpinan-pimpinan bangsa dan negara dari segala level kepemimpinan, politik, militer, pemerintahan, birokrasi yang benar-benar mampu memikul tanggung jawab kekuasaan negara yang bukan pemburu serta penikmat kekuasaan belaka”. (Karikatur 1967, T. Sutanto)

Mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa Unpad 1973-1974 itu, pernah menulis –dalam referensi tema untuk buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’ (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, Juni 2004)– bahwa bangsa dan negara Indonesia sampai hari ini belum beruntung memiliki pemimpin-pemimpin yang andal, penuh dedikasi, menimbulkan rasa bangga, demokratis, tidak mabuk kekuasaan, tidak lupa daratan, mencintai negara lebih dari mencintai keluarga, dan sebagainya. “Agaknya bangsa dan negara Indonesia perlu berusaha menciptakan suatu sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa dan negara yang memungkinkan munculnya pimpinan-pimpinan bangsa dan negara dari segala level kepemimpinan, politik, militer, pemerintahan, birokrasi yang benar-benar mampu memikul tanggung jawab kekuasaan negara yang bukan pemburu serta penikmat kekuasaan belaka”.

Kampus perguruan tinggi dan gerakan mahasiswa intra kampus perguruan tinggi, menurut tokoh mahasiswa gerakan kritis tahun 1970-an itu, harus diupayakan “agar selalu menjadi salah satu sumber rekrutmen kepemimpinan”. Hal ini harus diberikan penekanan, karena “bukan tak mungkin dari ekses-ekses yang terlihat hingga hari ini, kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia: UI, ITB, IPB, UGM, AMN, AAU, AAL, Akpol, STPDN, IIP sedang, bisa dan akan menjadi sumber rekrutmen pemimpin-pemimpin negara yang korup, kolutif, nepotistik, berorientasi pangkat, jabatan, kekayaan, kekuasaan dan penindas rakyat, jauh dari sifat-sifat idealistik, dedikatif, bersih berwibawa dan memajukan rakyat, bangsa serta negara”. Continue reading Soal “Perguruan Tinggi Sebagai Sumber Rekrutmen Pemimpin-pemimpin Negara yang Korup”

Tritura, Dari Mulut Buaya ke Mulut Harimau (1)

TATKALA serangkaian ekses silih berganti terjadi –berupa korupsi para jenderal, penyalahgunaan hukum dan sejumlah tindak kekerasan yang lahir dari kesewenang-wenangan kalangan penguasa– di masa rezim baru setelah kejatuhan Soekarno, pengibaratan ‘lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’ menjadi tepat. Tentu saja pengibaratan dengan khewan-khewan buas buaya dan harimau itu tidak ditujukan kepada Soekarno maupun Soeharto sebagai pribadi, melainkan merujuk pada bentuk dan cara kekuasaan yang mereka jalankan.

Soekarno, Omar Dhani, Ahmad Yani. Berakhir di Lubang Buaya. Siapa mengorbankan siapa?

Rezim Soekarno adalah suatu kekuasaan otoriter sipil yang untuk sebagian ditopang unsur militer, berakhir dengan titik awal kejatuhan di Lubang Buaya melalui Peristiwa 30 September 1965. Sedangkan penggantinya adalah rezim Soeharto, suatu kekuasaan otoriter militer yang titik awal kekuasaannya melalui pengobaran kemarahan –yang kemudian menjadi dukungan– kaum sipil atas penemuan jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama di Lubang Buaya itu. Tetapi kejatuhan kedua rezim mempunyai persamaan, yakni karena gerakan-gerakan yang melibatkan kekuatan generasi muda, terutama kelompok mahasiswa. Untuk Jakarta, gerakan pertama mahasiswa dimulai dengan pencetusan Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat 10 Januari 1966. Berbeda dengan mahasiswa Jakarta, mahasiswa Bandung yang sejak 1 Oktober 1965 telah mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap Dewan Revolusi disusul appel serta gerakan anti PKI pada 5 Oktober, sekaligus juga sudah mulai ‘menggugat’ kepemimpinan Soekarno dengan politik Nasakom-nya. Mahasiswa Jakarta dalam pada itu lebih ‘menyederhanakan’ persoalan dengan tidak menyentuh lebih dulu mengenai Soekarno, dan dengan Tritura 10 Januari membatasi diri pada masalah kenaikan harga, pembubaran PKI dan retooling kabinet Dwikora.

Letnan Kolonel Untung, Mayor Jenderal Soeharto dan Pangti ABRI Soekarno. Segitiga yang membingungkan dalam hubungan penuh tanda tanya. Siapa memanfaatkan siapa?

Semula, hanya Gerakan 30 September 1965, yang dipimpin Letnan Kolonel Untung –seorang komandan batalion Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa– bersama Sjam Kamaruzzaman yang dikaitkan namanya dengan Lubang Buaya. Tetapi pada saat berikutnya, nama Soekarno dan Laksamana Udara Omar Dhani juga dilibatkan, karena Soekarno datang ke Halim Perdanakusumah menjelang tengah hari 1 Oktober, dan adalah kebetulan bahwa Lubang Buaya di Pondok Gede terletak tak jauh dari pangkalan angkatan udara itu.

Dikaitkannya nama Soekarno dengan tragedi Lubang Buaya, menjadi awal gerakan mematahkan mitos kekuasaan Soekarno yang seakan takkan mungkin tergoyahkan. Bagaikan Teseus yang membersihkan Athena dari kekacauan, setelah mengalahkan mahluk setengah manusia setengah banteng Minotaurus –yang sebenarnya mahluk khayalan belaka yang menjadi sumber mitos bagi kekuasaan raja Minos– di gua labirin Kreta, Soeharto membersihkan Jakarta dari Gerakan 30 September. Lalu tercipta mitos baru, yang menempatkan Soeharto sebagai pahlawan yang berhasil menyelamatkan bangsa dengan kesaktian Pancasila.

Soekarno, karena ke Halim dikaitkan dengan Lubang Buaya

Setelah ‘pembersihan’ di Jakarta, benturan berdarah terjadi di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain, ‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian yang berdarah-darah mencapai angka korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak dalam pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal kemerdekaan, dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya, telah selesai.

HITAM-PUTIH DI WILAYAH ABU-ABU

 

Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama, menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misalnya dijalankan oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil. Maka tak jarang demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang pada akhirnya menuju istana Soekarno, harus berhadapan dengan bayonet tentara yang kerapkali tadinya disangka kawan seiring.

Mahasiswa sebagai korban kekerasan tentara: Berkali-kali mahasiswa menjadi korban kekerasan tentara, baik oleh pasukan pengawal Soekarno maupun kesatuan-kesatuan yang disangka adalah ‘partner’. Dua korban jiwa, dalam dua peristiwa berdarah, ditahun 1966, dengan korban mahasiswa UI Arief Rahman Hakim dan mahasiswa wartawan Harian KAMI Zaenal Zakse.

Hanya sedikit sebenarnya yang berada di wilayah sikap hitam-putih seperti kelompok mahasiswa di kalangan tentara maupun politisi sipil. Di kalangan tentara, yang bersikap jelas dan menarik garis tegas siapa lawan siapa kawan, bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang sedikit itu adalah kelompok perwira idealis yang juga kerap dikategorikan kelompok perwira intelektual. Kelompok perwira idealis ini dengan cepat memikat simpati kelompok mahasiswa, tetapi dengan cepat pula, hanya dalam bilangan tahun yang ringkas mereka telah disisihkan demi kepentingan kekuasaan.

Berlanjut ke Bagian 2

*Esei bergambar dalam Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006.Karikatur oleh Haryadi S dan T. Sutanto.

Jalan Terorisme: Dari Fundamentalisme Islam Hingga Radikalisme (1)

Komando Jihad pimpinan Warman untuk pertama kalinya memulai aksi dengan membunuh Rektor Universitas 11 Maret Solo. Menurut dokumen pangadilan, korban dibunuh lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiyah kepada otoritas pemerintah dan karena itu, bertanggungjawab  atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Komando Jihad juga melakukan berbagai aksi terorisme, antara lain peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla (1981) dan Bom Borobudur (1985).

APA BOLEH buat, kini Islam selalu dilekatkan kepada terorisme, karena pengalaman empiris terbaru selalu menunjukkan bahwa sebagian terbesar aksi terorisme di dunia, memang terbanyak dilakukan kaum radikal yang membawakan nama agama Islam. Radikalisme dan terorisme, menurut Noorhaidi Hasan PhD, merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Memiliki matriks yang bersinggungan secara inheren dengan arus modernisasi dan globalisasi, yang memberikan ruang dan, dalam beberapa hal, memaksa munculnya identitas parokhial serta ekspresi politik berbalut kekerasan. Jangkauan pengaruhnya mengalir paralel dengan penyebaran modernisasi dan globalisasi. Dalam konteks ini dimensi ekonomi-politik yang mewarnai pergeseran lanskap geopolitik global dan ketegangan hubungan agama dengan negara yang terjadi dalam ranah politik domestik selalu menjadi bagian penting yang berperan mendorong pertumbuhan radikalisme.

Namun, pada sisi lain, fenomena radikalisme bukan gejala yang berdiri terpisah dari pergulatan ideologis dan teologis. Doktrin-doktrin kitab suci yang diinterpretasikan secara salah dapat menyediakan legitimasi dan berfungsi sebagai framing resource bagi aktivisme kekerasan yang sebenarnya pekat dengan nuansa power struggle. Gerakan fundamentalisme yang menyulut api militansi, kekerasan dan bahkan terorisme, berhubungan secara kategoris dengan sejarah, ideologi, problem-problem struktural, identitas, dan bahkan dengan pergeseran-pergeseran geostrategi dan politik global yang terjadi seiring dengan menguatnya arus globalisasi.

Noorhadi Hasan PhD menjadi salah narasumber dalam Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” (Jakarta, 27-28 Juli 2010). Selain doktor Antropologi Sosial lulusan Universitas Utrech, Belanda (2005), ada dua narasumber lain yang menyajikan makalah menarik, yakni M. Adlin Sila, peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan dari Departemen Agama, dan Dr Petrus Reinhard Golose seorang perwira dari Mabes Polri berpangkat Komisaris Besar yang juga adalah pengajar/penceramah di PTIK, UI dan beberapa perguruan tinggi lainnya.

Makalah mereka akan menjadi sumber utama dalam serial ini, dengan beberapa peringkasan, sehingga bisa menjadi bahan referensi untuk mengetahui lebih jauh mengenai radikalisme dan terorisme yang dalam pengalaman kita sebagai bangsa, terutama pada beberapa dekade terakhir, ibarat duri dalam daging. Sebagai warga negara yang tak ikut dalam dosa-dosa politik seperti yang dituduhkan kaum radikal itu, setiap saat kita bisa saja menjadi salah satu korban dari aksi terorisme. Korban dari “tindak kejahatan yang luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan”, seperti kata Reinhard Golose, dengan akibat penderitaan fisik dan atau psikologis dalam waktu berkepanjangan.

Evolusi Organisasi Terorisme di Indonesia

APABILA ditelusuri, menurut Petrus Golose, terdapat benang merah antara jaringan terorisme saat ini dengan jaringan terorisme masa lampau. Terorisme yang berkembang saat ini masih memiliki hubungan atau tumbuh dari akar-akar organisasi teror masa lampau. Karena itu terorisme tidaklah sepenuhnya berasal dari negara lain, khususnya negara-negara Timur Tengah. Ancaman terorisme di Indonesia telah nampak ke atas permukaan sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ancaman tersebut bervariasi dalam ideologi dan tujuan politiknya. Adapun yang paling militan dan masih dapat mempertahankan eksistensinya hingga kini adalah Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).

Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, DI/NII dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. SM Kartosuwirjo menunjuk 3 Komandan Perang Wilayah Besar (KWB) yaitu Agus Abdullah untuk wilayah Jawa dan Madura, Kahar Muzakkar untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, Irian Jaya, serta Daud Beureueh untuk Sumatera dan kepulauan sekitarnya. Ketika itu DI/NII sempat merambah ke berbagai wilayah Nusantara, mulai Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Kemudian, Wilayah Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Tujuan perjuangan  DI/NII adalah mendirikan Negara Islam Indonesia, dengan pola menggunakan ajaran hijrah dan jihad untuk melaksanakan aksi teror, seperti menyerbu desa-desa, membunuh warga, merampas barang-barang, hasil panen dan harta penduduk, menjadikan pejabat Indonesia sebagai target penculikan, merampok bank, membakar rumah, menghancurkan jembatan, dan membebaskan tahanan Tentara Islam Indonesia yang ditangkap oleh TNI.

Dalam perjalanan lanjut, DI/NII sempat mengalami perpecahan, yaitu menjadi gerakan separatis dan terorisme. DI/NII yang berada di wilayah Aceh menjelma menjadi gerakan separatis atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Di Tiro atau Hasan Tiro sejak tahun 1976. Bentuk perjuangannya pun tetap menggunakan aksi teror terhadap warga dan pemerintah. Tokoh GAM Irwandi Yusuf yang kini menjadi Gubernur Aceh (NAD), dalam simposium yang sama, menyatakan GAM selalu menampik tuduhan sebagai gerakan separatis. GAM mengklaim sebagai gerakan pembebasan nasional dengan sebutan Acheh Sumatra National Liberation Front. “Dalam versi Indonesia, Aceh adalah bagian dari NKRI sejak masa perjuangan melawan kolonial Belanda. Tapi dalam pandangan GAM, Indonesia adalah negara yang menduduki Aceh secara sepihak. Dan GAM adalah komunitas rakyat yang ingin mengembalikan kedaulatan Aceh dari pendudukan Indonesia. Oleh sebab itu GAM selalu menampik kalau perlawanan di Aceh disebut gerakan separatis”. GAM juga menampik bila dituding sebagai suatu jaringan terorisme, apalagi bila dikaitkan dengan Al Qaeda. Juru bicara GAM Tengku Sofyan Dawod mengatakan “GAM tidak pernah dan tak akan pernah melakukan kontak apapun dengan organisasi Al Qaeda ataupun organisasi lainnya yang berurusan dengan terorisme”.

Irwandi Yusuf juga menegaskan “konflik yang terjadi di Aceh tidak terkait dengan Islam. Kendati Aceh tidak bisa dipisahkan dengan Islam, namun konflik yang terjadi di Aceh bukanlah bagian dari perang agama. GAM adalah sebuah gerak politik untuk self determination, oleh sebab itu kekerasan yang terjadi dalam konflik Aceh sesungguhnya adalah perang. “Bukan kekerasan suci yang mengatasnamakan agama, dan bukan pula teror, sebab sasaran perlawanan GAM jelas, yakni pasukan niliter Pemerintah Indonesia serta kekuatan yang mendukungnya. Kalau ada masyarakat sipil yang menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan GAM, biasanya terkait dengan keterlibatannya mendukung pasukan Pemerintah Indonesia”.

Perpecahan berikutnya yang terjadi di dalam kubu DI/NII menurut Golose, adalah di wilayah Jawa pada tahun 1992, antara Ajengan Masduki dengan Abdullah Sungkar. Hingga kemudian, pada 1 Januari 1993, Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI) yang sampai saat ini “masih aktif bergerak sebagai organisasi teroris”.

Berdasarkan Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyah, JI melaksanakan Tandhim Sirri atau sebuah organisasi rahasia dan tertutup. JI pun memiliki visi mewujudkan tegaknya Daulah Islamiyah sebagai basis menuju wujudya Khilaafah’ Alaa Minhajin Nubuwwah. Misinya adalah (1) Persiapan menegakkan Daulah yang terdiri dari pembinaan jama’ah, pembinaan kekuatan dan penggunaan kekuatan. (2) Penegakan Daulah dan (3) Penegakan Khilafah atau dunia Islam. Abdullah Sungkar pernah menduduki posisi sebagai amir atau pucuk pimpinan JI sampai tahun 1999. Setelah Abdullah Sungkar wafat posisinya ditempati Abu Bakar Ba’asyir sampai 2002. “Pada masa Amir Abu Bakar Ba’asyir, terbongkar bahwa JI adalah organisasi teroris dan terbukti telah melakukan banyak aksi terorisme di wilayah Indonesia”.

Pada penghujung 1970-an dan awal 1980-an, ungkap Golose, terjadi sejumlah aksi terorisme yang terkait dengan suatu kelompok yang dikenal sebagai Komando Jihad. Dua pimpinan Komando Jihad yang ditangkap adalah Haji Ismail Pranoto dan Haji Danu Muhammad Hasan, keduanya dulu kala adalah orang dekar Kartosuwirjo. Pada 1983, Haji Danu mengungkapkan pengakuan di depan pengadilan bahwa ia (pernah) direkrut Bakin. Di luar uraian Golose, sebenarnya ada peran Kolonel Pitut Soeharto dalam perekrutan itu. Pitut adalah salah seorang perwira yang oleh Jenderal Ali Moertopo diserahi tanggungjawab ‘membina’ kaum radikal atau kelompok ekstrim Islam, termasuk ex DI/TII atau DI/NII. Sementara itu jaksa dalam perkara tersebut, mengemukakan bahwa antara 1970 hingga 1977, Haji Danu beserta 7 orang lainnya telah membentuk struktur administratif yang paralel dengan DI. Haji Danu akhirnya dipenjarakan.

Haji Ismail Pranoto sementara itu, salah seorang komandan TII (Tentara Islam Indonesia) masa Kartosuwirjo, yang dikenal pula dengan julukan Hispran, ditangkap 8 Januari 1977 dan diadili September 1978 dengan tuduhan berupaya membentuk kembali Darul Islam sejak 1970 untuk menggulingkan pemerintah. Hispran dihukum seumur hidup dan meninggal dalam penjara pada tahun 1995. Januari 1979, Komando Jihad pimpinan Warman untuk pertama kalinya memulai aksi dengan membunuh Rektor Universitas 11 Maret Solo. Menurut dokumen pangadilan, korban dibunuh lantaran membeberkan eksistensi Jamaah Islamiyah kepada otoritas pemerintah dan karena itu, bertanggungjawab  atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Komando Jihad juga melakukan berbagai aksi terorisme, antara lain peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla (1981) dan Bom Borobudur (1985).

Berlanjut ke Bagian 2

 

Kisah Hariman Siregar dan Pertarungan Internal Kekuasaan (2)

“Dengan cara apakah mahasiswa menjalankan tuntutan hati nurani bangsa itu? Dengan gerakan-gerakan power struggle on the street yang bersentuhan dengan politik praktis atau dengan gerakan-gerakan yang mengandalkan kekuatan pemikiran dan konsep sebagai kekuatan moral sesuai hakekat peran mereka sebagai intelektual muda? Ataukah campuran yang cerdas dan arif dari semua cara itu?”

Antara Bandung-Jakarta. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, setelah Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, aktivitas mahasiswa yang berbasis kampus makin meningkat. Banyak pertemuan antar kampus dilakukan. Baik itu di antara kampus-kampus Bandung sendiri, maupun dengan kampus-kampus kota lain seperti Surabaya, Yogya, Bogor dan Jakarta. Selain mahasiswa, kerap hadir eksponen-eksponen gerakan kritis lainnya yang ada di masyarakat, baik itu kalangan budayawan maupun kaum intelektual.

Satu diantara pertemuan yang mendapat perhatian kalangan penguasa adalah pertemuan di kampus ITB yang diberitakan pers sebagai ‘Pertemuan Orang-orang Tidak Puas’. Pertemuan mahasiswa lainnya yang diamati kalangan kekuasaan adalah pertemuan-pertemuan menjelang Peristiwa 15 Januari 1974, di kampus Universitas Padjadjaran, yang dihadiri oleh pimpinan dewan-dewan mahasiswa yang sangat tidak diharapkan penguasa untuk ‘terkonsolidasi’ yakni ITB, UI dan Unpad. Dalam pertemuan itu hadir Hariman Siregar dari DM-UI, Komarudin dari DM-ITB dan Hatta Albanik dari DM-Unpad selaku tuan rumah. Hadir pula beberapa pimpinan DM lainnya dari Bandung maupun luar Bandung. Namun yang paling diamati kalangan intelejen kala itu adalah tiga orang tersebut.

Pada dasarnya seluruh kegiatan kritis mahasiswa itu digerakkan oleh suatu idealisme yang sama. Karena itu, gerakan mahasiswa di satu kota dengan cepat diapresiasi oleh mahasiswa dari kota lain dalam bentuk gerakan serupa. Tetapi perilaku dan perlakuan dari para penguasa militer di setiap kota seringkali tidak sama. Semakin jauh dari Jakarta, semakin represip.

Gerakan-gerakan mahasiswa kerapkali diekspresikan oleh gerakan mahasiswa di Jakarta sebagai mengandung nuansa politik praktis, yang di masa lalu sering diartikan sebagai power struggle di antara elite politik nasional. Gerakan mahasiswa di Bandung –dan umumnya gerakan-gerakan mahasiswa luar Jakarta lainnya– lebih terlihat mengandung muatan politik praktis yang berkadar lebih rendah dibandingkan dengan gerakan mahasiswa di Jakarta yang karena kedudukan mereka di ibukota dengan mudah diberikan cap sebagai gerakan politik praktis. Umumnya gerakan mahasiswa yang dianggap berhasil menumbangkan rezim kekuasaan, adalah bilamana gerakan mahasiswa itu memadukan gerakan-gerakan mahasiswa power struggle praktis di Jakarta dengan kekuatan-kekuatan pemikiran dan idealisme yang biasanya dilahirkan gerakan mahasiswa di Bandung.

Penguasa sebenarnya justru sangat memahami hal ini, sehingga selalu berusaha meruntuhkan jalinan rantai yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta. Kota-kota perguruan tinggi lainnya seperti Yogya, Surabaya, Medan, Makassar dan Bogor dengan sendirinya juga memiliki ciri-ciri tertentu yang bila berhasil dihubungkan dengan poros Jakarta-Bandung, juga akan menjadi kekuatan dahsyat yang mampu merobohkan kekuatan kekuasaan manapun yang menghalangi idealisme mahasiswa.

Kegagalan gerakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 di Jakarta untuk mengganti kekuasaan Soeharto terjadi karena putusnya jalinan rantai yang menghubungkan gerakan mahasiswa Jakarta dan Bandung, sehingga dengan sendirinya memutuskan pula hubungan dengan gerakan mahasiswa kota-kota utama perguruan tinggi lainnya. Satu dan lain hal, itu terjadi karena timbulnya ‘kecurigaan’ yang besar terhadap figur Hariman Siregar yang ‘permainan’ politiknya seringkali membingungkan pihak lawan maupun kawan. Timbul pertanyaan atas dirinya: Bermain untuk siapakah dia ? Kesan seperti ini yang tampaknya melatarbelakangi sikap tokoh-tokoh mahasiswa Bandung, Hatta Albanik (Unpad) dan kawan-kawan di Bandung dan luar Jakarta, tak terkecuali Muslim Tampubolon (ITB) yang terkesan tidak selalu ‘harmonis’ dengan Hatta.

Tidak bisa dipungkiri, pelbagai tuntutan mahasiswa Bandung, sangat mewarnai keputusan politik yang dibuat pemerintah, seperti misalnya pembubaran Aspri, kebijakan kredit untuk pengusaha dan investasi kecil, serta pembatasan gaya hidup mewah –seperti yang antara lain dijadikan sindiran kontingen mahasiswa Bandung tentang banyaknya bangunan tembok tinggi seperti penjara di Jakarta tetapi di dalamnya adalah istana, tatkala berlangsung pertemuan 11 januari 1974 dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Bahkan pemerintah Jepang sendiri pernah mengutus seorang pejabat dari OECF (Overseas Economic Cooperative Fund) untuk menemui Hatta Albanik dan kawan-kawan yang dianggap representan gerakan mahasiswa anti modal Jepang, guna memastikan bentuk bantuan dan kerjasama kebudayaan apa yang harus diberikan Jepang agar mengurangi kesan buruk ‘economic animal’nya. Setelah penjajagan seperti itu, Jepang kemudian melahirkan program-program bantuan dan kerjasama kebudayaan Jepang-Indonesia. Bahkan program serupa kemudian diperluas, meliputi sejumlah negara Asean lainnya, terutama Philipina dan Thailand yang gerakan mahasiswanya juga kuat mengekspresikan sikap anti Jepang. Gerakan-gerakan anti Jepang memang berawal dari mahasiswa Bandung yang banyak menerima keluhan pengusaha-pengusaha tekstil di sekitar Bandung yang terpuruk oleh kehadiran modal Jepang. Gerakan ini kemudian diekspresikan dengan ekstrim, radikal dan cukup vulgar oleh mahasiswa Jakarta, sehingga terjadi huru hara besar 15 Januari 1974 –yang kemudian dijuluki sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari, terutama oleh kalangan penguasa.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa tangan-tangan kekuasaan ikut pula bermain dalam menciptakan situasi yang radikal dan ekstrim pada peristiwa itu. Apalagi dalam dimensi waktu dan ruang yang sama terjadi pertarungan internal unsur kekuasaan –terutama antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro. Provokasi dari kalangan kekuasaan yang terlibat pertarungan internal telah menyebabkan pecahnya kerusuhan (yang sudah diskenariokan) pada tanggal 15 Januari 1974. Jakarta hari itu dilanda huru hara besar. Peristiwa tersebut telah cukup menjadi alasan bagi penguasa untuk menindaki seluruh gerakan kritis, terutama yang dilancarkan para mahasiswa, sebagai gerakan makar yang berniat menggulingkan Presiden Soeharto dan pemerintahannya. Dan, pada masa-masa berikutnya penguasa ‘memiliki’ alasan menjalankan tindakan-tindakan supresi untuk menekan dan ‘menjinakkan’ kampus-kampus perguruan tinggi seluruh Indonesia. Penguasa ingin menjadikan kampus sekedar ‘campo vaccino’ atau padang penggembalaan lembu, tempat memelihara mahluk yang berfaedah namun tak pandai melawan, layaknya para bangsawan Medici memperlakukan rakyatnya sesuai isi kitab Niccolo  Machiavelli.

Tatkala supresi masuk kampus. Dengan terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, memang terbuka jalan bagi rezim Soeharto untuk ‘menindaki’ kampus yang selama ini menjadi sarang kebebasan dan gerakan kritis. Cukup banyak yang mempersalahkan Hariman Siregar dan mahasiswa Jakarta yang di satu pihak memilih posisi dalam kelompok Jenderal Soemitro dalam pertarungan kekuasaan yang terjadi, dan pada pihak lain kurang berhati-hati dalam melakukan gerakan-gerakannya, sehingga gerakan mahasiswa tanggal 15 Januari itu berhasil digiring oleh kelompok Ali Moertopo berkobar menjadi kerusuhan sosial. Seperti yang pernah dikatakan Dr Kusnadi Hardjasumantri, mantan Rektor UGM, bila Peristiwa 15 Januari 1974, tidak terprovokasi untuk meletup, Soeharto telah jatuh lebih awal, dengan sendirinya. Karena, pada akhir tahun 1973 dan awal 1974 itu sebenarnya Soeharto berada dalam titik nadir, kehilangan dukungan mayoritas di militer dan pada waktu yang sama kehilangan dukungan kaum teknokrat serta kekuatan mahasiswa.

Tetapi pada sisi lain, Hariman dan kawan-kawan juga dielu-elukan sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto. Pergerakan gaya power struggle ala Hariman dan kawan-kawan dari Jakarta banyak dijadikan model bagi sejumlah pergerakan mahasiswa pada masa berikutnya. Gerakan ini bisa juga disebut gerakan mahasiswa on the street, yang lebih mengandalkan kekuatan otot dalam aksi-aksi turun ke jalan, yang dengan sendirinya juga bisa sarat dengan berbagai ekses seperti keterlibatan mahasiswa dalam aksi kekerasan. Adanya aksi-aksi kekerasan yang tak jarang menampilkan aroma anarkis, mengundang kritik bahwa mahasiswa juga telah terjangkit gaya premanisme.

Bila gerakan mahasiswa di tahun 1966 hingga untuk sebagian di tahun 1974 maupun 1978, masih selalu mengutamakan gerakan dengan kekuatan pemikiran atau konsep, yang dikombinasikan dengan beberapa gerakan mahasiswa on the street, maka pada masa-masa berikutnya terjadi pembalikan. Kini, tampaknya power struggle on the street menjadi pilihan utama, sementara gerakan berdasarkan kekuatan pemikiran dan konsep makin ditinggalkan. Bersamaan dengan itu, intra kampus sebagai basis kekuatan gerakan mahasiswa seperti halnya di tahun 1967-1974 bahkan sampai 1978, telah bergeser pula kembali ke luar kampus seperti halnya dengan periode 1960-1965, dengan organisasi-organisasi ekstra kampus onderbouw partai sebagai pemegang peran utama. BEM dari berbagai kampus saat ini dalam aneka pergerakan cenderung menjadi sekedar subordinasi organisasi-organisasi luar kampus seperti Kammi misalnya. Terlepasnya kendali inisiatif pergerakan ke luar pagar kampus, dengan sendirinya membuka peluang kontaminasi kepentingan politik praktis ke dalam pergerakan mahasiswa. Dengan kata lain, sangat terbuka peluang pemanfaatan mahasiswa dalam berbagai pertarungan politik intra kekuasaan.

SETELAH Peristiwa 15 Januari 1974, sejumlah tindakan supresi diterapkan di kampus-kampus. Selain oleh tentara, tindakan supresi itu terutama juga melalui tangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang diangkat setelah Peristiwa 15 Januari oleh Soeharto, yakni Mayjen Dr Sjarif Thajeb. Gaya supresi ini selanjutnya menjadi mode bagi penguasa dalam menghadapi kampus hingga tahun 1978. Puncaknya berupa pendudukan kampus yang berani ‘melawan’ Soeharto seperti ITB dan beberapa perguruan tinggi lainnya di seluruh Indonesia, oleh kesatuan-kesatuan tentara di tahun 1978.

Semula, Dr Sjarif Thajeb, yang pernah duduk sebagai Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan di kabinet transisi Soekarno pada tahun 1965-1966, sempat menjadi ‘harapan’ bagi para mahasiswa, mengingat track recordnya sebagai orang yang ikut menyokong lahirnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) –yang pada akhirnya menjadi ujung tombak penggulingan rezim Soekarno. Akan tetapi, kata-kata baiknya yang senantiasa dilontarkannya dalam pertemuan-pertemuan dengan para mahasiswa, ternyata terbukti omong kosong belaka, karena bahkan ia menjadi salah satu mata pedang tindakan supresi di kampus-kampus. Belakangan ia sering melontarkan kata-kata keras yang menekan mahasiswa dalam pelbagai pertemuan. Karena itu, berkali-kali ia sempat bersitegang dengan para mahasiswa. Bahkan tidak ada yang bisa menduga suasana pertemuan bapak-anak yang pernah terjadi pada mulanya, di kemudian hari hampir berkembang jadi duel adu jotos tatkala ia ingin memaksakan kehendaknya.

Tapi kampus memang tak pernah benar-benar bisa ditundukkan oleh kekuasaan semata. Gerakan-gerakan kritis mahasiswa dengan berbagai cara tetap saja bisa berlangsung, diantaranya dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi ‘ilmiah’ di bawah payung Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara itu, sumber (daya) manusia bagi kampus tak pernah habis, setiap tahun kampus memperoleh ‘darah segar’ berupa mengalir masuknya mahasiswa baru yang pada waktunya membawakan lagi aspirasi-aspirasi baru. Kampus perguruan tinggi adalah bagaikan sebuah sungai, airnya tak pernah berhenti mengalir. Suatu proses yang tak kenal henti. Sejarah mencatat, bahwa setelah gerakan-gerakan kritis mahasiswa 1970-1974, kemudian muncul lagi gerakan perlawanan mahasiswa 1978 dan berikutnya gerakan mahasiswa 1998 yang menjadi penyulut utama kejatuhan Soeharto.

AGAKNYA memang hingga sejauh ini hati nurani bangsa selalu terlihat benang merahnya pada gerakan-gerakan mahasiswa. Merupakan hal yang jelas bahwa semakin penguasa mengambil tempat berjauhan dengan gerakan mahasiswa, maka itu berarti umur kekuasaan di tangan sang penguasa, siapa pun dia, dalam kurun waktu yang mana pun juga, telah semakin pendek. Akan tetapi, menjadi pertanyaan yang menarik, dengan cara apakah mahasiswa menjalankan tuntutan hati nurani bangsa itu? Dengan gerakan-gerakan power struggle on the street yang bersentuhan dengan politik praktis atau dengan gerakan-gerakan yang mengandalkan kekuatan pemikiran dan konsep sebagai kekuatan moral sesuai hakekat peran mereka sebagai intelektual muda? Ataukah campuran yang cerdas dan arif dari semua cara itu?

Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (2)

“Dan sebagai bagian dari hasrat anti demokrasi dari kalangan kekuasaan, selain sekedar pengekangan terhadap kampus-kampus sebagai salah satu sumber utama sikap kritis, maka kampus pun perlu ‘diobrak-abrik’. Alat yang paling tepat untuk itu tak lain dari operasi-operasi intelejen sampai ke dalam kampus”. “Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi”.

MASIH pada pertengahan 1974, suatu sorotan yang terkait dengan militer kembali muncul di kalangan perguruan tinggi Bandung mengulangi sorotan di tahun 1970 tentang hubungan sipil-militer dan 1973 mengenai ketidakberesan pelaksanaan Wajib Latih Mahasiswa (Walawa). Kali ini menyangkut Wajib Militer yang lebih dikenal dengan singkatan Wamil. Beberapa pers kampus menempatkan masalah tersebut sebagai fokus sorotan. ‘Aspirasi’ misalnya menempatkan judul “Wamil: Bhakti atau Momok ?”. Ketua DM ITB yang baru, Prasetyo Sunaryo (1974-1975) yang terpilih setelah berakhirnya kepengurusan DM ITB 1973-1974 yang dipimpin Muslim Tampubolon, menyoroti konsep Wajib Militer yang dijalankan saat itu “belum jelas dan belum matang”. Menurut Prasetyo, di ITB, pemanggilan untuk mengikuti Wajib Militer ditujukan langsung kepada individu. Ini menunjukkan belum tertibnya prosedur pemanggilan. Di perguruan tinggi lainnya, seperti di Universitas Padjadjaran, pemanggilan Wamil melalui pimpinan fakultas tanpa sepengetahuan pimpinan universitas. Prasetyo menyangsikan urgensi dari Wamil. Hal ini menurutnya dapat bersumber dari masalah apakah tepat seorang sarjana yang merasa tidak mampu berkarier militer, dipanggil untuk Wamil. Dalam bahasa seorang dokter lulusan Universitas Padjadjaran, “yang saya tidak setujui dari Wamil adalah cara pemanggilan yang berupa paksaan”. Hal lain yang diprotes adalah mengenai jenjang kepangkatan. Bisa terjadi bahwa seorang sarjana lulusan 1974 dan sudah menjadi mahasiswa sejak 1967, seperti dicontohkan dr Ridad Agus, dalam kesatuan militernya terpaksa harus memberi hormat karena kalah pangkat kepada seorang lulusan Akabri 1973 yang baru lulus SMA pada tahun 1969.

Sorotan terhadap masalah Wamil pada pertengahan 1974 ini, sebagaimana sorotan serupa pada Mei 1973, tidak mendapat solusi dan jawaban yang jelas dari kalangan kekuasaan. Hal ini tak lain menunjukkan bahwa selain terdapatnya begitu banyak perbedaan pandangan kalangan perguruan tinggi dengan kalangan kekuasaan, khususnya militer, penguasa memang tidak ‘menyenangi’ kritik. Bagi penguasa, kritik hanya akan merintangi hasrat ‘memenangkan’ keinginannya sendiri diatas keinginan pihak lain. Penguasa hanya butuh mobilisasi dukungan untuk makin memperkokoh kekuasaan. Hal serupa berlaku dalam berbagai pokok persoalan lainnya, termasuk ke dalam hal yang lebih serius seperti mengenai masalah demokrasi. Dan sebagai bagian dari hasrat anti demokrasi dari kalangan kekuasaan, selain sekedar pengekangan terhadap kampus-kampus sebagai salah satu sumber utama sikap kritis, maka kampus pun perlu ‘diobrak-abrik’. Alat yang paling tepat untuk itu tak lain dari operasi-operasi intelejen sampai ke dalam kampus. Bila sebelum 1974, operasi-operasi intelejen yang dilancarkan ke kampus-kampus masih cukup terselubung, maka pada masa-masa sesudah Malari operasi-operasi intelejen itu dilakukan secara lebih terbuka.

Perbedaan pandangan antara kalangan perguruan tinggi dengan kalangan militer yang mendominasi rezim Soeharto, bukan hanya mengenai pokok soal seperti soal Wamil, tetapi meluas dan memasuki wilayah yang lebih prinsipil yakni mengenai masalah demokrasi dan kemanusiaan. Begitu kuat tekanan yang diberikan penguasa, sehingga di dalam menjawab tekanan tak jarang para mahasiswa harus ‘memainkan’ taktik dan diplomasi yang berkadar cukup tinggi. Mereka pun harus ekstra hati-hati karena kerap kali pula kata-kata mereka dibuat ‘salah’ mengerti oleh pers tertentu sehingga melahirkan judul-judul berita yang memberi pengertian terbalik, tetapi cukup aneh bahwa kesalahan seperti itu serentak dilakukan dua atau tiga media pers ‘lunak’ dan atau dikenal sangat ‘tunduk’ kepada kekuasaan.

DM ITB misalnya pada bulan Nopember 1974 pernah ditampilkan dalam berita seolah-olah mempersalahkan para aktivis 1973-1974, bahwa adanya kesalahan yang mengakibatkan Peristiwa 15 Januari di Jakarta telah membawa pengaruh tidak kecil terhadap aktivitas mahasiswa di Indonesia. Lalu menurut berita itu Ketua DM ITB (1974-1975) yang baru terpilih, Prasetyo Sunaryo dan kawan-kawan –Joseph Manurung, AM Tomo, Sahala R. Rajagukguk, M. Ismirham dan Junus Situmorang– diberitakan atas nama seluruh mahasiswa berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang dilakukan rekan-rekannya beberapa bulan lalu itu. Dalam pemberitaan Kompas (19 Nopember 1974) yang lebih bisa dipercaya, justru para fungsionaris DM ITB itu diberitakan menyatakan di depan Komisi IX DPR kerisauan mereka “bahwa pembinaan generasi muda oleh pemerintah dewasa ini dirasakan menghambat kreativitas generasi muda itu sendiri”, misalnya dengan keharusan bergiat melalui wadah KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Seyogyanya segala kegiatan mahasiswa sejauh mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi –Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat– tidak dihambat atau dibatasi. Sebelumnya, para mahasiswa itu mengungkap bahwa Menteri P&K Sjarif Thajeb menyatakan kepada mereka kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar kampus diperbolehkan sejauh kegiatan itu mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan disetujui rektor.

Tapi berdasarkan pengalaman empiris setelah beberapa bulan ‘bersama’ Sjarif Thajeb, para mahasiswa menyadari, banyak hal dari ucapan sang Menteri pada akhirnya ternyata tak dapat dijadikan pegangan. Perlahan namun pasti, wujud penguasa di mata kalangan perguruan tinggi, adalah penguasa yang makin militeristik, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Setelah tercekam dalam supresi selama beberapa lamanya, mahasiswa perlahan-lahan bangkit dan makin meningkatkan sikap kritisnya secara lebih nyata hingga 1976. Setelah Pemilihan Umum 1977, sejumlah dewan dan senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Bandung, mencetuskan Memorandum Mahasiswa Bandung yang berisi tuntutan perbaikan tubuh MPR/DPR-RI. Memorandum itu mereka sampaikan tepat pada hari pelantikan anggota MPR/DPR baru hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977. Sebelumnya, 13 September 1977, sejumlah mahasiswa ITB, IPB dan UI bahkan membentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat Sementara’ mengganti DPR yang sedang reses, untuk mengisi apa yang mereka anggap sebagai ‘kekosongan’ ketatanegaraan setelah ‘non aktif’nya DPR lama sementara DPR baru belum dilantik. Laksus Kopkamtibda Jaya merasa perlu untuk menahan 8 mahasiswa anggota ‘DPR Sementara’ ini, sebagai bagian dari tindakan represif yang tak dapat ditawar lagi. Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi. Dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1977, usai upacara peringatan, ribuan mahasiswa dan pelajar Bandung turun berbaris ke jalan-jalan kota Bandung dalam ‘kawalan’ panser tentara.

Suatu ketegangan baru telah terpicu. Tatkala kritik mahasiswa makin meningkat, kalangan kekuasaan yang merasa ‘berhasil’ dengan cara-cara keras dalam memadamkan Peristiwa 15 Januari 1974, kembali mengulangi sikap-sikap keras dengan kadar yang semakin tinggi.

Berlanjut ke Bagian 3

KPK versus Borobudur, ITB versus UI

SETELAH sepekan berpolemik soal-soal berat semisal filsafat dan agama, atau masalah-masalah sosial politik yang pelik, kelompok Para Pemikir, salah satu group di komunitas Yahoo, memilih mengkontribusikan humor di akhir pekan untuk mengendurkan syaraf. Akhir pekan ini dua diantaranya dikutip untuk pembaca blog ini untuk tujuan yang sama: Mengendurkan syaraf setelah lelah mengikuti berita-berita vonis Antasari Azhar dan Pansus KPK.

Kisah pertama. Untuk mengurangi stress dan depresi karena pekerjaan team KPK yang menumpuk, suatu hari mereka mengadakan tour wisata ke candi Borobudur. Di areal candi Borobudur mereka dipandu oleh seorang guide alias pemandu wisata. Oleh sang guide diceritakan awal berdirinya dan proses pendirian Candi Borobudur.

“Candi ini dibangun pada jaman Kerajaan Syailendra tahun 600 M. Perlu bapak-bapak ketahui, bahwa candi sebesar ini dibangun tanpa menggunakan semen sedikitpun.. .!”. Tim KPK terkagum-kagum.

Saat keluar dari candi, tiba-tiba sang pemandu wisata dihampiri oleh salah seorang anggota KPK. Dengan setengah berbisik staf KPK itu berkata, “Mas, tolong beritahu tahu saya siapa kontraktor yang membangun candi ini! Masak bangun candi sebesar ini nggak pakai semen, ini benar-benar keterlaluan. ..! Saya mau usut tuntas kasus ini.”

Dan, kisah kedua. Alkisah, seorang sarjana terpaksa menerima pekerjaan untuk bekerja di kebun binatang Ragunan, “apa boleh buat daripada nganggur, kerja beginian juga boleh” ,ujarnya saat awal melakukan pekerjaannya sebagai monyet-monyetan. Sepanjang hari sang sarjana harus betah mengenakan konstum dan topeng monyet sambil mengunyah pisang dan kacang rebus terus-terusan. Selain itu dia juga harus jumpalitan agar mirip tingkah monyet beneran.

Tak ayal lagi, atraksi itu mengundang minat pengunjung kebun binatang Ragunan yang berbondong-bondong ingin menyaksikan monyet super yang konon tidak hanya gesit dan lincah, tapi juga cerdas… Lha wong lulusan ITB…

Sayang sekali, yang namanya sial itu sulit dielakkan dan akhirnya datang juga, pada saat sedang jumpalitan seperti biasa, tiba-tiba saja “gedebuk…byurrrr” si monyet kecebur ke kolam kandang buaya!!

“Waduh… Mati aku!” pikir si monyet ketika buaya-buaya itu mendekatinya dengan antusias. Tatkala mulut salah seekor buaya itu membuka lebar seakan hendak memangsa si monyet, secara mengejutkan terdengar suara dari dalam mulut itu : “Jangan takut mas… Kami dari UI” sergah, orang yang menggunakan kostum buaya itu.

ASAL tahu saja, dari 8000 perguruan tinggi terbaik di dunia, menurut penelitian sebuah lembaga internasional baru-baru ini, ITB ada di posisi urutan ke-661 dan UI di urutan ke-815, sementara UGM di urutan ke-562. Posisi yang sungguh memadai, jauh sekali di atas standar Ragunan.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (5)

“Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. “Ada yang sekedar latah atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja”.

SUATU pertemuan orang-orang tak puas di kampus ITB di Bandung, menjadi lanjutan yang membuat temperatur politik tetap tinggi. Pertemuan Minggu pagi 9 Desember 1973 yang berlangsung hingga sore, menjadi forum dengan campuran hadirin yang menarik. Peserta datang dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan seniman, dan berasal dari lintas kota dan lintas generasi. Ada pengacara vokal dari Bandung ibu Amartiwi Saleh SH dan pengacara vokal lainnya dari Jakarta Adnan Buyung Nasution SH. Ada budayawan ‘tukang protes’ W.S. Rendra, ada deretan cendekiawan dari Jakarta maupun Bandung, seperti Drs Wildan Yatim yang menunjuk dwifungsi ABRI sebagai penyebab kaburnya hukum, Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang membahas penggunaan ‘akal sehat’, Professor Deliar Noor yang membicarakan tentang konflik dan penyelesaiannya, serta Dr Taufik Abdullah. Dan tentu saja sejumlah pimpinan berbagai Dewan Mahasiswa dari Bandung, Jakarta maupun Yogya. Pertemuan di ITB ini mengisyaratkan mengentalnya konsolidasi kaum kritis saat itu. Dan adalah memang setelah itu, suhu pergerakan menentang penguasa semakin meninggi hingga akhir Desember 1973.

Amat mencuat dari pertemuan itu penilaian bahwa keadaan negara saat itu telah tiba ke tingkat yang begitu buruk dan harus segera diakhiri, bila perlu dengan gerakan yang lebih berani dan tegas. “Kita ingin merdeka dengan tujuan mencerdaskan bangsa agar tidak bisa diinjak-injak. Setiap kungkungan kebodohan adalah lawan, tidak perduli siapa orangnya yang melakukan dan apa lembaganya” ujar Buyung Nasution dalam forum itu. “Memang tidak jelas siapa yang berkuasa di negara ini. Soeharto? Opsus? Atau Pangkopkamtib? Saya bukannya mengatakan tidak ada yang berkuasa, tetapi terlalu banyak, sehingga kacau !”. Kalau “keadaan begini terus, bagaimana? Kalau yang atur tidak beres, bagaimana dengan yang diatur?”. Lalu ia bertanya “Apakah keadaan ini kita terima atau bagaimana?!”. Hadirin menjawab “Lawan!”. Buyung melanjutkan “Tapi kita jangan naif, siapa yang jadi pemimpin tidak jadi soal. Tapi sebelumnya kita tanya dulu mau ke mana dia, jangan jadi memperkuda kita lagi. Jangan setelah diangkat jadi anggota DPR kemudian tenggelam, jadi menteri tenggelam. Ini orang-orang yang tidak berwatak! Momentum kita kembangkan terus, dari satu kita kembangkan terus. Mari kita bertarung secara jujur, bukan pat gulipat”.

Ketua DM Gajah Mada menyambut dengan ucapan, “Sekarang ini saya juga tidak tahu siapa sebetulnya yang berkuasa di negara kita ini, apakah Jenderal Soeharto, jenderal-jenderal, rektor atau yang lain-lain. Yang pasti hanya untuk menjumpai Jenderal Soemitro saja diperlukan prosedur yang berbelit-belit”. Kemudian ia menambahkan “Saya mau saja berdemonstrasi, tapi saya harus yakin lebih dulu, apakah kalau kita mau membuka front kita pasti menang?”. Untuk pertanyaan ini, datang jawaban dari Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik. Tokoh kampus yang sudah terjun melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer bersama sejumlah rekannya dari Bandung dan Jakarta ini, menyatakan “Banyak orang mengatakan apa yang dihasilkan generasi muda adalah sia-sia” –dan ini kerap dilontarkan kalangan penguasa yang menilai gerakan ekstra parlementer– “Mungkin ini benar. Tapi masalahnya, kita melihat kepincangan-kepincangan, ada hal-hal yang tidak beres ! Siapa yang mau bicara ? Mau tidak mau, harus kita lagi, generasi muda. Kita harus berkorban lagi ! Ini bukan sekedar pembelaan terhadap apa yang telah kita lakukan, tapi siapa yang berani menentang pemerintah ? Akhirnya kita juga para mahasiswa. Saya melihat semakin lama keadaan semakin buruk. Pemerintah terlalu economic oriented. Inilah yang membuat kita terhambat”. Menurut Hatta Albanik sudah terlalu banyak teori-teori yang dilontarkan. Mereka bukan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Mereka hanya ingin kekuasaan. Kita sok kerakyatan barangkali, tapi kita ingatkan agar yang berkuasa ingat akan rakyat. Percuma kita banyak ahli, tapi bungkam semuanya”.

Hariman Siregar dari UI mempertegas, “Kalau kita melihat ke atas, pilihan sangat sempit, yaitu apakah pimpinan yang ada dijatuhkan atau tidak ?”. Lalu dijawabnya sendiri, “Kultur orang-orang yang di atas jelas tidak memungkinkan adanya perubahan. Meskipun, mungkin saja tanpa orang-orang muda bergerak mereka akan jatuh”. Barangkali Hariman memaksudkan adanya pertarungan internal yang bisa menghasilkan pergeseran kekuasaan. “Tapi bagaimanapun kita harus mengikuti berjuang dan mengerti suasana, Konflik-konflik dan tantangan adalah risiko ! Lambat atau cepat kita akan ‘mendapat’ konflik”. Komaruddin dari DM-ITB memberikan jawaban atas segala kesangsian, “Kita harus berpikir bagaimana caranya membunuh benalu-benalu yang ada, apakah dengan sangkur atau alat yang lain”. Dengan nada yang memperingatkan untuk bertahan tanpa perpihakan kepada kelompok dalam rivalitas internal dalam kekuasaan, ia menegaskan “Dari pada kita merangkul Kopkamtib atau Aspri dan lain-lain…. lebih baik kita merangkul Miss University”. Sentilan Komaruddin ini menjadi bermakna, karena saat itu sangat kuat terasa adanya percobaan klik-klik kekuasaan yang sedang bersaing satu sama lain untuk menyusupkan pengaruh ke tengah generasi muda dan mahasiswa.

Tak kalah menarik, di tengah suhu tinggi semangat melawan, ada suara salah satu pembicara dari kalangan mahasiswa sendiri, Suroso, yang menyentil “Kita generasi muda terlalu galak kepada yang ada di luar, tetapi terlalu jinak pada kelemahan diri sendiri. Kalau kita inginkan agar pola konsumsi jangan terlalu berlebih-lebihan, janganlah kampus dibikin arena ratu-ratuan”. Salah seorang di antara pemenang kontes ratu-ratuan di tingkat Jawa Barat saat itu tercatat antara lain mahasiswi bernama Tinneke Pondaaga, yang kebetulan sekampus dengan Suroso di Universitas Parahyangan. Sedang Komaruddin yang tergolong radikal dan kampusnya langka akan pemenang kontes kecantikan, tapi pernah sekali melahirkan Miss Indonesia, yakni mahasiswi Seni Rupa ITB Irma Hadisurya, di tahun 1969, lebih senang merangkul Miss University daripada merangkul Kopkamtib dan Aspri. Itulah dinamika kehidupan, hasrat bisa berbeda-beda. Adalah pula Dr Taufik Abdullah yang juga mempunyai hasrat berbeda, ia berkata “Jangan termakan oleh pemuda-pemuda radikal, lalu ikut-ikutan radikal”.

Koreksi-koreksi dan peringatan-peringatan yang bersifat mawas diri, bukannya tak ada gunanya samasekali pada saat-saat terjadi eskalasi ketegangan seperti kala itu. Tokoh wanita pergerakan Amartiwi Saleh SH mengatakan “Saya setuju mahasiswa galak. Tapi yang saya lihat banyak mahasiswa galak, setelah jadi sarjana dan duduk di lembaga-lembaga pemerintah, jadi jinak. Paling sedih, mereka berkompromi dengan kejelekan”. Kritik Amartiwi Saleh ada dasarnya, karena saat itu banyak fakta empiris menunjukkan bahwa di antara kalangan perjuangan 1966 – yang merupakan senior para mahasiswa 1970-an itu– pun telah mencuat adanya perorangan yang terbawa arus kepentingan yang tak terpuji. Menurut Amartiwi, yang muda-muda harus jadi manusia merdeka, “yang harus mampu menciptakan suasana”. Dalam rumusan Syamsu dari Institut Pertanian Bogor, “Bagaimana kita merobah sistim, hingga sistim itu bisa berjalan”. WS Rendra yang baru saja usai selama dua hari berturut-turut mementaskan drama tentang perlawanan terhadap kekuasaan, ‘Mastodon dan Burung Kondor’, tampil berkata “Sudah saatnya orang-orang menyadari penting atau tidaknya radikalisme. Hendaknya radikalisme itu dengan tujuan untuk menciptakan suasana tertentu. Tapi juga diharapkan kesadaran mahasiswa agar rangsangan jangan terlalu banyak, jangan sampai kita muntah, hendaknya ada irama”. Ketika Benny dari Gajah Mada mengingatkan “jangan mau dibeli”, Rendra memberi jawaban, “Saya setuju jangan dibeli, tapi juga jangan diintimidasi”.

Forum menjelang terjadinya gerakan ekstra parlementer besar-besaran itu, juga digunakan oleh Badan Kerja Sama DM/SM se Jakarta –yang terdiri dari Universitas Atmajaya, Universitas Indonesia, Universitas Kristen Indonesia, IKIP Jakarta, Universitas Muhammadiyah, Universitas Pancasila dan Universitas Trisakti– untuk menyampaikan sebuah ikrar bersama yang bertanggal 7 Desember 1973. Mereka berikrar “Meningkatkan solidaritas di antara sesama generasi muda, sebagai konsekuensi rasa tanggung jawab kami, terhadap persoalan-persoalan masa kini”. Dan “Bertekad untuk mengambil langkah-langkah perubahan dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan”.

Di ambang demonstrasi besar-besaran

SETELAH pertemuan ‘orang-orang tak puas’ di Bandung itu, memasuki minggu ketiga Desember, sudah amat membayang akan segera terjadi demonstrasi besar-besaran. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang termasuk paling banyak memberi tempat kepada berita pergerakan mahasiswa dan generasi muda, menurunkan judul “Di Ambang Demonstrasi Besar-besaran ?” (23 Desember 1973). Judul ini menjadi semacam penafsiran berdasarkan pembacaan atas situasi dari waktu ke waktu. Menjelang Peristiwa 5 Agustus 1973, suatu penafsiran situasi tentang akan terjadi kerusuhan sosial, juga dilakukan oleh mingguan itu. Karena penafsiran-penafsiran seperti itu –yang kemudian terbukti menjadi kenyataan– mingguan itu mulai dicurigai keterlibatannya dalam perencanaan-perencanaan peristiwa. Suatu kecurigaan yang tidak beralasan samasekali, karena mingguan itu sebenarnya hanya menjalankan satu peranan jurnalistik yang sederhana, memberitakan dan menganalisa apa yang terjadi sebagaimana adanya. Tapi kecurigaan tidak harus memerlukan alasan.

Pada edisi yang terbit di akhir minggu ketiga Desember itu, Mingguan Mahasiswa Indonesia menulis “Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. Ada yang sekedar latah atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja.

Namun di antara bermacam-macam gerakan yang muncul, ada satu gerakan yang unik dan sangat menarik perhatian, pada pertengahan Desember. Gerakan itu dilakukan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sebagai suatu gerakan ekstra parlementer dengan tujuan Sekretariat Negara, Bappenas, Kopkamtib dan DPR-RI. Unik dan menarik, bukan karena KNPI-nya, melainkan karena tokoh-tokohnya. Ada sembilan tokoh yang turun pada hari pertama. Mereka adalah David Napitupulu anggota DPR/MPR yang juga adalah anggota DPP Golkar, Drs Surjadi anggota DPR Fraksi Demokrasi Pembangunan dan Drs Zamroni anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Bersama mereka turut pula Kapten TNI-AU dr Abdul Gafur anggota DPR dari Fraksi Karya serta Hatta Mustafa, Eko Cokroyogo, Hakim Simamora, Nazaruddin dan Letnan Kolonel S Utomo. Seperti David, beberapa lainnya adalah perorangan yang dikenal sebagai aktivis Golkar tingkat pusat yang diasosiasikan sebagai sayap Ali Moertopo. Sedang nama yang disebut terakhir, Utomo, menurut koran ibukota tak lain adalah ajudan Mayjen Ali Moertopo.

Di Bappenas delegasi para senior yang disindir karikatur ‘Sinar Harapan’ pahlawan kesiangan yang takut ketinggalan sepur, melalui David melontarkan tuduhan “kurang bersifat terbuka dalam pelaksanaan tugasnya selama ini dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”. Tuduhan David itu dijawab keesokan harinya oleh Sumarlin, Menteri PAN merangkap Deputi Bappenas. “Tidak benar kesan bahwa Bappenas menutup diri dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”, ujar Sumarlin, “Bappenas memperhatikan masalah-masalah maupun gejolak-gejolak yang timbul dalam masyarakat”. Delegasi KNPI sebenarnya tampil cukup vokal, yang terutama diwarnai oleh David Napitupulu tokoh perjuangan 1966 yang memang dikenal temperamental dan kritis. Kepada Sumarlin delegasi ini memberondongkan kecaman mengenai terdesaknya pribumi dan ekses-ekses modal asing. Usai pertemuan David mengatakan tidak puas terhadap jawaban-jawaban Sumarlin. Di DPR delegasi yang untuk sebagian besar terdiri dari anggota DPR, justru menyampaikan tuduhan di depan Wakil Ketua DPR Sumiskum – yang juga adalah petinggi Golkar– bahwa DPR tidak aktif menjalankan fungsinya. Sebagai bukti mereka menunjukkan terjadinya demonstrasi-demonstrasi belakangan itu. “Kalau DPR berfungsi semestinya, tak akan terjadi gejolak-gejolak seperti itu”. Ini ditolak oleh Sumiskum dengan memaparkan beberapa kegiatan yang telah dilakukan DPR, seperti misalnya beberapa kali menerima dan menampung aspirasi kalangan generasi muda.

Betapa pun berulang-ulangnya tokoh-tokoh KNPI itu menyebutkan bahwa aksi ekstra parlementer itu bukan gerakan politis, pers tetap saja menggambarkannya sebagai satu lakon politik yang konyol dan absurd. Bahkan gerakan mereka dicurigai sebagai gerakan silang untuk ‘memotong’ aksi-aksi mahasiswa yang sedang meningkat intensitasnya. Apalagi, nyatanya mereka adalah tokoh-tokoh yang sudah dengan jelas masuk dan berada dalam jalur kekuasaan melalui Golkar ataupun berada dalam partai-partai yang bagaimana pun mempunyai agenda serta kepentingan politik sendiri. Harian Kompas yang amat moderat pun tak tahan untuk tidak menggoda. “Semangat amat nih !” judul editorial yang diturunkannya untuk menanggapi gerakan itu. “Maka orang bertanya-tanya, ikut turunnya KNPI sekedar agar tidak dikatakan ketinggalan kereta atau memang mengajukan persoalan-persoalan baru yang perlu diperhatikan pemerintah?”. Memang ‘demonstrasi’ orang-orang muda yang sudah senior ini mendapat banyak sorotan dan komentar. Soalnya pesertanya dinilai janggal dan ganjil untuk ukuran demonstran. Akan hal ikutnya ajudan Ali Moertopo, penjaga pojok ‘Indonesia Raya’ Mas Kluyur sampai menyentil “Kok aneh, Jenderal Ali Moertopo kirim ajudan ikut demonstrasi ke Bappenas dan Kopkamtib. Kan bisa berdialog dengan angkat telepon saja?”.

Merasa tergugah oleh apa yang diperjuangkan rekan-rekannya di ibukota, sejumlah tokoh eks demonstran 1966 dari KAMI dan KAPPI di Ujung Pandang (Makassar) mencetuskan keresahan melalui Ikrar 17 Desember. Ikrar tersebut mereka keluarkan setelah melihat arah dan perkembangan pembangunan bangsa dan negara kala itu. Mereka menyatakan tekad menegakkan demokrasi, hukum dan konstitusi, serta mengisi kemerdekaan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat. Di Surabaya, Ronald dan kawan-kawan menyampaikan cetusan keresahan menjelang akhir tahun. Sedang di Medan, muncul ‘Gerakan Pemuda Menuntut Keadilan’.

Berlanjut ke Bagian 6

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (4)

“Mereka memperingatkan agar permainan kotor jangan dibiarkan. Mereka menilai, selama tujuh tahun tidak ada perbaikan berarti yang dicapai pemerintah dalam pembangunan, terutama yang menyangkut taraf hidup rakyat banyak”. “… dalam soal dana non budgetair ….. ada kelompok-kelompok yang kegiatannya adalah mencari ‘sumber-sumber’ (pribadi) dari sana”.

Menuntut para ‘dukun’

KETIDAKADILAN dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi memang banyak dikaitkan dengan kebijaksanaan salah arah dalam penggunaan bantuan luar negeri dan penanaman modal asing. Modal Jepang menjadi sasaran ‘favourit’ kritik mahasiswa dalam hal yang satu ini. Suasana anti Jepang yang makin meningkat menjelang akhir 1973 itu, khususnya di kalangan generasi muda, sudah dirasakan jauh sebelumnya. Bahwa pasti akan ada sesuatu yang terjadi pada orang-orang Jepang ini, juga bukanlah hal yang tak bisa diperhitungkan sebelumnya. Bahkan, banyak yang mengatakan tinggal tunggu waktu mahasiswa akan turun ke jalan lagi dengan sasaran utama modal Jepang. Sasaran juga akan mengarah kepada pihak-pihak dalam kekuasaan yang dianggap mahasiswa ‘mendukuni’ masuknya modal Jepang secara tidak sehat ke Indonesia.

Sejak pekan terakhir Nopember, memang telah terjadi setidaknya tiga gelombang gerakan protes generasi muda. Pertama, pada hari Rabu, satu delegasi mahasiswa ITB datang ke Bappenas mempertanyakan masalah modal asing. Mereka memperingatkan agar permainan kotor jangan dibiarkan. Mereka menilai, selama tujuh tahun tidak ada perbaikan berarti yang dicapai pemerintah dalam pembangunan, terutama yang menyangkut taraf hidup rakyat banyak. Ekses dari modal asing yang salah arah hanyalah salah satu penyebab. Disusul sehari sesudahnya, ‘Gerakan Mahasiswa Bertanya’ dari Jakarta mendatangi Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk pokok soal yang sama, seraya menyebut-nyebut nama salah seorang Aspri Presiden Mayjen Soedjono Hoemardani sebagai orang yang sangat terlibat dalam praktek masuknya modal Jepang dengan cara-cara yang tidak sehat. “Sampai sejauh manakah kebenaran opini dalam masyarakat bahwa Soedjono Hoemardani memainkan peranan dalam pelaksanaan penanaman modal Jepang?” tanya mereka.

Pada akhir pekan itu, menyusul datang satu delegasi besar mahasiswa Bandung yang dikoordinasi oleh 3 Dewan Mahasiswa –Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan ITB– mendemonstrasi Kedutaan Besar Jepang di Jalan Mohammad Husni Thamrin Jakarta. Gerakan mahasiswa Bandung itu, menurut Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar, “kami dukung”, meskipun mahasiswa UI tidak ikut turun ke jalan. Karena Duta Besar Jepang tidak ada di tempat, delegasi mahasiswa hanya diterima oleh Kuasa Usaha bernama Mogi. Diplomat Jepang ini dengan terheran-heran bertanya kepada para mahasiswa Bandung itu, “Apa sebab protes kepada kami” dalam bahasa Inggeris, “bukankah seharusnya protes ini disampaikan kepada pemerintah Indonesia ?”. Para mahasiswa menjawab, “Sebagai warga negara Indonesia, kami berhak menilai keadaan yang merugikan kepentingan kami dan berhak mengajukan protes-protes kepada pihak-pihak yang terlibat“. Mahasiswa mengutarakan modal Jepang di Indonesia dalam prakteknya banyak memberikan efek negatif. Maka menurut Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, mahasiswa mengajukan appeal kepada para pengusaha Jepang melalui pemerintah Jepang “agar dalam menjalankan usaha di Indonesia, tidak merugikan bangsa Indonesia”. Seraya mengungkap betapa dalam tempo hanya tiga setengah tahun saja penjajahan Jepang telah meninggalkan bayangan pahit yang berbekas dengan mendalam, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik mengatakan Jepang tidak memperhatikan kepentingan bangsa Indonesia. “Kita melihat wajah lama Jepang itu ditampilkan lagi oleh para pengusaha Jepang dalam usahanya di Indonesia dengan cara-cara yang terlampau serakah”.

Menjawab para demonstran, Mogi menyatakan “Bukankah dalam perdagangan Jepang dengan Indonesia, justru yang diuntungkan adalah Indonesia?”. Para demonstran dari Bandung itu membantah dalih sang kuasa usaha, “Tidak benar. Mungkin dari segi angka itu benar, tapi dari segi kualitatif tidak benar”. Ketua Umum DM Universitas Parahyangan Budiono Kusumohamidjojo mengecam pihak Jepang yang hanya memperhatikan segi-segi kuantitatif dalam hubungan ekonomi itu dan mengabaikan segi kualitatifnya.

Lewat bahasa poster para mahasiswa menampilkan kalimat-kalimat tajam. “Bukan lautan tapi kolam Suzu(ki), udang dan ikan dan ganggang dan ubur-ubur dan kadaall menghampiri jaringmu”. Kalimat poster yang ditenteng mahasiswa Universitas Padjadjaran yang bernama Tjupriono ini merupakan plesetan dari ‘kolam susu’ lagu Nusantara ciptaan Koes Bersaudara. Poster lainnya berbunyi “Modal anda = pengangguran”, “Nipong Indonesia sama-sama (gendut), Nipong kenyang Indonesia busung lapar”, “Tiga Berlian sedap, Ajinomoto lebar dan kuat, rakyat sekarat dan tahan lama”, “Laut Indonesia untuk rakyat Indonesia”, “Tanam modalmu buat kemakmuran rakyat bukan untuk pribadi-pribadi”. Lalu ada anjuran “Bagi modalmu ada saluran resmi bukan brokerbroker”, dan sebuah poster yang dipegang Fuad Afdhal dari DM-ITB menyimpulkan saran “Tempuhlah saluran resmi”. Untuk urusan poster dan spanduk ini terjadi dua kali insiden dengan petugas-petugas dari kepolisian. Poster dan spanduk diambil oleh petugas-petugas tapi terpaksa dikembalikan setelah diprotes para demonstran. Insiden kedua terjadi ketika para mahasiswa mau memasang spanduk di mobil, tapi dilarang para petugas. Melalui adu argumentasi akhirnya spanduk dipasang di kiri dan kanan kendaraan yang mereka pakai, tetapi yang di bagian belakang dilepas oleh para petugas kepolisian Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sutrisno Ilham.

Para demonstran juga mengeluarkan surat seruan yang ditandatangani oleh tiga Ketua Umum Dewan Mahasiswa yang mengkoordinir gerakan. “Dalam dunia baru, kenangan pahit terhadap Jepang seharusnya punah. Peranan dan kepentingan Jepang yang ditampilkan melalui pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia, tidak seharusnya menggugah kembali kenangan pahit itu, dengan cara yang baru dan merugikan rakyat Indonesia”. Maka para mahasiswa menyerukan: “Kepentingan rakyat Indonesia adalah sasaran usaha kami. Itu pun haruslah diperhatikan terhadap penanaman modal dan usaha, oleh siapa pun di bumi kami. Cara-cara tak wajar yang anda lakukan, akan semakin merusak wajah anda di mata rakyat kami dan menjerumuskan pejabat-pejabat kami bermain kotor. Hubungan rakyat kami dengan anda bukanlah hanya hubungan produsen dan konsumen, tetapi didasarkan atas kepentingan bersama rakyat Indonesia dan anda”. Seterusnya mereka menyatakan “Kami ingatkan ini, karena kehadiran anda mewakili rakyat Jepang. Sedangkan pemerintah kita, Indonesia dan Jepang, telah berusaha membina hubungan baik selama ini. Harapan kami seruan ini menyentuh pula hati pejabat-pejabat Indonesia, agar tidak menyediakan dirinya menjadi brokerbroker ekonomi. Sehingga, persahabatan Indonesia-Jepang bukan ditandai oleh persekutuan antara penjual-penjual negeri Indonesia dengan ‘binatang-binatang’ ekonomi dari Jepang”.

Adalah pada Jumat pekan itu juga diselenggarakan diskusi ‘Untung Rugi Modal Asing’ di Balai Budaya Jakarta. Suasana diskusi saat itu terasa bagai sudah diambang letupan besar aksi-aksi parlementer. Seorang mahasiswi bernama Sylvia Gunawan tampil berapi-api di forum itu. “Persoalan modal asing yang sebenarnya, kita sudah tahu”, ujarnya, “Tapi yang penting adalah bagaimana mengambil sikap dan langkah-langkah selanjutnya”. Lalu Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI yang berkacamata itu membacakan sebuah ikrar, untuk “menegakkan kembali kebanggaan nasional yang sebagian telah dicemarkan oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia”. Dan, “mengusahakan dengan segala cara yang berdasarkan hukum untuk menegakkan kembali kebanggaan nasional tersebut”. Ikrar yang kemudian diedarkan sang mahasiswi kepada hadirin, ternyata mendapat sambutan yang besar. Tak kurang dari 150 orang membubuhkan tanda tangan pada ikrar. Diantaranya tokoh-tokoh seperti Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis, Yap Thiam Hien, Juwono Sudarsono, Marsillam Simandjuntak, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Louis Wangge dan Hariman Siregar.

Yang paling menonjol dalam diskusi yang hangat ini ialah pernyataan-pernyataan ketidakpuasan terhadap keadaan saat itu. Apakah itu kepada salah arah pembangunan, penyalahgunaan kekuasaan dan penyakit lemah iman di kalangan pejabat ataukah kepada ekses pelaksanaan keliru dalam pemasukan modal asing. Tatkala suhu diskusi makin meningkat, seorang pembicara muda yang melampiaskan ketidakpuasannya menyatakan dirinya berani menanggung risiko ucapan-ucapannya dalam forum tersebut. “Sampai ditangkap sekalipun, saya berani”. Dengan cepat tokoh pers perjuangan Mochtar Lubis yang menjadi moderator menanggapi, “Saya rela ditangkap bersama kalau memang ada penangkapan”. Urusan tangkap menangkap itu muncul karena para penguasa militer dalam hari-hari terakhir memang tak hentinya menggertak akan menangkap mereka yang tak mau menghentikan gerakan-gerakan ekstra parlementer.

Dari para panelis yang hadir, Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Maruli Panggabean, cukup banyak terlontar gambaran pahit. Dua panelis lainnya mantan wakil presiden RI Muhammad Hatta dan Dr Suhadi Mangkusuwondo seorang Dirjen pada Departemen Perdagangan, tidak hadir namun mengkontribusikan pemikiran pemikiran bagi diskusi tersebut. Dorodjatun menunjang pendapat Hatta bahwa modal asing tak seharusnya menguasai hajat hidup bangsa. “tapi nyatanya sekarang ini masuknya modal asing telah membuat perusahaan dalam negeri separuh mati, belum lagi bahwa proteksi terhadap pribumi ini sudah lama dipreteli”. Dorodjatun mengakui bahwa secara teoritis modal asing dapat berguna menambal kekurangan dana dalam negeri maupun melengkapi bidang teknologi dan manajemen. Tapi, tanpa proteksi bagi pengusaha dalam negeri dan tanpa pengarahan, akan menimbulkan kesukaran-kesukaran. Tanpa segan-segan Dorodjatun menunjuk adanya ketidakberesan di kalangan pejabat. Salah satu contoh adalah dalam soal dana non budgetair dimana ada kelompok-kelompok yang kegiatannya adalah mencari ‘sumber-sumber’ (pribadi) dari sana. “Kekacauan makin komplit jadinya”, ujarnya. Ucapannya itu menjanjikan bahwa di masa depan bilamana ia memegang kendali kebijakan –dan memang belakangan ia menjadi Menteri Perekonomian di masa Presiden Megawati Soekarnoputeri– ia akan bersikap tegas dan jelas.

Maruli Panggabean pun tidak kalah banyak melontarkan kecaman ke arah kalangan pejabat pemerintahan. Menurut Maruli tak sedikit pejabat yang melontarkan ucapan-ucapan yang membuktikan bahwa yang bersangkutan tak punya harga diri. Antara lain ucapan-ucapan mereka yang mengejek bahwa bangsa Indonesia tak bisa bekerja, tak mampu berekonomi, tidak terampil dan sejumlah ucapan meremehkan lainnya. “Apakah ucapan-ucapan itu benar? Masih perlu diselidiki”. Maruli sendiri belum bisa menarik kesimpulan apakah betul bangsa kita ini tak mampu berekonomi dan sebagainya. Maruli mengecam ucapan-ucapan pejabat yang suka membunuh semangat pengusaha-pengusaha Indonesia. Ia mencontohkan ucapan Menteri PAN (Pendayagunaan Aparatur Negara) JB Sumarlin yang beberapa waktu sebelumnya mengatakan bahwa para pengusaha Indonesia itu sulit dipersatukan, karena semuanya ingin jadi direktur saja. Lalu Maruli balas melontarkan sindiran “Di kalangan teknokrat pun ada penyakit, semua ‘kepingin’ jadi menteri saja”. Seperti Hatta maupun Dorodjatun, Maruli juga menganggap modal asing hendaknya hanya sebagai pelengkap. Dalam hal ini pemerintah harus punya konsep yang jelas. “Bukan janji-janji mendadak saja, kalau mahasiswa-mahasiswa ribut lagi. Tapi kalau keadaan tenang, lupa”.

Pengacara Yap Thiam Hien menyerang dari sudut yang lain. Ia meminta perhatian akan masalah pemisahan kekuasaan politik dan ekonomi, khususnya kepada DPR. Namun ia menyatakan sangsi kepada DPR karena beberapa hal, misalnya fakta banyaknya anggota DPR yang juga adalah dari eksekutif. “Bagaimana bisa seorang pegawai yang jadi anggota DPR berani menilai atasannya yang menteri. Bagaimana bisa seorang anggota DPR berpangkat Kolonel mengeritik Menteri Dalam Negeri yang berpangkat Letnan Jenderal?”. Moderator Mochtar Lubis mempertajam diskusi dengan mengemukakan bahwa menurut faktanya modal asing yang saat itu diundang bersama teknologinya tidaklah sesuai dan serasi dengan tingkat kebutuhan bangsa saat itu. Kenapa harus dipaksakan, sehingga menjadi satu bentuk penjajahan baru.

Berlanjut ke Bagian 5