Tag Archives: bailout Bank Century

Dilema Sri Mulyani dan KPK

“Tetapi, terlepas dari dilema Sri Mulyani, yang lebih menggelitik untuk segera diperoleh jawabnya adalah dugaan yang ada di benak banyak orang, apakah betul skandal Bank Century ini punya tali temali dengan dana politik untuk kepentingan Partai Demokrat dan partai politik lainnya dalam pemilihan umum yang lalu maupun kepentingan SBY-Budiono dalam pemilihan presiden 2009? Kehidupan politik hingga beberapa tahun ke depan akan selalu terganggu oleh prasangka seperti ini bilamana tak ada jawaban signifikan”.

PENGUNDURAN diri Sri Mulyani Indrawati dari posisi Menteri Keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu II, dan menerima tawaran Bank Dunia untuk memangku jabatan Managing Director –yang telah mendapat persetujuan Presiden– dengan segera menjadi suatu situasi dilematis. Bukan hanya bagi Sri Mulyani sendiri, melainkan juga bagi KPK yang masih sedang memeriksa dirinya dalam kaitan bailout Bank Century. Apakah Sri Mulyani bisa ‘pergi’ begitu saja ke pos barunya di Washington, sebelum menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya di dalam negeri, setidaknya hingga akhir bulan ini? Reaksi pro-kontra pun telah bermunculan dengan cepat.

Menurut Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto, tidak masalah Sri Mulyani ke Bank Dunia. “Yang penting masih di dunia”, katanya di DPR Rabu 5 Mei, “masih bisa kami cari”. Artinya, KPK tidak menggunakan mekanisme cekal, mengingat status Sri Mulyani yang ‘belum’ tersangka. Tetapi berbeda dengan sikap KPK, sejumlah anggota DPR meminta KPK bekerja cepat sebelum Sri Mulyani berangkat. Kalau perlu, digunakan mekanisme cekal, dan preseden pencekalan bagi yang bukan berstatus tersangka oleh para penegak hukum sudah terjadi berkali-kali. Dengan demikian, terlihat bahwa bila KPK membiarkan Sri Mulyani berangkat sebelum pemeriksaan atas dirinya dianggap tuntas, akan terjadi ‘adu keinginan’ dan adu argumentasi yang sengit, dengan KPK sebagai sasaran kecaman. Memeriksa Dr Budiono dan Dr Sri Mulyani di tempat masing-masing pun sudah menjadi sumber kecaman, KPK dianggap tidak menjalankan equal treatmen melainkan pilih-pilih bulu.

Keterkaitan antara Sri Mulyani dengan kasus Bank Century, menyebabkan ia secara politis berada dalam posisi ‘dipersalahkan’, khususnya oleh mayoritas kekuatan politik di DPR-RI saat ini. Keputusan ‘bersalah’ itu diambil saat lembaga perwakilan rakyat tersebut melalui Pansus Bank Century ‘mengadili’ kebijakan Sri Mulyani dalam kedudukannya di masa lampau sebagai Ketua KKSK. Sementara itu, pada ranah hukum, KPK sejauh ini masih memeriksanya dalam posisi ‘dimintai keterangan’ sebagai saksi. Belum kita ketahui apakah KPK yang dalam penanganan kasus kali ini agak lamban, akan menemukan aspek pelanggaran hukum yang dilakukan Sri Mulyani, sehingga pada akhirnya bisa menjadi tersangka, ataukah sebaliknya tidak menemukan pelanggaran pidana berbau korupsi yang bisa dimintakan tanggungjawabnya dari doktor ilmu ekonomi ini.

Dalam menilai Sri Mulyani, publik tampaknya terbelah dua. Sebagian masih percaya kepada integritasnya sepanjang yang bisa dilihat dari rekam jejaknya yang belum ternoda sebelum ini. Bahwa borok di Kementerian yang dipimpinnya dalam enam tahun belakangan ini, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak, kini mencuat satu persatu, cenderung lebih dianggap sebagai borok kronis yang sudah berlangsung turun temurun. Bukan kesalahannya, untuk tidak menyebut bahwa ia sempat dibenci di lingkungan pengelolaan lumbung uang negara itu karena pilihan perannya sebagai Madame Clean.  Khusus mengenai keterlibatannya dalam kasus Bank Century, pun lebih dilihat sebagai sesuatu ‘keterseretan’ dan ‘keterjebakan’, entah oleh permainan apa oleh siapa.

Belahan lain dalam opini, selain demo anti Budiono-Sri Mulyani, sikap kontra terutama terwakili oleh sejumlah anggota DPR. ‘Kebencian’ yang diperlihatkan oleh beberapa anggota lembaga terhormat itu kepada Sri Mulyani, kadang-kadang terasa tidak proporsional dan agak berlebihan juga, bukan lagi sekedar sikap kritis yang tak bertanduk dan tak bersayap. Meskipun banyak kalangan masyarakat yang cukup marah terhadap kejahatan keuangan terkait Bank Century, tidak berarti serta merta publik merasa nyaman terhadap cara penanganan ‘politik’ yang dilakukan DPR dalam kasus ini. Publik juga tahu tidak semua anggota DPR itu ‘bersih’ dan atau bertindak karena idealisme kebenaran dan kepentingan rakyat. Sulit juga bagi masyarakat untuk ‘jatuh cinta’ sepenuhnya kepada para wakil rakyat itu. Tingkah pola yang aneh-aneh sekedar untuk menarik perhatian di panggung komedi politik, arogansi melalui kata-kata yang mentang-mentang karena merasa ‘punya kuasa’ dan keistimewaan sebagai anggota parlemen, dan aneka perilaku vulgar lainnya, malah memancing rasa ‘muak’ yang makin menjauhkan ‘rasa cinta’ itu.

BILA dalam tempo kurang dari sebulan ini, KPK bisa bergerak cepat menemukan sejumlah petunjuk atau bukti awal keterlibatan Sri Mulyani, tentu yang bersangkutan bisa segera ditetapkan sebagai tersangka. Dengan sendirinya, apa boleh buat, meskipun sangat patut disayangkan, maka seorang warga bangsa ini harus kehilangan suatu peluang untuk meraih suatu posisi prestigeous yang sedikit banyaknya bisa menjadi kebanggaan Indonesia. Akan tetapi terlepas dari itu, tentu sungguh menarik juga kenapa sebagai lembaga perbankan dunia, Bank Dunia tetap menginginkan merekrut Sri Mulyani yang sedang ‘bermasalah’ –katakanlah demikian– dengan hukum di negerinya. Padahal, biasanya, lembaga perbankan sangat sensitif terhadap figur yang punya masalah hukum yang bisa saja berkonotasi korupsi dan atau kejahatan keuangan. Apakah para pengambil keputusan di lembaga keuangan milik sejumlah pemerintah negara di dunia, kali ini memberi pengecualian atau bahkan sangat meyakini reputasi ‘kebersihan’ Sri Mulyani?

Tak kalah menarik, tentu adalah mengapa Sri Mulyani menerima tawaran Bank Dunia –yang sudah diajukan jauh-jauh hari sebelum Sri Mulyani terpilih sebagai Menteri Keuangan untuk kedua kali– justru pada saat dirinya masuk dalam pusat serangan? Dan kenapa SBY langsung menyetujuinya dalam waktu relatif singkat? Serangan gencar ke arah Sri Mulyani sepanjang yang bisa dilihat sejauh ini, sudah merupakan ‘pertempuran’ politik dan atau tepatnya ‘pertempuran kepentingan’. Beberapa pihak –di luar maupun di dalam tubuh pemerintahan sendiri– berkepentingan untuk menggusur Sri Mulyani dari posisi Menteri Keuangan. Ada yang karena merasa terancam oleh tindakan-tindakan ‘keras’nya sebagai Madame Clean: Entah pengusaha pengemplang pajak besar-besaran, entah pejabat yang kotor, entah karena rivalitas dalam merebut posisi strategis Kementerian Keuangan, entah kelompok-kelompok yang dibayar untuk merongrong dan sebagainya dan sebagainya. Atau semua sekaligus dalam satu ‘koalisi-konspirasi’ besar yang terbentuk oleh kesamaan kepentingan jangka pendek. Pokoknya, lengkap tercampur aduk dalam satu panci pertarungan kepentingan. Apakah Sri Mulyani yang selama ini gigih dan tegar, sudah letih dan memilih keluar gelanggang dan mencari ketenangan di Bank Dunia. Posisi di Bank Dunia itu memang prestigeous, namun tidaklah juga amat luar biasa dibandingkan nilai strategis posisi Menteri Keuangan di negeri yang masih kuat diselimuti korupsi ini. Atau apakah memang ada kekuatan –yang bisa siapa saja– yang menganggap sudah saatnya dan atau berhasil memaksa biji catur yang satu ini dikeluarkan dari permainan?

Sebaliknya, bagaimana bila KPK tetap lamban dan tak bisa menemukan aspek pidana terkait Sri Mulyani dengan segera menjelang tanggal 1 Juni 2010? Tidak ditemukannya aspek pidana itu, bisa terjadi karena kelambanan dan ketidakgesitan KPK, sebagaimana bisa juga karena memang pada dasarnya Sri Mulyani tidak melakukan pidana. Bila yang terjadi adalah yang pertama, yakni faktor kekuranggesitan atau kelambanan KPK, apakah KPK akan mencari jalan untuk mencekal Sri Mulyani yang berstatus saksi? Tapi bagaimana kalau sudah dicekal dan ternyata untuk jangka waktu yang panjang KPK tak juga kunjung menemukan aspek pidana itu, sementara Sri Mulyani sudah tidak bisa berangkat memangku jabatan barunya di Bank Dunia? Bagaimana pertanggungjawaban moral KPK dalam hal ini? Seperti telah dikatakan Bibit, KPK tak memilih jalan seperti itu. Bila yang terjadi adalah yang kedua, aspek pidana sepanjang menyangkut Sri Mulyani memang tak bisa ditemukan, apakah KPK punya keberanian menyatakan tidak menemukan aspek pidana itu, meskipun melawan arus politik dan untuk sebagian juga melawan arus opini publik?

Tentu masih banyak lagi kemungkinan lain yang bisa dianalisis dalam kaitan kejadian dilematis ini. Termasuk satu pikiran moderat, bersifat jalan tengah, bahwa KPK menggunakan waktu yang ada untuk memeriksa Sri Mulyani secara intensif dengan harapan bisa lebih cepat menemukan kesimpulan awal, meskipun lagi-lagi ini merupakan suatu special treatment yang bisa diserang sebagai unequal treatment before the law. Sikap legowo dari semua pihak menjadi penting di sini. Dan kalaupun pemeriksaan intensif itu tidak juga berhasil mencapai kesimpulan awal yang cukup cepat untuk segera menentukan suatu tindakan, satu-satunya jalan adalah ‘perjanjian’ terhormat bahwa Sri Mulyani akan selalu siap datang ke Jakarta memenuhi setiap kewajiban hukum bila itu diperlukan. Meski harus diakui bahwa menurut pengalaman empiris, pemeriksaan terhadap mereka yang berada nun jauh di seberang sana biasanya bukan sesuatu yang mudah. Namun barangkali cukup alasan untuk berharap bahwa Sri Mulyani bukan seseorang dengan kelas seperti Siti Nurbaeti Adang atau Djoko S. Chandra dan sejumlah ‘pelarian’ hukum lainnya.

Tetapi, terlepas dari dilema Sri Mulyani, yang lebih menggelitik untuk segera diperoleh jawabnya adalah dugaan yang ada di benak banyak orang, apakah betul skandal Bank Century ini punya tali temali dengan dana politik untuk kepentingan Partai Demokrat dan beberapa partai politik lainnya dalam pemilihan umum yang lalu, maupun kepentingan SBY-Budiono dalam pemilihan presiden 2009? Kehidupan politik hingga beberapa tahun ke depan akan selalu terganggu oleh prasangka seperti ini bilamana tak ada jawaban signifikan. Maka merupakan satu kebutuhan untuk melakukan penyelidikan bersungguh-sungguh dan jujur –yang berguna bagi kepentingan semua pihak– guna menemukan jawaban itu, meskipun sepanjang pengalaman empiris dalam sejarah politik Indonesia, hal-hal semacam itu nyaris musykil untuk berhasil dilakukan. Bagaimanapun, kita semua perlu tahu duduk kebenarannya: Apakah Sri Mulyani memang seorang drakula keuangan yang menjadi alat suatu kekuasaan dan kekuatan politik, ataukah ia justru seorang Madame Clean sejati yang perlu dipertahankan berada dalam posisinya untuk menjaga pundi-pundi negara tetap selamat dari drakula-drakula sebenarnya yang bertebaran di mana-mana dalam kehidupan bernegara di Indonesia….

Keadilan Sosial Nan Tak Kunjung Tiba (3)

“Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi”.

Kelompok Kaya Baru dan Para Cukong

KELOMPOK kaya baru ini mempunyai sejumlah simbol status. Salah satu simbol adalah rumah mentereng –kebanyakan dibuat bertingkat– yang dibangun di atas tanah yang luas di wilayah kota yang bergengsi seperti di Menteng, Kebayoran Baru dan Pondok Indah. Selain itu, tak henti-hentinya dibuka wilayah pemukiman baru yang elite dari waktu ke waktu. Setiap kota besar lainnya di luar Jakarta, juga senantiasa punya daerah-daerah pemukiman elite. Bertumbuhnya Jakarta menjadi metropolitan, yang segera ditiru gayanya oleh kota-kota besar lainnya, bagaimanapun telah memicu meningkatnya hasrat konsumerisme yang tidak produktif. Sikap konsumtif itu berinteraksi, saling mempengaruhi secara timbal balik dengan hasrat korupsi yang dilakukan sebagai jalan pintas untuk memperoleh kemewahan hidup melebihi lapisan masyarakat lain pada umumnya. Hasrat konsumtif memicu hasrat berkorupsi, lalu keberhasilan memperoleh tambahan kekayaan melalui korupsi itu bekerja kembali untuk makin meningkatkan konsumerisme.

Selain memiliki rumah mewah, simbol status lainnya adalah memiliki mobil-mobil mewah. Setiap keluarga sebaiknya memiliki lebih dari satu, biasanya 3 sampai 4 mobil sekaligus. Simbol lainnya adalah pesta-pesta perkawinan keluarga yang luar biasa semarak lengkap dengan upacara adat yang agung dan berbiaya mahal. Pastilah untuk melayani hasrat bermobil mewah, maka seorang cina muda bernama Robby Cahyadi –nama kelahirannya Sie Cia Ie–  muncul menjadi bintang penyelundup mobil mewah. Tidak tanggung-tanggung, mobil mewah ini diselundupkan melalui Halim Perdana Kusumah yang ada dalam kawasan Angkatan Udara Republik Indonesia. Desas-desus yang tercipta menyebutkan keterlibatan nama-nama yang dekat dengan Cendana. Desas-desus ini menjadi kuat dan diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat, karena Kapolri Hugeng Iman Santoso yang menindak tegas penyelundupan itu belakangan dicopot dari jabatannya, tapi resminya disebut akan memasuki masa persiapan pensiun. Ia diganti oleh Jenderal M. Hasan. Dalam proses peradilan atas diri Robby Cahyadi, nama-nama kalangan atas lenyap dan tinggallah Robby sendiri dan beberapa pejabat kelas menengah bawah seperti Abu Kiswo dan Heru dari Direktorat Bea Cukai yang akhirnya harus menerima hukuman dan meringkuk dalam penjara.

Bersamaan dengan meningkatnya konsumerisme dan korupsi, rasa keadilan masyarakat makin tersayat dan menimbulkan kerak luka dalam sanubari rakyat banyak. Timbun menimbun dari waktu ke waktu dan menciptakan apa yang disadari waktu itu sebagai jurang sosial yang makin menganga, menunggu waktu untuk meletup. Suatu keadaan yang masih berlanjut hingga kini tanpa adanya kemampuan dari mereka yang naik ke dalam kekuasaan untuk memperbaikinya.

Siapa-siapa saja yang berhasil menjadi anggota kelompok kaya baru di Indonesia ?

Pembangunan ekonomi yang selangkah demi selangkah mengalami kemajuan berarti, membuka banyak peluang. Mereka yang berhasil menangkap peluang, menjadi kelompok kaya baru. Banyak di antaranya yang berhasil memperolehnya dengan memeras keringat dan otak melalui jalan-jalan yang wajar. Namun masih lebih banyak lagi yang berhasil memperoleh peluang semata-mata karena kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan –dan atau memang ada di pusat kekuasaan itu sendiri. Mereka yang disebut terakhir ini, masih tetap merupakan pola hingga tahun 2009.

Pusat kemakmuran yang termasyhur, di awal masa kekuasaan Soeharto, jelas adalah Pertamina di urutan pertama. Di bawahnya barulah perusahaan-perusahaan milik negara lainnya. Keberadaan BUL (Badan Urusan Logistik) yang kemudian berubah jadi BULOG juga menonjol dan termasuk sebagai lembaga yang banyak memberi kesempatan dan rezeki kepada beberapa pihak. Dan pada bagian-bagian akhir masa kekuasaan Soeharto, pusat kemakmuran beralih pada konglomerasi maupun ‘kerajaan’ bisnis keluarga yang ditopang perilaku korupsi-kolusi-nepotisme. Salah satu ledakan besar akibat perilaku korupsi-kolusi-nepotisme itu terjadi melalui skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) di akhir masa kekuasaan Soeharto yang penyelesaiannya menjadi pekerjaan rumah berkepanjangan hampir sepanjang masa reformasi. Di masa pasca Soeharto, jalan pintas untuk kemakmuran pribadi mendadak berwujud sebagai korupsi berjamaah di berbagai penjuru tanah air, selain melibatkan pelaku tradisional dari kalangan birokrasi, juga melibatkan kalangan legislatif di pusat maupun di daerah. Sejumlah anggota DPR-RI menjadi tersangka di KPK. Perilaku korupsi dan nepotisme pun merasuk ke dunia politik terutama di tubuh partai-partai politik, sementara praktek mafia hukum belum kunjung usai. Terkait perilaku kalangan kekuasaan,  apa yang terjadi dengan bailout Bank Century mengingatkan pada pola BLBI.

Di Pertamina pada masa-masa awal kekuasaan Soeharto, selain Ibnu Sutowo dan keluarganya, terdapat sederetan nama termasyhur yang kemudian tercatat sebagai elite keuangan Indonesia. Nama-nama itu antara lain, Haji Thaher, Kolonel Sjarnubi Said dan Brigjen Pattiasina, serta sederetan nama dalam jumlah besar namun tidak terlalu populer sehingga dapat disebut ‘beruntung’ karena tidak menjadi sorotan pers. Terselip pula nama seorang cina yang banyak berdomisili di Singapura, Tong Djoe, yang mewakili banyak kepentingan Ibnu Sutowo di luar negeri.

Bagaimana mudahnya pemegang otoritas di Pertamina memperoleh uang, bisa ditunjukkan dengan suatu ‘rahasia umum’ tentang betapa berharganya tanda tangan otoritas perusahaan minyak itu. Newsweek 16 Juni 1969 mengutip pengakuan seorang pejabat perusahaan minyak Amerika Serikat yang mengungkap berbagai pungutan dan suap yang harus dikeluarkan untuk mendapat persetujuan. “Kami tahu bahwa kami harus membayar dua kali lipat untuk segala sesuatu, tetapi potensi keuntungannya cukup memadai”, ujar sang pengusaha. Hanya untuk memperoleh ‘hak guna usaha’ sumber minyak lepas pantai (offshore lease), para pengusaha asing pada umumnya bersedia membayar ‘harga’ tanda tangan (bonus signature) yang berkisar antara US$ 100,000 sampai US$ 7,000,000. Perusahaan yang memperoleh hak guna usaha itu mendapat 40 persen dari hasil produksinya untuk menutupi ongkos-ongkos dan kemudian harus menyerahkan 2/3 dari 60 persen sisanya kepada Pertamina. Selanjutnya seluruh perlengkapan bergerak menjadi milik Pertamina dan disewakan kembali kepada produsen yang bersangkutan. Bersamaan dengan berita Newsweek itu, Harian Operasi yang terbit di Jakarta, pada penerbitan 14 Juni 1969, memberitakan satu contoh lain yang berlevel lebih bawah, berupa pembelian 21 kapal tanker oleh Pertamina senilai US$ 242,720,000. dengan pembayaran jangka 10 tahun yang memakai borg (jaminan) 6 tanker Pertamina. Harga itu menurut Harian Operasi tidak wajar dan di atas standar. “Kontrak pembelian semula akan disetujui oleh Menteri Perhubungan Drs Frans Seda sendiri. Tetapi entah karena apa, Frans Seda akhirnya menyerahkan pada bawahannya, tanpa meneliti tentang cocok tidaknya harga dan layak tidaknya borg yang diminta”.

Pertamina pun banyak mencetak ‘bintang’ baru, berhasil menciptakan sederetan pengusaha nasional baru. Kedekatan dengan pejabat-pejabat penentu di Pertamina merupakan berkah bagi banyak orang, termasuk dari kalangan kaum muda. Salah satu diantara bintang ‘succes story’ adalah Ir Siswono Judohusodo mantan aktivis GMNI Ali Surachman sewaktu masih kuliah di ITB –dan pernah berseberangan dengan Angkatan 1966 dalam Peristiwa Penyerbuan Gedung KAMI Konsulat Bandung dan Peristiwa 19 Agustus 1966 yang menewaskan mahasiswa Universitas Parahyangan Julius Usman. Siswono akhirnya menjadi satu konglomerat muda dengan kemampuannya menangkap dan memfaedahkan kesempatan-kesempatan yang diberikan Ibnu Sutowo untuk membangun kerajaan bisnisnya group Bangun Tjipta Sarana. Hanya saja, tatkala Ibnu Sutowo goncang dan Pertamina yang nyaris bangkrut ‘dibersihkan’ pada tahun 1975, sisa tagihan Siswono dalam jumlah besar yang belum terbayar Pertamina ikut mengalami pemangkasan. Waktu itu, ada asumsi bahwa seluruh harga-harga Pertamina di’mark-up’ dalam jumlah besar tertentu, maka wajar bila para penagih tidak akan dibayar penuh lagi.

Tokoh-tokoh muda lain yang sempat terbantu oleh Ibnu Sutowo adalah Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi dan kawan-kawan dari HMI. Proposal mereka disetujui, dan berdirilah industri kawat las di bawah nama group Kramayudha. Pada masa jaya Ibnu Sutowo memimpin Pertamina, memang ada begitu banyak orang yang kebagian rezeki, baik dari kalangan tentara maupun dari kalangan politik. Termasuk beberapa kalangan pers. Namun tercatat pula sejumlah pers yang gigih membongkar korupsi dan penyalahgunaan di Pertamina, di antaranya adalah Harian Indonesia Raya di Jakarta yang dipimpin oleh tokoh pers kawakan Mochtar Lubis dan Mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung. Dan tentu saja, ada kritik gigih dari kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di berbagai kota, termasuk Bandung.

BUL atau BULOG yang dipimpin oleh Mayjen Achmad Tirtosudiro, juga menjadi salah satu pemberi berkah dan rezeki kepada berbagai pihak, kalangan tentara maupun pengusaha. Pengusaha paling termasyhur dalam hubungan BUL adalah seorang pengusaha keturunan cina Teguh Sutantyo Direktur Utama Mantrust di Bandung. PT Mantrust ini adalah produsen beras Tekad. Selain itu, group Mantrust bergerak di bidang pengolahan bahan makanan lainnya seperti ikan kaleng, corned beef, biskuit, pengolahan jamur dan nasi goreng kaleng, Perusahaan yang dipimpin Teguh Sutantyo ini pernah menghebohkan dengan skandal pengiriman makanan kaleng yang busuk isinya untuk Pasukan Perdamaian PBB dari Indonesia di Kongo, Afrika, yang dikenal sebagai Pasukan Garuda. Menurut Harian Indonesia Raya (3 September 1969) dan Mingguan Mahasiswa Indonesia (7 September 1969), kejadian ini hanyalah salah satu skandal yang pernah dilakukan oleh Teguh Sutantyo dengan oknum-oknum yang dikenal dekat dengan Istana. Skandal kedua yang menghebohkan, terkait dengan pengadaan beras sintetis Tekad. Beras Tekad ini, selain harganya ternyata lebih tinggi dari beras biasa, pembangunan pabriknya juga bermasalah, yakni dalam pengadaan mesin-mesinnya.

Pada bulan Agustus 1969, tersiar kabar dalam pers Jepang tentang ditangkapnya dua orang yang terlibat manipulasi ekspor. Kedua orang itu adalah Namio Kida –seorang Jepang kelahiran Indonesia– dan Santoso Sutantyo yang disebut pers Jepang sebagai ‘an Indonesian businessman of Chinese’, dari perusahaan Mexim, Tokyo. Koran Jepang terkemuka ‘Asahi Shimbun’ memberitakan bahwa Kida dan Sutantyo telah merencanakan mengeruk keuntungan dengan menggunakan transaksi-transaksi bantuan ekonomi Jepang kepada Indonesia. Pada bulan Mei 1967 mereka membentuk perusahaan Mexim Corporation Limited dan berkantor di Rosei Building, Nigashi Arabu, Miniati-Ku, Tokyo. Kemudian mereka menandatangani perjanjian dengan perusahaan Djaya di Jakarta yang presiden direkturnya bernama Dharma Surya, untuk mengekspor plant seharga 900 juta yen bagi pembangunan pabrik beras sintetis di Bandung. Tetapi sebetulnya yang diekspor hanyalah mesin-mesin penggiling tepung, mesin-mesin pengering dan mesin-mesin conveyor seharga 640 juta yen. Lalu mereka membuat laporan mengenai impor-ekspor tersebut kepada pemerintah Jepang dan Indonesia yang mencantumkan nilai 900 juta yen. Dan sesuai dengan peraturan bantuan ekonomi Jepang bahwa dalam hal pelaksanaan bantuannya Jepang akan membayar kepada pengusaha-pengusaha yang mengekspor barangnya ke Indonesia, maka Mexim menerima 900 juta yen. Dengan demikian menurut Asahi Shimbun, Kida dan Sutantyo telah memasukkan transaksi dan mengantongi keuntungan tidak sah sebesar 260 juta yen. Diungkap pula bahwa uang keuntungan itu ditukar dalam bentuk cek dengan pecahan nilai antara 200 ribu sampai 300 ribu yen di berbagai bank di Tokyo dan sebanyak sepuluh kali dibawa ke Hongkong untuk ditukar dalam bentuk US$ lalu dimasukkan ke Indonesia. Berita itu menyebut PT Mantrust di Bandung sebagai dalang di balik komplotan ini.

Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia permintaan penyelesaian perkara dan pembebasan sementara bagi para pelaku pernah diusahakan oleh Jenderal Soedjono Hoemardani kepada Menteri Keuangan Jepang Fukuda. Soedjono Hoemardani ini disebutkan sebagai sangat dekat dengan Istana, yang kemudian dikenal sebagai salah satu Aspri Presiden Soeharto. Soedjono Hoemardani ini kelak menjadi salah satu tokoh sasaran kritik para mahasiswa Jakarta maunpun Bandung dalam suatu gelombang anti Jepang di Indonesia dan mendapat julukan ‘dukun’ Jepang di Indonesia bersama Ali Moertopo.

Untuk pembuatan beras Tekad, PT Mantrust sebenarnya memperoleh alokasi devisa sebesar US$ 2,5 juta dari pemerintah melalui Bank Indonesia dan juga mendapat Rp 150 juta dari BUL yang dipimpin Mayjen Ahmad Tirtosudiro. “Ini semua bisa diperoleh berkat hubungannya yang mesra dengan sejumlah pejabat penting seperti Ketua BUL Mayjen Achmad Tirtosudiro dan Mayjen Surjo” tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia 14 September 1969. US$ 2,5 juta tersebut diambilkan dari kredit Jepang yang di-BE-kan. Sebagai ilustrasi berapa kira-kira nilai rupiah waktu itu dapat disebutkan bahwa harga sebuah mobil sedan Corolla adalah Rp 1,9 juta. Belakangan terungkap pula bahwa uang muka yang Rp 150 juta tersebut secara diam-diam telah bertambah mencapai jumlah Rp 1100 juta. Di luar itu PT Mantrust dalam rangka beras Tekad telah memperoleh pula bantuan BUL sebanyak 4800 ton terigu seharga Rp 97 juta. Walaupun, menurut rencana semula beras Tekad hanya terdiri dari bahan-bahan ketela, kacang dan jagung, tanpa terigu. PT Mantrust pada bulan September 1969 baru mampu memasok 7500 ton Tekad seharga Rp 180 juta. Dengan demikian Mantrust malah masih berhutang sebesar Rp 1.017 juta kepada BUL. Sungguh suatu fasilitas yang luar biasa, pembayaran jauh di depan, dalam jumlah yang besar lagi. Sungguh suatu usaha yang betul-betul nyaman. Namun nyatanya, pada akhirnya proyek beras Tekad itu gagal karena rasa dan kualitasnya yang rendah dan tidak diterima masyarakat.

Tentang hubungannya dengan PT Mantrust Mayjen Achmad Tirto dalam wawancara dengan Rum Aly dari Mingguan Mahasiswa Indonesia di bulan Februari 1970 menjelaskan beberapa hal. “Kalau nama saya dihubung-hubungkan dengan Mantrust, soalnya adalah memang dulu saya termasuk salah satu sponsor dari pemerintah untuk mendirikan pabrik beras Tekad. Kemudian pabrik itu didirikanlah. Lalu kemudian karena perkembangan harga beras, produksi beras meningkat sekarang. Beras Tekad produksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan” (Pada kesempatan lain ia pernah mengakui bahwa beras Tekad gagal karena kebetulan produksi beras meningkat kembali, dan beras Tekad itu sendiri memang tidak begitu diterima dan disukai masyarakat). Itu adalah suatu keadaan yang patut disayangkan, ujar Achmad Tirto dengan nada pembelaan, “Dan akan merugikan produsen yang memproduksi beras tersebut. Sekarang ia mempunyai kemampuan yang lebih kecil di dalam pengembalian kreditnya”. Jadi itulah sebabnya, “nama saya seringkali dihubung-hubungkan dengan Mantrust”. Yang mendirikan pabrik beras Tekad adalah Mantrust, “kami yang ditugaskan mengadakan pengontrakan pembelian beras Tekad dan yang mensponsori proyek beras Tekad”.

Tapi menurut Mahasiswa Indonesia sepanjang yang dapat diketahui, hubungan antara Mantrust dengan Achmad Tirto telah ada sejak Achmad Tirto masih bertugas di CIAD (Corps Intendant Angkatan Darat, semacam Dinas Perbekalan AD). Pada waktu itu Mantrust berhasil menjadi suplier berbagai jenis makanan kaleng, seperti nasi goreng, biskuit mari dan lain-lain. Seringkali makanan-makanan kaleng itu membusuk ketika tiba di tujuannya, karena kualitasnya yang rendah. Malahan pernah sejumlah besar makanan kaleng terpaksa dipulangkan. Selain itu, Mayjen Achmad Tirtosudiro sendiri pernah mengakui kepada delegasi KAMI Bandung di tahun 1967 bahwa ia memang mempunyai hubungan pribadi dengan Mantrust. Bahwa pihak Mantrust merasa rugi karena penghentian produksi Tekad, keterangannya harus diragukan karena Direktur Mantrust pada pidato upacara pembukaan pabrik Tekad di Bandung mengatakan sendiri bahwa sewaktu-waktu produksi bisa dialihkan untuk membuat bahan-bahan makanan lain seperti bakmi, makaroni dan spaghetti.

Terhadap pertanyaan kenapa dalam penetapan Mantrust itu tidak ada tender terbuka sebelumnya, Achmad Tirto menjawab “Begini,… jadi sewaktu didalam permulaan rencana pelaksanaan untuk mengisi kebutuhan pangan, dicari yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakannya”. Siapa saja yang waktu itu sanggup, ujar Tirto, itu bagi bank sebetulnya terbuka kesempatan untuk melakukannya juga (Maksudnya, siapa pun bisa juga mengajukan permohonan kredit ke bank). “Itulah sebabnya tidak diadakan tender karena kita dihadapkan kepada kecepatan mengatasi masalah pangan. Justru waktu itu yang sanggup adalah Mantrust. Dan sebetulnya, kalau soal pabriknya semuanya selesai hanya sekarang produksinya yang agak terhenti karena pemesanan dari pemerintah dibatasi. Menurut Mahasiswa Indonesia sama sekali tidak pernah diumumkan akan dibukanya suatu proyek beras sintetis. Tiba-tiba saja dilakukan penunjukan terhadap Mantrust, sehingga adalah tidak mungkin bagi perusahaan-perusahaan lain untuk ikut serta seperti yang digambarkan Achmad Tirto.

Sepanjang yang dapat dicatat, hingga tahun-tahun terakhir ini, berbagai skandal terkait dengan Bulog masih senantiasa terjadi.

Berlanjut ke Bagian 4